• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK BENCANA GEMPA BUMI DAN PENANGANANNYA DI. 1) Bencana Gempa Bumi yang Pernah Terjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK BENCANA GEMPA BUMI DAN PENANGANANNYA DI. 1) Bencana Gempa Bumi yang Pernah Terjadi"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

BAB

3 K

ARAKTERISTIK

B

ENCANA

G

EMPA

B

UMI DAN

P

ENANGANANNYA DI

D

AERAH

P

ERCONTOHAN

3.1

Karakteristik Bencana Gempa Bumi dan Penanganannya di

Kabupaten Jember

3.1.1 Karakteristik Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Jember

1) Bencana Gempa Bumi yang Pernah Terjadi

Pengalaman bencana sebelumnya memberi kita pelajaran berharga untuk melakukan tindakan mitigasi karena gempa bumi besar terjadi secara berkala. Gempa bumi merupakan fenomena yang terjadi karena adanya pergerakan lempeng lithospheric. Kejadian gempa bumi besar memiliki kecenderungan waktu tertentu sedangkan kecepatan pergerakan lempeng lithospheric hampir konstan. Terjadinya kembali gempa bumi besar yang menyebabkan dampak hebat termasuk sangat lama dibandingkan dengan usia manusia (yaitu 200~1000 tahun). Sehingga, meskipun seseorang tinggal di suatu daerah dalam waktu yang lama belum tentu akan mengalami peristiwa gempa bumi dahsyat. Dokumen tentang kejadian lalu dan hasil penelitian survei arkeologis tentang gempa bumi masih sedikit di Indonesia. Namun, fakta tersebut tidak menunjukkan bahwa gempa bumi besar tidak terjadi di Indonesia. Lingkungan tektonis lempeng dan kejadian gempa bumi lalu harus dibahas secara meluas berkenaan dengan frekuensi dan magnitudo kerawanan seismik. Sebenarnya, kerawanan gempa bumi di Indonesia lebih besar dibandingkan di Jepang bila kita hanya menghitung gempa bumi yang menyebabkan kematian 100 jiwa atau lebih menggunakan “Database Utsu” atau “Database USGS”. Tentu saja, jumlah total korban manusia akibat gempa bumi juga akan dibahas disini. Kerusakan akibat getaran tidak dibahas secara terpisah dari kerusakan akibat gelombang laut seismik.

(2)

Tabel 3.1.1 Gempa Bumi yang Merenggut 100 Jiwa atau Lebih di Indonesia (1/2) (Web:http://iisee.kenken.go.jp/utsu/utsuweq_bak.html)

Tabel 3.1.2 Gempa Bumi yang Merenggut 100 Jiwa atau Lebih di Indonesia (2/2) (Web:http://infotrek.er.usgs.gov/)

(3)

lempeng dan gempa bumi besar yang pernah terjadi. Indonesia memiliki perbatasan lempeng di bagian selatan Sumatra dan Pulau Jawa. Lempeng oseanik bertumbukan dengan dasar pulau. Zona tumbukan terletak di parit Sunda. Gempa bumi dahsyat disebabkan oleh patahan yang berbalik di zona patahan.

Gambar 3.1.1 Parit Sunda

Ada contoh lain di dekat daerah gempa di Kota Yogyakarta (yaitu, 27 Mei 2006 Gempa Bumi Yogya MW 6.5). Hubungan antara kerusakan dengan intensitas pergerakan tanah permukaan di

Kabupaten Bantul ditetapkan sebagai tolak ukur fungsi keterancaman dalam laporan ini.

Kondisi seismik yang telah disebutkan di atas juga serupa dengan keadaan di Jepang sehingga pengalaman Jepang berkenaan dengan kerawanan gempa harus dipelajari.

(4)

1. Kerusakan bangunan akibat getaran tanah

2. Kerusakan akibat kondisi tanah seperti lereng longsor atau retakan 3. Kerusakan akibat gelombang laut seismik

Aspek 1 dan 2 di atas cenderung dilupakan setelah terjadinya gempa bumi karena kerusakan akibat gelombang laut seismik memberikan kesan berlebih terhadap korban. Aspek 1 dan 2 tersebut benar-benar berbeda dengan gelombang laut karena kita mempunyai waktu ekstra untuk mengurangi dampak kerusakan akibat seismik gelombang laut. Namun kerusakan bangunan akibat getaran tanah terjadi secara langsung. Segala peringatan tidaklah efektif, hanya penguatan struktur bangunan yang dilakukan sebelumnya merupakan cara efektif mengurangi dampak bencana. Segala upaya yang dilakukan setelah terjadinya gempa tidak dapat mengurangi jumlah kematian.

3.1.2 Peta Rawan Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Jember

1) Dasar Pembuatan Peta Rawan Bencana Gempa Bumi

Kata “Rawan” diartikan sebagai penyebab terjadinya bencana. Sehingga, persebaran intesitas percepatan permukaan tanah harus ditunjukkan di “Peta Rawan”. Tidak ada aspek lain yang penting untuk Peta Rawan Bencana Gempa Bumi bila definisi di atas dianggap beralasan. Intensitas percepatan permukaan tanah dijelaskan di setiap bagian hubungan di daerah kajian dengan menggunakan judul “Peak Ground Acceleration/Percepatan Tanah Puncak” (atau disini disebut PGA) atau “Modified Mercalli Intensity scale/Skala Intensitas Mercalli yang Dimofikiasi”(atau disini disebut MMI)

Dasar selanjutnya yang harus dibahas pada bab ini, adalah bagaimana mendefinisikan nilai target intensitas percepatan permukaan tanah. Umumnya, ada kecenderungan tetap hubungan antara magnitudo gempa bumi dengan frekuensi kejadian. Hal tersebut berarti gempa bumi kecil bisa sering terjadi, tapi gempa bumi besar jarang terjadi.

Gambar 3.1.2 menunjukkan hubungan antara magnitudo gempa bumi dengan frekuensi kejadian sehubungan dengan gempa bumi yang terjadi dari tahun 1629 sampai 2004 di Indonesia.

(5)

2 3 4 5 6 7 8 9 10 0.00 0.01 0.10 1.00 10.00 100.00 1,000.00

Empirical return period

Ma

gni

tude

Gambar 3.1.2 Hubungan antara Magnitudo dan Periode Ulang Gempa

Sumbu Y berarti magnitudo gempa bumi, dan sumbu X berarti Periode Ulang Gempa empiris

T

E

m

T

T

S E

=

(Rumus. 3.1) Dimana:

TE : Periode Ulang Gempa empiris

TS : Waktu Sampling

m : Urutan ketika sample disusun berdasarkan magnitudo secara urut

Sebagai contoh, gempa bumi terbesar yang dipicu di daerah ini adalah gempa bumi tahun 2004 dengan magnitudo 9, urutan m adalah yang pertama, Waktu Sampling TS adalah 2004 dikurangi 1629 sama dengan 375, Periode Ulang Gempa empiris TE seharusnya 375 tahun. Pada urutan kedua adalah gempa bumi tahun 1833 dengan magnitudo 8.7, urutan m adalah kedua, Waktu Sampling TS adalah 375 tahun dibagi 2 sama dengan 187, Periode Ulang Gempa empiris TE adalah 187 tahun. Jika hubungan antara magnitudo dan Periode Ulang Gempa empiris TE tiap gempa bumi yang tercatat digambar dengan cara yang sama maka pola yang tergambar cenderung hampir pada garis lurus pada kertas grafik logaritma 1,5, dengan batasan kisaran lebih dari magnitudo 5. Penemuan ini disebut Gutenberg Richiter atau formula

G-R.

Sudut b pada garis

(6)

tetap, maka sudut b di atas harus berbeda untuk setiap domain. Jika kejadian gempa bumi tersendiri menurut tempat dan waktu maka model Poisson bisa digunakan untuk analisis.

Nilai percepatan puncak batuan dasar pada titik tertentu dapat dihitung dengan menggunakan rumus pelemahan. Rumus pelemahan adalah semacam rumus regresi dimana nilai percepatan puncak batuan dasar dikira-kira dari magnitudo pusat gempa bumi dan jarak dari pusat gempa bumi ke titik tertentu.

Pada prosedur penghitungan ini, setiap domain yang telah disebutkan sebelumnya dibagi menjadi bagian kecil dengan menggunakan sistem koordinat kutub. Selain itu, metode implisit dibutuhkan dalam prosedur ini karena magnitudo pusat gempa , yang membawa nilai percepatan puncak pada titik tertentu, harus diperoleh melalui tahap perhitungan. Oleh karena itu, penghitungan jumlah yang besar dibutuhkan untuk dapat melaksanakan analisa ini. Program komputer

"EZFRISK"

atau

“EQRISK”

digunakan dalam analisa yang sesungguhnya. Nilai percepatan puncak batuan dasar di setiap bagian di Indonesia juga dihitung. Gambar 3.1.3 memperlihatkan hasil prosedur yang disebutkan diatas.

Gambar 3.1.3 Nilai Percepatan Puncak Batuan Dasar di Setiap Bagian di Indonesia (Dari SNI 03-1726-2002, Kode untuk beban seismik di Indonesia)

Setiap nilai yang ditunjukkan oleh Gambar 3.1.3 adalah nilai percepatan puncak batuan dasar di setiap zona berwarna yang memiliki Periode Ulang Gempa selama 500 tahun. Sebagai contoh, Kabupaten Jember masuk pada zona 4 maka nilai percepatan puncak batuan dasarnya adalah 0.2g (nilai 0.2g berarti 0.2 kali percepatan gravitasi)

Periode Ulang Gempa selama 500 tahun berarti kemungkinan terjadinya gempa kembali adalah 10% untuk 50 tahun. Sebagai contoh, jika bangunan yang telah berdiri selama 50 tahun didesain

(7)

runtuhnya bangunan tersebut akibat gempa besar tak terduga adalah 10%. 90% peristiwa gempa masuk dalam setting ini. Setting ini hampir sempurna dalam arti yang sesungguhnya karena 100% keamanan tidak dapat diperoleh dalam teori probabilitas.

Nilai yang dijelaskan di atas merupakan nilai percepatan puncak batuan dasar yang didefinisikan sebagai lapisan batuan dasar yang terdiri dari material homogen. Nilai percepatan puncak pada batuan dasar dapat diperkirakan dengan menggunakan fungsi pelemahan. Namun, nilai yang dibutuhkan untuk pembuatan peta rawan haruslah nilai percepatan puncak pada permukaan tanah.

