12 BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengenalan Bab
Bab ini membahas mengenai seluruh teori yang mendasari tema penelitian yang dilakukan oleh peneliti serta dasar hukum yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan retribusi parkir. Hal pertama yang akan dibahas adalah penjelasan dasar hukum mengenai mekanisme retribusi parkir termasuk ketentuan-ketentuan perizinan, pidana serta larangan, juga dasar hukum mengenai pengendalian serta definisi-definisi yang sesuai dengan tema penelitian . Kedua mengenai teori fraud yang berhubungan dengan praktik pengelolaan retribusi parkir. Ketiga adalah pembahasan mengenai penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan tema penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Definisi Parkir
Menurut definisinya, parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya. (Pemerintah Kabupaten Sleman, 2012).
2.2.2 Definisi Perparkiran
Perparkiran adalah seluruh kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan fasilitas parkir meliputi pengaturan, pembangunan,
13
pembinaan, pengawasan, dan pengendalian sesuai dengan kewenangannya (Pemerintah Kabupaten Sleman, 2015).
2.2.3 Retribusi Parkir
Retribusi parkir dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu Retribusi Tempat Khusus Parkir dan Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum. Retribusi tempat khusus parkir adalah pungutan yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang mempergunakan penyediaan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pengertian tempat khusus parkir adalah tempat parkir di luar ruang milik jalan yang berupa usaha khusus parkir atau usaha penunjang pokok usaha yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah (Pemerintah Kabupaten Sleman, 2013). Menurut Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 BAB 1 Pasal 1, Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum adalah pungutan yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang mempergunakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum. Sedangkan pengertian jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
2.2.4 Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
Berdasarkan Perda Kabupaten Sleman Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum :
a. Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Retribusi Pasal 2
14
Dengan nama retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum dipungut retribusi atas setiap penggunaan pelayanan parkir di tepi jalan umum.
Pasal 3
(1) Objek retribusi adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dikecualikan dari objek retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan tidak bermotor. Pasal 4
Subjek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan parkir di tepi jalan umum. Pasal 5
Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan parkir di tepi jalan umum yang diwajibkan melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
b. Golongan Retribusi Pasal 6
Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum termasuk golongan retribusi jasa umum.
c. Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Pasal 7
15
Tingkat penggunaan jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan pada :
a) frekuensi penggunaan tempat parkir; dan b) jenis kendaraan bermotor.
d. Prinsip yang Dianut dalam Penetapan Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 8
Prinsip dalam penetapan tarif retribusi ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan parkir di tepi jalan umum.
e. Struktur dan Besaran Tarif Retribusi Pasal 9
Tarif retribusi digolongkan berdasarkan jenis kendaraan bermotor ditetapkan sebagai berikut :
TABEL 2.1.
BESARAN TARIF RETRIBUSI TEPI JALAN UMUM No. Jenis Kendaraan Bermotor Tarif
1. Sepeda motor roda 2 (dua) Rp 1.000,00 (seribu rupiah)
2.
Sepeda motor tiga 3 (tiga) Rp 1.500,00 (seribu lima ratus rupiah)
16 TABEL 2.1 (lanjutan)
f. Peninjauan Kembali Tarif Retribusi Pasal 10
(1) Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
g. Tata Cara Pemungutan Pasal 12
(1) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
3.
Kendaraan bermotor roda 4 (empat)/mobil
Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah)
4.
Kendaraan bermotor roda 6 (enam)
Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah)
5.
Kendaraan bermotor roda ≥10 (sepuluh) atau lebih
Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah)
17
(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa karcis, kupon, dan kartu langganan.
(3) Dalam hal wajib retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan retribusi diatur dengan Peraturan Bupati. h. Tempat Pembayaran
Pasal 13
(1) Pembayaran retribusi dilakukan di kas daerah atau di tempat lain yang ditunjuk Bupati sesuai waktu yang ditentukan.
(2) Dalam hal pembayaran dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, maka hasil penerimaan retribusi daerah harus disetor ke kas daerah paling lambat 1 x 24 jam atau dalam waktu yang ditentukan oleh Bupati.
i. Tata Cara Pembayaran Retribusi, Angsuran dan Penundaan Pembayaran
Pasal 14
18
(2) Bupati atau pejabat dapat memberi izin kepada wajib retribusi untuk mengangsur retribusi terutang dalam jangka waktu tertentu dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Bupati atau pejabat dapat mengizinkan wajib retribusi untuk menunda pembayaran retribusi sampai batas waktu yang ditentukan dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 15
(1) Pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diberikan tanda bukti pembayaran yang sah.
(2) Setiap pembayaran dicatat di buku penerimaan. j. Tata Cara Penagihan Retribusi
Pasal 16
(1) Retribusi yang tidak atau kurang dibayar ditagih dengan menggunakan STRD
(2) Penagihan retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan surat teguran.
(3) Pengeluaran surat teguran sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran.
19
(4) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat teguran, wajib retribusi harus melunasi retribusi yang terutang.
