• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Manajemen Pemasaran a. Pengertian Pemasaran

Pemasaran adalah salah satu kegiatan pokok yang perlu dilakukan oleh perusahaan baik itu perusahaan barang atau jasa dalam upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup usahanya. Hal tersebut disebabkan karena pemasaran merupakan salah satu kegiatan perusahaan, di mana secara langsung berhubungan dengan konsumen. Maka kegiatan pemasaran dapat diartikan sebagai kegiatan manusia yang berlangsung dalam kaitannya dengan pasar.

1. Menurut American Marketing Association yang dikutip oleh kotler dan keller (2007) pemasaran adalah satu fungsi yang organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan, pengkomunikasikan,dan menyerahkan nilai kepada pelanggan dan mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan para pemilik sahamnya.

2. Menurut drucker seorang ahli teori manajemen terkemuka dikutip oleh kotler dan keller (2007) orang dapat mengasumsikan akan selalu ada kebutuhan penjualan. Akan tetapi, tujuan pemasaran bukan untuk memperluas penjualan

(2)

hingga kemana–mana. Tujuan pemasaran adalah mengetahui dan memahami pelanggan sedemikian rupa sehingga produk atau jasa itu cocok dengan pelanggan dan selanjutnya menjual diri sendiri. Idealnya, pemasaran hendaknya menghasilkan seorang pelanggan yang siap untuk membeli. Semua yang dibutuhkan selanjutnya adalah menyediakan produk atau jasa itu.

Dengan demikian bahwa Pemasaran berhubungan dengan mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat dan juga memenuhi kebutuhan secara menguntungkan.Jangkauan pemasaran sangatlah luas.Berbagai tahapan kegiatan harus dilalui oleh barang-barang dan jasa sebelum samapai ke tangan konsumen.

b. Pengertian Manajemen Pemasaran

Pengertian Manajemen Pemasaran adalah proses merencanakan, penganalisaan, pelaksanaan, mengimplementasikan dan controlling (pengawasan) atau mengendalikan kegiatan pemasaran dalam suatu perusahaan agar tercapainya target atau tujuan perusahaan. Sedangkan secara sederhana, Pengertian manajemen pemasaran adalah berusaha untuk mengidentifikasi apa yang dibutuhkan oleh konsmen dan cara pemenuhannya dapat diwujudkan. Untuk dapat mengidentifikasi apa yang dibutuhkan konsumen, maka pebisnis perlu melakukan riset pemasaran, diantaranya berupa survei tentang keinginan konsumen, sehingga pebisnis bisa mendapatkan informasi mengenai apa yang

(3)

sesungghnya dibutuhkan oleh konsumen.

Maka manajemen pemasaran kemudian juga melakukan kegiatan dalam proses penyampaian produk kepada konsumen. Untuk kasus bisnis sablon, yang termasuk di dalam kegiatan manajemen pemasaran adalah di antaranya melakukan identifikasi jenis sablon apa yang sedang diminati oleh konsumen, apakah sudah ada pebisnis sablon yang memenuhi minat tersebut, berapa kemampuan daya belinya, bagaimana agar perusahaan kita atau bisnis kita dapat menjawab keinginan dan minat konsumen tersebut, termasuk dalam kegiatan ini adalah proses menjual (selling) akan produk yang sudah dihasilkan tadi.

Pengertian Manajemen Pemasaran Menurut Para Ahli

1) Menurut Kotler &Amstrong (2008) Manajemen Pemasaran adalah seni dan ilmu memilih target pasar dan membangun hubungan yang menguntungkan dengan target pasar itu.

2) Menurut kotler &keller (2007) manajemen pemasaran sebagai seni dan ilmu memilih pasar sasaran dan mendapatkan, menjaga dan menumbuhkan pelanggan dengan menciptakan, menyerahkan dan mengomunikasikan nilai pelnggan yang unggul.

Tujuan Manajemen Pemasaran adalah untuk mempengaruhi tingkat,jangakauan waktu, komposisi permintaan, sehingga membantu organisasi mencapai sasarannya.

(4)

2. Retail

Salah satu perantara dalam saluran pemasaran adalah pengecer. dalam kegiatan pemasaran terdapat proses pertukaran barang dan jasa dimana dilakukan oleh organisasi apapun yang melakukan proses pertukaran atau menjual barang dan jasa tersebut kepada konsumen akhir baik produsen, grosir dan pengecer yang disebut melakukan usaha eceran.

