• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUNTINGHE : NEGARAWAN ATAU BIROKRAT? 1 Tinjauan tentang Perubahan Politik di Jawa awal abad XIX Oleh Djoko Marihandono

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MUNTINGHE : NEGARAWAN ATAU BIROKRAT? 1 Tinjauan tentang Perubahan Politik di Jawa awal abad XIX Oleh Djoko Marihandono"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MUNTINGHE : NEGARAWAN ATAU BIROKRAT?1

Tinjauan tentang Perubahan Politik di Jawa awal abad XIX Oleh Djoko Marihandono (djoko_marihandono@yahoo.com)2

1. Pendahuluan

Menjelang akhir abad XVIII, terjadi perubahan politik yang besar di Eropa, yang dampaknya terasa hingga di wilayah koloni, khususnya wilayah koloni Belanda di Hindia Timur. Perubahan politik ini disebabkan oleh terjadinya suatu peristiwa yang menimpa wilayah Belanda, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Willem V dari dinasti Oranye. Paham Revolusi Prancis yang menjadi semboyan kaum Patriot mulai merambah ke Belanda yang saat itu dikuasai oleh Willem V dari dinasti Oranye. Paham Revolusi Prancis ini dianggap mengancam keberadaan negara-negara besar yang menganut sistem monarki, seperti Inggris, Prusia, Italia, dan Rusia. Situasi ini menambah semakin kuatnya pertentangan antara dua negara adi daya pada waktu itu, yakni Prancis dan Inggris, yang sudah sejak abad XIV selalu diliputi permusuhan dan peperangan. Posisi wilayah Belanda, dianggap sangat strategis oleh kedua negara adi daya itu. Pancis menganggap bahwa wilayah ini merupakan satu-satunya wilayah yang menjadi akses bagi Inggris untuk menguasai daratan Eropa. Sementara bagi Inggris, Belanda harus dilindungi agar tidak terpengaruh oleh paham Revolusi Prancis yang sangat membahayakan eksistensi pemerintahan di Inggris yang menganut sistem mornarki. Pada tahun 1785, posisi Willem V dari dinasti Oranye sebagai penguasa Belanda mulai terdesak sebagai akibat dari terjadinya pemberontakan kaum patriot yang ingin menggulingkan dinasti Oranye. Willem V, yang memiliki hubungan sangat erat dengan Prusia sebagai akibat dari adanya perkawinan politik waktu itu, meminta bantuan Prusia untuk mengusir pemberontakan kaum patriot ini. Mereka berhasil dipukul mundur yang menyebabkan banyak di antara pejuang Patriot yang mengungsi ke Prancis. 3

1

Makalah ini disajikan pada Seminar Hasil Penelitian Pengajar Departemen Sejarah FIB-UI yang diseleng-garakan pada tanggal 27 dan 28 Desember 2006 di Kampus FIB-UI Depok.

2

Penulis adalah staf pengajar pada Program Studi Prancis, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

3

Kaum patriot Belanda di pengasingan bersama dengan Pasukan di Wilayah Utara Prancis pada tanggal 12 Oktober 1792 membentuk Légion Franche Etrangère yang meniru pembentukan pasukan Legion de Brabant dan Legion de Luik yang memiliki misi untuk membebaskan wilayah Belgia dari pengaruh Austria. Legion Franche Etrangère ini dibentuk untuk menyerbu Belanda, beranggotakan sebanyak 2.450

(2)

Kaum patriot bersama dengan pasukan Prancis berhasil mendirikan Republik Bataf di Belanda pada tanggal 19 Januari tahun 1795, dua hari setelah Stathouder Willem V dari dinasti Oranye Nasau, melarikan diri ke Inggris. Pendirian negara baru ini tidak serta merta membawa negara baru itu mudah menyelesaikan kemelut dalam negerinya. Baru pada tanggal 17 Maret 1798, Republik Bataf memiliki konstitusi.4 Berdasarkan pasal 247 konstitusi ini, ditetapkan bahwa semua wilayah dan hutang VOC diambil alih oleh negara dan hak istimewa yang selama ini diberikan kepada VOC dicabut. Pasal ini diikuti dengan pasal 248 yang menyatakan bahwa para pemegang saham VOC akan diberikan ganti rugi. Sementara itu penguasa tertinggi wilayah koloni diserahkan kepada Dewan Koloni Asia yang terdiri atas 9 orang anggota. Dewan ini bertugas menyusun aturan yang akan dituangkan dalam sebuah Piagam. Selama Piagam ini belum disiapkan, Dewan Koloni Asia harus memerintah berdasarkan hak istimewa lama yang diberikan kepada VOC hingga ditetapkan undang-undang pengelolaan wilayah koloni yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip Republik. Hak-hak istimewa yang diberikan kepada VOC akan berakhir pada tanggal 31 Desember 1799.

