• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daftar Isi. Daftar Isi Pendahuluan... 4

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Daftar Isi. Daftar Isi Pendahuluan... 4"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2

Daftar Isi

Daftar Isi ... 1

Pendahuluan ... 4

Bab 1 : Kapan Dibolehkan Tayammum? ... 8

1. Tidak Adanya Air ... 9

2. Sakit ... 11

3. Suhu Sangat Dingin ... 14

4. Air Tidak Terjangkau ... 16

5. Air Tidak Cukup ... 21

6. Habisnya Waktu ... 22

Bab 2 : Wudhu Dengan Mengusap Kerudung... 23

(3)

3

2. Qiyas Mengusap Kerudung dengan Khuff ... 31

Bab 3 : Berwudhu Tanpa Melepas Kaus-kaki ... 32

1. Pensyariatan ... 34

2. Bukan Sembarang Sepatu ... 36

3. Ketentuan Dalam Melakukan ... 42

4. Yang Membatalkan ... 45

5. Kesimpulan dan Solusi ... 48

Bab 4 : Berwudhu Dalam Kendaraan ... 53

1. Wudhu Atau Tayammum? ... 53

2. Teknis Wudhu di Kendaraan ... 55

3. Kesulitan Untuk Tayammum ... 64

(4)

4

Pendahuluan

Setiap muslim wajib mengerjakan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Dan shalat itu tidak sah apabila dilakukan tidak dalam keadaan suci dari najis dan hadats.

Bersuci dari hadats yang paling sering dihadapi bukan hadtas besar, melainkan justru hadats kecil. Hadats kecil diangkat dengan cara berwudhu’ dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan.

Sedangkan kedudukan tayammum sebagai pengganti sementara dari wudhu, menurut mazhab Asy-Ssyafi’i sifatnya hanya sekedar membolehkan shalat, namun pada dasarnya belum sampai mengangkat hadatsnya itu sendiri.

Dalam hal ini memang sedikit berbeda bila dibandingkan dengan mazhab Hanafi yang memandang bahwa antara wudhu dan tayammum bersifat equal atau setara. Keduanya dianggap sama-sama berfungsi penuh

(5)

5

untuk mengangkat hadats. Manakala tidak dimungkin berwudhu,

mengangkat hadatsnya cukup dengan bertayammum.

Untuk konteks kekinian, meski tetap masih berprinsip yang sama, namun muncul beberapa masalah terkait dengan berwudhu dan bertayammum ini.

Maka dalam kajian fiqih kontemporer kali ini kita akan membedah masalah-masalah kekinian seputaran wudhu dan tayammum. Dengan tetap berlandaskan konsep fiqih klasik yang sudah baku, namun dengan beberapa penyesuaian dengan masalah-masalah kekinian.

Beberapa masalah itu antara lain :

▪ Dalam beberapa kondisi, sampai batas apa kita dibolehkan mengganti wudhu dengan tayammum? Apakah di tengah kemacetan sudah dimungkinkan tayammum? Atau berada di atas kendaraan sudah dianggap darurat dan bisa langsung tayammum

(6)

6

saja?

▪ Bolehkah para wanita berwudhu tanpa melepas kerudung dan hanya dengan menguasapnya saja? Hal itu disebabkan tempat wudhu yang tidak memungkinkan wanita melepas kerudung.

▪ Bolehkah ketika berwudhu di westafel, kita tidak mencuci kaki, namun hanya mengusapnya saja? Alasannya karena tolietnya jenis yang lantainya kering, lagi pula terasa kurang adab kalau menaikkan kaki ke westafel.

▪ Ketika kita sedang berada di dalam kendaraan dan terpaksa harus shalat, muncul masalah tentang bagaimana tata cara wudhu’nya. Apakah bisa langsung diganti begitu saja dengan cara tayammum, atau masih tetap wajib berwudhu’ karena syarat kebolehan tayammum belum terpenuhi?

(7)

7

berikut dalam kerangka fiqih kontemporer. Pembahasan rincinya jelas tidak

akan kita temukan dalam kitab fiqih klasik masa lalu, karena kita sedang membahas fiqih dengan kaitannya realitas di masa sekarang.

(8)

8

Bab 1 : Kapan Dibolehkan Tayammum?

Dalam keadaan yang bagaimana kah kita boleh bertayammum? Dan kapan kita belum boleh bertayammum?

Sebenarnya hukum tayammum ini ada dua macam, yaitu wajib dan boleh. Kedua keadaan itu disebutkan dengan dua istilah berbeda.

▪ Yang pertama adalah fuqdanul ma'i, yaitu keadaan dimana kita wajib bertayammum lantaran tidak ada air, meski sudah dicari atau diusahakan dengan sungguh-sungguh.

▪ Yang kedua adalah adamul qudrah 'alal ma'i, yaitu keadaan dimana kita dibolehkan bertayammum kalau tidak mampu. Pada kondisi ini air ada tetapi kita tidak mampu menggunakannya lantaran sebab-sebab tertentu.

(9)

9

1. Tidak Adanya Air

Dalam kondisi tidak ada air untuk berwudhu’ atau mandi janabah, bukan berarti shalat menjadi gugur kewajibkannya. Dan saat itulah tayammum menjadi wajib hukumnya. Maka wajiblah bagi seseorang yang tidak menemukan air untuk bersuci lewat tayammum dengan tanah.

Namun ketiadaan air itu harus dipastikan terlebih dahulu dengan cara mengusahakannya, baik dengan cara mencarinya atau membelinya.

Dan sebagaimana yang telah dibahas pada bab air ada banyak jenis air yang bisa digunakan untuk bersuci termasuk air hujan, embun, es, mata air, air laut, air sungai dan lain-lainnya. Dan di zaman sekarang ini ada banyak air kemasan dalam botol yang dijual di pinggir jalan semua itu membuat ketiadaan air menjadi gugur.

Bila sudah diusahakan dengan berbagai cara untuk mendapatkan semua jenis air itu namun tetap tidak berhasil barulah tayammum dengan

(10)

10

tanah dibolehkan.

Dalil yang menyebutkan bahwa ketiadaan air itu membolehkan tayammum adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini :

اَّنُك

؟ ِيل َصُت ْنَأ َكَعَنَم اَم : َلاَقَف ٍلِ َتَْعُم ٍلُجَرِب َوُه اَذ

اَف ِساَّنل ِبِ َّلَّ َصَف ٍرَف َس ِفي الله ِلو ُسَر َعَم

ِ

َكيِفْكَي ُهَّن

اَف ِديِع َّصلِبِ َكَيلَع : َلاَق ءاَم َلاَو ُةَبَانَج ِنِْتَبا َصَأ : َلاَق

ِ

Dari Imran bin Hushain radhiyallahuanhu berkata bahwa kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Belaiu lalu shalat bersama orang-orang. Tiba-tiba ada seorang yang memencilkan diri (tidak ikut shalat). Beliau bertanya"Apa yang menghalangimu shalat ?". Orang itu menjawab"Aku terkena janabah". Beliau menjawab"Gunakanlah tanah untuk tayammum dan itu sudah cukup". (HR. Bukhari dan Muslim)

(11)

11

Bahkan ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa selama seseorang

tidak mendapatkan air maka selama itu pula dia boleh tetap bertayammum meskipun dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus.

الله ُلو ُسَر ِلي رَمَأَف ةَنْيِدَلما ُتْيَوَتْجِا : َلاَق ٍيرَذ ِبيَأ ْنَع

s

ُتْلُقَف َّ ِبَِّنلا ُتْيَتَأَف اَ ْيِْف ُتْنُكَف ٍلِب

ِ

ِبِ

اَنَجلِل ُضَّرَعَتَأ ُتْنُك : َلاَق ؟ َ ُلُاَح اَم : َلاَق ٍيرَذ وُبَأ َ َلََه :

َّن

ا : َلاَقَف ءاَم ِبي ْرُق َسْيَلَو َةَب

ِ

َ ْيِن ِ س َ ْشَْع َءاَلما ْدَِيَ ْمَل ْنَمِل ٌرْوُه َط َدْيِع َّصلا

Dari Abi Dzar radhiyallahuanhu bahw Rasulullah SAW bersabda"Tanah itu mensucikan bagi orang yang tidak mendapatkan air meski selama 10 tahun". (HR. Abu Daud Tirmizi Nasa’i Ahmad).

2. Sakit

Penyebab tayammum yang kedua adalah sakit. Dalam keadaan sakit, maka hukum bertayammum bukan wajib melainkan hukumnya boleh.