1. Menurut Levy (2009) retailing adalah himpunan kegiatan bisnis yang menambahkan nilai ke produk dan jasa yang dijual kepada konsumen untuk penggunaan pribadi atau keluarga.

2. Menurut Berman & Evans (2010) retailing meliputi kegiatan usaha yang terlibat dalam penjualan barang dan jasa kepada konsumen untuk penggunaan pribadi, keluarga, atau rumah tangga.

3. Menurut Ma’ruf (2006) perdagangan ritel adalah kegiatan usaha menjual barang atau jasa kepada perorangan untuk keperluan diri sendiri, keluarga, atau rumah tangga.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa retailing merupakan suatu bentuk usaha menjual barang dan jasa yang ditujukan kepada konsumen akhir untuk penggunaan yang sifatnya pribadi atau non bisnis. Ritel merupakan mata rantai terakhir dalam penyaluran barang dari produsen sampai kepada konsumen.

(5)

3. Hedonic Shopping Motivation

a. Pengertian Hedonic Shopping Motivation

Motivasi hedonis adalah motivasi konsumen untuk berbelanja karena berbelanja merupakan suatu kesenangan tersendiri sehingga tidak memperhatikan manfaat dari produk yang dibeli (Utami, 2010). Hedonic Shopping merupakan suatu keinginan seseorang untuk mendapatkan suatu kesenangan bagi dirinya sendiri yang dapat dipenuhi dengan cara menghabiskan waktu untuk mengunjungi pusat perbelanjaan atau mall, menikmati suasana atau atmosfer yang ada di pusat perbelanjaan itu sendiri meskipun mereka tidak membeli apapun atau hanya melihat – lihat saja (Japarianto, 2010). Menurut Nguyen, dkk dalam Prastia (2013) perilaku belanja hedonis mengacu pada rekreasi, perasaan menyenangkan, keadaan intrinsik, dan berorientasi pada stimulasi motivasi. Menurut Levy (2009), kebutuhan hedonis bertujuan untuk mendapatkan pengalaman yang menghibur, emosional, dan rekreasi. Menurut Hausman, et al dalam Hausman (Sekarsari, 2013) mengidentifikasi ada enam faktor motivasi berbelanja hedonik, yaitu sebagai berikut:

1) Mencari kesenangan baru, konsumen berbelanja untuk mencari pengalaman yang menyenangkan.

2) Memuaskan rasa ingin tahu, konsumen berbelanja untuk memuaskan keinginan berbelanja.

(6)

mendapatkan pengalaman baru.

4) Bertemu dengan orang lain, konsumen berbelanja untuk berinteraksi dengan orang lain.

5) Mencari hiburan, konsumen berbelanja untuk menghibur diri.

6) Melupakan persoalan, konsumen berbelanja untuk menghilangkan persoalan yang dihadapi.

Kebutuhan hedonis ini lebih menjadi sorotan utama karena dalam memperhatikan kondisi dari pengunjung terlihat bahwa ada suatu misteri yang harus diungkap untuk dapat dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan strategi yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Hedonisme adalah suatu paham yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan suatu kesenangan semata–mata yang difokuskan demi memenuhi kepuasan pikiran dari orang tersebut. Menurut Babin, Darden, dan Griffin yaitu: “Nilai berbelanja berorientasi pada dua motivasi, yaitu motivasi utilitarian dan motivasi hedonis. Nilai utilitarian mewakili untuk orientasi pada tugas yang harus dilakukan, sedangkan nilai hedonis mengungkapkan kepuasan diri seseorang dan pergaulan seseorang dengan pengalaman berbelanja”.

Menurut Dawson, and Ridgway, motif Hedonic shopping didasarkan kepada kwalitas dari pengalaman belanja itu senditi daripada pengumpulan dari sustu informasi atau dari suatu pembelian produk. Hedonic Shopping merupakan suatu keinginan seseorang untuk

(7)

mendapatkan suatu kesenangan bagi dirinya sendiri yang dapat dipenuhi dengan cara menghabiskan waktu untuk mengunjungi pusat perbelanjaan atau mall, menikmati suasana atau atmosfer yang ada di pusat perbelanjaan itu sendiri mesipun mereka tidak membeli apapun atau hanya meliaht – lihat saja. (Edwin Japarianto, 2010).