(5) Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh pejabat.
k. Tata Cara Pemeriksaan Retribusi Pasal 25
(1) Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan retribusi. (2) Wajib retribusi yang diperiksa wajib :
a) memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen lain yang berhubungan dengan objek retribusi yang terutang;
b) memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau c) memberikan keterangan yang diperlukan. l. Ketentuan Pidana
Pasal 27
(1) Wajib retribusi yang tidak melakukan kewajibannya membayar retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sehingga merugikan keuangan daerah diancam dengan
20
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara.
2.2.5 Retribusi Tempat Khusus Parkir
Menurut Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2003 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir menetapkan bahwa :
a. Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Retribusi Pasal 2
Dengan nama retribusi tempat khusus parkir dipungut retribusi atas setiap pelayanan tempat yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 3
(1) Objek retribusi adalah pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Tempat khusus parkir sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi tempat parkir di :
a) tempat rekreasi dan objek wisata, dan fasilitas olahraga;
21 b) area pasar;
c) gedung parkir atau lahan parkir;
d) tempat parkir lainnya yang ditetapkan oleh Bupati. (3) Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah :
a) pelayanan tempat parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta;
b) penyelenggaraan tempat parkir pada kantor pelayanan Pemerintah Daerah kecuali pada kantor pelayanan Pemerintah Daerah yang ditetapkan oleh Bupati sebagai objek retribusi;
c) kendaraan tidak bermotor. Pasal 4
Subjek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 5
Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/ menikmati pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah
22
Daerah dan diwajibkan melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
b. Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa Pasal 7
Tingkat penggunaan jasa tempat khusus parkir diukur berdasarkan pada:
a) frekuensi penggunaan tempat parkir; dan b) koefisien jenis kendaraan.
c. Prinsip yang Dianut dalam Penetapan Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 8
Prinsip penetapan tarif retribusi didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
d. Struktur dan Besaran Tarif Retribusi
a) Tarif retribusi pada tempat rekreasi dan objek wisata, dan fasilitas olahraga pada saat tidak terdapat event sebagai berikut:
TABEL 2.2.
TARIF RETRIBUSI PADA TEMPAT REKREASI DAN OBJEK WISATA, DAN FASILITAS OLAHRAGA PADA SAAT TIDAK TERDAPAT
EVENT
No. Jenis Kendaraan
23 TABEL 2.2. (lanjutan)
1 Kendaraan bermotor roda 2 (dua) dan 3 (tiga)
Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah) 2 Kendaraan bermotor roda 4 (empat) Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) 3 Kendaraan bermotor roda 6 (enam) Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) 4 Kendaraan bermotor roda > 6 (enam) Rp 10.000,00
(sepuluh ribu rupiah)
b) Tarif retribusi pada area pasar, gedung parkir atau lahan parkir,tempat parkir lainnya yang ditetapkan oleh Bupati saat tidak terdapat event sebagai berikut :
TABEL 2.3.
TARIF RETRIBUSI PADA AREA PASAR, GEDUNG PARKIR ATAU LAHAN PARKIR,TEMPAT PARKIR SAAT TIDAK TERDAPAT EVENT No. Jenis Kendaraan
bermotor Tarif sekali parkir 1 Kendaraan bermotor
roda 2 (dua)
Rp 1.000,00 (seribu rupiah)
2 Kendaraan bermotor roda 3 (tiga)
Rp 1.500,00 (seribu lima ratus rupiah) 3 Kendaraan bermotor roda
4 (empat)
Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah)
24 TABEL 2.3 (lanjutan)
4 Kendaraan bermotor roda 6 (enam)
Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) 5 Kendaraan bermotor roda
> 6 (enam)
Rp 6.000 (enam ribu rupiah)
c) Tarif retribusi pada tempat rekreasi dan obyek wisata, dan fasilitas olahraga, area pasar, gedung parkir atau lahan parkir, tempat parkir lainnya yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah yang ditetapkan oleh Bupati saat terdapat event sebagai berikut :
TABEL 2.4.
TARIF RETRIBUSI PADA TEMPAT REKREASI DAN OBYEK WISATA, DAN FASILITAS OLAHRAGA, AREA PASAR, GEDUNG PARKIR ATAU LAHAN PARKIR SAAT TERDAPAT EVENT
No. Jenis Kendaraan
bermotor Tarif sekali parkir 1 Kendaraan bermotor
roda 2 (dua) dan 3 (tiga)
Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah) 2 Kendaraan bermotor
roda 4 (empat)
Rp 5.000,00 (seribu lima ratus rupiah) 3 Kendaraan bermotor
roda > 6 (enam)
Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah)
25
e. Tata Cara Pemungutan, Tempat Pembayaran dan Tata Cara Pembayaran, Angsuran dan Penundaan Pembayaran Tata Cara Pemungutan
Pasal 12
1) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa karcis, kupon, dan kartu langganan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan retribusi diatur dengan Peraturan Bupati. f. Tempat Pembayaran
Pasal 13
1) Pembayaran retribusi dilakukan di kas daerah atau di tempat lain yang ditunjuk Bupati sesuai waktu yang ditentukan.
