• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi-Strategi Infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Strategi-Strategi Infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1.1. Berbagai Tantangan untuk Pembangunan di

Papua dan Papua Barat

Wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat sangat besar dan bervariasi. Jika digabung, luas kedua provinsi tersebut kurang lebih sama dengan California, atau dua kali lipat Inggris Raya. Walaupun menyimpan sumber daya alam yang melimpah, pembangunan ekonominya menghadapi tantangan-tantangan luar biasa. Rintangan yang harus dihadapi bersifat fi sik – yaitu jarak yang sangat jauh, pegunungan yang curam, dataran rendah berawa-rawa, tanah yang rapuh, curah hujan musiman yang tinggi – dan bersifat sosial – yaitu kepadatan penduduk yang rendah dan fragmentasi kebudayaan yang ekstrim. Kurang dari 3 juta penduduk pribumi Papua menggunakan 250 bahasa yang berbeda, dan mempunyai kebudayaan yang unik, bahkan kadang-kadang saling bentrok satu sama lain.

Papua dan Papua Barat kaya akan sumber daya alam (SDA) tak-terbarukan. Sejauh ini, kandungan emas, tembaga, perak, minyak bumi, gas alam, dan batu bara telah ditemukan di Papua dan Papua Barat. Tak ada yang meragukan bahwa akan lebih banyak lagi kandungan SDA yang ditemukan. Papua dan Papua Barat juga memiliki hutan tropis terbesar ketiga yang tersisa di dunia setelah daerah aliran sungai Amazon dan hutan-hutan di Afrika Tengah. Ketinggian tanah dan curah hujan yang sangat bervariasi menciptakan kondisi yang ideal bagi keragaman ekologi yang luar biasa. Selain itu, berbeda dengan negara tetangga PNG, tutupan hutan di Papua dan Papua Barat sebagian besar masih utuh. Hampir separuh dari hutan yang tersisa di Indonesia berada di Papua dan Papua Barat. Lautan yang mengelilingi, khususnya di sebelah utara, juga memiliki keragaman spesies yang luar biasa berlimpah. Secara singkat, Tanah Papua ini merupakan sebuah kantung biosfer yang unik. Secara tradisional, masyarakat pribumi telah sangat menggantungkan hidupnya pada jenis tumbuhan dan hewan setempat, tetapi dengan dampak yang relatif sangat kecil terhadap lingkungan hidup. Karena sebagian besar hutannya terdiri dari pohon-pohon yang memiliki nilai komersial tinggi, termasuk kayu cendana dan merbau, maka bisnis kehutanan komersial menarik minat yang cukup besar.

Namun indikator pembangunan sumber daya manusia masih tetap rendah. Meskipun dikelilingi oleh kekayaan mineral dan hutan, sebagian besar rakyat Papua dan Papua Barat masih tetap sangat miskin. Permintaan akan infrastruktur mencerminkan keinginan untuk mengubah kondisi ini. Di pedalaman Papua dan Papua Barat, barang-barang yang masuk dari luar wilayah sangat mahal, karena biaya transportasi yang tinggi. Penduduk menginginkan pembangunan jalan agar biaya pengiriman barang tidak terlalu mahal. Para pelaku bisnis lokal dan internasional juga menginginkan infrastruktur yang lebih baik agar dapat mengambil dan mengekspor kekayaan mineral tak-terbarukan dan kekayaan hutan tersebut. Oleh karena itu, untuk Papua dan Papua Barat, pembahasan mengenai pembangunan infrastruktur telah difokuskan pada transportasi, khususnya pembangunan jalan. Namun, pembangunan infrastruktur juga harus membantu masyarakat terpencil untuk memperoleh akses ke pendidikan, perawatan kesehatan, air, sanitasi, tenaga listrik, dan teknologi komunikasi. Tingkat pendidikan rata-rata saat ini masih rendah dan kesehatan terancam oleh merebaknya malaria, penyakit infeksi lambung dan usus, serta HIV-AIDS.

Pertumbuhan ekonomi di Papua dan Papua Barat selama ini terkonsentrasi pada beberapa tempat saja di mana interaksi antara tempat ini relatif sedikit. Kebanyakan konsentrasi ekonomi ini berada di daerah pesisir. Di wilayah pedalaman, seperti dataran tinggi yang bergunung-gunung, unit-unit ekonomi yang

(3)

ada pada umumnya kecil dan terpencar, yang berpusat pada administrasi pemerintahan dan pertanian penyambung hidup.

Saat ini, Papua dan Papua Barat sedang berada di ambang perubahan yang sangat besar. Seperti halnya yang terjadi di bagian dunia lain yang kaya akan sumber daya tak-terbarukan, ada tekanan besar untuk mengonversi aset-aset ini menjadi uang tunai. Jika diambil dan dijual, setiap pohon, setiap ons emas dan setiap ton batu bara senilai dengan rumah baru, mobil, dan pesawat terbang.

Infrastruktur yang lebih baik akan menurunkan biaya pengambilan dan transportasi, sehingga laba pengusaha penebangan kayu dan perusahaan pengambil sumber daya lainnya akan meningkat. Para calon investor yang akan membangun jalan dan infrastruktur lainnya siap menjanjikan penghasilan besar, jika diizinkan untuk mengambil kekayaan hutan dan mineral di Papua dan Papua Barat. Penduduk Papua dan masyarakat Indonesia lainnya pun akan memperoleh sebagian dari penghasilan dari eksploitasi sumber daya tersebut. Prospek untuk mengonversi sumber daya ini dengan uang dan pembangunan infrastuktur akan sulit untuk ditolak. Pertanyaannya adalah: apa dampak dari keuntungan jangka pendek yang diperoleh terhadap pembangunan jangka panjang? Tantangan paling dasar adalah bagaimana mengembangkan daerah tersebut sehingga menciptakan kesempatan yang luas bagi generasi-generasi mendatang sekaligus bagi mereka yang dapat menikmati penghasilan langsung saat ini dari pengambilan sumber-sumber daya tak-terbarukan tersebut.

1.2. Tantangan Terhadap Pembangunan yang

Berkelanjutan

Mempertimbangkan masa depan Tanah Papua, tiga aspek tantangan ini patut dipertimbangkan: “kelangsungan” ekonomi, lingkungan hidup dan budaya. Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai perubahan yang memungkinkan generasi mendatang untuk menikmati layanan ekonomi, lingkungan hidup dan budaya setidaknya setara dengan apa yang dinikmati oleh generasi sekarang. Suatu perubahan tidak bisa disebut berkelanjutan apabila kesempatan ekonomi, lingkungan hidup dan budaya bagi generasi mendatang lebih kecil daripada yang dinikmati oleh penduduk Tanah Papua pada saat ini. Kelangsungan tidak selalu dapat dicapai sepenuhnya, tetapi selalu harus dijadikan standar untuk mengukur perubahan apa pun yang akan dibuat.

1.2.1. Kelangsungan ekonomi

Suatu strategi pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan secara ekonomi jika menciptakan penghasilan yang bertahan untuk beberapa generasi ke depan dan bukan hanya untuk beberapa dekade. Tanpa perencanaan, eksploitasi sumber daya tak-terbarukan akan mengalami siklus tumbuh-layu, dan hanya meninggalkan kesempatan-kesempatan yang sudah merosot. Apa yang akan dilakukan oleh penduduk Papua dan Papua Barat setelah “menyerbu temuan emas” tersebut?

Ekploitasi sumber daya mineral mungkin dapat berlangsung hingga beberapa dekade. Selama periode ini, sangat penting untuk melakukan investasi yang menciptakan mata pencaharian setelah kandungan tersebut habis dikuras. Tambang Freeport di Papua adalah suatu studi kasus yang menarik dalam upaya investor swasta dan sektor publik untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan dari suatu usaha bidang pertambangan (lihat Kotak 5).

(4)

Hutan pada umumnya lebih cepat habis. Sebagai perbandingan, tambang atau kandungan hidrokarbon sebanyak beberapa ratus kilometer persegi dapat menciptakan penghasilan selama bertahun-tahun sebelum habis. Sedangkan, puluhan ribu kilometer persegi hutan dapat dibabat habis dalam jangka waktu satu generasi saja. Antara tahun 1982 hingga 2005, menurut Departemen Kehutanan Indonesia, sekitar 34 juta hektar hutan telah dibabat. Dengan kata lain, dalam jangka waktu 23 tahun ini, hutan Indonesia ditebangi dengan kecepatan 40 kilometer persegi per hari (kira-kira 30 km2/hari setelah tahun 2000).

Hutan pada dasarnya bukan tak-terbarukan. Saat ini sudah ada teknologi kehutanan berkelanjutan, yang melibatkan eksploitasi selektif, penanaman kembali, dan pengelolaan aktif hutan-hutan yang masih ada. Sayangnya, “teknologi kehutanan berdampak rendah” semacam itu terkadang disebut “kehutanan berpenghasilan rendah,” karena untuk jangka pendek, membabat habis hutan akan menciptakan penghasilan bersih yang jauh lebih besar daripada menggunakan teknik-teknik praktek berkelanjutan. Dalam sejarah belakangan ini, sebagian besar eksploitasi hutan ternyata tidak berkelanjutan. Baik di daerah aliran sungai Amazon, PNG, maupun Kalimantan, apabila sebidang tanah di hutan telah dibuka, seluruh hutan akan habis. Eropa telah mengalami era penggundulan hutan berabad-abad yang lalu. Amerika Utara juga sedang menghadapi tantangan serupa untuk melaksanakan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Menurut perkiraan kami, nilai bruto kayu dari satu hektar tanah hutan adalah sekitar US$ 13.500 bila tanah tersebut dibabat habis2. Dari jumlah ini, secara

rata-rata, pajak dan pendapatan pemerintah menyerap sekitar 16% (US$ 2.160), dan pembayaran kepada para “pemilik tradisional” lokal mengambil jatah 0,5% hingga 3,5% (US$ 67,5 hingga US$ 472,5). Sisanya yaitu di atas 80% (US$ 10.868 hingga US$ 11.273) dari nilai kayu tersebut dibagi-bagi untuk biaya penebangan, transportasi, dan laba.

Menurut perhitungan kami, Nilai Ekonomi Total rata-rata hektar tanah di hutan Papua atau Papua Barat adalah kira-kira US$ 5.700/ha/tahun. Di antaranya sekitar US$ 1.100 merupakan penghasilan bagi pengguna langsung (masyarakat setempat) dan US$ 4.600 sebagai penghasilan bagi pengguna tidak langsung (yang mengambil manfaat dari layanan daerah punggung sungai di dataran rendah, layanan penyerap karbon, dan sebagainya)3. Para pengguna tanah setempat dapat memilih untuk

menerima pembayaran satu-kali sejumlah US$ 472,5 untuk satu hektar hutan mereka, atau menerima “nilai” yang setara selama kurang dari enam bulan. Tentu saja, nilai ini dibagikan untuk jumlah penduduk yang besar sedangkan pada pembayaran tunai tidak selalu demikian, sehingga akan selalu ada godaan. Namun, jelas bahwa penduduk setempat adalah yang paling dirugikan jika hutan ditebangi.

