• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi Pelangaran Undang undang Hak Cipta 2002

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sanksi Pelangaran Undang undang Hak Cipta 2002"

Copied!
269
0
0

Teks penuh

(1)

Cetakan Pertama, Desember 2013

Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang All right reserved

Kementerian Kesehatan RI, Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Penulis : Endi Ridwan, Dkk

Layout : Andi Maharany Patta Katy Desain Sampul : Suci Wiji Lestari

Editor : Susilowati Herman, Nurul Puspasari, C-1 Jakarta

Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 234 hlm. Uk 21 cm x 29,7 cm

ISBN 978-602-235-536-6 Diterbitkan oleh :

Lembaga Penerbitan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013

Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226 Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933

Email: LPB@litbang.depkes.go.id; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id

Didistribusikan oleh : Tim Riskesdas 2013

Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta

Sanksi Pelangaran Undang undang Hak Cipta 2002

1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

(2)

RISET KESEHATAN DASAR

RISKESDAS 2013

PROVINSI ACEH

PENULIS:

1.

ENDI RIDWAN

2.

MARICE SIHOMBING

3.

APRILDAH SAPARDIN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu‘alaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga Riskesdas 2013 telah selesai dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan riset kesehatan dasar berbasis masyarakat, yang dilaksanakan secara berkala. Riskesdas menghasilkan indikator kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan kesehatan.

Hasil akhir Riskesdas 2013 Provinsi Aceh disajikan dalam dua buku yaitu buku 1: Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, buku 2: Riskesdas 2013 Dalam Angka. Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 berisi hasil analisis variabel utama pembangunan kesehatan, dilengkapi dengan filosofi, teori dan justifikasi pengumpulan variabel dan indikator. Riskesdas 2013 dalam Angka menyajikan hasil lebih rinci dalam bentuk tabel. Kedua buku ini merupakan satu kesatuan, pembaca disarankan membaca buku 1 untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai Riskesdas, buku 2 untuk memperoleh informasi lebih rinci.

Analisis disajikan secara deskriptif dan kecenderungan untuk melihat perubahan indikator 2007 –

2013. Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan program untuk mengevaluasi strategi yang telah diterapkan, sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi dan perbaikan yang dibutuhkan. Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan www.litbang.depkes.go.id

Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Poltekkes, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian Daerah, dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas 2013 Provinsi Aceh. Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan analisis data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan kepada para penanggung jawab operasional, para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan Riskesdas 2013 dapat berjalan lancar.

Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT melimpahkan barokah-Nya kepada kita.

Wassalamu‘alaikum wr.wb.

Jakarta, Desember 2013 Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik

(5)

SAMBUTAN

KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013.

Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan. Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien.

Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil Riskesdas 2013, guna mengidentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia.

Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator, para penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan coordinator Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan Badan Pusat Statistik, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pembangunan Kesehatan di negeri ini.

Semoga buku ini bermanfaat.

Billahitaufiq walhidayah, Wassalamu‘alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 1 Desember 2013 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

(6)

RINGKASAN

A. Ringkasan eksekutif

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan riset kedua yang mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007 yang merepresentasikan gambaran wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Indikator yang dihasilkan antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum. Pertanyaan penelitian yang menjadi dasar pengembangan Riskesdas 2013 adalah: 1) bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; 2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan kabupaten/kota; 3) Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; 4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan; dan 5) Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1, dan 2. Secara rinci hasil Riskesdas dapat dilihat pada Buku II ―Riskesdas 2013 Dalam Angka‖ sedangkan pertanyaan penelitian 3, 4, dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk laporan hasil analisis lanjut.

Untuk menjawab kelima pertanyaan tersebut, dirumuskan tujuan antara lain penyediaan data dasar dan status kesehatan dan faktor penentu kesehatan, baik di tingkat rumah tangga maupun individual, dengan ruang lingkup: 1) Akses dan pelayanan kesehatan; 2) Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional; 3) Kesehatan lingkungan; 4) Pemukiman dan ekonomi; 5) Penyakit menular; 6) Penyakit tidak menular; 7) Cedera; 8) Gigi dan mulut; 9) Disabilitas; 10) Kesehatan jiwa; 11) Pengetahuan, sikap dan perilaku; 12) Pembiayan kesehatan; 13) Kesehatan reproduksi; 14) Kesehatan anak; 15) Pengukuran antropometri (berat badan, tinggi/panjang badan, lingkar lengan atas, lingkar perut) dan tekanan darah; 16) Pemeriksaan indera mata dan telinga; 17) Pemeriksaan status gigi permanen; 18) Pemeriksaan spesimen darah dan penentuan kadar iodium dalam urin, garam dan air rumah tangga (menggambarkan tingkat Nasional).

Riskesdas Provinsi Aceh adalah sebuah survei dengan desain cross sectional. Riskesdas 2013 terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Provinsi Aceh secara menyeluruh, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota, sehingga pengguna informasi Riskesdas dapat memperoleh gambaran yang utuh dan rinci mengenai berbagai masalah kesehatan yang ditanyakan, diukur atau diperiksa.

Sampel Riskesdas 2013 Provinsi Aceh ditingkat kabupaten/kota berasal dari 23 kabupaten/kota yang tersebar merata di Provinsi Aceh. Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 23 kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage sampling, sama dengan metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas 2007 Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi, dan rasio perkotaan/perdesaan. Untuk sampel biomedis, penarikan sampel dilakukan secara stratified random sampling dengan strata berdasarkan besarnya angka prevalensi malaria dan TB-paru hasil Riskesdas 2007. Dari Provinsi Aceh diambil sejumlah BS yang representative (mewakili) rumah tangga/anggota rumah tangga di provinsi tersebut. Riskesdas 2013 berhasil mengumpulkan data dari seluruh BS terpilih yaitu sebanyak 467 BS dan 11.625 RT (response rate 99,6 persen). Jumlah anggota rumah tangga yang berhasil diwawancara adalah 40.951 (response rate 92,3 persen). Sedangkan untuk pengukuran biomedis hanya diambil sub sampel yang mewakili nasional yaitu 9 BS diambil dari Kabupaten Aceh Barat Daya (3 BS) dan Aceh Timur (6 BS). Untuk mengetahui status iodium, dilakukan tes cepat iodium dari seluruh sampel garam RT (294.959); kandungan iodium garam dari sub-sampel nasional (11.430 RT); pemeriksaan air untuk melihat kadar iodium (3.028 RT), dan penentuan iodium urin dari 6.154 anak usia sekolah (6-12 tahun) dan 13.811 wanita usia subur (15-49 tahun).

(7)

Pengumpulan data dilakukan oleh tenaga setempat dengan klasifikasi minimal lulusan politeknik kesehatan (Diploma 3), yang sebelumnya telah dilatih secara seksama meliputi teori dan praktek oleh tenaga terlatih dari Badan Litbangkes. Dalam pelaksanaan, Riskesdas ini juga melibatkan seluruh instansi terkait di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) meliputi Dinas Kesehatan, Badan Pusat Statistik, Pemerintah Daerah dan unsur terkait lainnya

Keterbatasan Riskesdas Provinsi Aceh 2013 mencakup: 1) non-sampling error antara lain: blok sensus yang tidak terjangkau atau terjadi konflik, RT yang tidak dijumpai, anggota RT yang tidak bisa diwawancarai karena tidak ada ditempat sampai waktu pengumpulan data selesai, 2) estimasi tingkat kabupaten tidak bisa berlaku untuk semua indikator karena keterbatasan jumlah sampel untuk keperluan analisis.

Seluruh hasil Riskesdas ini bermanfaat sebagai masukan dalam pengembangan kebijakan dan perencanan program kesehatan. Sebanyak 1060 variabel yang terkelompokkan berdasarkan dua jenis kuesioner (RKD13.RT dan RKD13.IND), maka hasil Riskesdas 2013 dapat digunakan antara lain untuk melihat kecenderungan perubahan beberapa indikator yang sama dengan Riskesdas 2007, pengembangan riset dan analisis lanjut, penelusuran hubungan kausal-efek, dan pemodelan statistik.

