• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Pertumbuhan Bobot dan Biomassa Post-Larva Udang Vaname

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pertumbuhan (panjang rerata, SGR, bobot individu, biomassa) post-larva yang direndam dengan rGH lebih tinggi daripada kontrol dan kontrol pCold (total protein Escherichia coli tanpa rGH) (Tabel 2). Pertumbuhan terbaik pada post-larva udang vaname yang direndam rElGH 15 mg/L adalah pada 3 jam perendaman dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2 jam. Bobot rerata post-larva udang vaname tertinggi (p<0,05) diperoleh pada perlakuan 3 jam, yakni 46,40 mg/ekor. Nilai SGR terbaik juga ditemukan pada perlakuan perendaman 3 jam (29,81%), sedangkan nilai SGR terendah pada perlakuan pCold (25,10%). Nilai biomassa tertinggi (p<0,05) terdapat pada perlakuan 3 jam perendaman (36.289,87 mg), sedangkan biomassa terendah pada perlakuan kontrol pCold (15.684,22 mg). Panjang rerata tertinggi (p<0,05) juga terdapat pada perlakuan 3 jam perendaman (20,08 mm).

Peningkatan pertumbuhan PL udang vaname menunjukkan bahwa rElGH aktif menginduksi pertumbuhan udang. Peningkatan bobot rerata tertinggi pada perlakuan perendaman 3 jam mencapai 109,95% lebih berat dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan biomassa dan panjang udang perlakuan 3 jam perendaman adalah masing-masing sebesar 66,0% dan 26,05% lebih tinggi dibandingkan kontrol.

3.1.2 Bobot Rerata dan Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup udang udang vaname yang diberi rGH tidak berbeda nyata dengan (p>0,05) kontrol dan kontrol pCold (Tabel 2).

(2)

9 Tabel 2. Laju pertumbuhan spesifik (SGR), kelangsungan hidup (KH), panjang, bobot dan biomassa rerata post-larva udang vaname yang direndam dengan 15 mg/L rElGH dengan lama waktu perendaman berbeda, kontrol pCold, dan kontrol.

Parameter Perlakuan

1 jam 2 jam 3 jam 4 (kontrol) 5 (pCold)

SGR (g%) 27,15±0,53bc 28,45±0,85cd 29,81±0,87d 25,71±0,63ab 25,10±0,53a Bobot rerata (mg/ekor) 28,42±2,65 ab 36,09±5,59bc 46,10±6,88c 21,96±2,58a 19,66±1,91a Biomassa (mg) 21379,19±2004,55 b 29774,66±1931,66c 36289,87±1459,56d 21872,19±2529,400b 15684,22±1705,34a Panjang (mm) 17,93±0,73b 19,70±0,70bc 20,08±0,42c 15,93±0,81a 15,88±0,62a KH (%) 71,65±2,05a 80,16±16,41a 75,94±9,76a 94,89±0,56a 76,03±4,65a

Keterangan: Data berdasarkan rerata dari 3 ulangan untuk masing-masing perlakuan. Huruf berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (p<0,05).

(3)

Gambar 1. Pertumbuhan bobot rerata post-larva udang vaname yang dipelihara selama 3 minggu antara perlakuan yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH), kontrol, dan kontrol pCold (placebo). Placebo: post-larva udang vaname direndam dengan pCold dan BSA; kontrol: post-post-larva udang vaname tidak diberi perlakuan rElGH dan BSA; 1 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 1 jam; 2 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 2 jam; 3 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 3 jam.

Pada Gambar 1 terlihat bahwa pertambahan bobot terjadi pada setiap perlakuan. Pertambahan bobot sudah terlihat mulai dari 6 hari (pengambilan contoh ke-2) setelah perendaman pada setiap perlakuan. Perendaman 1 jam, 2 jam, dan 3 jam mengalami pertumbuhan yang signifikan dari hari ke-6 sampai hari ke-18 (pengambilan contoh ke-4) pemeliharaan, tetapi kontrol pCold mengalami pertumbuhan bobot terendah sampai 18 hari setelah perendaman. Dari Gambar 1 juga dapat terlihat bahwa perendaman selama 3 jam mengalami pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan perendaman 1 jam dan 2 jam.

