• Tidak ada hasil yang ditemukan

GULMA DAN TUMBUHAN INVASIF DI WILAYAH TROPIKA SERTA PENGELOLAANNYA 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GULMA DAN TUMBUHAN INVASIF DI WILAYAH TROPIKA SERTA PENGELOLAANNYA 1"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

1

GULMA DAN TUMBUHAN INVASIF DI WILAYAH TROPIKA SERTA

PENGELOLAANNYA

1

M.A. Chozin2

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

I. GULMA DI WILAYAH TROPIKA 1.1. Batasan dan Konsep Gulma

Dalam mempelajari ilmu gulma terdapat tiga istilah yang sering ditemui yaitu tumbuhan (plant), gulma (weed) dan tanaman (crop). Oleh karena itu sebelum membahas apakah itu gulma, terlebih dahulu perlu dibedakan antara tumbuhan dan tanaman. Dalam pengertian umum, tumbuhan adalah semua jenis flora atau semua jenis makluk hidup yang berhijau daun. Secara khusus, tumbuhan adalah istilah yang digunakan untuk suatu jenis tumbuhan yang belum diketahui kegunaannya. Tumbuhan yang telah diketahui kegunaaanya untuk pemenuhan kebutuhan jasmaniah manusia (makanan, pakaian, obat-obatan), pemenuhan kebutuhan rohaniah (taman, estetika, keindahan) dan untuk konservasi (tanaman penutup tanah, tanaman pelindung) disebut sebagai tanaman.

Gulma merupakan istilah khusus yang digunakan untuk tumbuhan yang dianggap mengganggu, sehingga sebelum istilah gulma dibakukan, tumbuhan yang termasuk ke dalam kelompok ini disebut sebagai tumbuhan penganggu. Tumbuhan pengganggu merupakan istilah yang terdiri dari dua kata yang berarti tumbuhan yang mengganggu atau tumbuhan yang bernilai negatif. Di negara lain juga disebut dengan istilah dan pengertian yang hampir sama yaitu zassou (Jepang), mauvaise herbe (Prancis), mala herba (Spanyol) dan onkruid (Belanda). Berdasarkan istilah tersebut, dapat diduga bahwa masalah gulma mulai timbul pada saat suatu jenis tumbuhan atau sekelompok tumbuhan mulai dirasakan menganggu aktivitas manusia baik dalam pemenuhan kebutuhannya, kesenangannya atau kepentingan lainnya. Istilah gulma sebetulnya bukan merupakan istilah yang ilmiah, melainkan suatu istilah yang sederhana dan bersifat subjektif. Secara umum masyarakat mempunyai konsepsi tentang gulma yang sangat luas, dan seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Istilah gulma seringkali ditujukan tidak hanya terhadap tumbuhan yang bernilai negatif tetapi juga terhadap semua jenis tumbuhan yang tidak bermanfaat atau yang belum diketahui manfaatnya. Berikut ini beberapa batasan atau definisi gulma yang banyak digunakan oleh masyarakat:

a. Gulma adalah tumbuhan yang tidak diinginkan (undesirable plant)

b. Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh tidak pada tempatnya (plant out of place) c. Gulma adalah tumbuhan yang tidak bermanfaat

d. Gulma adalah tumbuhan yang belum diketahui manfaatnya e. Gulma adalah tumbuhan yang mempunyai nilai negatif

f. Gulma adalah tumbuhan yang mempunyai nilai negatif lebih besar dari nilai positifnya.

1 Materi Kuliah Pengendalian Gulma tanggal 1 Oktober 2016

(2)

2 Berdasarkan batasan-batasan tersebut tampak bahwa sebutan gulma untuk suatu jenis tumbuhan bersifat sementara (temporer), bukan merupakan istilah yang tetap (permanen) baik dari dimensi waktu maupun tempat. Hal ini karena satu jenis tumbuhan dapat berstatus sebagai tanaman (crop) di suatu tempat dapat berstatus gulma di tempat lain. Demikian juga satu jenis tumbuhan yang pada saat ini dianggap sebagai gulma dapat dianggap sebagai tanaman di masa yang akan datang. Untuk dapat lebih memahami hal tersebut, berikut ini diberikan masing-masing dua contoh untuk perbedaan status karena waktu dan tempat:

1.1.1. Perbedaan dari waktu ke waktu

(1) Sambung rambat (Mikania cordata (Burn F) R. L). Tumbuhan merambat ini semula diintroduksikan sebagai cover crop (tanaman penutup tanah) di perkebunan karet. Saat ini dikelompokkan sebagai gulma utama di perkebunan karet dan perkebunan lainnya karena selain sebagai kompetitor juga diduga mempunyai sifat alelopatik terhadap beberapa tanaman perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa status gulma untuk tumbuhan tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan ini terjadi mungkin karena adanya pandangan bahwa nilai positifnya sebagai cover crop lebih kecil dibandingkan dengan dampak negatif yang ditimbulkan karena keberadaannya.

(2) Eceng gondok (Eichornia crassipes Solms). Tumbuhan air ini pada awalnya didatangkan dari dari Brazil ke Indonesia untuk digunakan sebagai tanaman hias di kolam-kolam taman karena mempunyai bunga yang indah berwarna biru. Beberapa tahun kemudian tumbuhan ini telah berubah status menjadi gulma utama dan termasuk sebagai gulma air penting nomor satu di Indonesia. Pada saat ini di samping upaya- upaya pengendalian terus dilakukan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan dan makanan ternak. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa faktor waktu dapat merubah status eceng gondok dari tanaman hias ke gulma dan mungkin akan menjadi tanaman makanan ternak.

1.1.2. Perbedaan dari tempat ke tempat

(1) Eceng gondok (Eichornia crassipes Solms). Seperti telah dikemukakan, dalam keadaan masal tumbuhan ini merupakan gulma air nomor satu di perairan terbuka seperti waduk danau dan sungai. Meskipun demikian bila tumbuhan ini ditumbuhkan di akuarium atau kolam-kolam kecil di mana populasinya selalu dikendalikan, tumbuhan ini akan mempunyai status tetap sebagai tanaman hias. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa status tumbuhan dapat berubah dari status gulma di suatu tempat menjadi tanaman di tempat lain.

(2) Gonda (Spenochlea zeylanica). Di daerah Jawa Barat tumbuhan ini termasuk gulma yang sering ditemukan di daerah persawahan, dan penduduk setempat menganggapnya sebagai gulma yang perlu dikendalikan. Di tempat lain, di beberapa daerah di Bali tumbuhan ini dibudidayakan karena penduduk setempat biasa menggunakannya untuk sayuran. Untuk hal ini dapat dilihat bahwa pandangan masyarat terhadap status tumbuha dapat berbeda antar tempat. Dalam hal ini juga dapat dilihat bahwa pandangan masyarakat terhadap status tumbuhan dapat berbeda karena faktor pengetahuan, pengalaman dan latar belakang budaya mereka.

(3)

3 Memperhatikan berbagai jenis definisi/batasan yang telah dikemukakan beserta penerapannya di lapangan, terlihat jelas bahwa semua definisi tersebut bersifat “antroposentris” yang berfokus pada fungsi dan manfaat tumbuhan bagi manusia. Definisi yang bersifat subjektif tersebut sangat dipengaruhi oleh orang yang melihatnya, bukan berdasarkan sifat-sifat morfologi, bentuk hidup, habitat atau karakter biologis lainnya. Banyak pakar ekologi cenderung memandang gulma sebagai tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang telah mengalami gangguan manusia (disturbed habitat) dan menguasai habitat tersebut. Berdasarkan karakter ekologisnya Harper (1944) mendefinisikan gulma adalah tumbuhan yang tumbuh dengan sendirinya pada suatu habitat yang diusahakan manusia. Pakar lain membuat definisi yang hampir sama dengan lebih sederhana, ia mendefinisikan gulma sebagai tumbuhan pioner pada suksesi sekunder, terutama pada lahan-lahan pertanian.

Dengan kemampuannya untuk beradaptasi pada pada lingkungan yang sudah ada campur tangan manusia, maka gulma akan ditemukan tumbuh bersama tanaman di lahan budidaya, di pekarangan, di sawah, di kolam, di tempat rekreasi dan tempat-tempat lainnya yang ada kegiatan manusia. Oleh karena itu, kemudian gulma dianggap merugikan atau mengangganggu aktivitas manusia khususnya dalam kegiatan budidaya tanaman.

1.2. Gangguan Gulma

Telah dikemukakan bahwa gulma adalah tumbuhan yang menimbulkan gangguan terhadap aktivitas manusia. Kerugian atau gangguan yang ditimbulkan tidak hanya di bidang pertanian, tetapi juga di hampir semua bidang kehidupan manusia.

1.2.1. Bidang Pertanian

Kerugian utama akibat gulma di bidang pertanian adalah penurunan produksi tanaman. Penurunan produksi tersebut diduga terutama karena adanya kompetisi gulma dengan tanaman dalam menggunakan sumberdaya yang relatif terbatas seperti air tanah, cahaya matahari unsur hara dan ruang tumbuh yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat. Besarnya penurunan produksi tanaman sangat tergantung kepada beberapa faktor, antara lain varietas tanaman, jenis dan kesuburan tanah, jenis dan populasi gulma serta teknik budidaya yang diterapkan. Di Indonesia penurunan produksi tanaman akibat gulma secara rata-rata diperkirakan mencapai 10 – 20%. Gulma juga dapat menurunkan kualitas hasil tanaman akibat tercampurnya hasil tanaman dengan biji-biji gulma pada saat panen atau pada saat pengolahan hasil. Sebagai contoh biji gulma Ambrosia sp., Brassica sp., dan Agrostemma sp bila tercampur pada saat pengolahan gandum akan menyebabkan bau dan rasa tepung tidak enak dan tidak disukai konsumen sehingga harganya turun.