Dengan adanya sentralisasi kekuasaan dari Den Haag sampai Batavia, para pejabat tinggi Bataf bermaksud membenahi pemerintahan di bekas koloni VOC. Akan tetapi, situasi politik di Eropa dengan adanya peperangan antara pasukan gabungan Prancis-Republik Bataf dan Inggris bersama pasukan negara-negara koalisi tidak memungkinkan kebijakan pembaharuan pemerintahan diterapkan di koloni Belanda termasuk di wilayah koloni Hindia Timur. Masa pemerintahan Bataf sendiri dipenuhi dengan peperangan terus-menerus yang menghabiskan tenaga maupun dana dari kas negara. Pembentukan Dewan Koloni Asia ditujukan untuk menghindari kejatuhan wilayah koloni. Reorganisasi pemerintahan di wilayah ini harus dilakukan.

Konstitusi Republik Bataf tahun 1798 dianggap kurang mencerminkan nafas republik. Oleh karena itu konstitusi tahun 1798 diganti dengan konstitusi tahun 1801

tentara, yang dibagi dalam 4 batalyon infanteri, 4 satuan artileri, 200 tentara penggempur berjalan kaki, 200 orang artileri dengan 16 buah meriam dan 50 orang tukang. Anggota pasukan ini dilengkapi dengan simbol 3 warna yang melambangkan kebebasan (Constant van Wessem, De Ijzeren Maarschalk, Amsterdam: Het Kompas, 1932 hal.57-58)

4

Konstitusi Republik Bataf tahun 1798 wilayah Belanda menjadi 7 provinsi, yakni provinsi Holland, Zeland, Overijssel, Friseland, Groningen, Guelderland, dan Utrecht.

(3)

yang dianggap lebih bernafaskan republik dan lebih revolusioner.5 Atas nasehat dari Dewan Koloni Asia, pemerintah Republik Bataf membentuk komisi yang berfungsi memikirkan bagaimana memajukan wilayah koloni agar memberikan keuntungan besar bagi negara. Pada tanggal 11 Nopember 1802, komisi ini dibentuk beranggotakan Dirk van Hogendorp, Mr. J. Meerman, Mr. S.C. Nederburgh, F.O.J. Pontoi, Mr. W. Six, C.A. Verhuell, dan R. Voute. Pembentukan komisi ini tidak terlepas dari peranan Herman Warner Muntinghe (selanjutnya disebut Muntinghe) yang mulai bergabung dengan Dewan Koloni Asia pada tanggal 6 Juli 1801 sebagai penasehat hukum di bidang fiskal. Muntinghe kelak akan menjadi orang terpenting di wilayah koloni Hindia Timur. Berkat kepandaian dan kecerdasannya, tenaganya sangat dibutuhkan dan digunakan pada masa di bawah pemerintahan Belanda, Belanda-Prancis, Prancis, Inggris, dan Komisaris jenderal.

1.1 Karir Herman Warner Muntinghe

Muntinghe dilahirkan di Amsterdam pada tahun 1733. Di usia sekolah, ia dididik di Inggris. Setelah menginjak remaja, oleh orang tuanya ia disekolahkan di Groningen, dan dikenal sebagai siswa yang cerdas. Bahkan karena kecedasannya itu, ia pernah diizinkan untuk loncat kelas oleh kepala sekolahnya. Setelah lulus dari studi hukum, ia bergabung dengan Dewan Koloni Asia pada tanggal 6 Juli 1801, sebagai penasehat hukum. Pada tahu 1806, ia berangkat ke Hindia Timur dan tiba di Batavia pada tanggal 3 Nopember 1806. Ia dikirim oleh pemerintah Republik Bataf ke wilayah koloni ini untuk membantu Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese dalam menangani penegakan hukum di wilayah ini. Oleh karena itu, setelah kedatangannya di Batavia, ia langsung diangkat menjadi sekretaris pemerintah. Setelah terjadi penyerahan kekuasaan dari Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese kepada Gubernur Jenderal yang baru Herman Willem Daendels pada tanggal 14 Januari 1808, Muntinghe diangkat menjadi Sekretaris Gubernur Jenderal Daendels, dan satu tahun kemudian, ia diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Hindia (Raad van Hindie). Dalam upaya menegakkan hukum

5

F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, Amsterdam, NV. Uitgeversmaatschappij, 1940 hal. 10-11

(4)

di Hindia Timur, Daendels mengangkatnya menjadi Ketua Mahkamah Agung di Batavia (Hoogen Raad van justitie van Hollandsche Indien).