Gambar 3.1.4 Nilai Percepatan Puncak Batuan Dasar dan Nilai Percepatan Puncak Permukaan Tanah

Seperti yang telah dijelaskan pada Gambar 3.1.4, getaran tanah menguat ketika sedang merambat di lapisan permukaan. Getaran tanah yang muncul ke permukaan batuan dasar biasanya kecil. Sedangkan getaran tanah pada permukaan lunak biasanya besar. Tingkat penguatan tergantung pada karakteristik lapisan permukaan tanah. Lapisan permukan harus diperiksa agar dapat dibahas pada aspek ini. Karakteristik geomorfologis lapisan permukaan sekitar Kabupaten Jember ditunjukkan oleh Gambar 3.1.5.

(8)

Gambar 3.1.5 Karakteristik Geomorfologi Lapisan Permukaan Sekitar Kabupaten Jember

Persebaran karakteristik lapisan permukaan di setiap segmen daerah kajian ditunjukkan pada Gambar 3.1.6.

(9)

Gambar 3.1.6 Pembagian Kelas Tanah (Diklasifikasi Menurut Kepadatan Lapisan Permukaan)

Pembagian kelas tanah yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.6 diklasifikasi menurut kepadatan lapisan permukaan. Klasifikasi ini didasarkan pada beberapa spekulasi terhadap karakteristik geomorfologis yang ditunjukkan oleh peta geologis dan survei lapangan yang dilakukan oleh para pakar yang bertanggung jawab atas karakteristik geologis. Namun, material yang lebih akurat yang diberikan oleh log lubang bor dan log PS harus menjadi acuan jika tersedia. Selain itu, upaya pengembangan secara terus-menerus harus dilakukan guna meningkatkan akurasi pemetaan daerah rawan.

Seperti yang dijelaskan, intensitas pergerakan tanah permukaan pada gempa bumi dikira-kira dengan mengacu pada zona yang diklasifikasikan dalam SNI 03-1726-2002 dan kelas tanah. Pergerakan tanah permukaan diekspresikan oleh PGA (Percepatan Tanah Puncak) dan spektrum respon, ditunjukkan oleh Gambar 3.1.7. Nilai sumbu vertikal pada spektrum respon berarti respon percepatan model SDOF (Single Degree of Freedom/Tingkat Kebebasan Tunggal) yang mempunyai periode alami yang ditunjukkan oleh sumbu horizontal. Sehingga, nilai pada sisi kiri

(10)

ekstrim sesuai dengan PGA. Nilai PGA harus ditunjukkan pada peta rawan bencana karena nilai-nilai tersebut menunjukkan getaran permukaan tanah.

Gambar 3.1.7 Spektrum Respon yang Ditetapkan dalam 03-1726-2002

2) Peta Rawan Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Jember

Perkiraan persebaran nilai intensitas percepatan permukaan tanah ditunjukkan pada Gambar 3.1.8. Intensitas percepatan permukaan tanah digambarkan dengan menggunakan judul PGA dan MMI. PGA adalah nilai yang akan diperoleh sebagai nilai maksimum ketika gempa level tanah dihitung dengan accelerograph. Skala intensitas Mercalli yang dimodifikasi (MMI) membagi intensitas gempa bumi kedalam 12 tahap evaluasi, dan tiap tahap didefinisikan dengan menggambarkan peristiwa melalui observasi dan merasakan (contoh; “sulit untuk berdiri). Oleh karena itu, ekspresi MMI merupakan nomor yang berbeda tapi satu digit dibawah poin desimal ditulis dalam laporan guna membedakan selisih yang detail. Perkiraan MMI untuk Kabupaten Jember adalah sekitar 7 dari 8 diantara 8 atau lebih pada display MMI. Level intensitas ini sama dengan “5 atau lebih” di Skala Intensitas Seismik Dinas Meteorologi Jepang (disebut JMI). JMI juga membagi gempa bumi kedalam 10 tahap evaluasi, dan setiap tahap didefinisikan dengan menggambarkan peristiwa melalui observasi dan perasaan. Beberapa bentuk kerusakan kecil ditemukan ketika gempa bumi dengan “5 atau lebih” JMI terjadi di Jepang tapi kerusakan sangat serius yang mungkin dipicu oleh gempa bumi dengan level yang sama bisa terjadi di Indonesia karena kapasitas ketahanan bangunan terhadap gempa bumi di Indonesia kurang dibandingkan dengan di Jepang.

(11)

Gambar 3.1.8 Perkiraan Persebaran Nilai Getaran Permukaan Tanah

3.1.3 Peta Resiko Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Jember

1) Dasar Pembuatan Peta Rawan Bencana Gempa Bumi

Resiko gempa bumi merupakan konsep yang abstrak. Sehingga definisi atau pemahaman fisik harus diberikan. Resiko bencana gempa bumi adalah kemungkinan yang dapat dianalisa sebagai hasil sinergis antara kerawanan bencana gempa bumi dan keterancaman terhadap fasilitas. Setiap aspek magnitudo bencana gempa bumi, termasuk kematian dan kerugian ekonomi, dapat dievaluasi berdasarkan kerusakan bangunan. Pada kondisi gempa yang sesungguhnya, warga tidak meninggal karena getaran tanah namun disebabkan oleh gedung yang runtuh. Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.1.9, penyebab utama kematian pada peristiwa Gempa Bumi Dahsyat Hanshin tahun 1995 adalah gedung-gedung yang runtuh. Sehingga dapat dikatakan bahwa sangatlah penting untuk mengetahui jumlah bangunan yang akan roboh bila kita membahas masalah resiko bencana gempa bumi.

(12)

Gambar 3.1.9 Rasio Penyebab Kematian Pada Peristiwa Gempa Bumi Dahsyat Hanshin Tahun 1995

Oleh karena itu, resiko bencana gempa bumi didefinisikan sebagai rasio kerusakan P dibawah kondisi perkiraan pergerakan tanah dan karakteristik bangunan. Rasio kerusakan P didefinisikan melalui Rumus 3.2. T D

N

N

P

=

(Rumus. 3.2) dimana,

ND : Jumlah bangunan rusak

NT : Jumlah Total bangunan yang ada

Dalam konteks ini, bangunan rusak berarti bangunan yang menderita kerusakan sama atau lebih dari “rusak berat” seperti yang didefinisikan oleh Architectural Institute of Japan (AIJ). Tingkatan kerusakan “rusak berat” didefiniskan dari sudut pandang teknik bangunan. Umumnya, kematian atau korban luka terjadi di bangunan yang menderita kerusakan sama atau lebih dari “rusak berat”. Sehingga, nilai ini dipilih sebagai target dalam evaluasi ini. Nilai ini juga sama dengan “Nilai 4 yaitu Kerusakan Sangat Parah” yang didefinisikan oleh European Macroseismic

Scale/Skala Makroseismik Eropa (EMS).

Rasio kerusakan P dinilai dengan menggunakan fungsi kerapuhan. Garis besar analisa fungsi kerapuhan yang digunakan dalam kajian ini ditunjukkan pada Gambar 3.1.10

Gambar 3.1.10 Garis Besar Analisis Fungsi Kerapuhan Setting model analisis untuk beberapa

bangunan yang mewakili

Setting spektrum respon sebagai input pergerakan gempa bumi

Sepuluh kasus dianalisa melalui eksperimen sambil merubah ukuran input pergerakan gempa bumi

Hubungan antara rasio kerusakan dan Input pergerakan gempa bumi diekstraksi (hubungan P-MMI)

Mati lemas terhimpit lainnya mati beku masalah organ kaget Kerusakan kepala dan perut memar mati kebakaran

(13)

pada daerah kajian ini dibagi kedalam beberapa tipe bangunan dan bangunan tipikal setiap tipe bangunan dibuat model. Garis besar model bangunan ditampilkan pada Gambar 3.1.11.

Gambar 3.1.11 Garis Besar Model Bangunan

Kemudian, analisis dinamis yang disederhanakan dilaksanakan dengan menggunakan tahap peningkatan pergerakan input gempa bumi tahap demi tahap. Setelah itu, hubungan antara MMI dan rasio kerusakan P diperoleh sebagai fungsi kerapuhan. Prosedur untuk menghasilkan hubungan antara MMI dan rasio kerusakan P merupakan hal yang umum dilakukan oleh Komite Pemerintah Jepang Proyek US “HAZUS” (lihat lampiran).

Hasil kemungkinan yang tinggi tidak dapat diperoleh jika sensitivitas fungsi kerapuhan tidak sesuai dengan ketahanan sesungguhnya bangunan terhadap gempa di daerah kajian. Pada kajian ini, beberapa tahap kalibrasi dilaksanakan dengan menggunakan pertimbangan melalui laporan penelitian peristiwa bencana gempa bumi yang telah terjadi dekat dengan daerah kajian. Contoh peristiwa di Kota Yogyakarta (yaitu Gempa Bumi Yogya dengan MW 6.5 pada 27 Mei 2006)

merupakan material yang efektif untuk digunakan karena tim peninjau Jepang melaporkan intensitas pergerakan permukaan tanah yang diinvestigasi melalui interview dengan warga dan observasi kondisi kerusakan bangunan di daerah bencana (Shiro Takada dkk “Pergerakan Tanah yang Kuat dan Kerusakan Fasilitas Vital selama Gempa Bumi Jogjakarta”).

Hubungan yang diperoleh antara MMI dan rasio kerusakan P ditunjukkan pada Gambar 3.1.12. Fungsi kerapuhan dihasilkan untuk membagi setiap tipe bangunan.

(14)

Gambar 3.1.12 Fungsi Kerapuhan (Hubungan antara MMI dan Rasio Kerusakan P)

Disamping itu, contoh kerusakan yang diamati di Pulau Sumatra juga perlu dijadikan acuan. Oleh karena itu, beberapa laporan tentang Gempa Bumi Andaman tahun 2004 dan Gempa Bumi Solok tahun 2007 dijadikan acuan dan dipastikan bahwa pengamatan tersebut tidak bertentangan dengan fungsi kerapuhan.

Dalam laporan ini, peta rawan bencana menunjukkan perkiraan intensitas pergerakan tanah permukaan tiap titik melalui MMI. Sehingga nilai resio kerusakan P dapat diperoleh dengan menggunakan fungsi kerapuhan dan acuan nilai MMI. Jika tersedia database yang menunjukkan jumlah tiap tipe bangunan , perkiraan jumlah bangunan rusak dapat dihitung dengan mengalikan jumlah bangunan yang ada dengan rasio kerusakan P.