Menurut (Hirschman dan Holbrook dalam Rachmawati, 2009) Hedonic shopping adalah: “konsumsi hedonis meliputi aspek tingkah laku yang berhubungan dengan multy-sensory, fantasi dan kesenangan dalam menggunakan produk dan pendekatan estetis”. Dari landasan teori yang didapatkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hedonic shopping merupakan suatu keinginan seseorang untuk mendapatkan suatu kesenangan bagi dirinya sendiri yang dapat dipenuhi dengan cara menghabiskan waktu untuk mengunjungi tempat yang benar-benar menyenangkan dan nyaman. Menikmati suasana atau atmosfer yang ada di tempat tersebut yang pada akhirnya akan menimbulkan keputusan pembelian.

Menurut Tauber, motif yang mendorong untuk berbelanja dapat digolongkan menjadi dua yaitu:

1) Motif pribadi, yaitu permainan peranan, hiburan, pemuasan diri, belajar tentang trend baru, aktivitas fisik dan rangsangan yang berhubungan dengan indera.

2) Motif sosial, yaitu pengalaman sosial, berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki minat sama, daya tarik kelompok

(8)

sebaya, status dan otoritas, juga kesenangan dalam tawar-menawar.

c. Dimensi Hedonic Shopping Motivation

Menurut Mayer dan Wilikinson dalam Edwin Japarianto (2010) enam kategori besar dari motivasi Hedonic Shopping Motivation ini adalah sebagai berikut :

1) Adventure Shopping

The first category is labeled “adventure shopping,” which refers to shopping for stimulation, adventure, and the feeling of being in another world Social Shopping. Kategori ini menjelaskan bahwa berbelanja didasarkan pada rangsangan, petualangan dan perasaan yang menyenangkan.

2) Social shopping

“A second category is labeled „social shopping,‟ which refers to the enjoyment of shopping with friends and family, socializing while shopping, and bonding with others while shopping”. Kategori ini menjelaskan bahwa berbelanja didasarkan untuk suatu kegembiraan dengan anggota keluarga, teman dan bersosialisasi ketika berbelanja.

3) Gratification Shopping

“A third category is labeled “gratification shopping,” which involves shopping for stress relief, shopping to alleviate a negative mood, and shopping as a special treat to oneself”.

(9)

Kategori ini menjelaskan bahwa berbelanja untuk mengurangi mood yang buruk atau stress dan berbelanja sebagai cara istimewa untuk memanjakan diri.

4) Idea Shopping

“A fourth category we label “idea shopping,” which refers to shopping to keep up with trends and new fashions and to see new products and innovations”. Kategori ini menjelaskan bahwa berbelanja untuk tetap mengikuti tren dan mode terbaru yang sedang berlangsung juga untuk melihat inovasi terbaru.

5) Role Shopping

“A fifth category of shopping motivations is labeled “role shopping,” which reflects the enjoyment that shoppers derive from shopping for others, the influence that this activity has on the shoppers‟ feelings and moods, and the excitement and intrinsic joy felt by shoppers when finding the perfect gift for others” . kategori ini menjelaskan bahwa berbelanja untuk suatu kesenangan sebagai individu yang memiliki peranan dan arti penting dalam suatu komunitas dan ketika berbelanja untuk orang lain.

6) Value Shopping

“The final category is labeled “value shopping,” which refers to shopping for sales, looking for discounts, and hunting for bargains”. Kategori ini menjelaskan bahwa berbelanja untuk penjualan, mencari potongan harga dan berburu tawar menawar,

(10)

sehingga individu tersebut merasanya adanya suatu keuntungan dalam berbelanja.

4. Shopping Lifestyle

a. Pengertian Shopping Lifestyle

Mengacu pada pola konsumsi yang mencerminkan pilihan seseorang tentang bagaimana cara menghabiskan waktu dan uang. Dalam arti ekonomi, shopping lifestyle menunjukkan cara yang dipilih oleh seseorang untuk mengalokasikan pendapatan, baik dari segi alokasi dana untuk berbagai produk dan layanan, serta alternatif-alternatif tertentu dalam pembedaan kategori serupa (Zablocki dan Kanter ).Cathy J. Cobb dan Wayne D. Hoyer mengungkapkan bahwa konsumen diminta untuk menunjukkan sejauh mana mereka sepakat atau tidak setuju dengan pernyataan yang berkaitan dengan shopping lifestyle (misalnya, sikap terhadap merk nasional, dirasakan pengaruh iklan, harga kesadaran). Betty Jackson mengatakan shopping lifestyle merupakan ekspresi tentang lifestyle dalam berbelanja yang mencerminkan perbedaan status sosial (Edwin Japarianto dan Sugiono Sugiharto, 2011).