2) Dalam hal pembayaran dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, maka hasil penerimaan retribusi daerah harus disetor ke kas daerah paling lambat 1 x 24 jam atau dalam waktu yang ditentukan oleh Bupati.
g. Tata Cara Pembayaran Retribusi, Angsuran dan Penundaan Pembayaran
26
1) Pembayaran retribusi harus dilakukan secara tunai/lunas. 2) Bupati atau pejabat dapat memberi izin kepada wajib
retribusi untuk mengangsur retribusi terutang dalam jangka waktu tertentu dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
3) Bupati atau pejabat dapat mengizinkan wajib retribusi untuk menunda pembayaran retribusi sampai batas waktu yang ditentukan dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
4) Dalam hal wajib retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 15
1) Pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diberikan tanda bukti pembayaran yang sah.
27 2.2.6 Ketentuan Perizinan
Menurut Peraturan Daerah 6 Tahun 2015 tentang Perparkiran : Pasal 16
1) Setiap orang yang menyelenggarakan fasilitas parkir wajib memiliki izin.
2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bupati. 3) Bupati dapat mendelegasikan kewenangan pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala OPD atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Bupati.
Pasal 17
1) Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dikenakan sanksi administrasi berupa: a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis;
c. penghentian sementara, sebagian, atau seluruh kegiatan usaha; dan/atau
d. penutupan fasilitas parkir.
2) Pelaksanaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tidak berurutan.
Pasal 21
Dasar pertimbangan dalam pemberian izin, sebagai berikut: a. ketersediaan ruang parkir;
28
c. analisis dampak lalu lintas apabila berupa tempat khusus parkir dan tempat parkir pada fungsi bangunan gedung tertentu.
2.2.7 Larangan Parkir
Menurut Perda 6 tahun 2015 tentang Perparkiran : Pasal 26
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan atau usaha parkir pada : a. tempat penyeberangan pejalan kaki atau tempat
penyeberangan sepeda yang telah ditentukan; b. jalur khusus pejalan kaki;
c. parkir pada jalan sepanjang 6 (enam) meter sebelum dan sesudah tempat penyeberangan pejalan kaki;
d. jalur khusus sepeda;
e. parkir pada sepanjang 25 (duapuluh lima) meter sebelum dan sesudah tikungan tajam dengan radius kurang dari 500 (limaratus) meter;
f. parkir pada jalan sepanjang 50 (lima puluh) meter sebelum dan sesudah jembatan;
g. jalan bukan sebidang;
h. parkir pada badan jalan sepanjang 100 (seratus) meter sebelum dan sesudah perlintasan sebidang;
i. parkir pada jalan sepanjang 25 (duapuluh lima) meter sebelum dan sesudah persimpangan;
29
j. parkir pada jalan sepanjang 6 (enam) meter sebelum dan sesudah muka pintu keluar masuk pekarangan/pusat kegiatan/akses bangunan;
k. tempat yang dapat menutupi Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
l. parkir pada jalan sepanjang 6 (enam) meter sebelum dan sesudah keran pemadam kebakaran atau sumber air untuk pemadam kebakaran;
m. pada ruas dengan tingkat kemacetan tinggi; atau parkir pada jalan yang dinyatakan terlarang untuk parkir.
2.2.8 Ketentuan Pidana Pasal 34
1) Setiap orang yang menyelenggarakan fasilitas parkir tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta). 2) Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan pelanggaran.
30 2.2.9 Sistem Pengendalian Intern
Menurut Mulyadi (2005 : 163) dalam bukunya “Sistem Akuntansi”, menjelaskan Sistem Pengendalian Intern sebagai berikut :
“Sistem pengendalian intern meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, mendorong efisiensi dan mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen.”
Sedangkan menurut American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) yang dikutip oleh Bambang Hartadi (2005 : 3) dalam buku “Sistem Pengendalian Intern” menjelaskan definisi struktur pengendalian intern sebagai berikut :
“Sistem pengendalian intern meliputi struktur organisasi, semua metode dan ketentuan-ketentuan yang terkoordinasi yang dianut dalam perusahaan untuk melindungi harta kekayaan, memeriksa ketelitian, dan seberapa jauh data akuntansi dapat dipercaya, meningkatkan efisiensi usaha, dan mendorong ditaatinya kebijakan yang telah ditetapkan.”
Dalam kaitannya dengan organisasi sektor publik seperti pada Dishubkominfo ini, ada beberapa istilah yang dikenal sebagai sistem pengendalian intern, yakni Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) atau sistem pengendalian manajemen publik. Sistem Pengendalian Intern menurut PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP adalah sebagai berikut :
"Proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset
31
negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan." (Indonesia, 2008).
