• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Resiliensi adalah kemampuan individu untuk tidak hanya bertahan melainkan juga tumbuh dan berkembang menjadi individu yang lebih baik setelah mengalami keadaan hidup yang sulit (Eisendrath,1996). Resiliensi memungkinkan individu untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang sukses dalam menghadapi keadaan hidup yang sulit. Kesuksesan dalam menghadapi kesulitan hidu tersebut dapat dilihat dari tumbuhnya kepercayaan diri individu untuk menghadapi berbagai rintangan yang mungkin muncul dalam kehidupan mendatang.

Pelling (2011) menyatakan bahwa resiliensi secara umum dimengerti sebagai derajat elastisitas dalam sistem, kemampuan untuk rebound (memantul) atau bounce back (melambung kembali) setelah merasakan stress atau goncangan. Kata resiliensi sendiri berasal dari kata “resilience” yang artinya daya pegas, daya kenyal. Gotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan indvidu untuk mengatasi, menghadapi, dan menjadikan suatu rintangan sebagai kekuatan diri dan tetap melaksanakan perubahan dalam ujian kehidupan Kapastitas itulah yang membuat seseorang bisa bertahan dan mampu beradaptasi dalam masa kesukaran.

Lebih lanjut, Reivich dan Shatte dalam bukunya The Resiliency Factors mengulas resiliensi sebagai kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi

(2)

terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma yang dialami dalam kehidupannya dan orang yang resilien itu akan mengalami pencapaian-pencapaian dalam hidup (Reivich dan Shatte, 2002). Sejalan dengan definisi tersebut, Connor dan Davidson (2003) mendefinisikan resiliensi sebagai sebuah kualitas personal seseorang yang memungkinkannya untuk berkembang dalam menghadapi menghadapi kesulitan dalam hidup. Dengan kualitas personalnya yang dimilikinya, diharapkan individu yang mengalami kesulitan dalam hidup dapat bangkit dan tidak kalah dengan keadaan.

Walsh (2006) menyatakan resiliensi adalah lebih dari berjuang, melewati tantangan atau menghindar dari cobaan yang berat. Orang yang berjuang bisa tidak resilien beberapa bisa terjebak sebagai korban, merawat luka mereka dan terhambat dari perkembangan karena kemarahan dan rasa bersalah. Setiap individu memiliki stress kehidupan dalam dirinya, beberapa memiliki trauma, yang lain memiliki luka-luka, ada juga yang mengalami peristiwa yang menggoncangkan. Walsh (2006) menambahkan bahwa resiliensi berbicara mengenai kemampuan untuk menangani kesukaran: apakah trauma bisa tidak terselesaikan atau tidak atau apakah pengalaman kesukaran akan menghancurkan diri seseorang atau tidak. Hal serupa dinyatakan oleh Cougle, dkk (2008) resiliensi membuat seseorang bisa bertahan dan bebas secara emosional terhadap sebuah trauma. Kaplan dalam Vambreda (2001) mengemukakan bahwa resiliensi adalah sebuah konstruk psikologis yang didefinisikan dalam hal kehadiran faktor

(3)

protektif (personal, sosial, keluarga dan jaringan institusi) yang membuat individu bertahan dalam stress kehidupan.

Berdasarkan definisi-definsi yang telah disebukan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan dan kapasitas individu untuk beradaptasi dan bangkit kembali setelah mengalami peristiwa sulit dalam hidupnya, kemampuan ini bahkan membuat individu mengalami pencapaian-pencapaian kehidupan.

2. Faktor-faktor Pembentuk Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002) dalam bukunya The Resilience Factor: Seven Essential Skills For Overcoming Life's Obstacles menjelaskan ada tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu emotion regulation (regulasi emosi), impuls control (pengendalian impuls), optimism (optimisme), empathy (empati), causal analysis (analisis penyebab masalah), self-efficacy (efikasi diri) dan reaching out.

a. Regulasi Emosi (Emotion Regulation)

Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, diantaranya adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktunya bersama orang yang marah, menggerutu, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. (Reivich dan Shatte, 2002).

(4)

b. Pengendalian Impuls (Impuls Control)

Pengendalian Impuls merupakan kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif dan berperilaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain (Reivich dan Shatte, 2002). Kemampuan Individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki.

c. Optimism (Optimism)

Optimisme adalah cara pandang yang ada pada diri individu yang melihat bahwa masa depannya adalah masa depan yang cemerlang. Individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich dan Shatte, 2002). Individu yang optimis memiliki kesehatan yang lebih baik, jarang mengamali depresi, serta memiliki produktivitas kerja yang tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis. Siebert (2005) juga menyatakan bahwa sebagian individu memiliki kecendeerungan untuk memandang hidup secara optimis sementara sebagian individu lain hanya optimis pada situasi tertentu. Orang yang resilien adalah orang yang optimis. Mereka percaya bahwa hal tersebut dapat mengubah hidup kearah yang lebih baik. Mereka mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol kehidupan mereka. Individu yang

(5)

optimis akan lebih sehat dan lebih sedikit depresi. Optimisme tentunya berarti bahwa kita melihat masa depan secara relatif cerah. Implikasi dari optimisme adalah kepercayaan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi di masa depan (Reivich dan Shatte, 2002).

d. Causal Analysis

Merupakan kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasi penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama (Reivich dan Shatte, 2002). Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berfikir explonatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat sehingga membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka fokus pada diri mereka dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah. Mereka mengarahkan hidup mereka dengan baik dan perlahan bangkit untuk meraih kesuksesan (Reivich dan Shatte, 2002).

e. Empati (Empathy)

Empati dapat di definisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap orang lain (Greef, 2005). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).