Cobb dan Hoyer dalam Edwin Japarianto dan Sugiono Sugiharto (2011) mengemukakan bahwa untuk mengetahui hubungan Shopping Lifestyle terhadap Impulsive Buying Behavior adalah dengan menggunakan indikator:

(11)

1) Menanggapi untuk membeli setiap tawaran iklan mengenai produk fashion.

2) Membeli pakaian model terbaru ketika melihatnya di Outlet COLORBOX Puri Indah Mall.

3) Berbelanja merek yang terkenal.

4) Yakin bahwa merek (produk kategori) terkenal yang dibeli terbaik dalam hal kualitas.

5) Sering membeli berbagai merk (produk kategori) daripada merk yang biasa dibeli.

6) Yakin ada dari merek lain (kategori produk) yang sama seperti yang dibeli.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Shopping Lifestyle adalah cara seseorang untuk mengalokasikan waktu dan uang untuk membeli berbagai macam produk yang mencerminkan perbedaan status sosial.

b. Dimensi Shopping Lifestyle

Gaya hidup secara luas didefinisikan sebagai cara hidup yang diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka, apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia disekitarnya. (Setiadi). Menurut Sumarwan dalam Lizamary dan Edwin 2014, gaya hidup di-gambarkan dengan dimensi sebagai berikut:

1) Kegiatan (Activities)

Cara hidup yang didefinisikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka.

(12)

2) Minat (Interest)

Apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya. 3) Opini (Opinion)

Apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia sekitarnya.

5. Impulsive Buying Behavior

a. Pengertian Impulsive Buying Behavior

Pemahaman tentang konsep pembelian impulsif (impulsive buying) dan pembelian tidak direncanakan (unplanned buying) oleh beberapa peneliti tidak dibedakan. Philipps dan Bradshow, dalam Bayley dan Nancarrow tidak membedakan antara unplanned buying dengan impulsive buying, tetapi memberikan perhatian penting kepada periset pelanggan harus memfokuskan pada interaksi antara point-of-sale dengan pembeli yang sering diabaikan. Engel dan Blacwell, mendefinisikan unplanned buying adalah suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa direncanakan sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko. Coob dan Hayer, mengklasifikasikan suatu pembelian impulsif terjadi apabila tidak terhadap tujuan pembelian merek tertentu atau kategori produk tertentu pada saat masuk ke dalam toko. Beberapa peneliti pemasaran beranggapan bahwa impulsive sinonim dengan unplanned ketika para psikolog dan ekonom memfokuskan pada aspek irasional atau pembeli impulsif murni (Bayley dan Nancarrow).

(13)

Keputusan pembelian yang dilakukan belum tentu direncanakan, terdapat pembelian yang tidak direncanakan (impulsive buying) akibat adanya rangsangan lingkungan belanja. Implikasi dari lingkungan belanja terhadap perilaku pembelian mendukung asumsi bahwa jasa layanan fisik menyediakan lingkungan yang mempengaruhi perilaku konsumen, dihubungkan dengan karakteristik lingkungan konsumsi fisik (Bitner, Booms, dan Tetreault), (Edwin Japarianto dan Sugiono Sugiharto, 2011).

b. Dimensi Impulsive Buying Behavior

Berdasarkan hasil riset yang dipublikasikan dalam jotnal of retailing, Beatty dan ferrel dalam Febrya Asterrina dan Tuti Hermiati (2015) menjelaskan tentang factor-faktor penentu impulse buying. Hasil rriset tersebut menjadi skala pengukuran yang mengukur skala impulse buying dalam 7 dimensi utama, yaitu :

1) Desakan untuk Berbelanja (Urge to Purchase).