Dalam kasus tertentu, lahan gundul dapat tetap mendatangkan penghasilan setelah kayunya habis ditebangi. Dengan hak-hak properti yang jelas dan kondisi yang mendukung, sebidang tanah di hutan yang baru digunduli dapat diubah menjadi perkebunan, tanaman pangan tahunan, atau tanah penggembalaan. Faktanya, sebagian besar tanah pertanian yang berada di bagian tengah daratan Eropa dan Amerika Utara dulunya adalah hutan lebat. Tetapi, dalam situasi lain, kondisi tanah yang rapuh dan tanjakan curam tidak memungkinkan tanah yang telah digunduli itu untuk dijadikan pertanian. Dalam hal demikian, penggundulan hutan menyebabkan tanah longsor, erosi, dan hilangnya kesempatan ekonomi. Di Selandia Baru, banyak wilayah hutan telah disingkirkan oleh orang Maori dengan cara pembakaran

(5)

dan oleh orang Eropa untuk pertanian. Sehingga, saat ini bidang-bidang tanah yang digunduli tersebut mengakibatkan kerugian ekonomi karena erosi sebesar US$ 100 - 150 juta per tahun4

Sebagian besar wilayah Papua dan Papua Barat diperkirakan tidak mampu menghasilkan pemasukan berkelanjutan bila hutan telah habis dibabat. Dataran tinggi dengan tanjakan curam yang dilapisi oleh tanah muda yang tipis maupun dataran rendah yang berawa-rawa dengan tanah gambut tidak mungkin mendukung pemanfaatan ekonomis yang berkelanjutan atas tanah bila hutan telah habis. Dengan demikian, begitu hutan telah gundul, manfaat hutan tersebut bagi penduduk setempat telah berakhir, begitu pula dengan manfaat global hutan sebagai penyerap karbon, pemelihara siklus zat-zat nutrisi, dan pelestari keragaman genetis. Eksploitasi jangka pendek secara cepat atas sumber-sumber daya tak-terbarukan sering telah mengakibatkan keadaan yang tidak dapat bertahan untuk jangka menengah. Sehingga, kesempatan ekonomi untuk generasi berikutnya akan lebih buruk dibanding generasi saat ini.

1.2.2. Kelangsungan lingkungan hidup

Hampir setiap bentuk pembangunan akan merusak hutan dan kehidupan fauna serta kelautan di Papua. Namun, pada prinsipnya, masih ada kemungkinan untuk menghindari hancurnya keragaman biologis dengan menciptakan kawasan konservasi dan taman nasional. Jika akses ke sumber-sumber daya tak-terbarukan dibatasi, dan pengambilannya dipantau, erosi dan kerusakan habitat akan dapat dikendalikan. Hanya saja, strategi seperti ini hanya tampak mudah di atas kertas dan sulit untuk direalisasikan. Seperti halnya kelangsungan ekonomi, tidak ada contoh keberhasilan mengenai upaya berkelanjutan bagi lingkungan hidup dalam pengambilan sumber-sumber daya tak-terbarukan, khususnya sumber daya hutan.

Tantangan dari segi lingkungan hidup dalam proses pembangunan di Papua merupakan sesuatu yang kompleks karena berpengaruh terhadap setiap orang di dunia, misalnya dampak terhadap iklim dan keanekaragaman hayati global. Pada prinsipnya, seluruh penduduk dunia yang memperoleh keuntungan dari hutan Papua seharusnya membayar untuk manfaat ini. Biaya pelestarian tidak seharusnya dibebankan pada rakyat miskin yang kebetulan tinggal di Papua

dan Papua Barat. Tetapi sekali lagi, lebih mudah merumuskan prinsip demikian daripada melakukannya. Upaya untuk menciptakan sistem yang mengatur agar penduduk dunia membayar uang sewa untuk jasa hutan-hutan tropis ini sudah dimulai. Namun, tidak banyak yang telah dilakukan dan tidak banyak pula uang yang mengalir. Seperti telah disebutkan di atas, manfaat tidak langsung per tahun dari satu hektar hutan di Papua atau Papua Barat kepada penduduk dunia (US$ 4.600) – baik yang dekat melalui layanan daerah punggung sungai, maupun yang jauh melalui layanan penyerap karbon – mencapai empat kali lipat dari nilai langsung yang diterima oleh penduduk pribumi (US$ 1.100).

1.2.3. Kelangsungan budaya

Kebudayaan asli Papua dan Papua Barat sedang terancam. Kita tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa kontak dengan dunia luar melalui pendidikan, perdagangan, dan perpindahan penduduk akan membawa perubahan terhadap kebudayaan Papua dan Papua Barat secara mendalam dan permanen. Banyak aspek kehidupan tradisional akan lenyap dalam satu atau dua generasi. Banyak bahasa juga kemungkinan besar akan lenyap.

(6)

“Kelangsungan budaya” dalam konteks Papua dan Papua Barat harus berpusat pada dampak pembangunan terhadap penduduk asli Papua dan Papua Barat. Di satu sisi, memang tidak mungkin untuk melindungi semua aspek budaya lokal yang terancam punah, mengingat sebagian memang tidak dapat bertahan di tengah-tengah masyarakat modern yang saling bergantung satu sama lain. Tetapi, perubahan budaya di Papua dan Papua Barat harus dilakukan dengan memberikan pengetahuan dan ketrampilan yang sangat perlu bagi masyarakat asli secara tepat waktu, dan bukan melalui suatu tsunami budaya. Pembangunan di Papua dan Papua Barat tidak boleh dipandang sebagai perubahan yang sekadar meningkatkan penghasilan, pendidikan, dan usia hidup rata-rata penduduk. Hal yang terpenting adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi Papua.

Strategi alternatif untuk pembangunan infrastruktur dapat berdampak besar terhadap perubahan budaya. Perpindahan penduduk adalah faktor yang paling berpengaruh dalam mengubah sistem budaya dan ekonomi, dibanding faktor-faktor lain. Pengalaman internasional dan domestik menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi baru, cenderung membawa pendatang dalam jumlah besar. Pedagang, pengusaha, dan transmigran akan memanfaatkan infrastruktur transportasi baru untuk meraih keuntungan. Interaksi demikian telah berulang kali menjadi sumber ketegangan. Infrastruktur baru memungkinkan pengambilan aset-aset tak-terbarukan dengan cara yang sangat cepat. Akibatnya, penduduk pribumi terpaksa keluar dari daerah-daerah yang mengalami kemerosotan ke pusat-pusat perkotaan. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat dengan mudah menyebabkan konfl ik antara kelompok etnik dan ketegangan di antara penduduk semakin meningkat. Sebaliknya, program infrastruktur yang berfokus pada pengembangan masyarakat akan membantu menciptakan kestabilan.

Strategi pembangunan infrastruktur di Papua dan Papua Barat harus aktif memberantas ancaman marginalisasi dan pengucilan masyarakat asli. Pemerintah Indonesia bersama dengan seluruh pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat harus berupaya lebih besar daripada pemerintah di Amerika dan Australia dalam mempertahankan dan menghormati budaya asli.

1.2.4. Infrastruktur Berkelanjutan

Investasi pada infrastruktur harus dilakukan secara realistis dalam keterbatasan anggaran dan teknis. Investasi pada infrastruktur selalu membawa resiko kurang memadai dan perencanaan yang minimalis, sehingga hasilnya tidak dapat bertahan untuk memberikan manfaat bagi generasi mendatang. Karena adanya tekanan untuk memperluas sistem jalan, air, tenaga listrik, dan infrastruktur lainnya, pemerintah hanya berfokus pada pembangunan kapasitas baru. Akibatnya, kapasitas yang sudah ada terabaikan dan cepat rusak. Strategi demikian - yang berfokus pada konstruksi - pada akhirnya akan menghasilkan infrastruktur yang kurang bermanfaat daripada yang berfokus pada pengoperasian dan pemeliharaan.

Dengan semakin banyaknya infrastruktur yang dibangun, biaya pemeliharaannya akan memakan porsi anggaran yang lebih besar. Jelas, bahwa semakin besar kapasitas yang ada, semakin besar pula biaya yang dibutuhkannya untuk tetap berfungsi dengan baik. Meskipun adanya dorongan besar untuk menambah kapasitas infrastruktur, kemampuan anggaran untuk menanggung infrastruktur cenderung terbatas. Untuk tahap infrastruktur tertentu, seluruh anggaran pengeluaran tahunan yang tersedia seharusnya dikhususkan untuk biaya pemeliharaan. Plafon ini tidak dapat dilampaui tanpa adanya suatu anggaran yang lebih besar untuk menutupi biaya pemeliharaan infrastruktur yang ada maupun untuk pembangunan infrastruktur yang baru. Misalnya, apabila biaya pemeliharaan tahunan dan berkala maupun pendanaan untuk konstruksi-ulang jalan akses lokal di suatu kabupaten membutuhkan 10% dari biaya pembangunan awal, jika infrastruktur yang telah dibangun mencapai nilai sepuluh kali lipat dari anggaran tahunan, tingkat berkelanjutan maksimum infrastruktur tersebut telah tercapai. Andaikan anggaran pengeluaran tahunan untuk jalan adalah Rp 40 miliar cukup untuk membangun 40 km jalan

(7)

berlajur tunggal sebagai akses pedesaan dengan standar batu kerikil pada tahun pertama. Dengan biaya tahunan untuk pemeliharaan dan konstruksi-ulang sebesar 10%, anggaran tersebut akhirnya akan cukup untuk membiayai tidak lebih dari 400 km panjang jalan total. Andaikan pula anggaran ini dipaksakan untuk membangun lebih dari 400 km – sambil menunda pemeliharaan jalan yang sudah ada. Dengan kerugian akibat kurangnya pemeliharaan jalan yang sudah ada, sesungguhnya sistem jalan yang dapat digunakan menjadi kurang dari 400 km.