Setelah penaklukan Jawa oleh Inggris pada tahun 1811, Lord Minto, Gubernur Jenderal EIC di Calcutta mengangkat Muntinghe menjadi anggota Dewan Hindia berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 18 Oktober 1811, di samping tetap menjabat sebagai ketua Mahkamah Agung. Pada tanggal 28 Nopember 1811, ia mengadakan perjalanan bersama Letnan Gubernur Jenderal Raffles ke Yogyakarta untuk melakukan perundingan dengan Sultan Hamengku Buwono II. Karir Muntinghe melaju dengan cepat. Berkat kepercayaan yang diberikan oleh Letnan Gubernur Jenderal Raffles dan Panglima Angkatan darat EIC di Jawa Gillespie, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Dewan Hindia, mendampingi Cranssens yang menjabat sebagai Ketua. Berdasarkan pengumuman pemerintah tanggal 28 Mei 1813, ia diangkat menjadi Ketua Komite Pendapatan Negara. Pada tanggal 2 November 1813, Muntinghe memperoleh kehormatan kembali melakukan perjalanan bersama Raflles kembali, sesuatu yang tidak pernah dialami oleh Cranssens. Karena kesibukkannya, Muntinghe meminta pengunduran dirinya dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Dewan Hindia, dan permohonan pemberhentian ini disetujui oleh Raffles berdasarkan keputusan pemerintah tanggal 18 Februari 1814. Posisi Muntinghe dan Cranssens terjepit saat terjadi konflik antara Raffles dan Gillespie. Muntinghe membantu Raffles dan berdasarkan suratnya tertanggal 20 Maret 1814, Muntinghe meminta untuk dinaturalisasi kewarganegaraannya sebagai warga negara Inggris.6 Berulangkali Muntinghe memperoleh penghargaan dari Raffles. Berita-berita itu dimuat dalam Java Gazette tanggal 23 April 1814, dalam karyanya tentang sejarah, dan dalam laporannya tanggal 23 April 1813.

Ketika terjadi pemulihan kekuasaan Belanda, Jawa diserahkan kembali kepada Komisaris Jenderal, Muntinghe tetap diberi tanggung jawab untuk memimpin Pengadilan tinggi. Akan tetapi, jabatan ini ditinggalkannya setelah ia ditugaskan oleh Komisaris Jenderal di Palembang dan Bangka pada tahun 1818 dan 1819. Karena di Palembang terjadi konflik dengan sultan Machmud Badaruddin, maka ia ditarik kembali dari

6

Lihat F. de Haan dalam “Personalia des periode van het Engelsch bestuur over Java 1811—1816” dalam BKI Jilid 92 tahun 1935, hal. 615—617.

(5)

Palembang dan dikirim ke Bangka untuk mendesak Residen Inggris Mayor Furquhar agar bersedia menyerahkan wilayah Bangke kepada pemerintah Belanda.

Pada tahun 1822, Muntinghe kembali ke Belanda. Di negerinya itu, ia ikut serta membentuk perusahaan dagang Nederlandsch Handelmaatschappij. Ketika kembali ke Jawa tahun 1824, ia bekerja sebagai seorang pengusaha tanah dan dengan tanah-tanah perkebunannya hingga wafatnya di Pekalongan pada tahun 1827.

1.2 Permasalahan

Setelah mengetahui perjalanan karor dan kehidupan Muntinghe di Hindia Timur, muncul beberapa permasalahan yang dapat diformulasikan sebagai berikut:

1. Apa latar belakang dari karir Muntinghe sehingga selalu berperan dalam pergantian pemerintahan?

2. Strategi apa yang dianut Muntinghe dalam menghadapi perubahan rezim di Jawa selama 10 tahun?

3. Prestasi apa yang dicapai oleh Muntinghe baik bagi dirinya maupun bagi pemerintahah kolonial di Jawa selama masa jabatannya?

4. Mengapa Muntinghe berhasil mempertahankan kedudukannya sebagai pejabat tinggi dan bagaimana kedudukan itu dipertahankannya.

1.3 Tujuan

Berdasarkan permasalahan di atas, makalah ini bertujuan untuk:

a. Mendeskripsikan jabatan dan karir Muntinghe selama periode pemerintahan Gubernur Jenderal Wiese, Gubernur Jenderal Daendels, Letnan gubernur Jenderal Raffles, dan Komisaris Jenderal di Hindia Timur;

b. Apa yang melatarbelakangi Muntinghe sehingga tenaganya selalu digunakan dalam perubahan ketiga rezim pemerintahan di Hindia timur;

c. Bagaimana peran Muntinghe selama ketiga rezim itu berkuasa.

(6)

Penelitian tentang figur Muntinghe memiliki beberapa manfaat. Manfaat pertama adalah manfaat akademik. Dilihat dari sudut akademik, penelitian tentang figur Muntinghe belum banyak dilakukan orang. Nasehat Muntinghe sangat diperlukan oleh para gubernur jenderal yang memerintah di Hindia Timur dari Wiese, Daendels, Raffles hingga Komisaris Jenderal. Peranannya dalam menegakkan hukum, menjadikan institusi hukum di Hindia Timur semasa Daendels menjadi kuat. Sementara itu, saran Muntinghe tentang sistem penyewaan tanah semasa Raffles sangat diperlukan pemerintah Inggris saat itu yang masih mengalami keraguan untuk menentukan sistem seperti apakah yang akan diterapkan di wilayah ini. Semasa pemerintahan Komisaris Jenderal, kehadiran Muntinghe juga sangat diperlukan, khususnya untuk memberitahukan penyerahan wilayah koloni ini kepada Belanda setelah empat tahun dikuasai oleh Inggris. Dengan penelitian ini, para sejarawan diajak untuk membuka dokumen asing lain selain dokumen Belanda, khususnya dokumen Inggris. Hal ini sangat penting untuk mengurangi distorsi hasil penelitian yang dibuat oleh sejarawan asing periode kolonial yang berdampak pada biasnya hasil peneltian sebagai akibat dari pandangan yang berbeda.