Menurut PP Nomor 60 Tahun 2008 BAB II, SPIP terdiri dari lima unsur, yaitu :
1. Lingkungan pengendalian
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjelaskan bahwa proses pengendalian menyatu pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai. Oleh karena itu, yang menjadi dasar dari pengendalian adalah orang-orang (SDM) di dalam organisasi yang membentuk lingkungan pengendalian yang baik dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ingin dicapai instansi pemerintah. Untuk mendukung terbentuknya suasana yang nyaman sehingga dapat menimbulkan kepedulian dan partisipasi dari anggota organisasi dapat diwujudkan melalui 8 (delapan) sub unsur sebagai berikut :
a. Penegakkan integritas dan nilai etika
Penegakan integritas dan nilai etika sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya dilakukan dengan menyusun dan menerapkan aturan; memberikan keteladanan pelaksanaan aturan; menegakkan tindakan disiplin atas penyimpangan terhadap kebijakan, prosedur atau aturan perilaku; menjelaskan dan mempertanggungjawabkan adanya intervensi atau
32
pengabaian pengendalian intern; serta menghapus kebijakan apabila mendorong kepada perilaku tidak etis.
b. Komitmen terhadap kompetensi
Komitmen terhadap kompetensi sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya dilakukan dengan mengidentifikasi dan menetapkan kegiatan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah; menyusun standar kompetensi untuk setiap tugas dan fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah; menyelenggarakan pelatihan dan pembimbingan untuk membantu pegawai mempertahankan dan meningkatkan kompetensi pekerjaannya; dan memilih pimpinan Instansi Pemerintah yang memiliki kemampuan manajerial dan pengalaman teknis yang luas dalam pengelolaan Instansi Pemerintah.
c. Kepemimpinan yang kondusif
Kepemimpinan yang kondusif sebagaimana dimaksud, sekurang-kurangnya ditunjukkan dengan mempertimbangkan risiko dalam pengambilan keputusan; menerapkan manajemen berbasis kinerja; mendukung fungsi tertentu dalam penerapan SPIP; melindungi atas aset dan informasi dari akses dan penggunaan yang tidak sah; melakukan interaksi secara intensif dengan pejabat pada tingkatan yang lebih rendah; dan merespon
33
secara positif terhadap pelaporan yang berkaitan dengan keuangan, penganggaran, program, dan kegiatan.
d. Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan
Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan sebagaimana dimaksud, sekurang-kurangnya dilakukan dengan menyesuaikan dengan ukuran dan sifat kegiatan Instansi Pemerintah; memberikan kejelasan wewenang dan tanggung jawab dalam Instansi Pemerintah; memberikan kejelasan hubungan dan jenjang pelaporan intern dalam Instansi Pemerintah; melaksanakan evaluasi dan penyesuaian periodik terhadap struktur organisasi sehubungan dengan perubahan lingkungan strategis; dan menetapkan jumlah pegawai yang sesuai, terutama untuk posisi pimpinan. Dan dalam penyusunan struktur organisasi di atas harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
e. Pendelegasian wewenang dan tanggungjawab yang tepat Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat sebagaimana dimaksud, sekurang- kurangnya dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut, wewenang diberikan kepada pegawai yang tepat sesuai dengan tingkat tanggung jawabnya dalam rangka pencapaian tujuan Instansi Pemerintah; pegawai yang diberi wewenang
34
memahami bahwa wewenang dan tanggung jawab yang diberikan terkait dengan pihak lain dalam Instansi Pemerintah yang bersangkutan; dan pegawai yang diberi wewenang tersebut memahami bahwa pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab terkait dengan penerapan SPIP.
f. Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia
Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud, dilaksanakan dengan memperhatikan sekurang- kurangnya hal-hal sebagai berikut, penetapan kebijakan dan prosedur sejak rekrutmen sampai dengan pemberhentian pegawai; penelusuran latar belakang calon pegawai dalam proses rekrutmen; dan supervisi periodik yang memadai terhadap pegawai. Penyusunan dan penerapan kebijakan pembinaan sumber daya manusia tersebut berpedoman pada peraturan perundang- undangan.
g. Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif
Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif sebagaimana dimaksud, sekurang-kurangnya harus memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan
35
penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.
h. Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait
Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait sebagaimana dimaksud, diwujudkan dengan adanya mekanisme saling uji antar Instansi Pemerintah terkait.
2. Penilaian risiko
a. Identifikasi resiko, sekurang-kurangnya dilaksanakan dengan :
i. Menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif;
ii. Menggunakan mekanisme yang memadai untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan faktor internal; dan
36 b. Analisis risiko
Dilaksanakan untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah. Pimpinan Instansi Pemerintah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menentukan tingkat risiko yang dapat diterima.
3. Kegiatan pengendalian
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Penyelenggaraan kegiatan pengendalian sekurang- kurangnya memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah;
b. Kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko;
c. Kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah;
d. Kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis; e. Prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai
37
f. Kegiatan pengendalian dievaluasi secara teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan.
Adapun kegiatan pengendalian terdiri atas :
i. Reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan
Reviu atas kinerja Instansi Pemerintah dilaksanakan dengan membandingkan kinerja dengan tolok ukur kinerja yang ditetapkan.