1.3. Tantangan terhadap Pembangunan Infrastruktur

1.3.1. Biaya Konstruksi

Medan yang sulit dan lokasi terpencil menyebabkan biaya konstruksi yang sangat tinggi di kebanyakan wilayah Papua dan Papua Barat. Pada umumnya, dataran rendah berawa-rawa terdiri dari tanah gambut (histosol). Tanah ini sulit dikeringkan dan biaya untuk membangun sesuatu di atasnya mahal. Sebagian besar wilayah pegunungan terdiri dari tanah muda tipis pada bukit-bukit yang curam (entisol). Lebih dari 40% wilayah Papua dan Papua Barat terdiri atas tanah dengan sistem pembuangan air limbah yang sulit atau dengan ancaman erosi dan tanah longsor yang serius. Karena kondisi geologis dan cuaca yang sulit serta dampak konstruksi jalan terhadap lingkungan hidup dalam keadaan tersebut, biaya untuk membangun jalan sesuai standar yang berkelanjutan akan jauh lebih besar daripada biaya yang diasumsikan selama ini. Bergantung pada kesejajaran dan standar desainnya, diperlukan biaya sebesar Rp 6-10 miliar/km untuk membangun jalan dengan kualitas yang baik dan tahan lama di wilayah-wilayah dataran tinggi,. Jumlah ini kira-kira dua kali lipat biaya membangun jalan yang bagus di Jawa dan sepuluh kali lipat biaya yang sering dibicarakan di Papua dan Papua Barat.

Tabel 1: Harga Satu Sak Semen pada bulan November 2008

Kota Harga per Sak (Rp)

Jakarta 50.000

Jayapura/Manokwari 75.000

Wamena 500.000

Mulia 1.300.000

Oksibil 1.500.000

Sumber: Survei yang dilakukan oleh staf Bank Dunia

Kepadatan penduduk yang rendah mengartikan bahwa setiap rupiah pembangunan infrastruktur di luar kawasan perkotaan hanya akan bermanfaat bagi sedikit orang. Misalnya, Papua dan Papua Barat mempunyai kepadatan jalan per kapita kurang lebih 7 km per 1000 orang, jauh di atas rata-rata untuk Indonesia (1,3) dan negara-negara Asia lainnya. Tetapi, kepadatan jalan tersebut per 1000 kilometer persegi, yaitu 47, adalah jauh di bawah rata-rata untuk Indonesia (174) dan negara-negara Asia lainnya. Kepadatan penduduk yang rendah melambungkan biaya untuk menyediakan layanan infrastruktur.

(8)

Gambar 1: Biaya Konstruksi di Papua dan Papua Barat 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240

Perkotaan Pesisir Kepulauan Dataran Rendah Bag. Selatan Seluruh Daerah Dataran Tinggi RATA-RATA INDONESIA

Indeks biaya konstruksi yang dinormalisasikan

Sumber: Departemen Keuangan

1.3.2. Pemeliharaan

Pemeliharaan infrastruktur yang ada merupakan masalah kronis. Jaringan jalan raya dan sistem air bersih di Papua dan Papua Barat kurang terpelihara dengan baik. Sistem listrik juga beroperasi jauh di bawah kapasitas karena konstruksi awal yang kurang baik dan pemeliharaan yang tidak memadai. Banyak jalan dan sistem air yang tidak dapat beroperasi hanya dalam beberapa tahun setelah dibangun, sehingga membutuhkan rehabilitasi yang mahal. Padahal, jika konstruksi dibuat sesuai standar yang baik dan pemeliharaan dilakukan secara rutin, infrastruktur tersebut dapat tetap beroperasi dengan total biaya jauh lebih rendah. Misalnya:

• Jalur jalan raya Wamena – Mulia hampir tidak dapat dilalui. • Jalur jalan raya Jayapura – Wamena tidak dapat dilalui sama sekali. • Sistem air pipa, yang hanya melayani 25% penduduk, tidak terpelihara. • Sistem pembuangan limbah dalam kondisi yang sangat merosot.

• Sumber tenaga listrik tidak dapat diandalkan; output hanya 60% dari kapasitas terpasang. Kami memperkirakan bahwa untuk 5 tahun ke depan, pengeluaran optimal untuk rehabilitasi dan pemeliharaan jalan di Papua dan Papua Barat akan mencapai Rp 2,2 triliun per tahun. Meskipun tidak ada data akurat tentang pengeluaran di masa lalu untuk pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur, kami memperkirakan bahwa kebutuhan mendesak untuk pemeliharaan ini akan mengambil porsi yang cukup besar dibanding semua jenis pengeluaran lainnya yang terdapat pada semua tingkat pemerintahan di Papua dan Papua Barat, yang berjumlah kurang lebih Rp 29 triliun pada tahun 2008.

Pemeliharaan yang tidak memadai akan memperpendek umur infrastruktur. Pemeliharaan yang optimal dapat diumpamakan seperti permainan bola yang melemparkan beberapa bola sekaligus ke udara (juggling): si pemain dapat mempertahankan lebih banyak bola di udara pada waktu yang sama apabila ia memberi perhatian baik pada bola yang baru dilemparkan maupun pada bola-bola lain yang telah berada di udara. Jika pemeliharaan tertunda terus, infrastruktur yang ada akan ambruk, dan konstruksi baru tidak akan meningkatkan keseluruhan fungsi infrastruktur tersebut. Pemeliharaan yang optimal juga dapat mengurangi pengeluaran swasta. Jika kondisi jalan sangat buruk sehingga kendaraan yang melintas di sana cepat rusak dan jika listrik sering padam sehingga pengusaha terpaksa menyediakan generator sendiri, pengeluaran swasta maupun pengeluaran pemerintah akan meningkat sebagai akibat dari pemeliharaan infrastruktur yang tidak memadai.

(9)

1.3.3. Perencanaan Kapasitas

Lebih dari jenis-jenis pengeluaran lain, pembangunan infrastruktur membutuhkan perencanaan yang baik. Biaya awal yang tinggi dan potensi penggunaannya dalam jangka panjang menjadikan setiap keputusan – baik atau buruk – akan berdampak jangka panjang. Pembangunan infrastruktur memerlukan berbagai pilihan yang terinformasi dengan baik. Masing-masing proyek harus ditempatkan dalam suatu rencana yang komprehensif. Setiap perincian dan kelayakan teknis dalam proyek tersebut harus dianalisis dengan cermat sebelum setiap pekerjaan dimulai. Sistem pembangunan infrastruktur yang berfungsi dengan baik perlu memiliki komponen-komponen berikut ini:

• Perencanaan tata ruang berdasarkan topografi , kondisi tanah, konsentrasi sumber daya alam, dan jaringan komersial yang ada serta konsentrasi penduduk;

• Penyusunan rencana induk yang mengoordinasikan berbagai bentuk infrastruktur. Sehingga, tidak ada duplikasi yang tidak perlu dan semua komponen – transportasi, tenaga listrik, komunikasi, air bersih dan sanitasi – dikelompokkan dalam beberapa tahap untuk diselesaikan tepat waktu dan dapat digunakan secara produktif;

• Perencanaan jangka pendek dan menengah yang sesuai dengan rencana induk dan merinci target-target antara yang akan dicapai pada setiap tahun untuk beberapa tahun-tahun berikutnya;

• Analisis kelayakan yang membandingkan pilihan-pilihan spesifi k seperti kesejajaran jalan dan jenis jalan, proyek pembangkit listrik tenaga air alternatif, serta pembangunan pelabuhan sungai. Sehingga, pilihan yang diambil layak diterapkan secara teknis dan juga memenuhi kriteria fi nansial dan ekonomi;

• Pegawai pemerintah yang terlatih dan berpengalaman di semua tingkatan pemerintah yang dapat melaksanakan tugas ini dengan berkoordinasi satu sama lain.

Sayangnya, apa yang dicapai oleh pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat masih jauh dari segala persyaratan yang disebutkan di atas. Perencanaan tata ruang telah dimulai pada tingkat pemerintah provinsi. Tetapi, perencanaan tersebut belum disusun dalam suatu perencanaan proyek dan belum mendapatkan komitmen dari kabupaten-kabupaten. Saat ini sama sekali belum ada rencana induk yang sudah siap untuk jenis-jenis infrastruktur utama. Walaupun rencana-rencana berjangka waktu 20 tahun dan 5 tahun

memang mencantumkan sasaran-sasaran yang ingin dicapai, tetapi sering tidak konsisten (i) dengan apa yang dapat dilakukan dalam batas-batas anggaran dan teknis dan (ii) antara berbagai organisasi yang beroperasi dalam bidang sektoral tersebut. Misalnya, rencana pemerintah untuk penyediaan tenaga listrik menetapkan bahwa pada tahun 2015, 75% wilayah Papua sudah harus dialiri listrik, sedangkan penyedia listriknya, yaitu PLN, hanya menetapkan sasaran 38,4%. Pengeluaran tahunan nyaris menyimpang sama sekali dari rencana 20 tahun dan 5 tahun tersebut. Sebaliknya, pengeluaran tahunan mengikuti siklus anggaran tahunan dan dana yang dikucurkan. Tidak ada rencana jangka menengah, yang mencantumkan pengeluaran tahunan. Karena pengeluaran tahunan sering dilakukan dengan desakan untuk membelanjakan uang secepat mungkin, terlalu sedikit penilaian proyek yang pernah dilakukan.

Proses dan siklus perencanaan resmi di Indonesia tergolong kaku. Rencana 20 tahun, yang dibagi ke dalam empat tahap rencana 5 tahunan secara berturut-turut, pada prinsipnya merupakan kerangka dan arahan yang bermanfaat untuk pembangunan sektoral. Namun, dalam rencana jangka panjang ini, tidak ada perincian yang memadai sehubungan dengan pembiayaan dan evaluasi ekonomi/keuangan untuk berbagai alternatif. Selain itu, tidak ada persyaratan dan jangka waktu yang direncanakan untuk langkah-langkah persiapan, persetujuan, serta pengadaan proyek. Akibatnya, perencanaan anggaran pengeluaran terlalu fokus pada pengeluaran dalam siklus anggaran tahunan. Siklus ini biasanya berlanjut untuk

(10)

beberapa bulan setelah awal tahun anggaran. Perencanaan anggaran pengeluaran dipersulit karena persetujuan disyaratkan oleh masing-masing dewan perwakilan. Rintangan prosedural ini mengurangi mutu perencanaan infrastruktur. Hampir semua investasi infrastruktur memerlukan rencana jangka panjang dan banyak pekerjaan evaluasi serta persiapan. Dalam sebuah proyek investasi infrastruktur yang terorganisasi dengan baik, biasanya pelaksanaan yang berlangsung beberapa tahun akan menyusul setelah beberapa tahun perencanaan.