Menurut Rook, urge to purchase merupakan suatu dorongan atau hasrat yang dirasakan ketika membeli sesuatu secara tiba-tiba atau spontan. Menurut Gol-denson, impulsive buying terjadi ketika konsumen mengalami dorongan atau desakan secara mendadak, kuat dan gigih untuk membeli beberapa hal segera. Dorongan kuat, kadang-kadang tak tertahankan atau sulit dihentikan, kecenderungan untuk bertindak tiba-tiba tanpa musyawarah (Rook). Walaupun sangat kuat dan terkadang tidak dapat ditolak

(14)

namun tidak selalu dilakukan. Bahkan. orang-orang menggunakan strategi yang sangat banyak untuk mendapatkan kontrol terhadap hasrat ini (Hoch dan Loewenstein dalam Beatty dan Ferrel).

2) Emosi Positif (Positive Affect).

Menurut Jeon, pengaruh positif individu dipengaruhi oleh suasana hati yang sudah dirasakan sebelumnya, disposisi afeksi, ditambah dengan reaksi terhadap pertemuan lingkungan toko tersebut (misalnya, barang-barang yang diinginkan dan penjualan yang ditemui). Suasana hati yang positif (senang, gembira, dan antusias) menyebabkan seseorang menjadi murah hati untuk menghargai diri mereka, konsumen merasa seolah-olah memiliki lebih banyak kebebasan untuk bertindak, dan akan menghasilkan perilaku yang ditujukan untuk mempertahankan perasaan yang positif.

3) Melihat-lihat Toko (In-Store Browsing).

Menurut Jarboe and McDaniel sebagai bentuk pencarian langsung, in-store browsing merupakan komponen utama dalam proses pembelian impulsif. Jika konsumen menelusuri toko lebih lama, konsumen akan cenderung menemukan lebih banyak rangsangan, yang akan cenderung meningkatkan kemungkinan mengalami impulsive buying yang mendesak dalam Beatty dan Ferrel.

(15)

4) Kesenangan Berbelanja (Shopping Enjoyment).

Menurut Beatty dan Ferrel definisi shopping enjoyment mengacu pada kesenangan yang didapatkan dari proses berbelanja, dalam hal ini mengacu pada konteks berbelanja didalam mall atau pusat perbelanjaan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembelian impulsif dapat menjadi upaya seseorang untuk meringankan depresi atau untuk menghibur diri sendiri (Bellenger dan Korgaonker).

5) Ketersediaan Waktu (Time Available).

Menurut Beatty dan Ferrel, time available mengacu pada waktu yang tersedia bagi individu untuk berbelanja. Menurut Iyer, tekanan waktu dapat mengurangi impulsive buying, sebaliknya ketersediaan waktu secara positif terkait dengan melakukan aktivitas pencarian dalam lingkungan ritel dapat mengakibatkan impulsive buying. Individu dengan lebih banyak waktu yang tersedia akan melakukan pencarian lagi.

6) Ketersediaan Uang (Money Available).

Menurut Beatty dan Ferrel, money available mengacu pada jumlah anggaran atau dana ekstra yang dimiliki oleh seseorang yang harus dikeluarkan pada saat berbelanja. Beatty dan Ferrel menghubungkan variabel ketersediaan uang secara langsung dengan impulsive buying karena hal tersebut dinilai menjadi fasilitator untuk terjadinya pembelian terhadap suatu objek.

(16)

7) Kecenderungan pembelian impulsif (Impulsive Buying Tendency). Menurut Beatty dan Ferrel definisi dari impulsive buying tendency sebagai,

1) Kecendrungan mengalami dorongan yang secara tiba-tiba muncul untuk melakukan pembelian on the spot.

2) Desakan untuk bertindak atas dorongan tersebut dengan hanya sedikit pertimbangan atau evaluasi dari konsekuensi,. B. Penelitian Terdahulu

Bagian ini memiliki salah satu peranan penting dalam melakukan suatu penelitian. Hasil-hasil penelitian terdahulu tidak hanya digunakan untuk memperbandingkan penelitian yang akan dilakukan. Namun hasil penelitian tersebut juga diharapkan akan dapat menemukan kesenjangan penelitian.

