• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN VCT TERHADAP HASIL BELAJAR RANAH AFEKTIF MATA PELAJARAN PKN SISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN VCT TERHADAP HASIL BELAJAR RANAH AFEKTIF MATA PELAJARAN PKN SISWA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN VCT TERHADAP

HASIL BELAJAR RANAH AFEKTIF MATA

PELAJARAN PKN SISWA

N. L. P. Eka Agustini

1

, Ndara Tanggu Renda

2

, I Nyoman Murda

3

Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FIP

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail:{niluhputuekaagustini@yahoo.co.id

1

, ndara.renda@yahoo.com

2

,

murdanyoman@yahoo.co.id

3

}

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model VCT dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada kelas V di Gugus III Kecamatan Dawan tahun pelajaran 2014/2015. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Populasi penelitian ini adalah kelas V di Gugus III Kecamatan Dawan tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 123 orang. Sampel penelitian ini yaitu kelas V SDN 2 Kusamba yang berjumlah 29 orang dan kelas V SDN 4 Kusamba yang berjumlah 32 orang. Data hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn siswa dikumpulkan dengan metode non tes berbentuk kuesioner. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial (uji-t). Hasil penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model VCT dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional kelas V di Gugus III Kecamatan Dawan tahun pelajaran 2014/2015. Perbandingan hasil perhitungan rata-rata hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model VCT adalah 120,31 lebih besar dari rata-rata hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn siswa yang mengikuti pembelajaran model konvensional adalah 97,14.

Kata-kata kunci: VCT, hasil belajar ranah afektif, PKn

Abstract

This study aimed to determine the difference of the affective learning outcomes PKn subjects between students who were taught by using VCT model and the students who were taught by using conventional way in fifth grade students at Gugus III Dawan District in the academic year 2014/2015. The study was the quasi experiment. The populations in this study were the fifth grade students at Gugus III Dawan District in the academic year 2014/2015 who consisted of 123 students. The samples of this study were fifth grade at SDN 4 Kusamba which consisted of 32 students and fifth grade students at SDN 2 Kusamba which consisted of 29 students. The data of students’ affective learning outcomes PKn subjects was collected by questionnaire shaped non test methods. The collected data was analyzed by using descriptive statistic and inferential statistic analysis (t-test). The result of the study shows that there is significant difference of the affective learning outcomes PKn subjects between students who are taught by using VCT model and students who are taught by using conventional way in fifth grade at Gugus IIII Dawan District in the academic year 2014/2015. The mean comparison of affective learning outcomes PKn subjects in VCT model was significantly higher than in conventional (120,31 vs 97,14).

(2)

PENDAHULUAN

Dewasa ini, wacana tentang kualitas pendidikan dipandang sangat penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini seiring dengan tuntutan peningkatan mutu pendidikan dalam setiap jenjang pendidikan yang sesuai dengan perkembangan perikehidupan bangsa dan persaingan yang bersifat global. Dalam hal ini guru sebagai pendidik akhirnya menjadi sorotan karena merekalah yang menjadi pemeran utama dalam pelaksanaan pembelajaran. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keahlian untuk mengeksplorasi hal-hal yang lebih inovatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hal-hal yang lebih inovatif tersebut terlihat dari proses transfer ilmu melalui mengajar telah bergeser kearah proses transfer ilmu melalui pembelajaran.

Menyadari pentingnya pendidikan, pemerintah sebagai penentu kebijakan juga telah dan sedang melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Upaya yang dimaksud adalah melakukan perubahan-perubahan kurikulum dari kurikulum 1994, menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2002, kemudian menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. Kurikulum ini sudah berjalan hampir selama 8 tahun dan sudah berjalan sangat baik. Namun karena tuntutan kemajuan jaman yang semakin berkembang pesat, di tahun pelajaran 2013/2014 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kembali disempurnakan lagi menjadi kurikulum 2013. Namun dalam pelaksanaannya, kurikulum ini diberhentikan sementara untuk sekolah yang baru menggunakan selama 1 semester dan kembali menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hanya beberapa sekolah yang telah melaksanakan kurikulum 2013 selama 3 semester yang tetap melaksanakannya. Sehingga kini negara Indonesia memberlakukan dua kurikulum dalam pelaksanaan pendidikan, yaitu kurikulum 2013 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Perubahan kurikulum ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.