Sumber daya yang dianggarkan untuk persiapan proyek dan program sungguh tidak memadai. Bukannya mengkhususkan lebih banyak sumber daya untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah daerah hampir tidak melakukan apa pun untuk perencanaan. Perencanaan untuk jalan raya sepanjang ratusan kilometer mungkin hanya mendapatkan anggaran yang lebih kecil daripada biaya membangun satu kilometer jalan yang bermutu. Akibatnya, kajian manfaat dan biaya untuk investasi-investasi besar jarang memeriksa berbagai proyek alternatif, solusi teknologi, atau pilihan penetapan waktu yang optimal. Sebaliknya, penilaian proyek cenderung difokuskan secara sempit pada upaya mencari alasan pembenaran untuk sebuah konsep investasi tanpa mengevaluasi alternatif-alternatif yang ada.

Kotak 1: Kurangnya Perencanaan Berujung pada Hasil Akhir yang Kurang Memuaskan Kesalahan perencanaan, penyusunan program, dan pembuatan anggaran yang dipraktekkan saat ini terletak pada pemilihan proyek-proyek dengan tujuan menyebarkannya ke banyak kelompok masyarakat sekaligus, bukan berdasarkan kebutuhan dan permintaan transportasi. Pada pelaksanaannya, ini semakin diperparah karena dana disebarkan untuk membiayai banyak kontrak kecil yang terus bertambah secara bertahap, yang sering merupakan bagian dari rencana yang lebih besar. Untuk jangka panjang, proses alokasi seperti ini akan banyak mengurangi manfaat investasi yang telah diimplementasikan.

Sebagai contoh sederhana, ada 3 proyek yang dilaksanakan dalam periode 3 tahun, dengan tingkat rentabilitas masing-masing 10%, 12%, dan 14%. Jika pendanaan tahunan yang tersedia hanya cukup untuk mengimplementasikan satu proyek dalam satu kurun waktu dan semua proyek dilaksanakan secara berurutan, mulai dari yang paling menguntungkan, maka tingkat rentabilitas keseluruhan adalah 12,5%. Sebaliknya, apabila ketiga-tiganya diimplementasikan bersama-sama, waktu pelaksanaannya akan berlangsung sembilan tahun dan akibatnya tingkat rentabilitas keseluruhannya hanya 8%. Hasil akhir seperti ini kurang memuaskan terutama karena harus menunggu 9 tahun sebelum keuntungan awal mengalir. Sebaliknya, dalam gambaran situasi pertama di mana proyek diselesaikan secara berurutan, keuntungan awal sudah dapat mengalir setelah 3 tahun. Di samping itu, harus diakui bahwa metode kontrak kecil akan menelan biaya konstruksi yang lebih tinggi daripada metode kontrak yang lebih besar. Misalnya dalam contoh ini ada pertambahan biaya konstruksi sebesar 15% karena pelaksanaannya menggunakan 9 kontrak kecil, bukannya 3 kontrak yang jauh lebih besar, sehingga tingkat rentabilitas keseluruhannya akan semakin jatuh di bawah 7%.

(11)

Kotak 2: Proyek-Proyek Infrastruktur yang Membutuhkan Lebih Banyak Perencanaan dan Evaluasi

Tiga proyek investasi besar berikut ini dapat memberikan gambaran mengenai risiko yang timbul apabila proyek dimulai tanpa perencanaan dan evaluasi yang baik: (1) proyek yang akan meningkatkan akses ke Dataran Tinggi, (2) sistem jalan raya Trans-Papua dan (3) rencana infrastruktur/industri/perkotaan.

Akses ke Dataran Tinggi.

Usul investasi untuk meningkatkan akses ke Dataran Tinggi memperlihatkan bahwa perencanaan dan evaluasi yang baik tethadap berbagai alternatif akan memungkinkan Provinsi Papua dan Papua Barat mencapai tujuannya dengan biaya yang jauh lebih rendah. Dengan metode yang digunakan saat ini, beberapa jalur jalan raya dibangun serentak beserta jalur udara tambahan. Tingginya biaya pembangunan jalan ke dataran tinggi tersebut (Rp 6-10 miliar/km untuk pembangunan jalan yang baik dan berkelanjutan) merupakan alasan untuk melakukan kajian terfokus yang mempertimbangkan semua faktor kunci yang berpengaruh terhadap biaya serta manfaat dari berbagai alternatif.

Walaupun koridor-koridor dan kesejajaran jalan sedang dipertimbangkan, berbagai moda transportasi lain juga patut mendapat perhatian. Di sini, efi siensi transportasi udara sebagai akses ke dataran tinggi perlu terus ditingkatkan. Transportasi udara akan tetap menjadi alternatif yang dapat diandalkan untuk masa depan, di samping transportasi jalan raya. Jalur udara dapat menyediakan transportasi dengan biaya antara Rp 10.000–25.000/ton/ km bergantung pada volume dan rute. Sebagai perbandingan, misalnya antara Jayapura dan Wamena, volume lalu lintas jalan raya perlu mencapai paling tidak dua kali lipat dari volume angkutan muatan udara yang menuju Wamena saat ini agar jalur jalan raya tersebut kompetitif dengan jalur transportasi udara. Tingkat keramaian lalu lintas jalan raya perlu lebih tinggi karena tingginya biaya pembangunan dan pemeliharaan jalan tersebut. Jalur multimoda ke Wamena di Dataran Tinggi via Dekai melibatkan transportasi sungai ke pelabuhan yang terletak kira-kira 20 km dari Dekai. Dari sana barang akan diangkut melalui jalan raya ke bandara di Dekai yang telah ditingkatkan mutunya, kemudian dilanjutkan dengan transportasi udara ke Wamena. Menurut laporan, keuntungan alternatif ini adalah biaya transportasi sungai yang murah, sedangkan transportasi udara selanjutnya, walaupun ongkosnya mahal, dari Dekai ke Wamena lebih singkat dibandingkan dengan jarak dari Jayapura ke Wamena. Namun, biaya transportasi udara tidak semata-mata bergantung pada jarak perjalanan yang ditempuh, tetapi juga pada biaya pendaratan dan lepas landas, biaya kecuraman serta rute yang ditempuh. Penerbangan dari Dekai, yang berlokasi dekat pegunungan yang curam, ke Wamena, mungkin pada akhirnya membutuhkan biaya yang bisa jadi sama dengan biaya penerbangan langsung dari Jayapura ke Wamena. Juga, pemindahan dari kapal ke kapal lain melalui Dekai akan melibatkan: (i) dua pemindahan dari kapal ke kapal (dari sungai ke darat lalu dari darat ke udara) – yang menambah ongkos penanganan dan risiko terjadinya kerusakan terhadap barang dan (ii) masalah baru mengenai keterandalan navigasi sungai pada berbagai musim. Jelaslah, cara yang demikian rumit memerlukan pertimbangan yang teliti mengenai semua faktor yang memengaruhi biaya dan mutu layanan.

(12)

Kotak 2: Lanjutan

Sambungan Jalan Raya Trans-Papua

Pusat-pusat perkotaan utama di Papua dan Papua Barat terletak di sepanjang pesisir pantai utara dan selatan yang dihubungkan oleh transportasi laut dan udara, dengan biaya yang lebih rendah daripada biaya transportasi jalan raya. Penyebabnya adalah karena perbandingan antara berbagai moda transportasi tidak hanya mencakup biaya swasta untuk pengoperasion truk atau kapal laut atau pesawat udara, tetapi juga seluruh biaya untuk menyediakan dukungan infrastruktur. Biaya transportasi jalan raya yang sebenarnya, harus mencakup seluruh biaya konstruksi dan pemeliharaan jalan selama jalan raya tersebut masih berfungsi. Misalnya, biaya transportasi kargo umum dengan kapal pesisir antara Jayapura dan Manokwari diperkirakan sebesar Rp 875.000/ ton, termasuk biaya pengapalan dan pemindahan dari kapal ke kapal lain di pelabuhan. Ditambah dengan biaya infrastruktur secara keseluruhan (nilai subsidi untuk biaya pelabuhan), maka total biaya ekonominya diperkirakan sekitar Rp 950.000/ton. Dengan pengoperasian kapal pesisir yang lebih efi sien, biaya ini dapat dikurangi secara signifi kan, kemungkinan menjadi Rp 650.000/ton. Apabila tersedia alternatif jalan raya – untuk jarak kira-kira 840 km – biaya transportasi swasta dengan truk diperkirakan tidak kurang dari Rp 550.000/ton. Angka ini tidak jauh berbeda dari seluruh ongkos pengiriman dengan kapal. Tetapi biaya swasta transportasi barang melalui jalan raya antara Jayapura dan Manokwari ini tidak mencakup biaya pembangunan dan pemeliharaan jalan. Sesungguhnya, transportasi jalan raya antara Jayapura dan Manokwari hanya dapat bersaing dengan transportasi kapal laut apabila biaya infrastruktur jalan tidak termasuk di dalamnya. Untuk membangun jalan raya antar daerah yang cocok bagi transportasi barang dan orang jarak jauh, harus ada alasan yang kuat yaitu tingkat keramaian lalu lintas sebanyak 200–300 kendaraan/hari. Bila lebih rendah dari itu, biaya pembangunan dan pemeliharaan jalan raya tersebut tidak dapat dibenarkan secara ekonomi. Saat ini, tingkat lalu lintas yang demikian ramai di Papua dan Papua Barat hanya terlihat di wilayah-wilayah tertentu yang menjadi pusat kegiatan ekonomi.

Saat ini, investasi besar untuk sambungan jalan raya Trans-Papua tidak dapat menghasilkan keuntungan bagi perekonomian, malah defi sit. Dana yang tersedia akan lebih bermanfaat apabila dialokasikan untuk pemeliharaan dan rehabilitasi jalan-jalan yang sudah ada, yang tingkat lalu lintasnya lumayan ramai atau untuk berbagai pilihan investasi infrastruktur lainnya.

Rencana Pembangunan Infrastruktur/Industri/Perkotaan. Rencana pembangunan di sekitar Danau Sentani ke arah barat Jayapura merupakan contoh ketiga bahwa investasi membutuhkan rencana induk, studi kelayakan, serta kajian teknis yang sangat teliti. Rencana-rencana besar seperti ini membutuhkan evaluasi yang saksama untuk memastikan segi-segi positif dari keseluruhan paket maupun kontribusi setiap komponen. Analisis risiko juga diperlukan menghadapi kemungkinan gagalnya beberapa bagian dari rencana tersebut (misalnya, jika salah satu industri swasta memutuskan untuk tidak meneruskan investasinya).