(17)

TABEL 2.1

PENELITIAN TERDAHULU

No Penulis Jurnal Variabel

Metode Pengukuran Hasil 1. Dayang Asning Kosyu, Kadarisman Hidayat, Yusri Abdillah (2014) Pengaruh Hedonic Shopping Motives Terhadap Shopping Lifestyle dan Impulse Buying X1: Hedonic Shopping Motives X2: Shopping Lifestyle Y: Impulse Buying

SPSS Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Hedonic Shopping Motives berpengaruh signifikan terhadap Shopping Lifestyle, Hedonic Shopping Motives berpengaruh signifikan terhadap Impulse Buying dan Shopping Lifestyle berpengaruh signifikan terhadap Impulse Buying

(18)

No Penulis Jurnal Variabel Metode Pengukuran Hasil 2 Edwin Japarianto, Sugiono Sugiharto (2011) Pengaruh Shopping Lifestyle dan Fashion Involvement Terhadap Impulse Buying Behavior Masyarakat High Income Surabaya X1: Shopping Lifestyle X2: Fashion Involvemen Y: Impulse Buying

SPSS Hasil pengujian menunjukkan bahwa Hedonic Shopping Value dan Fashion Involvement berpengaruh terhadap perilaku Impulse Buying pada masyarakat High Income Surabaya

(19)

No Penulis Jurnal Variabel Metode Pengukuran Hasil 3. Yuniar Indah Suhartini, Rodhiyah, Sari Listyorini (2015) Pengaruh Shopping Lifestyle, Fashion Involvement dan Hedonic Shopping Motivation Terhadap Impulse Buying X1: Shopping Lifestyle X2: Fashion Involvement X3: Hedonic Shopping Motivation Y: Impulse Buying

SPSS Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Shopping Lifestyle memiliki pengaruh yang sedang terhadap Impulse Buying serta berpengaruh signifikan dan positif terhadap Impulse Buying. Fashion Involvement memiliki pengaruh tinggi terhadap Impulse Buying serta berpengaruh signifikan dan positif terhadap Impulse Buying. Hedonic Shopping Motivation memiliki pengaruh yang sedang serta berpengaruh signifikan dan positif terhadap Impulse Buying. Shopping Lifestyle, Fashion Involvement dan Hedonic Shopping Motivation memiliki pengaruh yang kuat terhadap Impulse Buying

(20)

No Penulis Jurnal Variabel Metode Pengukuran Hasil 4. Lizamary Angelina Darma, Edwin Japarianto (2014) Analisis Pengaruh Hedonic Shopping Value Terhadap Impulse Buying dengan Shopping Lifestyle dan Positive Emotion sebagai Variabel Intervening pada Mall Ciputra World Surabaya X1: Hedonic Shopping Value X2: Positive Emotion X3: Shopping Lifestyle Y: Impulse Buying

SEM Hasil penelitian membuktikan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari Hedonic Shopping Value terhadap Impulse Buying, terdapat pengaruh yang signifikan dari Hedonic Shopping Value terhadap Positive Emotion, terdapat pengaruh yang signifikan dari Hedonic Shopping Value terhadap Shopping Lifestyle, terdapat pengaruh yang signifikan dari Positive Emotion terhadap Impulse Buying, tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari Shopping Lifestyle terhadap Impulse Buying dan terdapat pengaruh signifikan dari Shopping Lifestyle terhadap Positive

(21)

No Penulis Jurnal Variabel Metode Pengukuran Hasil 5. Fenny Felecia Lumintang (2013) Pengaruh Hedonic Shopping Motives terhadap Impulse Buying melalui Browsing dan Shopping Lifestyle pada Online Shop XI: E-Retailing X2: Hedonic Shopping Motives X3: Browsing X4: Shopping Lifestyle Y: Impulse Buying

SEM Hasil penelitian ini menyatakan Hedonic Motives memiliki pengaruh signifikan terhadap Browsing, Hedonic Motives memiliki pengaruh signifikan terhadap Shopping Lifestyle, Hedonic Motives memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Impulse Buying, Browsing memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Impulse Buying, Shopping Lifestyle memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Impulse Buying, Hedonic Motives memiliki pengaruh signifikan terhadap Impulse Buying melalui Shopping Lifestyle

(22)

No Penulis Jurnal Variabel Metode Pengukuran Hasil 6. Beyza Gültekin, Leyla Özer, Vol. 4, No 3 (2012) Pengaruh Hedonic Motives dan Browsing pada Impulse Buying X1: Cunsumer Behavior X2: Hedonic Motives X3: Browsing Y: Impulse Buying