Menurut Qomaryah (2014), masing-masing kurikulum memiliki warna dan ciri khas tersendiri, warna dan ciri khas tiap kurikulum menunjukkan kurikulum berusaha menghadirkan sosok peserta didik yang paling pas dengan jamannya. Kualitas pendidikan yang tinggi pasti memiliki peserta didik yang baik dan pintar dalam berbagai bidang pendidikan. Dengan demikian untuk mewujudkan harapan pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan harus dimulai dari peserta didik. Peserta didik harus diberikan pendidikan yang baik dan diberikan fasilitas yang memadai dalam mengikuti pembelajaran, agar hasil belajar dan kemampuannya menjadi lebih baik. Jadi dasar dari peningkatan kualitas pendidikan adalah meningkatkan kemampuan peserta didik dalam pembelajaran sehingga hasil belajarnya dalam semua mata pelajaran menjadi lebih baik. Harapan tersebut hendaknya dapat tercapai dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menghendaki adanya perubahan dari proses pembelajaran yang cenderung pasif, teoretis, dan berpusat pada guru ke proses pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, produktif, mengacu pada permasalahan kontekstual, serta berpusat pada siswa. Guru diharapkan bertindak sebagai fasilitator dan motivator dalam pembelajaran. Depdiknas (2006) menyatakan, dalam salah satu prinsip pengembangan KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disebutkan bahwa kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan potensinya agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Beberapa perubahan pola pikir yang mengiringi pembelajaran dalam KTSP yaitu, (1) pengemasan materi dapat dilakukan dengan nilai-nilai local genius (kearifan lokal), (2) tugas guru dari pentransfer pengetahuan menjadi fasilitator, mediator, organisator, dan dinamisator, (3) dari

(3)

semula guru menjadi sumber pengetahuan berubah menjadi mitra belajar bagi siswa, (4) dari kebiasaan mengulang dan latihan menuju perancangan dan penyelidikan, (5) dari kompetitif menuju kolaboratif, (6) dan dari penilaian hasil belajar yang normatif menuju unjuk kerja yang komprehensif.

Untuk mendukung pencapaian prinsip tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, pengembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik, serta tuntutan lingkungan yang harus menjadi perhatian bagi seorang guru. Hal itu dikarenakan guru sebagai pendidik mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap tercapainya tujuan sesuai dengan tuntutan pendidikan saat ini. Tuntutan penting KTSP tersebut menyentuh semua mata pelajaran dengan beberapa penyesuaian berdasarkan karakteristik mata pelajaran yang bersangkutan. Secara khusus Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 37 Bab X

Tentang Kurikulum (2003:10) menyatakan “kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan kewarganegaraan”. Sejalan dengan hal tersebut, Azis (2010) mengemukakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai individu. Oleh karena itu, sudah seharusnya PKn di Sekolah Dasar (SD) mampu memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kehidupan bagi siswanya sehingga siswa tidak hanya sekedar memahami, tetapi juga dapat menerapkan dan mengamalkan nilai-nilai yang didapat dari pembelajaran PKn dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran PKn yang bermakna sebenarnya bukan hal yang terlalu sulit untuk dilakukan apabila guru mampu lebih menginovatifkan pembelajaran PKn itu sendiri.

Namun pada kenyataannya, Azis (2010) menyatakan pembelajaran PKn masih sedikit bergeser dari apa yang menjadi harapan. Dapat dirasakan PKn masih hanya sekedar ilmu pengetahuan yang hanya dihafalkan tanpa ada pemahaman dan pemaknaan terhadap nilai