(12)

12

Kalau dibilang wajib, maka orang yang sakit itu jadi haram berwudhu'.

Tentu hukumnya bukan haram, melainkan boleh pilih salah satu, boleh tetap berwudhu saja tapi boleh juga diganti dengan tayammum.

Tetapi manakala sakitnya itu sangat parah dan benar-benar 100% tidak boleh kena air, maka bertayammum menjadi wajib baginya.

Tidak boleh terkena air itu karena ditakutnya akan semakin parah sakitnya atau terlambat kesembuhannya oleh sebab air itu, baik atas dasar pengalaman pribadi maupun atas petunjuk dari dokter atau ahli dalam masalah penyakit itu. Maka pada saat itu wajib baginya untuk bertayammum.

Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini :

َلَأ َسَف ََلََتْحا َّ ُثُ ِه ِسْأَر ِفي ُهَّج َشَف رَجَح اَّنِم ًلاُجَر َبا َصَأَف ٍرَف َس ِفي اَنْجَرَخ : َلاَق ٍرِباَج ْنَع

مُّمَيَّتلا ِفي ًة َصْخُر ِلي َنوُدَِتَ ْلَه ُهَباَ ْصَْأ

ُدِ َنَ اَم : اوُلاَقَف ؟

ءاَلما لََّع ُرِدْقَت َتْنَأَو ًة َصْخُر َ َلُ

(13)

13

ِالله ِلو ُسَر َلََّع اَنْمِدَق اَّمَلَف َتاَمَف َل َسَتْغاَف

r

اَذ

ِ

ا اوُلَأ َس َلاَأ الله ُمُهَلَتَق ُهوُلَتَق : َلاَقَف َ ِلَُذِب َ َبَْخَأ

ِفْكَي َن َكَ اَمَّن

ا لاَؤ ُّسلا ِييَعلا ُءاَف ِش اَمَّن

ِ

اَف ؟ اوُمَلْعَي مَل

ِ

َّ ُثُ ًةَقْرِخ ِهِحْرُج َلََّع َب ِصْعَيَو َمَّمَيَتَي ْنَأ ِهي

ِهِد َسَج َرِئا َس َل ِسْغَيَو اَ ْيَْلَع َح َسْمَي

Dari Jabir radhiyallahuanhu berkata"Kami dalam perjalanan tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya"Apakah kalian membolehkan aku bertayammum ?". Teman-temannya menjawab"Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu bersabdalah beliau"Mereka telah membunuhnya semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah

(14)

14

bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum ...(HR. Abu Daud, Ad-Daruquthuny).

3. Suhu Sangat Dingin

Dalam kondisi yang teramat dingin dan menusuk tulang maka menyentuh air untuk berwudhu adalah sebuah siksaan tersendiri. Bahkan bisa menimbulkan madharat yang tidak kecil. Maka bila seseorang tidak mampu untuk memanaskan air menjadi hangat walaupun dengan mengeluarkan uang dia dibolehkan untuk bertayammum.

Di beberapa tempat di muka bumi terkadang musim dingin bisa menjadi masalah tersendiri untuk berwudhu’ jangankan menyentuh air sekedar tersentuh benda-benda di sekeliling pun rasanya amat dingin. Dan kondisi ini bisa berlangsung beberapa bulan selama musim dingin.

Tentu saja tidak semua orang bisa memiliki alat pemasan air di rumahnya. Hanya kalangan tertentu yang mampu memilikinya. Selebihnya

(15)

15

mereka yang kekurangan dan tinggal di desa atau di wilayah yang

kekurangan akan mendapatkan masalah besar dalam berwudhu’ di musim dingin. Maka pada saat itu bertayammum menjadi boleh baginya.

Dalilnya adalah taqrir Rasulullah SAW saat peristiwa beliau melihat suatu hal dan mendiamkan tidak menyalahkannya.

ُتْيَّل َص َّ ُثُ ُتْمَّمَيَتَف َلَْهَأ نَأ ُتْل َسَتْغا ِن

ا ُتْقَف ْشَأَف دْ َبَلا ِة َدْيِد َش ٍةَدِر َبِ ٍ َلَْيَل ِفي ُتْمَلَتْحِا

ِ

َر َلََّع اَنْمِدَق اَّمَلَف ِحْب ُّصلا َةَلا َص ِبياَ ْصَْأِب

َتيَّل َص و ُرْ َعَ َيَ : َلاَقَف ُ َلَ َ ِلَُذ او ُرَكَذ ِالله لو ُس

َلىاَعَت الله َلْوَق ُتْرَكَذ : ُتْلُقَف ؟بُنُج َتْنَأَو َكِباَ ْصَْأِب

ُكُِب َن َكَ ُالله َّن

ا ُكُ َسُفْنَأ اوُلُتْقَت َلاَو

ِ

اًمْيِحَر

-

َو ِالله ُلو ُسَر َكِح َضَف ُتْيَّل َص َّ ُثُ ُتْمَّمَيَتَف

اًئْي َش ْلُقَي ْمَل

Dari Amru bin Al-’Ash radhiyallahuanhu bahwa ketika beliau diutus pada perang Dzatus Salasil berkata"Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku

(16)

16

bertayammum dan shalat shubuh mengimami teman-temanku. Ketika kami tiba kepada Rasulullah SAW mereka menanyakan hal itu kepada beliau. Lalu beliau bertanya"Wahai Amr Apakah kamu mengimami shalat dalam keadaan junub ?". Aku menjawab"Aku ingat firman Allah [Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu] maka aku tayammum dan shalat". (Mendengar itu) Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata apa-apa. (HR. Ahmad Al-hakim Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny).

4. Air Tidak Terjangkau

Kondisi ini sebenarnya bukan tidak ada air. Air ada tapi tidak bisa dijangkau. Meskipun ada air namun bila untuk mendapatkannya ada resiko lain yang menghalangi maka itupun termasuk yang membolehkan tayammum.

(17)

17

Misalnya seseorang berada di daerah yang rawan pencurian dan

perampokan. Kalau untuk mendapatkan air dia harus pergi meninggalkan kendaraan atau perbekalannya, sehingga ada resiko besar dia akan kehilangan, maka dia boleh bertayammum saja.

b. Resiko Nyawa

Bertayammum juga dibolehkan apabila untuk menjangkau air ada resiko nyawa dipertaruhkan. Kalau sampai nyawa harus menjadi taruhan hanya sekedar untuk mendapatkan air, maka pilihan bertayammum wajib diambil.

Misalnya ditemukan air untuk berwudhu atau mandi, tetapi tempatnya jauh di dasar jurang yang amat dalam. Sementara seseorang tidak mampu untuk menuruni jurang itu. Untuk mendapatkan air dia harus berpikir bagaimana cara yang aman untuk menuruni tebing yang terjal dan beresiko pada nyawanya.

(18)

18

Mungkin dengan susah payah dia bisa berhasil turun ke dasar jurang.

Tetapi kalau ternyata dia tidak bisa kembali lagi dan terjebak di dasar jurang itu selama-lamanya, tentu hal itu harus dihindari. Pada saat itu dia boleh bertayammum saja sebagai pengganti dari wudhu atau mandi janabah.

c. Air Dikuasai Musuh

Dalam keadaan air dikuasai oleh musuh yang sedang dalam keadaan berperang atau terjadi bentrok secara fisik, maka tayammum dibolehkan.

Sebab kalau kita nekad untuk menerobos pertahanan lawan hanya semata-mata untuk merebut air untuk wudhu dan mandi janabah, maka nyawa kita akan menjadi taruhannya. Maka secara hukum syariah, saat itu kita sudah boleh untuk bertayammum.

(19)

19

Bila air hanya bisa didapat di dalam hutan yang liar serta banyak

binatang buasnya, serta ada resiko kita akan diserang oleh binatang buas itu, maka kita cukup bertayammum saja dan tidak perlu mengambil resiko untuk diterkam serta menjadi korban.

Demikian juga, bila kita hanya tidak berhasil menemukan air kecuali hanya ada satu-satunya, yaitu di dalam kandang macan.

Saat itu ada dua pilihan yang bebas kita pilih. Pertama, kita urungkan niat untuk berwudhu dan cukup kita bertayammum saja. Pilihan ini adalah pilihan bijaksana dan sesuai dengan ketentuan syariah. Pilihan kedua adalah nekat masuk ke dalam kandang macan untuk berwudhu', tanpa peduli dengan keberadaan si macan.

Kalau pilihan yang kedua kita ambil, maka saat kita berdoa membaca basmalah untuk berwudhu, macan pun ikut berdoa juga, tetapi doanya adalah doa mau makan.