Jika perkiraan diatas dilaksanakan berdasarkan dasar-dasar yang cukup, maka

・ Dapat diketahui seberapa besar proyek penguatan bangunan yang dibutuhkan untuk tindakan mitigasi bencana

・ Perkiraan jumlah kematian dan korban terluka akibat gempa bumi dapat dihitung serta ・ Skala kesiapsiagaan yang dibutuhkan bagi pertolongan darurat dapat dikira-kira

Namun, dalam kajian ini database yang ada harus dilengkapi berdasarkan hasil survei dan pertimbangan kasar karena database yang ada selama ini tidak menyediakan informasi terperinci. Dinas terkait di Kabupaten Jember bertanggung jawab melaksanakan sensus bangunan dengan melihat struktur bangunan serta memperbaiki database yang ada di waktu mendatang.

Tembok

RC buruk

Batasan Tembok

(15)

Intensitas pergerakan tanah permukaan berbeda menurut lokasi. Tingkat kerapuhan bangunan juga berbeda menurut tipe bangunan. Sebagai contoh, bangunan yang diperkuat beton, yang didesain dan dibangun dengan menggunakan desain modern, tahan dengan rasio kerusakan 10% atau kurang meskipun intensitas pergerakan tanah permukaan sama dengan MMI 8 atau lebih namun bangunan dinding bata tak bertulang (unreinforced masonry) mungkin menderita dengan rasio kerusakan 90%. Ada beberapa kesulitan untuk merangkum peta resiko bencana menjadi hanya satu potong gambar karena situasi tersebut diatas.

Gambar 3.1.13 menunjukkan perkiraan jumlah bangunan rusak yang berlokasi di setiap garis skala 1km × 1km. Kecenderungan persebaran bangunan rusak tergantung pada kerapuhan bangunan yang ada. Dengan kata lain, ada resiko yang sangat tinggi di tempat yang banyak terdapat gedung rapuhnya.

(16)

rata-rata rasio kerusakan untuk tiap garis skala menunjukkan kecenderungan yang lebih jelas dari Gambar 3.1.13.

Gambar 3.1.14 Rasio Kerusakan Bangunan Per Garis Skala

Keakuratan database bangunan dirasakan sangat penting untuk kajian seperti ini karena hasil kajian yang telah dijelaskan di atas berarti bahwa tipe kerapuhan setiap tipe bangunan merupakan faktor dominan persebaran kerusakan. Rasio setiap tipe bangunan ditunjukkan pada Gambar 3.1.15. Gambar-gambar tersebut ditunjukkan agar dapat memperoleh gambaran data bangunan. Kondisi saat ini pada daerah yang disurvei tidak rata. Beberapa dari mereka berhubungan dengan kecamatan dan yang lain berhubungan dengan nagari/desa. Khususnya, sebagian besar unit survei di bagian utara sangat luas dimana kawasan terbangun terkonsentrasi. Ketidakkonsekwenan data statistik seperti ini bisa memberi efek buruk bagi analisis. Ini merupakan alasan mengapa upaya pengumpulan data harus dilakukan terus-menerus dan dikembangkan.

(17)
(18)

Ada beberapa poin umum struktur bangunan dan persebaran tipe bangunan di Indonesia. Aspek metode pembangunan gedung dan variasinya adalah sebagai berikut.

(1) Bangunan Kayu dan Bambu

Ini merupakan metode pembangunan tipe lama. Ada beberapa bangunan tua berusia 100 tahun dari tipe ini bisa ditemui di daerah kajian ini. Ada 2 tipe struktur bangunan, yaitu bangunan yang berlapis kayu atau struktur kerangka bambu dan yang lain adalah dinding dan tiang terbuat dari anyaman kayu atau bambu yang dicat dengan adukan semen dan kapur. Ada beberapa tipe detail struktur bangunan menurut daerahnya. Ketahanan terhadap gempa bangunan-bangunan ini secara umum lebih baik dibandingkan bangunan dinding bata (masonry) dan dinding pasangan terkekang (confined masonry) namun masih banyak ditemukan contoh bangunan dengan desain dan kondisi buruk.

Gambar 3.1.16 Bangunan Kayu dan Bambu

(2) Bangunan Dinding Bata (brick masonry)

Ketebalan dinding sebagian besar bangunan dinding bata di daerah ini adalah setebal satu bata. Hal-hal penting dalam pembangunan bangunan dinding bata harus benar-benar diperhatikan dan dipatuhi. Masalah yang ditemui pada banyak kasus adalah kualitas bata dan adukan semen.

(19)

Bangunan dinding batu banyak ditemui di daerah yang jauh dari jalan utama. Ketahanan tipe bangunan ini terhadap gempa bumi sangat buruk karena kurangnya rekatan antar batu dan rendahnya kualitas adukan semen.

Gambar 3.1.18 Bangunan Dinding Batu (cobble masonry)

(4) Bangunan Dinding Pasangan Terkekang (confined masonry)

Jenis bangunan ini semakin banyak ditemui akhir-akhir ini. Dinding pasangan terkekang (confined masonry) tersebut tahan terhadap beban. Tiang beton, balok dan ambang pintu/jendela memberikan efek kekangan terhadap dinding. Inilah perbedaan antara bangunan pasangan terkekang (confined masonry) dan kerangka beton (RC frame). Ketahanan terhadap gempa tipe bangunan ini lebih baik dibandingkan bangunan dengan dinding bata tak bertulang (unreinforced

masonry) tapi masih tergolong lemah dibandingkan yang berkerangka beton dengan desain

modern.

(20)

(5) Bangunan yang Diperkuat Kerangka Beton

Bangunan yang diperkuat kerangka beton tahan terhadap beban karena terdiri dari tiang dan balok meskipun penampilannya serupa dengan bangunan dinding pasangan terkekang (confined

masonry). Dinding sebagian besar bangunan yang diperkuat kerangka beton yang ditemui di

daerah kajian ini terbuat dari bata. Dinding tersebut bukanlah dinding penahan, melainkan Dinding pemisah, karena dinding bata bisa kehilangan kepadatannya jika kerangkanya berubah karena gaya inersi/kelembaman akibat gempa bumi. Tentu saja, Dinding bisa tahan terhadap gaya inersi/kelembaman akibat gempa bumi jika terbuat dari Reinforced Concrete Shear Wall (Dinding beton berkerangka baja) namun effective shear wall (Dinding berkerangka baja) sulit ditemukan di daerah kajian ini.

Gambar 3.1.20 Bangunan yang Diperkuat Kerangka Beton

(6) Kombinasi Berbagai Metode Konstruksi

Ada banyak bangunan dengan kombinasi berbagai metode konstruksi di daerah kajian ini. Berbagai jenis metode konstruksi digunakan ketika bangunan tersebut diperluas setelah beberapa waktu. Ketika gempa bumi terjadi, kerusakan serius mulai terjadi dari batas bagian rumah yang dibangun dengan metode konstruksi lain, seperti yang telah terlihat pada contoh kerusakan akibat Gempa BumiSolok tahun2007.

(21)

Aspek-aspek berikut dapat dilihat di daerah kajian sehubungan dengan persebaran bangunan (1) Kepadatan Bangunan

Sebagaian besar bangunan terkonsentrasi di daerah yang sangat terbatas sedangkan daerah lain berpopulasi kurang. Umumnya, kecenderungan ini menguntungkan ketika gempa bumi terjadi karena halangan antara gedung yang bersebelahan saat gempa tidak mudah terjadi. Lahan kosong dapat ditemukan dengan mudah yang bisa digunakan sebagai pusat bantuan darurat setelah gempa bumi.

(2) Tipe Bangunan

Tipe bangunan modern seperti bangunan berkerangka beton dan bangunan dinding pasangan terkekang (confined masonry) mendominasi sebagian besar bangunan di jalan utama. Sedangkan jumlah tipe bangunan lama seperti dinding bata, dari kayu serta kombinasi berbagai metode konstruksi lebih banyak ditemui di daerah yang jauh dari jalan utama, terutama bangunan dinding batu yang tidak memiliki ketahanan terhadap gempa bumi.

(3) Bangunan Modern dan Bangunan Tua

Bangunan dinding pasangan terkekang (confined masonry) semakin bertambah akhir-akhir ini. Metode konstruksi ini dianggap cukup mampu dan tahan terhadap gempa bumi bila didesain dan dibangun dengan cara yang hati-hati. Ketahanannya setidaknya melebihi bangunan dinding batu atau bangunan dinding bata tidak bertulang (brick unreinforced masonry). Tipe bangunan ini mendekati bangunan kerangka beton meskipun tidak sebanding. Sebenarnya, beberapa peneliti menawarkan hasil eksperimen dan buku instruksi guna memperoleh kapasitas bangunan yang baik. Namun, masih banyak ditemukan contoh bangunan yang dibangun tanpa perhatian yang cukup di daerah kajian ini.

Berikut adalah poin-poin yang sering ditemui.

・ Bata tidak direndam di air sebelum dipasang (air yang cukup dibutuhkan bagi reaksi hidrasi semen dalam adukan)

・ Aspek dimana gedung terlihat sebagai sebuah sistem jalur beban menyeluruh masih kurang ・ Ruang terbuka pada dinding penahan terlalu lebar

・ Dimensi kolom dan balok tidak mencukupi ・ Detail balok penguat tidak cukup

・ Kepadatan beton tidak cukup

(22)

3.1.4 Penanganan-Penanganan yang Memungkinkan untuk Menghadapi

Gempa Bumi di Kabupaten Jember

1) Penanganan Struktural

Penguatan struktur bangunan yang dilakukan sebelumnya merupakan satu-satunya upaya efektif dalam memitigasi korban manusia akibat gempa bumi yang terjadi dengan tiba-tiba. Kita tidak dapat mempersiapkan upaya sistem peringatan apapun. Segala upaya yang dilakukan setelah gempa bumi tidaklah efektif untuk mengurangi jumlah korban jiwa. Aktivitas penyelamatan dan bantuan harus dilakukan setelah terjadinya gempa bumi namun upaya-upaya tersebut sulit untuk menyelamatkan jiwa manusia.

Upaya memperkuat bangunan adalah sebagai berikut.