SEM Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa motif hedonis dan yang dimensi seperti petualangan, gratifikasi, dan ide memiliki dampak positif pada impulse buying. perilaku

browsing konsumen dipengaruhi membeli impuls positif. Peran mediasi browsing antara motif hedonis dan membeli impuls juga diidentifikasi dengan melakukan analisis faktor konfirmatori

(23)

No Penulis Jurnal Variabel Metode Pengukuran Hasil 7. Siew Lin Chuah1, Chin Chuan Gan2, Vol. 1, No 1 (2015) Pengaruh Faktor Internal Individu pada Impulse Buying Behaviour melalui Online Shopping X1: Emotions X2: Hedonic Motivation X3: Online Shopping X4: Personality Y: Impulse Buying Behaviour

SPSS Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian dan hedonis motivasi positif berkaitan secara online impuls membeli,

sedangkan emosi tidak berhubungan positif dengan membeli impuls online. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih impulsif dibandingkan dengan laki-laki. Menurut penelitian, studi antara laki-laki dan perempuan

ditemukan secara signifikan berbeda dalam hal proses pengambilan keputusan kognitif dan afektif ketika datang ke impulsif beli. Penelitian juga menunjukkan bahwa ada

perbedaan gender dalam perilaku impulsif saat berbelanja online juga

(24)

No Penulis Jurnal Variabel Metode Pengukuran Hasil 8. Manilall Dhurup (Prof), Vol. 5, No 8 (2014) Impulsive Fashion konsumsi busana: Peran Hedonism, Fashion Involvement dan Emotional Gratification di mode pakaian Impulsive Buying Behaviour di negara berkembang X1: Hedonic X2: Fashion Involvement X3: Emotional Gratification Y: Impulse Buying

SPSS Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga konstruk laten independen, yaitu hedonis, fashion keterlibatan dan kepuasan emosional positif berkorelasi dengan perilaku pembelian impulsif antara kelompok universitas. Namun, hanya kepuasan emosional dan keterlibatan busana adalah prediktor signifikan dari perilaku pembelian impulsif. Untuk pengecer dan pemasar lebih khusus, kebutuhan konstan untuk menghasilkan peluang untuk pembelian impulsif dengan menarik, keterlibatan busana konsumen dan sisi kepuasan emosional kehidupan dalam pembelian pakaian menjadi jelas untuk ini kohort konsumen Sumber: Data diolah dari berbagai sumber (2015)

(25)

C. Rerangka Pemikiran

1) Hubungan Hedonic Shopping Motivation terhadap Impulsive Buying Behavior

Seiring dengan berkembangnya pusat perbelanjaan atau mall di Indonesia masyarakat mempunyai banyak pilihan untuk tempat berbelanja memenuhi kebutuhan sehari-hari. Motivasi berbelanja hedonis tentunya di miliki oleh setiap orang. Menurut Utami (2010) dalam Lumintang (2012) hedonic shopping motivation adalah “motivasi konsumen untuk berbelanja karena berbelanja merupakan suatu kesenangan tersendiri sehingga tidak memperhatikan manfaat dari produk yang dibeli”. Ketika konsumen memiliki sifat hedonis, konsumen tidak lagi memikirkan produk yang mereka beli ada keuntungan atau manfaat bagi mereka. Lumintang (2012) menunjukkan bahwa “gaya berbelanja seseorang ditentukan oleh motivasi berbelanja dimana seorang konsumen yang memiliki motivasi hedonis yang tinggi maka terdapat kemungkinan gaya berbelanja yang dimiliki juga semakin berlebihan”.

Keputusan pembelian konsumen terutama keputusan yang bersifat impulse buying dapat didasari oleh faktor individu konsumen yang cenderung berperilaku afektif. Perilaku ini kemudian membuat pelanggan memiliki pengalaman belanja. Pengalaman ini dapat dikelompokkan menjadi hedonic shopping motivation. Konsumsi hedonis meliputi aspek tingkah laku yang berhubungan dengan multy-sensory, fantasi dan konsumsi emosional yang dikendalikan oleh manfaat seperti kesenangan dalam

(26)

menggunakan produk dan pendekatan estetis. Tawar dan menawar adalah dua pengalaman berbelanja berhubungan dengan kenikmatan dalam berbelanja (Sherry), oleh karena itu disarankan bahwa pengalaman pembelian mungkin adalah lebih penting dibanding memenuhi keinginan hedonis berhubungan dengan konsumsi hedonis (Park,et al.).