Gulma juga menyebabkan kesulitan dalam praktek budidaya, seperti dalam pengolahan tanah, penyiangan, dan pemanenan yang menyebabkan peningkatan biaya produksi. Gulma pada saluran irigasi menghambat aliran air sehingga pemberian air ke sawah terhambat. Gulma dapat menjadi inang bagi hama atau patogen penyakit. Gulma harendong (Melastoma sp.) menjadi inang hama teh Helopeltis antonii, gulma jajagoan (E. crusgalli) menjadi inang penggerek padi (Tryphoriza innotata), gulma babadotan (Ageratum conyzoides) menjadi inang hama lalat bibit kedelai (Agromyza sp.), gulma Eupathorium adenophorum menjadi inang

(4)

4 penyakit pseudomozaik virus pada tembakau Deli, gulma ceplukan (Physalis angulata) menjadi inang penyakit virus pada kentang. Selain sebagai inang bagi hama dan penyakit, gulma juga dapat menjadi parasit bagi tanaman budidaya. Sebagai contoh, gulma rumput setan (Striga asiatica) dapat menjadi parasit pada tanaman jagung dan padi ladang, gulma Orobanche spp. pada padi, jagung, tebu, gandum, dan tembakau. Gulma juga dapat menimbulkan alelopati pada tanaman yang menyebabkan penurunan pertumbuhan tanaman. 1.2.2. Bidang Peternakan

Pada bidang peternakan, gulma menyebabkan penurunan produksi pakan ternak akibat adanya kompetisi ataupun alelopati gulma yang menyebabkan mutu hasil ternak menurun. Sebagai contoh, gulma Allium sp., Hymenoxys odorata dan Ambrosia trifida bila termakan sapi perah akan menyebabkan susu yang dihasilkan berbau tidak enak dan mutu wol juga menurun. Terdapat spesies gulma tertentu beracun dan menyebabkan kematian pada ternak. Gulma kirinyuh (Eupathorium sp.) di Flores dilaporkan dapat mematikan sapi.

1.2.3. Bidang Perikanan

Pada bidang perikanan, gulma dapat menyebabkan beberapa kerugian. Gulma air mempercepat hilangnya air (evapotranspirasi). Gulma Salvinia molesta menyebabkan evapotranspirasi yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa gulma Salvinia molesta. Gulma Eichhornia crassipes juga menyebabkan evapotranspirasi lebih besar, yaitu 3-5 kali dibandingkan dengan tanpa E. crassipes. Adanya gulma di perairan juga menyebabkan menurunnya kapasitas waduk atau danau karena massa gulma air. Gulma di permukaan air juga dapat menghambat penetrasi cahaya matahari sehingga menyebabkan menurunnya pertumbuhan algae dan plankton yang berakibat menurunnya produksi ikan. Gulma yang tumbuh lebat di dalam perariran menyebabkan penurunan kadar oksigen sehingga menyebabkan pertumbuhan ikan terganggu. Pada kegiatan penangkapan ikan, gulma yang hidup di permukaan maupun di dalam air dapat menyulitkan penangkapan ikan.

1.2.4. Bidang Lain

Keberadaan gulma dapat menyebabkan kerugian pada beberapa bidang lainnya. Gulma menyebabkan hambatan pada bidang transportasi dan rekreasi sungai, waduk, dan danau. Gulma yang tumbuh di taman pekarangan menyebabkan penurunan nilai estetika taman. Biaya pemeliharaan taman, lapangan golf, pekarangan, rel kereta api meningkat dengan adanya gulma. Gulma tertentu mengganggu kesehatan manusia, seperti serbuk sari gulma Artemisia vulgaris menyebabkan selesma, serbuk sari gulma Cynodon dactylon, Cyperus rotundus, Eleusine indica, dan Mimosa pudica menimbulkan alergi

1.3. Penggolongan Gulma

1.3.1. Berdasarkan Habitat (ekologi)

Berdasarkan habitatnya, gulma digolongkan menjadi dua yaitu gulma obligat dan fakultatif. Gulma obligat yaitu gulma yang hidup pada tempat yang sudah ada campur tangan manusia, seperti pada daerah pemukiman dan pertanian. Sebagai contoh, gulma babadotan

(5)

5 (Ageratum conyzoides) dan gulma ceplukan (Physalis angulata) hidup pada habitat pertanian. Gulma fakultatif adalah gulma yang hidup pada tempat yang sudah ataupun belum ada campur tangan manusia. Sebagai contoh, gulma bawang liar (Allium sp.), pakis-pakisan (Ceratoptoris sp.dan Nephrolepsis sp.)

1.3.2. Berdasarkan Sifat Hidup (umur)

Berdasarkan sifat atau umur hidupnya, gulma digolongkan menjadi gulma semusim (annual), gulma tahunan (perennial), dan gulma dwitahunan (biannual). Gulma tahunan adalah gulma yang dapat hidup lebih dari satu tahun hingga beberapa tahun (perennial). Beberapa contoh gulma perennial adalah Chromolaena odorata, Lantana camara dan Imperata cylindrica. Gulma dwitahunan adalah gulma yang memiliki siklus hidup dua tahun, umumnya terdapat di daerah temperate, contoh: Cyperus iria.

1.3.3. Berdasarkan Daerah Asal

Berdasarkan daerah asal, gulma dibedakan menjadi gulma domestik dan gulma eksotik. Gulma domestik adalah gulma asli di suatu tempat/daerah, contohnya gulma alang-alang (Imperata cylindrica) di Indonesia. Gulma eksotik yaitu gulma yang berasal dari daerah (negara) lain, contohnya gulma eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan gulma kiambang (Salvinia molesta) berasal dari negara lain.

1.3.4. Berdasarkan Kesamaan Respon terhadap Herbisida

Berdasarkan kesamaan respon terhadap herbisida, gulma dibedakan menjadi tiga golongan yaitu gulma rumput-rumputan (grasses), gulma berdaun lebar (broadleaves), dan gulma teki (sedges). Gulma rumputan atau disebut sebagai gulma berdaun pita merupakan gulma dari kelompok graminae yang memiliki ciri-ciri tulang daun sejajar tulang daun utama, panjang dan lebar daun jelas berbeda. Contoh gulma golongan rumput antara lain Cynodon dactylon, Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, dan masih banyak lagi. Gulma golongan teki merupakan gulma dari famili Cyperaceae dengan ciri utama penampang batangnya segitiga. Gulma berdaun lebar sebagian besar merupakan dikotil tetapi ada beberapa golongan monokotil, seperti eceng gondok dan lidah buaya.

1.3.5. Berdasarkan Tempat Tumbuh

Berdasarkan tempat tumbuhnya, gulma digolongkan menjadi gulma darat (terestrial) dan gulma air (aquatic). Gulma terrestrial adalah gulma yang tumbuh di daratan, seperti Cyperus rotundus. Gulma aquatic adalah gulma yang tumbuh di air/perairan, seperti eceng gondok (Eichornia crassipes), kayu apu (Pistia stratiotes).

1.3.6. Berdasarkan Sifat Gangguannya (Kompetisinya)

Berdasarkan sifat gangguannya, gulma digolongkan menjadi gulma biasa (common weed) dan gulma ganas (noxious weed). Gulma biasa (common weed) adalah gulma yang menyebabkan gangguan kurang nyata pada tanaman budidaya, gulma yang gangguannya lebih rendah lagi digolongkan sebagai gulma lunak (soft weed). Gulma ganas (noxious weed) adalah golongan gulma yang gangguannya nyata.

Beberapa ciri gulma ganas antara lain : a) Menimbulkan kemerosotan hasil secara nyata. Sebagai contoh, Scirpus supinus dengan populasi 200/m2 belum menurunkan hasil tanaman

(6)

6 padi. Scirpus maritimus dengan populasi 20/m2 telah menurunkan hasil padi secara nyata; b) cara perbanyakan vegetatif dan ataupun generatif berlangsung cepat; c) laju pertumbuhan vegetatif sangat tinggi; d) propagula (alat perkembangbiakannya) mempunyai dormansi yang ekstrim; e) mampu bertahan terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan. Beberapa spesies gulma dapat bermodifikasi tertentu sesuai dengan keadaan lingkungan yang dihadapinya. Contoh gulma Paspalum vaginatum pada air tawar habitusnya besar, pada air asin atau keadaan kekurangan air habitusnya kecil. Gulma Portulaca sp. pada musim hujan daunnya besar, pada musim kering daunnya kecil. Dengan adanya berbagai sifat tersebut pada umumnya gulma ganas sukar dikendalikan.

1.3.7. Berdasarkan Jenis/Kelompok Tanaman Budidaya Dimana Gulma Berasosiasi Berdasarkan jenis tanaman budidaya yang menjadi tempat tumbuhnya, gulma digolongkan menjadi gulma tanaman pangan, gulma tanaman perkebunan, dan gulma tanaman padi sawah. Namun, penggolongan ini kurang jelas karena beberapa jenis gulma dapat berasosiasi dengan beberapa jenis tanaman. Sebagai salah satu contoh Borreria alata, dijumpai pada lahan tanaman perkebunan, tetapi juga dijumpai pada lahan tanaman pangan.

1.3.8. Berdasarkan Kondisi (sifat) Lahan Tempat Tumbuh

Berdasarkan sifat lahan tempat tempat tumbuhnya, gulma dapat digolongkan menjadi gulma pada pH tinggi atau pH rendah, gulma pada tanah berlengas tinggi atau rendah, gulma yang tahan pada kadar garam tinggi, dan gulma yang tumbuh baik pada tempat terlindung cahaya atau sebaliknya. Sebagai contoh, gulma Imperata cylindrica mampu tumbuh dengan baik pada tanah sangat masam selama kondisi cahaya terbuka penuh. Gulma harendong (Melastoma malabathricum) merupakan indikator gulma di tanah masam.