(20)

20

e. Tidak Ada Alat

Di beberapa tempat, kita bisa menemukan sumber-sumber air. Namun terkadang kita tidak punya alat atau teknologi yang cukup untuk menyedot atau memompa keluar air itu di dalam tanah. Maka pada saat itu, kita dibolehkan untuk bertayammum saja, karena meski pun kita menemukan sumber air, tetapi kita tidak bisa menggapainya karena tidak punya alatnya.

Salah satunya contoh kasusnya ada di Daerah Istimewa Jogjakarya (DIY), tepatnya di Kabupaten Gunung Kidul. Kawasan ini demikian kering, sehingga hingga kedalaman 250 meter belum diketemukan air. Air baru ditemukan kira-kira dibawah kedalaman 360 meter.

Walaupun kering di atas, sebenarnya kabupaten Gunung Kidul memiliki kekayaan alam yang berlimpah di bawah, seperti aliran sungai bawah tanahnya.

(21)

21

atau biasa dikenal dengan daerah kapur. Karst sendiri bahasa umumnya

adalah kawasan yang mudah terlarut air hujan, maka dari itu banyak sekali aliran sungai-sungai bawah tanah dan juga gua-gua di daerah Gunung Kidul ini. Menurut perkiraan, ada lebih dari 400 gua di Kabupaten Gunung Kidul sendiri.

Menggunakan pompa dengan tenaga diesel solar, orang-orang berhasil mendistribusikan air bagi penduduk sekitar tak kurang dari 15-20 liter per hari per orang.

5. Air Tidak Cukup

Kondisi ini juga tidak mutlak ketiadaan air. Air sebenarnya ada namun jumlahnya tidak mencukupi. Sebab ada kepentingan lain yang jauh lebih harus didahulukan ketimbang untuk wudhu’. Misalnya untuk menyambung hidup dari kehausan yang sangat.

(22)

22

anjing yang kehausan maka harus didahulukan memberi minum anjing dan

tidak perlu berwudhu’ dengan air. Sebagai gantinya bisa melakukan tayammum dengan tanah.

6. Habisnya Waktu

Dalam kondisi ini air ada dalam jumlah yang cukup dan bisa terjangkau. Namun masalahnya adalah waktu shalat sudah hampir habis. Bila diusahakan untuk mendapatkan air diperkirakan akan kehilangan waktu shalat. Maka saat itu demi mengejar waktu shalat bolehlah bertayammum dengan tanah.

(23)

23

Bab 2 : Wudhu Dengan Mengusap Kerudung

Bolehkah wanita berwudhu tanpa melepaskan jilbabnya masih dalam keadaan rapat? Hal itu disebabkan tempat wudhu yang terbuka dan bercampur dengan laki-laki sehingga tidak memungkinkan wanita melepas kerudung.

Sebagian ada yang hanya mengusap kerudungnya, karena mendasarkan pada amalan Nabi SAW yang pernah mengusap surbannya.

Yang lain mengqiyaskannya dengan kebolehan mengusap sepatu sebagai pengganti dari mencuci kaki.

Jawabannya tentu tidak dibenarkan, karena praktek yang dilakukan nabi SAW dengan sorbannya itu masih menyentuh rambutnya walaupun hanya sedikit. Dan atas itulah dalam mazhab Asy-Syafi’i, mengusap sebagian rambut dianggap sah mewakili mengusap kepala.

(24)

24

1. Mengusap Kepala : Harus Kena Rambut

Mengusap kepala adalah salah satu rukun dalam berwudhu’, sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

ُْكُ ِسوُءُرِب اوُح َسْماَو

Dan usaplah kepalamu. (QS Al-Maidah: 6)

Yang dimaksud dengan mengusap adalah meraba atau menjalankan tangan yang basah dengan air ke bagian yang diusap. Sebelumnya tangan kita harus dibasahi dengan air.

Sedangkan yang disebut kepala menurut para ulama tidak lain adalah rambut yang tumbuh di kepala, bahkan meski pun tidak ada rambutnya. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang batasannya, apakah harus seluruhnya atau sebagiannya.

(25)

25

b. Seluruh Rambut : Maliki Hambali

Pendapat pertama mengharuskan kita mengusap seluruh rambut, mulai dari depan tempat awal mula tumbuhnya rambut terus diusap dengan kedua tangan bergeser perlahan-lahan ke bagian belakang, lalu dikembalikan lagi ke depan.

Dasarnya karena memang begitulah kebiasaan Rasulullah SAW ketika mengusap kepala. Dan atas dasar itulah mereka menetapkan bahwa tidak sah mengusap kepala kalau tidak menyeluruh bagian rambut.

Pendapat seperti ini umumnya diutarakan oleh para ulama di kalangan mazhab Maliki dan Hambali. Kita cek langsung ke kitab Qawanin Al-Fiqhiyah yang merupakan salah satu kitab fiqih dalam mazhab Maliki karya Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741 H) ada disebutkan ibarahnya sebagai berikut :

ام أو

سْأَّرلا

حسم بجيَف

هعيِ َجَ

ِفي اهرخ أ لى ا ةَ ْبَْلجا قوَف رْع يشلا تبانم لو أ نم هدحو

افَقلا

(26)

26

Adapun kepala maka wajib diusap keseluruhannya dan batasannya dari awal tempat tumbuhnya rambut di atas dahi sampai ke bagian belakang dari kepala.1

Bahkan Al-Hanabilah mewajibkan untuk membasuh juga kedua telinga baik belakang maupun depannya. Sebab menurut mereka kedua telinga itu bagian dari kepala juga.

ِهِح ْسَم َعَم ماِهِح ْسَم ُبوُجُو ِبَه ْذَلما ُسايِقَف ، ِسْأَّرلا نِم ِنناُذُلأاو :ٌل ْصَف

.

Pasal : Dan kedua telinga termasuk bagian dari kepala. Maka mazhab melakukan qiyas bahwa wajib mengusap telinga dengan sebab wajib mengusap kepala.2

1 Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, Ibnu Juzai Al-Kalbi, hal. 20 2 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1, hal. 97

(27)

27

Kalau pakai pendapat pertama ini, jelas apa yang dilakukan oleh wanita

itu dengan tidak membuka kerudung dalam mengusap kepala menjadi tidak sah. Karena mengusap kepala itu harus mengkover seluruh rambut yang ada di kepala, mulai dari depan sampai belakang, bahkan telinga pun masuk sebagai bagian dari kepala.

b. Cukup Sebagian Kepala : Hanafi

Namun sebagian ulama lain mengatakan bahwa mengusap kepala itu tidak harus mengkover seluruh rambut, cukup sebagiannya saja dan sudah dianggap sah.

Yang berpendapat seperti ini umumnya para ulama di kalangan mazhab Hanafi.

وِر َدَمَتْعُلما َّن أ ُل ِصالحاو

ِهِذيِمْلِتو ِمماُهلا ِنْبكَ َنو ُرِيخ أَتُلما شىَم ا ْيَْلَعو ،ِعُبُّرلا ُةَيا

(28)

28

sepermpat kepala. Itulah pendapat para ulama Hanafi mutaakhkhirin seperti Ibnul Humam dan murid-muridnya.1

Kalau pakai pendapat kedua ini pun tetap tidak sah model wudhu’ wanita itu, karena disyaratkan harus minimal seperempat bagian kepala atau rambut terkover dengan tangan yang basah. Dan hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa melepas kerudung.

c. Beberapa Helai Rambut : Syafi’i

Yang paling memungkinkan adalah kalau kita pakai pendapat mazhab Syafi`i. Karena dalam pandangan mazhab ini yang wajib diusap dengan air hanyalah sebagian dari kepala, meskipun hanya sebagian kecil rambut saja.

ا ْسْا ِهْيَلَع قل َطْني ام بِجاولاف

ةَشْبلا نم هردق و أ هرعش ضعب وَلو ح ْسلم

(29)

29

Yang wajib diusap hanya sebatas kategori diusap meski pun sebagian rambutnya atau sebagian kulit kepalanya.1

Dalil yang digunakan beliau adalah hadits Al-Mughirah:

َعو هتَمماع لََّعو هتيصانب حسمو أ َّضَوَت ﷺ ِبَِّنلا ن أ

ِ ْيَّفُلخا لَّ

Nabi SAW berwudhu` dimana Beliau mengusap ubun-ubunnya, 'imamahnya (sorban yang melingkari kepala) dan kedua khuffnya. (HR Muslim)

d. Solusi

Solusi dari masalah yang dihadapi wanita itu yang pertama adalah menggunakan mazhab asli kita sendiri, yaitu mazhab Syafi’i yang membolehkan mengusap hanya pada sebagian rambut saja.