Riskesdas menghasilkan berbagai peta masalah kesehatan dan kecenderungannya, pada bayi lahir sampai dewasa. Prevalensi anak balita menurut indikator BB/U di Provinsi Aceh dengan status gizi buruk 7,9 persen, gizi kurang 18,4 persen, gizi baik 70,7 persen dan gizi lebih 2,9 persen.

Dapat dilihat bahwa secara provinsi, prevalensi berat kurang BB/U pada tahun 2013 adalah 26,3 persen (terdiri dari 7,9 persen gizi buruk dan 18,4 persen gizi kurang). Prevalensi anak kurus BB/TB

15,7 persen (terdiri dari 6,1 persen sangat kurus dan 9,6 persen kurus). Menurut WHO 20101

masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi berat kurang (BB/U) pada prevalensi antara 20 - 29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila prevalensi berat kurang, lebih besar atau sama dengan 30 persen.

Adapun prevalensi anak pendek TB/U 41,5 persen (terdiri dari 20,1 persen sangat pendek dan 21,4 persen pendek). Masalah stunting/pendek pada balita masih cukup serius, angka nasional sebesar 37,2 persen. Sedangkan prevalensi kependekan (stunting) menurut kabupaten/kota di Provinsi Aceh sebesar 41,5 persen (terdiri dari 20,1 persen sangat pendek dan 21,4 persen pendek). Menurut

WHO 20101, stunting dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat dengan kategori prevalensi

tinggi bila prevalensi kependekan sebesar 30 – 39 persen dan prevalensi sangat tinggi bila diatas

atau sama dengan 40 persen.

Menurut WHO 20101 masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BB/TB

kurus antara 10,0 persen - 14,0 persen, dan dianggap kritis bila di atas atau sama dengan 15,0 persen. Pada tahun 2013, secara propinsi prevalensi BB/TB kurus pada balita masih 15,7 persen. Hal ini berarti bahwa masalah kekurusan di provinsi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius.

Jika diamati berat bayi lahir, prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah<2500 gram (BBLR) di Provinsi Aceh sebesar 8,6 persen, tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya (26,2 %). Untuk pertama kali di tahun 2013 dilakukan juga pengumpulan data panjang bayi lahir. Bayi dikatakan lahir pendek jika panjang bayi lahir < 48 cm. Prevalensi bayi lahir pendek di Provinsi Aceh sebesar 13,7 persen masih dibawah angka nasional (20,2 %). Prevalensi bayi lahir pendek, tertinggi di Kabupaten Aceh Selatan (58,5 %) dan terendah di Kota Subulussalam (3,1 %).

Imunisasi dasar lengkap yang meliputi HB-O, BCG, DPT-HB, Polio dan Campak didapat dengan menganalisis data anak umur 12-59 bulan. Cakupan imunisasi lengkap di Aceh sebesar 38,4 persen, akan tetapi masih dijumpai 41,9 persen yang diimunisasi tapi tidak lengkap, dan19,7 persen

1

(8)

yang tidak pernah diimunisasi, dengan alasan takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/repot.

Program pelayanan kesehatan anak berupa kunjungan neonatal (KN) lengkap di Provinsi Aceh sebesar 32,5 persen, cakupan pemberian kapsul vitamin A untuk anak balita yang menerima kapsul vitamin A selama 6 bulan terakhir sebesar 73,8 persen, tertinggi di Kota Sabang (90,9%) dan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya (49,4%). Persentase rataan provinsipada proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir adalah 61,4 persen, dengan persentase tertinggi di Kota Sabang (87,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Jaya (39,4%)

Penggunaan KB saat ini di Provinsi Aceh sebesar 51,8 persen, diantaranya menggunakan cara modern 48,9 persen dan 45,1 persen menggunakan KB hormonal dan 3,8 persen non hormonal. Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) didapati sebesar 4,7 persen dan non-MKJP 44,2 persen. Selain penggunaan KB dikumpulkan juga cakupan pelayanan masa hamil, persalinan, dan pasca melahirkan.

Pemetaan penyakit menular menunjukkan bahwa period prevalen diare di Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 sebesar 9,3 persen. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur adalah 5 persen. Insiden diare balita di Provinsi Aceh adalah 10,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan period prevalence diare tertinggi adalah, Kota Subulussalam (9,0% dan 15,7%), Kabupaten Aceh Timur (8,9% dan 17%), Aceh Utara (7,4% dan 12,5%), Pidie Jaya (6,9% dan 12,7%) dan Bireun (6,6% dan 10,5%).

Period prevalence dan prevalensi pneumonia di Provinsi Aceh tahun 2013 sebesar 2,6 persen dan 9,3 persen. Empat kabupaten/kota yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Aceh Timur, Bireun, Pidie Jaya dan Kota Subulussalam. Proporsi penduduk Aceh dengan gejala TB adalah 4,2 persen dan 3,6 persen diantaranya mengalami batuk berdarah.

Prevalensi hipertensi berdasarkan kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,7 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan dan minum obat sebesar 9,8 persen.Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak bekerja, mungkin akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik. Prevalensi diabetes dan hipertiroid di Provinsi Aceh berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar (1,8% dan 0,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Kota Lhokseumawe 4,6 persen dan Banda Aceh 3,8 persen.

Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas di Provinsi Aceh sebesar 0,4 persen, tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Selatan 1,0 persen. Diikuti Kabupaten Bireun 0,9 persen dan Kota Subulussalam 0,8 persen. Prevalensi pterygium Provinsi Aceh adalah sebesar 9,3 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Kabupaten Bireun (18,0%), Kabupaten Aceh Singkil (17,2%), dan Kota Lhokseumawe sebesar 16,7 persen.

Prevalensi anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis) menurut propinsi adalah 2,7 per mil, nasional (1,7 per mil), terbanyak terdapat di Kota Banda Aceh dan Kabupaten

Bireun. Terendah pada Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Nagan Raya. Prevalensi orang yang mengalami gangguan emosional tercatat sebesar 6,0 persen di Provinsi

Aceh.

Sementara untuk masalah cedera, prevalensi cedera di Provinsi Aceh sebesar 7,3 persen , tertinggi ditemukan di Kabupaten Bener Meriah (19,4%), terendah di Nagan Raya (2,2%). Sedangkan penyebab cedera terbanyak secara langsung adalah kecelakaan sepeda motor sebesar 48,6 persen dan jatuh 30,2 persen.

Perilaku merokok penduduk 15 tahun keatas menunjukkan bahwa rerata proporsi perokok saat ini di Provinsi Aceh adalah 29,3 persen. Rerata batang rokok yang dihisap per hari per orang adalah 15,3 batang (setara lebih dari satu bungkus). Perokok aktif berdasarkan kelompok umur proporsi terbanyak pada kelompok umur, 30-34 tahun, pada laki-laki proporsi lebih banyak di bandingkan

(9)

perokok perempuan. Wiraswasta adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (49,3%). Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang menghisap cerutu cenderung meningkat, tertinggi pada kelompok umur 35-39 tahun, perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan berpendidikan tamat SD, pekerjaan lain-lain dengan kuintil kepemilikan menengah.

Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat yang baik sebanyak19,6 persen, dengan persentase tertinggi pada Kota Banda Aceh (46,1%) dan persentase terendah pada Aceh Selatan (6,8%).

Riskesdas merupakan instrumen penting dalam menyediakan informasi terkini mengenai situasi status kesehatan dan gizi masyarakat dan perlu dilakukan secara berkala dan konsisten. Monitoring dan evaluasi pada semua lini program kesehatan hendaknya dilakukan tingkat lokal sehingga setiap daerah dapat memfokuskan prioritas program kesehatan dan capacity building sesuai masalah yang dihadapi.

B. Ringkasan hasil

Akses dan pelayanan kesehatan

Informasi mengenai akses dan pelayanan kesehatan dalam Riskesdas 2013 didapatkan dari pengetahuan RT tentang keberadaan fasilitas dan jenis pelayanan kesehatan terdekat yang berada di sekitar tempat tinggal. Jenis pelayanan kesehatan yang ditanyakan ada delapan jenis, yaitu keberadaan: (1) RS pemerintah; (2) RS swasta; (3) puskesmas atau pustu; (4) praktek dokter atau klinik; (5) praktek bidan atau rumah bersalin; (6) posyandu; (7) poskesdes atau poskestren; dan (8) polindes. Selain data itu juga diketahui tentang keterjangkauan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan tersebut yang dilihat dari jenis moda transportasi, waktu tempuh, dan biaya menuju fasilitas kesehatan tersebut.