Penelitian ini juga memiliki manfaat praktis, yakni membantu para sejarawan untuk memahami Pulau Jawa, khususnya antara tahun 1808—1817 yang sarat dengan perubahan. Pada periode ini, wilayah koloni hindia Timur dikuasai oleh tiga bangsa yang berbeda, yakni Belanda, Prancis dan Inggris. Hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh anggota masyarakat yang menekui sejarah kolonial, karena akan memperkaya pengetahuan mereka di balik berdiri kokohnya figur Gubernur Jenderal yang menguasai wilayah koloni ini. Muntinghe mampu berperan sebagai orang di balik layar yang tidak hanya sekadar mempengaruhi tetapi memberi masukan yang tepat bagi keputusan yang harus diambil oleh gubernur jenderal pada masa tersebut.

Selain itu, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan baik oleh para mahasiswa program magister maupun program doktor yang berminat mengembangkan studi tentang sejarah kolonial, khususnya pada awal abad XIX.

(7)

1.5 Sumber Data

Penelitian ini didasarkan atas beberapa sumber data yang berupa arsip dan tulisan yang berkaitan dengan permasalahan pokok dalam penelitian ini. Naskah yang berupa arsip diambil dari lampiran buku karangan Daendels (1814) yang berjudul Staat der Nederlandsche Oostindische Bezittingen onder het Bestuur van den Gouverneur Generaaal Herman Willem Daendels in de jaaren 1808—1811, khususnya bagian bijlagen eerste deel (lampiran jilid I) dan bijlagen tweede deel (lampiran jilid II). Selain itu juga digunakan beberapa tulisan sezaman yang memberikan keterangan tentang peran Muntinghe selama hidupnya. Beberapa tulisan yang penting antara lain:

a) Tulisan HRC Wright yang berjudul “Muntinghe’s advice to Raffles on the land question in Java” dalam BKI jilid 108 tahun 1952;

b) Tulisan ML Van Deventer yang berjudul “Daendels-Raffles I” dalam Indische Gids jilid 1 nomor 215 tahun 1891.

c) Tulisan yang berjudul “De Persoonlijke verhouding tusschen Raffles en Muntinghe” dalam Indische Gids nomor 11 Jilid 1 tahun 1929.

d) Tulisan JA Van der Chijs dalam Nedrlandsche Indische Plakaatboek 1602— 1811, veertiende deel 1804—1808. Batavia: Landsdrukeerij, terbitan tahun 1895.

Selain artikel dan buku tersebut, masih digunakan beberapa tulisan sezaman lain yang berhubungan dengan karya Muntinghe selama berkarya di Hindia Timur.

1.6 Batasan Penelitian

Penelitian ini akan membahas figur Muntinghe selama berkarya di wilayah koloni, yakni semenjak kehadirannya di Hindia Timur tahun 1806 hingga pengunduran dirinya dari dinas pemerintahan tahun 1817.

1.7 Kerangka Konseptual

Untuk menganalis tema permasalahan ini, akan digunakan metodologi strukturis. Christopher Lloyd mengatakan bahwa suatu masyarakat sebagai struktur makro akan mengalami perubahan karena tindakan sosial dari individu yang menjadi anggotanya,

(8)

walaupun hal itu terjadi tidak sekaligus.7 Tindakan individu ini memiliki motivasi dengan tujuan tertentu. Motivasi ini akan muncul sebagai akibat adanya kondisi yang mempengaruhi pemikiran tertentu dalam mencapai tujuan individu tersebut. Kondisi yang muncul dapat berupa pemikiran individu atau nalar yang menjadi dasar dari penyebab diambilnya tindakan dalam melakukan suatu fakta sejarah.

Dalam menganalisis kejadian yang menjadi fakta sejarah, lingkungan yang ada di sekitar individu juga sangat mempengaruhi kondisi ini. Dengan lingkungan yang ada, mengharuskan individu tersebut mencari jalan demi tercapainya tujuan itu. Sebaliknya lingkungan sosial juga berperan bagi individu untuk mengambil tindakan, baik yang disadari maupun tidak.

Selanjutnya menurut Lloyd, tujuan dan motivasi tindakan yang diambilnya tidak terlepas dari konteks sosialnya. Individu tidak dapat melepaskan dirinya dari situasi sosial budayanya meskipun ia bebas melakukan apa yang akan dilakukannya sesuai tujuan yang diharapkan. Namun demikian, dari tindakan ini perubahan dapat terjadi, disebabkan oleh situasi lingkungan sosial di sekitarnya.