Peran ini mendukung hubungan konseptual antara motivasi berbelanja hedonis dan perilaku impulsive buying. Hal ini menunjukkan konsumen lebih mungkin terlibat dalam impulsive buying ketika mereka termotivasi oleh keinginan hedonis atau alasan ekonomi, seperti kesenangan, fantasi, dan sosial atau kepuasan emosional. Ketika pengalaman berbelanja seseorang menjadi tujuan untuk memenuhi kepuasan kebutuhan yang bersifat hedonis, maka produk yang dipilih untuk dibeli bukan berdasarkan rencana awal ketika menuju ke toko tersebut, melainkan karena impulsive buying yang disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan yang bersifat hedonisme (park,et al.), (Lestari, 2014).

2) Hubungan Shopping Lifestyle terhadap Impulsive Buying Behavior Gaya hidup yang terus berkembang menjadikan kegiatan shopping menjadi salah satu tempat yang paling digemari oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan. Sering kali kegiatan shopping ini dilatar belakangi oleh pola konsumsi seseorang dalam menghabiskan waktu dan uang. Semakin tinggi konsumen berbelanja dengan motivasi hedonis dan berbelanja menjadi sebuah gaya hidup, besar pula kemungkinan terjadinya pembelian secara implusif.

(27)

Untuk memenuhi lifestyle ini masyarakat rela mengorbankan sesuatu demi mencapainya dan hal tersebut cenderung mengakibatkan impulsive buying. Ketika terjadi pembelian impulsive akan memberikan pengalaman emosional lebih dari pada rasional, sehingga tidak dilihat sebagai suatu sugesti, dengan dasar ini maka pembelian impulsif lebih dipandang sebagai keputusan rasional dibanding irasional dan hubungan sembilan karakteristik produk yang mungkin dapat mempengaruhi pembelian impulsif, yaitu harga rendah, kebutuhan tambahan produk atau merk, distribusi massa, self service, iklan massa, display produk yang menonjol, umur produk yang pendek, ukuran kecil, dan mudah disimpan.

Berdasarkan telaah pustaka diatas terhadap variabel-variabel yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pengaruh hedonic shopping motivation dan shopping lifestyle terhadap kecenderungan terjadinya impulsive buying behavior. Maka dapat ditampilkan pemikiran teoritis sebagai berikut.

(28)

GAMBAR 2.1

RERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

H1

H2

Sumber: Konsep yang dikembangkan peneliti D. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan berupa hipotesis, yaitu jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, baik dilihat dari hipotesis parsial dan hipotesis simultan.

H1: Hedonic Shopping Motivation berpengaruh positif terhadap Impulsive Buying Behavior pelanggan Outlet COLORBOX Puri Indah Mall Jakarta Barat.

H2: Shopping Lifestyle berpengaruh positif terhadap Impulsive Buying Behavior pelanggan Outlet COLORBOX Puri Indah Mall Jakarta Barat Hedonic Shopping Motivation (X1) Shopping Lifestyle (X2) Impulsive Buying Behavior (Y)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian yang ingin dicapai adalah dapat mengetahui perbandingan performansi antara Fair Scheduler dan Hadoop Fair Sojourn Protocol Scheduler (HFSP) pada

Berdasarkan hasil pengujian menggunakan sensor potensi energi angin (anemometer) selama 25 hari pada bulan April dan sensor potensi energi surya (solar cell) selama 10 hari pada

Efektivitas dan kenyamanan dalam penggunaan ekstrak etanolik bunga kembang sepatu pada kulit dapat ditingkatkan dengan cara diformulasikan menjadi bentuk sediaan gel,

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Taufik, serta Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Penggunaan Permainan

Selain dokumen persiapan proyek lainnya (seperti Feasibility Study atau FS), Klien harus mempersiapkan dan mengungkapkan dokumen-dokumen Perlindungan Lingkungan dan Sosial

Pengembangan karakter bangsa dalam pendidikan berpedoman pada tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 yaitu untuk

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hidayati dan Murni (2009), yang menemukan bahwa peluang pertumbuhan tidak berpengaruh terhadap ERC karena objek

1) Pesantren menerapkan aturan yang harus ditaati oleh setiap santri, apabila terjadi pelanggaran, santri akan mendapatkan hukuman dari riang sampai ke berat,