ii. Pembinaan sumber daya manusia;
Dalam melakukan pembinaan sumber daya manusia, pimpinan Instansi Pemerintah harus sekurang-kurangnya :
 Mengkomunikasikan visi, misi, tujuan, nilai, dan strategi instansi kepada pegawai;
 Membuat strategi perencanaan dan pembinaan sumber daya manusia yang mendukung pencapaian visi dan misi; dan  Membuat uraian jabatan, prosedur
rekrutmen, program pendidikan dan pelatihan pegawai, sistem kompensasi, program kesejahteraan dan fasilitas pegawai,
38
ketentuan disiplin pegawai, sistem penilaian kinerja, serta rencana pengembangan karir. iii. Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;
terdiri dari :
 pengamanan sistem informasi;  pengendalian atas akses;
 pengendalian atas pengembangan dan perubahan perangkat lunak aplikasi;
 pengendalian atas perangkat lunak sistem;  pemisahan tugas; dan
 kontinuitas pelayanan iv. Pengendalian fisik atas aset
Dalam melaksanakan pengendalian fisik atas aset sebagaimana dimaksud, pimpinan Instansi
Pemerintah wajib menetapkan,
mengimplementasikan, dan mengkomunikasikan kepada seluruh pegawai tentang rencana identifikasi, kebijakan, dan prosedur pengamanan fisik; dan rencana pemulihan setelah bencana.
v. Penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja
39
Dalam melaksanakan penetapan dan reviu indikator dan pengukuran kinerja sebagaimana dimaksud, pimpinan Instansi Pemerintah harus :
 menetapkan ukuran dan indikator kinerja;  mereviu dan melakukan validasi secara
periodik atas ketetapan dan keandalan ukuran dan indikator kinerja;
 mengevaluasi faktor penilaian pengukuran kinerja; dan
 membandingkan secara terus-menerus data capaian kinerja dengan sasaran yang ditetapkan dan selisihnya dianalisis lebih lanjut.
vi. Pemisahan fungsi
Dalam melaksanakan pemisahan fungsi sebagaimana dimaksud, pimpinan Instansi Pemerintah harus menjamin bahwa seluruh aspek utama transaksi atau kejadian tidak dikendalikan oleh 1 (satu) orang.
vii. Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting Dalam melakukan otorisasi atas transaksi dan kejadian sebagaimana dimaksud, pimpinan Instansi Pemerintah wajib menetapkan dan
40
mengkomunikasikan syarat dan ketentuan otorisasi kepada seluruh pegawai.
viii. Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian
Dalam melakukan pencatatan yang akurat dan tepat waktu sebagaimana dimaksud, pimpinan Instansi Pemerintah perlu mempertimbangkan :
 Transaksi dan kejadian diklasifikasikan dengan tepat dan dicatat segera; dan
 Klasifikasi dan pencatatan yang tepat dilaksanakan dalam seluruh siklus transaksi atau kejadian.
ix. Pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya
Dalam melaksanakan pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya sebagaimana dimaksud, pimpinan Instansi Pemerintah wajib memberikan akses hanya kepada pegawai yang berwenang dan melakukan reviu atas pembatasan tersebut secara berkala.
x. Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan
41
Dalam menetapkan akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya sebagaimana dimaksud, pimpinan Instansi Pemerintah wajib menugaskan pegawai yang bertanggung jawab terhadap penyimpanan sumber daya dan pencatatannya serta melakukan reviu atas penugasan tersebut secara berkala.
xi. Dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting.
Dalam menyelenggarakan dokumentasi yang baik sebagaimana dimaksud, pimpinan Instansi Pemerintah wajib memiliki, mengelola, memelihara, dan secara berkala memutakhirkan dokumentasi yang mencakup seluruh Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting.
4. Informasi dan komunikasi
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat. Untuk menyelenggarakan komunikasi yang efektif sebagaimana dimaksud, pimpinan Instansi Pemerintah harus sekurang-kurangnya :
42
a. menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan
b. mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus.
5. Pemantauan pengendalian intern
Pemantauan Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud, dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya.
2.2.10 Definisi Optimalisasi
Dalam rangka mencegah terjadinya fraud dalam pengelolaan retribusi parkir, diperlukan adanya optimalisasi terhadap pengendalian internal yang harus dilakukan oleh seksi perparkiran. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi kemungkinan fraud di masa yang akan datang terutama kecurangan dalam praktik perparkiran.
Pengertian Optimalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah optimalisasi berasal dari kata optimal yang berarti terbaik, tertinggi jadi optimalisasi adalah suatu proses meninggikan atau meningkatkan. Sehingga upaya optimalisasi pengendalian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya Dishubkominfo khususnya seksi perparkiran untuk terus menerus meningkatkan pengendaliannya sebagai bentuk pencegahan dan perbaikan agar fraud yang belum terjadi supaya tidak
43
terjadi, dan yang sudah terjadi untuk dapat ditekan atau bahkan dihentikan supaya tidak menumbuhkan peluang fraud di masa yang akan datang.