(6)

Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam berhubungan sosial (Reivich dan Shatte, 2002). Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang resilien, yaitu cenderung menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).

f. Efikasi Diri (Self-Efficacy)

Efikasi Diri merupakan hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi Diri mempresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich dan Shatte, 2002).

g. Pencapaian (Reaching Out)

Resiliensi telah dijelaskan lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu, faktor yang juga ikut berpengaruh terhadap resiliensi adalah kemampuan individu untuk meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa atau yang lazim disebut sebagai pencapaian (reaching out). Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out karena mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi memalukan. Individu seperti ini biasanya lebih memilih kehidupan standart dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup. Pencapaian penggambaran kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya mencakup pula keberanian seseorang untuk

(7)

menghadapi dan mengatasi segala ketakutan yang mengancam dalam hidupnya (Reivich dan Shatte, 2002).

3. Faktor-faktor Pengaruh Resiliensi

Beberapa faktor yang mempengaruhi Resiliensi (Grotberg, 2004), yaitu : a. Tempramen

Menurut Grotberg, tempramen mempunyai pengaruh terhadap cara individu bereaksi terhadap stimulus atau rangsangan. Tempramen dasar seseorang akan berpengaruh terhadap kepribadian individu yang akan membentuk dirinya menjadi orang yang lebih berhati-hati atau menjadi orang yang mudah mengambil resiko. Masyarakat Karo merupakan kelompok masyarakat yang tangguh. Orang Karo dikenal dengan tempramen mereka yang tidak mudah menyerah dalam keadaan apapun serta berani mengambil resiko (Bangun, 1986).

b. Intelegensi

Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa, rata-rata inteligensi penting untuk menjadikan seseorang pribadi yang resilien. Grotberg (1999) menemukan bahwa, kemampuan resilien bukan hanya dipengaruhi oleh satu faktor faktor tunggal, melainkan ada beberapa faktor pendukung lain yang harus terpenuhi.

c. Budaya

Perbedaan budaya menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat resiliensi seseorang. Perempuan Karo pada umumnya dibesarkan dengan budaya yang mengajarkan mereka untuk menjadi sosok yang tangguh. Perempuan Karo sejak kecil sudah terbiasa dengan pekerjaan yang berat seperti membantu

(8)

orang tua mengurus rumah tangga dan mencari nafkah tetapi tidak dijadikan sebagai kaum yang dominan di dalam adat, bahkan cenderung tidak diperhitungkan keberadaannya. Berbeda dengan laki-laki dalam masyarakat Karo yang menjadi sosok dominan dan pemimpin dalam kegiatan-kegiatan adat dan dalam keseharian. Dibesarkan dengan tuntutan adat sebagai pelengkap, menjadikan perempuan Karo berbeda dengan perempuan dari suku lainnya seperti suku minang misalnya. Perempuan Karo menjadi pribadi yang lebih tangguh dan tidak mudah menyerah, giat dalam mencari nafkah. Perempuan Minangkabau merupakan kaum yang diutamakan sejalan dengan sistem materilinear pada masyarakat Minang. Jika perempuan Karo disebut Sirukatnaken (penyendok nasi) perempuan suku minang disebut Bundo Kanduang yang berarti perempuan yang melindungi rumah dan tempat kembali.

d. Usia

Usia mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang. Individu dengan usia dewasa muda (20-40 tahun keatas) dan individu dengan usia dewasa madya (40 tahun keatas-60 tahun) merupakan golongan individu yang mempunyai pengalaman hidup berbeda dan lebih kaya daripada kelompok usia anak dan dewasa. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman, kemampuan individu akan semakin bertambah untuk menjadi seseorang yang resilien.

e. Gender

Perbedaan gender, mempengaruhi perkembangan resiliensi. Perempuan pada dasarnya lebih memiliki sifat saling berbagi perasaan dan lebih sensitif terhadap orang lain. Sementara itu, laki-laki lebih pragmatik, berfokus pada

(9)

masalah dan hasil dari tindakan yang telah dilakukan. Menurut Einsenberg dkk (2003), laki-laki mampu beradaptasi dengan berbagai macam kondisi untuk mengubah keadaan dan fleksibel dalam memecahkan masalah, sedangkan perempuan memiliki fleksibilitas adaptif yang kecil, tidak mampu untuk bereaksi terhadap perubahan keadaan, cenderung keras hati atau menjadi kacau ketika menghadapi perubahan atau te-kanan, serta mengalami kesukaran untuk menyesuaikan kembali setelah meng-alami pengalaman traumatik.

4. Faktor-faktor Protektif Resiliensi

Faktor protektif memiliki peran penting dalam mengurangi efek negatif dari kesulitan hidup dan menguatkan resiliensi. Beberapa individu berhasil mengatasi rintangan dan menghancurkan lingkaran setan. Penelitaian sebelumnya menunjukkan bahwa tiga variabel yang berperan sebagai faktor protektif yang menghalangi dampak dari pengalaman yang menyulitkan dan hal ini berkaitan dengan Social Support. Faktor-faktor tersebut adalah (Schoon, 2006):

a. Atribut-atribut individu

Atribut-atribut individual yang menunjukkan faktor protektif individu seperti, tingkat pendidikan, memiliki banyak hobi, jarang menjadi orang yang mudah diserang oleh teman sebaya, menunjukkan keyakinan yang kuat akan kemampuan diri sendiri, individu menunjukkan perencanaan yang baik dengan rekan kerja dan pilihan berkarir, dan memiliki pandangan yang positif pada hidup.

(10)

b. Karakteristik keluarga

Karakteristik keluarga diasosiasikan dengan penyesuaian positif selama masa kanak-kanak dan remaja termasuk lingkungan keluarga yang stabil dan mendukung hal ini dikarakteristikan dengan orang tua yang mampu memahami anak, aktif dan ikut berpartisipasi dalam pendidikan anak dan perencanaan karir.

c. Aspek konteks sosial yang lebih luas

Aspek konteks sosial yang lebih luas termasuk orang-orang diluar orang tua yang memberikan dukungan. Lingkungan juga berperan penting dalam membantu perkembangan adaptif. Selain itu, dorongan komunitas yang positif seperti dukungan tetangga dan rasa saling memiliki dalam komunitas.