yang dipelajari, sehingga belum terjadi peningkatan kualitas diri sebagai manusia dalam diri siswa itu sendiri. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya kegiatan anarkis yang dilakukan para pelajar kita, mulai dari kegiatan kerusuhan antar pelajar (tawuran), kegiatan premanisme yang terjadi di sekolah, bahkan penurunan sikap sopan santun dan saling menghormati yang terjadi di kalangan pelajar kita. Hal tersebut terjadi karena penekanan makna dan pemahaman terhadap nilai dalam proses pembelajaran masih jarang dilakukan oleh pihak guru. Sistem pendidikan nasional kita yang lebih menekankan ranah kognitif sebagai indikator kelulusan dalam jenjang pendidikan (UN) juga terindikasi mempengaruhi sikap dan nilai yang menurun di kalangan anak didik kita. Namun proses pembelajaran dalam mata pelajaran PKn masih banyak yang dilakukan dengan model atau metode pembelajaran ceramah sehingga berimbas pada masih rendahnya aktivitas belajar. Kekurang pahaman guru mengenai karakteristik siswa sekolah dasar yang lebih memahami suatu hal dengan menggunakan suatu contoh yang nyata (Operasional

konkret) membuat penyerapan materi PKn

oleh siswa kurang optimal.

Hal ini diperkuat dengan hasil observasi awal yang dilakukan di SD Negeri Gugus III Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung. Berdasarkan hasil observasi pada pembelajaran PKn Kelas V Semester I di SD Gugus III Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung, yang terdiri dari 4 Sekolah Dasar yaitu SD Negeri 1 Kusamba, SD Negeri 2 Kusamba, SD Negeri 3 Kusamba, dan SD Negeri 4 Kusamba yang diketahui bahwa, guru belum maksimal dalam proses pembelajaran. Hal ini terjadi karena sebagian besar pembelajaran tidak berorientasi pada kompetensi dan lebih banyak menggunakan buku ajar atau lembar kerja siswa (LKS) yang dibeli siswa tanpa menerapkan model pembelajaran yang inovatif, selain itu peserta didik banyak yang bermain dan tidak menyimak penjelasan guru karena guru masih menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran yang berdampak pada hasil belajar siswa terutama pada ranah

(4)

afektifnya. Secara umum nilai rata-rata siswa kelas V pada mata pelajaran PKn di gugus III Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung pada ulangan umum tengah semester I tahun pelajaran 2014/2015 adalah 67,45. Sementara itu, kriteria ketuntasan minimal untuk mata pelajaran PKn adalah 70,00 (Sumber: Tata Usaha SD di Gugus III Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung, 2015). Berdasarkan hasil ulangan tersebut, tampak bahwa rata-rata nilai siswa masih di bawah kriteria ketuntasan minimal yang harus dicapai. Rendahnya rata-rata nilai PKn siswa menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memperoleh nilai yang rendah dan mempunyai nilai sikap yang rendah pula. Hal ini terlihat dari sikap anak didik yang cenderung kurang memiliki sopan santun apabila berinteraksi dengan rekan sesamanya, selain itu sikap siswa dalam memecahkan suatu masalah saat proses pembelajaran juga masih kurang maksimal. Sehingga kompetensi dan tujuan

pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan yang ingin dicapai belum sesuai dengan harapan. Hal ini tentunya menjadi suatu masalah yang harus segera diselesaikan, karena generasi bangsa yang baik adalah generasi yang mempunyai tingkat intelektual yang baik dan diimbangi dengan tingkat emosional yang baik pula.

Pada sebuah kegiatan pembelajaran, sikap positif siswa memang sangat diperlukan untuk mendorong kemampuan siswa demi tercapainya tujuan pembelajaran. Adanya sikap positif siswa dalam kegiatan pembelajaran tentang sesuatu yang belum diketahui dapat mendorong siswa untuk belajar mencari tahu. Siswa pun mengambil sikap seiring dengan minatnya terhadap suatu objek. Siswa mempunyai keyakinan dan pendirian tentang apa yang seharusnya dilakukannya. Salah satu sikap yang harus dikembangkan dalam proses pembelajaran adalah sikap ilmiah. “Sikap ilmiah adalah aspek tingkah laku yang tidak dapat diajarkan melalui satuan pembelajaran tertentu, tetapi merupakan yang tingkah laku (behavior) yang ditangkap melalui contoh-contoh positif yang harus didukung, dipupuk, dan dikembangkan sehingga

dapat dimiliki oleh siswa” (Bundu, 2006:42). Selanjutnya, menurut Susanto (2003:169) dinyatakan bahwa “sikap ilmiah termasuk dalam sikap yang harus dimiliki oleh seorang ilmuan dalam melakukan penelitiannya”. Hal tersebut menunjukkan bahwa, untuk menyelesaikan permasalahan harus dilakukan melalui serangkaian sikap ilmiah. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah aspek tingkah laku/sikap yang harus dimiliki siswa yang diperoleh melalui contoh-contoh kegiatan positif yang didukung, dipupuk, dan dikembangkan sehingga dapat dimiliki oleh siswa dalam melakukan proses pembelajaran. Dalam pengembangan sikap ilmiah siswa tersebut, salah satu pelajaran yang mendukung adalah mata pelajaran PKn.