Gulma dari golongan pakis akan tumbuh subur pada areal yang lembab dan ternaungi. Seringkali gulma golongan pakis ini mendominasi areal perkebunan yang telah menghasilkan, karena kondisi ekologinya yang cocok.

1.4. Sifat Umum Gulma Dibandingkan dengan Tanaman

Gulma memiliki sifat umum yang dapat membedakan dengan tanaman budidaya antara lain, adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan terganggu, jumlah biji yang dihasilkan banyak sekali, daya kompetisi tinggi, dormansi biji lama sekali, kesanggupan bertahan hidup pada keadaan lingkungan tumbuh yang tidak menguntungkan lebih besar, sanggup menyebar luas/berkembang biak secara vegetatif disamping pembiakan generatif. Dengan sifat-sifat tersebut, maka gulma sering mendapat julukan The Strong Competitor, The Exellent Travellers/The Silent Travellers, One Year of Seed Gives Seven Years of Weeds.

1.5. Beberapa Manfaat / Kegunaan Gulma

Tuhan menciptakan segala sesuatu diyakini pasti mempunyai fungsi dan manfaat atau nilai positif. Gulma, yang dikelompokkan sebagai tumbuhan yang mengganggu dan merugikan, dalam beberapa hal diketahui memberikan manfaat bagi manusia. Beberapa manfaat yang diperoleh dari tumbuhan gulma antara lain sebagai bahan penutup tanah dalam bentuk mulsa yang kemudian akan meningkatkan bahan organik setelah melapuk, mengurangi

(7)

7 atau mencegah bahaya erosi, sebagai bahan makanan ternak, sebagai penghasil bahan bakar (biogas, arang), sebagai bahan baku industri/kerajinan (kertas, anyaman), sebagai media tumbuh jamur merang (gulma air), dan sebagai bahan obat-obatan

a. Gulma mempunyai peran penting dalam ekosistem pertanian.

Dalam ekositem pertanian, seluruh komponen yang terdiri atas petani, sapi, ayam, atau kerbau peliharaannya, serta komponenen lainnya baik biotik maupun abiotik saling berinteraksi satu sama lain secara terus menerus. Gangguan terhadap salah satu komponen akan menganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Pengendalian gulma yang kurang tepat atau penggunaan herbisida yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap keseimbangan ekosistem dan dapat merugikan usaha pertanian.

b. Gulma dapat menyuburkan tanah.

Pada dasarnya setiap jenis tumbuhan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menyerap unsur hara dari dalam tanah. Di lahan pertanian, keberadaan gulma tidak hanya memberikan pengaruh negatif karena berkompetisi dengan tanaman atau karena sifat alelopatinya, tetapi gulma juga mempunyai peran penting dalam menjaga kesuburan dan menyeimbangkan perbandingan unsur hara di dalam tanah. Beberapa jenis gulma yang mempunyai perakaran dalam sampai beberapa meter dapat berfungsi sebagai pompa yang dapat membawa unsur hara dari lapisan yang dalam ke permukaan tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang berakar dangkal. Keberadaan gulma juga dapat membuat lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan jasad renik. Pengaruh positif yang tiadak boleh dilupakan adalah fungsi dan perannya dalam perlindungan tanah dari bahaya erosi, khususnya daerah-daerah miring dengan curah hujan yang tinggi. Menurut Idjudin (2011) kombinasi antara pembuatan teras dengan penanaman penguat teras seperti rumput dan legume dapat dijadikan cara untuk pengendalian erosi. Selain itu, pengendalian erosi dengan menggunakan rumput dan legume sangat efektif untuk dataran rendah atau tinggi meliputi kemiringan 15%-25% dengan kedalaman solum mencapai 40 – 90 cm (Deptan, 2006).

c. Gulma dapat mengurangi menurunkan populasi dan intensitas serangan hama.

Beberapa jenis hama lebih menyukai gulma dibandingkan dengan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan perkataan lain hama tersebut akan menyerang tanaman, bila tidak ada gulma. Selain itu gulma dapat menjadi inang pemangsa jasad pengganggu (hama) tanaman, sehingga keberadaan gulma dapat mengurangi populasi dan intensitas serangan hama tanaman. Di India dan Kenya penggunaan trap crop untuk menghalau hama Plutella xylostella pada tanaman brokoli berdampak positif terhadap serangan hama dan penyaki. Trap crop yang biasanya digunakan adalah gulma dari golongan Brassica sp. (Bendenes-perez and Shelton, 2006)

d. Gulma mempunyai peran penting dalam program pemuliaan tanaman.

Banyak tanaman budidaya penting di dunia berasal dari gulma atau tumbuhan liar. Tanaman rye dan oat yang banyak dibudidayakan di Timur Tengah dan Eropa Barat berasal dari gulma pada tanaman barley dan gandum. Demikian juga tanaman bayam, squash dan Jagung, semula merupakan gulma pada tanaman singkong dan ubi jalar di

(8)

8 Amerika Tengah (1986). Di Indonesia, saat ini banyak gulma yang diteliti sebagai sumber bahan dan pakan baru ataupun sebagai sumber bahan simplisia obat. Gulma Phyllanthus niruri (meniran merah) dan Phyllanthus urinaria (meniran merah) ternyata memiliki kandungan filantin dan hipofilantin yang berguna untuk penyembuhan penyakit saluran uretra dan pencernaan mulai dibudidayakan untuk menghasilkan bahan simplisia (Oktavidiati, et al. 2011).

e. Gulma digunakan sebagai sumber plasma nutfah untuk perbaikan genetik tanaman. Tanaman gandum yang toleran terhadap hama, penyakit dan cekaman lingkungan diperoleh dari persilangan Triticum dicocum (tanaman budidaya) dengan Triticum taushii (tumbuhan liar) (Plucknett dan Smith, 1986). Dengan kemajuan bioteknologi kemungkinan pemanfaatan gulma dalam program pemuliaan tanaman semakin besar. Saat ini para peneliti di Departemen Agronomi dan hortikultura, Institut Pertanian Bogor sedang mencoba memindahkan gen dari gulma Melastoma malabhatricum (harendong) yang sangat toleran masam ke tanaman budidaya, untuk memperoleh tanaman yang mampu beradaptasi pada tanah-tanah masam yang sangat banyak tersebar di Indonesia

1.6. Masalah Gulma di Wilayah Tropika 1.6.1. Potensi Wilayah Tropika

1.6.1.1. Letak Geografis

Secara geografis Indonesia sebgai wilayah tropika terletak antara 95” BT sampai 141”B, dan 6” sampai 11” LS dengan lebar dari utara sampai selatan sekitar 2000 km, dan panjang timur sampai barat sekitar 5000 km. Keragaman suhu di bawah 500 m berkisar antara 3 – 4 “. Permukaan laut memiliki suhu maksimum berkisar antara 30 – 34”C dan suhu minimum antara 20 – 25”C. Pada ketinggian 500 m dpl suhu maksimum antara 27 – 31”C dan suhu minimum 17 – 22”C. Diatas ketinggiann 500 m dpl, suhu maksimum dan minimum akan menurun sebesar 6.01”C dan 5.33”C setiap peningkata 1000 meter. Kelembaban relatif pada umumnya tinggi dan seragam berkisar 80%, kecuali pada daerah kering di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Leste yang tingkat kelembabannya lebih rendah (60 – 65%) pada Juni – September.

1.6.1.2. Cahaya Matahari Sepanjang Tahun

Wilayah tropika meliputi wilayah katulistiwa dengan wilayah ke utara dan ke selatan sampai sekitar garis balik lintang 23.5”. Wilayah tropika di dunia diperkiarakan seluas 40% permukaan bumi. Tidak semua wilayah yang terletak antara lintang tropika tersebut beriklim tropika, karena ketinggian tempat akan berpengaruh terhadap iklim setempat. Meskipun terletak antara lintang tropika, iklim di wilayah pegunungan akan mendekati iklim sub-tropika. Iklim tropika memiliki ciri intensitas radiasi surya, suhu dan kelembaban yang tinggi sepanjang tahun. Suhu rata-rata tahunan terendah di wilayah beriklim tropika adalah 18”C.

Wilayah tropika ditandai dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi yang bersifat konstan sepanjang tahun. Hal ini terjadi karena pancaran radiasi sinar matahari yang tegak lurus pada permukaan bumi. Keadaan demikian menyebabkan paparan cahaya pada permukaan tanah lebih merata dan suhu cukup tinggi pada hampir semua daerah. Meskipun demikian,

(9)

9 tingginya curah hujan dan keawanan juga berpengaruh terhadap tingkat intensitas sinar matahari aktual yang sampai ke permukaan bumi. Akibatnya, radiasi sinar matahari akan menurun seiring dengan ketinggian tempat.

1.6.1.3. Suhu Konstan Sepanjang Tahun

Di wilayah tropika rata-rata suhu di dataran rendah lebih tinggi dibandingkan dengan di dataran tinggi. Secara linier makin tinggi suatu tempat, makin rendah suhunya. Tabel 2 menunjukkan rata-rata penurunan suhun setiap kenaikan 100 m adalah 0.6°C. Meskipun demikian, terdapat perkecualian untuk beberapa wilayah.