5. Fungsi Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002) dalam The Resilience Factor: Seven Essential Skills For Overcoming Life's Obstacles menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal sebagai berikut :

a. Overcoming

Dalam kehidupan, terkadang manusia menemuai kesengsaraan, masalah-masalah yang menimbulkan sterss yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari kerugian-kerugian yang menjadi akibat dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah point of viewmenjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan

(11)

sendiri. Sehingga hidup terasa lebih termotivasi, produktif dan bahagia meski dihadapkan dengan berbagai tekanan hidup.

b. Steering through

Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi masalah, tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masala sepanjang perjalanan hidupnya.

c. Bouncing Back

Orang yang resilien biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari stresssor kehidupan mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengaatasi pengalaman yang mereka rasakan.

d. Reaching out

Selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, sterss atau menyibukkan diri, resiliensi juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar

(12)

pembelajaran serta pengalam baru. Individu dengan karakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu : tepat dalam memperkirakan resiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam hidup mereka.

6. Sumber-Sumber Resiliensi

Grotberg (1999) mengemukakan beberapa sumber dari resiliensi, yaitu : a. I Have (sumber dukungan eksternal)

Merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini dapat diperoleh melalui keluarga, lingkungan yang menyenangkan maupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan, memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri dan mendapat jaminan kesehatan, pendidikan serta kesejahteraan sehingga hal ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri.

b. I Am (kemampuan individu)

Merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri individu. Kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan penyayang sesama. Mereka juga memiliki kepedulian, merasakan kebanggaan terhadap diri mereka sendiri dan memiliki harapan serta kesetiaan.

(13)

c. I Can (kemampuan sosial dan interpersonal)

I Can merupakan kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan intrapersonal. Individu tersebut memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik serta dapat memecahkan masalah dengan baik dan dapat mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati, mereka mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam kata dan perilaku yang tidak mengancam orang lain. Individu ini juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi dan menangani berbagai macam situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.

B. SOCIAL SUPPORT

1. Definisi Social Support

Cobb dalam Winnubst & Schabraq (1996) mendefinisikan bahwa social support mendefinisikan sejumlah informasi yang meyakinkan seseorang bahwa orang lain peduli kepada mereka (care support) menghormati dan menghargai (affirmative support) dan bahwa mereka adalah bagian dari satu komunitas yang saling mendukung (network support). Social support sering didefinisikan dengan jumlah teman yang ada bagi individu tersebut. Akan tetapi, sudah dikembangkan bahwa social support bukan hanya menyangkut jumlah teman tetapi kepuasan dengan dukungan yang diberikan. (Sarason dalam Ogden, 2000)

(14)

Ogden menyatakan (2000), istilah dukungan sosial secara umum mengacu kepada kenyamanan, kepedulian dan penghargaan individu yang dirasakan dari orang lain (Ogden, 2000). Hal ini didukung oleh pendapat Will (dalam Sarafino 2008) yang menyatakan social support mengacu pada kenyamanan yang diterima, perhatian, menghargai, atau membantu penerimaan diri seseorang dari orang lain ataupun kelompok. Dukungan ini datang dari berbagai sumber, pasangan atau kekasih, keluarga, teman, rekan sekerja, dokter, atau organisasi komunitas. Menurut Sidney Cobb (dalam Sarafino, 2008), orang dengan social support yang tinggi percaya mereka dicintai dan diperhatikan, dihargai dan dinilai berarti dan bagian dari sebuah grup seperti keluarga atau organisasi yang bisa saling menyediakan kebutuhan, melayani dan menjaga ketika dibutuhkan atau dalam bahaya (Sarafino, 2008).

Social support juga berkaitan dengan kemampuan yang membantu seseorang menghadapi stress. Lazarus dan Folkman mendefinisikannya sebagai sumber dari personal dan sosial yang membuat individu mampu melakukan coping. Thoits mengkonseptualisasikan social support sebagai sumber bantuan untuk coping, seperti “dana sosial” dari orang-orang saat menangani tekanan. Baron & Byrne (1997) mengemukakan social support sebagai rasa nyaman baik secara fisik dan psikologis, yang diberikan oleh para sahabat dan keluarga kepada orang yang menghadapi stress, sehingga dengan dukungan sosial tersebut orang cenderung untuk berada dalam keadaan kesehatan fisik yang lebih baik dan dapat mengatasi stress yang dialaminya.

Berdasarkan defenisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Social support adalah bentuk pertolongan yang dapat berupa materi, emosi, dan informasi yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman,

(15)

saudara, rekan kerja ataupun atasan atau orang yang dicintai oleh individu yang bersangkutan. Bantuan atau pertolongan ini diberikan dengan tujuan individu yang mengalami masalah merasa diperhatikan dan didukung sehingga mampu mengatasi masalah yang dia hadapi.

2. Jenis Social Support

Weiss (dalam Zainuddin, 2002) mengemukakan ada enam jenis social support yang disebut sebagai “The Social Provision Scale” yang masing masing komponennya dapat berdiri sendiri namun tetap berhubungan satu sama lain. Selanjutnya, Tolsdorf, Leavy, dkk (dalam Orford, 1992) menjelaskan bahwa social support yang dapat diberikan oleh seseorang dapat berupa :

1. Emotional Support

Emotional Support melibatkan ekspresi rasa empati, peduli terhadap seseorang Sehingga memberikan perasaan nyaman, membuat individu merasa lebih baik. Individu memperoleh kembali keyakinan diri, merasa dimiliki serta merasa dicintai pada saat mengalami stress (Cohen, Mc.Kay, dkk dalam Sarafino, 1990). Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh social support jenis ini akan merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Orford (1992) menyatakan dukungan emosional ini dalam jenis dukungan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi afeksi atau ekspresi.

