• Tidak ada hasil yang ditemukan

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

II METODE PENELITIAN

2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai Bulan Oktober 2010 sampai dengan April 2011, yang meliputi kegiatan persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, pengolahan dan analisis data. Lokasi penelitian di hutan hujan tropis (tropical rain

forest) Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Kondisi lokasi penelitian relatif

datar, dengan demikian mengurangi efek topografi pada penelitian ini. Secara geografis, lokasi penelitian terletak pada koordinat 98o43’00” BT sampai dengan 98o64’00” BT dan 2o54’00” LU sampai dengan 2o86’00” LU dengan ketinggian rata-rata 1.600 m dpl dengan kemiringan lereng datar dan landai. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Pengolahan dan analisis data citra satelit dilakukan di Laboratorium Fisik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Lokasi penelitian berada pada hutan hujan tropis yang memiliki ciri pohon yang tinggi, rapat, hijau sepanjang tahun, dan memiliki musim kering yang pendek sampai tidak ada (Primack dan Corlett 2005). Hutan hujan tropis mempunyai suhu bulanan rata-rata 20oC – 50oC dengan curah hujan dalam satu tahun antara 2000 mm dan 5000 mm (Arief 2001). Raymond et al. (2003) mencirikan hutan hujan tropis dengan struktur tajuk yang memiliki strata. Strata tajuk yang paling dominan merupakan pohon yang paling besar, selanjutnya strata tajuk lebih kecil dan strata tajuk semak belukar. Variasi strata tajuk ini disebabkan oleh perbedaan ukuran tumbuhan serta perbedaan waktu tumbuh.

Tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schimidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsolik, Latosol, Aluvial dan Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai (Santoso 1996, diacu dalam Indriyanto 2008)

(2)
(3)

2.2 Data, Hardware, Software dan Alat 2.2.1 Data Penelitian

Data primer yang dipergunakan adalah: (1) Citra ALOS PALSAR Provinsi Sumatera Utara liputan Juni tahun 2009 dengan resolusi spasial 50 meter dan 6,25 meter dan resolusi radiometric 16 bits per piksel. Citra ALOS PALSAR yang digunakan merupakan citra yang telah ortho rektifikasi; dan (2) data hasil pengukuran tegakan hutan pada lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder terdiri dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000 dan Peta Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara skala 1 : 250.000. Citra ALOS PALSAR resolusi 6,25 meter dan resolusi 50 meter dengan polarisasi HH dan HV disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Citra ALOS PALSAR yang digunakan pada penelitian ini merupakan citra radar yang menggunakan gelombang mikro. Berdasarkan sifat sumber energi elektromagnetik yang digunakan, radar merupakan penginderaan jauh aktif (active

remote sensing) yang memanfaatkan microwave dengan panjang gelombang

antara 1 mm sampai dengan 1 m. Pada Tabel 1 disajikan tata nama band dan frekuensi yang digunakan pada radar.

Tabel 1 Frekuensi standard dan tata nama band radar. Tata nama band yang umum digunakan dan yang digunakan yang digunakan NATO

Band Frekuensi (GHz) Band NATO Frekuensi (GHz) UHF L S C X Ku (J) K Ka (Q) 0.3 – 1 1 – 2 2 – 4 4 – 8 8 – 12 12 – 18 18 – 27 27 - 40 B C D E F G H I J K 0.25 – 0.5 0.5 – 1 1 – 2 2 – 3 3 – 4 4 – 6 6 – 8 8 – 10 10 – 20 20 – 40 Sumber: Hoekman (1990)

(4)

(a)

(b)

Gambar 3 Citra ALOS PALSAR resolusi 6,25 meter, (a) polarisasi HH dan (b) polarisasi HV

(5)

(a)

(b)

Gambar 4 Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter, (a) polarisasi HH dan (b) polarisasi HV

(6)

Sifat sistem radar

Sifat sistem radar dipengaruhi oleh: (1) Panjang gelombang dan kemampuan daya tembusnya terhadap atmosfer dan permukaan tanah, dan (2) Sudut depresi antena merupakan salah satu aspek geometrik pada citra radar dan penyebab terjadinya efek backscatter radar, efek bayangan pada objek (Purwadhi 2001).