Rencana yang sedang dipertimbangkan di bagian barat Jayapura sangat kompleks. Berbagai perusahaan pada sektor tenaga listrik, industri dan perkotaan yang baru didirikan merupakan komponen yang esensial dalam rencana tersebut. Dengan asumsi bahwa rencana pembangunan kota terutama digerakkan oleh investasi baru dalam bidang industri, maka tantangan utama adalah bagaimana menempatkan setiap komponen berkoordinasi dengan pengembangan industri. Dengan demikian investasi besar untuk infrastruktur dapat dihindari sebelum pengembangan industri swasta menjadi permanen. Di sinilah benar-benar diperlukan perancangan yang matang untuk Kemitraan Publik/Swasta serta alokasi risiko yang terkait. Jika investasi dilakukan pada saat yang tidak tepat dan pihak pemerintah atau swasta tidak menjalankan peran dan tanggung jawabnya, akibatnya adalah beban fi nansial yang tak tertahankan. Misalnya, jika investasi jalan raya telah beberapa kali didesain berlebihan dengan cara yang tidak seimbang dengan prospek lalu lintas, dan pendapatan pajak yang terkait dengan investasi perkotaan tersebut masih belum bisa terwujud dalam waktu yang sangat lama, pemerintah akhirnya bisa memikul beban yang tak terkendalikan untuk membayar biaya konstruksi dan pemeliharaan jalan raya.

Ketiga contoh ini menegaskan kenyataan bahwa Papua dan Papua Barat dapat memperoleh banyak keuntungan apabila lebih banyak perhatian diurahkan untuk menyusun rencana induk, melakukan studi kelayakan serta kajian teknis sebelum memulai investasi besar yang akan mengikat biaya dan laba untuk jangka panjang.

(13)

1.3.4. Desentralisasi

Sejak tahun 2000, desentralisasi di Indonesia memberikan tantangan besar bagi sektor publik dalam merencanakan dan melaksanakan investasi infrastruktur, serta memelihara infrastruktur yang sudah ada. Transfer fi skal dari pusat ke Papua dan Papua Barat semakin besar, tetapi masalah-masalah koordinasi antar-pemerintah yang berkaitan dengan perencanaan infrastruktur juga semakin sulit diatasi. Saat ini, Provinsi Papua dan Papua Barat menerima transfer dana per kapita terbesar dari pusat dibandingakan dengan provinsi-provinsi lainnya. Sumber-sumber daya fi skal dan tanggung jawab baru telah diserahkan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pada waktu yang sama, tebentuk banyak daerah otonom baru. Di Tanah Papua, selama 8 tahun terakhir, satu provinsi dan sepuluh kabupaten/kota dimekarkan menjadi dua provinsi dan 40 kabupaten/kota (lihat Gambar 2). Di seluruh daerah pemekaran ini, terbentuk struktur pemerintahan baru dengan kapasitas yang sangat terbatas. Sebagai akibatnya, lembaga pemerintah yang bertanggung jawab untuk membangun dan mengoperasikan infrastruktur di Papua dan Papua Barat masih belum bisa memenuhi wewenang dan tanggung jawab mereka. Dengan kata lain, sebagian besar pemerintah yang bertanggungjawab atas infrastruktur di Papua dan Papua Barat harus meningkatkan kapasitas dan tanggung jawab administratif. Agar pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur di Papua dan Papua Barat efektif, diperlukan keselarasan kinerja dan kapasitas dari semua pemerintah daerah di Tanah Papua.

Proses desentralisasi pemerintahan yang sedang berlangsung memberikan beberapa manfaat. Pembangunan dalam setiap daerah otonom sangat difokuskan pada ibukotanya, yang kemudian akan menyebarkan hasil pembangunan ke wilayah-wilayah paling terpencil di daerah tersebut. Namun, pemekaran di Papua dan Papua Barat ini sangat menyulitkan bagi para personil terlatih, yang sangat terbatas jumlahnya, untuk melacak pengeluaran publik. Pemerintah daerah yang baru terbentuk hampir atau sama sekali tidak memiliki pengalaman maupun pelatihan dalam kegiatan perencanaan, implementasi, pengoperasian, dan pemeliharaan proyek-proyek infrastruktur. Dan juga, bertambahnya jumlah pemerintah daerah ini menyebabkan semakin banyak proyek yang meliputi lebih dari satu Pemda.

Gambar 2: Jumlah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah di Papua dan Papua Barat

0 5 10 15 20 25 30 35 40 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Sumber: BPS (Biro Pusat Statistik)

Desentralisasi telah meningkatkan transfer fi skal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah secara dramatis. Transfer-transfer tersebut meningkat tiga belas kali lipat secara nominal dan enam kali lipat secara riil sejak tahun 2000. Saat ini, transfer fi skal dari pusat merupakan sumber penghasilan utama bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, kecuali untuk beberapa daerah yang didominasi oleh industri eksplorasi sumber daya alam. Secara rata-rata, nilai transfer ini lebih dari US$ 2 per hari per penduduk. Seiring dengan tumbuhnya kegiatan komersial dan meningkatnya transfer fi skal, perpindahan penduduk dari daerah lain di Indonesia juga bertambah.

(14)

Gambar 3: Transfer dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Sub-Nasional Periode tahun 1997-2008 0 5000 10000 15000 20000 25000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

milian dalam tingkat rupiah yang berlaku

Kabupaten/Kota Baru Kabupaten/Kota Lama Provinsi Baru Provinsi Lama (sebelum tahun 2000)

Sumber: Perkiraan Departemen Keuangan dan staf Bank Dunia

Kotak 3: Alokasi Tanggung Jawab Pemerintah

Gambaran Umum. UU 32/2004 mengenai Pemerintahan Daerah (serta pendahulunya UU 22/1999) membagi kewenangan urusan-urusan pemerintahan kepada pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. UU tersebut juga menetapkan bahwa pemerintah pusat akan memberikan sumber daya fi skal kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab mereka (‘tugas-tugas yang didesentralisasikan’). Sumber daya fi skal tersebut disalurkan ke pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan (DAU, DBH atau DAK), dan menjadi bagian dari APBD. Beberapa tugas yang tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dilaksanakan di daerah baik oleh instansi vertikal atau SKPD, yang didanai langsung oleh APBN. Dalam prakteknya, banyak masalah yang timbul sehubungan dengan tanggung jawab untuk administrasi dan keuangan belum seluruhnya teratasi.

Tugas-tugas Tersentralisasi. UU 32/2004 mendesentralisasikan semua urusan pemerintahan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten /kota, kecuali untuk:

Enam urusan ‘inti.’

• Yaitu: urusan luar negeri, pertahanan, keamanan, kehakiman, kebijakan fi skal dan moneter, serta keagamaan. Di samping keenam urusan ini, pemerintah pusat bertanggung jawab atas urusan-urusan lain dalam batas-batas yang diatur dalam

PP 38/2007

• . Peraturan Pemerintah ini berusaha untuk mengatur secara rinci mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi serta kabupaten/kota untuk setiap urusan pemerintahan yang didesentralisasikan. Secara umum, pemerintah pusat bertanggungjawab untuk menetapkan standard dan hal-hal yang memengaruhi lebih dari satu provinsi; pemerintah provinsi bertanggungjawab atas urusan-urusan yang memengaruhi lebih dari satu kabupaten/kota di dalam suatu provinsi; dan pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab atas urusan-urusan dalam batas-batas wilayahnya. Pemerintah pusat melaksanakan urusan-urusan yang tidak didesentralisasi ini melalui kantor-kantor daerah di seluruh Indonesia, seperti kantor polisi, kantor penagihan pajak, kantor pelayanan perbendaharaan Negara (KPPN), dan kantor wilayah Bank Indonesia.

Dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sejak tahun 2001, hampir semua departemen pemerintah pusat di luar enam urusan ‘inti’ tidak lagi mempunyai kantor daerah. Untuk menjalankan programnya di daerah, departemen ini pada umumnya mendekonsentrasikan tanggung jawabnya melalui Gubernur, yang bertindak sebagai perwakilan pemerintah pusat. Selanjutnya, Gubernur mendelegasikan pelaksanaan ‘tugas-tugas dekonsentrasi’ itu kepada SKPD-SKPD provinsi. Pendanaan tugas-tugas dekonsentrasi ini sendiri tetap ditanggung oleh APBN. Tugas-tugas dekonsentrasi ini meliputi semua urusan-urusan pemerintahan dalam PP38/2007 yang dijalankan bersama oleh berbagai tingkat pemerintahan

(15)

Kotak 3: Lanjutan

Tanggung jawab bersama berdasarkan PP38/2007. PP38/2007 menetapkan 33 urusan pemerintahan yang ditanggung bersama oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Untuk setiap urusan ‘non-inti’ tersebut, sebuah lampiran dari PP tersebut mencantumkan tanggung jawab untuk pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Dari ke-33 urusan yang digolongkan sebagai urusan wajib, beberapa yang terpenting adalah: pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, penataan ruang, perencanaan pembangunan, telekomunikasi dan TI, sosial, serta pemberdayaan masyarakat.

Pembagian kewenangan untuk sektor-sektor infrastruktur tertentu. Pada prinsipnya, pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas layanan infrastruktur tertentu harus menanggung juga investasi dan biaya operasi (kecuali tanah, yang juga harus dibiayai oleh pemerintah kabupaten/kota, sedangkan jalan raya nasional dan layanan infrastruktur lainnya harus dibiayai oleh pemerintah pusat).

Desentralisasi yang berlangsung dalam waktu singkat ini juga berakibat pada sangat kurangnya koordinasi antara berbagai tingkatan pemerintahan di Papua dan Papua Barat. Saat ini, koordinasi antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintahan provinsi terjadi secara ad hoc. Misalnya, pemerintah kabupaten membangun jalan-jalan kabupaten tanpa dilengkapi oleh rencana untuk menghubungkannya dengan jalan provinsi atau, dalam beberapa kasus, jalan negara. Akibatnya, investasi pada jalan-jalan kabupaten menjadi tidak produktif karena tidak dapat menghasilkan volume lalu lintas yang cukup.

Pemerintah kabupaten/kota di Tanah Papua mengelola anggaran yang berjumlah total Rp 17,0 triliun pada tahun 2008, yang jauh lebih besar dari anggaran total Papua Barat yang berjumlah Rp 1,5 triliun dan Papua yang berjumlah Rp 3,3 triliun (lihat Gambar 3: Transfer dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Sub-Nasional Periode tahun 1997-2008). Akan sangat disayangkan jika penggunaan jumlah yang sangat besar ini tidak terkoordinasi.

Pemerintah Provinsi Papua telah mulai membentuk Papua Accelerated Development Unit (PADU). Gubernur Papua menginginkan unit ini untuk dapat berperan seperti BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) Aceh-Nias. Badan setingkat kementerian ini mengoordinasikan seluruh upaya rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh dan Nias yang dilanda bencana gempa bumi dan tsunami yang meluluhlantakkan daerah tersebut pada tahun 2004 dan 2005. Walaupun rencana Gubernur ini masih belum mendapatkan persetujuan akhir dari pemerintah pusat, perekrutan staf telah dimulai dan instansi-instansi terkait sudah mulai beroperasi, seperti pusat penyimpanan data yang bernama Pusat Pengetahuan Papua. Sedangkan di Papua Barat, belum ada rencana pengorganisasian semacam itu dalam waktu dekat.