2. Instrumental Support

Jenis social support ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata seperti meminjamkan uang atau barang bagi individu yang memang

(16)

membutuhkan pada saat itu. Menurut Jacobson (dalam Orford, 1992) dukungan instrumental ini mengacu pada penyediaan barang, atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis. Sejalan dengan pendapat Will (dalam Orford, 1992), dukungan instrumental merupakan aktifitas-aktifitas seperti menyediakan benda-benda, meminjamkan atau memberikan uang dan membantu menyelesaikan tugas-tugas praktis. Hal yang sama diajukan Taylor (2000) dimana pemberian dukungan instrumental meliputi penyediaan pertolongan financial maupun penyediaan barang dan jasa lainnya. Jenis dukungan ini relevan untuk kalangan ekonomi rendah.3

3. Informational Support

Sesuai dengan namanya, maka social support jenis ini meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik kepada seorang individu. Dukungan ini dapat dilakukan dengan memebrikan informasi yang dibutuhkan oleh individu. Menurut House (dalam Orford, 1992) menjelaskan bahwa dukungan informasi terdiri dari 2 bentuk, yaitu dukungan informasi yang berarti memberikan informasi atau mengajarkan sesuatu keterampilan yang berguna untuk mendapatkan pemecahan masalah dan yang kedua adalah berupa dukungan penilaian (appraisal support) yang meliputi informasi yang membantu seseorang dalam melakukan penilaian atas kemampuan dirinya sendiri.

4. Companionship Support

Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang merasa menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan minat

(17)

dan aktivitas sosial. Companionship support merupakan perasaan individu sebagai bagian dari suatu kelompok dimana memungkinkan individu dapat menghabiskan waktu dengan individu lain dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan. Hal ini sejalan dengan pendapat Cohen & Will (dalam Orford, 1992) yang mendefinisikan social support jenis ini yaitu bagaimana individu menghabiskan waktu bersama-sama dengan teman-temannya ataupun melakukan aktivitas yang bersifat rekreasional di waktu senggang.

3. Sumber-sumber Social Support

Sumber social support merupakan aspek yang penting. Sumber-sumber social support banyak diperoleh individu dari lingkungan sekitarnya namun perlu diketahui seberapa banyak sumber social support ini efektif bagi individu yang memerlukannya. Dengan mengetahui dan memahaminya maka individu akan mendapatkan social support yang sesuai dengan situasi dan keinginannya, sehingga social support memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak.

Henderson, Byrne, dkk (dalam Orford, 1992) menemukan bahwa social support yang penting membutuhkan hubungan yang lebih luas sehingga menambah kontribusi untuk mengurangi symptom psikologis maupun faktor kedekatan merupakan kontribusi yang lebih penting. Intinya adalah kehadiran orang terdekat merupakan sesuatu yang penting namun dukungan tersebut dapat digantikan oleh dukungan komunitas yang berada di luar hubungan dekat tersebut. Menurut Rook dan Dooley ada dua sumber social support yaitu

(18)

1. Sumber artificial

Social support yang artificial adalah social support yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya social support akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial.

2. Sumber natural

Social support yang natural diterima individu melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya anak, pasangan, dan kerabat.

C. Suku Karo

1. Mengenal Suku Karo

Suku Karo merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia, tepatnya di daerah Sumatera Utara dan merupakan bagian dari suku kekerabatan Batak, seperti kekerabatan Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak-Pak atau Dairi, dan Batak Karo. Namun kebanyakan masyarakat suku Karo menggap bahwa mereka bukanlah bagian dari kekerabatan Batak tersebut, Suku Karo merupakan suku bangsa tersendiri dalam tubuh bangsa Indonesia. Suku Karo mempunyai bahasa daerah tersendiri yakni bahasa Karo. Antara sesama orang Karo biasanya akan menggunakan bahasa Karo sebagai bahasa dipergaulan. Mereka bertutur kata dalam bahasa Karo dan menjalin keakraban dengan menggunakan adat Karo yang berintikan Merga Silima, Rakut Sitelu dan Tutur Siwaluh. (Purba, 1989).

(19)

Dalam praktek kesehariannya, sesama orang Karo selalu saling menolong dan saling melindungi sebagai perwujudan dari Rakut Sitelu. (Purba, 1989) Rakut Sitelu dapat diterjemahkan secara alfabetis sebagai ikatan yang tiga, tiga serangkai atau trias sendi budaya. Dalam kehidupan bermasyarakat, Rakut Sitelu berfungsi sebagai trilogi kekerabatan bagi masyarakat Karo. Setiap orang Karo, selalu memiliki salah satu fungsi dari Rakut Sitelu dan mempunyai salah satu dari Merga Silima. Sejak kecil, orang Karo dimotivasi dan dibiasakan bergaul dengan menggunakan patron budaya Merga Silima, Tutur Siwaluh dan Rakut Sitelu. Orang Karo yang tidak mengamalkan patron budaya Merga Silima, Tutur Siwaluh dan Rakut Sitelu sering dikatakan sebagai orang yang tidak menghargai adat.

Orang yang dinilai tidak menghargai adat, tidak akan pernah mendapat penghargaan. Mereka yang demikian dianggap tidak sopan, dan layak dikucilkan. (Purba, 1989). Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilinear yaitu garis keturunan yang diperoleh melalui garis laki-laki. Sistem Patrilinear ini dapat dilihat dari kebudayaan yang telah dianut dan diimplemetasikan dalam kehidupan masyarakat Karo seperti penurunan Marga Silima dari ayah yang hanya dapat diteruskan oleh anak laki-laki saja. Oleh karena itu laki-laki menjadi sosok yang dominan dan menjadi pemeran utama dalam berbagai bidang kehidupan seperti perkawinan, hukum, warisan, pemilikan tanah dan pola tempat tinggal. Demikian juga dalam konsep nafkah, laki-laki sejak kecil sudah disosialisasikan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai kebudayaan Karo dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan penerusan Marga ayahnya. Berbeda dengan laki-laki, perempuan

(20)

dalam suku karo bukanlah kaum yang diutamakan. Hal ini dikarenakan, apabila seorang perempuan menikah ia akan diambil oleh keluarga laki-laki tersebut dan meneruskan marga suaminya. Anak perempuan dalam suku Karo, tetap dimasukkan ke dalam marga ayahnya dengan sebutan beru. Dengan demikian dapat dikatakan posisi perempuan dalam kekerabatan Batak adalah ambigu atau tidak jelas. (Baiduri, 2015).