(30)

30

Sehingga caranya tidak harus dengan membuka kerudung, tetapi cukup

memasukkan tangan yang sudah basah ke dalam kerudung dan mengelus atau menyentuh rambutnya. Bisa lewat bagian depan di wajah atau bisa juga lewat bagian bawah. Cukup tangannya saja yang masuk ke dalam kerudung, tanpa harus melepas kerudungnya.

Dan jangan sekali-kali hanya mengusap-usap kerudung karean keliru memahami hadits. Memang hadits ini seringkali disalah-pahami oleh sebagai orang, seolah-olah hadits ini menjadi dalil atas kebolehan mengusap kerudung sebagai pengganti mengusap kepala.

Padahal justru hadits ini secara tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW mengusap sebagian kepala lalu mengusap sorbannya. Jelas sekali beliau SAW bukan hanya mengusap sorban saja, tetapi mengusap sebagian kepala. Dan justru merupakan bagian yang pokok.

(31)

31

kerudung sebagai pengganti mengusap kepala adalah pendapat yang

kurang bisa diterima. Dan tentu saja wudhu' yang seperti itu tidak sah, lantaran kurang satu rukunnya.

Semoga bisa menjadi solusi.

2. Qiyas Mengusap Kerudung dengan Khuff

Juga tidak bisa mengambil qiyas dari syariat mengusap khuff (sepatu yang menutup mata kaki), yang memang dibenarkan sebagai pengganti untuk mencuci kaki dalam wudhu'. Karena ada sekian banyak ketentuan dalam kebolehan mengusap khuff yang tidak bisa diqiyaskan begitu saja.

Penjelasan tentang bagaimaan ketentuan dalam mengusap khuff ini ada pada bab berikutnya setelah bab ini.

(32)

32

Bab 3 : Berwudhu Tanpa Melepas Kaus-kaki

Kebanyakan toilet zaman sekarang, khususnya di gedung yang modern memang tidak menyiapkan kran khusus untuk berwudhu’. Sehingga ketika digunakan untuk berwudhu, bisa digunakan ketika masih membasuh wajah, kedua tangan dan mengusap kepala.

Namun ketika harus mencuci kaki tidak mungkin, karena tidak ada kran khusus untuk itu. Dan rasanya kalau kaki harus naik ke westafel, tentu kurang adab dan tidak etis. Sebab konsep westafel itu untuk mencuci tangan dan bukan untuk mencuci kaki.

Apalagi konsep toilet itu ketika kita masuk, kita masih tetap memakai sepatu, tidak dicopot di luar. Sehingga kalau pun harus mencuci kaki, terpaksa harus mencopot dulu sepatu kita. Dan itu tidak mudah dilakukan.

Dalam keadaan seperti itu, bolehkah kita tidak mencuci kaki, namun hanya mengusap sepatu saja?

(33)

33

oOo

Masalah mengusap sepatu saat wudhu sebagai pengganti mencuci kaki memang ada disebutkan dalam ilmu fiqih. Nama babnya adalah bab

al-mashu 'ala al-khuffain, atau mengusap dua khuff.

Khuff itu boleh dibilang sepatu dan sejenisnya, namun dengan kriteria dan ketentuan yang khusus, tidak sembarang sepatu boleh digunakan.

Praktek ini memang disyariatkan sebagai ganti dari mencuci kaki pada saat wudhu`, sebagai bentuk keringanan yang diberikan oleh Allah kepada umat Islam.

Namun prakteknya harus memenuhi berbagai ketentuan yang telah ditetapkan dalam syariah, sehingga tidak bisa langsung diterapkan begitu saja, manakala prosedurnya belum terpenuhi.

Yang jadi masalah, banyak kalangan yang hanya mencomot begitu saja sepotong hadits dan langsung menerapkannya. Padahal haditsnya bukan

(34)

34

hanya satu tapi ada banyak dan satu dengan yang lainnya ternyata saling

terkait. Kita tidak bisa menerapkan satu hadits sambil meninggalkan ketentuan yang disebutkan dalam hadits yang lain.

Dan untuk memudahkannya, maka para ulama fiqih telah menghimpun seluruh hadits dan mensarikannya menjadi ketentuan yang simple, ringkas dan praktis. Kita mulai dari hadits yang paling dasarnya dulu.

1. Pensyariatan

Pensyariatan mengusap khuff didasari oleh beberapa dalil antara lain hadis Ali r.a

ُلَفسَأ َن َكََل ِي أَّرل ِبِ ُنيِيلا َن َكَ وَل

َِّللّا َلو ُسَر تيَأَر دَقَو ُهَلاعَأ نِم ِحسَلم ِبِ َلىوَأ ِيفُلخا

ِهيَّفُخ ِرِها َظ َلََّع ُح َسمَي

(35)

35

menggunakan akal maka seharusnya yang diusap adalah bagian bawah khuff ketimbang bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah mengusap bagian atas kedua khuffnya.(HR. Abu Daud dan Daru Qudni dengan sanad yang hasan dan disahihkan oleh Ibn Hajar)

َلَعَج

ُّ ِبَِّنلا

ًَلَيَلَو اًموَيَو ِرِفا َسُملِل َّنيِْلاَيَلَو ٍم َّيََأ َةَثلاث

ِيمِقُملِل

-

ِيَّفُلخا َلََّع ِحسَلما ِفي ِنِعَي

Rasulullah menetapkan tiga hari untuk musafir dan sehari semalam untuk orang mukim (untuk boleh mengusap khuff). (HR. Muslim Abu Daud Tirmizi dan Ibn Majah.)

Dari al Mughirah bin Syu’bah berkata : Aku bersama dengan Nabi (dalam sebuah perjalanan) lalu beliau berwudhu. aku ingin membukakan khuffnya namun beliau berkata :’Tidak usah sebab aku memasukkan kedua kakiku dalam keadaan suci". lalu beliau hanya megusap kedua khuffnya (HR. Mutafaqun ‘Alaih)

(36)

36

ُّ ِبَِّنلا َن َكَ

َنا ُرُم أَي

َلا نَأ اًرف َس اَّنُك اَذ ا

ٍم َّيََأ َةَثلاَث اَنَفاَفِخ َعِنزَن

َّلا ا َّنِيِْلاَيَلَو

نِم نِكَلَو ٍةَباَنَج نِم

ٍموَنَو ٍلوَبَو ٍطِئاَغ

Dari Shafwan bin ‘Asal berkata bahwa Rasululah SAW memerintahkan kami untuk mengusap kedua khuff bila kedua kaki kami dalam keadaan suci. selama tiga hari bila kami bepergian atau sehari semalam bila kami bermukim dan kami tidak boleh membukanya untuk berak dan kencing kecuali karena junub (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan At-Tirmizi)

2. Bukan Sembarang Sepatu

Sepatu yang boleh diusap sebagai pengganti dari mencuci kaki ternyata bukan sembarang sepatu, tetapi sepatu yang memenuhi syarat dan ketentuannya, yaitu :

(37)

37

Bila kulitnya terbuat dari kulit hewan yang halal dimakan dan

disembelih secara syar’i, seperti kulit sapi atau kulit kambing, tidak ada masalah. Karena sejak awal kulitnya tidak najis dan tidak termasuk bangkai. Yang jadi masalah apabila sepatu itu terbuat dari kulit bangkai yang hukumnya najis, baik asalnya dari hewan yang halal dimakan tapi matinya tidak syar’i atau kulit hewan-hewan yang dagingnya memang haram dimakan.

Untuk mensucikan kulit bangkai itu, memang ada syariat menyamakan atau dibagh, dimana Rasulullah SAW telah bersabda dalam beberapa hadits :

اَذ

ِ

ا

َغِبُد

ُباَه

ِ

لاا

دَقَف

َرُه َط

Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,"Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,"Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci." (HR.

(38)

38

Muslim)

اَمُّيَأ

ٍباَه

ِ

ا

َغِبُد

دَقَف

َرُه َط

Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)

2. Menutupi Mata Kaki

Sepatu yang sah untuk diusap adalah sepatu dengan laras tinggi, setidaknya menutupi kedua mata kaki. Dasarnya karena mengusap sepatu itu adalah pengganti dari cuci kaki, dimana yang wajib dicuci adalah sampai kedua mata kaki.