(16)

Kotak 4: Perencanaan dan pengkoordinasian menimbulkan masalah-masalah sulit tanpa jawaban yang jelas

Seluruh kegiatan penyusunan rencana induk di Papua dan Papua Barat harus mendapatkan komitmen dari semua instansi pada seluruh tingkatan pemerintah yang berhubungan dengan rencana tersebut. Sebagai contoh adalah Kabupaten Teluk Wondama yang memekarkan diri dari Kabupaten Manokwari pada tahun 2002. Kabupaten baru ini memiliki kekayaan alam yang melimpah dengan adanya Taman Nasional Teluk Cendrawasih, yang terletak di garis pantainya Dan juga, sebagian besar tanahnya dialokasikan sebagai hutan lindung berdasarkan rencana tata ruang provinsi.

Kekayaan alam yang dilindungi tersebut memberikan kontribusi besar bagi lingkungan hidup dalam bentuk pemeliharaan keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, dan sebagainya. Hal ini merupakan suatu anugerah bagi penduduk Indonesia lainnya, dan juga bagi penduduk dunia yang telah menyia-nyiakan kekayaan alam serupa di masa lalu. The World Wildlife Fund menyebut daerah ini sebagai “dasar bagi industri perikanan lokal dan berpotensi besar untuk pariwisata dan penelitian.” Namun, tidak semua penduduk Kabupaten Teluk Wondama dapat menjadi nelayan ataupun peneliti. Dalam area hutan lindung, kegiatan komersial juga sangat dibatasi. Bagaimana pemerintah dapat memberikan kesempatan ekonomi bagi rakyatnya jika tidak diijinkan untuk membangun jaringan infrastruktur dan para penduduk tidak boleh melakukan kegiatan komersial?

Catatan: Sumber peta: www.bkpm.go.id

Seluruh rencana induk, baik sektoral maupun lintas sektoral, yang disebutkan di atas harus mendapatkan komitmen dari semua instansi pada seluruh tingkatan pemerintah. Hal ini akan menimbulkan banyak masalah politik yang cukup rumit. Sebagai contoh adalah ketika harus menentukan wilayah terpencil mana yang akan dihubungkan oleh jalan raya dalam waktu dekat, sedangkan wilayah terpencil lain akan tetap harus bergantung pada transportasi udara untuk 20 tahun berikutnya. Hal semacam itu tentu tidak bisa memuaskan semua pihak, tetapi harus tetap dijalankan agar pembangunan infrastruktur dapat dimulai di Papua dan Papua Barat dan semua pihak perlu berjalan ke arah yang sama. Sumber daya donor dapat disediakan untuk membantu dalam aspek-aspek teknis, tetapi pemerintahlah yang harus menggerakkan prosesnya.

Tidak ada jawaban yang pasti mengenai cara terbaik agar proses ini bergerak maju. Hanya pemerintah sendirilah yang dapat memutuskan apakah akan membentuk badan pemerintah pusat yang berbasis regional seperti yang diperkirakan oleh Gubernur Papua atau memilih mekanisme lainnya. Yang pasti, koordinasi antar seluruh tingkat pemerintahan harus ditingkatkan agar rencana induk dapat berguna dan tidak hanya teronggok di rak buku saja.

(17)

1.4. Visi Pembangunan untuk Papua dan Papua

Barat

Mengingat banyaknya tantangan yang dihadapi dalam pembangunan berkelanjutan infrastruktur di Papua dan Papua Barat, suatu visi yang mengantisipasi terciptanya Papua yang saling terhubung – inilah visi yang mendasari ambisi untuk membangun sebuah jaringan besar jalan raya yang menghubungkan semua kota besar – sungguh tidak layak diterapkan. Kondisi yang ada saat ini membuat jaringan jalan raya seperti itu tidak layak diterapkan dan merugikan bila diupayakan dengan serius dalam waktu dekat. Kepadatan penduduk di Papua dan Papua Barat terlalu rendah sehingga pembangunan jaringan yang demikian besar tidak dapat dibenarkan. Di samping itu, biaya konstruksi dan pemeliharaan yang tinggi membuat visi ini secara fi nansial tidak layak diterapkan dengan kondisi saat ini. Juga, risiko implementasi visi ini terlalu besar karena jaringan tersebut akan meningkatkan pengambilan sumber daya alam Papua dan Papua Barat secara tidak berkelanjutan, Selain itu, akan terjadi peningkatan arus masuk perpindahan penduduk dari bagian-bagian lain di Indonesia secara tiba-tiba, sehingga yang dihasilkan adalah bencana ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, bukan pembangunan seperti yang diharapkan.

1.4.1. Jaringan infrastruktur dengan pola bintik-tinta

Para penyusun kebijakan di Papua dan Papua Barat seharusnya mempertimbangkan sebuah visi pembangunan dengan pola “bintik tinta” yang mengantisipasi pertumbuhan dari pusat-pusat kegiatan saat ini. Untuk beberapa dekade ke depan, visi pembangunan Papua dan Papua Barat harus dimulai dari kutub-kutub pertumbuhan yang ada saat ini maupun yang akan datang. Ini dilakukan dengan menambahkan infrastruktur yang akan melayani setiap kawasan serta wilayah pedalamannya. Ibarat bintik-bintik tinta yang menyebar di kertas, pertumbuhan sistem jalan raya, jaringan tenaga listrik dan infrastruktur lainnya di daerah setempat secara wajar akan meningkatkan hubungan yang kuat di antara beberapa kutub pertumbuhan tersebut.

(18)

Pembangunan dengan pola bintik tinta selangkah demi selangkah akan mengarah ke pembangunan yang lengkap. Pembangunan di dalam maupun di antara bintik-bintik tinta tersebut harus dimulai dengan rencana tata ruang provinsi dan nasional. Rencana induk untuk transportasi perlu mencantumkan langkah-langkah yang harus diambil untuk mewujudkan jaringan terakhir (dan terus-menerus diperbaharui agar sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang baru muncul). Saat ini, dengan tidak adanya rencana induk dan penilaian proyek yang memadai, terlalu dini untuk memprediksi kapan dan di mana keterhubungan timbal balik antara bintik-bintik tinta tersebut dapat dinyatakan layak secara teknis dan ekonomi. Namun, satu hal yang pasti adalah, bahwa keputusan untuk memulai pembangunan sebuah sistem jaringan lengkap akan merupakan sebuah langkah menuju bencana, tanpa adanya hal-hal berikut: (i) perencanaan dan analisis kelayakan yang mendasarinya, (ii) tingkat kepadatan penduduk atau kegiatan ekonomi yang sesuai, dan (iii) puluhan triliun rupiah tersedia setiap tahun untuk pembangunan dan pemeliharaannya.

Perluasan bintik-bintik tinta tersebut akan bergantung pada pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi selain dari yang ada saat ini dan mungkin juga bergantung pada kutub-kutub pertumbuhan baru. Misalnya, suatu jaringan tenaga listrik bisa berkembang sehingga mencakup wilayah Timika dan Enarotali, kemudian Nabire. Jalan raya antara Merauke dan Oksibil, atau antara Bintuni dan Manokwari, mungkin bisa dibenarkan bila lalu lintas semakin ramai. Dan bila infrastruktur pelabuhan sungai ditingkatkan mutunya, pelayanan transportasi air juga pasti meningkat dan bisa menjadi dasar yang kuat untuk membangun sebuah jalan penghubung ke desa dekat pelabuhan tersebut, atau membangun saluran air untuk menghubungkan sungai-sungai.

Saat ini, di sekitar kawasan perkotaan banyak jalan diperluas karena lalu lintas semakin padat. Hampir semua jalan yang baik saat ini terletak di dalam atau di dekat ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini masuk akal karena di situlah lalu lintas paling ramai. Sebuah jalan dengan beban angkut yang ringan untuk dilalui sepeda motor mungkin sudah dapat dibenarkan jauh sebelum adanya jalan besar yang dapat dilewati oleh kendaraan-kendaraan berat. Demikian pula, instalasi tenaga listrik setempat yang menggunakan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTA mikro akan lebih berguna jauh sebelum pembangunan sistem tenaga listrik untuk seluruh provinsi selesai dibangun. Dataran tinggi khususnya akan sangat mengandalkan sumber-sumber tenaga listrik lokal swadaya semacam itu, yang tidak bergantung pada bahan bakar yang dikirim dengan angkutan udara.

Investasi untuk akses jalan raya menuju dataran tinggi mungkin belum layak diterapkan dalam waktu dekat. Akses ke dataran tinggi sering dikemukakan sebagai masalah pembangunan akses jalan raya. Namun, kesuksesan pembangunan ekonomi dan integrasi kawasan dataran tinggi tidak selalu bergantung pada akses jalan raya. Hal ini diperlihatkan oleh contoh negara-negara pulau maupun Alaska. Di sana tidak ada jalur jalan raya antara berbagai sub-wilayah namun bisa berkembang dengan baik tanpa adanya infrastruktur jalan raya yang menyatukan seluruh wilayah. Jepang telah berkembang selama berabad-abad sebelum adanya jaringan jalan raya yang menghubungkan berbagai kepulauannya. Namun, pertanyaan yang masih harus dijawab adalah, di mana dan kapan waktu yang tepat untuk membangun jalur jalan raya di antara berbagai tempat di dataran tinggi dan berbagai wilayah lainnya di Papua dan Papua Barat. Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu masuk akal untuk memulai proses perencanaan sekarang – termasuk penyusunan rencana induk dan studi kelayakan– mengenai pembangunan jalan raya ke wilayah-wilayah dataran tinggi.