Daya tembus terhadap atmosfer paling baik pada panjang gelombang yang lebih besar karena tidak terpengaruh hambatan atmosfer, sedangkan daya tembus terhadap permukaan tanah tergantung panjang gelombang dan konstanta dielektrik objeknya. Daya tembus besar pada panjang gelombang lebih besar dan material penutup kurang dari 1/10 panjang gelombangnya (biasanya sekitar 2-3 meter), daya tembus kecil pada konstanta dielektrik tinggi (objek yang kelembabannya tinggi).

Panjang gelombang radar lebih dari 3 cm hanya sedikit berpengaruh oleh awan, kabut tebal, asap dan kabut tipis, dan hanya panjang gelombang yang besar yang benar-benar mampu menembus hujan lebat. Pada panjang gelombang yang lebih kecil, pantulan radar oleh tetes-tetes air masih dapat berpengaruh sehingga memberikan faktor gangguan yang sangat tinggi. Panjang gelombang yang lebih besar akan menghasilkan informasi yang jauh lebih sedikit mengenai kekasaran permukaan vegetasi dibandingkan panjang gelombang yang lebih kecil, tetapi panjang gelombang yang lebih besar akan banyak memberikan informasi mengenai kondisi medan. Di bidang kehutanan, panjang gelombang yang kecil lebih disukai, sedangkan para ahli tanah dan geologi biasanya lebih menyukai panjang gelombang yang lebih besar, karena akan diperoleh lebih banyak informasi yang relevan (Howard 1996).

Ukuran backscatter dari objek sama seperti reflectance dalam sistem optik adalah rasio antara sinyal emisi dengan sinyal yang diterima dan akan berlainan tergantung kepada jenis objeknya. Nilai ini sering disebut sebagai nilai radar cross section (σo

) dan dinyatakan dalam besaran desibel (db).

Intensitas atau kekuatan gelombang radar yang diterima kembali oleh sensor (backscatter) menentukan karakteristik spektral objek citra radar. Sebagai bagian dari dari topografi, kekasaran permukaan adalah sifat terrain yang paling berpengaruh terhadap nilai backscatter objek, tergantung kepada panjang

(7)

gelombang dan sudut pandang sensor. Sebuah permukaan dapat terlihat kasar apabila perbedaan tinggi mendekati panjang gelombangnya. Permukaan halus akan terlihat gelap sedangkan permukaan kasar akan terlihat cerah pada citra radar, hal ini merupakan perilaku scattering gelombang radar. Intensitas atau kekuatan gelombang pantulan pada citra radar dipengaruhi sifat objek dan sifat sistem radarnya (Purwadhi 2001). Pada penelitian ini akan dikaji pengaruh sifat objek terhadap nilai backscatter pada citra radar ALOS PALSAR.

Tiga tipe backscatter yang dikenal adalah surface scattering, volume

scattering, dan corner reflector. Jika permukaan objek seragam maka akan terjadi surface scattering (backscatter permukaan) dan surface scattering dapat terjadi

dalam bentuk specular reflector (pantulan cermin) atau diffuse reflector (pantulan baur) tergantung dari panjang gelombang dan kekasaran permukaan objek. Pantulan baur yaitu pantulan kesegala arah termasuk yang kembali ke sensor yang menyebabkan rona cerah, hal ini terjadi pada objek yang memiliki permukaan kasar seperti daerah bebatuan, vegetasi yang heterogen dan air dengan ombak besar. Pantulan cermin (specular reflector) yaitu arah pantulan berlawanan dengan arah datangnya gelombang atau sensor menyebabkan rona gelap, hal ini terjadi pada objek yang memiliki permukaan halus, seperti permukaan air tenang, permukaan tanah yang diratakan atau diperkeras.