َلى

ِ

ا ُكَُلُجرَأَو

ِيَبعَكلا

Dan kedua kakimu sampai dengan kedua mata kaki (QS. Al-Maidah : 6)

(39)

39

itu. Bila penggantinya tidak sampai menutup mata kaki, ada terjadi

ketidak-sesuaian antara yang menggantikan dengan yang digantikan. Maka tidak dibolehkan mengusap khuff yang tidak menutupi mata kaki bersama dengan tapak kaki. Khuff itu harus rapat dari semua sisinya hingga mata kaki. Khuff yang tidak sampai menutup mata kaki tidak masuk dalam kriteria khuff yang disyariatkan sehingga meski dipakai tidak boleh menjalankan syariat mengusap.

3. Tidak Berlubang

Mazhab As-Syafi’iyah dalam pendapatnya yang baru dan mazhab Al-Hanabilah tidak membolehkan bila sepatu itu berlubang atau bolong meskipun hanya sedikit. Sebab bolongnya itu menjadikannya tidak bisa menutupi seluruh tapak kaki dan mata kaki.

Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan mazhab Al-Hanafiyah secara

(40)

40

sedikit terbuka tapi kalau bolongnya besar mereka pun juga tidak

membenarkan. 4. Tidak Tembus Air

Mazhab Al-Malikiyah mengatakan bahwa khuff itu tidak boleh tembus air. Sehingga bila terbuat dari bahan kain atau berbentuk kaus kaki dari bahan yang tembus air dianggap tidak sah.

Namun jumhur ulama menganggap bahwa itu boleh-boleh saja. Sehingga mazhab Al-Hanafiyah pun juga membolehkan seseorang mengusap kaos kakinya yang tebal.

5. Bisa Dipakai Untuk Berjalan Jauh

Sepatu yang dipakai oleh Rasulullah SAW adalah sepatu yang beliau pakai untuk berjalan, baik ketika Beliau berstatus muqim atau pun musafir. Dan jarak minimal untuk safar adalah 4 burud, yang setara dengan 16

(41)

41

farsakh atau di masa sekarang sama dengan 88, 704 kilometer.

6. Bukan Kaus Kaki

Dengan semua kriteria di atas, maka kaus kaki tidak bisa dikiaskan dengan sepatu yang dimaksud, dengan dua alasan :

a. Kaus Kaki Umumnya Tembus Air

Tidak bolehnya mengusap kaus kaki sebagai pengganti cuci kaki ketika wudhu karena kaus kaki itu biasanya terbuat dari bahan yang tembus air. Padahal sepatu Rasulullah SAW itu anti air. Dalam hal ini kalau diqiyaskan antara sepatu dengan kaus kaki, jelas tidak bisa diterima.

b. Kaus Kaki Tidak Bisa Dipakai Berjalan Jauh

Sepatu yang digunakan Rasulullah SAW itu digunakan untuk berjalan, baik dalam keadaan muqim ataupun safar. Sedangkan kaus kaki kalau digunakan untuk berjalan kaki sejauh jarak safar, maka akan robek tidak

(42)

42

bisa digunakan. Maka mengusap kaus kaki tidak memenuhi ketentuan

dalam syariat mengusap sepatu. 3. Ketentuan Dalam Melakukan

Bagi pelakunya ada syarat yang harus dipenuhi agar syariat mengusap sepatu ini bisa sah dan diterima :

1. Sudah Berwudhu Ketika Pakai Sepatu

Sebelum memakai khuff seseorang diharuskan berwudhu atau suci dari hadats baik kecil maupun besar. Sebagian ulama mengatakan suci hadats kecilnya bukan dengan tayamum tetapi dengan wudhu. Namun mazhab As-Syafiiyah mengatakan boleh dengan tayamum.

2. Seterusnya Tidak Boleh Melepas Sepatu

Sepanjang hari sepatu tidak boleh dilepas, sebab melepas sepatu akan membatalkan wudhu’ yang tidak cuci kaki. Maksudnya, bila kita berwudhu’

(43)

43

tanpa mencuci kaki, sebenarnya wudhu’ itu tidak sah.

Namun dengan adanya keringanan mengusap sepatu, maka wudhu’ itu ’dianggap’ sah. Syaratnya, selama pelakunya terus menerus memakai sepatu. Tapi bila dia kemudian melepas sepatunya, maka wudhu’ yang tidak pakai cuci kaki itu pun menjadi kembali seperti semula hukumnya, yaitu belum sah.

3. Shalat pun Tetap Harus Pakai Sepatu

Dengan ketentuan ini, maka shalat yang dilakukan oleh orang yang wudhu’nya tidak cuci kaki dan hanya mengusap sepatunya, ketika dia mau shalat pun tidak boleh melepas sepatu. Shalatnya harus dengan mengenakan sepatu, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat di masa mereka.

َأ َّفُخ َبا َصَأ اَذ

ِ

ا

اَمُهَل ٌروُه َط َ ِلَُذ َّن

اَف اَمِيِْف ل َصُيلَو ِضرَلأا ِفي اَمُهكِلدُيلَف ىًذَأ ُ َلَعَن وَأ ُكُِدَح

ِ

(44)

44

Bila sepatu atau sandal kalian terkena najis maka keset-kesetkan ke tanah dan shalatlah dengan memakai sendal itu. Karena hal itu sudah mensucikan (HR. Abu Daud)

َق َفَ َصَنا اَّمَلَف مُهَلاَعِن ُساَّنلا َعَلَخَف ِهيَلعَن َعَلَخَف َّلَّ َص ِ َّللّا َلو ُسَر َّنَأ ِييِردُلخا ٍديِع َس ِبيَأ نَع

َمِل َلا

َلَخَف َتعَلَخ َكاَنيَأَر ِ َّللّا َلو ُسَر َيَ اوُلاَقَف ُكَُلاَعِن ُتُعَلَخ

اَمِ ِبِ َّنَأ ِنِ َ َبَخَأَف ِنِ َتََأ َليِبَِج َّن

ا َلاَق اَنع

ِ

ِضرَلأ ِبِ ُه َّسِمُيلَف اًثَبَخ اَ ِبِ ىَأَر ن

اَف اَيِْف ر ُظنَيلَف ُ َلَعَن بِلقَيلَف َدِجسَلما ُكُُدَحَأ َءاَج اَذ

ِ

اَف اًثَبَخ

ِ

َّ ُثُ

اَمِيِْف ِيل َصُيِل

Dari Abi Sa'id Al Khudri berkata bahwasanya Rasulullah SAWshalat kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal mereka, ketika selesai beliau bertanya: "Kenapa kalian melepas sandal kalian?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, " beliau bersabda:

(45)

45

"Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada kotoran di kedua sandalku, maka jika di antara kalian mendatangi masjid hendaknya ia membalik sandalnya lalu melihat apakah ada kotorannya, jika ia melihatnya maka hendaklah ia gosokkan kotoran itu ke tanah, setelah itu hendaknya ia shalat dengan mengenakan keduanya." (HR. Ahmad)

Abu Maslamah Said bin Yazid Al-Azdi bertanya kepada Anas bin Malik radhiyallahuanhu :

ن لاق هيلعن في لصي لَسو هيلع الله لَّص بِنلا نكَ أ

مع

"Apa benar bahwa Rasulullah SAW shalat dengan mengenakan kedua sandalnya?". Beliau (Anas bin Malik) menjawab,"Ya". (HR. Bukhari)

4. Yang Membatalkan

(46)

46

khuff ini sehari semalam bagi yang muqim dan 3 hari tiga malam bagi

musafir.

Semua itu terjadi manakala tidak ada hal-hal yang membatalkan kebolehannya. Namun apabila dalam masa sehari semalam atau 3 hari 3 malam itu terjadi sesuatu yang membatalkan kebolehan mengusap khuff, maka secara otomatis selesai sudah masa berlakunya, meski belum sampai batas maksimal waktunya.

Adapun hal-hal yang bisa membatalkan kebolehan mengusap kedua khuff antara lain adalah:

1. Mendapat janabah

Bila seorang yang telah mengenakan khuff mendapatkan janabah, baik karena hubungan suami isteri, atau karena keluar mani, maka dengan sendirinya gugur kebolehan mengusap kedua khuff sebagai ganti dari mencuci kaki dalam wudhu'. Sebab atasnya ada kewajiban yang lebih

(47)

47

utama, yaitu mandi janabah. Dan untuk itu, dia wajib melepas sepatunya,

lantaran kewajiban mandi janabah adalah meratakan air ke seluruh tubuh, termasuk ke kedua kaki. Dan untuk itu dia wajib melepas kedua khuffnya. Dan melepas kedua khuff tentu membatalkan kebolehannya.

