BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Persediaan / Inventory
Sebuah persediaan / inventory adalah setiap barang atau bahan yang disimpan untuk keperluan dimasa mendatang (Joseph S. Martinich, 1997, hal 661). Dan sebuah sistem persediaan adalah serangkaian kebijakan dan kontrol yang memonitor tingkat persediaan dan menentukan pada tingkat persediaan yang harus dipertahankan.
Sebuah pengawasan persediaan / inventory control adalah kegiatan untuk mempertahankan barang-barang yang ada pada level yang diinginkan. (Everett E Adam, Jr. dan Ronald J. Ebert, 1992, hal 453). Dengan adanya pengawasan persediaan, maka persediaan diatur agar dapat memenuhi kebutuhan produksi perusahaan.
Persediaan dalam perusahaan pada umumnya terdiri atas : bahan mentah / raw materials, barang dalam proses / work in process, dan barang jadi / finished goods (Everett E Adam, Jr. dan Ronald J. Ebert, 1992, hal 453).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa persediaan merupakan salah satu aset perusahaan yang berhubungan dengan proses produksi, dikelola oleh perusahaan, dan diadakan dengan tujuan untuk memenuhi permintaan dari dalam (internal) perusahaan proses produksi, maupun dari luar (eksternal) perusahaan, seperti : pelanggan.
2.1.1 Tujuan Persediaan
Tujuan dari pengadaan sebuah persediaan pada sebuah perusahaan adalah sebagai berikut (Joseph S. Martinich, 1997, hal 661) :
1.Untuk meningkatkan efisiensi operasional
• Persediaan dapat menimbulkan efisiensi biaya sebagai salah satu bentuk efisiensi operasional. Contohnya adalah biaya-biaya pengadaan persediaan yang tidak berhubungan secara langsung dengan kuantitas barang tetapi dengan frekuensi pembelian, yaitu : biaya pengiriman (shipping cost), ataupun biaya-biaya yang termasuk dalam jenis biaya tetap (fixed cost).
• Persediaan dapat mempertahankan kontinuitas dalam proses produksi yang terdiri atas beberapa tahap. Jadi apabila pada salah satu tahap dalam proses produksi terjadi perlambatan ataupun pemberhentian produksi yang mungkin terjadi karena : kerusakan, penyesuaian mesin, pergantian tenaga kerja, pelatihan, dll. Dengan adanya persediaan, maka proses produksi secara keseluruhan dapat terus berlangsung tanpa adanya gangguan.
• Apabila permintaan terhadap suatu produk bersifat musiman, seringkali lebih murah bagi perusahaan apabila perusahaan tetap mempertahankan produksi (termasuk kebutuhan bahan mentah, tenaga kerja, dll) pada level yang konstan, daripada menyesuaikannya setiap
terjadi perubahan. Oleh karena itu perusahaan menyediakan persediaan sehingga proses produksi yang konstan dapat dicapai.
2.Untuk menyediakan respons yang cepat kepada konsumen
• Persediaan dapat menyediakan pelayanan yang lebih kepada pelanggan, seperti dengan menyediakan permintaan dengan lebih cepat. Dengan mempertahankan persediaan di dalam perusahaan, maka perusahaan dapat memberikan respons dengan lebih cepat terhadap permintaan pelanggan tanpa harus memproduksinya terlebih dahulu.
• Persediaan bahan mentah ataupun barang dalam proses dapat mempersingkat waktu respons kepada pelanggan dalam hubungannya dengan kebutuhan internal proses produksi. Sehingga dengan mengadakan persediaan bahan baku atau barang dalam proses, perusahaan tidak perlu lagi memakan waktu yang lebih lama untuk berproduksi dengan terlebih dahulu menyediakannya.
3.Untuk menyediakan keamanan atas ketidaktentuan yang normal dalam bisnis • Persediaan dapat memberikan keamanan atas ketidak pastian dalam
sistem supply, contoh : pengiriman barang dari supplier yang terlambat, sehingga perusahaan dapat tetap berproduksi dengan normal selama persediaan masih ada.
• Persediaan dapat memberikan keamanan terhadap kelangsungan proses produksi perusahaan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan tetapi telah diantisipasi sebelumnya oleh perusahaan, contoh : kerusakan mesin.