2.3 Kecurangan (Fraud)
Menurut Miharjo (2014) Fraud (kecurangan) umumnya terjadi karena adanya tekanan untuk melakukan penyelewengan dan dorongan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dan adanya pembenaran (diterima secara umum) terhadap tindakan tersebut. Faktor pendorong fraud boleh diartikan sebagai pola pemanfaatan “kesempatan/peluang” untuk mengambil keuntungan melalui cara-cara yang merugikan. Menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) (2008) fraud mengandung 3 (tiga) unsur penting yaitu:
a. Perbuatan tidak jujur b. Niat/Kesengajaan
c. Keuntungan yang merugikan orang lain
Dalam hubungannya dengan pengelolaan retribusi parkir, kecurangan yang terjadi bisa berasal dari pengelola maupun pelaksana di lapangan. Vona dalam Suprajadi (2009) menyebutkan bahwa kecurangan mungkin saja dilakukan baik secara internal maupun eksternal, secara sengaja, dan disembunyikan. Pada umumnya fraud dapay dipicu melalui gabungan dari motivasi dan kesempatan. Motivasi dapat merupakan kebutuhan ekonomi yang kemudian menjadi keserakahan, sedangkan kesempatan dapat ditimbulkan dari lemahnya pengendalian internal dalam suatu lingkungan. Semakin besar motivasi seseorang atas kebutuhan ekonomi dalam suatu
44
organisasi dengan pengendalian internal yang lemah maka kesempatan fraud yang ditimbulkan akan semakin besar pula. (Pelatihan dan Pengawasan BPKP, 2008: 11)
Dari faktor pendukung di atas, secara umum menjelaskan bahwa sistem pengendalian internal yang optimal dan konsisten sangat diperlukan selain agar tidak membuka celah atau kesempatan terjadinya fraud juga sebagai pengendali seluruh aktivitas yang dilakukan oleh entitas dalam hal ini seksi perparkiran. Pengendalian internal saja tidak cukup, sehingga harus di evaluasi secara berkelanjutan, baik dari struktur, mekanisme pengendaliannya maupun kegiatan operasional yang dilaksanakan di lapangan.
2.3.1 Fraud Triangle Theory
Donald R. Cressey dalam Suprajadi (2009) menjelaskan teori Fraud Triangle yakni merumuskan tentang hal-hal yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan fraud. Fraud Triangle memiliki tiga komponen yaitu rationalization, pressure, dan opportunity.
45
GAMBAR 2.1.
FRAUD TRIANGLE THEORY
Sumber : Suprajadi (2009)
Cressey menjelaskan dengan penjelasan lain bahwa tiga faktor pendorong seseorang melakukan kecurangan yakni adanya masalah keuangan yang harus dirahasiakan diartikan sebagai pressure, adanya kesempatan untuk melakukan fraud yaitu opportunity dan rasionalisasi dari pelaku fraud yaitu rasionalization. Penjelasan secara rinci mengenai faktor-faktor pendukung terjadinya kecurangan dalam teori ini, pertama adalah faktor tekanan (pressure). Faktor ini dapat timbul dari dalam organisasi atau luar organisasi yang berasal dari kehidupan masing-masing individu. Adanya tekanan terkadang menyebabkan kebutuhan individu lebih penting dari kebutuhan organisasi. Selain itu tekanan merupakan salah satu faktor terkuat karena dapat mempengaruhi faktor-faktor lain seperti rasionalisasi dan kesempatan. Faktor kedua adalah kesempatan (opportunity).
Pressure
46
Kesempatan melakukan kecurangan dapat terjadi apabila seseorang memiliki akses terhadap aset atau memiliki wewenang untuk mengatur pengendalian. Secara tidak langsung hal tersebut membuka peluang terjadinya fraud. Faktor opportunity ini merupakan salah satu faktor penyebab kecurangan yang dapat dikendalikan. Karena seseorang dapat menentukan akan membuka akses melakukan kecurangan kepada pihak lain atau tidak. Faktor ketiga adalah rasionalisasi (rasionalization). Kecurangan dapat terjadi karena adanya pembenaran yang dilakukan seseorang. Pembenaran yang berbahaya adalah pembenaran mengenai hal-hal yang salah dengan alasan yang beragam. Bagaimanapun keadaannya apabila seseorang melakukan rasionalisasi terhadap kesalahan atau kecurangan yang ia lakukan akan menyebabkan kecurangan tersebut semakin besar apabila tidak segera diterapkan pengendalian yang sesuai.
2.3.2 Fraud Awareness
Teori ini menjelaskan bahwa auditor atau pemeriksa harus peka terhadap tanda-tanda terjadinya kecurangan. Seorang auditor atau dalam penelitian ini adalah badan atau seseorang yang melakukan pengawasan dalam pengelolaan retribusi parkir. Seseorang yang melakukan Pengawas maupun pemeriksa harus mengetahui tanda-tanda kecurangan (fraud) yang mungkin terjadi. Diharapkan dengan auditor peka terhadap tanda-tanda tersebut, dapat mengidentifikasi lebih dini atas fraud yang terjadi sehingga dapat lebih cepat diatasi.
47
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) dalam Suprajadi (2009) menjelaskan sebagai berikut :
“Skema kecurangan berbentuk skenario bagaimana kecurangan bisa terjadi dalam organisasi dan penjabaran metode yang biasa digunakan untuk menyembunyikan kecurangan. Pelaku kecurangan dalam organisasi bisa dalam bentuk korupsi, penyalahgunaan aset, maupun pelaporan keuangan yang curang. Kecurangan tersebut dilakukan dalam kaitannya dengan jabatan seseorang yang dengan sengaja salah menggunakan maupun salah mengaplikasikan sumberdaya atau aset perusahaan.”
