• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Realitas sosial merupakan suatu struktur mengenai fakta-fakta kemanusiaan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Realitas sosial merupakan suatu struktur mengenai fakta-fakta kemanusiaan."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Realitas sosial merupakan suatu struktur mengenai fakta-fakta kemanusiaan. dengan kata lain, semua unsur yang mendukung aktivitas yang menjadi fakta kemanusiaan terarah pada tercapainya tujuan. Pembangunan sebuah pabrik Bakalan misalnya, ditujukan untuk mendapat keuntungan secara finansial. adapun fakta kemanusiaan tersebut tumbuh sebagai suatu reSPon dari subjek kolektif ataupun individu terhadap situasi dan kondisi dalam diri dan sekitarnya. artinya, pembangunan pabrik Bakalan merupakan suatu percobaan dari subjek untuk mengubah situasi agar cocok dengan aSPirasi subjek.

Realitas sosial di dalamnya biasanya meliputi permasalahan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, adat-istiadat, mitos dan sebagainya. Begitu juga pada karya sastra yang memiliki kaitan dengan institusi sosial, karena sastra memiliki fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Karya sastra menyajikan sebuah kehidupan. Kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subyektif manusia. Jadi, permasalahan studi sastra merupakan masalah sosial yang meliputi masalah tradisi, norma, adat, kaidah, simbol, dan mitos. Levi Strauss menganggap bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya dapat dikatakan sebagai bahasa atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu.

(2)

2

Levi-Strauss juga menegaskan bahwa mitos adalah bahasa. Mitos atau dongeng diketengahkan karena merupakan perwujudan dari pemikiran-pemikiran masyarakat sederhana tersebut dimana hal-hal yang tidak masuk akal ditemukan. Kemiripan dongeng satu dengan yang lain, walaupun dongeng-dongeng tersebut berasal dari daerah yang berbeda-beda, dipandang bukanlah suatu kebetulan. Kemiripan ini menjadi landasan Levi-Strauss untuk mengkaji nalar manusia. Alasan lain dikajinya mitos adalah persamannya dengan bahasa dimana mitos dan bahasa kedua-duanya adalah media komunikasi untuk menyampaikan pesan dan juga adanya aSPek langue dan parole dalam mitos yang ditunjukkan dengan beradanya mitos dalam reversible dan non-reversible time. Diajukan juga suatu pandangan bahwa karena makna dalam bahasa terletak pada kombinasi fonem-fonem maka mitos juga perlu dikaji dengan melihat “kombinasi dari berbagai tokoh dan perbuatan mereka serta posisi mereka masing-masing dalam kombinasi tersebut” (Ahimsa-Putra, 2001: 84).

Implikasi dari pandangan tersebut adalah munculnya asumsi-asumsi dasar pengkajian mitos yaitu mitos terbentuk dari constituent units. Walaupun unit-unit dalam mitos ini sama seperti unit-unit bahasa, mereka juga berbeda satu dengan yang lain yang kemudian disebut sebagai gross constituent units atau mythemes, dan mitos diperlakukan sebagai simbol dan tanda sekaligus.

Selain itu menurut Levi-Strauss keterkaitan bahasa dan budaya, bahwa bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. selain itu bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. bahasa merupakan kondisi bagi

(3)

3

kebudayaan. Dengan kata lain melalui bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan dalam arti diakronis. korelasi bahasa dan budaya terjadi pada tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada statistical models (Ahimsa-Putra, 2001 : xv).

Levi Strauss menyatakan bahwa dalam pandangan struktural mampu melihat fenomena sosial budaya yang mengekSPresikan seni, ritual, dan pola-pola kehidupan. Hal ini merupakan representasi struktur luar yang akan menggambarkan dalam human mind. Naskah drama Leng menarik untuk diteliti karena pertama, persoalan-persoalan yang diangkat naskah drama berbahas Jawa Leng lekat dengan kehidupan rakyat dan masyarakat pinggiran yang selama ini termarjinalkan. Kedua, naskah drama Leng sebagai sebuah karya sastra berbahasa Jawa memiliki struktur yang menarik untuk diteliti. Ketiga, nalar manusia (human mind) Jawa dalam cerita Leng menarik untuk diungkap melalui analisis struktural Levis-Strauss. Mengikuti pendapat Ahimsa-Putra (2001: 295) yang menyebutkan bahwa human mind diterjemahkan sebagai nalar manusia. Nalar manusia dalam Strukturalisme Levi-Strauss, berkaitan erat dengan makna bawah sadar (unconsciousness).

Naskah drama berbahasa Jawa yang berjudul Leng merupakan naskah drama berbahasa jawa yang mampu mewakili kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hukum di masyarakat. Tokoh–tokoh dalam Leng merupakan gambaran dari orang–orang pinggiran yang terbuang dan tertekan batinnya. Leng menonjolkan persoalan–persoalan masyarakat yang membutukan pembelaan dan perlindungan. Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa kata Leng diartikan sebagai lubang di

(4)

4

tanah tempat tinggal gangsir, lubang dari jarum jahit (Poerwadarminta, W.JS. 1939: 266).

Naskah drama Leng merupakan salah satu naskah dari kumpulan tetralogi “Gapit” yang terdiri dari naskah drama Jawa yang berjudul Rol, Leng, Tuk dan Dom. Keempat naskah tersebut mempunyai tema terhadap kepekaan rasa dan ketajaman indera itu pula yang selama ini menjadi ciri khusus. Problem-problem sosial, termasuk benturan budaya akibat kuatnya pengaruh modernisasi.

1.2 Rumusan Masalah

Naskah drama berbahasa Jawa Leng karya Bambang Widoyo SP merupakan karya sastra yang bersifat realis. Drama realis menjadi sarana propaganda transformasi sosial. Sedemikian besar pengaruh sebuah teks drama terhadap upaya transformasi sosial, maka pada penelitian ini dipilih salah satu naskah drama berbahasa Jawa karya Bambang Widoyo SP yang berjudul Leng. Objek penelitian ini menarik untuk dianalisis karena mengangkat masalah sosial, politik, ekonomi dan hukum yang menjadi persoalan pokok dalam masyarakat. Dari pembacaan naskah drama Leng karya Bambang Widoyo SP ditemukan permasalahan– permasalahan yang membutuhkan jawaban. Permasalahan yang muncul yaitu pertama, bagaimana struktur cerita yang ada dalam naskah drama Jawa Leng karya Bambang Widoyo SP. Kedua, bagaimana nalar manusia (human mind) Jawa dalam naskah drama Leng Karya Bambang Widoyo SP. Ketiga, hubungan struktur dalam dengan human mind pada naskah Jawa Leng karya Bambang Widoyo SP.

(5)

5

Berdasarkan uraian di atas, maka naskah drama berbahasa jawa Leng karya Bambang Widoyo SP dipilih sebagai objek penelitian dengan judul “Analisis Struktural Levi-Strauss Dalam Naskah Drama Leng Karya Bambang Widoyo SP”. 1.3 Tujuan Penelitian

a. Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan teoritis penelitian ini adalah untuk mengenali struktur cerita dan nalar manusia (human mind) yang tercermin dalam naskah drama Leng melalui kajian akademis yang menggunakan teori struktural Levi-Strauss.

b. Tujuan praktis penelitian ini adalah menyimpulkan hubungan strukur dalam dengan nalar manusia (human mind) agar mengetahui realitas kehidupan nyata yang tercemin pada naskah drama Leng karya Bambang Widoyo SP. 1.4 Ruang lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada pembahasan struktur permukaan (surface structure) dan struktur dalam (deep structure) untuk menemukan nalar manusia (humand mind) Jawa dalam naskah drama Leng karya Bambang Widoyo SP. 1.5 Tinjauan Pustaka

Sudikan membahas tentang pemakaian bahasa ragam ngoko dan tema-tema sosial tertentu dalam buku Gapit: 4 naskah drama berbahasa Jawa Rol, Leng, Tuk, dan Dom. Sudikan (2001: 249) menulis bahwa penggunaan bahasa Jawa ngoko tersebut merupakan wacana perlawanan civil society terhadap negara. Selain itu, keempat lakon drama tersebut bercerita tentang kehidupan melarat dan miskin kaum tingkat paling bawah dari masyarakat Jawa. Tema dari keempat naskah berbahasa Jawa tersebut isu–isu sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan

(6)

6

politik di Indonesia. Problem pemukiman, kesempatan mendapat tempat tinggal yang layak tidak didapatkan oleh kaum miskin, problem tercecernya masyarakat pinggiran, dan harapan serta keputusan orang–orang yang kalah untuk sekedar mempertahankan harga diri mereka (Sudikan, 2001: 245). Bambang Widoyo SP (1998) sendiri di dalam bukunya Gapit : 4 Naskah Sandiwara Berbahasa Jawa tidak membahas tentang naskah – naskah drama yang telah ditulis dan dipentaskannya.

Penelitian terdahulu mengenai naskah drama Jawa Leng pernah diteliti dalam bentuk skripsi oleh Azzam, STKIP PGRI Jombang 2011 dengan judul Leng: Sebuah Kajian Budaya Jawa, menggunakan teori sosiologi sastra (Wellek & Werren dalam Damono).

Selain itu, naskah drama Jawa Leng juga pernah diteliti oleh Rooslain Wiharyanti mahasiswa UI, dalam bentuk skripsi. Judul penelitian tersebut adalah Kritik Sosial Dalam Drama Jawa Rol & Leng Karya Bambang Widoyo SP Sebuah Telaah Terhadap Drama menggunakan teori drama Waluyo, Atar Semi, Luxemburg, dan Oemarjati, Teori Bakdi Sumanto pendekatan intrinsik.

Berdasarkan ketiga penelitian terdahulu, maka perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah dalam segi permasalahan dan teori. Penelitian ini mencoba menjawab permasalahan mengenai sosial, budaya, politik, dan hukum dengan menggunakan teori sruktural Levi Strauss.

(7)

7 1.6 Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural Levi-Strauss. Teori ini merupakan pengembangan dari teori struktural yang pernah ada. Wellek (1989) mendefinisikan pendekatan intrinsik sebagai pendekatan yang mengkhususkan diri pada unsur – unsur karya sastra itu sendiri.

Berangkat dari pemahaman bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengungkap struktur permukaan, struktur dalam, dan nalar manusia Jawa di dalam naskah drama berbahasa Jawa Leng karya Bambang Widoyo SP maka dalam penelitian ini digunakan teori struktural Levi-Strauss sebagai alat analisa data. Hal ini dikarenakan strukturalisme Levi-Strauss mampu dan sesuai untuk mengungkap struktur yang ada dalam cerita, yaitu struktur permukaan (surface structure), struktur dalam (deep structure), dan nalar manusia (human mind) Jawa dalam naskah berbahasa Jawa Leng.

Menurut Ahimsa-Putra (2001: 67-71), strukturalisme Levi-Strauss memiliki asumsi-asumsi dasar yang harus dipahami terlebih dahulu, yaitu pertama, berbagai aktivitas sosial dan hasilnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan–pesan tertentu. Oleh karena itu terdapat ketertataan (order) serta keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena tersebut. Kedua, dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetik, yaitu kemampuan untuk menyusun suatu struktur (structuring) tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Ketiga, relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu menentukan makna fenomena tersebut, atau dengan kata lain relasi sinkronis lebih menentukan

(8)

8

daripada relasi diakronis. Dalam menelaah suatu fenomena atau suatu sistem, relasi sinkronis ditempatkan mendahului relasi diakronis, artinya sebelum perkembangan suatu sistem atau fenomena tersebut secara diakronis harus diketahui terlebih dahulu kondisi sinkronisnya atau relasi-relasinya dengan fenomena yang lain dalam suatu titik waktu tertentu. Keempat, relasi–relasi yang berada pada struktur dalam dapat disederhanakan menjadi oposisi berpasangan (binary opposition) yang mempunya dua pengertian yaitu, oposisi biner yang bersifat ekslusif dan oposisi biner yang bersifat tidak ekslusif. Oposisi biner yang bersifat ekslusif misalnya pada kategori seperti: menikah dan tidak menikah. Sedangkan oposisi biner yang bersifat tidak ekslusif, misalnya pada oposisi-oposisi: air-api, siang-malam, tua-muda, dan sebagainya. Oleh karena itu, strukturalisme Levi-Strauss menampilkan makna-makna dari berbagai fenomena budaya dengan cara seperti di atas sehingga tidak hanya mengungkapkan makna-makna acuannya (referential) saja, akan tetapi juga mengungkapkan tatabahasa yang ada di balik proses munculnya fenomena budaya itu sendiri yang bersifat tidak disadari. Tatabahasa dalam konteks tersebut adalah tatabahasa struktur karya sastra itu sendiri atau dengan kata lain hukum-hukum yang mengatur proses perwujudan berbagai macam fenomena semiotis dan simbolis yang bersifat tidak disadari.

Ahimsa-Putra (2001: 183-4) menyebutkan bahwa strukturalisme Levi-Strauss tidak hanya menarik dalam preSPektifnya tetapi juga dalam metodenya. Dengan mengambil linguisti sebagai contoh, levi-Strauss memikirkan masyarakat sebagai sehimpunan tanda atau sebuah struktur sehingga Levi-Strauss bergeser

(9)

9

dari gagasan tentang masyarakat sebagai suatu totalitas fungsi-fungsi kepada gagasan tentang suatu sistem komunikasi. Selanjtnya Ahimsa-Putra (2001: 23-33) juga mengambil pendapat Levi-Strauss yang menyebutkan bahwa linguistik merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang paling maju karena telah memberikan pintu masuk bagi disiplin ilmu sosial budaya untuk mencapai posisi ilmiah sebagaimana yang telah dicapai oelh ilmu pasti dan alam. Levi-Strauss memilih model linguistik dikarenakan adanya persamaan-persamaan yang tampak antara mitos dan bahasa. Mitos dan bahasa menurut Levi-Strauss merupakan sebuah media, alat, atau sarana untuk berkomonikasi, untuk menyampaikan pesan-pesan dari suatu kelompok ke kelompok lainnya, atau dari seseorang pada orang lain. Pesan-pesan yang terdapat pada sebuah mitos dapat diketahui proses penceritaannya, seperti halnya pesan-pesam bahasa dapat diketahui dari pengucapannya. Levi-Strauss juga melihat kategori-kategori bawah-sadar (unconscious) bukanlah sesuatu irational, maka dari itu Levi-Strauss memandang sistem fonologi dalam linguistik struktural sebagai model yang meliputi banyak hal, jernih, dan universal bagi nalar bawah-sadar yang menopang segala fenomena sosial. Setiap item bahasa yaitu kalimat, kata, morfem, fonem, dan sebagainya, hadir untuk memenuhi fungsi komunikasi. Akan tetapi, tidak satupun unsur bahasa dapat dievaluasi jika tidak dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya.

Dalam Ahimsa-Putra, (2001: 42), Saussure telah mendefinisikan tanda sebagai sebuah entitas atau kesatuan yang lahir dengan dua bagian, yaitu penanda dan petanda, signified dan signifier. Konsep Saussure ini mempengaruhi

(10)

Levi-10

Strauss dalam menganalisis fenomena budaya karena Saussure juga membahas bahsa sebagai suatu gejala sosial.

Selanjutnya Levi-Strauss mengaitkan konsep sinkronis dan diakronis dengan langue dan parole. Langue merupakan sistem diakronis dari tanda, sedangkan parole merupakan sistem sinkronisnya. Langue bersifat reversible time “waktu yang dapat diulang”, sedangkan parole bersifat non-resversible time “waktu yang tidak dapat diulang”. Mitos juga memiliki sistem temporal yang merupakan kombinasi dari dua sistem bahasa tersebut. Mitos selalu menunjukan pada kejadian masa lalu, tetapi juga merujuk pada masa kini dan masa yang akan datang. Maka dari itu, struktur ganda mitos yang historis dan sekaligus ahistoris menjelaskan bagaimana sebuah mitos dapat mengungkapkan bidang parole dan dianalisis seperti paroledan juga bidang langue tempat mitos dibentuk ( Levi-Strauaa, 1963: 209-10). Ahimsa-Putra (2001: 81) menyebutkan bahwa sifat resversible pada mitos terlihat pada munculnya pola-pola yang sama pada episode-episode yang berlainan serta mitos selalu menunjukan ke peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, di lain pihak pola-pola khas dari mitos merupakan ciri yang membuat mitos tetap dapat relavan dan operasional dalam konteks yang ada sekarang.

Analisis Levi-strauss terhadap mitos juga dipengaruhi oleh teori informal. Menurut teori ini mitos merupakan suatu kisah yang memuat sejumlah pesan yang tersimpan dalam keseluruhan mitos. Dalam mitos, terjadi komunikasi antara dua generasi tetapi bersifat satu arah (Ahimsa-Putra, 2001: 92). Levi-Strauss menggambarkan proses penyampaian pesan ini sebagai beriku.

(11)

11

Tabel I Elemen-Elemen Pesan

1 2 5 6 8

1 3 4 5 7 8

1 2 3 5 6 7

1 2 4 6 8

1 2 3 4 5 6 7 8

Tabel di atas menyiratkan bahwa untuk memahami mitos yang dianalisis, harus membaca teks baru yang muncul di hadapan kita dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah, kolom demi kolom. Susunan nomor-nomor di atas merupakan unsur-unsur pesan, sedangkan lima baris ke bawah merupakan frekuensi penyampaian pesan. Deretan elemen-elemen lengkap di baris paling bawah merupakan kalimat-kalimat lengkap yang dapat didengar setelah dikumpulkan dari tiap penyampaian pesan. Susunan nomor-nomor yang merupakan unsur-unsur pesan yang disampaikan tersebut terlihat mempunyai dua dimensi yaitu horisontal dan vertikal atau sigtagmatis dan paradigmatis (Ahimsa-Putra, 2001: 97).

Selanjutnya, Kurzweil (2004: 40) menyebutkan bahwa Levi-Strauss memfokuskan diri pada pola universal oposisi untuk menjelaskan realitas sosial. Dasar-dasar pemikiran oposisi biner yang ditemukan dalam linguistik dinyatakan dalam bentuk struktur tersendiri oleh Levi-Strauss dan dinamakan sebagai oposisi biner atau binary opposition. Oposisi biner inilah yang digunakan oleh Levi-Straus dalam setiap analisisnya. Penyusunan struktur model Levi-Levi-Strauss

(12)

12

dilakukan dengan menggunakan model sinkronis dan diakronis untuk menemukan surface structure atau struktur permukaan, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan oposisi biner yang dihubungkan dengan bidang ilmu lain yang relevan, di antaranya sosiologi, psikologi, dan sebagainya sehingga sampai pada tataran deep structure atau struktur dalam. Kemudian esensi dari deep structure ini disebut sebagai innare atau pembawaan. Di dalam diri manusia terdapat sesuatu yang disebut innate atau pembawaan yang secara genetik merupakan mekanisme yang terbatas dan bertindak sebagai kekuatan penyusunan struktur (Udasmoro, 1999: 25). Dari innate inilah akan ditemukan human mind yang menjadi muara dari analisis Levi-Strauss.

Mitos sebagai “bahasa” memiliki “tata bahasa” sendiri. Untuk mengungkapkan tata bahasa atau makna cerita Leng secara keseluruhan harus dilakukan analisis unsur terkecil bahasa Leng, yaitu miteme. Miteme adalah unsur terkecil dari ceritera atau mitos. Kedudukan miteme dalam tata bahasa karya sastra sama dengan kedudukan morfem dalam bahasa. Miteme-miteme dalam Leng diperlukan sebagai simbol dan tanda sekaligus. Simbol adalah segala sesuatu yang bermakna atau mempunyai makna acuan. Selain itu, simbol selalu mengacu pada sesuatu yang lain, sedangkan tanda hanya bernilai jika berada dalam konteks. Miteme merupakan simbol karena memiliki makna acuan, akan tetapi miteme juga merupakan sebuah tanda karena mempunyai nilai dalam konteks tertentu (Ahimsa-Putra, 2001: 87).

(13)

13

Ahimsa-Putra (2001: 94S-5) mengutip pendapat Levi-Strauss bahwa miteme adalah unsur-unsur dalam kontruksi wacana mitis (mythical discourse), yang juga merupakan satuan-satuan yang bersifat kosokbali (oppostional). Dalam menganalisis sauatu mitos atau cerita, makna dari kata yang ada dalam cerita harus dipisahkan dengan makna miteme yang juga berupa kalimat atau rangkaian kata-kata dalam cerita tersebut. Oleh karena itu, dalam menganalisis cerita Leng secara struktural, makna dari kata yang ada dalam cerita harus dipisahkan dengan makna miteme yang juga berupa kalimat atau rangkaian kata-kata dalam cerita tersebut. Selain itu, sebuah cerita hanya memberikan pada pendengarnya sebuah kisi yang hanya dapat ditentukan dengan melihat aturan-aturan yang mendasari susunannya.

Selanjunya miteme-miteme dalam cerita Leng yang menunjukkan relasi-relasi tertentu, masing-masing diberi nomor sesuai dengan urutannya dalam cerita. Tiap-tiap miteme memperlihatkan suatu relasi, yaitu suatu subyek yang melakukan fungsi tertentu. Relasi yang sama akan muncul secara diakronis di tempat lain. Selain itu, cerita Leng memiliki waktu yang bisa berbalik dan tidak, atau dengan kata lain diakronis dan sinkronis, maka miteme-miteme yang ditemukan harus disusun secara sinkronis dan diakronis juga atau paradigma dan sintagmatis. Ahimsa-Putra (2001: 96) menyebutkan bahwa unit- unit yang harus dianalisis lebih lanjut adalah kumpulan relasi-relasi (bundle of relations) tersebut. Dengan menyusun miteme-miteme secara paradigmatik dan sintagmatik akan ditemukan susunan miteme dengan dua dimensi seperti di bawah ini.

(14)

14

Tabel II Susunan Miteme

1 2 4 5 8 2 3 4 6 7 1 3 4 5 7 8 1 2 5 6 7 3 4 5 6 8 1 2 3 4 5 6 7 8

Tabel di atas menggambarkan bahwa untuk dapat memahami mitos atau cerita yang dianalisis,teks baru yang muncul harus dibaca dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah atau kolom demi kolom. Pembacaan secara sintagmatik dan paradigmatik tersebut bertujuan untuk mengungkap struktur permukaan dan struktur dalam sehingga dapat ditemukan nalar manusia human mind melalui cerita tersebut.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini membahas salah satu naskah karya Bambang Widoyo SP yang berjudul Leng. Sumber data utama yang digunakan adalah naskah drama berbahasa Jawa Leng karya Bambang Widoyo SP. Metode yang digunakan adalah metode struktural Levi-Strauss. Maka sesuai dengan teori struktural Levi-Strauss, diperlukan metode analisis sebagai berikut. Pertama, dilakukan pembacaan keseluruhan cerita atau pembacaan heuristik terlebih dahulu. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik

(15)

15

adalah berdasarkan konvensi semiotik tingkat kedua (Pradopo, 1995:84). Dari pembacaan keseluruhan ini akan diperoleh pengetahuan dan kesan tentang isi cerita, tentang tokoh-tokohnya, tentang berbagai tindakan yang mereka lakukan dan berbagai peristiwa yang mereka alami (Ahimsa-Putra, 2001: 211). Selanjutnya proses pembacaan ulang atau retroaktif yaitu tahap pembacaan hermeneutik. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang atau retroaktif sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan kaidah sastranya (Pradopo, 1995: 84). Pada bagian ini data-data dikelompokkan kemudian disusun berdasarkan episode-episode yang mendeskripsikan suatu hal yang penting dalam cerita tersebut. Pengelompokan data-data ke dalam episode-episode dimaksudkan untuk mempermudah proses analisa data. Pengelompokan ini mengikuti strategi analisis struktural yang dilakukan Ahimsa-Putra (2001: 211) ketika menganalisis dongeng Bajo berjudul Pitoto „Si Muhamma‟.

Data dalam episode-episode tersebut kemudian ditafsirkan melalui pengoposisibineran unsur-unsur cerita. Dari pengoposisibineran unsur-unsur tersebut akan ditemukan unit-unit episode. Untit-unit episode tersebut selanjutnya disusun ke dalam tabel-tabel untuk menemukan miteme-miteme yang ada. Miteme ini dicari pada tingkat kalimat. Suatu kalimat dapat disebut miteme apabila memperlihatkan suatu relasi atau hubungan-hubungan tertentu antar unsur dalam cerita. Kemudian miteme ini disusun secara sinkronik dan diakronik atau mengikuti sumbu paradigmatis dan sintagmatis, karena maksna suatu unsur mitos atau cerita tergantung pada relasi sitagmatis dan paradigmatisnya dengan unsur

(16)

16

yang lain (Ahimsa-Putra, 2001: 215). Tahapan pengumpulan data yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:

a. Menentukan teks yang digunakan sebagai objek, yaitu naskah drama Leng karya Bambang Widoyo SP.

b. Mengarahkan fokus penelitian yaitu mencakup surface structure dan deep structure naskah drama Leng.

c. Mengumpulkan data-data baik dari sumber kepustakaan cetak yang ada hubungannya dengan objek penelitian maupun dari data acuan elektronik. d. Menganalisis objek penelitian dengan analisis struktural Levi-straus

Setelah melakukan tahap pengumpulan data, selanjutnya tahap analisis data sebagai berikut:

a. Untuk menemukan miteme-miteme Leng, cerita dibagi dalam episode-episode. Setiap episode berisi deskripsi tindakan atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Episode-episode ini kemudian ditafsirkan melalui pengoposisi bineran unsur-unsur dalam cerita Leng. Kemudian dari pengoposisi binersan ini akan ditemukan unit-unit episode sebagai titik awal dari pencarian miteme-miteme cerita Leng.

b. Menemukan surface structure Leng, miteme-miteme tersebut disusun secara sinkronis dan diakronis atau mengikuti sumbu paradigmatis dan sintagmatis. c. Menemukan deep stucture Leng, miteme-miteme dibuat ke dalam pola-pola

oposisi biner. Untuk menemukan faktor-faktoe budaya pada masyarakat Jawa digunakan bidang-bidang ilmu lain.

(17)

17

d. Menemukan struktur pembawaaan (innate structure) Leng yang merupakan refleksi nalar manusia (human mind) yang melatarbelakangi munculnya cerita Leng, sebagai hasil interpretasi terhadap deep structure dan surface structure. 1.8 Sistematika penyajian

Hasil Penelitian analisis struktur Levi-Strauss pada naskah drama berbahasa Jawa Leng karya Bambang Widoyo SP ini disajikan dalam empat bab, yaitu sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang, berisi hal-hal yang melatarbelakangi penelitian rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian.

1.2 Rumusan Masalah, berupa pertanyaan-pertanyaan masalah yang akan dibahas dalam penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian, berisi hal yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian, berisi batasan-batasan dalam penelitian.

1.5 Tinjauan Pustaka, berisi penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan objek penelitian.

1.6 Landasan Teori, berisi teori yang digunakan sebagai dasar pemikiran dalam penelitian ini, yaitu teori struktural Levi-Strauss.

1.7 Metode Penelitian, berisi cara-cara yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode identifikasi, metode deskripsi, metode analisis, dan metode riset kepustakaan.

(18)

18

1.8 Sistematika Penyajian, berisi urutan penyajian hasil penelitian dari awal sampai akhir dalam skripsi.

BAB II STRUKTUR PERMUKAAN (Surface Structure) DALAM NASKAH DRAMA “LENG”

Berisi episode-episode, unit-unit episode, dan miteme-miteme dalam naskah drama berbahasa Jawa Leng karya Bambang Widoyo SP. Langkah ini dilakukan untuk menemukan struktur permukaan (surface structure) Leng.

BAB III STRUKTUR DALAM (Deep Structure) DAN NALAR MANUSIA (Human Mind) DALAM NASKAH DRAMA “LENG”

Berisi pembahasan mengenai oposisi biner untuk menemukan struktur dalam (deep structure) Leng. Selanjutnya dari struktur dalam tersebut dicari struktur pembawaan (innate structure) yang sekaligus berfungsi sebagai nalar manusia (human mind) Jawa dalam cerita Leng.

BAB IV KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

Gambar

Tabel I Elemen-Elemen Pesan
Tabel II Susunan Miteme

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung keberhasilan shuttle diplomacy Indonesia dalam menyatukan pandangan negara-negara

Urusan Pemerintahan : 1.20 Urusan Wajib Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Adm KeuDa, Perangkat Daerah, Kepegawaian. Organisasi : 1.20.03

Jika Calon Peserta dinyatakan TIDAK LOLOS maka calon peserta tidak bisa mengambil Diklat di PIP Semarang dengan alasan apapun, Jika Calon peserta dinyatakan

Pendidikan luar sekolah sebagai sub sistem dalam sistem pendidikan nasional Indonesia harus memainkan peran ganda baik mendidik maupun mengajar dalam rangka

Berdasarkan hipotesis di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek diuretik dari crude ekstrak etanol herba pecut kuda dengan

Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini bertujuan untuk menyebarluaskan pengetahuan dan ketrampilan kepada para penjual umbi- umbian di Pasar Telo Karangkajen

menunjukkan hampir 80 persen responden yang umur kehamilannya berada pada trimester II dan III, kurang mengkonsumsi suplemen tablet besi, kurang mengonsumsi zat

Tugas Sarjana ini merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dan dibagi ke dalam tujuh bab dengan judul “Perencanaan Pengendalian Persediaan Bahan Baku