Sebuah jaringan yang penting, yaitu telekomunikasi, dapat diciptakan tanpa hubungan fi sik di antara kutub-kutub pertumbuhan ekonomi. Rencana untuk menghubungkan berbagai wilayah di mana

(19)

terdapat konsentrasi kepadatan penduduk tertentu melalui pelayanan telepon dan internet sangat layak diterapkan, jauh sebelum selesainya pembangunan jalan raya dan jaringan listrik. Saat ini, telah dimungkinkan untuk memasang sumber listrik tenaga surya, dengan baterai yang diisi dari peralatan tenaga surya dan terhubung dengan piring satelit, sehingga penduduk Tanah Papua dapat berkomunikasi dengan penduduk di seluruh belahan dunia. Biaya pelayanan komunikasi satelit memang relatif mahal, tetapi ini memungkinkan hampir semua provinsi untuk terhubung ke jaringan telekomunikasi global dengan harga yang tidak terlalu mahal. Di wilayah pesisir pantai, sambungan telekomunikasi melalui kabel serat optik akan dapat diterapkan dalam beberapa tahun mendatang, dan wilayah pedalaman Papua dan Papua Barat juga dapat terhubung dengan titik-titik akses kabel ini melalui kombinasi teknologi fi ber, gelombang mikro, nirkabel serta satelit. Jika akses telekomunikasi di seluruh Papua dan Papua Barat ditingkatkan, maka metode belajar jarak jauh, konsultasi medis, pelayanan perbankan, serta komunikasi antara kantor-kantor pemerintah juga dapat ditingkatkan, sedangkan biaya kegiatan usaha dapat dikurangi. Akses telekomunikasi juga dapat menyediakan pelayanan lain yang benar-benar meningkatkan berbagai kesempatan bagi penduduk terpencil, dan menghubungkan mereka dengan anggota keluarga yang tinggal di tempat yang jauh.

Dalam jangka panjang, Papua dan Papua Barat akan memiliki jalan raya, pelabuhan, bandara, jaringan telekomunikasi dan listrik yang menyatukan seluruh penduduk di wilayah yang besar ini. Namun, seperti halnya dalam setiap pembangunan ekonomi sepanjang sejarah, memang dibutuhkan waktu. Bagaimanapun juga, sebuah perekonomian dengan tingkat pertumbuhan sebesar 7% per tahun masih memerlukan sepuluh tahun ke depan untuk melipatduakan pendapatannya (dan bila pada titik awal sudah sangat miskin, mereka akan tetap miskin setelah sepuluh tahun terjadi pertumbuhan yang pesat, sekalipun dengan pendapatan dua kali lipat). Dalam kasus Papua dan Papua Barat, strategi keseluruhan yang terbaik adalah membangun dari kekuatan yang ada saat ini. Seiring dengan semakin melebarnya bintik-bintik tinta tersebut – dengan bertambahnya infrastruktur setiap tahun disertai pemeliharaan infrastruktur yang sudah ada –hubungan keterkaitan pun akan akan semakin meluas dan semakin intensif.

Visi Gubernur terhadap pembangunan Papua – dan tentu saja pembangunan setiap pusat pertumbuhan bintik tinta – berpusat pada strategi pembangunan yang “berbasis komoditas” dan “berbasis masyarakat”. Ini melengkapi visi pembangunan bintik tinta, di mana pembangunan berbasis komoditas dan berbasis masyarakat dapat memperbesar setiap bintik tinta. Khususnya untuk wilayah dataran tinggi, pembangunan yang berbasis masyarakat merupakan kunci bagi pertumbuhan bintik tinta.

1.5. Pembangunan Berbasis Komoditas: Peranan

Sektor Swasta dalam Infrastruktur

Kepentingan para investor swasta dan masyarakat luas dalam hal pembangunan infrastruktur belum tentu sama. Kepentingan publik adalah tersedianya infrastruktur bagi masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar dan mengurangi kemiskinan. Para investor swasta menginginkan infrastruktur yang menunjang kebutuhan spesifi k mereka – jalan raya langsung dari pelabuhan ke tempat penebangan kayu atau penggalian mineral, sumber daya listrik untuk menjalankan mesin-mesin yang mereka gunakan, sistem penyediaan air dalam proses ekstraksi atau industri. Lagipula, pihak swasta yang mengambil sumber-sumber daya tak-terbarukan tidak berkepentingan langsung untuk membangun infrastruktur yang akan terus bertahan setelah operasi mereka berakhir. Bahkan usaha penebangan kayu hanya memerlukan fungsi jalan raya selama beberapa tahun saja. Sebaliknya, publik memerlukan infrastruktur yang akan menciptakan berbagai kegiatan ekonomi yang luas hingga ke masa depan yang tak terbatas.

(20)

Kepentingan-kepentingan yang cenderung berbeda dapat diselaraskan melalui pembagian tanggung jawab yang jelas. Para investor swasta besar membutuhkan infrastruktur untuk mengambil sumber daya. Karena itu mereka harus membangun dan memelihara infrastruktur yang menunjang keperluan produksi dan distribusi mereka sendiri. Pajak yang mereka bayarkan akan memungkinkan pemerintah untuk menginvestasikan infrastruktur tersebut bagi kepentingan masyarakat umum. Sektor swasta hendaknya tidak dipandang sebagai pengganti pemerintah dalam penyediaan kepentingan umum. Demikian pula, sektor swasta tidak boleh mengharapkan pemerintah membangun infrastruktur untuk menunjang usaha mereka.

Bila kepentingan publik maupun kepentingan swasta menggunakan infrastruktur yang sama, masing-masing harus membayar penuh biaya penggunaannya. Apabila sebuah jalan dilalui kendaraan truk pengangkut kayu tebangan maupun masyarakat umum, maka pengguna yang paling banyak mengakibatkan kerusakan pada jalan tersebut harus mengeluarkan biaya untuk membangun dan mengoperasikannya. Kerusakan yang ditimbulkan kendaraan terhadap jalan akan bergantung pada bobotnya. Kendaraan besar (diukur dalam satuan ton per poros) tentunya menyebabkan lebih banyak kerusakan daripada biasanya. Jika sebuah jalan banyak digunakan oleh truk-truk besar, perusahaan yang mengoperasikan truk-truk tersebutlah yang bertanggungjawab untuk membangun dan memeliharanya, karena sektor publik yang menggunakan kendaraan-kendaraan lain hanya menyebabkan sedikit kerusakan. Biaya pengguna jalan untuk kendaraan harus sebanding dengan kerusakan jalan yang diakibatkan terhadap jalan-jalan umum. Demikian pula, pihak swasta pengguna tenaga listrik yang disediakan oleh PLN atau oleh sektor publik harus membayar produksi listrik tersebut dengan harga penuh, bukan harga subsidi.

Untuk mencegah unsur-unsur luar yang negatif dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan penggalian dan penebangan, maka para investor diwajibkan untuk: (i) memikul seluruh tanggung jawab fi nansial atas infrastruktur transportasi baru yang diperlukan untuk rencana tersebut; dan (ii) membayar bagian yang menjadi tanggung jawab mereka dalam penggunaan infrastruktur yang sudah ada. Untuk investasi baru, hal ini akan mendorong para investor menerima siklus hidup yang tepat dan meminimalisasi biaya sistem keseluruhan dalam mendesain infrastruktur tersebut. Apabila investor swasta perlu menggunakan infrastruktur yang ada, maka ia harus membayar biaya untuk memperkuat infrastruktur tersebut dan/atau mengganti biaya tambahan karena keadaan usang dan aus yang berat.

Industri swasta bisa membiayai pembangunan infrastruktur yang menyediakan pelayanan bagi masyarakat yang lebih luas. Sebagai contoh, Freeport Indonesia mendirikan rumah sakit dan membangun jalan raya dan beberapa di antaranya terbuka untuk masyarakat luas. Freeport Indonesia merupakan contoh studi kasus yang bermanfaat sehubungan dengan interaksi swasta-publik dalam pembangunan dan penggunaan infrastruktur (lihat Kotak 5).

Di Papua dan Papua Barat, untuk ukuran pasar yang kecil diperlukan keterlibatan sektor publik dalam peran swasta untuk menyediakan beberapa infrastruktur. Beberapa layanan yang biasanya disediakan oleh sektor swasta, misalnya layanan transportasi air dan telekomunikasi, mungkin tidak menguntungkan di beberapa bagian dari Papua dan Papua Barat. Penyebabnya karena biaya penyediaannya tinggi sedangkan tingkat pendapatan serta kepadatan penduduk rendah. Dalam kasus demikian, dukungan pemerintah untuk investasi dan terkadang bahkan untuk biaya operasinya sangat dibutuhkan. Dua prinsip perlu mengatur negosiasi mengenai subsidi demikian: (i) karena pihak swasta akan menciptakan sebagian pendapatan dari pengoperasiannya, harus diupayakan untuk memberikan subsidi serendah mungkin sehingga memungkinkan penyediaan layanan tersebut; dan (ii) pemilihan pihak penyedia layanan harus ditetapkan melalui sistem tender yang kompetitif secara berkala. Persyaratan subsidi tersebut harus transparan dan terbuka agar dapat ditinjau.

(21)

Kotak 5: Partisipasi Sektor Swasta: Pembelajaran dari Freeport

Latar Belakang

Saham mayoritas PT Freeport Indonesia (PTFI) dipegang oleh perusahaan Amerika Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini mulai membangun tambangnya di Papua pada tahun 1970. Meskipun banyaknya rintangan yang menghadang, PTFI membangun jalan sepanjang kira-kira 118 km melintasi daratan pesisir yang berawa menanjak ke wilayah pegunungan yang curam. PTFI juga membangun tambang dan fasilitas pengolahan pada ketinggian di atas 4.000 meter; serta sebuah pembangkit listrik tenaga batu bara berkapasitas 195 MW, 60 Hz yang terletak di sebelah pelabuhan yang baru dibangun, dengan jalur transmisi ke tambang dan pabrik. Pabrik tersebut mulai melakukan ekspor hanya tiga tahun setelah seluruh konstruksi dimulai. PTFI menjalankan usaha tambang emas terbesar dan tambang tembaga kedua terbesar di dunia. Perusahaan ini juga merupakan salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia, dengan jumlah pembayaran pajak, royalti dan dividen sekitar US$ 1,8 miliar pada tahun 2007. Sejak ditandatanganinya Kontrak Kerja (CoW) yang pertama kali, menurut konfi rmasi, persediaan logam di daerah tersebut kini diperkirakan meningkat 64 kali

lipat. Kontrak Kerja PTFI saat ini yang ditandatangani pada tahun 1991 telah diperpanjang sampai tahun 2041, maka

hampir tidak ada keraguan bahwa tambang tersebut akan dapat menghasilkan banyak keuntungan selama dekade-dekade selanjutnya.

PTFI mempekerjakan hampir 12.000 orang secara langsung di lokasi tambang dan kantor-kantornya. Sebanyak 27% di antaranya adalah orang Papua, sedangkan 9.000 orang lainnya secara tidak langsung dipekerjakan melalui berbagai perusahaan pelayanan dan para kontraktornya. Dengan adanya kegiatan operasi dan pelayanan pendukung tambahan PTFI, akhirnya didirikan kota Timika, yang terletak di antara lokasi operasinya di dataran tinggi dan pelabuhannya. Kota ini, yang belum ada pada tahun 1970, saat ini berpenduduk 165.000 jiwa.