Tabel 2. Perubahan Suhu Berdasarkan Perubahan Ketinggian Tempat

Keterangan Ketinggian Suhu

Zona panas 0-600 dpl 26.3oC – 22.0oC

Zona sedang 600-1500 dpl 22.0oC – 17.1oC

Zona sejuk 1500-2500 dpl 17.1oC – 11.1oC

Zona dingin 2500-4000 dpl 11.1oC – 6.2oC

Zona salju tropis >4000 dpl <6.2oC

Sumber : Junghuhn (1853)

1.6.1.4. Distribusi Curah Hujan Secara Spasial dan Temporal

Berdasarkan curah hujan Koppen membagi iklim tropika menjadi tiga kelompok besar, yaitu: tipe iklim tropika basah (Af), tipe iklim tropika basah dan kering (Am, Aw, Bs), dan iklim gurun tropika (Bw). Untuk Indonesia, tipe iklim Af, Am, Aw dan BS sangat relevan untuk menggambarkan lahan yang potensial untuk pertanian. Tipe iklim tropika basah berada pada lintasan ITCZ (Inter Tropical Convergen Zone) yang mendapatkan curah hujan tinggi dengan rata-rata tahunan sebesar >2000 mm. ITCZ merupakan wilayah yang mrngalami pemanasan lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya sehingga mempunyai tekanan udara yang rendah yang mendorong turunnya hujan. Secara umum di wilayah tropika Indonesia, mempunyai dua musim, yaitu: musim kemarau, pada saat suhu meningkat dengan kerapatan fluxs radiasi surya tinggi, dan musim hujan, pada saat terjadinya keawanan yang tinggi dan radiasi surya rendah yang menyebabkan suhu rendah.

Pola umum curah hujan di Indonesia ditentukan oleh zone tekanan rendah ITCZ, yang dalam musim kemarau berada di sebelah utara Indonesia dan pada puncak musim penghujan di sebelah selatan Indonesia. Selama bulan Desember (musim penghujan) angin bergerak dari utara (Siberia) dan timur laut (Pasifik Utara) ke arah ITCZ melalui Indonesia membawa udara lembab. Selama bulan Agustus (musim kemarau) angin kering dan sejuk bergerak dari daerah tekanan udara tinggi di benua Australia dan mengakibatkan musim kering di sebagian besar wilayah Indonesia. Pantai barat Sumatera sebelah utara dipengaruhi oleh daerah tekanan udara tinggi di atas Samudera Hindia. Penentu curah hujan lain di Indonesia adalah barisan pegunungan yang terdapat di Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Papua. Karena ada modifikasi tersebut, maka terjadilah pola hujan yang berlawanan seperti di Maros dan Sinjai (Sulawesi Selatan) dan pola curah hujan bimodal seperti yang terjadi di Banyumas, Lahat dan Pontianak.

(10)

10 Sekitar 94% dari wilayah di Indonesia menerima curah hujan lebih dari 1500 mm/tahun. Ini berarti jumlah curah hujan yang lebih besar dari laju evapotranspirasi aktual yang mencapai sekitar 1400 mm/tahun. Berdasarkan ketersediaan air, keadaan ini berarti memungkinkan dilaksanakannya kegiatan pertanian sepanjang tahun di seluruh Indonesia (Tabel 3). Demikian juga keadaan ini menunjukkan gulma dapat hidup sepanjang tahun.

Tabel 3. Areal yang Menerima Curah Hujan Berbeda di Indonesia

No Jumlah Curah hujan Wilayah

1 <1000 mm/th Nusa Tenggara, Sulawesi (Palu dan Luwuk) 2 1000-2000 mm/th sebagian Nusa Tenggara, Merauke,

Kepulauan Aru, Tanibar

3 2000-3000 mm/th Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, Kalimatan Timur, Jawa Barat (sebgaian besar), Jawa Tengah, Irian Jaya, Kepulauan Maluku, dan Sulawesi (sebagian besar) 4 >3000 mm/th Dataran tinggi Sumatera Barat, Kalimatan

Tengah, Dataran tinggi Irian bagian Tengah, sebagian Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba

Hujan terbanyak di Indonesia terdapat di Baturaden Jawa Tengah, yaitu curah hujan mencapai 7,069 mm/tahun. Hujan paling sedikit di Palu Sulawesi Tengah, merupakan daerah yang paling kering dengan curah hujan sekitar 547 mm/tahun.

Pulau-pulau di Nusa Tenggara, pada umumnya beriklim kering dengan curah hujan 1000 – 2000mm/tahun. Sebagian besar wilayah Flores, Sumba, Sumbawa dan Lombok mempunyai curah hujan 1000 – 3000 mm, dan curah hujan kurang dari 1000 mm terjadi di sekitar pantai, sedangkan didaerah pegunungan menerima curah hujan lebih dari 4000 mm/tahun

1.6.2. Tantangan Pertanian Tropika 1.6.2.1. Keragaman biodiversitas tinggi

Sebagai salah satu negara di wilayah tropika, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki plasma nutfah tertinggi di dunia setelah Brazil. Karena agroklimat yang mendukung, tumbuhan, hewan, mikroorganisme pada umumnya dapat berkembang dengan baik sepanjang tahun. Dari sudut pandang agronomi, lingkungan di wilayah tropika memungkinkan kegiatan penanaman sepanjang tahun. Secara lebih mendasar, dari sudut pandang biologi, tekanan abiotik yang tinggi di wilayah tropika akan mendorong terjadinya keragaman genetik yang tinggi dari tumbuhan asli maupun tanaman introduksi termasuk gulma. Keragaman genetik dari spesies gulma (Yakup, 1998, Guntoro 2011). Driving force berupa tekanan abiotik akan merupakan faktor pendorong keragaman plasma nutfah dan sumber keragaman genetik tanaman pertanian.

1.6.2.2. Cahaya matahari tidak terbatas

Seperti telah dikemukakan, penyinaran di wilayah tropika relatif tetap ada sepanjang tahun. Sinar matahari yang selalu ada dengan intensitas yang tinggi memungkinkan proses fotosintesis menjadi kurang efektif karena proses respirasi juga relatif tinggi.

(11)

11 1.6.2.3. Variasi Jenis Lahan

Lahan pertanian yang tersedia di wilayah tropika dapat dikelompokkan menjadi lahan kering dan lahan basah (termasuk rawa). Sistem pertanian yang dilakukan di lahan kering sangat tergantung dari ketersediaan air hujan. Meskipun demikian, kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk merancang sistem produksi pertanian yang stabil di tingkat nasional, bila data perwilayahan (spasial) tersedia dan dimanfaatkan.

Pada umumnya tanah-tanah yang terbentuk di wilayah beriklim tropika adalah masam, mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) rendah, P, Ca, Mg rendah, dan sering diikuti oleh konsentrasi Al, Mn dan Fe tinggi hingga berpotensi meracuni tanaman. Kesuburan tanah relatif tinggi pada tanah-tanah vulkanik muda, alluvial, dan tanah yang terbentuk di daerah beriklim lebih kering.

Tanah di daerah rawa khususnya bagian bawah secara periodik tergenang atau tidak pernah kering. Bahan tanah yang tergenang tersebut terdiri atas mineral endapan yang berasal dari tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi dan gambut yang berakumulasi dari vegetasi mati yang tidak terdekomposisi secara sempurna. Berdasarkan tingkat pelapukan dan kandungan mineralnya dikenal gambut mentah (oligotropik), gambut matang (mesotropik) dan tanah bergambut (eutropik). Gambut tipis yaitu bila ketebalannya kurang dari 1 meter, dapat digunakan untuk usaha pertanian. Gambut oligotropik mempunyai kandungan hara tersedia yang rendah dan terakumulasi terutama pada lapisan atasnya. Asam-asam organik yang berlebihan dan senyawa sulfat di daerah pantai juga merupakan kendala lain bagi usaha pertanian (Rumawas, 1984)

1.6.2.4. Gangguan Cuaca

Siklon tropika adalah sistem angin pusaran yang melanda wilayah pusat tekanan rendah atmosfer di antara lintang 23.5°LU – 23.5°LS. Badai topan biasanya berdiameter 650 km, bahkan di Laut Cina diperkirakan ukurannya lebih besar. Tekanan permukaan di pusat badai biasanya 950 mb, dan dalam keadaan luar biasa bisa mencapai 050 mb.

Gangguan cuaca lainnya adalah adanya el Nino dan la Nina. Dua macam gangguan ini terjadi di wilayah tropika, tepatnya di lautan Pasifik Tengah hingga Timur sebagai pusat terbentuknya. Akibat gangguan cuaca ini 1982/1983 terjadi kekeringan yang juga melanda Indonesia.

Mekanisme pembentukan la Nina merupakan kebalikan dari pembentukan el Nino. Udara yang sarat dengan uap air akan mengembun di wilayah Indonesia dalam perjalanannya menuju Samudera Hindia. Pada peristiwa bulan Desember 1988 – Januari 1989, karena wilayah Indonesia terdiri dari banyak pulau, maka arus masa udara yang menuju Samudera Hindia tersebut membentuk osilasi (gelombang udara). Keadaan ini merangsang pempentukan awan di beberapa daerah di Indonesia yang kemudian meningkatkan curah hujan. Akibatnya terjadi banjir di beberapa kota di Jawa seperti Semarang, Pekalongan, Indramayu, Bekasi dan Jakarta (Handoko, 1993)

1.6.2.5. Dinamika Organisme Pengganggu Tanaman

Komposisi biologis daerah tropika umumnya terdiri dari spesies tumbuh-tumbuhan alami (asli) maupun introduksi yang sangat banyak dan beragam. Iklim tropika yang panas dan lembab sepanjang tahun memungkinkan terdapatnya produktivitas tanaman yang tinggi. Di sisi

(12)

12 lain, pada kondisi tersebut organisme pengganggu seperti hama, penyakit dan gulma juga berkembang pesat, dan menimbulkan masalah yang besar. Penyakit virus, bakteri,cendawan dan sebagainya dan berbagai bentuk hama besar dan kecil merupakan masalah-masalah besar pada pertanian di wilayah tropika. Khususnya pada pertanian lahan kering, gulma merupakan masalah yang berat.