2. Peran Perempuan dalam Suku Karo

Perempuan secara tradisional kedudukannya adalah sebagai pelengkap yang dalam istilah Karo disebut Sirukatnakan (penyendok nasi). Hal ini berarti perempuan harus membantu suami, dalam hal seperti mencari nafkah dan mengurus rumah tangga, tetapi perempuan tidak memiliki hak waris dan hak berbicara dalam adat. Urusan rumah tangga seperti memasak, menganyam tikar sampai mencari kayu bakar dan membantu suami mencari nafkahlah yang menjadi bagian dari tanggung jawab perempuan Karo.

Dalam kehidupan masyarakat Karo, peran ganda perempuan terlihat jelas dalam berbagai aspek kehidupan. Kaum perempuan diharapkan dapat berperan membantu keluarga dan suaminya dalam pencarian nafkah, sementara untuk urusan rumah tangga termasuk dapur merupakan wilayah yang dianggap tabu untuk dimasuki oleh laki-laki (Brahmana, 2015).

Lila Pelita Hati (2007) dalam thesisnya mengungkapkan bahwa secara tradisional, kedudukan perempuan Karo dalam adat istiadat umumnya adalah sebagai pelengkap. Dalam proses kehidupan, perempuan belum diikutsertakan dalam pengambilan keputusan dalam rapat adat. Namun untuk kegiatan

(21)

reproduksi : mengelola usaha keluarga, seperti berladang dan berjualan ke pasar peran perempuan sangat besar. Keadaan ini sudah berlangsung sejak dulu sampai sekarang sebagai realita hidup yang diterima kaum perempuan Karo untuk menambah pendapatan keluarga dan menjadikan mereka pekerja yang ulet dirumah tangga dan dalam mencari nafkah.

Dengan tugas yang dimiliki perempuan ini, mengakibatkan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengatur dan mengurus dirinya, sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk bersaing dengan kaum laki-laki akan sangat sulit sekali. Hal ini berpengaruh pula terhadap perilaku perempuan itu sendiri yang menimbulkan kesulitan mereka menemukan jati dirinya dalam bermasyarakat. Kesulitan menemukan jati diri ini disebabkan karena mereka tidak diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk menentukan apa yang menjadi kehendak ataupun keinginan mereka, rasa takut dan ketidakpastian sering kali menyelimuti hati mereka.

Suku Karo terlahir sebagai masyarakat agraris, sejak dahulu masyarakat Karo sudah handal dalam mengolah lahan pertanian atau perkebunan. Orang Karo biasanya meninggalkan keluarganya dan pulang sekali dalam setahun untuk menemui keluarganya. Ini menunjukkan sebuah tekad yang tidak tanggung, hanya untuk mencari penghidupan ekonomi yang lebih layak. Demikian juga Perempuan Karo yang berperan sebagai istri, akan membantu suaminya menopan ekonomi keluarga.

Orang Karo dengan pengaruh Hindu yang kuat, mempunyai legenda-legenda yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, seperti cerita

(22)

Beru Ginting Pase, Beru Rengga Kuning dan Telu Turi-Turin si Adi. Melalui cerita-cerita ini, Barus dan Singarimbun (1988) menyimpulkan perempuan karo memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Mempunyai kepribadian yang tangguh 2. Menjadi juru selamat keluarga

3. Tokoh mandiri yang sanggup mengambil keputusan yang menentukan. 4. Pintar dan bijaksana

5. Aktif dalam percintaan

6. Sangat aktif dalam kehidupan ekonomi 7. Tidak pasrah menunggu

8. Pengorbanan yang tinggi terhadap saudara

9. Bukan tampil sebagai makhluk yang lembut, halus dan pemaaf.

Gambaran perempuan karo yang menjadi kenyataan memang sangat aktif dalam kehidupan ekonomi. Tetapi dalam banyak hal, jauh berbeda dengan cerita rakyat tersebut, seperti yang dikemukakan Ny. Wallia Keliat (1985)

“Di daerah perdesaan Karo, perempuan selain bertugas sebagai istri dan ibu, juga tulang punggung dalam produksi hasil pertanian. Sikap tradisional turun temurun sebagai pengaruh di adat dan kebudayaan Karo terhadap wanita, mempunyai pengaruh yang besar pada wanita itu sendiri yang cenderung untuk menerima posisi mereka yang lebih rendah, kurang percaya diri, bergantung pada kaum pria dalam mengambil keputusan, dan tidak berani mengeluarkan pendapat sendiri. Hal ini diterima oleh wanita itu dengan sangat biasa sekali, bukan sebagai sesuatu yang sangat merugikan ataupun sesuatu yang perlu dirubah.”

Reh Malem Sitepu (1986) mengemukakan, bahwa perempuan Karo secara tradisional mempunyai peranan yang sangat penting dan peranan yang tidak

(23)

penting. Dalam banyak hal, kaum perempuan adalah penentu kebijaksanaan seperti dalam hal kebersihan rumah tangga, pendidikan, sosialisasi anak, penentu dalam usaha pertanian, dan lain-lain. Peranan perempuan dalam adat hanyalah pelengkap, tidak bisa lepas atau berdiri sendiri, sebab wanita tunduk pada peraturan adat rakut sitelu.