Pengertian negarawan dalam makalah ini dibatasi sebagai pemimpin politik yang secara taat azas menyusun kebijakan negara yang mengedepankan pengelelolaan negara dengan kebijakan dan kewibawaan (KBBI 2005:779). Sementara itu, pengertian birokrat dibatasi sebagai seseorang yang menjadi bagian dari birokrasi, yang mempengaruhi para kepala dan staf di pemerintahan (Albrow 1996:3)

1.8 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian ini terdiri atas empat tahap, yaitu heuristik (pengumpulan data), kritik data, interpretasi dan analisa data, serta rekonstruksi hasil analisis yang hasilnya akan menjadi laporan penelitian ini. Mengingat penelitian ini adalah penelitian sejarah, maka prioritas akan diberikan pada kajian dokumen dan pustaka.

7Christopher Lloyd, Explanation in Social History, Oxford, Basil Blackwell, 1988,

(9)

2. Peran Muntinghe selama Pemerintahan Republik Bataf

Herman Warner Muntinghe, dilahirkan di Amsterdam pada tahun 1773 dari hasil perkawinan Mr. S. Muntinghe sebagai pimpinan Mahkamah Agung di Groningen dan A.E. de Maffe. Setelah menyelesaikan sebagian pendidikannya di Inggris, Muntinghe pada tahun 1785 memasuki sekolah di Groningen dan dua tahun kemudian (Desember 1787) tercatat sebagai siiswa di sana. Ia berhasil menyelesaikan studinya di fakultas hukum 1797. pada tanggal 6 Juli 1801 Muntinghe diangkat sebagia pengacara pada Dewan Koloni Asia yang diberi tugas untuk menyelidiki tindakan-tindakan Mr. Nederburgh sebagai mantan Komisaris Jenderal. Pada tanggal 16 April 1804 Muntinghe diangkat sebagai fiscaal di Suriname tetapi jabatan ini tidak bisa didudukinya karena koloni ini telah dikuasai oleh Inggris. Jabatan fiscaal itu tetap diberikan kepadanya, tetapi ia ditugaskan di wilayah koloni lainnhya, yakni di Hindia Timur.

Muntinghe tiba pada tahun 18068 di Batavia dan langsung menduduki jabatan sebagai fiscaal (pejabat tinggi kehakiman) di pengadilan Batavia. Dalam kedudukannya ini, Muntinghe segera menerapkan pembaharuan hukum. Ia menyadari bahwa di dalam posisi tersebut, kedudukannya dikelilingi oleh para pejabat Belanda bekas pegawai VOC yang masih setia kepada dinasti Oranje, seperti Siberg, Wiese, N. Engelhard, Nederburgh, Cranssen. Muntinghe juga mengetahui bahwa sistem pemerintahan yang berlaku saat itu masih belum mengalami perubahan dari zaman VOC. Akan tetapi, berdasarkan atas instruksi yang diterimanya untuk membantu pembenahan hukum dan pemerintahan, Muntinghe menunjukkan kemampuannya dalam mengatasi kesulitan pemeritnah. Gubernur Jenderal Wiese yang saat itu berkuasa kemudian mengangkatnya sebagai wakil sekretaris pemerintah, orang kedua setelah Nederburgh dalam pemerintaahn tinggi (Hooge Regeering). Tugas-tugas Muntinghe dalam lembaga ini adalah memberikan informasi kepada pemerintah khususnya di bidang pembenahan dan penegakan hukum.9

8

Van Deventer menyebutkan bahwa Muntinghe datang ke wilayah koloni Hindia Timur bersama dengan Daendels. Menurut Van Deventer, Muntinghe adalah satu lima ajudan Daendels yang menyertai

kedatangan Daendels ke jawa pada tanggal 1 Januari 1808. Lihat Van Deventer dalam artikelnya yang berjudul “Daendels-Raffles” yang dimuat dalam majalah Indische Gids terbitan tahun 1891 jilid 1 hal. 341. 9

Lihat S.de Graaf en D.G. Stibbe, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, ‘s gravenhage, 1918, Martinus Nijhoff, hal. 792—793)

(10)

Kondisi di wilayah koloni Hindia Timur, pascakeruntuhan VOC, wilayah koloni ini berada di bawah pemerintahan Republik Bataf. Berbeda dengan di Belanda, di Jawa sistem pemerintahan sejak 1 Januari 1800 tidak mengalami perubahan. Pucuk pimpinan kekuasaan tetap dipegang oleh Gubernur Jenderal Van Overstraten yang memerintah bukan lagi atas nama Heeren XVII tetapi bertanggungjawab kepada Jan Rutger Schimmelpenninck sebagai pimpinan tertinggi Republik Bataf. Di samping Overstraten, hampir semua pejabat VOC masih menempati posisinya meskipun ada beberapa pergantian sebutan jabatan. Para kepala pemerintah wilayah tetap dipertahankan pada jabatannya. Akibatnya sistem hukum yang kacau sebagai warisan VOC tetap berlangsung.