Seperti telah dikemukakan, wilayah tropika termasuk Indonesia memiliki keragaman jenis tanah dan iklim serta keragaman biodiversitas yang tinggi. Dengan demikian kegiatan pertanian harus menyesuaikan terhap kondisi iklim dan tanah tersebut, dan mengahasilkan ekosistem pertanian yang sangat beragam. Berdasarkan kondisi air, secara garis besar terdapat dua kelompok sistem pertanian di Indonesia, yaitu sistem pertanian lahan basah dan sistem pertanian lahan kering. Kedua sistem pertanimempunyai masalah gulma yang berbeda. Secara lebih rinci, masalah gulma di wilayah tropika Indonesia menjadi masalah dalam berbagai ekosistem sebagai berikut:

 Gulma pada pertanian lahan basah (sawah, rawa)

 Gulma pada pertanian lahan kering tanaman semusim

 Gulma pada pertanian lahan kering tanaman tahunan

 Gulma pada kehutanan/hutan tanaman industri

 Gulma pada pertanian tanaman makanan ternak dan padang pengembalaan

 Gulma pada perikanan dan perairan terbuka

1.7. Pengaruh Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produksi

Sejak manusia mengusahakan pertanian, gulma yang berinteraksi langsung dengan kualitas panen telah menjadi masalah. Gulma menyebabkan gangguan pada tanaman budidaya dan menyebabkan kerugian seperti halnya hama dan penyakit, namun gejala gangguan akibat gulma tidak jelas dan spektakuler seperti serangan hama dan penyakit. Gulma mendapat perhatian lebih besar di bidang fisiologi tumbuhan, terutama sejak ditemukannya 2,4-D (asam 2,4-diklorofenoksiasetat) pada tahun 1940-an sebagai herbisida. Sejak tahun 1980, gulma diletakkan sejajar dengan hama dan penyakit sebagai organisme pengganggu tanaman.

Menurut Sastroutomo (1990) gulma dapat mengganggu dan menurunkan produksi tanaman dengan tiga cara :

1. kompetisi atau alelospoli, yaitu persaingan terhadap satu atau lebih sumberdaya yang terbatas jumlahnya seperti cahaya, hara, dan air

2. alelopati, yaitu gangguan yang disebabkan oleh senyawa kimia yang dihasilkan oleh gulma baik sewaktu hidup atau setelah mati (bagian-bagian yang busuk) yang mempengaruhi pertumbuhan jenis-jenis lain yang tumbuh di dekatnya

3. alelomediasi yaitu sebagai perantara timbulnya sumber-sumber pengganggu lainnya yang berpengaruh terhadap faktor-faktor fisik maupun faktor biologis lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi seperti jenis-jenis yang bertindak sebagai inang hama penyakit .

Kompetisi dan alelopati merupakan fenomena yang lebih banyak ditemukan dalam hubungan antara gulma dan tanaman. Perbedaan antara kompetisi dan alelopati yaitu pada kompetisi terjadi pengambilan dan pengurangan satu atau lebih faktor tumbuh (air, cahaya, hara) dari lingkungan, sedangkan pada alelopati terjadi penambahan senyawa yang dikeluarkan

(13)

13 ke lingkungan. Pada kenyataannya dalam suatu ekosistem, fenomena alelopati dan kompetisi sangat sulit dibedakan satu sama lain sehingga dikenal istilah interferensi yang mencakup batasan keduanya (Rice, 1995; Qasem dan Foy, 2001).

1.7.1. Kerugian akibat kompetisi gulma

Menurut Odum (1971) kompetisi adalah hubungan interaksi dua individu tumbuhan baik yang sesama jenis maupun berlainan jenis yang dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi keduanya sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya yang ada dalam keadaan terbatas secara bersama. Kompetisi yang biasa terjadi di alam meliputi kompetisi intraspesifik yaitu interaksi negatif antar sesama jenis, misalnya antara kedelai dengan kedelai, dan kompetisi interspesifik yaitu interaksi negatif yang terjadi pada tumbuhan berbeda jenis, misalnya antara kedelai dengan gulma teki.

Kompetisi gulma dapat menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas hasil panen. Penurunan kuantitas hasil panen terjadi melalui dua cara yaitu pengurangan jumlah hasil yang dapat dipanen, dan penurunan jumlah individu tanaman yang dipanen. Besarnya penurunan hasil panen sangat bervariasi tergantung dari jenis tanaman, jenis gulma, dan faktor-faktor pertumbuhan yang mempengaruhinya. Penurunan kualitas hasil akibat kompetisi gulma terjadi karena tercampurnya biji gulma dengan hasil panen dan adanya gulma yang mempengaruhi pemanenan seperti gulma merambat atau gulma berkayu. Harga hasil panen menurun akibat tercampur dengan biji gulma. Besarnya daya kompetisi gulma tergantung pada beberapa faktor antara lain jumlah individu gulma dan berat gulma, siklus hidup gulma, periode adanya gulma pada pertanaman, dan jenis gulma.

1.7.1.1. Pengaruh jumlah individu dan berat gulma.

Jumlah individu gulma, meskipun bukan ukuran yang tepat bagi kompetisi, menentukan daya kompetisi gulma dengan tanaman. Berat gulma merupakan ukuran yang lebih baik dibandingkan dengan jumlah individu karena lebih tepat dalam menggambarkan jumlah sumberdaya yang dapat diserap oleh gulma sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gulma Echinochloa crus-galli dengan kepadatan 1 individu per 0.1 m2 dapat menurunkan produksi padi sebesar 57%. Gulma dengan berat 1 kg dapat menurunkan hasil panen kedelai 0.16-0.65 kg/ha (Sastroutomo, 1990). 1.7.1.2.Pengaruh perbedaan siklus hidup.

Siklus hidup yang singkat pada sebagian besar gulma semusim merupakan salah satu faktor yang menentukan daya kompetisi gulma terhadap tanaman. Sebagian besar gulma semusim mempunyai daya kompetisi yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman budidaya, namun dapat menurunkan hasil panen karena populasinya yang tinggi. Jenis gulma dengan siklus hidup singkat dapat mengakibatkan penurunan hasil panen pada tanaman jagung. Gulma jenis ini menghasilkan 15 - 18% dari seluruh berat totalnya hanya dalam waktu 2 – 3 minggu setelah berkecambah, sedangkan pada jagung dalam waktu yang sama hanya menghasilkan 1% dari seluruh total berat keringnya (Mahfudz et al., 2002).

1.7.1.3.Pengaruh jenis gulma.

Gulma berdaun lebar cenderung dapat menurunkan hasil panen yang lebih besar dibandingkan dengan gulma rerumputan atau sejenisnya. Hampir semua jenis rerumputan

(14)

14 adalah jenis C4, maka pengaruh kompetisinya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan gulma berdaun lebar akibat dari pertumbuhannnya yang menyebar luas dengan daun yang tumbuh horizontal sehingga membuatnya semakin kompetitif terhadap cahaya. Dari 10 jenis gulma penting dunia, 8 diantaranya jenis rumput-rumputan.

1.7.1.4. Pengaruh periode adanya gulma.

Lamanya gulma berada bersama-sama dengan tanaman menentukan besar kecilnya daya kompetisi gulma terhadap tanaman. Sebagian besar tanaman budidaya hanya dapat bertahan hidup bersama-sama gulma dalam waktu yang relatif singkat, tergantung dari jenis gulma dan tanaman budidayanya. Secara umum, semua jenis tanaman akan memiliki periode ketahanan yang rendah terhadap gulma pada saat awal pertumbuhannya. Pertumbuhan awal tanaman yang berlangsung bersamaan dengan gulma yang jumlahnya sedikit tidak akan menurunkan hasil panen.

1.7.1.5. Kerugian akibat alelopati

Istilah alelopati (allelopathy) pertama kali dikemukakan oleh Hans Molisch tahun 1937. Alelopati berasal dari kata allelon (saling) dan pathos (menderita). Menurut Molisch, alelopati meliputi interaksi biokimiawi secara timbal balik baik yang bersifat penghambatan maupun perangsangan antara semua jenis tumbuhan termasuk mikroorganisme. Tahun 1974, Rice memberikan batasan alelopati sebagai keadaan merugikan yang dialami tumbuhan akibat tumbuhan lain, termasuk mikroorganisme, melalui produksi senyawa kimia yang dilepaskan ke lingkungannya. Batasan ini kemudian terus diverifikasi dengan berbagai penelitian. Tahun 1984, Rice melaporkan bahwa senyawa organik yang bersifat menghambat pada suatu tingkat konsentrasi, ternyata dapat memberikan pengaruh rangsangan pada tingkat konsentrasi yang lain. Sejak tahun tersebut, Rice dan sebagian besar ilmuwan yang menekuni alelopati merujuk terhadap batasan yang dikemukakan oleh Molisch. Alelopati kemudian didefinisikan sebagai pengaruh langsung ataupun tidak langsung dari suatu tumbuhan terhadap yang lainnya, termasuk mikroorganisme, baik yang bersifat positif/perangsangan maupun negatif/penghambatan terhadap pertumbuhan, melalui pelepasan senyawa kimia ke lingkungannya (Rice, 1995; Inderjit dan Keating, 1999; Singh et al., 2003).

Terdapat dua jenis alelopati yang terjadi di alam, yaitu alelopati yang sebenarnya dan alelopati fungsional. Alelopati yang sebenarnya adalah pelepasan senyawa beracun dari tumbuhan ke lingkungan sekitarnya dalam bentuk senyawa aslinya yang dihasilkan. Alelopati fungsional adalah pelepasan senyawa kimia oleh tumbuh-tumbuhan ke lingkungan sekitarnya yang kemudian bersifat sebagai racun setelah mengalami perubahan yang disebabkan oleh mikroba tanah.