Empat puluh tahun pengalaman pada pengoperasian pertambangan PTFI dapat memberikan pelajaran kepada semua tingkatan pemerintah di Indonesia. Dalam beberapa bidang tertentu, PTFI memberikan contoh mengenai berbagai praktek perusahaan yang dapat ditiru oleh perusahaan lain yang datang ke Papua untuk mengambil sumber-sumber daya tak-terbarukan. Namun dalam bidang-bidang lain, masih ada yang bisa diperbaiki dan ditingkatkan.

Nasional

Program Pelatihan Angkatan Kerja. Sejak tahun 2001, PTFI telah menyelenggarakan program pelatihan bagi penduduk Tanah Papua, yang berlangsung selama tiga tahun dan menelan biaya sebesar USD 15.000 per siswa. Ketrampilan yang diajarkan dalam program ini antara lain menulis dan membaca serta bekerja menggunakan alat simulator terkomputerisasi maupun peralatan sungguhan. Di antara para peserta pelatihan pada awalnya banyak yang buta huruf dan dipilih dari tujuh “suku” setempat berdasarkan tes bakat untuk menentukan jenis ketrampilan yang dibutuhkan.. Ketrampilan- ketrampilan tersebut memiliki nilai pasar yang tinggi, dan tidak kalah pentingnya di pertambangan milik PTFI sendiri, Antara lain pengoperasian dan perbaikan alat berat serta aspek-aspek lainnya pada teknologi pertambangan. Program pelatihan PTFI membuktikan bahwa orang-orang dewasa tanpa pendidikan formal bisa diseleksi berdasarkan bakatnya dan kemudian melalui pelatihan menjadi sangat produktif dalam perekonomian global yang bersifat modern. Pengembangan kader Papua yang trampil dalam mengoperasikan dan memperbaiki peralatan berat berpotensi untuk memberi kontribusi permanen terhadap keberhasilan penduduk Tanah Papua menjalani proses transisi. Program pengembangan angkatan kerja yang diselenggarakan oleh PTFI layak untuk ditiru dan diulangi di manapun ada kemungkinan.

Provinsi

Prospek kemitraan dalam penyediaan tenaga listrik. Saat ini, PTFI mengoperasikan dua jaringan sumber tenaga listrik yang terpisah. Salah satu berkapasitas 60 Hz yang digunakan untuk pertambangan sedangkan yang kedua digerakkan oleh tenaga diesel berkapasitas 50Hz untuk melayani dataran rendah di sekitarnya. PTFI juga sangat membutuhkan tenaga listrik di tahun-tahun mendatang, untuk keperluannya sendiri dan bagi para pemasoknya. Di antaranya termasuk sebuah pabrik semen untuk memenuhi kebutuhan semen PTFI yang semakin besar apabila perusahaan ini pindah seluruhnya ke lokasi bawah tanah kira-kira pada tahun 2016. Sebaliknya, jaringan tenaga listrik milik PLN benar-benar lemah. Perbedaan yang tampak antara layanan yang diberikan oleh PLN dan pembangkit tenaga listrik PTFI menyebabkan ketidaksenangan penduduk setempat terhadap PTFI.

Ada potensi untuk membangun PLTA berkapasitas cukup besar di lokasi yang tidak jauh dari Timika. (Lokasi di Urumuka sedang dikaji dengan teliti.) Pembangunan tersebut patut mendapat perhatian serius. PTFI bisa membantu pemerintah Indonesia mengembangkan rencana pembangunan PLTA dan membuat komitmen dengan kontrak jangka panjang untuk membeli daya listrik yang dibutuhkannya sebesar 50 Hz dari proyek tersebut. Apabila proyek ini terus memenuhi standar fi nansial dan lingkungan hidup, para donor internasional perlu mendukung pembangunan serta implementasinya. Apabila pembangunan PLTA tidak layak, PTFI dapat menyediakan keahlian teknisnya untuk membantu kontrak pemerintah dan merancang sebuah pembangkit tenaga listrik yang akan memenuhi kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan penduduk setempat.

(22)

Kotak 5: Lanjutan

Tantangan Urbanisasi. Tantangan besar yang dihadapi PTFI adalah pertumbuhan urbanisasi di Timika. PTFI mengkhawatirkan kebergantungan total perekonomian setempat pada tambang yang dimilikinya, tapi memang tidak ada lagi fondasi lain yang cukup berarti bagi perekonomian Timika. Di sekitar Timika sendiri (walaupun bukan di dataran tinggi dekat tambang tersebut), pertumbuhan urbanisasi tidak terkendali. Sekarang tantangannya adalah bagaimana menciptakan perekonomian lokal yang lebih terdiversifi kasi serta mengelola perpindahan penduduk dari daerah pedalaman. Beberapa pengusaha menyertakan biaya transportasi pekerja dalam upah tenaga kerja, agar mereka dapat kembali ke kampung halamannya atau ke berbagai lokasi yang terpencar. Daya tarik bagi para migran, seperti kantor-kantor dan lembaga-lembaga pelatihan, juga dapat disebarkan ke tempat-tempat yang jauh. Langkah-langkah demikian secara keseluruhan bisa menelan biaya yang cukup besar, dan para kontraktor yang menjadi pemasok tentu akan perlu mengikuti kebijakan serupa. Namun, sebaliknya momok keruntuhan ekonomi sebuah kompleks perkotaan yang besar setelah semua sumber daya tak-terbarukan terkuras, cukup mengancam. Oleh karena itu, kalangan pemerintah dan para investor swasta seharusnya rela untuk menanggung biaya yang cukup besar untuk menghindari dampak seperti ini.

Kabupaten

Kapasitas kelembagaan setempat. Meskipun lambat pada awalnya, saat ini PTFI memperoleh laba yang cukup besar melebihi pajak yang dibayarkannya. Pada tahun 2007, PTFI mengeluarkan US$ 106 juta untuk “pengembangan sosial”. US$ 53 juta di antaranya barulah satu persen dari pendapatan kotornya yang disalurkan ke salah satu LSM lokal, yaitu Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK, terkadang disebut sebagai dana 1% Freeport). Dana ini digunakan untuk membangun perumahan bagi penduduk setempat, menyediakan layanan perawatan kesehatan yang efektif, serta turut membantu membiayai sekolah, program beasiswa, serta kegiatan pengembangan bisnis daerah setempat. PTFI juga membangun jalan raya, mengelola pemeliharaannya, dan menyediakan kebutuhan publik lainnya sedangkan pemerintah daerah masih kurang memperhatikan hal-hal tersebut.

Pemerintah daerah memiliki sumber daya yang besar. Setelah adanya desentralisasi, lebih dari Rp 400 miliar ditransfer dari pusat setiap tahun sebagai tambahan pendapatan untuk kabupaten Mimika sejak tahun 2005. Namun masih banyak fungsi pemerintah daerah, seperti pembangunan dan pemeliharaan jalan raya setempat, pembiayaan pendidikan serta penyediaan perawatan kesehatan, yang sebagian besar dilaksanakan oleh PTFI. PTFI harus bekerja lebih keras untuk membantu pembinaan lembaga-lembaga yang akan menyediakan pelayanan publik secara efektif. Setiap kegiatan pengambilan sumber daya tak-terbarukan suatu waktu pasti akan berakhir. Maka, investor swasta harus berupaya menarik diri dengan mulus secara bertahap, baik di bidang administratif maupun ekonomi. PTFI perlu memikirkan untuk memperbantukan beberapa stafnya guna memberikan bantuan teknis sementara dan menerima personil pemerintah daerah sebagai mitra dalam menyediakan pelayanan kuasi-publik bersama PTFI. Sekalipun alih ketrampilan tersebut tidak efi sien dan lamban menurut standar PTFI, penting agar para investor swasta seperti PTFI mengalihkan tanggung jawab kepada pemerintah daerah daripada sekadar menyediakan pelayanan tersebut, yang sebenarnya merupakan tugas pemerintah daerah. Yang perlu ditambahkan oleh PTFI dalam daftar tanggung jawabnya adalah membantu pembangunan lembaga-lembaga publik yang lebih efektif daripada sekadar menyediakan barang dan jasa untuk keperluan publik.

Hasil Akhir

Ujian yang paling utama atas setiap kegiatan perekonomian di Papua dan Papua Barat adalah, apakah kegiatan tersebut memberi kontribusi kepada pembangunan. Dalam hal ini belum dapat diputuskan apakah PTFI telah memenuhi syarat tersebut. Dalam 32 tahun atau lebih yang tersisa untuk operasinya di Papua, Freeport harus membantu membangun perekonomian yang tidak akan runtuh setelah emas dan tembaga lenyap. Bila PTFI sudah pergi, lembaga-lembaga pengelolaan dan tata pemerintahan setempat harus mampu menyediakan pelayanan masyarakat yang saat ini masih disediakan oleh PTFI sendiri. Ia juga harus terus berupaya sehingga sebagian besar penduduk Papua siap menghadapi berbagai tantangan kehidupan modern.

Gambar

Tabel 1:  Harga Satu Sak Semen pada bulan November 2008
Gambar 1:  Biaya Konstruksi di Papua dan Papua Barat 020406080100120140160180200220240
Gambar 2:  Jumlah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah di Papua dan Papua Barat
Gambar 3:  Transfer dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Sub-Nasional Periode tahun 1997- 1997-2008 0 500010000150002000025000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rata-rata pendapatan bulanan per pelanggan (ARPU) untuk pelanggan selular GSM pada FY-2011 yang berakhir pada 31 Desember 2011 adalah sebesar Rp28,4 ribu, mengalami

Strategi bauran pemasaran ( marketing mix) aspek physical evidence yang sudah diterapkan Cherryka Bakery dengan sangat baik dan berdasarkan tanggapan konsumen aspek

Berikut ini contoh soal-soal UN yang berkaitan dengan materi Alat Optik pada Kompetensi Dasar 3.12 Menganalisis sifat-sifat cahaya, pembentukan bayangan pada bidang datar

doğa ürünleri ya da gerçek tarım ürünleri değildir. Onlar yetiştirilmekten ziyade imal ediliyor. Onları toprak değil.... Gezegeni korumak için çalışan zeki,

Melakukan pembayaran melalui Uang Persediaan atas persetujuan Pejabat Yang Melakukan Tindakan yang Mengakibatkan Pengeluaran Anggaran Belanja Satker untuk Belanja Barang,

Penelitian yang dilakukan bertujuan mengetahui seberapa besar pengaruh manipulasi habitat terhadap keragaman dan kepadatan populasi musuh alami wereng coklat, mengetahui

Muntinghe yang dianggap sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan di bidang hukum diangkat sebagai sekretaris Dewan Hindia, yang bertugas mendampingi Gubernur

Dari hasil pengamatan dan analisis data deskriptif kualitatif tersebut pada siklus II di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dengan menggunakan media gambar seri yang