2. Melepas atau terlepas sepatu baik satu atau keduanya.

Apabila selama hari-hari dibolehkannya mengusap dua khuff, seseorang melepas sepatunya, maka kebolehan mengusap khuff dengan sendirinya menjadi gugur. Sebab syarat pelaksanan syariat ini adalah selalu dikenakannya kedua khuff tanpa dilepaskan. Jadi 24 jam dalam sehari harus tetap mengenakan. Sekali dilepas, maka batal kebolehannya.

3. Bolong atau robek sehingga terlihat

Dengan bolongnya sepatu sehingga kaki yang di dalam sepatu bisa terlihat, maka kebolehan mengusap dua khuff dengan sendirinya menjadi

(48)

48

batal.

4. Basahnya kaki yang ada di dalam sepatu

Apabila kaki dalam sepatu terkena air hingga basah, maka kebolehan mengusap dua khuff menjadi batal dengan sendirinya. Dalam hal ini, keringnya kaki dalam khuff menjadi syarat sahnya syariat ini.

5. Habis waktunya.

Yaitu satu hari satu malam buat mereka yang muqim dan 3 hari bagi mereka yang dalam keadaan safar. Bila telah habis waktunya, wajib atasnya untuk berwudhu' dengan sempurna, yaitu dengan mencuci kaki. Namun setelah itu boleh kembali mengusap khuff seperti sebelumnya.

5. Kesimpulan dan Solusi

Jadi kesimpulannya bahwa mencuci kaki dalam wudhu itu tidak bisa digantikan begitu saja dengan mengusap sepatu. Sebab ternyata untuk bisa

(49)

49

mengusap sepatu sebagai pengganti cuci kaki justru syaratnya malah

bejibun dan lebih ribet dari pada cuci kaki.

Shalat Harus Pakai Sepatu : Yang paling berat adalah bahwa ternyata shalatnya pun harus tetap pakai sepatu dan tidak boleh dilepas. Masalahnya, dimanakah kita bisa shalat kalau tanpa melepas sepatu?

Jelas tidak mungkin, karena umumnya kita shalat di masjid atau setidaknya di mushalla, dimana urf kita hari ini bahwa seluruh tempat ibadah itu mensyaratkan kita buka alas kaki.

Hal itu berbeda kalau dipraktekkan di masa kenabian, karena di masa itu memang masjid Nabawi sendiri tidak ada alasnya kecuali hanya tanah saja. Dan urf di masa itu, semua orang masuk masjid dengan tetap memakai alasa kaki, termasuk juga Rasulullah SAW sebagai imam shalat.

Sepatu Tidak Memenuhi Syarat : Selain itu hambatan lainnya bahwa model sepatu yang kita kenakan pada umumnya bukan jenis sepatu yang

(50)

50

memenuhi syarat. Kebanyakan kita pakai sepatu kantor yang bukan sepatu

bot. Kulit sepatunya tidak sampai menutupi mata kaki. Sehingga tidak sah kalau dijadikan pengganti dari cuci kaki.

Solusi

Kalau tidak sah, lalu apa solusi yang ditawarkan untuk tetap bisa sah dalam berwudhu’?

Jawabannya tetap harus mencuci kaki, tinggal memikirkan bagaimana cara mencuci kakinya saja. Dan itu tinggal pintar-pintarnya kita saja dalam mensiasatinya. Ada banyak jalan kalau kita mau, asalkan jangan mensiasati ketentuan hukumnya. Siasati saja aturan buatan manusianya, jangan siasati aturan dari Allah.

Salah satunya dengan cara mencuci kaki di dalam tempat buang air besar. Tempat itu pastinya tertutup dan tidak terbuka. Biasanya disediakan semprotan (sprayer) untuk cebok. Kita bisa manfaatkan untuk mencuci

(51)

51

kaki. Sepatunya dilepas lalu kakinya diarahkan di atas lubang wc. Sehingga

kita tetap bisa mencuci kaki.

Biasanya yang ditanyakan apakah sah berwudhu di dalam tempat buang air besar? Tentu idealnya tidak, namun kalau kita lihat ’illat ketidak-bolehannya karena ditakutkan tempat buang air itu banyak najisnya. Sehingga wudhu’ kita menjadi bermasalah.

Padahal kalau kita telaah lebih jauh, terkena najis itu tidak merusak wudhu’. Yang merusak wudhu itu apabila kita lagi shalat dan terkena najis, maka shalat kita batal. Sedangkan berwudhu’ itu tidak harus menghindar dari najis, karena tidak ada hubungannya.

Tapi biar lebih mantab, kenapa wc atau closetnya tidak kita bersihkan saja dulu dari najis? Sirami dulu saja dengan air yang suci dan bersih, sampai kita yakin tidak ada lagi najisnya, lalu kita tinggal mencuci kaki saja di situ. Sedangkan untuk bagian lain sebelumnya, kita sudah lakukan di

(52)

52

westafel.

Solusi lainnya adalah dengan menggunakan sprayer khusus untuk mencuci kaki. Lebih detailnya tentang sprayer ini, kita akan bahas di bab berikutnya.

(53)

53

Bab 4 : Berwudhu Dalam Kendaraan

Ketika kita sedang berada di dalam kendaraan dan terpaksa harus shalat, muncul masalah tentang bagaimana tata cara wudhu’nya. Apakah bisa langsung diganti begitu saja dengan cara tayammum, atau masih tetap wajib berwudhu’ karena syarat kebolehan tayammum belum terpenuhi?

oOo 1. Wudhu Atau Tayammum?

Pada dasarnya tayammum itu dijadikan pengganti wudhu’ ketika tidak ditemukan air. Yang jadi masalah, apa benar di dalam kendaraan itu tidak ada air?

Kalau benar-benar tidak ada air, memang tayammum bisa dilakukan. Tapi dalam kenyataannya, air tetap ada di dalam kendaraan. Buktinya

(54)

54

justru kita malah makan dan minum.

Botol-botol air minum kemasan itu adalah air yang suci dan membuat keadaan tidak ada air menjadi gugur. Prinsipnya selama masih ada air dan cukup, maka tayammum belum bisa menggantikan wudhu’.

Lagi pula tayammum itu sendiri juga bukan hal yang simple kalau kita bicara di kendaraan, seperti pesawat, kereta api atau pun bus. Ini berbeda dengan perjalanan di masa kenabian yang naik unta atau jalan kaki. Cukup turun ke tanah, maka tanah yang kita injak itulah yang kita gunakan untuk bertayammum.

Sementara di dalam kendaraan modern ini justru kita tidak menginjak tanah sama sekali. Mendapatkan tanah justru lebih sulit dari pada mendapatkan air. Mendapatkan air cukup dengan membawa air minum kemasan, sedangkan membawa tanah itu caranya bagaimana? Apakah perlu bawa tupperware? Apa nanti tidak dicurigai petugas di bandara,

(55)

55

dianggap bubuk mesiu atau narkoba.

Sebab bawa tanah itu tidak lazim, tapi bawa air itu justru sangat masuk akal. Maka pemikiran untuk mengganti wudhu dengan tayammum sebenarnya bukan solusi tapi malah mendatangkan masalah baru.

2. Teknis Wudhu di Kendaraan

Saya mengasumsikan kita mau berwudhu di pesawat terbang atau di kereta api. Sebab kalau naik mobil pribadi atau pun bus, tidak perlu meributkan bagaimana berwudhu’ di dalamnya. Sebab kapan saja kita bisa berhenti dan mencari masjid, atau rest area ataupun pom bensin dan seterusnya.

Jadi anggaplah misalnya kita sedang naik pesawat terbang. Ada dua cara yang bisa kita lakukan kalau kita terpaksa harus shalat di pesawat, dimana sebelumnya kita harus berwudhu'.

(56)

56

Cara ini yang paling sering saya lakukan kalau harus berwudhu di

pesawat. Sebab menurut saya, cara ini amat praktis dan sangat mungkin dikerjakan.

Logikanya sederhana sekali. Di dalam toilet itu ada westafel, yang memang disediakan buat para penumpang untuk mencuci tangan dan wajah. Maka sama sekali tidak ada masalah bila kita berwudhu di westafel toilet pesawat. Sebab yang namanya wudhu itu intinya memang cuci tangan dan wajah, ditambah mengusap kepala dan mencuci kaki hingga mata kaki.

Urusan membasuh wajah dan tangan serta mengusap kepala sama sekali tidak ada masalah, karena bisa dilakukan di westafel toilet pesawat. Yang mungkin agak bikin bingung, bagaimana cara mencuci kakinya? Bukankah lantai toilet pesawat itu harus kering dan tidak boleh disiram air? Lagian, kan tidak ada gayung untuk menciduk air, juga tidak ada kran

(57)

57

khusus buat cuci kaki? Apakah kakinya boleh naik ke wetafel?