3.1.3 Peningkatan Panjang

Pada Gambar 2 terlihat bahwa pertambahan panjang post-larva udang vaname baik yang diberi rGH maupun kontrol mengalami peningkatan selama masa pemeliharaan. Namun demikian, post-larva yang diberi rGH terlihat lebih panjang daripada kontrol dan kontrol pCold. Panjang tubuh udang tertinggi terdapat pada perlakuan 3 jam perendaman, yakni 20,08 mm pada akhir

(4)

pemeliharaan, sedangkan panjang terendah terdapat pada perlakuan kontrol pCold (15,88 mm).

Gambar 2. Pertambahan panjang post-larva udang vaname yang dipelihara selama 18 hari antara perlakuan yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH), kontrol, dan kontrol pCold (placebo). Placebo: post-larva udang vaname direndam dengan pCold dan BSA; kontrol: post-larva udang vaname tidak diberi perlakuan rElGH dan BSA; 1 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 1 jam; 2 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 2 jam; 3 jam: post-larva udang vaname direndam dengan rElGH 15 mg/L+BSA selama 3 jam.

3.1.4 Proksimat udang vaname

Kandungan gizi udang (protein, lemak, kadar air, dan kadar abu) ditampilkan pada Tabel 3. Penggunaan rGH pada udang menurunkan kadar protein, tetapi kadar abu, lemak, dan air sedikit lebih tinggi dibandingkan kontrol. Tabel 3. Kandungan proksimat (bobot basah, %) post-larva udang vaname perlakuan rElGH terbaik (3 jam perendaman) dan kontrol.

Perlakuan Kadar Air Kadar Abu Protein Lemak Serat kasar dan BETN

Kontrol 79,57 2,60 11,92 1,98 3,93

3 jam

perendaman 79,59 2,69 10,87 1,55 5,3

(5)

3.2 Pembahasan

Hormon pertumbuhan rekombinan telah dilaporkan dapat memacu pertumbuhan udang (Sonnenschein 2001; Santiesteban et al. 2010). Pada penelitian ini juga pertumbuhan PL udang vaname meningkat signifikan dibandingkan dengan kontrol setelah diberi perendaman rElGH dengan lama waktu berbeda. Penelitian ini menggunakan rElGH dengan dosis 15 mg/L, metode yang digunakan adalah perendaman mengacu pada penelitian Santiesteban et al. (2010) yang merendam PL-2 udang vaname dengan hormon pertumbuhan ikan nila (TiGH). Berbeda dengan penelitian Santiesteban (2010) yang melakukan perendaman sebanyak 7 kali pada PL-2 udang vaname dengan menggunakan rTiGH, pada penelitian ini hanya dilakukan 1 kali perendaman. Penelitian penggunaan rekombinan hormon pertumbuhan yang dilakukan oleh Sonnenschein (2001) menggunakan bovine somatotropin (bST) dengan metode perendaman dengan frekuensi 1 kali selama 1 jam, Sonnenschein (2001) menyatakan bahwa waktu perendaman dapat mempengaruhi keefektifan penyerapan hormon pertumbuhan. Lama perendaman dalam penelitian ini adalah 1 jam, 2 jam, dan 3 jam, hal tersebut didasarkan pada pernyataan bahwa waktu perendaman yang paling efektif adalah 60 menit sampai 120 menit (Sonnenschein 2001). Hasil terbaik di penelitian ini (biomassa tertinggi) diperoleh pada lama perendaman 3 jam.