3. Peran Muntinghe selama pemerintahan Gubernur Jenderal HW Daendels

Ketika Daendels mulai memerintah Jawa, ia memerlukan orang-orang yang dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan program kerjanya untuk membenahi pemerintahan di Jawa dan mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Muntinghe yang dianggap sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan di bidang hukum diangkat sebagai sekretaris Dewan Hindia, yang bertugas mendampingi Gubernur Jenderal dalam membuat peraturan-peraturan negara dan memberikan nasehat-nasehat, khususnya dalam membenahi sistem administrasi di Jawa. Pengangkatan pada jabatan ini terjadi pada bulan Mei 1808. Ketika Daendels mulai melakukan pembenahan di bidang peradilan, Daendels memerlukan orang yang tahu benar akan hukum, untuk ditempatkan di Pengadilan Tinggi (Raad van Justitie) di Batavia. Berdasarkan Keputusan tanggal 15 Agustus 1809, dalam upaya melakukan reorganisasi di bidang peradilan, Daendels menunjuk Muntinghe sebagai Ketua Pengadilan Tinggi di Batavia, dibantu oleh W.F. van Panhuijs selaku wakil ketua; W.M. Keuchenius, M.T. Knibbe, G.N. de Witt, A.H. Smissaert, J.H. van Ijsseldijk semuanya adalah anggota biasa; J.van Sevenhoven dan K. Lakke selaku anggota luar biasa, L. Heukevlugt sebagai fiscaal dan C. Ellinghuizen sebagai petugas penulis. (Daendels 1814: 67). Dengan demikian, Muntinghe dipercaya untuk menjabat di dua instansi sekaligus, yakni sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Hindia dan Ketua Pengadilan Tinggi di Batavia.

Dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum, Daendels mempercayakan kepadanya untuk membenahi Dewan Armada Batavia (Raad van Scheppen) yang akan

(11)

menggantikan tugas-tugas Dewan Heemraden. Berdasarkan surat Gubernur Jenderal yang dikeluarkan dari Buitenzorg tanggal 2 Februari 1809, Muntinghe bersama dengan anggota Dewan Hindia Chasse dan Ketua Dewan Armada Pieter Engelhart, diminta oleh Gubernur jenderal untuk mengubah usulan yang sudah dibicarakan di Dewan Hindia untuk dijadikan rancangan instruksi bagi Dewan Armada Batavia, yang berjumlah 57 pasal. Dalam instruksi ini diuraikan struktur kepemimpinan dan perincian tugas masing-masing pejabat secara rinci.

Dalam pemerintahannya, Daendels bertekad untuk menegakkan hukum dan memberantas semua pelanggaran hukum yang selama ini dianggap merugikan bagi kepentingan negara. Untuk mencapai tujuan itu, Daendels menunjuk Muntinghe untuk merancang struktur, tugas, dan mekanisme kerja lembaga Mahkamah Agung yang baru, setelah pembentukan Pengadilan Tinggi di Surabaya. Keberhasilannya merancang lembaga ini, ditunjang oleh kemampuannya sebagai ahli hukum yang memiliki pribadi yang bisa diandalkan Daendels mengangkatnya sebagai Ketua Mahkamah Agung di Hindia Timur. Tugas dan wewenang Muntinghe di lembaga ini adalah mengesahkan keputusan semua pengadilan tinggi yang ada di Batavia, Semarang dan Surabaya.

Adapun susunan lengkap pejabat di lingkungan Mahkamah Agung berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Daendels tanggal 15 Agustus 1809 adalah sebagai berikut: Ketua Mahkamah Agung sekaligus sebagai Anggota Luar Biasa Dewan Hindia dijabat oleh Muntinghe; WT van Panhuijs diangkat sebagai Wakil Ketua sekaligus menjabat sebagai Sekretaris Pemerintahan Tinggi (Hooge Regering). Anggota biasa dijabat oleh W.M. Keuchenius, T. Knibbe, G.H. De Witt, A.H. Smissaert, J.H. van Ijjseldijk; J. van Sevenhouven dan K. Lakke; dan sebagai anggota luar biasa, yaitu L. Heukevlugt sebagai Jaksa Penuntut dan C. Ellinghuizen sebagai anggota peradilan. (Daendels 1814: Bijlagen tweede deel, nomor 35).

Jabatan ini diduduki oleh Muntinghe hingga penyerbuan Inggris ke Jawa pada bulan Agustus 1811.