Para guru di berbagai jenjang pendidikan masih ada yang kurang menyadari akan pentingnya melibatkan siswa secara emosional dalam proses pembelajaran. Keluhan dari peserta didik tentang pelajaran PKn yang membosankan karena guru cenderung menggunakan proses ceramah dalam pembelajaran. Sehingga penanaman nilai dalam proses pembelajaran akan terhambat, siswa juga akan enggan untuk mempelajari sesuatu yang dianggapnya membosankan dan baru mau belajar apabila ada tekanan, seperti tekanan akan ujian atau ulangan. Untuk itu seorang guru dituntut untuk menciptakan suatu pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa, dimana melalui pembelajaran yang digunakan guru akan mampu menciptakan kondisi belajar yang kondusif dan menyenangkan untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Diperlukan juga suatu strategi yang mampu mengintegrasikan teori, pengalaman, dan penerapan dalam pembelajaran serta mampu membangkitkan perasaan emosional siswa ke arah yang positif. Dalam hal ini guru bisa menerapkan model pembelajaran inovatif yang disertai penggunaan media pembelajaran yang dapat mengaktifkan sikap ilmiah siswa dalam proses pembelajaran. Keterlibatan peserta didik secara partisipatif akan membawanya untuk menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan.

(5)

Sehingga dalam ingatannya akan lebih lama tertanam dan berdampak pada kemajuan hasil belajarnya. Salah satu model pembelajaran yang sesuai untuk mengembangkan sikap ilmiah siswa adalah model VCT. Sanjaya (2006:283) mengemukakan bahwa VCT akan membantu siswa dalam mencari dan menentukan nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. Adisusilo (2012:160) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan Model VCT, dilakukan dengan pendidikan menyajikan dilema, tugas mandiri, membentuk diskusi kelompok kecil, diskusi kelas serta menutup diskusi kelas. Berdasarkan hal tersebut, Model VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada sebelumnya dan tertanam dalam diri siswa. Salah satu karakter VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan.

Menurut Taniredja (2012:91) menyatakan bahwa, keunggulan dari model

VCT yaitu mampu mengungkapkan isi

pesan materi yang disampaikan melalui pemahaman nilai moral dalam kehidupan nyata. Sehingga kegiatan pembelajaran lebih mudah dipahami karena menghubungkan antara konsep dan informasi baru dengan pengetahuan mengenai nilai moral yang telah dimiliki peserta didik sebelumnya. Hal ini tentu akan berdampak pada hasil belajar ranah afektif Pendidikan Kewarganegaraan yang

lebih baik khususnya pada sikap ilmiah siswa.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui begitu pentingnya peran model VCT dalam proses pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran VCT, diharapkan membantu peserta didik agar tidak menghafal atau hanya menerima nilai-nilai tersebut namun mendiskusikannya sebagai pertimbangan moral oleh peserta didik. Dengan demikian, model pembelajaran VCT diduga berpengaruh positif terhadap sikap ilmiah siswa. Karena itu akan terdapat perbedaan hasil belajar ranah afektif antara kelompok siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran VCT dengan kelompok siswa yang belajar menggunakan pembelajaran konvensional. Berdasarkan hal tersebut, maka dilaksanakan penelitian yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran VCT

(Value Clarification Technique) Terhadap

Hasil Belajar Ranah Afektif Mata Pelajaran PKn Siswa Kelas V Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015 SD Negeri Gugus III Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung”.