Pada suatu agroekosistem, senyawa alelopati kemungkinan dapat dihasilkan oleh gulma, tanaman pangan dan hortikultura (semusim), tanaman berkayu (woody plant), residu dari tanaman dan gulma, serta mikroorganisme. Alelopati dari tanaman dan gulma dapat dikeluarkan melalui eksudat dari akar dan polen, dekomposisi organ, senyawa volatile dari daun, batang dan akar, serta pencucian (leachates) dari organ bagian luar (Reigosa et al., 2000; Qasem dan Foy, 2001).

(15)

15 1.7.1.6.Pengaruh allelopati terhadap pertumbuhan

Banyak spesies gulma menimbulkan kerugian dalam budidaya tanaman yang berujung pada berkurangnya jumlah dan kualitas hasil panen. Rice (1984) mencatat 59 spesies gulma yang memiliki potensi alelopati. Inderjit dan Keating (1999) melaporkan hingga 112 spesies, bahkan Qasem dan Foy (2001) menambahkannya hingga 239 spesies. Selain itu, Qasem dan Foy (2001) mencatat 64 spesies gulma yang bersifat alelopati terhadap gulma lain, 25 spesies gulma yang bersifat autotoxic/autopathy, dan 51 spesies gulma aktif sebagai antifungi atau anti bakteri.

Residu tanaman dan gulma dilaporkan menimbulkan efek alelopati pada spesies yang ditanam kemudian. Inderjit dan Keating (1999) melaporkan pengaruh alelopati dari residu tanaman jagung, buah persik (Prunus persica), gandum hitam (Secale cereale), gandum (Triticum aestivum) dan seledri (Apium graveolens). Chung et al. (2003) dan Jung et al. (2004) melaporkan pengaruh alelopati dari residu sekam, batang dan daun padi. Hong et al. (2004) melaporkan pengaruh alelopati dari beberapa jenis tumbuhan yang dapat menekan pertumbuhan gulma sekaligus meningkatkan hasil tanaman padi. Adanya senyawa alelopati dari residu tumbuhan perlu menjadi pertimbangan dalam kegiatan persiapan tanam (pengolahan tanah), pengendalian gulma dan penggunaan serasah sebagai mulsa organik. Residu gulma dan tanaman yang memiliki pengaruh negatif alelopati sebaiknya tidak dibiarkan terdekomposisi di areal pertanaman dan tidak dipergunakan sebagai mulsa organik.

Alelopati dari mikroorganisme telah dilaporkan sejak tahun 1951, yaitu identifikasi senyawa griseofulvin dari Penicillium griseofulvum yang menghambat pertumbuhan tanaman gandum. Beberapa strain Fusarium equiseti juga dilaporkan menghasilkan senyawa yang bersifat toksik terhadap tanaman kapri. Beberapa deleterious rhizobacteria juga dilaporkan menyebabkan penghambatan perkecambahan benih, gangguan pertumbuhan akar dan menjadi peka terhadap serangan patogen pada tanaman target. Selain pengaruhnya pada tanaman, alelopati dari mikroorganisme juga dapat mempengaruhi mikroorganisme lain (Rice 1995). Pada pertanaman padi, inokulasi sianobakteria yang dimaksudkan untuk meningkatkan ketersediaan N, dilaporkan menghasilkan senyawa matabolit sekunder yang berperan sebagai alelopati (Inderjit dan Keating, 1999). Bakteri Streptomyces sagononensis, S. hygroscopicus, dan Pseudomonas flourescens dilaporkan mengeluarkan senyawa alelopati yang menghambat pertumbuhan beberapa tanaman (Singh et al., 2001).

Tepung sari dari gulma Parthenium hysterophorus, Agrotis stolonifora, Erigeron annuus, Melilotus alba, Phleum pretense, Vicia craca, dan Hieracium aurantiacum dilaporkan memiliki pengaruh alelopati (Inderjit dan Keating, 1999). Ditambahkan, bahwa pengaruh alelopati tersebut dapat terjadi pada perkecambahan, pertumbuhan, maupun pembuahan dari spesies target.

Senyawa alelopati mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui berbagai cara, antara lain berpengaruh terhadap penyerapan hara, penghambatan pembelahan sel, penghambatan pertumbuhan, penghambatan aktivitas fotosintesis, pengaruh terhadap respirasi, pengaruh terhadap sintesis protein, perubahan ketegangan membran, dan penghambatan aktivitas enzim. Pengaruh alelopati akan berbeda tergantung pada spesies, kultivar atau bagian tanaman dalam satu varietas. Khusus untuk alelopati yang menekan pada sistem perakaran, jenis tanah akan mempengaruhi efektifitas alelopati.

(16)

16 Bukti-bukti menunjukkan bahwa senyawa alelopati dapat menurunkan kecepatan penyerapan hara oleh tanaman. Hal ini merupakan salah satu mekanisme yang dihasilkan oleh adanya interaksi antar tumbuhan yang dikenal sebagai kompetisi. Adanya senyawa asam salisilat atau ferulat misalnya, dapat menghambat pengikatan kalium dan penyerapan oleh tanaman terutama pada pH rendah.

Beberapa senyawa alelopati berpengaruh menghambat pembelahan sel-sel akar tumbuhan. Perlakuan pemberian kumarin terbukti menghambat pembelahan sel akar bawang secara total. Senyawa terpen yang dihasilkan oleh Salvia leucophylla terbukti menghambat pembelahan sel pada kecambah mentimun. Senyawa terpen juga menghambat pembelahan sel pada beberapa jenis bakteri.

Hormon pertumbuhan yang mempengaruhi pembesaran sel pada tumbuh-tumbuhan adalah asam indol asetat (IAA) dan giberelin (GA). Beberapa senyawa alelopati diketahui menekan aktivitas IAA oksidase. Senyawa asam 3,4-dihidroksibenzoat dan asam ferulat diketahui merupakan senyawa penghambat yang sangat kuat terhadap aktivitas IAA oksidase. Senyawa golongan fenol dan tanin diketahui menghambat aktivitas GA.

Senyawa alelopati dapat menghambat pertumbuhan tanaman melalui penghambatan fotosintesis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam fenolat dapat menurunkan kandungan klorofil dan kecepatan fotosintesis pada tanaman kedelai. Pemberian senyawa skopoletin pada bunga matahari, tembakau, dan bayam menurunkan aktivitas fotosintesis.

Beberapa jenis enzim tumbuh-tumbuhan dihambat oleh adanya senyawa alelopati. Enzim fosforilase pada tomat, sebagai contoh, dihambat oleh adanya asam klorogenat, kafein, dan katekol. Tanin juga dapat menghambat aktivitas enzim peroksidase, katalase, selulose, poligalakturonase, amilase, dan enzim sejenis lainnya.

Hasil penelitian Guntoro et al (2003) menunjukkan bahwa hasil perendaman ekstrak gulma Ageratum conyzoides, Cyperus rotundus, dan Borreria alata dapat menekan daya kecambah kedelai, pertumbuhan kedelai fase muda, panjang akar, dan berat kering biomassa. Selain itu, ekstrak tersebut juga dapat menekan jumlah polong, dan bobot biji per tanaman. Penekanan tersebut diduga disebabkan oleh adanya senyawa allelopati yang dihasilkan oleh ekstrak ketiga gulma tersebut. Lontoh et al. (1990) melaporkan bahwa allelopati yang dihasilkan oleh hijauan dan umbi C. rotundus dapat menurunkan indeks luas daun dan bobot 100 butir kacang tanah dan kedelai. Utomo dan Hermawan (1985) menunjukkan bahwa ekstrak alang-alang dapat menekan pertambahan tinggi kedelai sampai dengan 18%, sedangkan bobot kering kedelai menurun sekitar 55%.

Pemberian ektrak teki (Cyperus rotundus) juga menunda perkecambahan benih padi gogo var Maninjau dan Tondano tetapi tidak berpengaruh pada var Danau Bawah. Tetapi pemberian ekstrak alang-alang tidak berpengaruh pada laju perkecambahan ketiga varietas tersebut. Dari informasi di atas diketahui bahwa efektivitas alelopati hanya pada varietas tertentu dan jenis gulma penghasil alelopati (Kurniasih, 2002). Ditambahkan bahwa, ekstrak teki juga nyata mempengaruhi pertumbuhan padi gogo var Danau Bawah pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, berat kering tajuk, berat kering akar dan laju pemanjangan akar tetapi tidak mempengaruhi rasio akar-tajuk.

(17)

17 1.8. Pengelolaan Gulma

Pengelolaan gulma meliputi tindakan pencegahan (prevention) pengendalian (control) dan pemanfaatan gulma. Pengelolaan gulma bertujuan untuk membatasi atau mengurangi pertumbuhan dan penyebaran gulma. Tindakan pencegahan didasarkan pada tahapan perkembangan gulma yaitu perkecambahan, pertumbuhan, pendewasaan, dan reproduksi. Berdasarkan tahapan tersebut, pendekatan pencegahan gulma meliputi mengurangi jumlah propagule yang diproduksi gulma, mengurangi jumlah gulma yang berkecambah, dan meminimalkan kompetisi yang terjadi antara tanaman dan gulma. Pengendalian gulma merupakan suatu usaha untuk membatasi atau menekan infestasi gulma sampai tingkat tertentu sehingga pengusahaan tanaman budidaya menjadi produktif dan efisien. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara mekanis, kultur teknis, biologis (hayati), kimia (penggunaan herbisida), dan terintegrasi (terpadu). Tindakan pencegahan dan pengendalian bersifat komplementer.

Beberapa tindakan dalam pencegahan maupun pengendalian gulma merupakan penerapan konsep ekofisiologi antara lain pengolahan tanah, pergiliran tanaman, penyiangan, pengaturan jarak tanam, penggunaan tanaman penutup tanah, penggenangan, dan penggunaan mulsa.