4. Peran Muntinghe selama pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Raffles

Raffles mulai berkuasa pada akhir September 1811 sebagai Letnan Gubernur Jenderal EIC di Jawa. Kesulitan utama tatkala Raffles akan menyusun pemerintahannya

(12)

di Jawa adalah kurangnya tenaga terdidik yang dianggapnya mampu untuk menegakkan sistem pemerintahan di wilayah yang baru dikuasainya itu. Oleh karena itu, ia mulai menyelidiki kemampuan dan karakter orang-orang Belanda yang tinggal di pulau ini, agar dapat membantu dalam melaksanakan pemerintahannya. Upaya pertama yang dilakukan oleh Raffles adalah meminta kepada para mantan pejabat tinggi Belanda untuk membuat laporan masing-masing jabatan dan tugas yang diembannya. Laporan Muntinghe kepada Raffles dianggapnya sangat berguna dan berharga. (De Haan 1935: 480). Berdasarkan laporan itu, dalam sistem pemerintahannya, Raffles juga menghendaki penegakan hukum. Akan tetapi berbeda dengan Daendels, Raffles menuntut agar hukum Eropa diterapkan sepenuhnya di Jawa karena dianggap sebagai sistem hukum yang paling adil. Dalam pranata hukum warisan Belanda, Raffles menemukan bahwa Muntinghe adalah seorang pejabat tinggi hukum satu-satunya yang memiliki pengalaman di bidang hukum, pandai dan sudah tidak diragukan lagi kemampuannya, khususnya selama pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels.

Ketika untuk pertama kalinya ia berdiskusi dengan Raffles, Muntinghe menyampaikan ide-idenya tentang pembaharuan di bidang hukum. Untuk lebih memudahkan penegakkan hukum, Mahkamah Agung akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, Mahkamah Agung berfungsi sebagai lembaga pengadilan yang lebih tinggi dari pengadilan tinggi. Sementara itu, atas inisiatif Muntinghe yang dengan cepat menyesuaikan diri terhadap sistem hukum Inggris, Mahkamah Agung akan menjalankan tugas sebagai pengadilan banding. Kedua lembaga ini akan berada di bawah tanggung jawab Muntinghe secara langsung. Jabatan Muntinghe selain menjadi Ketua Lembaga Mahkamah Agung juga merangkap sebagai anggota Dewan. Oleh karena itu, ia harus mengangkat sumpah untuk setia kepada pemerintah Inggris tanggal 21 Oktober 1811. (De Haan 1935: 615).

Hubungan Raffles dan Muntinghe tidak terbatas pada bidang peradilan. Raffles menyadari bahwa Muntinghe memiliki banyak informasi dari pengalaman tugasnya di Jawa, dan mengetahui banyak tentang kondisi di Jawa. Ketika muncul masalah di Kraton Yogyakarta, sehabis pelantikan sumpah setia kepada pemerintah Inggris, Muntinghe menerima tugas untuk mendampingi Raffles untuk berunding dengan Sultan Yogya. Ketika Raffles dan Komandan Militer Gillespie melakukan penyerangan ke Yogyakarta,

(13)

Muntinghe diangkat menjadi Wakil ketua Dewan Hindia berdasarkan pengumuman tanggal 23 mei 1812, mendampingi Ketua Dewan Hindia Cranssen.

Setelah situasi politik di Vorstenlanden mereda, Raffles menemui kesulitan besar, khususnya untuk menentukan pajak tanah mana yang akan diterapkan di Jawa. Seperti telah disampaikan oleh Minto ketika meninggalkan Jawa pada bulan Oktober 1811. Ia telah meletakkan prinsip bagi pedoman kerja Raffles sebagai Letnan Gubernur Jenderal yang menganggap bahwa penyerahan wajib dan contingenten merupakan pemerasan yang harus dihapuskan secepatnya. Raffles mengumpulkan informasi tentang sarana terbaik untuk melakukan reformasi ini secepatnya. Apa yang dipesankan oleh Minto dianggap oleh Raffles sebagai instruksi yang sangat kabur, khususnya mengenai sistem baru apa yang akan diterapkan seperti yang dimaksudkan oleh Minto. Kebijakan Minto tentang persawahan pribumi juga tidak jelas. Orang Jawa harus diberikan hak atas tanah sebagai sarana sumber pendapatan, tetapi perinciannya tergantung pada penyelidikan atas tuntutan hak oleh berbagai kelompok. Raffles paham benar bahwa Minto adalah pribadi yang mendukung kuat sistem pendapatan agraria seperti di Benggala, India. Di Bengala, hak milik pribadi atas tanah dikenai pajak tanah oleh pemerintah hanya kepada sekelompok penguasa tanah yang dikenal dengan istilah zamindar, yang menjadi penengah di antara pemerintah dan rakyat (ryot). Pengalaman di India sepanjang pengetahuan Raffles sejak tahun 1794 menunjukan bahwa tidak mungkin menerapkan sistem zamindari secara mutlak di Jawa. Usulan Minto ini didasarkan atas laporan kondisi Jawa sebelum penaklukan ke pulau Jawa dilaksanakan. Untuk penerapannya di Jawa, Minto mengusulkan agar rakyat tetap hidup di bawah kelompok penguasa tanah (Wright 1952:220—221). Apa pun yang terjadi di Jawa ini, yang terpenting bagi Raffles ada dua, yakni: pertama, menjamin keuangan pemerintah; kedua, menunjukkan bahwa Jawa merupakan harta yang sangat berharga bagi Inggris.