(1) Konsolidasi antara IMB dan Sistem Pemeriksaan Bangunan

Pada banyak kasus, bangunan milik pribadi tidak dibangun oleh orang yang benar-benar ahli, melainkan dibangun oleh pekerja bangunan amatir dan tidak berpengalaman yang tidak lulus uji profesionalitas.

IMB dan sistem pemeriksaan bangunan telah ada namun tidak selalu dilaksanakan. Bahkan invetigasi kasus tentang isu struktur bangunan pun sering longgar. Selain itu, sebagian besar bangunan biasanya dibangun tanpa adanya pemeriksaan. Jika hal ini tidak segera ditangani maka bila gempa bumi besar terjadi akan banyak terjadi korban jiwa.

(2) Konsolidasi Sistem Diagnosa Bangunan yang Ada

(3) Mendesak Upaya Penguatan Bangunan yang Sudah Ada

Tidak ada konsep “Bangunan yang tidak berkualitas” karena IMB dan sistem pemeriksaan bangunan saat ini masih belum berjalan dengan baik. Namun, bangunan lemah yang ada harus dibangun ulang jika mereka dalam evaluasi dinilai “tidak berkualitas”. Jika tidak mungkin untuk membangun ulang setiap bangunan, langkah terbaik selanjutnya adalah memperkuat konstruksi bangunan yang ada. Prinsip dasar penguatan bangunan adalah menentukan titik lemah bangunan dan kemudian meningkatkan ketahanan titik lemah tersebut. Titik-titik lemah dominan yang ditemukan di daerah kajian ini adalah sebagai berikut.

A. Kurang kerasnya atap dan lantai

Banyak ditemukan rumah satu lantai yang tidak memiliki ambang pintu/jendela dan papan atap di daerah kajian ini. Sehingga, bangunan tersebut tidak memiliki penopang yang cukup kuat di atap dan kemudian ambruk akibat goncangan gempa bumi. Oleh karena itu, sebaiknya ditambahkan ambang kayu/jendela dan papan atap pada bangunan.

(23)

Gambar 3.1.22 Bangunan Tanpa Ambang Jendela/ Pintu dan Papan Atap

B. Kurangnya Ketahanan Dinding Bata

Dinding bata lemah terhadap tekanan arah out-of-plane.

Gambar 3.1.23 Kerusakan Akibat tekanan arah Out-of-Plane

Berbagai metode penguatan diusulkan untuk mencegah kerusakan tipe ini. Sebagai contoh, penguatan bangunan dengan menggunakan jalinan kawat baja dan adukan semen merupakan penanganan yang efektif. Namun kolom bata atau dinding bata dengan tampang lintang kecil tidak memiliki kapasitas penopang yang cukup sehingga harus diubah dengan penguatan dengan beton

C. Kerusakan pada Bagian Penghubung Bangunan

Kerusakan serius bisa bermula dari bagian batas rumah yang dibangun dengan metode lain.

Gambar 3.1.24 Contoh Bagian Penghubung

No lintel and roof slab

(24)

Jika metode konstruksi berbeda digunakan untuk membangun bagian bangunan yang baru maka haruslah diselesaikan. Namun masih ditemui bagian yang tidak pas dibagian akhir penghubung bangunan. Bagian yang tidak pas tersebut bisa menyebabkan konsentrasi besar proses pelapukan. Peruntuhan bangunan dan pembangunan ulang disarankan jika dampak bagian yang tidak pas tersebut serius.

(4) Desakan untuk Pembangunan Ulang

Warga yang mempunyai rencana memperkuat bangunan yang dimiliki dengan konstruksi tahan gempa harus mempersiapkan modal.

(5) Pendidikan tentang Bangunan Tahan Gempa Bumi

2) Penanganan Non-Struktural

Bukanlah hal yang tidak mungkin untuk mengurangi korban manusia dengan melaksakan penanganan non-struktural namun juga harus mempersiapkan pertolongan darurat, bantuan pangan. Berikut adalah persiapan-persiapan tersebut.

(1) Menjaga tempat perlindungan sementara (2) Persiapan stok bahan untuk kondisi darurat

(3) Perjanjian pemberian bantuan dengan dinas/lembaga pemerintah daerah sekitar (4) Melakukan kerjasama dengan dinas/lembaga pemerintahan terkait pencegahan

bencana

(5) Pembentukan sistem evaluasi resiko pos gempa bumi sementara

(25)

3.2

Karakteristik Bencana Gempa Bumi dan Penanganannya di

Kabupaten Padang Pariaman

3.2.1 Karakteristik Bencana Gempa Bumi dan Penanganannya di

Kabupaten Padang Pariaman

1) Bencana Gempa Bumi yang Pernah Terjadi

Pengalaman bencana sebelumnya memberi kita pelajaran berharga untuk melakukan tindakan mitigasi karena gempa bumi besar terjadi secara berkala. Gempa bumi merupakan fenomena yang terjadi karena adanya pergerakan lempeng lithospheric. Kejadian gempa bumi besar memiliki kecenderungan waktu tertentu sedangkan kecepatan pergerakan lempeng lithospheric hampir konstan. Terjadinya kembali gempa bumi besar yang menyebabkan dampak hebat termasuk sangat lama dibandingkan dengan usia manusia (yaitu 200~1000 tahun). Sehingga, meskipun seseorang tinggal di suatu daerah dalam waktu yang lama belum tentu akan mengalami peristiwa gempa bumi dahsyat. Dokumen tentang kejadian lalu dan hasil penelitian survei arkeologis tentang gempa bumi masih sedikit di Indonesia. Namun, fakta tersebut tidak menunjukkan bahwa gempa bumi besar tidak terjadi di Indonesia. Lingkungan tektonis lempeng dan kejadian gempa bumi lalu harus dibahas secara meluas berkenaan dengan frekuensi dan magnitudo kerawanan seismik. Sebenarnya, kerawanan gempa bumi di Indonesia lebih besar dibandingkan di Jepang bila kita hanya menghitung gempa bumi yang menyebabkan kematian 100 jiwa atau lebih menggunakan “Database Utsu” atau “Database USGS”. Tentu saja, jumlah total korban manusia akibat gempa bumi juga akan dibahas disini. Kerusakan akibat getaran tidak dibahas secara terpisah dari kerusakan akibat gelombang laut seismik.

(26)

Tabel 3.2.1 Gempa Bumi yang Merenggut 100 Jiwa atau Lebih di Indonesia (1/2) (Web:http://iisee.kenken.go.jp/utsu/utsuweq_bak.html)

Tabel 3.2.2 Gempa Bumi yang Merenggut 100 Jiwa atau Lebih di Indonesia (2/2) (Web:http://infotrek.er.usgs.gov/)

(27)

Frekuensi dan magnitudo gempa bumi harus dibahas dengan melihat struktur lingkungan lempeng dan gempa bumi besar yang pernah terjadi. Indonesia memiliki perbatasan lempeng di bagian selatan Sumatra dan Pulau Jawa. Lempeng oseanik bertumbukan dengan dasar pulau. Zona tumbukan terletak di parit Sunda. Gempa bumi dahsyat disebabkan oleh patahan yang berbalik di zona patahan.

Gambar 3.2.1 Parit Sunda

Gempa bumi dahsyat yang baru terjadi di zona ini adalah Gempa Bumi Andaman pada 26 Desember 2004 dengan M w9.1 dan Gempa Bumi Bengkulu pada 12 September 2007 dengan Mw8.4. Kerusakan bangunan akibat getaran gempa ini dianggap kecil karena sebagian besar kerusakan diakibatkan oleh gelombang laut seismik. Tentu saja, pergerakan tanah permukaan di daerah bencana ini lebih kecil dibandingkan dengan perkiraan nilai magnitudo pusat gempa. Ada 2 faktor yang menyebabkan yaitu kecepatan rekahan pada patahan ini relatif lambat dan jarak pusat gempa dari daerah berpopulasi banyak jauh. Namun, kerusakan hebat biasanya tidak disebabkan oleh pergerakan gempa bumi yang besar karena memang ketahanan bangunan perumahan terhadap gempa di daerah ini lemah.

Pusat gempa bumi dominan yang lain adalah patahan hebat Sumatra yang berlokasi di sepanjang Pulau Sumatra. Mekanisme patahan ini adalah pergeseran horizontal ke kanan (dextral strike-slip

fault). Magnitudo gempa bumi yang dipicu di patahan ini lebih kecil dibandingkan di zona

tumbukan tapi pergerakan tanah permukaan dan kerusakan bisa sangat serius jika daerah berpenduduk padat terletak di dekat patahan.

(28)

Gambar 3.2.2 Patahan Hebat Sumatra

Gempa bumi hebat yang baru terjadi yang dipicu di daerah ini adalah Gempa Bumi Solok pada 6 maret 2007 dengan magnitudo Mw 6.3. Dua gempa bumi berbeda terjadi selama 2 jam di bagian tenggara dan barat laut Danau Singkalak.

Gambar 3.2.3 Patahan Gempa Bumi Solok pada 6 Maret 2007

Sumber: (DANNY HILMAN NATAWIDJAJA, ADRIN TOHARI, EKO SUBOWO, AND MUDRIK R. DARYONO : A Review

On The Sumatran Fault Zone And The 6 Maret 2007 Events (M 6.4 & 6.3) di Danau Singkarak Lake, Sumatra Tengah, APRU/AEARU Research Symposium on Earthquake Hazards around the Pacific Rim 21-22 Juni, Nikko Hotel, Jakarta,

(29)

Ada contoh lain di dekat daerah gempa di Kota Yogyakarta (yaitu, 27 Mei 2006 Gempa Bumi Yogya MW 6.5). Hubungan antara kerusakan dengan intensitas pergerakan tanah permukaan di

Kabupaten Bantul ditetapkan sebagai tolak ukur fungsi keterancaman dalam laporan ini.

Kondisi seismik yang telah disebutkan di atas juga serupa dengan keadaan di Jepang sehingga pengalaman Jepang berkenaan dengan kerawanan gempa harus dipelajari.

2) Faktor-Faktor Kerusakan Akibat Gempa Bumi

Kerusakan akibat gempa bumi dibagi kedalam 3 aspek, yaitu: 1. Kerusakan bangunan akibat getaran tanah

2. Kerusakan akibat kondisi tanah seperti lereng longsor atau retakan 3. Kerusakan akibat gelombang laut seismik

Aspek 1 dan 2 di atas cenderung dilupakan setelah terjadinya gempa bumi karena kerusakan akibat gelombang laut seismik memberikan kesan berlebih terhadap korban. Aspek 1 dan 2 tersebut benar-benar berbeda dengan gelombang laut karena kita mempunyai waktu ekstra untuk mengurangi dampak kerusakan akibat seismik gelombang laut. Namun kerusakan bangunan akibat getaran tanah terjadi secara langsung. Segala peringatan tidaklah efektif, hanya penguatan struktur bangunan yang dilakukan sebelumnya merupakan cara efektif mengurangi dampak bencana. Segala upaya yang dilakukan setelah terjadinya gempa tidak dapat mengurangi jumlah kematian.