METODE

Dalam penelitian ini unit eksperimennya berupa kelas, sehingga penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen semu (Quasi Eksperiment). Dalam eksperimen semu, penempatan subjek ke dalam kelompok yang dibandingkan tidak dilakukan secara acak. Individu subjek sudah ada dalam kelompok yang dibandingkan sebelum diadakannya penelitian. Desain Penelitian yang digunakan adalah non equivalent post-test

only control group design. Desain ini dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Non Equivalent Post-test Only Control Group Design

Kelas Treatment Post-test

E X O1

K – O2

(6)

Keterangan: X = treatment terhadap kelompok eksperimen, – = tidak menerima treatment, O1 =

post–test terhadap kelompok eksperimen, O2 = post–test terhadap kelompok kontrol Populasi pada penelitian ini adalah

seluruh Kelas V Semester II Sekolah Dasar di Gugus III Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung yang terdiri atas 4 sekolah dasar pada tahun ajaran 2014/2015. Dari 4 SD yang ada di gugus III dilakukan uji kesetaraan untuk menentukan sampel setara atau tidak. Hasil dari uji kesetaraan pada populasi didapatkan seluruh sekolah setara yaitu SDN 1, 2, 3, dan 4 Kusamba. Kemudian, dari empat SD yang ada di Gugus III Kecamatan Dawan dilakukan pengundian untuk diambil dua kelas yang dijadikan subjek penelitian. Dari dua kelas tersebut diundi lagi untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan hasil pengundian untuk menentukan kelas eksperimen dan kontrol, diperoleh sampel yaitu siswa kelas V SDN 4 Kusamba sebagai kelas eksperimen dan siswa kelas V SDN 2 Kusamba sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen diberikan perlakuan pembelajaran dengan model VCT dan kelas kontrol diberikan perlakuan pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional. Penelitian ini melibatkan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model

VCT dan model pembelajaran konvensional

sedangkan variabel terikatnya adalah hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn.

Penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode non tes. Jenis instrumen berupa angket/kuesioner. Angket/kuesioner tersebut kemudian diuji coba lapangan untuk mencari validitas dan reliabilitasnya. Hasil tes uji lapangan akan diberikan kepada siswa kelas eksperimen dan kontrol. Teknik analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif dan statistik inferensial melalui Uji-t.

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

Data penelitian ini adalah skor hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn siswa sebagai akibat dari penerapan model VCT pada kelompok eksperimen dan model pembelajaran konvensional pada kelompok kontrol. Rekapitulasi perhitungan data hasil penelitian tentang hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn siswa dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Skor Hasil Belajar Ranah Afektif PKn Siswa Data

Statistik

Hasil Belajar Ranah Afektif PKn Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol Mean 120,31 97,14 Median 120,90 94,00 Modus 122,22 92,72

Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa mean data hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn kelompok eksperimen = 120,31 lebih besar daripada kelompok kontrol = 97,14. Kemudian data hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn kelompok eksperimen tersebut dapat disajikan ke dalam bentuk poligon seperti pada Gambar 1.

(7)

M=120,31

Md=120,90

Mo=122,22

Gambar 1. Poligon Data Hasil Belajar Ranah Afektif PKn Kelompok eksperimen

Berdasarkan poligon diatas, diketahui modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M). Dengan demikian, kurva di atas adalah kurva juling negatif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. Sedangkan Data hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn kelompok kontrol dapat disajikan ke dalam bentuk poligon seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Poligon Data Hasil Belajar Ranah Afektif PKn Kelompok Kontrol

Berdasarkan poligon diatas, diketahui mean lebih besar dari median dan median lebih besar dari modus (M>Md>Mo). Dengan demikian, kurva di atas adalah kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung rendah. Kemudian dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui pangaruh dari model pembelajaran yang diterapkan. Namun sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis data yaitu normalitas dan homogenitas. Berdasarkan hasil uji prasyarat analisis diperoleh bahwa data hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn kelompok eksperimen dan kontrol adalah normal dan varians kedua kelompok homogen. Untuk itu, pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t sampel independent (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians. Rangkuman hasil perhitungan uji-t antar kelompok eksperimen dan kontrol disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rangkuman Hasil Perhitungan Uji-t

Data Kelompok N X s2 thitung ttabel

Pemahaman Konsep

Eksperimen 32 120,31 39,71

13,67 2,00 Kontrol 29 97,14 48,12

Keterangan: N = jumlah data, X = mean, s2 = varians Berdasarkan tabel hasil perhitungan uji-t di

atas, diperoleh nilai thitung sebesar 13,67.

Sedangkan nilai ttabel adalah 2,00. Hal ini

berarti nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel

(thitung > ttabel), sehingga H0 ditolak atau H1

diterima. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model VCT dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran

konvensional pada siswa kelas V di Gugus III Kecamatan Dawan.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data hasil belajar ranah afektif PKn siswa menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan hasil belajar ranah afektif PKn antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran VCT dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran M= 97,14

Md= 94,00 Mo= 92,72

(8)

konvensional. Tinjauan ini didasarkan pada rata-rata skor hasil belajar ranah afektif PKn siswa dan hasil pengujian hipotesis menggunakan uji-t sampel independen (tak-berkorelasi) dengan menggunakan rumus

polled varians diperoleh thit = 13,67

sedangkan ttab dengan taraf signifikan 5%

dan db = 59 adalah 2,00. Hal ini berarti thit

lebih besar dari ttab (thit > ttab), sehingga hasil

penelitian dapat dikatakan signifikan. Rata-rata skor hasil belajar ranah afektif PKn kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran VCT lebih tinggi dari rata-rata skor hasil belajar ranah afektif PKn kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model konvensional. Perbedaan tersebut disebabkan oleh penerapan model pembelajaran yang berbeda.

Sanjaya (2010:283) mengemukakan bahwa teknik mengklarifikasi nilai VCT dapat diartikan sebagai teknik pembelajaran yang membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran VCT merupakan model pembelajaran yang menekankan pada penanaman nilai dalam diri siswa sehingga dalam aktivitas sehari-hari, nilai tersebut akan menjadi suatu pedoman dalam bertingkah laku dan bersikap. Sesuai dengan makna Model VCT, penelitian yang telah dilakukan mengajarkan siswa untuk meningkatkan hasil belajar ranah afektif PKn siswa. Dalam Model VCT, siswa belajar berdasarkan tahapan-tahapan yang teratur. Tahapan dimulai dari menyajikan dilema, tugas mandiri, membentuk diskusi kelompok kecil, diskusi kelas, dan penutup diskusi kelas. Melalui tahapan tersebut, siswa akan belajar membina dan mengembangkan potensi diri terutama mengembangkan potensi sikap. Pembelajaran dengan Model VCT sangat cocok digunakan untuk meningkatkan hasil belajar ranah afektif PKn siswa. Menurut Sudrajat, 2010 dinyatakan bahwa ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai.

Jadi, hasil belajar ranah afektif merupakan segala perilaku yang berhubungan dengan perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai yang menentukan keberhasilan belajar berdasarkan dari pengalamannya mengikuti pembelajaran. Untuk melatih dan meningkatkan hasil belajar ranah afektif PKn, harus menggunakan model yang dapat mengaktifkan siswa. Model VCT dengan tahapan-tahapan pembelajaran yang terstruktur sangat baik digunakan untuk meningkatkan hasil belajar ranah afektif PKn siswa. Dengan demikian sangat cocok apabila rata-rata skor hasil belajar ranah afektif PKn kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Model VCT sebesar 120,31.

Selanjutnya model pembelajaran konvensional diterapkan pada kelompok kontrol. Trianto (2010:6) menyatakan bahwa pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran berpusat pada guru dengan metode pembelajarannya yang lebih banyak menggunakan ceramah, demonstrasi, dan tanya jawab searah yaitu dari guru ke siswa. Pembelajaran konvensional mengarah pada filsafat behavioristik. Guru cenderung menganggap siswa sebagai kertas putih yang siap untuk ditulisi sehingga kegiatan pembelajaran konvensional selalu berpusat pada guru (teacher centered). Keadaan seperti ini membuat siswa enggan untuk belajar karena telah tertanam dibenaknya belajar hanya mencari nilai semata. Kenyataan yang dapat dilihat dalam penelitian ini pada kelompok kontrol, siswa hanya sebagai obyek belajar yang hanya berperan sebagai penerima informasi secara pasif yang dilanjutkan dengan pemberian soal latihan kepada siswa. Berdasarkan penjelasan tersebut, model pembelajaran konvensional tidak cocok digunakan untuk melatih dan meningkatkan hasil belajar ranah afektif PKn siswa. Hasil belajar ranah afektif PKn hanya dapat dilatih dan ditingkatkan dengan model pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif. Dengan demikian, sangat tepat apabila rata-rata skor hasil belajar ranah afektif PKn kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional sebesar 97,14 dan lebih kecil dari rata-rata

(9)

kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Model VCT.

Berdasarkan pemaparan di atas, terbukti secara empiris maupun teoritik kekuatan pada tahapan pembelajaran VCT mampu mengklarifikasi nilai, oralitas, dan norma keyakinan/prinsip baik berdasarkan norma umum maupun yang ada dalam diri ataupun kehidupannya. Hasil penelitian ini juga di dukung oleh hasil penelitian lain yang terkait dengan model pembelajaran VCT dengan keunggulannya. Pertama, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Gede Arya Wiratama, 2013. Melakukan penelitian eksperimen dengan judul Pengaruh Model Pembelajaran VCT Berbantuan Cerita Gambar Terhadap Hasil Belajar Ranah Afektif Siswa Mata Pelajaran PKn Kelas IV SD. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran VCT sangat berpengaruh positif terhadap hasil belajar ranah afektif siswa. Kedua, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ni Putu Sri Yuliasari, 2013. Melakukan penelitian eksperimen dengan judul Pengaruh Model Pembelajaran VCT Berbantuan Media Power Point Terhadap Hasil Belajar PKn Siswa Kelas V SD Gugus III Kecamatan Buleleng. Hasil penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa penggunaan model pembelajaran VCT berbantuan media power point dapat meningkatkan hasil belajar PKn. Ketiga, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kadek Dewi Anggarini, 2013. Melakukan penelitian eksperimen dengan judul Pengaruh Model Pembelajaran Value Clarification Technique Berbantuan Media Gambar Terhadap Nilai Karakter Siswa Kelas V SD Gugus VI Tajun. Hasil penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa penggunaan model pembelajaran VCT dapat meningkatkan nilai karakter siswa.

Berdasarkan keseluruhan pemaparan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan signifikan hasil belajar ranah afektif PKn antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran VCT dengan kelompok siswa yang mengikuti

pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada mata pelajaran PKn kelas V SD di Gugus III Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung tahun pelajaran 2014/2015. Dengan demikian, model pembelajaran VCT terbukti berpengaruh terhadap hasil belajar ranah afektif PKn siswa.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan sikap ilmiah siswa yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran VCT dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Perbedaan ini ditinjau dari rata-rata skor hasil belajar ranah afektif PKn siswa dan hasil uji-t. Rata-rata skor hasil belajar ranah afektif PKn siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran VCT adalah 120,31 dan rata-rata skor hasil belajar ranah afektif PKn siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional adalah 97,14. Selanjutnya berdasarkan hasil perhitungan uji-t, diperoleh thit sebesar 13,67 sedangkan ttab

dengan db = 59 pada taraf signifikansi 5% adalah 2,00. Hal ini berarti, thit lebih besar

dari ttab (thit > ttab), sehingga H0 ditolak dan

H1 diterima. Dengan demikian model

pembelajaran VCT berpengaruh terhadap hasil belajar ranah afektif PKn siswa.

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan beberapa saran yaitu pertama, kepada siswa agar nantinya lebih memotivasi diri dan meyakinkan dirinya, bahwa perubahan sikap akan terjadi apabila siswa mau berusaha lebih keras lagi. Dengan bantuan model pembelajaran VCT ini perubahan sikap siswa akan terlihat. Kedua, kepada guru di sekolah dasar agar lebih berinovasi dalam pembelajaran dengan menerapkan suatu pendekatan yang inovatif seperti model pembelajaran VCT untuk meningkatkan kualitas Nilai Afektif siswa. Ketiga, kepada kepala sekolah yang mengalami sikap ilmiah siswa rendah di sekolah, disarankan untuk mengambil suatu kebijakan untuk

(10)

mengimplementasikan Model Pembelajaran VCT. Keempat, kepada peneliti lain yang berminat untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai Model pembelajaran VCT dalam bidang ilmu PKn maupun bidang ilmu lainnya, agar memperhatikan kendala-kendala yang dialami dalam penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian yang akan dilaksanakan.

DAFTAR RUJUKAN

Adisusilo, Sutarjo. 2012. Pembelajaran

Nilai-Karakter. Jakarta: Rajawali

Pers.

Anggarini, Dewi. 2013. Pengaruh Model

Pembelajaran Value Clarification

Technique Berbantuan Media

Gambar Terhadap Nilai Karakter Siswa Kelas V SD Gugus VI Tajun.

Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Pendidikan Ganesha. Azis, Abdul. 2010. Pendidikan

Kewarganegaraan. Tersedia pada

http://azisgrblogspot.com/2010/05/p endidikan-kewarganegaraan-pkn.html (diakses 29 Januari 2015) Bundu, Patta. 2006. Penilaian Keterampilan

Proses dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains SD. Jakarta:

Depdiknas.

Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

Gribbons. Barry dan Joan Herman. 1997.

True and Quasi Experimental

Designs. Tersedia pada:

http://PAREonline.net/getvn.asp?v= 5&n=14. Diakses pada 20 Januari 2015.

Qomaryah. 2014. Kesiapan Guru dalam

Menghadapi Implementasi

Kurikulum 2013. Jurnal. Program

Studi Pendidikan Ekonomi. IKIP Negeri Semarang.

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar

Proses Pendidikan. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group. ---. 2010. Strategi Pembelajaran

Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group.

Solihatin, Etin. 2012. Strategi Pembelajaran

PKn. Jakarta: Bumi Aksara.

Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar dan

Pembelajaran di Sekolah Dasar.

Jakarta: PT Kharisma Putra Utama. Taniredja, Tukiran, dkk. 2012. Model-model

pembelajaran Inovatif.

Bandung:Alfabeta.

Trianto. 2010. Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan

Profesi Pendidikan & Tenaga

Kependidikan. Jakarta: Kencana

Predana Group.

UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.

Wiratama, Arya. 2013. Pengaruh Model

Pembelajaran VCT Berbantuan

Media Cerita Bergambar Terhadap Hasil Belajar Ranah Afektif Siswa Mata Pelajaran PKn Kelas V SD di Gugus III Kecamatan Negara Tahun Pelajaran 2012/2013. Skripsi (tidak

diterbitkan). Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Pendidikan Ganesha.

Yuliasari, Sri. 2013. Pengaruh Model VCT

Berbantuan Media Power Point Terhadap Hasil Belajar PKn Siswa Kelas V SD Gugus III Kecamatan

Buleleng Tahun Pelajaran

2012/2013. Skripsi (tidak

diterbitkan). Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Pendidikan Ganesha.

Gambar

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Skor Hasil Belajar Ranah Afektif PKn Siswa  Data
Gambar 1.  Poligon  Data  Hasil  Belajar  Ranah Afektif PKn Kelompok eksperimen

Referensi

Dokumen terkait

Pada pemodelan propagasi akustik seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1 di atas, sinyal suara diasumsikan mengalami tiga kondisi, yaitu kondisi sinyal terpropagasi

Namun, Peraturan Perundang-Undangan lain mengenai informasi yang dicantumkan pada label obat ini telah banyak diterbitkan oleh pemerintah dan Badan Pengawas Obat dan

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER APOTEK KIMIA FARMA 24.. JALAN

Dari analisis pola sedimentasi-erosi hasil simulasi model transport sedimen pada musim barat, erosi terlihat dominan di pantai bagian barat daya, sedangkan sedimentasi dominan

PENERAPAN KANTIN KEJUJURAN SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN KARAKTER WARGA NEGARA YANG BAIK. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

“REDUKSI KONSUMSI ENERGI PERANGKAT BERGERAK WIMAX MELALUI PENGATURAN BEBAN PROTOKOL TRANSPORT” Tugas Akhir ini penulis persembahkan kepada yang teristimewa yaitu.. ayahanda

dilakukan pengaturan beban protokol transport pada data video energi yang. dikonsumsi sebesar

Untuk itu riset di bidang penggalian data, jaringan syaraf tiruan dan pembelajaran mesin masih perlu dilakukan untuk membangun suatu sistem yang bisa membantu menyelesaikan masalah