• Persediaan dapat memberikan kemampuan bagi perusahaan untuk memenuhi perubahan permintaan yang melonjak dengan cepat. Hal ini dapat menjadi keunggulan bersaing apabila pesaing tidak memiliki persediaan lagi untuk mengantisipasi permintaan dari pelanggan. 4.Untuk mengambil keuntungan yang tidak biasanya dari harga atau melindungi
dari resiko bisnis yang tidak biasanya. Sering disebut dengan speculating
inventories. Persediaan diadakan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak
biasa dalam bisnis. Contohnya : kemungkinan demo dari pekerja, perubahan harga bahan mentah, perubahan kurs, dll.
2.1.2 Biaya-Biaya Persediaan / Inventory Cost
Biaya-biaya yang muncul dari pengadaaan suatu persediaan atau inventory cost pada sebuah perusahaan dapat digolongkan sebagai berikut (Joseph S. Martinich, 1997, hal 665):
1.Holding Cost
Holding Cost adalah biaya-biaya yang muncul dalam pengadaan persediaan
Komponen-komponen yang biasanya muncul dalam jenis biaya ini, antara lain : • Oppotunity Cost of Capital yaitu opportunity cost yang muncul karena dengan menginvestasikan uang / modal perusahaan pada persediaan, dan tidak menggunakannya untuk hal-hal yang lainya seperti : pelunasan hutang, pembelian, ataupuninvestasi yang lainnya.
• Pajak dan asuransi. Pembayaran pajak atas gudang dan pemilikan barang, serta asuransi terhadap gudang ataupun barang yang disimpan sebagai persediaan
• Handling dan storing. Biaya-biaya ini muncul berhubungan erat dengan pengolahan barang-barang dalam gudang. Contohnya : penyewaan gudang, instalasi listrik dan air, keamanan, fasilitas penyimpanan, dll.
2.Ordering atau Setup Cost
Ordering / Setup Cost adalah biaya-biaya yang muncul pada saat perusahaan
melakukan pemesanan (order) kepada supplier. Dimana biaya-biaya yang muncul antara lain : biaya pengolahan pemesanan (biaya telepon, pos), biaya transportasi, biaya persiapan (setup) mesin, dll.
3.Shortage atau Stockout Cost
Shortage atau Stockout Cost adalah biaya-biaya yang timbul pada saat
persediaan atas satu atau beberapa barang habis. Biaya-biaya tersebut muncul dalam bentuk : hilangnya keuntungan pada saat ini dan mendatang-dalam
bentuk pengurangan penjualan (karena tidak dapat memenuhi permintaan pelanggan, sehinggan pelanggan pindah kepada pesaing), idle working (pengangguran kerja pada proses produksi).
4.Hidden Cost
Pada umumnya Hidden Cost merupakan biaya yang timbul karena pengadaan persediaan dilakukan (sengaja atau tidak sengaja) untuk menutupi permasalahan yang ada, sehingga terjadi kelebihan persediaan yang sulit untuk dihitung. Contohnya : penambahan persediaan untuk menutupi : hilangnya barang persediaan, ketidakefisienan pengolahan barang, perkiraan permintaan yang salah, dll.
2.2 Rekayasa Ulang / Business Process Reengineering
Konsep Business Process Reengineering dikemukakan oleh Michael Hammer pada tahun 1988 dalam sebuah artikel di Harvard Business Review. Konsep Business Process Reengineering ini menawarkan perubahan yang berfokuskan pada proses sehingga diperoleh suatu proses bisnis yang lebih baik.
Sebuah proses menurut Mangenelli adalah “.. an interrelated series of activities
that convert business inputs into business outputs (by changing the state of relevant business entities)” (Raymond l. Mangenelli dan Mark M Klein, 1994, hal 8).
Rekayasa ulang / Business Process Reengineering adalah pemikiran ulang secara fundamental dan perancangan ulang secara radikal atas proses-proses bisnis
untuk mendapatkan perbaikan dramatis dalam hal ukuran-ukuran kinerja yang penting dan kontemporer, seperti biaya, kualitas, pelayanan dan kecepatan (Michael Hammer dan James Champy, 1993, hal 32).
Mereka juga menekankan bahwa melakukan rekayasa ulang berarti memulai sesuatu yang baru, dari awal. Rekayasa ulang juga berarti mengesampingkan cara-cara yang dulu, bagaimana menjalankan sebuah pekerjaan, lalu mencari sebuah proses yang terbaik untuk saat ini. Pada suatu perusahaan menjalankan sebuah rekayasa ulang berarti membuang sistem yang lama dan memulai sesuatu yang baru, sehingga rekaya ulang akan bersinggungan dan merubah banyak hal dalam perusahaan seperti : struktur organisasi, job description, jabatan, performance appraisal, jenjang karir, dan sebagainya
Defini lain menyatakan bahwa Business Process Reenginering / rekayasa ulang adalah sebuah paradigma baru yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang berhasil dalam mengorganisir dan melakukan bisnis mereka untuk mendapat hasil yang mengagumkan (Victor S.L Tan, 1994, hal 39). Dalam pelaksanaannya ia menyatakan bahwa rekayasa ulang pada perusahaan akan merubah cara perusahaan memproses input sehingga menghasilkan suatu output.