3.2.2 Peta Rawan Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Padang Pariaman

1) Dasar Pembuatan Peta Rawan Bencana Gempa Bumi

Kata “Rawan” diartikan sebagai penyebab terjadinya bencana. Sehingga, persebaran intesitas percepatan permukaan tanah harus ditunjukkan di “Peta Rawan”. Tidak ada aspek lain yang penting untuk Peta Rawan Bencana Gempa Bumi bila definisi di atas dianggap beralasan. Intensitas percepatan permukaan tanah dijelaskan di setiap bagian hubungan di daerah kajian dengan menggunakan judul “Peak Ground Acceleration/Percepatan Tanah Puncak” (atau disini disebut PGA) atau “Modified Mercalli Intensity scale/Skala Intensitas Mercalli yang Dimofikiasi”(atau disini disebut MMI).

Dasar selanjutnya yang harus dibahas pada bab ini, adalah bagaimana mendefinisikan nilai target intensitas percepatan permukaan tanah. Umumnya, ada kecenderungan tetap hubungan antara magnitudo gempa bumi dengan frekuensi kejadian. Hal tersebut berarti gempa bumi kecil bisa sering terjadi, tapi gempa bumi besar jarang terjadi.

(30)

2 3 4 5 6 7 8 9 10 0.00 0.01 0.10 1.00 10.00 100.00 1,000.00

Empirical return period

M

agn

it

ud

e

Gambar 3.2.4 Hubungan antara Magnitudo dan Periode Ulang Gempa

Sumbu Y berarti magnitudo gempa bumi, dan sumbu X berarti Periode Ulang Gempa empiris

T

E

m

T

T

S E

=

(Rumus. 3.3) Dimana:

TE : Periode Ulang Gempa empiris

TS : Waktu Sampling

m : Urutan ketika sample disusun berdasarkan magnitudo secara urut

Sebagai contoh, gempa bumi terbesar yang dipicu di daerah ini adalah gempa bumi tahun 2004 dengan magnitudo 9, urutan m adalah yang pertama, Waktu Sampling TS adalah 2004 dikurangi 1629 sama dengan 375, Periode Ulang Gempa empiris TE seharusnya 375 tahun. Pada urutan kedua adalah gempa bumi tahun 1833 dengan magnitudo 8.7, urutan m adalah kedua, Waktu Sampling TS adalah 375 tahun dibagi 2 sama dengan 187, Periode Ulang Gempa empiris TE adalah 187 tahun. Jika hubungan antara magnitudo dan Periode Ulang Gempa empiris TE tiap gempa bumi yang tercatat digambar dengan cara yang sama maka pola yang tergambar cenderung hampir pada garis lurus pada kertas grafik logaritma 1,5, dengan batasan kisaran lebih dari magnitudo 5. Penemuan ini disebut Gutenberg Richiter atau formula

G-R.

Sudut b pada garis perkiraan mewakili selisih frekuensi terjadinya gempa bumi besar dan gempa bumi kecil. Jika lingkungan sekitar Indonesia dibagi kedalam beberapa domain, yang memiliki kondisi seismik

(31)

tetap, maka sudut b di atas harus berbeda untuk setiap domain. Jika kejadian gempa bumi tersendiri menurut tempat dan waktu maka model Poisson bisa digunakan untuk analisis.

Nilai percepatan puncak batuan dasar pada titik tertentu dapat dihitung dengan menggunakan rumus pelemahan. Rumus pelemahan adalah semacam rumus regresi dimana nilai percepatan puncak batuan dasar dikira-kira dari magnitudo pusat gempa bumi dan jarak dari pusat gempa bumi ke titik tertentu.

Pada prosedur penghitungan ini, setiap domain yang telah disebutkan sebelumnya dibagi menjadi bagian kecil dengan menggunakan sistem koordinat kutub. Selain itu, metode implisit dibutuhkan dalam prosedur ini karena magnitudo pusat gempa , yang membawa nilai percepatan puncak pada titik tertentu, harus diperoleh melalui tahap perhitungan. Oleh karena itu, penghitungan jumlah yang besar dibutuhkan untuk dapat melaksanakan analisa ini. Program komputer

"EZFRISK"

atau

“EQRISK”

digunakan dalam analisa yang sesungguhnya. Nilai percepatan puncak batuan dasar di setiap bagian di Indonesia juga dihitung. Gambar 3.2.5 memperlihatkan hasil prosedur yang disebutkan diatas.

Gambar 3.2.5 Nilai Percepatan Puncak Batuan Dasar di Setiap Bagian di Indonesia (Dari SNI 03-1726-2002, Kode untuk beban seismik di Indonesia)

Setiap nilai yang ditunjukkan oleh Gambar 3.2.5 adalah nilai percepatan puncak batuan dasar di setiap zona berwarna yang memiliki Periode Ulang Gempa selama 500 tahun. Sebagai contoh, Kabupaten Padang Pariaman masuk pada zona 5 maka nilai percepatan puncak batuan dasarnya adalah 0.25g (nilai 0.25g berarti 0.25 kali percepatan gravitasi). Detail zona di sekitar daerah

(32)

Gambar 3.2.6 Percepatan Tanah PGA

Periode Ulang Gempa selama 500 tahun berarti kemungkinan terjadinya gempa kembali adalah 10% untuk 50 tahun. Sebagai contoh, jika bangunan yang telah berdiri selama 50 tahun didesain menggunakan desain beban seismik 500 tahun terjadinya kembali gempa maka kemungkinan runtuhnya bangunan tersebut akibat gempa besar tak terduga adalah 10%. 90% peristiwa gempa masuk dalam setting ini. Setting ini hampir sempurna dalam arti yang sesungguhnya karena 100% keamanan tidak dapat diperoleh dalam teori probabilitas.

Nilai yang dijelaskan di atas merupakan nilai percepatan puncak batuan dasar yang didefinisikan sebagai lapisan batuan dasar yang terdiri dari material homogen. Nilai percepatan puncak pada batuan dasar dapat diperkirakan dengan menggunakan fungsi pelemahan. Namun, nilai yang dibutuhkan untuk pembuatan peta rawan haruslah nilai percepatan puncak pada permukaan tanah.

Gambar 3.2.7 Nilai Percepatan Puncak Batuan Dasar dan Nilai Percepatan Puncak Permukaan Tanah

(33)

Seperti yang telah dijelaskan pada Gambar 3.2.74, getaran tanah menguat ketika sedang merambat di lapisan permukaan. Getaran tanah yang muncul ke permukaan batuan dasar biasanya kecil. Sedangkan getaran tanah pada permukaan lunak biasanya besar. Tingkat penguatan tergantung pada karakteristik lapisan permukaan tanah. Lapisan permukan harus diperiksa agar dapat dibahas pada aspek ini. Karakteristik geomorfologis lapisan permukaan sekitar Kabupaten Padang Pariaman ditunjukkan oleh Gambar 3.2.8.

Gambar 3.2.8 Karakteristik Geomorfologi Lapisan Permukaan Sekitar Kabupaten Padang Pariaman

Persebaran karakteristik lapisan permukaan di setiap segmen daerah kajian ditunjukkan pada Gambar 3.2.9.

(34)

Gambar 3.2.9 Pembagian Kelas Tanah (Diklasifikasi Menurut Kepadatan Lapisan Permukaan)

Pembagian kelas tanah yang ditunjukkan pada Gambar 3.2.9 diklasifikasi menurut kepadatan lapisan permukaan. Klasifikasi ini didasarkan pada beberapa spekulasi terhadap karakteristik geomorfologis yang ditunjukkan oleh peta geologis dan survei lapangan yang dilakukan oleh para pakar yang bertanggung jawab atas karakteristik geologis. Namun, material yang lebih akurat yang diberikan oleh log lubang bor dan log PS harus menjadi acuan jika tersedia. Selain itu, upaya pengembangan secara terus-menerus harus dilakukan guna meningkatkan akurasi pemetaan daerah rawan.

Seperti yang dijelaskan, intensitas pergerakan tanah permukaan pada gempa bumi dikira-kira dengan mengacu pada zona yang diklasifikasikan dalam SNI 03-1726-2002 dan kelas tanah. Pergerakan tanah permukaan diekspresikan oleh PGA (Percepatan Tanah Puncak) dan spektrum respon, ditunjukkan oleh Gambar 3.2.10. Nilai sumbu vertikal pada spektrum respon berarti respon percepatan model SDOF (Single Degree of Freedom/Tingkat Kebebasan Tunggal) yang mempunyai periode alami yang ditunjukkan oleh sumbu horizontal. Sehingga, nilai pada sisi kiri ekstrim sesuai dengan PGA. Nilai PGA harus ditunjukkan pada peta rawan bencana karena nilai-nilai tersebut menunjukkan getaran permukaan tanah.

(35)

Gambar 3.2.10 Spektrum Respon yang Ditetapkan dalam 03-1726-2002

2) Peta Rawan Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Padang Pariaman

Perkiraan persebaran nilai intensitas percepatan permukaan tanah ditunjukkan pada Gambar 3.2.11. Intensitas percepatan permukaan tanah digambarkan dengan menggunakan judul PGA dan MMI. PGA adalah nilai yang akan diperoleh sebagai nilai maksimum ketika gempa level tanah dihitung dengan accelerograph. Skala intensitas Mercalli yang dimodifikasi (MMI) membagi intensitas gempa bumi kedalam 12 tahap evaluasi, dan tiap tahap didefinisikan dengan menggambarkan peristiwa melalui observasi dan merasakan (contoh; “sulit untuk berdiri). Oleh karena itu, ekspresi MMI merupakan nomor yang berbeda tapi satu digit dibawah poin desimal ditulis dalam laporan guna membedakan selisih yang detail. Perkiraan MMI untuk Kabupaten Padang Pariaman adalah 8 diantara 8 atau lebih pada display MMI. Level intensitas ini sama dengan “5 atau lebih” di Skala Intensitas Seismik Dinas Meteorologi Jepang (disebut JMI). JMI juga membagi gempa bumi kedalam 10 tahap evaluasi, dan setiap tahap didefinisikan dengan menggambarkan peristiwa melalui observasi dan perasaan. Beberapa bentuk kerusakan kecil ditemukan ketika gempa bumi dengan “5 atau lebih” JMI terjadi di Jepang tapi kerusakan sangat serius yang mungkin dipicu oleh gempa bumi dengan level yang sama bisa terjadi di Indonesia karena kapasitas ketahanan bangunan terhadap gempa bumi di Indonesia kurang dibandingkan dengan di Jepang.