Jika permukaan objek dengan dielektriknya tidak seragam maka akan terjadi

volume scattering dimana gelombang radar penetrasi menembus permukaan dan

pantulan gelombangnya berasal dari objek yang berada dibawah permukaan.

Corner reflector atau pantulan sudut terjadi sebagai hasil dari bentuk sudut objek

alami maupun objek buatan. Pantulan sudut menyebabkan pantulan gelombang kembali ke arah sensor yang menyebabkan rona sangat cerah. Objek yang bersudut siku-siku seperti gedung bertingkat dan lereng terjal. Tipe-tipe

(8)

Pantulan cermin (backscatter rendah) Pantulan baur (backscatter tinggi)

corner reflector (pantulan sudut) volume scattering

Gambar 5 Tipe backscatter (Smith 2006).

Kondisi topografi permukaan bumi sangat mempengaruhi backscatter. Variasi lokal medan mengakibatkan sudut datang gelombang radar yang berbeda-beda. Variasi topografi mengakibatkan backscatter pada lereng yang menghadap ke sensor akan memantulkan gelombang yang lebih besar dibandingkan lereng sebaliknya, atau lereng yang membelakangi sensor. Kekuatan gelombang pantulan karena pengaruh kondisi topografi biasanya dikatakan sebagai efek geometri sensor radar terhadap medan. Kekuatan backscatter mempengaruhi rona pada citra radar. Citra radar bagian lereng depan akan lebih cerah dibandingkan dengan bagian lereng yang membelakangi sensor.

Fisiognomi vegetasi berkayu sangat berpengaruh terhadap rona, dan tekstur citra radar yang terekam. Seringkali batas citra pada formasi tanaman, dan kadang-kadang juga batas subformasi atau tipe hutan dapat diidentifikasi secara tepat serta didelineasi, tergantung pada panjang gelombang radar yang digunakan, perekaman dapat berupa sinyal campuran yang dihasilkan oleh kekasaran permukaan tajuk pepohonan, vegetasi dibawahnya (understory), dan juga tekstur medan, yang kadang-kadang juga menyebabkan stratum kanopi utama justru tidak mempunyai pengaruh terbesar (Howard 1996).

(9)

ALOS PALSAR

Advanced Land Observing Satelite (ALOS) adalah satelit milik Jepang yang

merupakan satelit generasi lanjutan dari Japanese Earth Resources Satellite-1 (JERS-1) dan Advanced Earth Observing Satellite (ADEOS) yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Satelit ALOS diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA milik Jepang dari stasiun peluncuran Tanegashima Space Center. Satelit ini di desain untuk dapat beroperasi selama tiga sampai lima tahun, dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh yaitu Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo

Mapping (PRISM) dengan resolusi spasial 2,5 m yang dirancang untuk

memperoleh data Digital Terrain Model (DTM), Advanced Visible and Near

Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) dengan resolusi spasial 10 m untuk

pemantauan tutupan lahan secara lebih tepat, dan Phased – Array type L-band

Synthetic Apeture Radar (PALSAR) untuk pemantauan semua kondisi cuaca pada

siang dan malam hari.

Tabel 2 Karakteristik PALSAR

Mode Fine ScanSAR

Polarimetric (Experimental mode)*1

Center Frequency 1270 MHz(L-band)

Chirp Bandwidth 28MHz 14MHz 14MHz,28MHz 14MHz Polarization HH or VV HH+HV or VV+VH HH or VV HH+HV+VH+VV Incident angle 8 to 60deg.

8 to 60deg. 18 to 43deg. 8 to 30deg.