2.3.3 Fraud Risk Assessment
Memeriksa kecurangan (fraud auditing) sangat diperlukan sebelum auditor dapat mendeteksi kecurangan yang terjadi. Tujuan diadakannya pendeteksian kecurangan adalah untuk memberikan respon atas kecurangan yang terjadi dan merupakan salah satu pendekatan yang proaktif terhadap kecurangan tersebut. Dalam tahap perencanaan audit, sebelumnya auditor harus menentukan tipe dan ukuran resiko kecurangan. Hal tersebut dapat ditentukan dengan melaksanakan penilaian atas resiko kecurangan (fraud risk assessment). Kecurangan sejatinya dapat diungkapkan, namun sangat bergantung pada ruang lingkup audit dan desain penilaian resiko kecurangan (Suprajadi, 2009).
48 2.4 Penelitian terdahulu
Dalam bagian ini penulis akan mengulas sedikit mengenai penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya untuk membandingkan isi serta model penelitian yang penulis lakukan. Berikut ulasan mengenai penelitian terdahulu yang masih berkaitan dengan topik penelitian penulis.
Ismail Dwi Saputra (2013) dalam penelitiannya untuk memenuhi persyaratan tugas akhir, tentang analisis pengelolaan retribusi parkir di Kota Makassar (studi kasus di Perusahaan Daerah Parkir Makassar Raya). Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana proses pengelolaan retribusi parkir di Kota Makassar apa saja hambatan yang di alami dalam pengelolaannya selama ini, mekanisme pemungutan, setoran hingga tiba pada proses penerimaan menjadi PAD yang bermuara / bermanfaat bagi pembangunan Kota Makassar. Hasil dari penelitian tersebut bahwa pengelolaan retribusi parkir sudah cukup baik tetapi belum optimal, ditunjukkan dari penerimaan retribusi tiap tahunnya terutama dalam 5 tahun terakhir yang meningkat tetapi kontribusi retribusi parkir terhadap pendapatan asli daerah (PAD) cenderung mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan masih ditemukan beberapa kendala yang menghambat pengelolaan retribusi parkir yang dihadapi PD Parkir Makassar Raya terutama dalam hal pemungutan retribusi parkir (Saputra, 2013). Dalam penelitian tersebut tidak membahas mengenai upaya optimalisasi pengendalian dan tidak pula membahas mengenai fraud secara mendalam
49
hanya terfokus kepada proses pengelolaan retribusi hingga digunakan sebagai PAD saja.
Anandita Arintyas Putri, Moch. Dzulkirom A.R., Muhammad Saifi (2014) dalam penelitiannya membahas mengenai evaluasi sistem pemungutan pajak restoran dan retribusi parkir sebagai upaya mendukung pengendalian intern (studi pada Dinas Pendapatan Kota Batu dan Dinas Perhubungan Kota Batu). Tujuan penelitian tersebut adalah menganalisis sistem pemungutan pajak restoran dan retribusi parkir serta menganalisis pengendalian intern terhadap sistem yang dijalankan oleh Dinas Pendapatan dan Dinas Perhubungan Kota Batu, dimana hasil dari penelitian tersebut adalah rekomendasi survey potensi baru dan perbaikan sistem yang dilaksanakan. Bentuk evaluasi yang terdapat dalam penelitian tersebut meliputi lingkungan pengendalian, penilaian resiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan, sesuai dengan Sistem Pengendalian Intern Peraturan Pemerintah (SPIP) Nomor 60 Tahun 2008. Kesimpulan dan hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa hasil evaluasi pengendalian intern pada Dinas Pendapatan dan Dinas Perhubungan Kota Batu, masih terdapat beberapa formulir yang masih kurang jumlahnya, sarana dan prasarana kantor yang masih kurang memadai. Berdasarkan evaluasi sistem pemungutan pajak restoran dan retribusi parkir, juga masih terdapat beberapa hal yang belum sesuai dengan lima unsur pengendalian intern yang terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 (Putri & Saifi, 2014).
50
Sarwendah Suciati, Siti Ragil Handayani, Raden Rustam Hidayat (2013) dalam penelitiannya membahas mengenai evaluasi sistem pengendalian intern atas pemungutan retribusi parkir (studi kasus pada Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo). Fokus dari penelitian tersebut adalah pengendalian intern dalam sistem pemungutan retribusi di Kantor Dinas Perhubungan Kota Sidoarjo dan sistem dan prosedur dalam pemungutan retribusi parkir. Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui penerapan sistem pemungutan retribusi parkir dan mengetahui pengendalian intern atas sistem pemungutan retribusi parkir di Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan hasil analisis kualitatif diketahui bahwa sistem pemungutan retribusi parkir pada Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo terdapat dua cara, yakni dipungut di tempat (tidak berlangganan) dan dipungut berlangganan. Masih terdapat beberapa kekurangan yang belum menunjukkan pengendalian intern yang baik yaitu terdapat perangkapan tugas pada Koordinator Penyimpan Barang yang merangkap sebagai Bendahara Penerima dan Penyetor, formulir yang digunakan masih kurang lengkap seperti tidak adanya Kartu Persediaan dan Tanda Setor Uang (Suciati, Handayani, & Hidayat, 2013).