Peningkatan pertumbuhan PL udang vaname menunjukkan bahwa rElGH aktif menginduksi pertumbuhan udang, dapat dilihat pada Gambar 1 pertumbuhan udang yang direndam dengan rGH mempunyai pertumbuhan lebih tinggi daripada kontrol dan kontrol pCold. Peningkatan biomassa yang direndam dengan rElGH selama 2 jam sekitar 36,13% lebih besar dibandingkan kontrol, sedangkan perlakuan 3 jam perendaman mengalami peningkatan biomassa 66,0% dengan peningkatan panjang 26,05% lebih tinggi daripada kontrol. Pada penelitian Subaedah (belum dipublikasikan) penggunaan dosis 15 mg/L pada post-larva fase PL-2 yang direndam selama 1 jam menunjukan hasil lebih baik dari perlakuan lainya, yaitu 37,77% lebih berat dari kontrol. Efektivitas rGH dapat dipengaruhi oleh jenis rGH yang digunakan, ikan uji/organisme uji, metode, dosis dan diduga waktu perendaman. Penggunaan rGH, frekuensi, dan dosis berbeda pada udang

(6)

dapat terlihat pada penelitian ini, karena pada hasil penelitian Santiesteban et al. (2010) yang menggunakan rGH ikan nila dengan dosis 100 µg/L dengan frekuensi pemberian 7 kali mampu meningkatkan bobot tubuh sebesar 42,20% dan lebih panjang 5,20% daripada kontrol, sedangkan pada penelitian ini perlakuan terbaik untuk biomassa dan panjang adalah perlakuan 3 jam perendaman dengan dosis 15 mg/L dan hanya dilakukan 1 kali perendaman dengan peningkatan bobot 66% dan peningkatan panjang 26,05% daripada kontrol. Penelitian ini juga menunjukan hasil lebih tinggi daripada penelitian Sonnenschein (2001) yang menggunakan rGH (bovine somatotropin, bST) dengan dosis 300 mg/L yang direndam selama 1 jam dengan hasil udang yang direndam lebih besar 38% dan lebih panjang 11% daripada kontrol. Pada pengambilan kontoh ke-2 (6 hari setelah perendaman) dalam penelitian ini, mulai terlihat bahwa post-larva yang diberi rElGH 15 mg/L mengalami peningkatan bobot lebih tinggi daripada kontrol, pada pengambilan contoh ke-3 dan ke-4 (12 dan 18 hari setelah perendaman) semakin terlihat bahwa post-larva yang direndam dengan rElGH 15 mg/L bobotnya lebih tinggi daripada kontrol dan kontrol pCold, perendaman 3 jam menunjukkan pertumbuhan lebih tinggi daripada perlakuan 1 jam dan 2 jam perendaman.

Penelitian ini menunjukan bahwa ada peningkatan biomassa selama masa pemeliharaan pada setiap perlakuan. Post-larva yang diberi perlakuan rElGH 15 mg/L menunjukan bahwa biomassa perlakuan 2 jam dan 3 jam perendaman berbeda nyata (p<0,05; Lampiran 3) dengan kontrol dan kontrol pCold, yaitu 29.774,66±1.931,66 mg (2 jam perendaman) dan 36.289,87±1.459,56 mg (3 jam perendaman), sedangkan untuk perlakuan 1 jam perendaman tidak berbeda nyata (p>0,05; Lampiran 3), yaitu 21.379,19±2.004,55 mg dengan kontrol 21.872,19±2.529,40 mg, tetapi berbeda nyata (p<0,05; Lampiran 3) dengan kontrol pCold (15.684,22±1.705,34). Perbedaan tersebut diduga karena waktu penyerapan perlakuan 2 dan 3 jam lebih lama daripada perlakuan 1 jam. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3, terlihat pada gambar bahwa post-larva udang vaname yang direndam dengan rElGH 15 mg/L lebih besar daripada kontrol dan kontrol pCold, tetapi post-larva yang direndam selama 3 jam dengan rGH lebih besar dari perlakuan 2 dan 1 jam perendaman. Biomassa pada kontrol pCold

(7)

paling rendah jika dibandingkan dengan kontrol biasa, hal ini diduga bahwa protein yang dihasilkan oleh pCold memberikan efek negatif pada pertumbuhan, sehingga pertumbuhan post-larva yang diberi pCold lebih rendah dari kontrol biasa. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa metode, dosis, dan jenis rGH dapat mempengaruhi efektivitas rGH pada ikan atau organisme uji.