Range Resolution 7 to 44m 14 to 88m 100m 24 to 89m (multi look) Observation Swath 40 to 70km 40 to 70km 250 to 350km 20 to 65km

Bit Length 5 bits 5 bits 5 bits 3 or 5bits

Data rate 240Mbps 240Mbps 120Mbps,240Mb ps 240Mbps NE sigma zero *2 < -23dB (Swath Width 70km) < -25dB < -29dB < -25dB (Swath Width 60km) S/A *2,*3 > 16dB (Swath Width 70km) > 21dB > 19dB > 21dB (Swath Width 60km) Radiometric accuracy scene: 1dB / orbit: 1.5 dB Sumber: Jaxa (2006)

(10)

Sensor PALSAR (Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar) adalah sensor microwave yang aktif dengan menggunakan gelombang L-band yang dapat menembus lapisan awan dan dapat mengobservasi siang dan malam hari. Sensor PALSAR yang dipasang pada satelit ALOS, merupakan pengembangan lebih lanjut sensor SAR (synthetic aperture radar) yang dibawa oleh satelit pendahulunya JERS-1. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area 250 km hingga 350 km. Hal ini merupakan cakupan pengamatan tiga sampai lima kali lebih luas dibandingkan citra SAR konvensional. Karakeristik PALSAR dapat dilihat pada Tabel 2.

2.2.2 Hardware, Software dan alat

Hardware atau perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah

komputer dan printer, sedangkan alat yang digunakan adalah GPS (Global

Positioning System), kompas, clinometer, phiband, tallysheet, kamera digital

dengan lensa fish eye. Perangkat lunak atau software untuk pengolahan data digunakan ERDAS Imagine Ver 9.1, ArcView 3.3 (extension clustering), HemiVeiw 2.1 dan SPSS Statistic 17.0.

2.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan penelitian yaitu: 1) persiapan, 2) pra pengolahan citra ALOS PALSAR, 3) pengolahan citra ALOS PALSAR, 4) desain penarikan contoh, 5) pengambilan data lapangan, 6) pengolahan data lapangan, dan 7) pemilihan peubah tegakan. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 6.

(11)

Gambar 6 Tahapan penelitian. 2.3.1 Persiapan

Kegiatan pada tahap persiapan adalah pengumpulan data digital berupa data vektor dan data raster, pembuatan tallysheet, dan pengolahan citra ALOS PALSAR agar dapat diolah dan dianalisis untuk keperluan penelitian.

2.3.2 Pra Pengolahan Citra

Tahapan pra pengolahan citra ALOS PALSAR dimaksudkan untuk memperoleh citra ALOS PALSAR yang siap dianalisis. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini terdiri dari pemotongan citra (cropping) dan reduksi noise.

(1) Pemotongan citra (cropping)

Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi citra sesuai dengan wilayah penelitian sehingga analisis dapat lebih fokus pada lokasi penelitian dan pemrosesan citra berlangsung lebih cepat.

(2) Reduksi noise

Noise terjadi akibat adanya interaksi sinyal balik yang beragam dari

berbagai objek yang ada di area tersebut. Interaksi gelombang akan membuat

Pra pengolahan citra ALOS PALSAR Clustering Dendrogram evaluasi Merging & labelling Data lapangan Analisis Peubah tegakan yang berpengaruh mulai selesai

(12)

sinyal pancar balik tersebut menghilang atau malah diperkuat sehingga akan menghasilkan piksel yang cerah dan gelap yang disebut spekcle noise.

Citra ALOS PALSAR resolusi 6.25 meter dilakukan reduksi noise, sedangkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter tidak dilakukan reduksi

noise karena tidak mengalami gangguan. Metode yang digunakan pada tahap ini

adalah filter frost dengan window size 7 x 7.

Filter frost akan mengganti nilai piksel yang menjadi prioritas dengan bobot

dari jumlah nilai dalam window size (moving window) 7 x 7. Faktor bobot akan berkurang menurut jarak piksel dari piksel prioritas. Rumus yang digunakan adalah:

− = nxn t e K

α

α DN dimana            

=

2 I 4 2 2

α

σ

σ

n

dan K = Konstanta Ī = rata-rata lokal σ = variance local n = moving window size

σ = image coefficient of avariation value

rata -rata keragaman = σ t = jarak

X0,Y0 = posisi piksel tujuan

X,Y = posisi piksel ke-i terhadap piksel tujuan

2.3.3 Pengolahan Citra (1) Konversi Digital Number

Kegiatan ini mengkonversi digital number menjadi nilai backscatter citra ALOS PALSAR yang dilakukan pada setiap polarisasi HH dan HV baik untuk citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter maupun pada citra ALOS PALSAR

(13)

resolusi 6,25 meter. Nilai backscatter tiap piksel dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini (Shimada et al. 2009).