2.2.1 Gambaran Rekayasa Ulang
Ada empat kata kunci yang menggambarkan apakah sebuah rekayasa ulang itu. Kata-kata tersebut adalah : fundamental, radikal, dramatik, dan proses (Michael Hammer dan James Champy, 1993, hal 32-36).
Kata fundamental berarti perubahan oleh sebuah reakayasa ulang akan dimulai dengan hal yang mendasar tanpa terpengaruh dengan asumsi yang telah ada. Rekayasa ulang dimulai dengan mempertanyakan apa yang harus dilakukan, lalu bagaimana cara melakukannya.
Kata radikal menunjukkan bahwa sebuah rekayasa ulang menunjukkan sebuah perubahan yang bersifat radikal, bukan hanya membuat perubahan yang kecil, tetapi melakukan perubahan dengan membuang yang lama dan menggantinya dengan yang baru, termasuk struktur, prosedur. Jadi sebuah rekayasa ulang berarti menemukan yang baru, bukan hanya meningkatkan ataupun memodifikasi yang lama.
Kata dramatik berarti rekayasa ulang harus menghasilkan suatu perubahan yang besar bagi perusahaan, sebuah quantum leap in performance. Sebuah rekayasa ulang hendaknya dilakukan pada sebuah perusahaan hanya apabila dibutuhkan sebuah perubahan yang besar, baik dengan alasan perusahaan itu dalam kesulitan, perusahaan itu melihat kemungkinan kesulitan di masa depan, ataupun perusahaan itu memiliki keinginan ambisius untuk lebih maju.
Kata proses berarti sebuah rekayasa ulang merupakan sebuah perubahan yang berfokus pada proses, bukan pada bagian dari proses (task), pekerjaan, orang ataupun struktur.
2.2.2. Peranan Teknologi Informasi
Teknologi Informasi memainkan peranan penting sebagai enabler bagi sebuah rekayasa ulang. Teknologi informasi dapat menyediakan akses pada informasi yang
lebih luas dan memungkinkan lebih banyak pekerjaan untuk dikerjakan. Sehingga teknologi informasi dapat memberikan support proses bisnis yang ada pada sebuah perusahaan, sehingga dapat memberikan keunggulan persaingan.
Perusahaan yang tidak dapat mengubah cara berpikir atas teknologi informasi tidak dapat melakukan rekayasa ulang. (Michael Hammer dan James Champy, 1993, hal 83).
Michael Hammer dan James Champy juga memberikan beberapa contoh dari kemampuan teknologi informasi sebagai disruptive technology, antara lain : shared
database, expert system, telecomunication networks, wireless data communication, interactive videodisk, dll (Michael Hammer dan James Champy, 1993, hal 97-99).
Ada empat cara yang dapat dilakukan untuk melakukan improvisasi terhadap proses-proses bisnis dalam perusahaan dengan menggunakan teknologi informasi (Dr Richardus Eko Indrajit, 2000, hal 106-107) yaitu:
1.Eliminasi
Penghilangan proses-proses yang dipandang tidak perlu. 2.Simplify
Penyederhanaan proses-proses tertentu atau pengurangan rantai proses untuk membuatnya lebih cecpat dan murah.
3.Integrate
Pengintegrasian beberapa proses yang dikerjakan oleh bebeerapa orang menjadi sederhana.
4.Automate
Perubahan pengerjaan hal-hal yang manual dengan menggunakan komputer.
2.2.3 Tahapan Rekayasa Ulang
Untuk menerapkan suatu rekayasa ulang pada sebuah perusahaan, ada beberapa metode yang diajukan oleh beberapa ahli dengan perbedaan pada tahapan-tahapannya.