Gambar 3. Ukuran post-larva udang vaname yang direndam dengan hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH) dosis 15 mg/L dengan lama waktu perendaman A: kontrol pCold; B: kontrol; C: 1 jam; D: 2 jam; E: 3 jam dengan frekuensi perendaman satu kali. Pemeliharaan udang dilakukan selama 18 hari setelah perendaman.

Pertumbuhan spesifik post-larva yang diberi rElGH lebih baik daripada kontrol. Perendaman selama 1 jam menunjukkan nilai 27,15±0,53 (g%), perendaman selama 2 jam menunjukkan nilai pertumbuhan spesifik sebesar 28,45±0,85 (g%), sedangkan nilai pertumbuhan spesifik perendaman selama 3 jam sebesar 29,81±0,87 (g%). Hasil tersebut menunjukkan berbeda nyata (Lampiran 3) terhadap kontrol dan kontrol pCold yang mempunyai nilai pertumbuhan spesifik masing-masing 25,71±0,63 (g%) dan 25,10±0,53 (g%). Berbanding lurus dengan nilai pertumbuhan spesifik post-larva yang direndam dengan rGH, panjang rerata dari 3 perlakuan perendaman juga berbeda nyata (Lampiran 3) dengan kontrol dan kontrol pCold yaitu 17,93 ±0,73 mm (1 jam perendaman); 19,70±0,70 mm (2 jam perendaman), dan 20,08 ±0,42 mm (3 jam perendaman) dengan kontrol (15,93±0,81 mm) dan kontrol pCold (15,88±0,62 mm). Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Santiesteban et al. (2010) yang menyatakan bahwa pemberian rGH pada larva udang vaname dapat meningkatkan bobot dan panjang

(8)

larva tersebut. Perlakuan kontrol pCold mempunyai biomassa dan SGR terendah di antara perlakuan lainya, diduga bahwa protein yang dihasilkan oleh pCold menyebabkan efek negatif pada pertumbuhan. Di antara 3 perlakuan lama perendaman, perendaman 3 jam menunjukkan hasil terbaik dari 2 perlakuan lainya dalam pertumbuhan spesifik dan panjang tubuh udang. Dengan hasil tersebut diduga bahwa pemberian rGH pada larva udang menunjukan hasil yang berbanding lurus antar bobot dan panjang tubuh. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Moriyama dan Kawauchi (2004) pemberian rsGH (recombinant salmon growth hormone) pada Haliotis discus hannai yang menunjukkan bahwa peningkatan bobot diikuti oleh peningkatan panjang cangkang abalon.

Nilai tingkat kelangsungan hidup pada penelitian ini menunjukan bahwa perlakuan 1 jam, 2 jam, dan 3 jam tidak berbeda nyata (p>0,05; Lampiran 3) dengan kontrol pCold dengan nilai masing-masing 71,65±2,05 % (1 jam), 94,89±0,56 % (2 jam), 75,94±9,76% (3 jam), sedangkan untuk kelangsungan hidup kontrol yaitu 94,89±0,56%, dan kontrol pCold 76,03±4,65%. Jika dilihat dari hasil penelitian, maka pendapat Acosta et al. (2009) yang menyatakan pemberian rGH pada larva dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan meningkatkan daya tahan terhadap stres dan infeksi penyakit tidak terbukti pada penelitian ini. Serupa dengan penelitian ini, dalam penelitian Santiesteban et al. (2010) pemberian rGH ikan nila melalui metode perendaman juga tidak menunjukan peningkatan kelangsungan hidup. Dari hasil penelitian Sonnenchein (2001) tidak terlihat pengaruh rGH pada udang terhadap kelangsungan hidupnya. Penggunaan GH pada larva lobster Amerika yang diinjeksi dengan human growth hormone tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kelangsungan hidup lobster (Charmantier et al. 1989; Santiesteban et al. 2010). Banyak faktor yang mempengaruhi nilai tingakat kelangsungan hidup pada udang, di antaranya kualitas air, daya tahan tubuh udang, penyakit yang menyerang, dan faktor lainya. Diduga pemberian rGH pada udang yang tidak berpengaruh pada kelangsungan hidup karena sifat imun udang yang short term memory, selain itu penelitian menggunakan metode packing pada perlakuannya sehingga diduga hal tersebut berpengaruh pada kelangsungan hidup. Dapat dilihat bahwa perlakuan 3 jam mempunyai nilai kelangsungan hidup lebih rendah dari perlakuan 2 jam, maka