Dari pemaparan tersebut, dipahami bahwa terdapat sebuah kondisi yang paradoksal terhadap peran perempuan Karo di bidang adat dengan peran ekonomi keluarga, akan tetapi dalam peran adat, perannya hanya sebagai pelengkap saja. Dalam adat Karo, perempuan tidak dapat berperan sebagai pengambil keputusan ataupun sebagai juru bicara.

Mengenai penampilan perempuan Karo di desa, Bangun (1986) mengemukakan sebagai berikut :

1. Gadis-gadis masih menunjukkan ciri seperti leluhur mereka. 2. Aktif membantu ibunya bekerja keras di rumah dan di ladang. 3. Tubuhnya kekar

4. Betis atau kaki agak besar.

5. Leher pendek dan raut muka tegang.

Penampilan ini berbeda dengan gadis-gadis Karo di kota yang umumnya tinggi semampai dan ramping, karena tidak mengerjakan pekerjaan kasar atau berat seperti di desa (Bangun 1986). Dari bentuk fisik yang diutarakan tersebut, merupakan bentuk peran perempuan Karo yang memiliki etos kerja tinggi, sehingga membentuk fisiknya yang berotot, sehingga tidak sama dengan

(24)

perempuan Karo yang tinggal di Kota yang umumnya bekerja pada sektor non pertanian yang tidak memerlukan tenaga untuk bekerja.

D. Bencana

1. Definisi

Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam atau menganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh factor alam, dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (UU No. 24 tahun 2007).

Bencana (disaster) adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan sumber daya mereka sendiri (ISDR, 2004).

Menurut Bastian (2006), Bencana didefinisikan sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomik atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya mereka sendiri. Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko (risk) pada komunitas.

(25)

a. Pemicu (trigger) merupakan faktor-faktor luar yang menjadikan potensi ancaman yang tersembunyi muncul ke permukaan sebagai ancaman nyata. b. Ancaman (hazard) adalah kejadian-kejadian, gejala alam atau kegiatan manusia yang berpotensi untuk menimbulkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial ekonomi atau kerusakan lingkungan. Ancaman ini ini bisa terjadi secara mendadak, pelan-pelan dan mendadak.

c. Kerentanan (vulnerability) adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial ekonomik dan lingkungan hidup yang meningkatkan kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak ancaman bencana. d. Kapasitas yaitu isi sesuatu rongga, ruang, tempat atau kemampuan seseorang. e. Risiko (Risk) merupakan suatu peluang dari timbulnya akibat buruk, atau kemungkinan kerugian dalam hal kematian, luka-luka, kehilangan dan kerusakan harta benda, gangguan kegiatan mata pencaharian dan ekonomi atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi antara ancaman bencana dan kondisi kerentanan.

Bencana merusak asset atau unit sosial dalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu: (1) modal kapital, modal yang dimiliki manusia, antara lain keterampilan, kemampuan bekerja, dan kesehatan; (2) modal sosial, kekayaan sosial yang dimiliki komunitas seperti jaringan dan keterikatan hubungan berdasarkan kepercayaan; (3) modal alam dan lingkungan: adalah persediaan sumber daya alam seperti tanah, air, kualitas udara, perlindungan terhadap erosi; (4) modal fisik dan buatan adalah infrastruktur dasar dan memproduksi barang-barang yang dibutuhkan seperti transportasi, bangunan tempat tinggal yang aman,

(26)

sanitasi dan persediaan air yang memadai, akses terhadap komunikasi; (5) modal finansial, adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh komunitas untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya, seperti persediaan uang dan barang.

Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik,ekonomi dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.(UU 24 Tahun 2007).

E. Penyintas

1. Definisi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata sintas berarti terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya. Penyintas berarti orang yang terus bertahan hidup dan mampu mempertahankan keberadaannya. Dalam penelitian ini, istilah penyintas ditekankan pada orang yang mampu bertahan atau selamat dari bencana Gunung Sinabung.

2. Hal-hal yang Dialami Penyintas

Bencana alam datang tanpa peringatan, meskipun kebanyakan orang memiliki kesempatan untuk mempersiapkan bencana yang datang, tetapi tetap saja datangnya bencana dapat membawa perubahan yang dramatis dan traumatis. Pada korban bencana alam yang selamat atau yang disebut sebagai penyintas tentunya merasa bersyukur. Akan tetapi, bagi mereka pribadi bencana tentunya menyisakan kepedihan dan cidera bahkan bisa mengalami depresi dan gangguan emosional.

(27)

Peristiwa bencana alam ini pun bisa berdampak pada kondisi emosi, psikologis, spiritual, finansial, dan sosial para penyintas (Carmen, 2011).

Setelah bencana terjadi, penyintas mungkin mengalami perasaan yang campur aduk. Tentu saja akan ada perasaan sukacita dan lega karena selamat dari bencana. Tetapi begitu adrenalin mereda, penyintas mungkin mengalami gejala negatif, seperti kecemasan, kesulitan tidur, sensitif, depresi, masalah konsentrasi, dan mudah tersinggung. Hal tersebut merupakan reaksi yang umum yang dirasakan penyintas bencana. Selain gejala psikologis tersebut, para penyintas juga dapat mengalami gejala fisik seperti kram, pusing, reaksi alergi serta adanya keluhan-keluhan yang berhubungan dengan syaraf dan sakit kepala (Carmen, 2011). Dampak sosial yang dialami penyintas antara lain membatasi dan menarik diri dari pergaulan, menghindari relasi-relasi sosial, meningkatnya konflik dalam berhubungan dengan orang lain (Agustin, Kartini, & Pratiwi, 2010).