1.8.1. Pengolahan tanah

Secara ekologi, pengolahan tanah mempengaruhi lingkungan fisik gulma dalam ekosistem gulma-tanaman. Pengolahan tanah mempengaruhi faktor-faktor penting bagi pertumbuhan gulma seperti regrowth dan seed bank. Namun demikian, pengolahan tanah sebelum penanaman dipandang sebagai tindakan pencegahan dan sekaligus tindakan pengendalian dalam pengelolaan gulma.

Simpanan biji-biji gulma di dalam tanah (seed bank) berada dalam kondisi dorman (dormansi sekunder). Simpanan biji-biji gulma tersebut tidak dapat berkecambah karena kondisi lingkungan tanah yang tidak mendukung perkecambahan. Hasil penelitian (Chozin, 1987) pada gulma Cyperus iria L. dan Cyperus microiria Steud menunjukkan bahwa dormansi sekunder pada gulma tersebut disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kondisi penyimpanan, level air tanah dan cahaya.

Pengolahan tanah menyebabkan biji-biji gulma di dalam tanah muncul ke permukaan tanah dan berkecambah. Selanjutnya, gulma yang berkecambah dan tumbuh pada lahan pertanaman dikendalikan dengan cara manual atau dengan metode pengendalian lainnya sehingga tidak memberi kesempatan gulma untuk berkembangbiak. Dengan tindakan pengolahan tanah yang berulang, semakin lama simpanan biji-biji gulma di dalam tanah semakin berkurang dan pada akhirnya gulma tersebut berada di bawah batas ekonomi pengendalian.

Pengolahan tanah menyebabkan jenis gulma yang hidup lebih dari satu tahun (perennial weed) seperti teki dan alang-alang terpotong-potong dan terbenam di dalam tanah. Ukuran propagul menjadi kecil-kecil dan tidak cukup untuk tumbuh dan muncul ke permukaan tanah akibat cadangan karbohidrat gulma semakin menipis bahkan habis akibat terpotong-potong oleh aktivitas pengolahan tanah. Tunas-tunas baru yang muncul dari sistem perakaran atau rhizoma gulma juga terkendalikan dengan pengolahan tanah.

Metode pengolahan tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan gulma pada suatu pertanaman. Hasil penelitian Pramuhadi et al. (2005) menunjukkan bahwa

(18)

18 penutupan gulma dan bobot kering gulma pada pertanaman tebu cenderung meningkat dengan bertambahnya intensitas penggaruan tanah, tetapi cenderung menurun dengan bertambahnya intensitas pembajakan tanah, terutama pembajakan dengan bajak singkal. Gulma kalah bersaing dengan tebu pada kondisi densitas dan tahanan penetrasi tanah yang rendah. Metode pengolahan tanah dengan intensitas pengolahan tanah minimum yang menghasilkan densitas dan tahanan penetrasi sebesar 1.2 - 1.3 g/cc dan 6.0 - 14.0 kgf/cm2 menyebabkan pertumbuhan gulma menjadi tertekan.

1.8.2. Pergiliran tanaman

Gulma spesies tertentu secara ekologis dapat tumbuh dengan baik pada daerah budidaya dengan jenis tanaman tertentu dan mendominasi daerah pertanaman budidaya. Pergiliran tanaman secara ekologis dapat mencegah adanya dominasi spesies gulma atau kelompok gulma tertentu pada daerah pertanaman budidaya.

Pola tanam berpengaruh terhadap komposisi gulma. Pada pola monokultur dalam waktu yang lama menunjukkan komposisi gulma yang lebih rendah dibandingkan dengan pola tanam rotasi. Mahfudz, et al. (2005) melaporkan perubahan pola tanam dari monokultur jagung, tumpangsari jagung- kakao hingga menjadi monokultur kakao menyebabkan jumlah jenis gulma berkurang dan komunitas gulma cenderung didominasi oleh Paspalum conjugatum. Perubahan pola tanam juga merubah komposisi jenis gulma dominan, dari jenis gulma berdaun lebar digantikan oleh gulma golongan rumput. Ball dan Miller (1993) menemukan 190 jenis gulma pada pola monokultur jagung selama 5 tahun, 245 jenis gulma pada pola rotasi Phaseolus vulgaris (2 tahun)-jagung (3 tahun). Selain perubahan komposisi tersebut, pola tanam juga menyebabkan perbedaan jenis gulma dominan. Gulma Setaria viridis merupakan gulma dominan pada pertanaman jagung terus menerus, sedangkan gulma Amaranthus retroflexus merupakan gulma dominan pada rotasi P. vulgaris - jagung.

1.8.3. Penyiangan

Penyiangan gulma merupakan tindakan pengelolaan gulma yang bertujuan untuk mengurangi/menghilangkan adanya kompetisi antara gulma dengan tanaman. Penyiangan gulma dapat dilihat sebagai tindakan pencegahan maupun tindakan pengendalian gulma. Penyiangan gulma didasarkan pada fase pertumbuhan gulma. Penyiangan yang dilakukan sebelum gulma memasuki fase generatif dapat mencegah perkembangan dan penyebaran gulma melalui biji dan juga mencegah penambahan biji gulma di dalam tanah (seed bank).

Dilihat dari fase perkembangan tanaman budidaya, gulma tidak harus dikendalikan sepanjang periode pertumbuhan tanaman budidaya. Nietto et al. (1968) menyatakan bahwa kehadiran gulma di sepanjang siklus hidup tanaman tidak selalu berpengaruh negatif terhadap produksi tanaman. Terdapat fase dimana tanaman budidaya sensitif terhadap keberadaan gulma dan keberadaan gulma pada fase tersebut dapat menurunkan hasil secara nyata, disebut sebagai periode kritis. Pada periode kritis tersebut gulma perlu dikendalikan agar tidak terjadi kompetisi yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas tanaman.

Penentuan periode kritis tanaman sangat diperlukan dalam pengelolaan gulma agar dicapai efisiensi dalam pengendalian gulma baik dari segi waktu, biaya, maupun tenaga. Omafra (2002) menyatakan bahwa periode kritis tanaman terjadi pada saat kompetisi dengan gulma mulai menurunkan produksi tanaman sebesar 5%. Periode kritis tanaman sangat

(19)

19 ditentukan oleh jenis tanaman, jenis gulma, ukuran benih tanaman, saat tanam, jarak tanam, dan kesuburan tanah, cuaca dan kondisi pertanaman. Moenandir (1993) menyatakan kadar air tanah, jenis tanah, perbedaan musim tanam, dan pola tanam mempengaruhi periode kritis tanaman.

Periode kritis tanaman telah banyak dilaporkan oleh para peneliti di bidang ilmu gulma. Periode kritis tanaman kedelai kultivar Kipas Putih pada jarak tanam 40 cm x 15 cm adalah pada saat 30 – 45 HST (Erida dan Hasanuddin, 1996), pada tanaman jagung manis antara 20 – 50 HST (Syawal, 1999), pada tanaman padi selama 8 minggu pertama setelah tanam (Tobing dan Chozin, 1980), pada tanaman jagung 20-50 hari setelah tanam (Mahfudz, 2005).

1.8.4. Pengaturan pola dan jarak tanam

Pengaturan jarak tanam ditujukan untuk memposisikan tanaman dalam keadaan berkompetisi minimal antar sesamanya sehingga dapat memanfaatkan unsur hara dan cahaya sebaik-baiknya dan tanaman mampu bersaing dengan gulma. Jarak tanam yang terlalu lebar dapat memberikan keleluasaan bagi gulma untuk tumbuh dan berkembang pada barisan tanaman, sementara jarak tanam yang terlalu sempit dapat mengakibatkan terjadinya kompetisi intraspesifik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kepadatan tanaman dengan mengurangi jarak tanam dapat menekan pertumbuhan gulma (Rao, 2000). Semakin rapat jarak tanam pertumbuhan gulma semakin tertekan (Farnham, 2001; Kuepper et al., 2002). Pola tanam tumpangsari secara sangat nyata menekan pertumbuhan gulma dibandingkan dengan monokultur (Chozin, 1976).

1.8.5. Penggunaan tanaman penutup tanah

Tanaman kacang-kacangan penutup tanah (legume cover crop = LCC) memiliki karakter pertumbuhan tajuk yang cepat sehingga dapat menutupi permukaan tanah dengan cepat. Karakter pertumbuhan tajuk yang cepat menutupi permukaan tanah dapat digunakan untuk menekan pertumbuhan gulma tanpa menimbulkan persaingan yang berat terhadap tanaman pokok. Selain itu, tanaman legume tersebut dapat memberikan pengaruh positif seperti peningkatan kesuburan tanah dan pencegahan erosi tanah. Tanaman legume yang sering digunakan untuk tanaman penutup tanah antara lain Calopogonium mucunoides (Cm), Centrosema pubescens (Cp), dan Pueraria javanica (Pj).

Marpaung (1995) melaporkan bahwa penanaman LCC mengakibatkan perubahan dominasi gulma pada kebun kelapa TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) yaitu gulma golongan berdaun lebar menggantikan dominasi gulma golongan rumput-rumputan. Penanaman LCC dengan cara larikan dapat menekan pertumbuhan gulma lebih baik dibandingkan dengan cara tugal dan sebar. Hasil penelitian Tampubolon (2004) menunjukkan bahwa Calopogonium caeruleum dapat menekan pertumbuhan gulma pada tanaman jagung. Mustari (2005) melaporkan bahwa penggunaan tanaman penutup tanah dapat menekan pertumbuhan gulma pada tanaman kelapa sawit. Pueraria javanica dan Centrosema pubescens dapat menekan gulma lebih baik dibandingkan dengan Calopogonium muconoides, Calopogonium caereleum, dan Psophocarpus palustris. Penekanan gulma tersebut disebabkan oleh kecepatan penutupannya yang lebih cepat dibandingkan dengan tanaman penutup tanah lainnya, yaitu sekitar 88.3% untuk P. javanica dan 89.3% untuk C. pubescens pada bulan ke-6 setelah tanam.