Jawabannya sederhana saja, kalau bisa menaikkan kaki ke westafel, sebenarnya juga tidak ada larangan. Yang penting jangan sampai airnya muncrat kemana-mana. Tetapi yang lebih baik, cuci kakinya di atas closet tempat buang air. Logikanya, kalau closet itu bisa buat buang kotoran termasuk air kencing, maka kalau cuma digunakan sekedar membasahi kaki, sangat memungkinkan.

Jangan lupa, seusai berwudhu, ambil tissue dan keringkan semua yang basah bekas kita berwudhu. Kebiasaan hidup jorok di rumah jangan dibawa-bawa di pesawat.

Keluar toilet, tidak ada basah sedikit pun dan selesai. Jangan sampai orang menghina agama Islam, cuma gara-gara keteledoran penganutnya.

Tapi cara seperti ini memang perlu banyak latihan, karena kebiasaan kita kalau berwudhu selalu bikin banjir kamar mandi.

(58)

58

b. Wudhu di Kursi Dengan Botol Air Sprayer

Cara lain yang penting untuk diketahui bahwa sebenarnya kita bisa berwudhu dengan menggunakan air yang kita masukkan ke dalam botol sprayer kecil seperti ilustrasi ini.

Cukup diisi air lalu semprotkan butir-butir air itu ke wajah, tangan hingga siku, kepala dan juga kaki. Semua itu bisa kita lakukan tanpa harus meninggalkan kursi tempat duduk kita.

Dan ini juga menjadi jawaban buat mereka meributkan air di toilet tidak akan cukup, kalau semua penumpang harus berwudhu di toilet pesawat.

Dengan cara ini justru kita sama sekali tidak perlu beranjak ke toilet. Cukup semprotkan air ke anggota

(59)

59

wudhu' hingga basah dan mengalirkan air. Lalu kita ratakan pelan-pelan ke

sekujur bagian yang memang harus basah.

Namun yang harus diperhatikan bahwa teknik penggunakan airnya harus disemprotkan terlebih dahulu ke bagian anggota wudhu baru diratakan. Karena ada dua teknik yaitu mencuci dan mengusap. Perhatikan ayat tentang perintah wudhu, khususnya perintah mencuci dan mengusap.

اوُل ِسغاف

ِقِفاَرَلما َلى

ا ُكَُيِديَأَو ُكَُهوُجُو

ِ

اوُح َسماَو

َو ُكُ ِسوُؤ ُرِب

يَبعَكلا َلى

ا ُكَُلُجرَأ

ِ

Cucilah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan usaplah kepalamu dan cucilah kakimu sampai dengan kedua mata kaki... (QS. Al-Maidah : 6)

▪ Cuci : Yang wajib dicuci adalah wajah, tangan dan kaki. ▪ Usap : Sedangkan yang wajib diusap adalah kepala

(60)

60

Mencuci atau ghasl (لسغ) itu mengguyur dengan air dan meratakannya.

Dalam bahasa fiqihnya adalah ( ءاملا رارما) atau mengalirkan air pada permukaan anggota wudhu dan meratakannya.

Dan itu kita lakukan biasanya dengan menautkan kedua tangan kita di bawah kran agar terisi air lalu kita tuangkan air dalam genggaman itu ke wajah, tangan dan kaki. Kadang tangan dan kaki kita malah langsung kita letakkan di bawah kran agar basah, lalu kita ratakan. Sunnahnya dilakukan masing-masing tiga kali, tapi kalau pun hanya sekali sudah dianggap sah.

Oleh karena itulah ketika kita tidak berwudhu’ di bawah kran air, tapi di kursi penumpang, botol kecil sprayer itu berfungsi sebagai pengganti kran. Semprotkan dan arahkan ke wajah, tangan dan kaki.

Bentuknya berupa butiran-butiran air yang menyembur itu mirip dengan air hujan yang turun dari langit, hanya areanya amat terbatas. Sehingga tidak akan tumpah ruah membasahi kursi tempat duduk kita.

(61)

61

Tidak akan ada aliran air di dalam kabin, karena semprotan itu dibuat amat

terbatas, namun tetap mencukupi kebutuan untuk mencuci wajah, tangan dan kaki.

Peringatan :

▪ Jangan semprotkan ke telapak tangan lalu diusapkan, karena akan menghilangkan makna mencuci dan berpindah jadi mengusap. Tapi semprotkan sejumlah tetes air ke bagian wajah, tangan dan kaki. ▪ Kalau kita pakai jaket atau kemeja lengan panjang, harus kita

gululung dahulu lengan baju sebelum berwudhu'.

▪ Demikian juga, kalau kita mengenakan sepatu dan kaus kaki, ada baiknya sebelumnya kita copot terlebih dahulu. Lalu pasang niat wudhu dan semprot-semprot, lalu selesai sudah. Mudah sekali, bukan?

(62)

62

lebih, botol kecil ini sangat bermanfaat untuk membuat mereka berwudhu

seluruhnya, tanpa harus antri wudhu di toilet dan tanpa mengambil jatah air toilet.

Apakah Air di Botol Kecil Itu Cukup?

Mungkin ada yang bertanya, apakah boleh wudhu dengan air di botol sekecil itu? Bukankah syarat untuk berwudhu’ harus air yang banyak dan tidak kurang dari dua qullah?

Jawabannya, syarat air yang digunakan untuk wudhu adalah air mutlak yang suci dan mensucikan. Tetapi dari segi jumlah tidak harus berjumlah dua qullah.

Air dua qullah itu adalah batas air sedikit, yang apabila ke dalam air yang kurang dari dua qullah itu kemasukan air musta'mal, maka air itu akan ikut jadi musta'mal dan tidak bisa digunakan untuk mengangkat hadats. Jadi kalau kemasukan air musta'mal saja, dia baru jadi musta'mal. Namun

(63)

63

itu terjadi manakala airnya kurang dari 2 qullah.

Adapun air suci mensuikan yang kita masukkan ke dalam botol, meski jumlahnya sedikit tapi tertutup rapat, mana mungkin bisa kemasukan air musta'mal?

Botolnya tertutup rapat, sehingga meski airnya kurang dari dua qullah, akan tetap menjadi air mutlak yang suci dan mensucikan.

Kita bicara air 2 qullah itu manakala kita berwudhu pakai ember misalnya. Dimana sambil kita berwudhu’, ada sebagian tetes-tetes air bekas wudhu’ kita yang akan masuk tanpa sengaja ke dalam ember. Dan karena kapasitas air di ember kurang dari 2 qullah, air itu jadi musta’mal ketetesan bekas air wudhu kita.

Namun kalau kita masukkan air itu ke dalam botol, lalu kita tutup botol itu dan kita lubangi di bagian bawah sehingga airnya mengucur ke bawah, dan kita gunakan untuk berwduhu, tentu tidak ada kekhawatiran akan

(64)

64

kemasukan tetes air bekas wudhu’.

Maka begitu juga manakala kita wudhu pakai air yang kita tutup rapat di botol sprayer, tidak akan kemasukan air bekas wudhu, sehingga tidak ada resiko menjadi air musta’mal, meski air di botol itu hanya sedikit.

3. Kesulitan Untuk Tayammum

Dengan dua teknik wudhu di atas, bagaimana mungkin kita masih saja beralasan bahwa di dalam pesawat tidak ada air, lantas tiba-tiba kita harus bertayammum?

Bukankah untuk boleh tayammum, kita masih wajib mengusahakan air terlebih dahulu, bahkan lebih afdhal menunda shalat karena masih mengusahakan air dari pada shalat di awal waktu dengan tayammum.

Dan secara teknis, ternyata untuk bisa bertayammum di dalam pesawat, justru malah kita mendapatkan kesulitan. Sebab tayammum itu tidak sah kecuali dengan menggunakan tanah. Dasarnya adalah firman

(65)

65

Allah SWT sendiri ketika menjelaskan bagaimana cara bertayammum.