Bagi para penyintas, kehilangan rumah bukan hanya berarti kehilangan fisik bangunan semata, akan tetapi juga kehilangan kenangan dan kehidupan lama mereka. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti, penyintas bencana Gunung Sinabung yang akan direlokasi menghadapi berbagai masalah seputar kondisi mereka sekarang. Diantaranya mereka harus menerima kenyataan bahwa desa yang selama ini mereka tinggali tidak dapat dihuni lagi dan mereka harus meninggalkan desa yang selama ini menjadi tempat mereka tinggal. Lokasi tempat tinggal mereka yang baru pun masih sangat asing dan jauh dari pemukiman. Fasilitas-fasilitas umum seperti pasar, tempat ibadah dan sekolah

(28)

jauh dari jangkauan.Tidak tersedianya lahan pertanian juga menjadi masalah bagi mereka karena karena sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani.

F. Hubungan Resiliensi dengan Social Support pada Perempuan Karo penyintas Erupsi Gunung Sinabung.

Suku Karo merupakan salah satu bagian terbesar dalam kekerabatan Batak. Masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan yang disebut Rakeut Sitelu, yang pada intinya mengatakan bahwa antara sesama orang Karo terdapat ikatan persaudaraan yang kuat dan harus saling tolong menolong. Masyarakat Karo menganut sistem kekeluargaan patrilinear yang menjadikan laki-laki sebagai kaum yang dominan dalam peraturan adat, kekuasaan, kehidupan rumah tangga. Berbeda dengan laki-laki, perempuan Karo bukanlah kaum yang diutamakan. Perempuan Karo tidak memiliki hak bicara dalam adat. Perempuan Karo berperan sebagai pelengkap atau dalam bahasa Karo disebut dengan istilah Sirukatnaken (Penyendok Nasi). Perempuan Karo dalam adat memang tidak memiliki posisi sebagai yang diutamakan, tetapi mereka memiliki dikotomi peran gender yang membutuhkan ketangguhan dan tanggung jawab yaitu dalam mengurus rumah tangga dan mencari nafkah.

Dalam menjalani dikotomi peran gendernya, perempuan Karo bertanggung jawab penuh untuk urusan rumah tangga. Sedari pagi, perempuan Karo harus memasak, mengurus suami dan anak serta kebutuhan rumah tangga lainnya. Setelah selesai mengurus rumah tangga, mereka akan melanjutkan kegiatan mencari nafkah. Sebahagian besar perempuan Karo bekerja sebagai petani dan biasanya akan bekerja diladang dari tengah hari hingga petang bersama kelompok

(29)

tani (aron) mereka. Setelah bekerja hampir sehari penuh mereka kembali kerumah untuk mempersiapkan kebutuhan rumah tangga seperti memasak untuk suami dan memandikan anak. Dalam budaya Karo, dapur merupakan wilayah yang tabu untuk dimasuki oleh laki-laki. Artinya, setelah menyelesaikan pekerjaan di ladang, perempuan-perempuan Karo akan kembali „bekerja di dapur‟ untuk mempersiapkan kebutuhan keluarganya. Sementara untuk laki-laki dalam suku Karo, mereka akan menghabiskan waktu dengan duduk di kedai kopi untuk berdiskusi tentang strategi bisnis dan bagaimana agar ladang mereka dapat menghasilkan tanaman yang baik dan memberikan keuntungan yang lebih besar. Kegiatan ini berlangsung hampir seharian sampai istrinya pulang dari ladang untuk kembali mengurus rumah tangga.

Masyarakat Karo sebahagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Mereka tinggal di desa-desa daerah sekitar kaki Gunung Sinabung yang memiliki lahan subur dan luas sehingga baik untuk bercocok tanam. Pada mulanya, Gunung Sinabung merupakan Gunung Api non-aktif yang berdiri kokoh seakan menaungi kehidupan masyarakat Karo di desa sekitarnya. Karena merupakan Gunung Api yang telah lama non-aktif, Gunung Sinabung tidak dianggap mengancam bahkan memberikan keuntungan yaitu lahan disekitarnya yang dijadikan tempat bertani masyarakat dengan pemandangan yang indah. Namun, semuanya berubah sejak tahun 2010, untuk pertama kalinya setelah tidur panjang, Gunung Sinabung mengeluarkan abu vulkanik dan lahar panas akibat erupsi yang terjadi secara terus menerus hingga saat ini (2016). Hal ini mengakibatkan masyarakat yang tinggal di desa sekitar Gunung Sinabung turut kehilangan sumber kehidupan mereka dan

(30)

mengalami kerugian baik secara moril dan material. Mereka kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian sehingga diharuskan untuk tinggal dipengungsian.

Awal pindah kepengungsian menjadi masa-masa paling sulit bagi pengungsi terutama kaum Perempuan. Selama tinggal dipengungsian, Kaum Perempuan Karo harus beradaptasi hidup bersama orang-orang asing dan kehilangan ruang privat. Mereka pun mau tak mau harus mencukupi diri dengan bantuan yang ada di pengungsian. Dengan keadaan seperti ini, kaum Perempuan Karo tidak hanya membatu dan berdiam diri, mereka yang dibesarkan dengan ajaran dan kerja adat yang keras menjadikan mereka perempuan-perempuan tangguh. Mereka tetap menjalani peran mereka yaitu mengurus kebutuhan keluarga dan tetap bekerja menjadi buruh tani di perkebunan yang ada disekitar Berastagi Mereka berangkat bersama teman aron (kelompok tani) mereka pada pagi hari dan kembali ke pengungsian pada malam harinya.