(36)

Gambar 3.2.11 Perkiraan Persebaran Nilai Getaran Permukaan Tanah

3.2.3 Peta Resiko Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Padang Pariaman

1) Dasar Pembuatan Peta Resiko Bencana Gempa Bumi

Resiko gempa bumi merupakan konsep yang abstrak. Sehingga definisi atau pemahaman fisik harus diberikan. Resiko bencana gempa bumi adalah kemungkinan yang dapat dianalisa sebagai hasil sinergis antara kerawanan bencana gempa bumi dan keterancaman terhadap fasilitas. Setiap aspek magnitudo bencana gempa bumi, termasuk kematian dan kerugian ekonomi, dapat dievaluasi berdasarkan kerusakan bangunan. Pada kondisi gempa yang sesungguhnya, warga tidak meninggal karena getaran tanah namun disebabkan oleh gedung yang runtuh. Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.2.12, penyebab utama kematian pada peristiwa Gempa Bumi Dahsyat Hanshin tahun 1995 adalah gedung-gedung yang runtuh. Sehingga dapat dikatakan bahwa sangatlah penting untuk mengetahui jumlah bangunan yang akan roboh bila kita membahas masalah resiko bencana gempa bumi.

(37)

Gambar 3.2.12 Rasio Penyebab Kematian Pada Peristiwa Gempa Bumi Dahsyat

Oleh karena itu, resiko bencana gempa bumi didefinisikan sebagai rasio kerusakan P dibawah kondisi perkiraan pergerakan tanah dan karakteristik bangunan. Rasio kerusakan P didefinisikan melalui Rumus 3.4. T D

N

N

P

=

(Rumus. 3.4) dimana,

ND : Jumlah bangunan rusak

NT : Jumlah Total bangunan yang ada

Dalam konteks ini, bangunan rusak berarti bangunan yang menderita kerusakan sama atau lebih dari “rusak berat” seperti yang didefinisikan oleh Architectural Institute of Japan (AIJ). Tingkatan kerusakan “rusak berat” didefiniskan dari sudut pandang teknik bangunan. Umumnya, kematian atau korban luka terjadi di bangunan yang menderita kerusakan sama atau lebih dari “rusak berat”. Sehingga, nilai ini dipilih sebagai target dalam evaluasi ini. Nilai ini juga sama dengan “Nilai 4 yaitu Kerusakan Sangat Parah” yang didefinisikan oleh European Macroseismic

Scale/Skala Makroseismik Eropa (EMS).

Rasio kerusakan P dinilai dengan menggunakan fungsi kerapuhan. Garis besar analisa fungsi kerapuhan yang digunakan dalam kajian ini ditunjukkan pada Gambar 3.2.13

Setting model analisis untuk beberapa

bangunan yang mewakili Setting spektrum respon sebagai input pergerakan gempa bumi

Sepuluh kasus dianalisa melalui eksperimen sambil merubah ukuran input pergerakan gempa bumi

Hubungan antara rasio kerusakan dan Input pergerakan gempa bumi diekstraksi (hubungan P-MMI)

Mati lemas terhimpit lainnya mati beku masalah organ kaget Kerusakan kepala dan perut memar mati kebakaran

(38)

Fungsi kerapuhan sangat bergantung pada karakteristik struktur bangunan. Sehingga bangunan pada daerah kajian ini dibagi kedalam beberapa tipe bangunan dan bangunan tipikal setiap tipe bangunan dibuat model. Garis besar model bangunan ditampilkan pada Gambar 3.2.14

Gambar 3.2.14 Garis Besar Model Bangunan

Kemudian, analisis dinamis yang disederhanakan dilaksanakan dengan menggunakan tahap peningkatan pergerakan input gempa bumi tahap demi tahap. Setelah itu, hubungan antara MMI dan rasio kerusakan P diperoleh sebagai fungsi kerapuhan. Prosedur untuk menghasilkan hubungan antara MMI dan rasio kerusakan P merupakan hal yang umum dilakukan oleh Komite Pemerintah Jepang Proyek US “HAZUS” (lihat lampiran).

Hasil kemungkinan yang tinggi tidak dapat diperoleh jika sensitivitas fungsi kerapuhan tidak sesuai dengan ketahanan sesungguhnya bangunan terhadap gempa di daerah kajian. Pada kajian ini, beberapa tahap kalibrasi dilaksanakan dengan menggunakan pertimbangan melalui laporan penelitian peristiwa bencana gempa bumi yang telah terjadi dekat dengan daerah kajian. Contoh peristiwa di Kota Yogyakarta (yaitu Gempa Bumi Yogya dengan MW 6.5 pada 27 Mei 2006)

merupakan material yang efektif untuk digunakan karena tim peninjau Jepang melaporkan intensitas pergerakan permukaan tanah yang diinvestigasi melalui interview dengan warga dan observasi kondisi kerusakan bangunan di daerah bencana (Shiro Takada dkk “Pergerakan Tanah yang Kuat dan Kerusakan Fasilitas Vital selama Gempa Bumi Jogjakarta”).

Hubungan yang diperoleh antara MMI dan rasio kerusakan P ditunjukkan pada Gambar 3.2.15. Fungsi kerapuhan dihasilkan untuk membagi setiap tipe bangunan

(39)

Gambar 3.2.15 Fungsi Kerapuhan (Hubungan antara MMI dengan Rasio Kerusakan P)

Disamping itu, contoh kerusakan yang diamati di Pulau Sumatra juga perlu dijadikan acuan. Oleh karena itu, beberapa laporan tentang Gempa Bumi Andaman tahun 2004 dan Gempa Bumi Solok tahun 2007 dijadikan acuan dan dipastikan bahwa pengamatan tersebut tidak bertentangan dengan fungsi kerapuhan.

Dalam laporan ini, peta rawan bencana menunjukkan perkiraan intensitas pergerakan tanah permukaan tiap titik melalui MMI. Sehingga nilai resio kerusakan P dapat diperoleh dengan menggunakan fungsi kerapuhan dan acuan nilai MMI. Jika tersedia database yang menunjukkan jumlah tiap tipe bangunan , perkiraan jumlah bangunan rusak dapat dihitung dengan mengalikan jumlah bangunan yang ada dengan rasio kerusakan P.

Jika perkiraan diatas dilaksanakan berdasarkan dasar-dasar yang cukup, maka

・ Dapat diketahui seberapa besar proyek penguatan bangunan yang dibutuhkan untuk tindakan mitigasi bencana

・ Perkiraan jumlah kematian dan korban terluka akibat gempa bumi dapat dihitung serta ・ Skala kesiapsiagaan yang dibutuhkan bagi pertolongan darurat dapat dikira-kira

Namun, dalam kajian ini database yang ada harus dilengkapi berdasarkan hasil survei dan pertimbangan kasar karena database yang ada selama ini tidak menyediakan informasi terperinci.

Tembok

RC buruk

Batasan Tembok

(40)

2) Peta Resiko Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Padang Pariaman

Intensitas pergerakan tanah permukaan berbeda menurut lokasi. Tingkat kerapuhan bangunan juga berbeda menurut tipe bangunan. Sebagai contoh, bangunan yang diperkuat beton, yang didesain dan dibangun dengan menggunakan desain modern, tahan dengan rasio kerusakan 10% atau kurang meskipun intensitas pergerakan tanah permukaan sama dengan MMI 8 atau lebih namun bangunan bangunan dinding bata tak bertulang (unreinforced masonry) mungkin menderita dengan rasio kerusakan 90%. Ada beberapa kesulitan untuk merangkum peta resiko bencana menjadi hanya satu potong gambar karena situasi tersebut diatas.

Gambar 3.2.16 menunjukkan perkiraan jumlah bangunan rusak yang berlokasi di setiap garis skala 1km × 1km. Kecenderungan persebaran bangunan rusak tergantung pada kerapuhan bangunan yang ada. Dengan kata lain, ada resiko yang sangat tinggi di tempat yang banyak terdapat gedung rapuhnya.

Gambar 3.2.16 Kerusakan Bangunan Per Garis Skala

Gambar 3.2.17 menunjukkan nilai perkiraan jumlah bangunan rusak yang dibagi dengan jumlah total bangunan yang ada yang berlokasi di setiap garis skala 1km × 1km. Hal tersebut berarti rata-rata rasio kerusakan untuk tiap garis skala menunjukkan kecenderungan yang lebih jelas dari Gambar 3.2.16.

(41)

Gambar 3.2.17 Rasio Kerusakan Bangunan Per Garis Skala

Gambar 3.2.18 juga menunjukkan rasio kerusakan rata-rata di setiap kawasan terbangun tidak menurut garis skala. Gambar ini dibuat karena kondisi khusus daerah kajian ini, dimana bangunan-bangunan terkonsentrasi di daerah yang terbatas dan daerah lainnya memiliki populasi kurang, juga menjadi pertimbangan. Namun, pertimbangan hati-hati lainnya juga diperlukan jika dibuat untuk umum

(42)

Gambar 3.2.18 Rasio Kerusakan Bangunan

Keakuratan database bangunan dirasakan sangat penting untuk kajian seperti ini karena hasil kajian yang telah dijelaskan di atas berarti bahwa tipe kerapuhan setiap tipe bangunan merupakan faktor dominan persebaran kerusakan. Rasio setiap tipe bangunan ditunjukkan pada Gambar 3.2.19. Gambar-gambar tersebut ditunjukkan agar dapat memperoleh gambaran data bangunan. Kondisi saat ini pada daerah yang disurvei tidak rata. Beberapa dari mereka berhubungan dengan kecamatan dan yang lain berhubungan dengan nagari/desa. Khususnya, sebagian besar unit survei di bagian utara sangat luas dimana kawasan terbangun terkonsentrasi. Ketidakkonsekwenan data statistik seperti ini bisa memberi efek buruk bagi analisis. Ini merupakan alasan mengapa upaya pengumpulan data harus dilakukan terus-menerus dan dikembangkan

(43)

Gambar 3.2.19 Jumlah Bangunan di Setiap Garis Skala

(44)

Ada beberapa poin umum struktur bangunan dan persebaran tipe bangunan di Indonesia. Aspek metode pembangunan gedung dan variasinya adalah sebagai berikut.