Indra Safawi, Sujianto, dan Zaili Rusli (2012) penelitian yang dilakukan oleh Indra Safawi dkk membahas tentang implementasi kebijakan retribusi parkir tepi jalan. Adapun penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi Retribusi Parkir Tepi Jalan di Kota Dumai. Hasil penelitian
51
menunjukkan bahwa implementasi kebijakan retribusi parkir tepi jalan belum dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang inginkan, yakni untuk menciptakan keteraturan dalam perparkiran tepi jalan dan menghasilkan penerimaan yang dapat menyumbangkan Pendapatan Asli Daerah yang besar. Hal ini dipengaruhi oleh faktor sumber daya, disposisi, struktur birokrasi dan isi kebijakan (Safawi, Indra, Sujianto, 2012).
Sheila Ratna Dewi (2013) dalam penelitiannya mengenai peranan retribusi parkir dalam meningkatkan pendapatan asli daerah kota magelang bertujuan untuk mengetahui kontribusi retribusi parkir terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Magelang dan untuk mengetahui upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Magelang dalam mengoptimalkan penerimaan dari retribusi parkir. Hasil dari penelitian tersebut bahwa retribusi parkir setiap tahunnya dapat melebih target sehingga membantu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Magelang, tetapi dalam penyelenggaraan perparkiran juga masih banyak ditemukan masalah seperti juru parkir yang tidak memberikan karcis parkir, kurang tertibnya lokasi parkir, dan juru parkir yang tidak memahami aturan yang berlaku. Dengan adanya masalah tersebut, diberikan solusi seperti melakukan pengawasan rutin dan audit rutin kepada pengelola parkir oleh Pemerintah Daerah, melakukan pembinaan terhadap petugas parkir, mengadakan evaluasi kepada seluruh juru parkir dan pengelola parkir, mengadakan pengawasan dan pengendalian di lapangan dan menaikkan target retribusi (Dewi, 2013).
52
Yusti Aprilian Adi (2010) melakukan penelitian dengan judul implementasi strategi peningkatan retribusi parkir di kota Cilegon. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi strategi peningkatan retribusi parkir di UPTD Perparkiran Dinas Perhubungan Kota Cilegon. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah lebih kepada strategi manajemen. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa implementasi strategi peningkatan retribusi parkir di kota Cilegon kurang optimal, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yakni adanya keterlibatan pihak kedua dalam pengelolaan retribusi parkir sehingga mempengaruhi pendapatan retribusi. Sedangkan faktor internalnya antara lain tidak adanya program dalam upaya peningkatan retribusi parkir, kurangnya kualitas dan kuantitas pegawai, peraturan yang mengatur tentang retribusi parkir sudah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, kurangnya koordinasi antar stakeholder, gaya kepemimpinan UPTD perparkiran kurang mampu menggerakan dan memotivasi pegawainya, dan yang terakhir nilai-nilai bersama UPTD kurang digunakan secara optimal untuk meningkatkan kinerja pegawainya (Adi, 2010).
Dwi Handoyo Miharjo (2014) dalam penelitiannya guna memenuhi tugas akhir, membahas mengenai kajian pengungkapan symptoms of fraud dan peran Badan Pemeriksa Keuangan sebagai internal auditor dalam pendeteksian serta pencegahan fraud (Studi Kasus Jembatan Timbang UPPKB Kalitirto Sleman Yogyakarta). Dari hasil penelitian tersebut
53
disimpulkan bahwa peluang untuk melakukan kecurangan yang berbentuk pungutan liar di Jembatan Timbang Kalitirto cukup terbuka. Hal ini didukung dengan masih lemahnya pengawasan dan lemahnya pengendalian internal. Khususnya Badan Pemeriksa Keuangan yang melakukan prosedur audit hanya dengan menggunakan sampel. Padahal di Provinsi Yogyakarta Jembatan timbang hanya terdapat 3unit. Dari segi supir angkutan barang juga terlihat kurangnya pengetahuan mengenai prosedur Jembatan Timbang dan biaya pengenaan denda dan tilang (Miharjo, 2014).
Setelah membandingkan topik dari penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian terdahulu, maka dapat diketahui persamaan dan perbedaannya, ditinjau dari fokus penelitian, tujuan penelitian, objek penelitian, dan hasil penelitian. Terdapat penelitian di atas yang membahas mengenai pengelolaan retribusi parkir, namun tidak berfokus kepada upaya optimalisasi pengendalian dan sedikit yang membahas mengenai fraud secara mendalam. Beberapa penelitian membahas mengenai upaya optimalisasi penerimaan kontribusi dan peranan retribusi terhadap PAD. Adapula yang membahas pengendalian dalam pengelolaan retribusi ditinjau dari sistem informasi akuntansinya. Penelitian yang dilakukan Dwi Handoyo hampir memiliki kesamaan dengan yang dilakukan penulis, tetapi objek penelitian berbeda, ia melakukan penelitian di jembatan timbang dan menggunakan peran auditor internal pemerintah, sedangkan penulis melakukan penelitian di Dishubkominfo kabupaten Sleman khususnya seksi perparkiran tanpa melibatkan peran auditor internal pemerintah hanya
54
menganalisis data dari hasil wawancara dengan petugas Dishubkominfo yang bersangkutan serta pelaksana pemungutan retribusi di lapangan yakni juru parkir.