σ° =10 x log10 (DN2

) + CF Keterangan:

σ° = Koefisien backscatter dalam desibel (db) DN = Digital Number

CF = Calibration Factor (-83) (2) Klasifikasi tidak terbimbing

Klasifikasi tidak terbimbing atau klastering (clustering) merupakan suatu teknik klasifikasi yang merupakan serangkaian proses untuk mengelompokkan observasi (piksel) ke dalam suatu kelas atau klaster yang benar dalam suatu set kategori yang disusun (Jaya 2009). Jumlah klaster awal pada penelitian ini ditetapkan sebanyak 20 klaster. Proses klastering selanjutnya menggunakan metode rata-rata bergerak (migrating means) atau dikenal juga dengan istilah metode K-mean clustering. Agar memudahkan melakukan analisis pengkelasan berdasarkan tingkat kemiripan dari masing-masing ukuran klaster yang digunakan, maka diperlukan suatu teknik untuk menyusun urutan pengelompokan klaster, dari jumlah yang banyak sampai dengan jumlah yang kecil. Diagram yang menggambarkan pengelompokan ini dinamakan dendrogram.

(3) Dendrogram

Dendrogram adalah kurva yang menggambarkan pengelompokan klaster, untuk memudahkan analisis pengkelasan. Salah satu metode penggambarannya ialah metode tetangga terdekat (nearest neighbor method) yaitu metode penggambaran klaster berdasarkan pada jarak terdekat dari anggota klaster. Metode ini sering disebut dengan metode “single linkage”.

(4) Merging

Kelas yang memiliki jarak dekat dengan kelas lainnya digabungkan (merge) menjadi satu kelas yang sama.

2.3.4 Desain Penarikan Contoh

Penentuan plot contoh dilakukan secara systematic sampling dengan area prioritas (area of interest) mempertimbangkan kemudahan aksesibilitas dan ketersebaran plot contoh di lokasi penelitian. Bentuk plot contoh berupa persegi

(14)

empat berukuran 50 m x 50 m dengan jumlah 45 plot contoh. Peta sebaran plot contoh disajikan pada Gambar 7.

(15)

2.3.5 Pengambilan Data Lapangan

Pengambilan data di lapangan dimulai dengan tahapan sebagai berikut: (1) Penentuan Titik Pusat Plot

Posisi titik pusat plot di lapangan ditentukan atas dasar gambaran titik pusat plot dipeta/citra. Titik pusat plot ditentukan koordinatnya dengan menggunakan GPS.

(2) Pembuatan plot contoh

Plot contoh berbentuk persegi empat dengan ukuran 50 m x 50 m untuk pengukuran pohon dengan diameter 20 cm ke atas, di dalamnya plot contoh dibuat sub plot contoh berukuran 10 m x 10 m untuk pengukuran tiang dengan diameter 10 cm sampai dengan diameter kurang dari 20 cm dan sub plot contoh berukuran 5 m x 5 m untuk pengukuran pancang dengan diameter 5 cm sampai dengan diameter kurang dari 10 cm. Gambar plot contoh disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Plot contoh. (3) Pengambilan data lapangan

Data lapangan yang dikumpulkan pada setiap plot contoh merupakan dimensi tegakan yang dapat mempengaruhi nilai backscatter citra ALOS PALSAR. Data-data plot contoh yang dikumpulkan adalah:

a Titik koordinat pusat plot contoh; diambil dengan menggunakan GPS untuk mendapatkan posisi koordinat x dan y pusat plot di lapangan.

b Diameter; diameter diukur pada setinggi dada (130 cm).