(1) Bangunan Kayu dan Bambu

Ini merupakan metode pembangunan tipe lama. Ada beberapa bangunan tua berusia 100 tahun dari tipe ini bisa ditemui di daerah kajian ini. Ada 2 tipe struktur bangunan, yaitu bangunan yang berlapis kayu atau struktur kerangka bambu dan yang lain adalah dinding dan tiang terbuat dari anyaman kayu atau bambu yang dicat dengan adukan semen dan kapur. Ada beberapa tipe detail struktur bangunan menurut daerahnya. Ketahanan terhadap gempa bangunan-bangunan ini secara umum lebih baik dibandingkan bangunan dinding bata (masonry) dan dinding pasangan terkekang (confined masonry) namun masih banyak ditemukan contoh bangunan dengan desain dan kondisi buruk.

a) Kerangka kayu b) kolom dan dinding dari anyaman bambu yang dicat kapur

Gambar 3.2.21 Bangunan Kayu dan Bambu

(2) Bangunan Dinding Bata (brick masonry)

Ketebalan dinding sebagian besar bangunan dinding bata di daerah ini adalah setebal satu bata. Hal-hal penting dalam pembangunan bangunan dinding bata harus benar-benar diperhatikan dan dipatuhi. Masalah yang ditemui pada banyak kasus adalah kualitas bata dan adukan semen.

(45)

(3) Bangunan Dinding Batu (cobble masonry)

Bangunan dinding batu banyak ditemui di daerah yang jauh dari jalan utama. Ketahanan tipe bangunan ini terhadap gempa bumi sangat buruk karena kurangnya rekatan antar batu dan rendahnya kualitas adukan semen.

Gambar 3.2.23 Bangunan Batu

(4) Bangunan Dinding Pasangan Terkekang (confined masonry)

Jenis bangunan ini semakin banyak ditemui akhir-akhir ini. Dinding pasangan terkekang (confined masonry) tersebut tahan terhadap beban. Tiang beton, balok dan ambang pintu/jendela memberikan efek kekangan terhadap dinding. Inilah perbedaan antara bangunan pasangan terkekang (confined masonry) dan kerangka beton (RC frame). Ketahanan terhadap gempa tipe bangunan ini lebih baik dibandingkan bangunan dengan dinding bata tak bertulang (unreinforced

masonry) tapi masih tergolong lemah dibandingkan yang berkerangka beton dengan desain

modern.

(46)

(5) Bangunan yang Diperkuat Kerangka Beton

Bangunan yang diperkuat kerangka beton tahan terhadap beban karena terdiri dari tiang dan balok meskipun penampilannya serupa dengan bangunan dinding pasangan terkekang (confined

masonry). Dinding sebagian besar bangunan yang diperkuat kerangka beton yang ditemui di

daerah kajian ini terbuat dari bata. Dinding tersebut bukanlah dinding penahan, melainkan Dinding pemisah, karena dinding bata bisa kehilangan kepadatannya jika kerangkanya berubah karena gaya inersi/kelembaman akibat gempa bumi. Tentu saja, Dinding bisa tahan terhadap gaya inersi/kelembaman akibat gempa bumi jika terbuat dari Reinforced Concrete Shear Wall (Dinding beton berkerangka baja) namun effective shear wall (Dinding berkerangka baja) sulit ditemukan di daerah kajian ini.

Gambar 3.2.25 Bangunan yang Diperkuat Kerangka Beton

(4) Kombinasi Berbagai Metode Konstruksi

Ada banyak bangunan dengan kombinasi berbagai metode konstruksi di daerah kajian ini. Berbagai jenis metode konstruksi digunakan ketika bangunan tersebut diperluas setelah beberapa waktu. Ketika gempa bumi terjadi, kerusakan serius mulai terjadi dari batas bagian rumah yang dibangun dengan metode konstruksi lain, seperti yang telah terlihat pada contoh kerusakan akibat Gempa Bumi Solok tahun 2007.

(47)

Aspek-aspek berikut dapat dilihat di daerah kajian sehubungan dengan persebaran bangunan (1) Kepadatan Bangunan

Sebagaian besar bangunan terkonsentrasi di daerah yang sangat terbatas sedangkan daerah lain berpopulasi kurang. Umumnya, kecenderungan ini menguntungkan ketika gempa bumi terjadi karena halangan antara gedung yang bersebelahan saat gempa tidak mudah terjadi. Lahan kosong dapat ditemukan dengan mudah yang bisa digunakan sebagai pusat bantuan darurat setelah gempa bumi.

(2) Tipe Bangunan

Tipe bangunan modern seperti bangunan berkerangka beton dan bangunan dinding pasangan terkekang (confined masonry) mendominasi sebagian besar bangunan di jalan utama. Sedangkan jumlah tipe bangunan lama seperti dinding bata, dari kayu serta kombinasi berbagai metode konstruksi lebih banyak ditemui di daerah yang jauh dari jalan utama, terutama bangunan dinding batu yang tidak memiliki ketahanan terhadap gempa bumi.

(3) Bangunan Modern dan Bangunan Tua

Bangunan dinding pasangan terkekang (confined masonry) semakin bertambah akhir-akhir ini. Metode konstruksi ini dianggap cukup mampu dan tahan terhadap gempa bumi bila didesain dan dibangun dengan cara yang hati-hati. Ketahanannya setidaknya melebihi bangunan dinding batu atau bangunan dinding bata tidak bertulang (brick unreinforced masonry). Tipe bangunan ini mendekati bangunan kerangka beton meskipun tidak sebanding. Sebenarnya, beberapa peneliti menawarkan hasil eksperimen dan buku instruksi guna memperoleh kapasitas bangunan yang baik. Namun, masih banyak ditemukan contoh bangunan yang dibangun tanpa perhatian yang cukup di daerah kajian ini.

Berikut poin-poin yang sering ditemui

・ Bata tidak direndam di air sebelum dipasang (air yang cukup dibutuhkan bagi reaksi hidrasi semen dalam adukan)

・ Aspek dimana gedung terlihat sebagai sebuah sistem jalur beban menyeluruh masih kurang ・ Ruang terbuka pada dinding penahan terlalu lebar

・ Dimensi kolom dan balok tidak mencukupi ・ Detail balok penguat tidak cukup

・ Kepadatan beton tidak cukup

(48)

3.2.4 Penanganan-Penanganan yang Memungkinkan untuk Menghadapi

Gempa Bumi di Kabupaten Padang Pariaman

1) Penanganan Struktural

Penguatan struktur bangunan yang dilakukan sebelumnya merupakan satu-satunya upaya efektif dalam memitigasi korban manusia akibat gempa bumi yang terjadi dengan tiba-tiba. Kita tidak dapat mempersiapkan upaya sistem peringatan apapun. Segala upaya yang dilakukan setelah gempa bumi tidaklah efektif untuk mengurangi jumlah korban jiwa. Aktivitas penyelamatan dan bantuan harus dilakukan setelah terjadinya gempa bumi namun upaya-upaya tersebut sulit untuk menyelamatkan jiwa manusia.

Upaya memperkuat bangunan adalah sebagai berikut.

(1) Konsolidasi antara IMB dan Sistem Pemeriksaan Bangunan

Pada banyak kasus, bangunan milik pribadi tidak dibangun oleh orang yang benar-benar ahli, melainkan dibangun oleh pekerja bangunan amatir dan tidak berpengalaman yang tidak lulus uji profesionalitas.

IMB dan sistem pemeriksaan bangunan telah ada namun tidak selalu dilaksanakan. Bahkan invetigasi kasus tentang isu struktur bangunan pun sering longgar. Selain itu, sebagian besar bangunan biasanya dibangun tanpa adanya pemeriksaan. Jika hal ini tidak segera ditangani maka bila gempa bumi besar terjadi akan banyak terjadi korban jiwa.

(2) Konsolidasi Sistem Diagnosa Bangunan yang Ada

(3) Mendesak Upaya Penguatan Bangunan yang Sudah Ada

Tidak ada konsep “Bangunan yang tidak berkualitas” karena IMB dan sistem pemeriksaan bangunan saat ini masih belum berjalan dengan baik. Namun, bangunan lemah yang ada harus dibangun ulang jika mereka dalam evaluasi dinilai “tidak berkualitas”. Jika tidak mungkin untuk membangun ulang setiap bangunan, langkah terbaik selanjutnya adalah memperkuat konstruksi bangunan yang ada. Prinsip dasar penguatan bangunan adalah menentukan titik lemah bangunan dan kemudian meningkatkan ketahanan titik lemah tersebut. Titik-titik lemah dominan yang ditemukan di daerah kajian ini adalah sebagai berikut.

A. Kurang kerasnya atap dan lantai

Banyak ditemukan rumah satu lantai yang tidak memiliki ambang pintu/jendela dan papan atap di daerah kajian ini. Sehingga, bangunan tersebut tidak memiliki penopang yang cukup kuat di atap dan kemudian ambruk akibat goncangan gempa bumi. Oleh karena itu, sebaiknya ditambahkan ambang kayu/jendela dan papan atap pada bangunan.

(49)

Gambar 3.2.27 Bangunan Tanpa Ambang Jendela/ Pintu dan Papan Atap

B. Kurangnya Ketahanan Dinding Bata

Dinding bata lemah terhadap tekanan arah out-of-plane.

Gambar 3.2.28 Kerusakan Akibat tekanan arah Out-of-Plane

Berbagai metode penguatan diusulkan untuk mencegah kerusakan tipe ini. Sebagai contoh, penguatan bangunan dengan menggunakan jalinan kawat baja dan adukan semen merupakan penanganan yang efektif. Namun kolom bata atau dinding bata dengan tampang lintang kecil tidak memiliki kapasitas penopang yang cukup sehingga harus diubah dengan penguatan dengan beton.

C. Kerusakan pada Bagian Penghubung Bangunan

Kerusakan serius bisa bermula dari bagian batas rumah yang dibangun dengan metode lain.