(9)

diduga bahwa semakin lama waktu perendaman berpengaruh pada kelangsungan hidup, diduga rGH jika terlalu lama diberikan akan bersifat racun bagi udang. Selain itu, penurunan kelangsungan hidup terkait daya dukung air yang semakin menurun jika semakin lama digunakan untuk perendaman rGH.

Kandungan gizi udang kontrol dan hasil perlakuan terbaik berdasarkan biomassa yaitu perlakuan 3 jam dilihat melalui analisa proksimat. Dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa udang yang direndam dengan rGH kadar mempunyai kadar protein lebih rendah (10,87%) jika dibandingkan dengan kontrol (11,92%). Kadar lemak udang yang direndam dengan rGH (1,55%) juga relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol (1,98%), tetapi kadar abu dan kadar air perlakuan 3 jam mempunyai hasil relatif lebih tinggi. Penurunan kadar protein juga terjadi pada penelitian Aminah (2012), yang menunjukkan bahwa ikan sidat yang diberi rGH dengan dosis 3 mg/L melalui metode perendaman mengalami penurunan kadar protein sebesar 6,60% dari kontrol (15,91% menjadi 14,86%). Hasil serupa juga ditunjukan pada penelitian Handoyo (2012), ikan sidat yang diberi rElGH mempunyai kadar protein lebih rendah dari kontrol. Dalam penelitian ini tidak terdapat kenaikan kadar lemak, melainkan terjadi kenaikan kadar abu dan air pada udang yang diberi rGH, hasil proksimat tersebut berbeda dengan hasil analisis proksimat penelitian Aminah (2012) dan Handoyo (2012) yang menunjukkan kenaikan kadar lemak dan penurunan kadar abu dan air pada sidat yang diberi rGH. Penurunan kadar protein dan lemak diduga digunakan udang untuk memenuhi kebutuhan energinya. Pada penelitian ini pemberian pakan dianggap sama. Menurut Donaldson (1979) GH dapat meningkatkan nafsu makan yang mengakibatkan perilaku udang lebih aktif, sehingga udang yang diberi rGH lebih banyak menggunakan protein dan lemak untuk memenuhi kebutuhan energinya daripada kontrol, diduga karena GH bekerja dalam merangsang pemecahan lemak dan sintesis protein untuk energi daripada ikan kontrol. Protein merupakan sumber energi utama, sehingga protein dalam pakan diharapkan secara optimum digunakan untuk pertumbuhan (Hariyadi et al. 2005; Aminah 2012).

Rekombinan GH merupakan salah satu bioteknologi yang dapat meningkatkan pertumbuhan, rGH tidak termasuk dalan GMO (geneticaly modified organism), dan rGH tersebut tidak diturunkan atau bertahan lama di

(10)

dalam tubuh, diduga efek rGH hanya 3-4 bulan bertahan di dalam tubuh. Oleh karena itu perlu pemberian rGH kembali untuk tetap mempertahankan laju pertumbuhan udang yang telah diberi rGH. Handoyo (2012) ikan sidat pada fase glass eel direndam dengan rGH lalu dilanjutkan pada fase elver diberi rGH melalui pakan. Ikan sidat yang direndam dengan rGH pada fase glass eel lalu dilanjutkan pemberian rGH melalui pakan pada fase elver menunjukkan hasil pertumbuhan lebih besar 102,90% dari kontrol. Mengacu pada penelitian tersebut, maka diduga pemberian rGH pada udang melalui perendaman pada fase larva kemudian dilanjutkan pemberian rGH melalui pakan pada fase pembesaran akan meningkatkan pertumbuhan dan biomassa udang lebih tinggi daripada hanya melalui perendaman.

Pada penelitian ini, penggunaan rGH untuk udang dapat meningkatkan biomassa yang cukup signifikan, terlihat bahwa udang yang diberi perlakuan perendaman menggunakan rGH biomassanya lebih tinggi dari kontrol. Hal tersebut dapat mempercepat masa produksi dan meningkatkan produksi udang. Oleh karena itu penggunaan rGH dapat dijadikan solusi dalam budidaya udang saat ini yakni penurunan angka produksi udang.

Perlakuan perendaman dianggap aman dilakukan pada post-larva udang vaname dibandingkan dengan metode injeksi. Selain dapat mengurangi stres yang akan berpengaruh pada penyerapan rGH, metode perendaman juga lebih efesien jika diaplikasikan pada fase larva. Mekanisme masuknya rGH ke dalam tubuh melalui metode perendaman belum diketahui, tetapi pada ikan diduga masuknya growth hormone melalui insang. Menurut Sherwood dan Harvey (1986) dalam Moriyama dan Kawauchi (1990) pemberian GnRH (gonadotropin releasing hormone) terlihat berpengaruh pada plasma ikan mas setelah pemberian melalui insang. Radiolabeled-BSA (bovine serum albumin) ditemukan pada insang dan pada epidermis ikan rainbow trout setelah peredaman dalam larutan dan diduga bahwa masuknya larutan tersebut melalui insang (Smith 1982 dalam Moriyama dan Kawauchi 1990). Pada udang belum diketahui secara pasti masuknya rGH ke dalam tubuh udang, tetapi diduga sama dengan ikan masuknya rGH pada udang juga melalui insang, dan ruas antar karapas. Penggunaan post-larva fase PL-2 dimaksudkan agar rGH dapat terserap optimal tidak hanya melalui insang, tetapi

(11)

juga melalui kulit udang, karena pada saat larva epidermis kulit masih sangat tipis memudahkan rGH masuk ke dalam tubuh.

Mekanisme kerja hormon pada udang belum diketahui secara pasti berbeda dengan mekanisme kerja hormon pada ikan yang sudah diketahui, karena perbedaan organ yang mengatur kerja hormon antara ikan dan udang. Mekanisme kerja hormon pada ikan yaitu hormon yang masuk di dalam tubuh ikan dialirkan oleh peredaran darah dan akan diserap oleh organ hati, paru-paru, ginjal, dan berbagai organ lainya (Affandi dan Tang 2002). Hormon dialirkan dengan memanfaatkan sirkulasi darah sehingga dapat tersebar ke seluruh organ target. Reseptor hormon umumnya bersifat spesifik terhadap ligan, dan reseptor terdiri dari beberapa rangkaian molekul protein yang bersifat sangat khusus (Partodihardjo 1980; Affandi 2002 dalam Ratnawati 2012). Kerja hormon pertumbuhan dipermudah oleh pankreas korteks adrenal dan tiroid yang bekerja bersama dalam memacu katabolisme lemak dan karbohidrat (Calduch-Giner et al. 2000 dalam Wals 2002).

Gambar 4. Mekanisme kerja hormon pertumbuhan dan IGF-1 pada ikan (Moriyama dan Kawauchi 2001).

Rekombinan hormon pertumbuhan yang masuk ke dalam tubuh ikan langsung ditransportasikan oleh pembuluh darah menuju organ target, yakni hati untuk memacu produksi insulin-like-growth factor (IGF-1). Mekanisme kerja hormon seperti yang berada pada Gambar 4. Hormon pertumbuhan akan terkait pada reseptornya yang terletak di hati, kemudian hati akan menstimulasi sintesis

(12)

dan pelepasan IGF-I. IGF-1 berperan dalam regulasi metabolisme protein, karbohidrat, lipid, mineral yang ada di dalam sel, diferensiasi, dan perkembangan sel yang pada ahirnya akan menghasilkan pertumbuhan (Moriyama 2001).

Metode perendaman yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode packing, udang direndam dengan rGH di dalam plastik yang biasa digunakan untuk pengiriman benih pada umumnya. Metode ini dimaksudkan untuk mempermudah petani yang akan menggunakan rGH. Pemberian rGH dilakukan pada saat transportasi, sehingga udang yang siap tebar adalah udang yang telah diberi rGH. Namun demikian, ada kendala di mana jarak pengiriman udang dianjurkan kurang dari 3 jam. Dari hasil penelitian ini perlakuan perendaman dengan lama waktu 3 jam menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih rendah dari perlakuan 2 jam. Transportasi PL udang melebihi 3 jam tanpa pergantian air diduga akan menurunkan kelangsungan hidup secara signifikan.

Dengan aplikasi penggunaan rGH pada udang vaname diharapkan dapat meningkatkan produksi udang dengan cara mempercepat pertumbuhan. Seperti yang telah diungkapkan oleh Toullec et al. (1991) yang mengusulkan penggunaan hormon vertebrata untuk meningkatkan produksi udang. Selain itu, udang yang diberi rekombinan hormon pertumbuhan adalah produk yang aman untuk dikonsumsi. Hal ini diungkapkan oleh Acosta et al. (2007) bahwa penggunaan rGH ikan merupakan prosedur yang aman dalam meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ikan budidaya, organisme hasil perlakuan rGH juga bukan merupakan produk GMO.

Gambar

Gambar 1. Pertumbuhan bobot rerata post-larva  udang  vaname  yang dipelihara selama 3 minggu antara perlakuan yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElGH), kontrol, dan kontrol pCold (placebo)
Gambar 2. Pertambahan panjang post-larva udang vaname yang dipelihara selama 18  hari antara  perlakuan  yang  diberi hormon  pertumbuhan  rekombinan  ikan kerapu kertang (rElGH), kontrol, dan kontrol pCold (placebo)
Gambar 3. Ukuran post-larva udang  vaname  yang  direndam  dengan hormon pertumbuhan  rekombinan  ikan  kerapu  kertang  (rElGH)  dosis  15  mg/L  dengan lama waktu perendaman A:  kontrol pCold; B: kontrol; C: 1 jam; D: 2 jam; E: 3 jam dengan  frekuensi  p
Gambar  4. Mekanisme  kerja  hormon  pertumbuhan  dan  IGF-1 pada  ikan (Moriyama dan Kawauchi 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Saran yang dapat diberikan yang yaitu: (1) Sebaiknya produsen dan penjual sayur organik lebih memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan ke-tiga faktor

(1) Penyusunan dokumen data dasar capaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dilakukan oleh Tim Penyusun

Upaya yang dilakukan untuk menghemat sumber daya alam serta menggantikan bahan filler sebagi pengisi aspal dan mengantisipasi keluarnya dana pemeliharaan jalan ialah dengan

ABDUL QAYUUM ABDUL RAZAK, MUHAMAD TAUFIK MD SHARIPP , MOHD ZAID MUSTAFAR &amp; MOHD KHAIRUL NIZAM MOHD AZIZ..

UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA 2015.. Studi Deskriptif Tentang Program Pemerintah Nawa Cita Melalui Kegiatan Pembangunan Tingkat Padukuhan Di Desa Karangasem Kecamatan

digunakan untuk menilai proses belajar mengajar. Keaktifan tersebut dapat dilihat dalam hal: a).turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya, b).terlibat dalam

Implementasi sistem senayan untuk menggantikan sistem RBTC dan DIGILIB dengan cara migrasi data, migrasi proses bisnis dan penambahan modul dapat dilakukan dengan

Bahan baku merupakan bahan utama yang digunakan dalam proses produksi dengan komposisi persentase yang tinggi dan merupakan bahan yang membentuk bagian integral dari suatu