(1) Tingkat pancang, diukur diameter 5 cm sampai dengan diameter < 10 cm, sub plot untuk pengukuran pancang berukuran 5 x 5 meter pada kuadran I.

Titik Pusat Plot

50 m 10m 5 5 10m Kuadran IV Kuadran I Kuadran II Kuadran III 50 m

(16)

(2) Tingkat tiang diukur diameter 10 cm sampai dengan diameter < 20 cm, sub plot untuk pengukuran pancang berukuran 10 x 10 meter pada kuadran I. (3) Pohon diukur pada diameter ≥ 20 cm, diukur pada plot contoh 50 x 50 m. c Tinggi total; diukur dari pangkal batang sampai ujung tajuk tanaman.

d Diameter tajuk; merupakan diameter rata-rata tajuk yang diukur dua kali pada arah Utara-Selatan dan Timur-Barat.

e Tebal tajuk; diukur dari pangkal bebas cabang sampai ujung tajuk.

f Kemiringan lapangan (slope); merupakan beda tinggi pada pusat plot dengan kondisi di sekitarnya.

g Arah kemiringan lapangan (Aspect) yang ditentukan dari pusat plot sampel. h LAI (leaf area index); diambil menggunakan kamera dengan lensa fish eye. i Gambar dokumentasi plot contoh.

2.3.6 Pengolahan Data Lapangan

Data lapangan yang telah tercatat di tallysheet selanjutnya direkapitulasi dan dilakukan perhitungan untuk mengetahui data setiap plot contoh.

(1) Posisi koordinat plot contoh dari GPS.

(2) Nilai rata diameter, rata tinggi pohon, rata lebar tajuk, dan rata-rata tebal tajuk setiap plot.

(3) Kerapatan pancang, tiang dan pohon setiap plot dalam hektar (ha). Rumus kerapatan sebagai berikut:

keterangan:

K = Kerapatan (pancang, tiang dan pohon setiap plot/sub plot dalam ha) (4) Luas bidang dasar per hektar (m2/ha) setiap plot contoh.

Lp d LBDSj n i

= = 1 2 . ). 4 / 1 ( π keterangan:

LBDSj = Luas Bidang Dasar (m2/ha) dari plot ke j π = 3.14

d = DBH (m)

(17)

(5) Luas tajuk per hektar (m2/ha) setiap plot contoh LTjk = Lp .D ¼. 1 2 tjk

= = n i Tjk L π keterangan:

LTjk = Luas tajuk (m2/ha)

π

= 3.14

Dtjk = diameter tajuk pohon (m)

Lp = luas plot/sub plot (ha) (6) Penghitungan biomasa

Pendugaan biomasa pohon di atas permukaan tanah pada hutan hujan tropis dengan ketinggian 1600 m di atas permukaan laut menggunakan allometric yang dikembangkan oleh Basuki et al. (2009)

ln(TAGB) = c + αln(d) keterangan:

TAGB = total above-ground biomass c = -1.201

α = 2.196 d = diameter (7) Pengukuran LAI

Pengukuran LAI dilakukan dengan menggunakan kamera berlensa fisheye. Pengambilan foto dilakukan di tengah plot mengarah ke atas dari lantai hutan. Posisi kamera foto pada tripot dengan ketinggian 150 cm. Penghitungan nilai LAI menggunakan software Hemiview 2.1

2.3.7 Pemilihan Peubah Tegakan

Pada penelitian ini, analisis diskriminan digunakan sebagai alat analisis untuk mengetahui peubah tegakan yang menjadi faktor pembeda kelas pada hutan hujan tropis. Peubah-peubah tegakan yang menjadi variabel independen dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap nilai backscatter.