No lintel and roof slab

(50)

Jika metode konstruksi berbeda digunakan untuk membangun bagian bangunan yang baru maka haruslah diselesaikan. Namun masih ditemui bagian yang tidak pas dibagian akhir penghubung bangunan. Bagian yang tidak pas tersebut bisa menyebabkan konsentrasi besar proses pelapukan. Peruntuhan bangunan dan pembangunan ulang disarankan jika dampak bagian yang tidak pas tersebut serius.

(4) Desakan untuk Pembangunan Ulang

Warga yang mempunyai rencana memperkuat bangunan yang dimiliki dengan konstruksi tahan gempa harus mempersiapkan modal.

(5) Pendidikan tentang Bangunan Tahan Gempa Bumi

2) Penanganan Non-Struktural

Bukanlah hal yang tidak mungkin untuk mengurangi korban manusia dengan melaksakan penanganan non-struktural namun juga harus mempersiapkan pertolongan darurat, bantuan pangan. Berikut adalah persiapan-persiapan tersebut.

(1) Menjaga tempat perlindungan sementara (2) Persiapan stok bahan untuk kondisi darurat

(3) Perjanjian pemberian bantuan dengan dinas/lembaga pemerintah daerah sekitar (4) Melakukan kerjasama dengan dinas/lembaga pemerintahan terkait pencegahan

bencana

(5) Pembentukan sistem evaluasi resiko pos gempa bumi sementara

(51)

3.3

Karakteristik Bencana Gempa Bumi dan Penanganannya di Kota

Pariaman

3.3.1 Karakteristik Bencana Gempa Bumi dan Penanganannya di Kota

Pariaman

1) Bencana Gempa Bumi yang Pernah Terjadi

Pengalaman bencana sebelumnya memberi kita pelajaran berharga untuk melakukan tindakan mitigasi karena gempa bumi besar terjadi secara berkala. Gempa bumi merupakan fenomena yang terjadi karena adanya pergerakan lempeng lithospheric. Kejadian gempa bumi besar memiliki kecenderungan waktu tertentu sedangkan kecepatan pergerakan lempeng lithospheric hampir konstan. Terjadinya kembali gempa bumi besar yang menyebabkan dampak hebat termasuk sangat lama dibandingkan dengan usia manusia (yaitu 200~1000 tahun). Sehingga, meskipun seseorang tinggal di suatu daerah dalam waktu yang lama belum tentu akan mengalami peristiwa gempa bumi dahsyat. Dokumen tentang kejadian lalu dan hasil penelitian survei arkeologis tentang gempa bumi masih sedikit di Indonesia. Namun, fakta tersebut tidak menunjukkan bahwa gempa bumi besar tidak terjadi di Indonesia. Lingkungan tektonis lempeng dan kejadian gempa bumi lalu harus dibahas secara meluas berkenaan dengan frekuensi dan magnitudo kerawanan seismik. Sebenarnya, kerawanan gempa bumi di Indonesia lebih besar dibandingkan di Jepang bila kita hanya menghitung gempa bumi yang menyebabkan kematian 100 jiwa atau lebih menggunakan “Database Utsu” atau “Database USGS”. Tentu saja, jumlah total korban manusia akibat gempa bumi juga akan dibahas disini. Kerusakan akibat getaran tidak dibahas secara terpisah dari kerusakan akibat gelombang laut seismik

(52)

Tabel 3.3.1 Gempa Bumi yang Merenggut 100 Jiwa atau Lebih di Indonesia (1/2) (Web:http://iisee.kenken.go.jp/utsu/utsuweq_bak.html)

Tabel 3.3.2 Gempa Bumi yang Merenggut 100 Jiwa atau Lebih di Indonesia (2/2) (Web:http://infotrek.er.usgs.gov/)

(53)

Frekuensi dan magnitudo gempa bumi harus dibahas dengan melihat struktur lingkungan lempeng dan gempa bumi besar yang pernah terjadi. Indonesia memiliki perbatasan lempeng di bagian selatan Sumatra dan Pulau Jawa. Lempeng oseanik bertumbukan dengan dasar pulau. Zona tumbukan terletak di parit Sunda. Gempa bumi dahsyat disebabkan oleh patahan yang berbalik di zona patahan

Gambar 3.3.1 Parit Sunda

Gempa bumi dahsyat yang baru terjadi di zona ini adalah Gempa Bumi Andaman pada 26 Desember 2004 dengan M w9.1 dan Gempa Bumi Bengkulu pada 12 September 2007 dengan Mw8.4. Kerusakan bangunan akibat getaran gempa ini dianggap kecil karena sebagian besar kerusakan diakibatkan oleh gelombang laut seismik. Tentu saja, pergerakan tanah permukaan di daerah bencana ini lebih kecil dibandingkan dengan perkiraan nilai magnitudo pusat gempa. Ada 2 faktor yang menyebabkan yaitu kecepatan rekahan pada patahan ini relatif lambat dan jarak pusat gempa dari daerah berpopulasi banyak jauh. Namun, kerusakan hebat biasanya tidak disebabkan oleh pergerakan gempa bumi yang besar karena memang ketahanan bangunan perumahan terhadap gempa di daerah ini lemah.

Pusat gempa bumi dominan yang lain adalah patahan hebat Sumatra yang berlokasi di sepanjang Pulau Sumatra. Mekanisme patahan ini adalah pergeseran horizontal ke kanan (dextral strike-slip

fault). Magnitudo gempa bumi yang dipicu di patahan ini lebih kecil dibandingkan di zona

tumbukan tapi pergerakan tanah permukaan dan kerusakan bisa sangat serius jika daerah berpenduduk padat terletak di dekat patahan.

(54)

Gambar 3.3.2 Patahan Hebat Sumatra

Gempa bumi hebat yang baru terjadi yang dipicu di patahan ini adalah Gempa Bumi Solok pada 6 maret 2007 dengan magnitudo Mw 6.3. Dua gempa bumi berbeda terjadi selama 2 jam di bagian tenggara dan barat laut Danau Singkalak.

Gambar 3.3.3 Patahan Gempa Bumi Solok pada 6 Maret 2007

Sumber: (DANNY HILMAN NATAWIDJAJA, ADRIN TOHARI, EKO SUBOWO, AND MUDRIK R. DARYONO : A Review

On The Sumatran Fault Zone And The 6 March 2007 Events (M 6.4 & 6.3) Di Danau Singkarak, Sumatra Tengah, APRU/AEARU Research Symposium on Earthquake Hazards around the Pacific Rim 21-22 Juni, Nikko Hotel, Jakarta,

(55)

Ada contoh lain di dekat daerah gempa di Kota Yogyakarta (yaitu, 27 Mei 2006 Gempa Bumi Yogya MW 6.5). Hubungan antara kerusakan dengan intensitas pergerakan tanah permukaan di

Kabupaten Bantul ditetapkan sebagai tolak ukur fungsi keterancaman dalam laporan ini.

Kondisi seismik yang telah disebutkan di atas juga serupa dengan keadaan di Jepang sehingga pengalaman Jepang berkenaan dengan kerawanan gempa harus dipelajari.

2) Faktor-Faktor Kerusakan Akibat Gempa Bumi

Kerusakan akibat gempa bumi dibagi kedalam 3 aspek, yaitu: 1. Kerusakan bangunan akibat getaran tanah

2. Kerusakan akibat kondisi tanah seperti lereng longsor atau retakan 3. Kerusakan akibat gelombang laut seismik

Aspek 1 dan 2 di atas cenderung dilupakan setelah terjadinya gempa bumi karena kerusakan akibat gelombang laut seismik memberikan kesan berlebih terhadap korban. Aspek 1 dan 2 tersebut benar-benar berbeda dengan gelombang laut karena kita mempunyai waktu ekstra untuk mengurangi dampak kerusakan akibat seismik gelombang laut. Namun kerusakan bangunan akibat getaran tanah terjadi secara langsung. Segala peringatan tidaklah efektif, hanya penguatan struktur bangunan yang dilakukan sebelumnya merupakan cara efektif mengurangi dampak bencana. Segala upaya yang dilakukan setelah terjadinya gempa tidak dapat mengurangi jumlah kematian.

3.3.2 Peta Rawan Bencana Gempa Bumi di Kota Pariaman

1) Dasar Pembuatan Peta Rawan Bencana Gempa Bumi

Kata “Rawan” diartikan sebagai penyebab terjadinya bencana. Sehingga, persebaran intesitas percepatan permukaan tanah harus ditunjukkan di “Peta Rawan”. Tidak ada aspek lain yang penting untuk Peta Rawan Bencana Gempa Bumi bila definisi di atas dianggap beralasan. Intensitas percepatan permukaan tanah dijelaskan di setiap bagian hubungan di daerah kajian dengan menggunakan judul “Peak Ground Acceleration/Percepatan Tanah Puncak” (atau disini disebut PGA) atau “Modified Mercalli Intensity scale/Skala Intensitas Mercalli yang Dimofikiasi”(atau disini disebut MMI).

Dasar selanjutnya yang harus dibahas pada bab ini, adalah bagaimana mendefinisikan nilai target intensitas percepatan permukaan tanah. Umumnya, ada kecenderungan tetap hubungan antara magnitudo gempa bumi dengan frekuensi kejadian. Hal tersebut berarti gempa bumi kecil bisa sering terjadi, tapi gempa bumi besar jarang terjadi.

Referensi

Dokumen terkait

kromatogra8 kolom dan kromatogra8 lapis tipis. Pemisahan kromatogra8 adsorbsi biasan$a menggunakan "ase normal dengan menggunakan "ase diam silika gel dan alumina,

Kegiatan pengembangan tanaman semusim dilaksanakan oleh petani/kelompok tani, dan koperasi yang telah ditetapkan melalui penetapan petani dan lokasi penerima kegiatan

Pada sisi reheater katup pengaman diset lebih rendah dari pada sisi masuknya dengan tujuan yang sama% yaitu men$egah pipa reheater o6erheat Banyaknya katup pengaman dengan ukuran

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui perbedaan prestasi membaca bahasa Jerman antara peserta didik kelas XI SMA Negeri I Sedayu Bantul yang diajar dengan

memilih tema di antara tema fikih seperti thaharah, kemudian mengum- pulkan setiap ayat Alquran yang terkait dengan tema tersebut, dan menjelaskan setiap ayat sesuai

Pelayanan Informasi Obat menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek merupakan kegiatan yang

Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui informasi perkembangan pemerolehan unsur-unsur fonologi (vokal dan konsonan) pada anak usia dua tahun

Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871- 1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia