• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jaminan kesehatan semesta (universal health coverage) yang telah disahkan oleh Majelis Kesehatan Dunia pada tahun 2005 merupakan resolusi untuk mengembangkan pembiayaan kesehatan dengan dua tujuan yaitu mewujudkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan memberikan perlindungan pembiayaan kesehatan kepada semua orang (WHO, 2010). Dalam kesepakatan anggota Organisasi Kesehatan Dunia Wilayah Asia Tenggara (WHO-SEARO) tahun 2012 disebutkan bahwa salah satu strategi pencapaian Universal Health Coverage (UHC) adalah menempatkan pelayanan kesehatan primer sebagai pusat UHC (WHO-SEARO, 2013; Singh, 2014).

Jaminan kesehatan nasional (JKN) di Indonesia sudah mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014 secara bertahap untuk mencapai UHC. Salah satu faktor penentu keberhasilan pelaksanaan UHC adalah kesiapan dan investasi dalam pelayanan kesehatan khususnya sarana prasarana dan tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan dalam pelayanan kesehatan primer (WHO, 2010).

Kesiapan tenaga kesehatan khususnya dokter pelayanan kesehatan primer merupakan hal yang sangat penting, karena dokter adalah penyedia layanan kesehatan yang melakukan kontak pertama dengan seseorang yang sakit (Gan et al., 2004). Pentingnya dokter pelayanan kesehatan primer sebagai tulang punggung pelayanan kesehatan karena lebih dari 90% dari semua masalah kesehatan seharusnya dapat ditangani di pelayanan kesehatan primer. Studi yang dilakukan oleh Green et al. (2001) menyebutkan bahwa ada 21,7% penduduk di Amerika yang mencari pengobatan ke dokter setiap bulannya dan yang memerlukan pelayanan kesehatan di rumah sakit hanya 3-4% dari seluruh penduduk.

Komponen yang perlu diperhatikan dalam tenaga dokter adalah jumlah atau ketersediaan, distribusi, dan kemampuan dokter. Ketersediaan dokter di Indonesia masih merupakan tantangan. Sebenarnya sudah ada peningkatan jumlah dokter dan rasio dokter terhadap jumlah penduduk di seluruh provinsi dan juga di

(2)

daerah pedesaan dari tahun ke tahun, namun distribusi masih belum merata. Menurut hasil Rifaskes (2012), dari 8980 puskesmas yang disurvei, masih ada 4,2% puskesmas yang tidak memiliki dokter, terutama di wilayah Indonesia Timur bisa mencapai lebih dari 16% puskesmas tanpa dokter. Menurut survei PODES (Potensi Desa), secara nasional rasio dokter per 100.000 penduduk mengalami peningkatan dari 15,65 pada tahun 1996 menjadi 18,36 pada tahun 2006. Namun kesenjangan distribusi dokter masih terjadi di mana di daerah perkotaan rasio dokter adalah 36,18 per 100.000 penduduk, sedangkan daerah pedesaan sebesar 5,96 per 100.000 penduduk pada tahun 2006. Disparitas ketersediaan dokter antara daerah perkotaan, pedesaan, terpencil, dan sangat terpencil masih merupakan tantangan bagi Indonesia (Rokx et al., 2010).

BPJS Kesehatan di Indonesia sebagai badan penyelenggara JKN menerapkan konsep managed care dalam pelayanannya. Dalam konsep managed care yang dikembangkan di Amerika, pengendalian biaya dan utilisasi pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh peran gatekeeper di pelayanan primer. Organisasi managed care di Amerika Serikat banyak menggunakan dokter pelayanan primer sebagai gatekeeper untuk mengurangi biaya dengan membatasi rujukan ke pelayanan spesialis yang tidak sesuai. Pembatasan penggunaan pelayanan spesialis yang tidak perlu bisa meningkatkan kualitas pelayanan (Franks et al., 1992).

Pengaturan pembatasan rujukan dalam JKN antara lain dengan diberlakukannya panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer yang awalnya berisi daftar 144 penyakit yang harus ditangani di layanan primer sesuai dengan level kompetensinya. Jenis penyakit dalam panduan praktik klinis mengacu pada peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) No.11 tahun 2012 tentang SKDI (Kemenkes, 2014a). Selanjutnya atas usulan IDI, jumlah penyakit dalam panduan klinis menjadi 155 jenis penyakit.

Panduan praktik klinis merupakan salah satu standar pelayanan kedokteran untuk pelayanan primer yang disahkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan telah diterbitkan sebagai regulasi berupa Peraturan Menteri Kesehatan nomor 5 tahun 2014. Panduan ini diharapkan dapat membantu dokter layanan primer untuk

(3)

mewujudkan pelayanan kedokteran dalam rangka kendali biaya kendali mutu, menurunkan angka rujukan dengan cara mempertajam kemampuan dokter sebagai gatekeeper (Kemenkes, 2014b).

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki jumlah penduduk 3.560.080 jiwa dengan 5 kabupaten (Kemenkes, 2014c). Jumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang kerjasama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 299 buah terdiri dari: 121 puskesmas, 100 dokter praktik umum, 18 dokter gigi praktik, 37 klinik pratama, 9 klinik TNI, 6 klinik POLRI, dan 8 rumah bersalin. Rasio dokter umum di provinsi DIY adalah 78,6 per 100.000, angka ini sudah di atas standar nasional yaitu 40 per 100.000 (gambar 1). Namun rasio dokter bervariasi antar kabupaten/kota di DIY. Rasio dokter tertinggi di Kota Yogyakarta sebesar 183,4 per 100.000 penduduk, sedangkan rasio dokter terendah dan masih di bawah standar nasional berada di Kabupaten Gunung Kidul sebesar 10,5 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2014d).

Gambar 1. Rasio dokter umum per 100.000 penduduk di DIY

Hasil monitoring dan evaluasi dari BPJS Kesehatan Divisi Regional Jawa Tengah dan DIY tahun 2014 menyebutkan bahwa masih banyak kasus dari 155 diagnosis penyakit dalam panduan praktik klinis dirujuk ke rumah sakit (tabel 1). Tabel 1 menggambarkan 20 diagnosis terbesar dari 155 penyakit, di mana 20 diagnosis tersebut merupakan penyakit dalam panduan praktik klinis dengan level kompetensi 4. Penyakit dengan level kompetensi 4 artinya dokter mampu

(4)

membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas (KKI, 2012).

Tabel 1. Diagnosis terbanyak dari 155 penyakit yang dirujuk ke rumah sakit di Jawa Tengah-DIY

No Kode Nama Diagnosis Level Jumlah

ICD-X kompetensi

1 J459 Asthma, unspecified 4 1702

2 J450 Predominantly allergic asthma 4 1587

3 A150 Tb lung confirm sputum microscopy 4 1445

with or without culture

4 J180 Bronchopneumonia, unspecified 4 1343

5 R11 Nausea and vomiting 4 1242

6 H000 Hordeolum 4 1125

7 J039 Acute tonsilitis, unspesified 4 1076

8 H612 Impacted cerumen 4 983

9 H109 Conjunctivitis, unspecified 4 982

10 H524 Presbyopia 4 968

11 J4599 Asthma 4 869

12 G510 Bell's palsy 4 867

13 H609 Otitis externa, unspecified 4 858

14 I100 Hypertension, stage I 4 814

15 I109 Hypertension, (HPN) 4 810

16 J209 Acute bronchitis, unspecified 4 781

17 I101 Hypertension, stage II 4 756

18 J200

Acute bronchitis due to mycoplasma

pneumonia 4 751

19 R040 Epistaxis 4 737

20 H600 Abscess of external ear 4 726

(Sumber : BPJS Kesehatan Divre Jateng dan DIY, Januari-September 2014)

Duapuluh diagnosis dalam tabel 1 merupakan diagnosis yang ditulis dalam kode ICD-X. Diagnosis dalam kode ICD-X di atas diubah menjadi diagnosis penyakit dalam panduan praktik klinis di pelayanan kesehatan primer, maka akan menjadi 13 jenis penyakit (tabel 2). Diagnosis ‘nausea and vomiting’ merupakan suatu gejala kondisi medis yang disebabkan oleh berbagai penyakit sehingga diagnosis ini tidak akan dimasukkan dalam pembahasan penelitian ini. Tigabelas penyakit dengan level kompetensi 4 seharusnya tidak dirujuk oleh dokter di layanan primer.

(5)

Tabel 2. Penyakit terbanyak dalam panduan praktik klinis yang dirujuk ke rumah sakit di Jawa Tengah-DIY

No Nama Penyakit Jumlah No Nama Penyakit Jumlah

1 Asma bronkial 4158 8 Serumen prop 983

2 Hipertensi 2380 9 Konjungtivitis 982

3 Bronkitis akut 1532 10 Presbiopia 968 4 Tuberkulosis 1445 11 Bell's palsy 867 5 Bronkopneumonia 1343 12 Otitis externa 858

6 Hordeolum 1125 13 Epistaksis 737

7 Tonsilitis 1076

Keputusan dokter dalam merujuk dikaitkan dengan tiga alasan utama yaitu meminta saran dalam penegakkan diagnosis dan rencana pemberian terapi, meminta pelayanan spesialistik yang tidak dapat dilakukan oleh dokter umum, dan atas permintaan pasien (Forrest et al., 2002). Salah satu alasan keputusan merujuk yang dilakukan oleh dokter puskesmas adalah dikaitkan dengan keterampilan klinis dokter (Mendrofa, 2011). Keterampilan klinis diartikan mampu melakukan prosedur diagnosis dan melakukan prosedur penatalaksanaan secara holistik dan komprehensif. Keterampilan klinis merupakan bagian dari kompetensi dokter (KKI, 2012). Istilah kompetensi biasanya merujuk pada suatu kemampuan yang diperoleh dari kualifikasi legal. Namun dalam aplikasi praktik kedokteran penggunaan istilah kompetensi dan kemampuan sering dianggap sama (Leo, 1999).

Kemampuan dokter menunjukkan suatu kemampuan membuat keputusan yang rasional dalam melakukan penanganan medis. Apabila dokter tidak mampu menangani kondisi medis pasien, maka secara de facto disebut inkompeten (Leo, 1999). Menurut data di Ontaria ada sekitar 15% dokter keluarga yang memiliki kemampuan praktik yang kurang (Wenghofer et al., 2009; McAuley et al., 1990). Menurut data Indonesian Family Life Survey (IFLS) 2007, kemampuan dokter pelayanan primer dalam diagnosis dan pengelolaan ante natal care (ANC), pelayanan kuratif anak, dan pelayanan kuratif dewasa masih berada jauh di bawah skor standar (Rokx et al., 2010). Penyedia layanan kesehatan yang kurang

(6)

kompeten cenderung kurang menyediakan layanan yang berkualitas (Kak et al., 2001).

Mengukur kompetensi dokter sangat penting untuk menentukan kemampuan dan kesiapan dokter untuk memberikan layanan berkualitas. Sangat sedikit studi telah dirancang dan dilakukan di negara-negara berkembang pada pengukuran kompetensi penyedia pelayanan kesehatan termasuk di Indonesia khususnya DIY.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut

1. Bagaimana persepsi dokter tentang kemampuan dokter mengelola 13 penyakit level kompetensi 4 dari hasil monitoring BPJS Kesehatan tahun 2014 di fasilitas kesehatan tingkat pertama BPJS Kesehatan cabang DIY? 2. Apakah ada perbedaan persepsi dokter tentang kemampuan dokter

mengelola 13 penyakit dari hasil monitoring BPJS Kesehatan tahun 2014 antara dokter praktik perorangan, klinik pratama, dan puskesmas yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan cabang DIY?

3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keputusan merujuk 13 penyakit dari hasil monitoring BPJS Kesehatan tahun 2014 di fasilitas kesehatan tingkat pertama BPJS Kesehatan cabang DIY?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Mengidentifikasi persepsi dokter tentang kemampuan dokter mengelola 13 penyakit dari hasil monitoring BPJS Kesehatan tahun 2014 di fasilitas kesehatan tingkat pertama BPJS Kesehatan cabang DIY

2. Membandingkan persepsi dokter tentang kemampuan dokter mengelola 13 penyakit dari hasil monitoring BPJS Kesehatan tahun 2014 antara dokter

(7)

praktik perorangan, klinik pratama, dan puskesmas yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan cabang DIY

3. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan merujuk 13 penyakit dari hasil monitoring BPJS Kesehatan tahun 2014 di fasilitas kesehatan tingkat pertama BPJS Kesehatan cabang DIY

D. Manfaat Penelitian

1. Dinas Kesehatan

1. Sebagai bahan untuk membuat kebijakan terkait peningkatan kemampuan dokter dalam praktik pelayanan kesehatan primer guna mendukung penerapan pelayanan kesehatan primer yang bermutu

2. Sebagai masukan untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan primer

2. Ikatan Dokter Indonesia

1. Sebagai masukan dalam perencanaan pengembangan pengetahuan dan pelatihan, serta kompetensi kepada dokter di pelayanan primer dalam implementasi panduan praktik klinis sesuai kompetensi guna mendukung pencapaian jaminan kesehatan nasional

3. BPJS Kesehatan

1. Sebagai bahan kajian dalam penerapan peraturan tentang penyakit-penyakit yang harus ditangani di pelayanan kesehatan primer

2. Sebagai informasi dan bahan kajian mengenai penerapan gatekeeper concept di pelayanan kesehatan primer sehingga bisa menurunkan angka rujukan non spesialistik

3. Sebagai masukan dalam perencanaan pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada dokter di pelayanan kesehatan primer sesuai kompetensi guna mendukung pencapaian jaminan kesehatan nasional 4. Sebagai masukan untuk perbaikan mutu fasilitas pelayanan kesehatan

(8)

E. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan judul ‘Analisis Kemampuan Dokter Mengelola Penyakit Dalam Pelayanan Kesehatan Primer di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Studi di Daerah Istimewa Yogyakarta) belum pernah dilakukan. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini dituliskan dalam tabel berikut:

Tabel 3. Keaslian penelitian

No. Peneliti Judul Hasil Temuan Persamaan Perbedaan

1. Istiono (2015) Kemampuan Dokter Mengelola Penyakit Secara Mandiri diFasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (Studi Kasus di Indonesia) Kemampuan dan kemandirian dokter masih rendah menurut persepsi dokter. Faktor yang mempengaruhi adalah pola pelayanan yang masih kuratif, kurangnya sarana prasarana fasilitas kesehatan, belum ditunjang dengan konsep gatekeeper yang kuat. Variabel: 1. Kemampuan dokter 2. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap hasil kuantitatif

Jenis dan disain: deskriptif, multiplecase study (penelitian ini menggunakan jenis studi komparatif dan metode campuran) Variabel: a. kemampuan dokter mengelola penyakit berdasarkan SKDI 2006. Variabel dalam penelitian ini adalah kemampuan dokter berdasarkan penyakit dalam panduan praktik klinis (SKDI 2012) dan difokuskan pada 13 penyakit terbanyak dirujuk. b. Variabel lain yang diteliti: faktor yang berpengaruh terhadap dokter merujuk 13 penyakit 2. Grace et al. (2014) Predictors of Physician Performance on Competence Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kompetensi dokter adalah karakteristik Variabel: karakteristik responden, pola praktik dokter a. Metode kuantitatif b. Kompetensi dokter dinilai dengan CPEP assessment.

(9)

Assessment: Findings From CPEP, the Center for Personalized Education for Physicians responden , pola praktik, dan alasan penilaian rujukan. 3. Geswar dkk. (2014) Kesiapan stakeholder dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional di Kabupaten Gowa Belum ada kesiapan untuk aspek fasilitas kesehatan dikarenakan alat kesehatan masih kurang, belum ada kesiapan aspek regulasi dikarenakan belum ada petunjuk teknis di Kabupaten Gowa mengenai jaminan kesehatan. Sosialisasi sudah dilakukan seluruh pihak stakeholder, namun belum optimal sehinggga masih banyak masyarakat belum memahami tentang program JKN Meneliti kaitannya dalam kesiapan jaminan kesehatan nasional di pelayanan kesehatan primer a. Metode: kualitatif (penelitian ini menggunakan jenis studi komparatif dan metode campuran) b. Variabel lain seperti aspek regulasi dan sosialisasi tidak dilakukan oleh peneliti. Namun peneliti melakukan penelitian yang lebih detail mengenai kemampuan dokter dalam implementasi JKN khususnya pengelolaan 13 jenis penyakit level kompetensi 4 yang dirujuk di rawat jalan pelayanan sekunder. c. Lokasi: Kabupaten Gowa

Gambar

Gambar 1. Rasio dokter umum per 100.000 penduduk di DIY

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi Kumpulan Doa Sehari-hari Anak Muslim ini adalah aplikasi yang berisi doa-doa sehari-hari dengan menampilkan perpaduan gambar dan suara, dan dibuat dengan menggunakan

Tulis Identitas Peserta (Nama, Sekolah, Kab/Kota, Propinsi) pada setiap halaman lembar jawaban Pilihan Ganda dan Isian/Essay. Tulis mata pelajaran yang diujikan dan Tingkat

Pada hal, Pasal 4 ayat 2 secara tegas bahwa pelaku usaha patut atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran barang atau jasa jika dua

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier

Berdasarkan pengamatan kemampuan berbahasa siswa pada siklus 1 telah mengalami peningkatan dari pratindakan walaupun belum mencapai persentase KKM yang telah ditentukan.

Memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan (Pengadaan Seragam) sebagai Penyedia Barang/Jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik dilingkungan pemerintah

Renstra Kecamatan Gunungsindur tahun 2013-2018 dimaksudkan sebagai dokumen perencanaan jangka menengah yang akan menjabarkan RPJMD Kabupaten Bogor tahun 2013-2018 sesuai

Sesuai dengan kebijakan pengembangan ekonomi daerah Kabupaten Tanah Datar yang telah disusun dalam Master Plan Pengembangan Ekonomi Daerah (MP2ED) Kabupaten Tanah