Di Provinsi Aceh proporsi RT yang mengetahui keberadaan RS pemerintah sebanyak 86,2 persen, RS swasta 31,7 persen, sedangkan puskesmas/pustu sebanyak 93,1 persen. RumahTangga yang mengetahui keberadaan RS pemerintah tertinggi di Kabupaten Simeulue, Gayo Lues, dan Kota Sabang masing masing sebesar 99,4 persen, sedangkan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya (49,6%). Pengetahuan RT tentang keberadaan RS swasta tertinggi Kota Banda Aceh (91,9%) dan terendah di Kabupaten Gayo Lues (0,7%). Pengetahuan RT tentang keberadaan puskesmas/pustu tertinggi di Kota Sabang (99,3%), terendah di Kabupaten Nagan Raya (82,3%). Pengetahuan RT tentang keberadaan praktek bidan atau rumah bersalin di Provinsi Aceh adalah 56,4 persen, tertinggi di Kabupaten Aceh Tenggara (91,0%), dan terendah di Kabupaten Nagan Raya (8,5%). Pengetahuan tentang keberadaan posyandu sebanyak 61,9 persen, tertinggi di Kabupaten Aceh Tengah (93,1%) dan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya (12,1%).

Proporsi pengetahuan RT yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju RS pemerintah di perkotaan 62,6 persen dan perdesaan 50,0 persen. Untuk penggunaan kendaraan umum di perkotaan 18,3 persen dan perdesaan 32,1 persen. Sementara yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 6,8 persen dan di perdesaan 14,0 persen. Waktu tempuh RT menuju fasilitas kesehatan di RS pemerintah lebih dari 60 menit sebanyak 20,2 persen, sedangkan ke RS swasta sebanyak 22,5 persen. Berbeda dengan waktu tempuh menuju RS Pemerintah dan RS Swasta, maka waktu tempuh menuju ke fasilitas kesehatan lain seperti, puskesmas/pustu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu pada umumnya hanya membutuhkan waktu 15 menit atau kurang.

Biaya transportasi paling banyak berkisar antara Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 50.000.- untuk menuju RS pemerintah (51,5%). Biaya transportasi Rp. 10.000 atau kurang, paling banyak digunakan untuk menuju ke RS swasta (48,6%), puskesmas atau pustu (87,0%), dokter praktek atau

(10)

klinik ( 78,7%) dan praktek bidan atau rumah bersalin (93,5%). Demikian juga biaya transportasi ke poskesdes atau poskestren (99,2%), polindes (99,0%) dan posyandu (98,8%).

Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional

Bahasan farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi RT (RT) yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), proporsi RT yang memiliki pengetahuan benar tentang obat generik (OG) dan sumber informasi tentang OG, serta jenis dan alasan memanfaatkan Yankestrad dalam kurun waktu satu tahun terakhir.

Sejumlah 31,6 persen dari 11.625 RT di Provinsi Aceh menyimpan obat untuk swamedikasi, dengan proporsi tertinggi RT di Kota Banda Aceh (60,1%) dan terendah di Kabupaten Nagan Raya (5,1%). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam. Dari 42,4 persen RT yang menyimpan obat keras dan antibiotika sebanyak 32,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Terdapat 81,4 persen RT menyimpan obat keras dan 85,9 persen RT menyimpan antibiotika yang diperoleh tanpa resep. Jika status obat dikelompokkan menurut obat yang ‗sedang digunakan‘, obat ‗untuk persediaan‘ jika sakit, dan ‗obat sisa‘ maka 42,9 persen RT menyimpan obat yang sedang digunakan, 28,0 persen RT menyimpan obat sisa dan 45,6 persen RT yang menyimpan obat untuk persediaan. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Seharusnya obat sisa resep secara umum tidak boleh disimpan karena dapat menyebabkan penggunaan salah (misused) atau disalah gunakan atau rusak/kadaluarsa.

Secara nasional sebanyak 31,9 persen RT pernah mendengar atau mengetahui mengenai OG. Rumah tangga yang pernah mendengar atau mengetahui mengenai OG di Provinsi Aceh sebanyak 33,7 persen. Delapan puluh empat koma tujuh persen RT mempunyai persepsi OG sebagai obat murah, 71,9 persen obat program pemerintah, 42,0 persen OG berkhasiat sama dengan obat bermerek dan 26,1 persen OG adalah obat tanpa merek dagang. Sumber informasi tentang OG di perkotaan maupun perdesaaan paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (77,8%). Oleh karena itu masih sangat perlu promosi mengenai obat generik secara strategik terutama di era Jaminan Kesehatan Nasional.

Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, keterampilan tanpa alat, dan keterampilan dengan pikiran. Sejumlah 2.326 dari 11.617 (18,5%) RT di Provinsi Aceh memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan proporsi RT yang memanfaatkan Yankestrad tertinggi di Kabupaten Bener Meriah (68,9%) dan terendah di Kota Sabang (1,1%). Alasan utama RT memanfaatkan Yankestrad terbanyak secara umum adalah untuk menjaga kesehatan/kebugaran. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan yankestrad masih cukup rasional. Sementara itu alasan terbanyak pemanfaatan yankestrad keterampilan dengan pikiran adalah berdasarkan tradisi/kepercayaan.

Kesehatan lingkungan

Air minum

Proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Provinsi Aceh adalah sebesar 47,1 persen (perkotaan: 28,1%; perdesaan: 54,8%). Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi untuk RT yang memiliki akses terhadap air minum improved adalah Aceh Tenggara (67,5%), Aceh Jaya (63,3%), Pidie (62,3%), Bireuen (61,9%), dan Nagan Raya (59,7%); sedangkan lima kabupaten/kota terendah adalah Banda Aceh (12,4%), Sabang (18,4%), Lhokseumawe (24,7), Langsa (25,7%), dan Aceh Tamiang (28,1%).

Berdasarkan gender, ART yang biasa mengambil air di Provinsi Aceh pada umumnya adalah laki dewasa dan perempuan dewasa (masing-masing 63,7% dan 35,2%). Masih terdapat anak laki-laki (0,6%) dan anak perempuan (0,5%) berumur di bawah 12 tahun yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum RT.

(11)

Secara kualitas fisik, masih terdapat RT dengan kualitas air minum keruh (8,4%), berwarna (6,4%), berasa (4,0%), berbusa (0,5%), dan berbau (1,2%). Berdasarkan kabupaten/kota, proporsi RT tertinggi dengan air minum keruh adalah di Nagan Raya (25%), berwarna dan berasa juga di Nagan Raya (24,4% dan 2,6%), berbusa dan berbau adalah di Aceh Utara (12,9%).

Proporsi RT yang mengolah air sebelum di minum di Provinsi Aceh adalah sebesar 59,9 persen. Dari 59,9 persen RT yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 95,8 persennya melakukan pengolahan dengan cara dimasak. Cara pengolahan lainnya adalah dengan dijemur di bawah sinar mata hari/solar disinfection sebanyak 1,7 persen, menambahkan larutan tawas 0,1 persen, disaring dan ditambah larutan tawas 0,3 persen dan disaring saja sebanyak 2,1 persen.

Sanitasi

Proporsi RT di Provinsi Aceh menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah 64,6 persen, milik bersama sebanyak 5,7 persen, dan fasilitas umum adalah 7,0 persen. Masih terdapat RT yang tidak memiliki fasiltas BAB/BAB sembarangan, yaitu sebesar 22,7 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi RT yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan adalah Kabupaten Gayo Lues (59,2%), Aceh Tenggara (43,7%), Pidie (40,9%), Aceh Selatan (37,0%), dan Simeuleu (35,8%).

Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP WHO–Unicef) di Provinsi Aceh adalah sebesar 53,4 persen. Lima Kabupaten/kota tertinggi proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah Kota Banda Aceh (97,0%), Lhokseumawe (84,2%), Aceh Jaya (82,4%), Sabang (80,8%), dan Langsa (80,6%).

Untuk penampungan air limbah RT di Provinsi Aceh umumnya dibuang langsung ke got (45,4%). Hanya 15,7 persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan dengan dilengkapi SPAL dan 14,4 persen menggunakan penampungan terbuka di pekarangan, dan 8,5% ditampung di luar pekarangan. Sementara dalam hal pengelolaan sampah RT umumnya dilakukan dengan cara dibakar (70,6%) dan hanya 13,7 persen yang diangkut oleh petugas. Sementara lainnya dengan cara ditimbun dalam tanah, dibuat kompos, dibuang ke kali/parit/laut dan dibuang sembarangan. Lima kabupaten/kota dengan proporsi RT yang mengelola sampah dengan cara dibakar tertinggi adalah di Aceh Besar (89,6%), Nagan Raya (89,1%), Bireuen (88,7%), Aceh Tamiang (84,3%), dan Aceh Utara (82,8%).

Perumahan

Berdasarkan status penguasaan bangunan, sebagian besar RT di Provinsi Aceh menempati rumah milik sendiri (83,5%), sisanya kontrak, sewa, menempati milik orang lain, milik orang tua/sanak/ saudara atau menempati rumah dinas. Menurut kepadatan hunian, terdapat 86,2 persen rumah

dengan kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang (padat). Untuk kondisi

ruangan dalam rumah, sebagian besar ruangan-ruangan terpisah dari ruang lainnya. Begitu pula dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat RT kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun dapurnya bersih dengan pencahayaan cukup. Kurang dari 60 persen RT yang ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari.

Dalam penggunaan bahan bakar untuk keperluan RT, yang menggunakan bahan bakar aman (listrik, gas/elpiji) sebesar 72,9 persen, di perkotaan lebih tinggi (93,6%) dibandingkan di perdesaan (64,7%). Untuk pencegahan gigitan nyamuk dalam rumah, sebagian besar RT menggunakan kelambu (65,2%), diikuti oleh penggunaan obat nyamuk bakar (46,3%), kasa nyamuk (16,5%), insektisida (12,8%), dan repelen (4,2%). Sekitar 16 persen RT di Provinsi Aceh menyimpan/ menggunakan pestisida/insektisida/pupuk kimia dalam rumah.

Penyakit menular

Penyakit menular yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 berdasarkan media/cara penularan yaitu: 1) melalui udara (Infeksi Saluran Pernafasan Akut/ISPA, pneumonia, dan TB paru); (2) melalui

(12)

makanan, air dan lainnya (hepatitis, diare); (3) melalui vektor (malaria). Informasi diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terstruktur secara klinis.

Ditularkan melalui udara

Period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan penduduk di Provinsi Aceh didapati 30 persen. Lima kabupaten/kota dengan ISPA tertinggi adalah Aceh Timur, Bireuen, Subulussalam, Aceh Utara dan Aceh Tengah. Period prevalence dan prevalensi pneumonia di Provinsi Aceh tahun 2013 adalah 2,6 persen dan 5,4 persen. Lima kabupaten/kota yang mempunyai period prevalance dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Aceh Timur, Sabang, Subulussalam dan Aceh Selatan.

Prevalensi penduduk di Provinsi Aceh yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2013 sebesar1,6 persen. Lima kabupaten/kota dengan TB tertinggi adalah Subulussalam (3,7%), Aceh Selatan (3,6%), Aceh Tenggara (2,2%), Pidie, Aceh Barat Daya dan Pidie Jaya masing-masing sebesar 2,1 persen.

Ditularkan melalui makanan, air dan lainnya

Prevalensi hepatitis di Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 adalah 1,8 persen. Lima kabupaten/kota dengan prevalensi hepatitis tertinggi adalah Aceh Timur (5%), Bener Meriah (3,4%), Aceh Utara (2,8%), Bireun (2,7%), Pidie Jaya dan Banda Aceh masing-masing (2,5%). Berdasarkan pekerjaan, kelompok wiraswasta menempati prevalensi hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk adalah hepatitis B (15,8 %) dan hepatitis A (13,4%).

Period prevalence diare Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 (9,3%). Insiden diare untuk seluruh kelompok umur adalah 5 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan period prevalen diare tertinggi yaitu Subulussalam (9,0% dan 15,7%), Aceh Timur (8,9% dan 17%), Aceh Utara (7,4% dan 12,5%), Pidie Jaya (6,9% dan 12,7%) dan Bireuen (6,6% dan 10,5%). Insiden diare balita sebesar 10,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden diare tertinggi adalah Pidie Jaya (17,9%), Aceh Tenggara (17,3%), Aceh Timur (16,9%), Subulussalam (16,4%) dan Aceh Utara (14,5%). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (16,5%), perempuan, tinggal di daerah perdesaan (11,4%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (14,9%).

Ditularkan vektor

Insiden Malaria di Provinsi Aceh tahun 2013 sebesar 2,4 persen. Prevalensi malaria tahun 2013 sebanyak 9,3 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah Subulussalam (5,5% dan 15,7%), Aceh Timur (5,2% dan 17%), Aceh Barat (4,3% dan 8,3%), Bireun (4,1% dan 10,5%) dan Aceh Selatan (3,8% dan 10,8%). Proporsi penderita malaria yang mendapatkan obat ACT program di Provinsi Aceh 32,8%, di dapat pada 24 jam pertama demam sebesar 41,4 persen dan obat diminum dalam 3 hari sebesar 70,0 persen.

Penyakit tidak menular

Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke orang. Data PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : (1) asma; (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK); (3) kanker; (4) DM; (5) hipertiroid; (6) hipertensi; (7) jantung koroner; (8) gagal jantung; (9) stroke; (10) gagal ginjal kronis; (11) batu ginjal; (12) penyakit sendi/rematik. Data penyakit asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur, PPOK dari umur ≥30 tahun, DM, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanyakan pada responden umur ≥15 tahun.

Data prevalensi penyakit ditentukan berdasarkan hasil wawancara berupa gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis dokter/tenaga kesehatan atau kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM

(13)

(berdasarkan diagnosis atau gejala). Prevalensi kanker, gagal ginjal kronis, dan batu ginjal ditentukan berdasarkan informasi pernah didiagnosis dokter saja. Untuk prevalensi hipertensi, selain berdasarkan hasil wawancara,prevalensi juga berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah.

Angka prevalensi asma, PPOK, dan kanker berdasarkan wawancara di Provinsi Aceh masing-masing 4,0 persen, 4,3 persen, dan 1,4 per mil. Prevalensi asma dan kanker lebih tinggi pada perempuan, prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki.

Prevalensi DM dan hipertiroid di Provinsi Aceh berdasarkan jawaban dan pernah didiagnosis dokter sebesar 1,8 persen dan 0,3 persen. DM berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 2,6 persen.

Prevalensi hipertensi pada umur ≥18 tahun di Provinsi Aceh yang didapat melalui jawaban pernah

didiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,7 persen, sedangkan yang pernah didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat hipertensi sendiri sebesar 9,8 persen. Jadi, terdapat 0,1 persen penduduk yang minum obat sendiri, meskipun tidak pernah didiagnosis hipertensi oleh nakes. Prevalensi hipertensi di Provinsi Aceh berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 21,5 persen. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki.

Prevalensi jantung koroner berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,7 persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 2,3 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,1 persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi stroke di Provinsi Aceh berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 6,6 per mil dan yang berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 10,5 per mil. Jadi, sebanyak 62,8 persen penyakit stroke telah terdiagnosis oleh nakes. Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke terlihat meningkat seiring peningkatan umur responden. Prevalensi stroke pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,4 persen dan penyakit batu ginjal sebesar 0,9 persen. Prevalensi penyakit sendi berdasarkan pernah didiagnosis nakes di Provinsi Aceh 18,3 persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala 25,3 persen. Prevalensi penyakit sendi semakin sejalan dengan meningkatnya umur dengan prevalensi perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.

Cedera

Prevalensi cedera secara keseluruhan di Provinsi Aceh adalah 7,3 persen, dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Kabupaten Bener Meriah (19,4%) dan terendah di Kabupaten Nagan Raya (2,2%). Perbandingan hasil Riskesdas 2007 dengan Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi cedera dari 5,2 persen menjadi 7,3 persen.

Penyebab cedera terbanyak, yaitu kecelakaan sepeda motor (48,6%) dan jatuh (30,2%). Proporsi kecelakaan sepeda motor tertinggi terjadi di Kabupaten Gayo Lues dan Kota Subulussalam (59,9%) dan terendah di Kabupaten Simeulue (23,9%). Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan peningkatan proporsi kecelakaan sepeda motor dari 35,4 persen menjadi 48,6 persen. Berdasarkan karakteristik, proporsi kecelakaan sepeda motor terbanyak pada penduduk umur 25-34 tahun, laki-laki, tamat sekolah menengah atas, wiraswasta, di perkotaan, dan pada kuintil teratas.

Cedera akibat terjatuh tertinggi ditemukan di Kabupaten Aceh Barat (16,0%) dan terendah di Kabupaten Aceh Tenggara (1,2%). Proporsi terbanyak terjadi pada umur 5-14 tahun, laki-laki, tamat sekolah dasar, status tidak bekerja, hidup di perdesaan dan kuintil menengah bawah. Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan penurunan proporsi cedera akibat jatuh dari 48,3 persen menjadi 30,2 persen.

Tiga urutan terbanyak jenis cedera yang dialami penduduk adalah luka lecet/memar (66,7%), terkilir (38,9%) dan luka robek (27,8%). Adapun urutan proporsi terbanyak untuk tempat terjadinya cedera, yaitu di jalan raya (47,3%), rumah (30,7%), area pertanian (9,9%) dan sekolah (3,6%).

(14)

Gigi dan mulut

Untuk mengetahui besarnya permasalahan di bidang kesehatan gigi dan mulut secara menyeluruh perlu dilakukan pengukuran di masyarakat dalam skala nasional. Melalui Riskesdas 2013, telah dilakukan pengumpulan data berbagai indikator kesehatan gigi dan mulut masyarakat, dengan cara wawancara dan observasi dengan menggunakan instrumen genggam (kaca mulut) dan bantuan penerangan sinar matahari atau lampu senter. Data yang didapat adalah masyarakat bermasalah gigi dan mulut, tindakan yang diterima oleh responden dari tenaga medis gigi dan effective medical demand (EMD).

Prevalensi masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir untuk Provinsi Aceh dijumpai sebesar 30,5 persen, sebanyak 8 kabupaten/kota mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut diatas angka provinsi. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi sebesar 14,0 persen (EMD). Kabupaten/kota dengan EMD tertinggi adalah Bener Meriah (18,7%), dan angka EMD terendah di Aceh Tenggara (7,6%). Ditemukan EMD meningkat pada kelompok umur yang lebih tinggi, dan persentase EMD tertinggi dijumpai pada kelompok umur 45-54 tahun (EMD: 21,1 dibanding EMD umur 10-14 tahun: 11,9), EMD di perdesaan (14,5) lebih besar dari EMD perkotaan (12,8), dan EMD meningkat pada status ekonomi lebih tinggi (EMD teratas: 14,8) ada pada kuintil menengah bawah.

Provinsi Aceh menyikat gigi setiap hari ditemukan sekitar 90 persen.

Untuk perilaku benar dalam menyikat gigi berkaitan dengan faktor gender, ekonomi, dan daerah tempat tinggal. Ditemukan sebagian besar penduduk Provinsi Aceh menyikat gigi pada saat mandi pagi maupun mandi sore, (91,9 %). Perilaku menyikat gigi dengan benar setelah makan pagi dan sebelum tidur malam, untuk penduduk Provinsi Aceh ditemukan 2,4 persen.

Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi. Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari indeks D-T,M-T, dan F-T. Indeks DMF-T ini meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Indeks DMF-TProvinsi Aceh sebesar 4,0 dengan nilai masing-masing: D-T= 1,4; M-T= 2,6; F-T= 0,08.

Indeks DMF-T lebih tinggi pada perempuan (4,3%) dibanding laki-laki (3,8%). Namun untuk kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat pada kuintil indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya (4,7%) sedangkan untuk yang teratas nilai DMF-T nya lebih rendah (3,2%).

Disabilitas

Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan. Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO, 2010). Informasi besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja program kesehatan.

Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 87,3 persen penduduk Provinsi Aceh disability free. Interpretasi lain adalah penduduk Aceh cenderung tidak menganggap kesulitan sangat ringan yang dialami dalam melakukan aktivitas rutin, sebagai hal yang menyulitkan. Status disabilitas berbanding lurus dengan umur, namun berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Kelompok nelayan dan non pekerja merupakan kelompok dengan disabilitas tertinggi. Kota Sabang merupakan kabupaten/kota dengan prevalensi disabilitas tertinggi, kota Langsa terendah.

(15)

Kesehatan jiwa

Prevalensi anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis) Provinsi Aceh adalah 2,7 per mil, nasional (1,7 per mil), terbanyak terdapat di Banda Aceh dan Kabupaten Bireun. Terendah pada Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Nagan Raya. Menurut karakteristik tempat tinggal, prevalensi gangguan jiwa berat lebih banyak terjadi di perdesaan daripada di perkotaan, sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan, gangguan jiwa berat banyak ditemukan pada kuintil indeks kepemilikan terbawah sebesar 5,8 permil. Prevalensi orang yang mengalami gangguan mental emosional di Provinsi Aceh sebesar 6,0 persen dengan karakteristik usia tua, jenis kelamin perempuan, tinggal di kota, pendidikan rendah, mempunyai pekerjaan sebagai nelayan dan kuintil indeks kepemilikan terendah.

Pengetahuan, sikap, dan perilaku

Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan perilaku mencuci tangan. Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di jamban. Mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor (antara lain memegang uang, binatang, berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi. Adapun rerata proporsi perilaku cuci tangan secara benar di Provinsi Aceh menunjukan 33,6 persen dan perilaku BAB di jamban adalah 73,1 persen.

Rerata proporsi perokok saat ini di Provinsi Aceh adalah 29,3 persen. Rerata batang rokok yang dihisap per hari per orang adalah 15,3 batang (setara lebih satu bungkus). Perokok aktif berdasarkan kelompok umur proporsi terbanyak pada kelompok umur, 30-34 tahun, pada laki-laki proporsi lebih banyak di bandingkan perokok perempuan. Wiraswasta adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (49,3%). Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang menghisap cerutu cenderung meningkat, tertinggi pada kelompok umur 35-39 tahun, perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan berpendidikan tamat SD, pekerjaan lain-lain dengan kuintil kepemilikan menengah. Usia pertama kali merokok yang ditanyakan pada penduduk usia ≥ 10 tahun menunjukkan bahwa penduduk Provinsi Aceh mulai merokok aktif setiap hari sebanyak 0,2 persen dan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 53,9 persen.

Proporsi kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari di Provinsi Aceh sebesar 4 persen, mengunyah tembakau kadang-kadang sebesar 7,3 persen dan mantan pengunyah tembakau 2 persen. Lima kabupaten dengan proporsi mengunyah tembakau setiap hari diatas proporsi provinsi adalah Aceh Tenggara (7,4%), Aceh Barat (6,6%), Aceh Selatan (6,2%), Gayo Lues (6,2%) dan Aceh Barat Daya (6,1%). Perempuan (5,2,%) lebih banyak mengunyah tembakau setiap hari dibandingkan laki-laki (2,7%). Penduduk di perdesaan lebih banyak smokeless setiap hari daripada di perkotaan. Ditemukan pekerjaan sebagai pegawai mempunyai proporsi terendah sebanyak 2,5 persen, dan terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan proporsi pengunyah tembakau semakin rendah.

Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 37,2 persen. Terdapat 7 kabupaten/kota dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada di atas rerata Provinsi

Aceh. Proporsi penduduk Provinsi Aceh dengan perilaku sedentari ≥ 6 jam perhari sebanyak 11,2

persen. Perilaku sedentary antara lain perilaku duduk-duduk ditempat kerja atau berbaring dirumah dalam sehari hari juga di perjalanan (transportasi), termasuk waktu berbincang–bincang, transportasi dengan kendaraan bis, kereta, membaca, main games, atau nonton televisi tetapi tidak termasuk waktu tidur. Lima kabupaten/kota teratas angka rerata dari Provinsi Aceh dalam hal penduduk berperilaku sedentari adalah Lhokseumawe (44,2%), Aceh Barat (33,9%), Pidie (25,2%), Aceh Jaya (25,2%), dan Langsa (14,7%).

(16)

Proporsi rerata penduduk Provinsi Aceh yang berperilaku mengonsumsi sayur/buah dengan cukup (≥ 5 porsi per hari dalam seminggu) hanya 2,7 persen, tertinggi di Kabupaten Bener Meriah (9,6%), Aceh Jaya (8,9%), Aceh Selatan (8,6%) dan Kota Banda Aceh (8,0%).Perilaku konsumsi makanan

tertentu pada penduduk umur ≥10 tahun paling banyak konsumsi makanan dan minuman manis

(52,3%), diikuti konsumsi bumbu penyedap (37,9%), dan makanan berlemak (21,2%). Hampir 40

persen penduduk Provinsi Aceh mengonsumsi penyedap ≥1 kali dalam sehari (37,9%), tertinggi di

Kabupaten Simulue (81,4%) terendah di Bireun (9,8%).

Di Provinsi Aceh, rumah tangga dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang menerapkan indikator -yang mencakup perilaku individu dan gambaran rumah tangga- dengan baik sebanyak19,6 persen, dengan persentase tertinggi pada Kota Banda Aceh (46,1%) dan persentase terendah di Kabupaten Aceh Selatan (6,8%).

Pembiayaan

Kepemilikan Jaminan Kesehatan

Sebanyak 3,4 persen penduduk Provinsi Aceh belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 8,8 persen penduduk, Jamsostek 1,5 persen, asuransi kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 0,9 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (56,7%) dan Jamkesda (30,8%).

Kabupaten Nagan Raya dan Bireuen adalah kabupaten/kota yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan diantara kabupaten/kota lain, yaitu sekitar 96,6 persen penduduk atau hanya 3,4 persen penduduknya tidak mempunyai jaminan.

Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah, menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 75 persen, 70 persen dan 60,8 persen. Akan tetapi Jamkesmas masih dimiliki juga pada penduduk menengah atas (45,1%) dan teratas (25,7%).

Mengobati sendiri

Proporsi penduduk Provinsi Aceh yang mengobati diri sendiri dalam satu bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 23,6 persen dengan rerata pengeluaran sebesar Rp 15.000,-00. Sumber biaya rawat jalan yang ditanggung oleh pasien sendiri atau keluarga tertinggi adalah di Kabupaten Bener Meriah (74,5%), Nagan Raya (73,5%) dan Kota Subulussalam (72,7%). Sedangkan pemanfaatan jamkesmas/jamkesda tertinggi pada kelompok umur 5-14 tahun (56,5%), jenis kelamin perempuan, bekerja sebagai petani/nelayan/buruh tinggal di perdesaan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah.

Rawat jalan

Sebanyak 14 persen penduduk Provinsi Aceh dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.28.000,00. Sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk Provinsi Aceh masih didominasi pembiayaan yang dibayar oleh Jamkesmas/Jamkesda (49,5%), kemudian disusul oleh pembiayaan dari pasien sendiri atau keluarga (out of pocket) (44,5%). Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI sebesar 3,1 persen, dan Jamsostek sebesar 0,9 persen. Jamkesmas/Jamkesda lebih banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan.

Rawat inap

Dalam satu tahun terakhir 2,4 persen penduduk Provinsi Aceh melakukan rawat inap dengan median, biaya sebesar Rp.700.000,00. Sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada semua fasilitas kesehatan di Provinsi Aceh masih didominasi oleh Jamkesmas/Jamkesda sebesar 62,4 persen, diikuti dengan biaya sendiri (out of pocket) sebesar 22,9 persen. Selanjutnya sumber biaya yang paling banyak digunakan untuk rawat inap berturut-turut adalah Askes/Asabri 5,9 persen, jamsostek 2,6 persen, perusahaan 2,0 persen dan dari sumber lainnya sebanyak 0,7 persen.

(17)

Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas/Jamkesda cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil kepemilikan.

Kesehatan reproduksi

Blok Kesehatan Reproduksi yang dikumpulkan bertujuan untuk menyediakan informasi cakupan pelayanan kesehatan ibu terkait dengan indikator MDG yaitu pelayanan KB, pelayanan kesehatan selama masa hamil sampai masa nifas.

Permasalahan kesehatan reproduksi di mulai dengan adanya perkawinan/hidup bersama. Di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 persen menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 persen menikah pada umur 15-19 tahun. Menikah pada usia dini merupakan masalah kesehatan reproduksi karena semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi.

Angka kehamilan penduduk perempuan 10-54 tahun adalah 2,68 persen, terdapat kehamilan pada umur kurang 15 tahun, meskipun sangat kecil (0,02%) dan kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) sebesar 1,97 persen. Apabila tidak dilakukan pengaturan kehamilan melalui program keluarga berencana (KB) akan mempengaruhi tingkat fertilitas di Indonesia.

Pelaksanaan program keluarga berencana dinyatakan dengan pemakaian alat/cara KB saat ini. Pemakaian alat KB modern yang dinyatakan dengan CPR modern di antara WUS (wanita usia kawin 15-49 tahun) merupakan salah satu dari indikator universal akses kesehatan reproduksi. Hasil Riskesdas 2013, pemakaian cara/alat KB di Provinsi Aceh sebesar 51,8 persen dan CPR modern sebesar 52,9 persen. Diantara penggunaan KB modern tersebut, sebagian besar menggunakan alat/cara KB non MKJP (jangka pendek) sebesar 44,2 persen. Pelayanan KB di Indonesia sebagian besar diberikan oleh bidan (83,5%) di fasilitas pelayanan kesehatan swasta yaitu tempat praktek bidan (57,6%).

Setiap ibu hamil menghadapi risiko terjadinya kematian, sehingga salah satu upaya menurunkan tingkat kematian ibu adalah meningkatkan status kesehatan ibu hamil sampai bersalin melalui pelayanan ibu hamil sampai masa nifas. Pada Riskesdas 2013, indikator cakupan pelayanan ibu hamil sampai masa nifas diperoleh dari informasi riwayat kehamilan berdasarkan kelahiran yang terjadi pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara.

Pemeriksaan kehamilan sangat penting dilakukan oleh semua ibu hamil untuk mengetahui pertumbuhan janin dan kesehatan ibu. Hampir seluruh ibu hamil di Provinsi Aceh (94,8%) sudah melakukan pemeriksaan kehamilan (K1) dengan frekuensi minimal 4 kali selama masa kehamilannya adalah 87,0 persen. Proporsi melakukan ANC berdasarkan umur saat bersalin terendah adalah kelompok umur <20 tahun, tidak sekolah dan tidak tamat SD, tidak bekerja dan petani/nelayan/buruh, kuintil indeks kepemilikan terbawah. Cakupan ibu hamil kontak pertama dengan tenaga kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kehamilan (87,0%). Proporsi terendah pada kelompok usia saat bersalin < 20 tahun (76,5%), pendidikan tidak tamat SD (76,2%), petani/nelayan/buruh (82,8%) serta kuintil indeks kepemilikan terbawah (75,7%). Cakupan ANC K4

sebesar 60,0 persen sedangkan ANC ≥ 4x sebesar 72,3 persen. Konsumsi zat besi selama hamil

ditemukan sebesar 81,1 persen.

Proses persalinan dihadapkan pada kondisi kritis terhadap masalah kegawatdaruratan persalinan, sehingga sangat diharapkan persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Kelahiran pada ibu berumur risiko tinggi (umur ibu 35 tahun ke atas) lebih banyak di rumah (17,4%) dibanding ibu umur 20-34 tahun (15,9%). Pemanfaatan fasilitas kesehatan, baik milik pemerintah ataupun swasta, untuk persalinan jauh lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding di perdesaan (32,5 % dibanding 20%). Pelayanan kesehatan masa nifas dimulai dari 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Terdapat 84,6 persen ibu bersalin yang mendapat pelayanan nifas pertama pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan (KF1), periode 7 sampai 28 hari setelah melahirkan (KF2) sebesar 40,7 persen dan periode 29 sampai 42 hari setelah melahirkan (KF3) 29,4 persen. Akan tetapi angka nasional

(18)

untuk KF lengkap yang dicapai baru sebesar 32,1 persen. Ibu bersalin yang mendapat pelayanan KB pasca bersalin mencapai 63,3 persen.

Kesehatan anak

Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut kabupaten/kota dengan kategori lengkap, tidak lengkap, dan tidak imunisasi masing-masing 38,4 persen, 41,9 persen dan 19,7 persen. Persentase imunisasi dasar lengkap tertinggi di Aceh Jaya (92,4%), tidak lengkap tertinggi didapatkan di Aceh Timur (64,7%) sedangkan tidak imunisasi tertinggi didapatkan di Nagan Raya (64,8%).

Pengumpulan data kunjungan neonata yang meliputi kunjungan pada saat yang ditentukan (KN1, KN2 dan KN3). Hasilnya menunjukkan bahwa persentase KN1 (6-48 jam) sebesar 72,3 persen, KN2 (3-7 hari) sebesar 65,6 persen dan KN3 (8-28 hari) sebesar 35,4 persen. KN1 paling tinggi terdapat di Simeulue (95,7%), KN2 terdapat di Simeulue (89,2%) dan KN3 terdapat di Aceh Jaya (71,1%). Persentase rumah tangga yang melakukan kunjungan neonatal lengkap di Provinsi Aceh sebesar 32,5 persen, tertinggi di Kabupaten Aceh Jaya (70,2%) dan terendah di Kota Sabang (10,2%).

Informasi tentang berat badan lahir dan panjang badan lahir anak balita didasarkan kepada dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota RT (buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya). Persentase BBLR (<2500 gram) di Provinsi Aceh 8,6 persen, tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya sebesar 26,2 persen. Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas. Persentase BBLR pada perempuan (9,5%) lebih

tinggi dibanding laki-laki (7,7%), namun persentase berat lahir ≥4000 gram pada laki-laki (9,7%)

lebih tinggi dibandingkan perempuan (7,2%).

Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: <48 cm, 48 - 52 cm, dan >52 cm. Persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut kabupaten/kota berdasarkan kategori tersebut diketahui bahwa persentase panjang badan lahir <48 cm sebesar 13,7 persen, dan >52 cm sebesar 4,1 persen. Persentase panjang badan lahir <48 cm tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Selatan (58,5%) dan terendah di Kota Subulussalam (3,1%).

Persentase kecacatan pada anak umur 24-59 bulan. Persentase jenis kecacatan yang tertinggi adalah minimal satu jenis cacat sebesar 0,5 persen dan tidak ada anak yang mengalami tuna rungu dan tuna daksa 0,0.persen. Sementara tuna netra, tuna wicara dan bibir sumbing mempunyai persentase yang sama (0,1 persen).

Persentase proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir di Provinsi Aceh adalah 61,4 persen, dengan persentase tertinggi di Kota Sabang (87,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Jaya (39,4%).

Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 25,7 persen, diberi betadine/alkohol sebesar 66,9 persen, diberi obat tabur sebesar 1,3 persen dan diberi ramuan tradisional 6,1 persen. Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di Banda Aceh (67,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Tamiang (2,3%).

Kesehatan indera

Prevalensi kebutaan untuk Provinsi Aceh sebesar 0,4 persen, jauh lebih kecil dibanding prevalensi kebutaan tahun 2007 (0,9%). Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di Kabupaten Aceh Selatan (1,0%) diikuti Kabupaten Bireuen (1,0%), Kota Subulussalam (0,8%), dan Kabupaten Bener Meriah (0,5%). Prevalensi kebutaan terendah ditemukan di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Singkil (masing-masing 0%) diikuti Gayo Lues (0,1%).

Prevalensi severelow vision penduduk umur 6 tahun keatas di Provinsi Aceh sebesar 1,2 persen. Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di Aceh Besar dan Kota Sabang (masing-masing

(19)

2,5%). Proporsi responden yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di perkotaan sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan.

Prevalensi pterygium Provinsi Aceh adalah sebesar 9,3 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Kabupaten Bireun (18,0%), Aceh Singkil (17,2%), dan Kota Lhokseumawe (16,7%). Kabupaten dengan prevalensi pterygium terendah adalah, Aceh Tenggara (3,2%), Aceh Tamiang (4,3%) dan Nagan Raya (4,4%).

Prevalensi katarak di Provinsi Aceh adalah 2,7 persen tertinggi di Kota Lhokseumawe (6,4%) diikuti oleh Pidie Jaya (4,6%) dan Bireun (3,9%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di Kabupaten Gayo Lues (0,7%) diikuti Kota Banda Aceh (1,0%) dan Aceh Jaya (1,2%).

Prevalensi gangguan pendengaran di Provinsi Aceh 2,4 persen, tertinggi terdapat di Aceh Selatan (5,0%), dan terendah di Kota Banda Aceh (0,9%).Prevalensi ketulian di Provinsi Aceh sebesar 0,06 persen, tertinggi di Kota Subulussalam (0,5%) dan terendah di Kota Lhokseumawe (0,001%).

Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian memiliki pola yang sama menurut kuintil indeks kepemilikan, yaitu semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin sedikit prevalensi gangguan pendengaran dan ketuliannya.

(20)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

RINGKASAN ... iii

DAFTAR ISI ... xvii

DAFTAR TABEL ... xx

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR SINGKATAN ... xxx

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013 ... 2

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 2

1.4. Tujuan Riskesdas 2013 ... 2

1.5. Kerangka Pikir ... 3

1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013 ... 4

1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013 ... 6

1.8. Manfaat Riskesdas Provinsi Aceh 2013 ... 6

1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013 ... 7

BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS ... 8

2.1. Desain ... 8

2.2. Lokasi ... 8

2.3. Populasi dan Sampel ... 8

2.4. Variabel ... 10

2.5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data ... 11

2.6. Manajemen Data ... 11

2.7. Keterbatasan Data Riskesdas 2013 ... 13

2.8. Pengolahan dan Analisis Data ... 14

2.9. Pengembangan kuintil indeks kepemilikan ... 14

BAB 3. AKSES DAN PELAYANAN KESEHATAN ... 16

3.1 Keberadaan pelayanan kesehatan ... 16

3.2 Keterjangkauan fasilitas kesehatan ... 18

BAB 4. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL ... 22

4.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah tangga ... 22

4.2. Pengetahuan Rumah tangga tentang Obat Generik (OG)... 25

4.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) ... 28

BAB 5. KESEHATAN LINGKUNGAN ... 32

5.1 Air Minum dan Air untuk Keperluan Rumah tangga ... 32

(21)

5.3 Perumahan ... 42

BAB 6. PENYAKIT MENULAR ... 48

6.1 Penyakit yang ditularkan melalui Udara ... 48

6.2. Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya ... 54

6.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria) ... 62

BAB 7. PENYAKIT TIDAK MENULAR ... 68

7.1. Asma ... 69

7.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) ... 69

7.3. Kanker ... 69

7.4. Diabetes Melitus ... 71

7.5. Penyakit hipertiroid ... 72

7.6. Hipertensi/Tekanan darah tinggi ... 72

7.7. Penyakit Jantung ... 75

7.8. Stroke ... 75

7.9. Penyakit ginjal ... 78

7.10. Penyakit Sendi/Rematik/Encok ... 78

BAB 8. CEDERA ... 82

8.1. Prevalensi Cedera dan penyebabnya ... 82

8.2. Jenis cedera... 85

8.3. Tempat Terjadinya Cedera ... 89

BAB 9. KESEHATAN GIGI DAN MULUT ... 93

9.1. Effective Medical Demand ... 93

9.2. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥ 10 tahun ... 98

9.3. Indeks DMF-T dan Komponen D-T,M-T,F-T ... 101

BAB 10. STATUS DISABILITAS ... 104

BAB 11. KESEHATAN JIWA ... 107

11.1. Gangguan Jiwa Berat ... 107

11.2. Gangguan Mental Emosional ... 109

11.3. Cakupan pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan ... 112

BAB 12. PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU ... 116

12.1. Perilaku Higienis ... 116

12.2. Penggunaan Tembakau ... 118

12.3. Perilaku Aktifitas Fisik ... 124

12.4. Perilaku konsumsi sayur dan buah ... 128

12.5. Pola konsumsi makanan tertentu ... 128

12.6. Konsumsi makanan dari olahan tepung ... 130

12.7. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) ... 132

(22)

13.1. Kepemilikan jaminan kesehatan ... 137 13.2. Mengobati sendiri ... 139 13.3. Rawat Jalan ... 141 13.4. Rawat Inap ... 142 13.5. Sumber pembiayaan ... 144 BAB 14. KESEHATAN REPRODUKSI ... 148 14.1. Kehamilan saat ini ... 148 14.2. Pelayanan Program Keluarga Berencana ... 149 14.3. Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan dan nifas ... 152 BAB 15. KESEHATAN ANAK ... 164 15.1. Berat dan panjang badan lahir ... 164 15.2. Kecacatan ... 171 15.3. Status Imunisasi ... 173 15.4. Kunjungan neonatal ... 180 15.5. Perawatan Tali Pusar ... 186 15.6. Pola pemberian ASI ... 187 15.7. Cakupan kapsul vitamin A ... 189 15.8. Pemantauan Pertumbuhan ... 190 15.9. Sunat Perempuan ... 192 BAB 16. STATUS GIZI ... 195 16.1. Status gizi anal balita ... 195 16.2. Status Gizi Anak Usia 5 – 18 tahun ... 202 16.3. Status gizi dewasa ... 209 BAB 17. KESEHATAN INDERA ... 219 17.1. Kesehatan Mata ... 219 17.2. Kesehatan telinga ... 227 DAFTAR PUSTAKA ... 232 LAMPIRAN ... 234

(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Nama Tabel Hal

Tabel 2.1. Distribusi BS, RT dan ART yang dapat dikunjungi (respon rate) menurut

kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 9

Tabel 4.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat/OT, dan rerata

jumlah items obat/OT yang disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi

Aceh 2013 23

Tabel 4.2 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat dan OT yang disimpan

menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 23

Tabel 4.3 Persentase rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika

tanpa resep menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 24

Tabel 4.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat dan OT

menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 25

Tabel 4.5 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat dan OT yang disimpan

menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 25

Tabel 4.6 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar

tentang obat generik (OG) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 26

Tabel 4.7 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar

tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 27

Tabel 4.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsi tentang obat generik (OG)

menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 27

Tabel 4.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat

generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 28

Tabel 4.10 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1

tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut

kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 29

Tabel 4.11 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1

tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut

karakteristik, Provinsi Aceh 2013 30

Tabel 4.12 Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak

memanfaatkan Yankestrad, Provinsi Aceh 2013 30

Tabel 5.1 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi

berdasarkan kriteria JMP WHO – Unicef 2006 menurut kabupaten/kota,

Provinsi Aceh 2013 39

Tabel 6.1 Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia

menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 50

Tabel 6.2 Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia

menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 51

Tabel 6.3 Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut

kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 52

Tabel 6.4 Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut

karakteristik, Provinsi Aceh 2013 53

Tabel 6.5 Prevalensi hepatitis, insiden dan periode prevalence diare menurut

kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 55

Tabel 6.6 Prevalensi hepatitis, insiden dan periode prevalence diare menurut

karakteristik, Provinsi Aceh 2013 56

Tabel 6.7 Proporsi Penderita hepatitis A,B,C dan hepatitis lain menurut

kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 57

Tabel 6.8 Proporsi Penderita hepatitis A,B,C dan hepatitis lain menurut

(24)

Tabel 6.9 Insiden diare dan period prevalence pneumonia pada balita menurut

kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 59

Tabel 6.10 Insiden diare dan period prevalence pneumonia pada balita menurut

karakteristik, Provinsi Aceh 2013 60

Tabel 6.11 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota,

Provinsi Aceh 2013 61

Tabel 6.12 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut karakteristik,

Provinsi Aceh 2013 62

Tabel 6.13 Insiden dan prevalensi malaria menurut menurut kabupaten/kota,

Provinsi Aceh 2013 63

Tabel 6.14 Insiden dan prevalensi malaria menurut menurut karakteristik,

Provinsi Aceh 2013 64

Tabel 6.15 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai

program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut

kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 65

Tabel 6.16 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai

program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut

karakteristik, Provinsi Aceh 2013 66

Tabel 7.1 Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota,

Provinsi Aceh 2013 70

Tabel 7.2 Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik,

Provinsi Aceh 2013 71

Tabel 7.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada

umur ≥ 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 73

Tabel 7.4 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada

umur ≥ 18 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 74

Tabel 7.5 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada

umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 76

Tabel 7.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada

umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 77

Tabel 7.7 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur

≥ 15 tahunmenurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 79

Tabel 7.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur

≥ 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 80

Tabel 8.1 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut kabupaten/kota, Provinsi

Aceh 2013 83

Tabel 8.2 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Provinsi Aceh

2013 84

Tabel 8.3 Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 86

Tabel 8.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 88

Tabel 8.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi

Aceh 2013 90

Tabel 8.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Provinsi Aceh

2013 91

Tabel 9.1 Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan

terakhir sesuai effective medical demand menurut kabupaten/kota,

Gambar

Gambar  3.1  menunjukkan    bahwa  di  Provinsi  Aceh  sebanyak  86,2  persen  rumah  tangga  mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta diketahui oleh  31,7  persen  rumah  tangga
Gambar 3.3 menunjukkan bahwa pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan posyandu di  Provinsi  Aceh  adalah  61,9  persen
Gambar  3.5  menjelaskan  bahwa  waktu  tempuh  rumah  tangga  menuju  fasilitas  kesehatan  di  rumah  sakit  pemerintah  tertinggi  pada    31-60  menit  (32%)  dan  terendah  &lt;16  menit  (16%)
Gambar  3.6  menunjukkan  bahwa  pengetahuan  tentang  waktu  tempuh  rumah  tangga  menuju  rumah  sakit  pemerintah  menurut  tempat  tinggal  yaitu  dengan  waktu  16-30  menit,  tertinggi  di  perkotaan  (41%),  sementara  di  perdesaan  (25,6%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu 'anhuma, bahwa Atha bin Yasar pernah meminta pada

Rancangan konfigurasi Virtual Local Area Network (VLAN) adalah jaringan virtual yang dikonfigurasikan dengan switch manageable, yang akan diterapkan pada lantai 5 yang

Posisi Water Heater pada sistem AC diletakkan setelah kompresor. Sebelum eksperimen, dilakukan terlebih dahulu pengecekan kebocoran pada sistem AC dengan melihat

Sehingga kedua metoda ini bisa dianalogikan untuk saling memperbaiki, terutama metoda engineering yang menghitung harga pesawat dengan laju produksi pada tahap manufacturing

Penilaian keselamatan diterapkan pada desain fungsi dan sistem pesawat yang memberikan kemungkinan terjadinya kondisi kegagalan yang paling buruk dengan analisis Functional

Input dari perhitungan ini sendiri adalah volum seismik, sedangkan outputnya terdiri atas beberapa volum yang masing-masing merepresentasikan data dengan pita frekuensi yang

Jumlah penduduk yang besar merupakan modal dasar pembangunan nasional bagi bangsa Indonesia, apabila dapat dibina dan dikerahkan sebagai tenaga kerja yang

Kemudian dikemukakan oleh Luthans (Simamora, 2004) disebutkan bahwa iklim organisasi adalah lingkungan internal atau psikologi organisasi. Iklim organisasi