Victor SL Tan menyatakan bahwa penerapan sebuah Rekayasa Ulang pada perusahaan perlu memiliki metode yang terdiri atas beberapa tahapan (Victor SL Tan, 1994, hal 40-41) yaitu :
1. Memahami proses yang sedang berlangsung
Tahapan ini dilakukan dengan melakukan dokumentasi terhadap proses yang sedang berlangsung. Proses ini menggambarkan hubungan input dan output antara supplier, unit organisasi dan konsumen. Setelah proses dokumentasi, maka diharapkan dapat memahami atas proses yang sedang berlangsung selama ini.
2. Mencari proses yang hendak / perlu diubah
Tahap ini merupakan tahap yang terpenting. Dalam tahap ini setiap asumsi yang ada pada proses yang lama harus diuji untuk mencapai suatu solusi yang kreatif.
Tahap ini mencari alternatif yang dapat memberikan penyelesaian yang kreatif. Proses yang baru harus dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.
4. Mencari informasi yang diperlukan untuk mendukung proses baru
Proses yang baru akan dapat dijalankan apabila kebutuhan atas perubahan informasi yang diperlukan dapat dipenuhi. Hal ini didasarkan atas pengertian bahwa informasi menjadi kunci dalam menjalankan fungsi dalam proses yang baru.
5.Mengadakan uji kelayakan terhadap proses yang baru.
Tahap terakhir ini bertujuan untuk membuktikan bahwa proses baru ini dapat dinyatakan sukses. Flow Feasibility Study Examine Information Required Redesign Process Alternatives Challenge Current Process Understand Current Process N E W P R O C E S S O L D P R O C E S S
Source: Victor SL Tan, Change To Win : The Change Imparatives for Asia Companies, p 39 Gambar 2.1 Metode Rekayasa Ulang Victor SL Tan
Metode Rapid Re yang diajukan oleh Raymond l. Mangenelli dan Mark M Klein juga memiliki beberapa tahapan dalam melakukan rekayasa ulang (Raymond l. Mangenelli dan Mark M Klein, 1994, hal 30-31) yaitu :
1. Persiapan
Dimulai dengan pengembangan sebuah konsensus dari para eksekutif untuk menciptakan business goals dan objektive sebagai tujuan dilakukannya proyek rekayasa ulang. Lalu dilanjutkan dengan menentukan parameter proyek seperti : jadwal, biaya, waktu, dan organizational change sehingga didapat sebuah change
management plan. Pada tahap ini tim rekayasa ulang dibentuk dan dilatih.
2. Identifikasi
Tahap identifikasi ini memberikan pengertian atas model proses bisnis yang berpusat pada konsumen, mengidentifikasi proses-proses yang memberikan value added, serta penilaian performance, dan merekomendasikan secara spesifik proses-proses yang memiliki akibat yang tinggi sebagai sasaran dari rekayasa ulang.
3. Visi
Pada tahap ini dicari kesempatan-kesempatan untuk perubahan proses, menganalisa dan menjadikannya visi bagi radical changes.
4. Solusi
Tahap ini dibagi dua bagian yang pararel yaitu : desain teknikal yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan visi, dan desain sosial yang mengorganisir sumber daya manusia yang menjalankan proses rekayasa ulang.
5. Transformasi
Pada tahap ini menjalankan visi, dan melaksanakan perubahan dari proses-proses yang baru.
2.2.4. Sasaran Dari Rekayasa Ulang
Untuk mencapai hasil yang efektif dan efisien bagi perusahaan, sebuah rekayasa ulang memiliki beberapa sasaran yang akan berdampak secara langsung terhadap persuhaan ataupun secara tidak langsung kepada pelanggan seperti (Victor S.L Tan, 1994, hal 41):
1. Meningkatkan Value-Added Content
Proses yang tidak mempengaruhi value/nilai dari hasil akhir output harus ditiadakan, sehingga diperoleh proses yang benar-benar memberikan value-added bagi pelanggan.
2. Mempersingkat waktu proses
Pada umumnya hasil yang diinginkan dari sebuah rekayasa ulang adalah proses baru yang apabila dinilai secara waktu akan lebih cepat dari proses lama. Adapun hal-hal yang mempengaruhi lamanya waktu dari suatu proses antara lain adalah : work flow, pelaksanaan proses, produktivitas.
3. Memaksimalkan fleksibilitas
Peningkatan fleksibilitas diperoleh dengan usaha untuk memperoleh kemampuan untuk membuat keputusan pada saat yang tepat. Proses pembuatan keputusan inilah yang akan dipercepat melalui rekayasa ulang.
Dengan mendengarkan keinginan dan menghargai value/nilai dari pelanggan maka akan didapat suatu proses yang menghasilkan output yang berkualitas bagi pelanggan.