(20)

20 1.8.6. Penggenangan

Pada pertanaman padi sawah, pengendalian gulma biasanya dilakukan dengan cara penyiangan. Selain penyiangan, penggenangan yang biasa dilakukan pada padi sawah juga dapat menekan pertumbuhan gulma. Kondisi anaerob akibat penggenangan dapat membatasi perkecambahan dan pertumbuhan gulma. Penggenangan menyebabkan kerusakan gulma melalui hambatan proses respirasi di daerah perakaran akibat berkurangnya oksigen di daerah perakaran. Beberapa tanaman memiliki toleransi terhadap penggenangan, sehingga mampu tumbuh dengan baik pada kondisi tergenang. Namun pada tanaman sensitif, penggenangan dapat menghambat petumbuhan bahkan menyebabkan kematian. Proses fisiologi ini dapat dimanfaatkan untuk menekan pertumbuhan gulma yang tidak toleran pada kondisi genangan.

Penggenangan 5 – 15 cm dapat menekan perkecambahan biji-biji gulma teki dan rumput, sementara gulma golongan berdaun lebar tidak tertekan (Soerjani, et. al., 1977). Populasi gulma teki dapat ditekan dengan penggenangan 5 – 10 cm, sedangkan golongan rumput dapat ditekan dengan penggenangan 10 – 15 cm, bahkan penggenangan 10 – 15 cm dapat menekan populasi teki 3 – 6 kali (Bangun, 1981). Penggenangan 2.5 cm dapat menekan bobot kering gulma total sebesar 76.0% dan menurunkan persen penutupan gulma total sebesar 23.5% dibandingkan dengan tanpa penggenangan. Bobot kering Monochoria vaginalis dapat ditekan dengan penggenangan 2.5 cm (Rusyadi, 1993). Hasil penelitian Pramudyani et al. (2005) menunjukkan bahwa penggenangan dapat menekan pertumbuhan gulma Fimbristylis miliacea pada padi sawah. Semakin tinggi penggenangan, gulma F. miliacea semakin tertekan yang ditunjukkan dengan jumlah anakan gulma F. miliacea yang semakin rendah.

1.8.7. Penggunaan mulsa

Mulsa merupakan bahan limbah/sisa proses tanaman/tumbuhan seperti jerami, serbuk gergaji, limbah hasil pertanian, ataupun bahan buatan seperti hasil industri, plastik, yang digunakan untuk menutupi permukaan tanah. Pemberian dapat menekan pertumbuhan gulma serta memberikan berbagai efek positif bagi tanaman.

Pemberian mulsa ini bermanfaat untuk menekan pertumbuhan gulma, memperbaiki sifat fisik tanah dengan memperkecil fluktuasi suhu tanah, mulsa plastik dapat menaikkan suhu tanah, mengurangi terjadinya erosi, mempertahankan tata air tanah, memperbaiki struktur, aerasi dan konsistensi tanah, memperbaiki sifat kimia tanah, mulsa organik dapat menambah unsur hara ke dalam tanah setelah mulsa tersebut lapuk atau busuk, memperbaiki sifat biologi tanah, mikroorganisme di dalam tanah lebih diaktifkan terutama oleh mulsa alami.

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan mulsa dapat menekan pertumbuhan gulma. Chozin dan Sumantri (1982) melaporkan bahwa mulsa plastik hitam paling efektif menekan gulma dibandingkan dengan berbagai perlakuan mulsa lainnya. Perlakuan mulsa sekam atau jerami mampu menekan pertumbuhan gulma golongan daun lebar dan golongan rumput pada pembibitan tanaman vanili (Wahyuni, 1994). Penggunaan jerami padi efektif menekan gulma pada tanaman bawang putih (Widaryanto dan Damanhuri, 1990), tanaman nanas dan tanaman jahe (Djauhari dan Agus, 2001). Penggunaan mulsa jerami dan daun bambu dapat menekan populasi dan berat kering gulma pada pertanaman melon dengan tingkat penekanan terbaik pada aplikasi mulsa daun bambu 8 cm (Setiawan et al., 2005).

(21)

21 1.8.8. Penggunaan herbisida

Pengendalian gulma secara khemis menggunakan bahan kimia yang disebut herbisida. Herbisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan gulma. Secara kasat mata tanaman dan gulma memiliki morfologi yang hampir sama namun berbeda peran dalam pertanian. Penyemprot harus memastikan bahwa herbisida yang diberikan terarah pada gulma dan meniadakan persentuhan semprotan herbisida terhadap tanaman. Herbisida merupakan bagian atau anggota dari pestisida. Selain herbisida, pestisida terdiri atas insektisida, fungisida, bakterisida dan lain-lain.

Dalam integrated pest management herbisida digunakan sebagai alternatif terakhir jika masih ada cara lain yang lebih efektif dan aman digunakan. Pada tingkat tertentu herbisida merupakan senyawa beracun, sehingga pemakaian herbisida haruslah secara arif bijaksana dan memerlukan pendidikan konsumen dalam hal teknik aplikasi, pemakaian dan keselamatan.

Hebisida umumnya relatif kurang beracun dibandingkan dengan insektisida dan fungisida. Herbisida juga tidak ampuh untuk segala jenis spesies gulma pada setiap tingkatan umur gulma. Herbisida menjadi penting dipertimbangkan pada saat efisiensi menjadi prioritas disaat modal menjadi terbatas atau pertanian dilaksanakan dalam skala luas.

Pemakaian herbisida dalam jangka panjang perlu mempertimbangkan kemungkinan resistensi gulma terhadap aplikasi herbisida. Gulma menjadi lebih tahan terhadap penyemprotan herbisida karena dilakukan berulang-ulang dalam jangka waktu lama dengan menggunakan suatu jenis herbisida yang sama.

Konsep penggunaan herbisida perlu memenuhi kriteria sedikit, selektif, sistemik dan sekuriti (keamanan). Dalam jumlah sedikit herbisida harus efektif menghambat atau mematikan gulma. Herbisida juga harus selektif mematikan gulma dan tanaman terhindar dari efek merugikan. Herbisida juga dimungkinkan untuk dapat masuk dalam sistem jaringan gulma dan mematikan gulma. Herbisida juga harus aman terhadap pemakai atau penyemprot dan lingkungan

Beberapa keuntungan penggunaan herbisida dalam pengendalian gulma adalah : 1) pada umumnya ekonomis (tenaga kerja, waktu, modal) ; 2) gulma yang peka tertekan ; 3) dapat mengggantikan sebagian pengolahan lahan ; 4) kerusakan akar lebih sedikit daripada cara mekanis ; 5) mengurangi erosi ; 6) dapat mengendalikan gulma sejak awal (pra tumbuh) ; 7) dapat menghemat waktu dan tenaga kerja ; 8) dapat menjangkau tempat-tempat yang tidak tercapai secara manual/mekanis 9) saat pengendalian dapat disesuaikan dengan waktu yang tersedia ; 10) areal pemakaian dapat diperluas ; 11) herbisida yang selektif dapat mematikan gulma yang tumbuh dekat tanaman 12) dapat mengurangi gangguan terhadap struktur tanaman ; 13) gulma yang mati dapat berfungsi sebagai mulsa dan berperan sebagai sumber bahan organik.

Selain keuntungan-keuntungan yang didapatkan dalam pemakaian herbisida perlu juga dipertimbangkan beberapa hal dalam pelaksanaannya dalam kerangka pengelolaan sumberdaya lingkungan yang berwawasan dan pembangunan yang berkelanjutan, diantaranya : 1) memerlukan kecakapan (pengenalan bahan, penggunaan alat, perlengkapan pelindung, kalkulasi); 2) keamanan bagi lingkungan ; 3) keselamatan pemakai ; 4) pendidikan konsumen. Oleh karena itu penelitian dan uji coba penggunaan herbisida perlu dilakukan secara lebih berhati-hati dan selektif. Disamping itu ditinjau dari berbagai aspek yang menyangkut penggunaan jenis, dosis, waktu, mutu dan keamanan terhadap petani serta lingkungannya patut mendapatkan perhatian

Referensi

Dokumen terkait

Pada kalimat (22) saja muncul pada predikat yang mengalami inversi dan menunjukkan pertentangan 'kalau ia tidak bisa membohongi anaknya sendiri, bagaimana ia bisa membohongi

1). Memilih bahan yang sesuai dengan desain. Desain pakaian bisa berupa foto atau sketsa. Untuk menentukan bahan yang cocok digunakan untuk model tersebut dapat dilakukan

Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian tepung daging limbah ikan lele sepenuhnya dapat menggantikan tepung ikan tanpa mempengaruhi bobot potong, namun

Pada format APA, kutipan tidak langsung dituliskan dalam kalimat/teks, Pada format APA, kutipan tidak langsung dituliskan dalam kalimat/teks, dengan mencantumkan nama

Tempat : Wisma PGRI Desa Binong KAKA SUMINTA... USEP

Ia menjelaskan, sesuai dengan konsep 10 pasar rakyat ini akan dibangun di pasar tradisional yang sudah ada sebelumnya (existing). Pasar-pasar itu dipilih menjadi pasar rakyat

Bantuan dan dukungan jemaat dapat diberikan melalui amplop dan dapat dimasukan dalam pundi pada saat ibadah Minggu atau dapat langsung di setor ke kasir Gereja atau di transfer

Selanjutnya faktor eksternal yang berpengaruh pada pengembangan Integritas adalah Clear and Consistent Institutional Objective yaitu adanya tujuan yang jelas dari Kelompok