اًبِيي َط اًديِع َص اوُمَّمَيَتَف

maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik.(QS. An-Nisa : 43)

Para ulama sepakat memaknai turab itu bukan debu yang beterbangan, melainkan tanah yang kita injak. Perhatikan hadits berikut ini :

ُج

ِع َل

َلأا ت

ُضر

ُُّك

َه

ِلي ا

َو

ِ لأ

َّم

ِت

َم

ِجس

ًد

َو ا

َط

ُه

ًرو

َف ا

َأ

َني

َم

َأ ا

َرد

َك

َر ت

ُج

ًلا

ِم

ُأ ن

َّم

ِت

َّصلا

َلا

ُة

َف ِع

َدن

ُه

َم

ِجس

ُد

ُه

َو ِع

َدن

ُه

َط

ُه

ُرو

ُه

Telah dijadikan bumi (tanah) seluruhnya untukkku dan ummatku sebagai masjid dan pensuci. Dimanapun shalat menemukan seseorang dari umatku maka dia punya masjid dan media untuk bersuci. (HR. Ahmad)

(66)

66

menjadi bumi atau tanah tempat berpijak. Nanti sebagian ulama ada yang

memperluas pengertiannya dari yang asalnya tanah tempat kita berpijak menjadi debu-debu yang beterbangan lalu menempel di tembok dan di segala benda di sekeliling kita. Menurut mereka, pada dasarnya debu-debu yang menempel di dinding itu bagian dari tanah juga, sehingga boleh digunakan untuk bertayammum.

Anggaplah kita terima perluasan yang mereka ijtihadkan, kita boleh bertayammum dengan menggunakan debu-debu tanah yang menempel di permukaan benda di sekeliling kita.

Tapi yang jadi masalah, kita sedang tidak berada di atas tanah. Jadi cerita ada debu-debu di atas tanah kering tertiup angin lalu menempel di dinding itu hanya terjadi manakala kita di atas tanah atau di bumi.

Sementara kita sedang berada di dalam kabin pesawat, yang alasnya bukan tanah melainkan besi. Di dalam kabin tidak ada tanah dan tidak ada

(67)

67

angin yang menerbangkan debu hingga menempel di dinding pesawat.

Udara di dalam kabin itu setiap saat dibersihkan, bahkan kalau pun ada debu-debu menempel di kursi atau dinding pesawat, tentunya juga divacum oleh petugas kebersihan.

Dan untuk membuktikannya, coba tempelkan telapak tangan kita di benda-benda dalam pesawat, entah itu sandaran kursi, jendala atau pun dinding pesawat. Setelah itu angkat dan lihat dengan mata kepala, adakah di situ menempel debu yang dimaksud? Coba rasakan pakai ujung jari, adakah debu menempel di sana?

Jawabannya pasti tidak tidak ada. Kecuali kalau kita main paksa bahwa debu dengan ukuran mikroskopis masuk hitungan. Jadi kita bertayammum bukan lagi pakai tanah atau debu, tapi pakai partikel-partikel mikroskopis.

Oke, coba kita ikuti alur logikanya. Anggaplah kita boleh bertayammum dengan menggunakan partikel ukuran mikroskopis, asal tahu saja bahwa

(68)

68

partikel semacam itu tidak harus menempel di dinding, tapi juga

melayang-layang di udara.

Kalau memang demikian, seharusnya tayammum itu tidak perlu menempelkan telapak tangan ke dinding, cukup tinggal kita kepak-kepakakkan saja kedua telapak tangan kita di udara. Dan untuk wajah, cukup kita geleng-gelengkan saja wajah kita di udara. Toh sudah ada banyak partikel ukuran mikro di tangan dan wajah kita.

Bukankah di udara yang kita hirup ini beterbangan debu-debu ukuran mini mikroskopis juga?

Tentu saja tidak akan bisa dijawab, karena pada dasarnya teknik tayammum semacam itu tidak bisa diterima. Mana ada tayammum pakai udara? Tayammum itu pakai tanah atau debu. Tapi kalau tanah dan debunya tidak ada, maka namanya bukan tayammum. Namanya pantomim tayammum. Pura-pura tayammum tapi tanpa tanah tanpa debu.

(69)

69

Seperti pantomim wudhu, melakukan gerakan seperti sedang wudhu,

tapi tanpa air. Jelas tidak sah cara wudhu semacam itu. Kecuali kita lagi-lagi mengarang bebas dengan mengatakan bahwa di udara ini juga terdapat uap air yang beterbangan. Maka cukup berpantomim wudhu di udara, toh udara juga mengandung kadar tertentu dari uap air.

Tapi logika semacam itu belum pernah diungkap oleh siapa pun dari para ulama. Mana ada wudhu; bila tanpa air? Mana ada tayammum bila tanpa tanah atau debu?

4. Keutamaan Wudhu' Dari Tayammum

Dengan alur logika di atas, kalau pun kita masih mau merepotkan diri dengan bertayammum, tidak apa-apa juga. Dengan catatan penting bahwa kita sudah menabrak banyak aturan. Pertama, tidak ada tayammum selama masih ada air padahal air masih ada. Kedua, menabrak aturan bahwa tidak sah tayammum tanpa tanah atau debu.

(70)

70

Tetap saja berwudhu’ lebih afdhal dan lebih tepat dengan beberapa

pertimbangan :

a. Wudhu Cukup Sekali Tayammum Harus Berkali-kali

Shalat di dalam pesawat kalau memang harus dikerjakan, sebaiknya dilakukan dengan cara dijamak saja. Dengan demikian, kita tidak perlu bolak-balik berwudhu untuk tiap shalat. Cukup sekali berwudhu', dan dua shalat bisa kita kerjakan sekaligus.

Sedangkan kalau pakai tayammum, maka tiap kali shalat harus tayammum lagi. Walau pun shalatnya dijamak, tetapi tetap untuk waktu shalat yang berbeda dibutuhkan tayammum sendiri-sendiri.

Kalau kita habis shalat zhuhur dan ashar, masuk maghrib, maka kita harus tayammum lagi, karena sudah pindah waktu. Kalau mau shalat lagi, ya harus tayammum lagi. Dan ini jelas merepotkan, karena harus tayammum berulang-ulang.

(71)

71

b. Wudhu' Mengangkat Hadats, Tayammum Sekedar Membolehkan Shalat

Dengan pandangan jumhur ulama yang menyatakan bahwa tayammum sesungguhnya tidak mengangkat hadats, maka status orang yang bertayammum tetap berhadats, walaupun sudah tayammum.

Jadi misalkan jamaah haji dianjurkan tayammum di pesawat, dalam pendapat jumhur ulama mereka tetap tidak diperbolehkan menyentuh mushaf Al-Quran, sebab status mereka tetap masih berhadats.

Tetapi kalau jamaah haji berwudhu, maka selama belum batal, bisa melakukan shalat berulang kali, boleh pegang mushaf, dan lainnya.

c. Wudhu' Adalah Perkara Yang Muttafaq, Tayammum Masih Ikhtilaf

Wudhu' dengan air adalah perkara yang tidak ada khilafiyahnya sama sekali. Sedangkan bertayammum, penuh dengan khilafiyah.

▪ Khilafiyah pertama sudah dijelaskan di atas, yaitu umumnya ulama masih belum membolehkan kita bertayammum kecuali setelah

(72)

72

mengusahakan air terlebih dahulu. Dan ternyata airnya ada, cuma

hanya karena 'ogah' dan malas saja, sehingga kita memperkosa ayat yang menyebutkan bahwa Allah SWT menghendaki yang mudah dan tidak menghendaki yang susah.

▪ Khilafiyah kedua, tayammum dengan menggunakan jok kursi dan dinding pesawat tentu akan jadi sangat kontroversial. Sebab yang disebutkan di dalam Al-Quran adalah bertayammum dengan tanah dan bukan dengan debu mikroskopik tak terlihat mata.

(73)

73

Referensi

Dokumen terkait

Dari hadis diatas rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya , agar menuntut ilmu, terutama sekali adalah ilmu agama kepada orang yang menguasai ilmu tersebut,

Mata pelajaran Bahasa dalam Pendidikan Awal Kanak-Kanak ini disediakan untuk membolehkan pelajar mengetahui tentang perkembangan bahasa kanak- kanak prasekolah yang meliputi teori

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1) Dari aspek non finansial yaitu aspek teknis, mesin pengering gabah

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten, maka Pemerintah Provinsi Banten melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal

Dalam makalah ini data yang dipergunakan untuk proses pencocokkan license plate adalah data hasil survey asal-tujuan dengan metode pencatatan license plate selama 15 jam

103 Teguh Fasty Syaputra UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA Teknik Industri UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN

Hasil penelitian tentang berat badan bayi baru lahir pada ibu hamil yang berpantang makanan di Desa Prajekan Kecamatan Prajekan Kabupaten Bondowoso menunjukkan bahwa sebagian

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa agama adalah suatu ajaran yang sudah ada sejak dahulu, diwarisi secara turun temurun yang berfungsi sebagai pegangan dan pedomana hidup