Dipengungsian, kebutuhan perempuan tidak serta merta tersedia jika dibutuhkan. Hidup bersama orang lain, tidur bersama dalam ruangan yang disekat perpetak, tidak adanya ruang privat, kehilangan ladang yang menjadi sumber penghasilan dan mengharapkan belas kasihan serta bantuan dari orang lain dapat menjadi pemicu stress bagi perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung. Untuk beradaptasi dengan dinamika dipengungsian, ketangguhan dan kekuatan sangat dibutuhkan oleh perempuan Karo untuk dapat bangkit kembali setelah mengalami banyak kesedihan dan kehilangan akbiat erupsi Gunung Sinabung. Perempuan Karo harus tetap tangguh untuk dapat survive untuk melanjutkan hidupnya dengan lebih baik. Oleh karena itu, kaum Perempuan Karo harus

(31)

memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari titik nol yang disebut resiliensi. Resiliensi dapat menolong perempuan Karo untuk menjalani kehidupan dipengungsian dan tetap menjalani dikotomi peran gendernya. Pada dasarnya, kaum Perempuan Karo telah dibentuk oleh tuntutan adat untuk menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah menyerah dengan keadaan apapun. Menjalani keseharian dengan peran gendernya yang memiliki banyak tuntutan, membentuk ketangguhan perempuan Karo dan ketangguhan ini dapat menjadi modal awal pembentuk resiliensi mereka dalam menghadapi situasi yang lebih sulit seperti tinggal dipengungsian dan memulai kehidupan yang baru pasca erupsi Gunung Sinabung. Untuk menguatkan ketangguhan dirinya, Individu yang resilien akan berusaha mencari dukungan kepada orang-orang di sekitarnya.

Dibesarkan dengan falsafah kehidupan Daliken Sitelu yang intinya semua orang Karo adalah saudara dan lingkungan yang menjunjung tinggi nilai kekerabatan, dukungan sosial yang diterima perempuan Karo dipengungsian dapat menjadi hal penting yang menolong mereka untuk lebih kuat dan mampu bangkit kembali sehingga dapat menghadapi tekanan besar seperti kerugian secara moril dan material pasca erupsi Gunung Sinabung. Dengan dukungan dari lingkungan dan kerabat, perempuan Karo dapat melewati masa kritisnya dan dapat berbagi cerita akan tekanan yang dirasakannya dan tidak merasa bahwa dirinyalah yang paling menderita akibat erupsi Gunung Sinabung. Mereka juga dapat belajar dari sesama penyintas tentang bagaimana menghadapi kesulitan-kesulitan selama dipengungsian dan bertukar informasi mengenai hal-hal yang penting.

(32)

Untuk bertahan di pengungsian ketika menghadapi kondisi-kondisi yang menekan seperti bencana, diperlukan 3 aspek yang disebut sebagai protective factor. Istilah protective factor merupakan faktor-faktor yang membantu dan mendukung untuk bangkit dan pulih dari kesulitan yang dihadapi. Tiga aspek yang termasuk dalam dalam protective factors (Everall, 2006) yaitu : individu, keluarga dan faktor eksternal atau komunitas. Faktor komunitas di pengungsian seperti kebersamaan,bantuan, kegiatan sharing, menghabiskan waktu bersama dan kegiatan keagamaan menunjukkan adanya dukungan sosial yang terjadi antar sesama perempuan pengungsi dan hal ini berkaitan dengan resiliensi.

Penelitian terdahulu telah mendukung hubungan resiliensi dengan social support. Akan tetapi, tidak semua dukungan sosial akan berfungsi positif pada stressful event. Berkman (Sarafino, 2006) menyatakan dukungan sosial tidak selalu mengurangi stress dan bermanfaat bagi kesehatan jika kita tidak menganggapnya sebagai dukungan. Hal ini bisa terjadi karena pertolongan tidak cukup atau kita tidak menginginkan bantuan atau karena dukungan yang kita butuhkan tidak cocok dengan tekanan yang kita terima.

Selanjutnya, jika dikaitkan dengan Perempuan Karo, prinsip kekeluargaan dan adat mendorong mereka untuk memberikan dukungan sosial untuk sesamanya agar menjadi lebih resilien dalam menghadapi stressful event pasca erupsi Gunung Sinabung. Dalam teori (Gortberg, 2004) salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah budaya. Sehingga, penelitian hubungan resiliensi dengan social support ini penting untuk bisa diteliti di daerah Karo. Terlebih lagi didukung dengan prinsip hidup orang Karo “Sangkep Ngeluh” atau kelengkapan

(33)

hidup yang intinya adalah “Daliken Sitelu”. Daliken Sitelu berfungsi sebagai landasan sistem kekerabatan dan semua kegiatan yang bertalian dengan adat istiadat.

G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut “ Ada hubungan positif antara resiliensi dengan social support pada Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung.”

(34)

H. Alur Pikir Penelitian

Erupsi Gunung

Sinabung

Pengungsian Stress RESILIENSI SOCIAL SUPPORT -Individu -Keluarga -Eksternal dan Komunitas

Budaya

Karo

Etnis Karo

Konstruksi Patriarki

Laki-laki

Perempuan

Dominan

Subordinate

Dikotomi Peran

Gender

Mengurus

Rumah Tangga

Mencari Nafkah

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan tugas akhir ini lokasi yang dipakai adalah jalan Sampang – Pamekasan dengan (Sta.84+000 – 97+000) dan juga menggunakan jenis perkerasan yang berbeda yaitu

Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa biji mentimun memiliki khasiat sebagai anthelmintik karena waktu kematian cacing 100% pada ekstrak biji

(6) Kompensasi dalam bentuk pengiriman tenaga kesehatan dan penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dapat bekerja sama

5.2.3.20.03 Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Laboratorium Kimia 5.2.3.20.04 Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Laboratorium Pertanian 5.2.3.20.05 Belanja Modal Pengadaan

Guru meminta siswa untuk menyatukan kalimat yang telah disusun masing-masing anggota kelompok sehingga menghasilkan bacaan satu paragraf.. Setiap kelompok secara

sumur selama selang selama selang waktu gg waktu tertentu tertentu dengan dengan laju gg laju alir jj alir yang y g y g yang tetap tetap p p ,, kemudian.. kemudian menutup menutup

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa karakter biokimia Protein 100 kDa dari membran spermatozoa kambing

Metode-metode tersebut pada umumnya merupakan metode yang berisi kegiatan yang mengaktifkan siswa (seperti bekerja dan diskusi kelompok, presentasi, menanggapi, mengemukakan