Analisis diskriminan merupakan metode statistik untuk mengelompokkan atau mengklasifikasi sejumlah obyek ke dalam beberapa kelompok, berdasarkan beberapa peubah. Pada prinsipnya analisis diskriminan bertujuan untuk mengelompokkan setiap obyek ke dalam dua atau lebih kelompok berdasar pada

(18)

kriteria sejumlah peubah bebas. Pengelompokkan ini bersifat mutually exclusive, dalam artian jika obyek A sudah masuk kelompok 1, maka ia tidak mungkin juga dapat menjadi anggota kelompok 2. Analisis kemudian dapat dikembangkan pada peubah mana saja yang membuat kelompok 1 berbeda dengan kelompok 2, berapa persen yang masuk ke kelompok 1, berapa persen yang masuk ke kelompok 2. Ciri analisis diskriminan adalah jenis data dari peubah dependent bertipe nominal (kategori), seperti kode 0 dan 1, atau kode 1, 2 dan 3 serta kombinasi lainnya (Santoso et al. 2001).

Model analisis diskriminan yang digunakan bentuknya sebagai berikut:

D = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ….. + bnXn

dimana X1 ~ Xn prediktor atau peubah tegakan secara berturut-turut terdiri dari kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, diameter batang pancang, diameter batang tiang, diameter batang pohon, tinggi pancang, tinggi tiang, tinggi pohon, LBDS pancang, LBDS tiang, LBDS pohon, biomasa pancang, biomasa tiang, biomasa pohon, tebal tajuk pancang, tebal tajuk tiang, tebal tajuk pohon, diameter tajuk pancang, diameter tajuk tiang, diameter tajuk pohon, persentasi tutupan tajuk, dan Leaf Area Index (LAI).

Metode analisis fungsi diskriminan pada penelitian ini adalah metode

stepwise, yaitu dengan memasukkan semua peubah tegakan dalam analisis untuk

menentukan peubah tegakan mana saja yang dapat membedakan kelas pada hutan hujan tropis. Setelah semua peubah tegakan dimasukkan dalam fungsi diskriminan, kemudian dilakukan evaluasi kontribusi dari masing-masing peubah tegakan dimana peubah tegakan yang tidak memberikan kontribusi dihilangkan, dan peubah tegakan yang memberikan kontribusi paling besar dalam membedakan kelas merupakan peubah tegakan yang mempengaruhi backscatter. Peubah tegakan yang memberikan kontribusi besar adalah peubah-peubah tegakan yang memiliki nilai F hitung yang lebih lebih besar.

Untuk evaluasi keakuratan fungsi diskriminan dilakukan penghitungan hit

ratio. Hit ratio merupakan persentase jumlah contoh yang kelasnya dapat

Referensi

Dokumen terkait

Terakhir, besar harapan dan rekomendasi terhadap penelitian selanjutnya adalah dapat merancang suatu sistem yang berisi materi bahan ajar untuk semua mata pelajaran sehingga

Diceriterakan, konon, sudah lama beliau mengembara mencari putra beliau itu tidak juga dijumpai, sampai akhirnya tiba di kawasan Tohlangkir pengembaraan beliau Setibanya di

Metro sebagai ruang terbuka publik Metode deskriptif 7 Desti Rahmiati , Bambang Setioko, Gagoek Hardiman, 2013, Universitas Bandar Lampung Pengaruh Perubahan Fungsi

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “PELAKSANAAN PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH UNTUK MEMPEROLEH KEPASTIAN HUKUM MELALUI PROGRAM NASIONAL AGRARIA

Lebih lanjut, Isnaini dan Suranto (2010:21) mengemukakan, lari sambung disebut juga dengan lari estafet. Pelaksanaan dalam lari sambung dilakukan oleh empat pelari dalam satu

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data terlebih dahulu. Ada dua metode dalam pengumpulan data yaitu metode lapangan dan metode kepustakaan. Metode

Pasien mengatakan gatal dan panas pada daerah ekstermitas bawah sebelah kanan di paha bagian bawah O: Pasien mengalami penurunan mobilisasi , pasien mengalami kerusakan

Dalam penelitian ini variabel independen yang meliputi materialisme, citra diri, nilai status, nilai hedonis, dan gaya hidup diduga berpengaruh positif pada niat beli