Khusus dalam sistem penyewaan tanah ini, Muntinghe memberikan saran kepada Raffles berdasarkan laporannya tanggal 27 Mei 1812, bahwa penyelidikan awal terhadap sistem penyewaan tanah memang harus dilakukan. Meskipun monopoli atas komoditi kopi, rempah-rempah dan lainnya akan menghasilkan keuntungan yang besar bagi pemerintah dibandingkan dengan sistem tanaman bebas. Namun keuntungan dan kerugian dari sistem monopoli atau penanaman bebas, semuanya tergantung dari

(14)

pemotongan dan penghematan yang bisa dilakukan oleh setiap cabang administrasi negara. Pungutan serta keuntungan baru yang akan diperoleh dari sistem ini semuanya bisa dibandingkan dengan pendapatan umum yang selama ini riil diterima oleh pemerintah. Disampaikan pula oleh Muntinghe bahwa keberatan penerapan sistem perdagangan dari penanaman bebas yang berasal dari para bupati akan tetap menjadikan orang Jawa tertindas, miskin seperti kondisi yang ada pada saat itu. Oleh karena itu, saran Muntinghe adalah memberikan kepada orang Jawa tanah sebagai hak milik dan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menghadapi situasinya sendiri. Namun untuk penanaman kopi kondisinya berbeda, karena para bupati tidak dapat mengambil keuntungan dari para petani.

Setelah tanah diberikan kepada petani, harapan Muntinghe yang disampaikan kepada Raffles adalah agar pemerintah secepatnya memanfaatkan hak yang diberikan kepada rakyat, yakni dengan menarik semua pajak dan cukai yang saat itu dikuasai oleh para bupati. Pemerintah memiliki wewenang untuk mengubah, mengurangi atau menaikkan jumlah cukai sesuai kondisi keuangan negara. Pemerintah juga bisa menggantinya dengan sistem perpajakan umum, yang tidak begitu memberatkan rakyat. Pemerintah dapat menghitung kembali pada semua sistem contingenten yang saat itu berlaku dan menggantinya dalam pungutan lainnya dalam bentuk hasil bumi, yang saat ini dipungut dan diterima oleh bupati. Menurut Muntinghe, pajak hasil bumi pada periode pertama dapat melebihi apa yang sebelumnya dimonopoli. Namun, untuk jenis tanah persewaan, disarankan untuk tetap memungut hasilnya dalam bentuk tunai dn bukan dalam bentuk hasil bumi. Tetapi setelah penerapan hak milik pribadi, kemajuan dapat diperoleh dan melalui perdagangan bebas yang diterapkan, sirkulasi uang dan hasil bumi akan meningkat dengan pesat.

Ketika pajak tanah ini dijalankan, Raffles melaporkannya kepada Minto di Benggala pada tahun 1813 bahwa pembaharuan yang dilakukan di Jawa mengarah pada sistem ryotwari. Minto menduga bahwa Raffles menciptakan kepentingan agraria murni, dengan menjual beberapa petak tanah kepada orang-orang Eropa. Sementara kebijakan untuk para petani, Raffles memberikan kepada para pemilik tanah pribumi sewa jangka pendek, diikuti dengan sewa jangka panjang dan akhirnya baru penyerahan tanah kepada para petani. Minto juga mengingatkan kepada Raffles bahwa kebijakan yang diambil oleh

(15)

Raffles di Jawa dapat dicela, dicabut atau dibatalkan oleh para pejabat di Inggris. (Wright, 1952: 240).

Nasehat Muntinghe kepada Raffles dengan disampaikan pada bulan Juli 1813 di atas mulai diterapkan dengan memungut pajak tanah yang diterapkan bagi masing-masing individu dan bukan per desa. Atas saran Muntinghe pula, Raffles membentuk suatu korps pengukur tanah di Jawa di bawah Kolonel Mackenzie. Korps ini akan melaksanakan pengukuran tanah dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan berakhir di Jawa Timur. Ketika laporan akhir dikirimkan oleh korps ini pada bulan Mei 1813, Raffles bermaksud mengadakan kunjungan ke Ujung Timur untuk melihat penerapan pertama sistem pajak tanah di sana. Dalam kunjungan itu, Muntinghe diperintahkan agar mendampingi Raffles dan membuat laporan. Selanjutnya, Raffles memberi mandat kepada Muntinghe untuk menjadi Ketua Dewan Pemeriksa Laporan Pajak Tanah yang masuk. Jabatan ini diduduki oleh Muntinghe sampai serah terima kembali Jawa kepada Belanda bulan Agustus 1816.

5. Peran Muntinghe selama pemerintahan Komisaris Jenderal

Posisi Muntinghe sebagai ketua lembaga Pemeriksa Pelaksanaan Pajak Tanah memberinya kesempatan untuk menduduki jabatan sebagai pimpinan Dewan Keuangan setelah Jawa dikembalikan kepada Belanda. Lembaga ini merupakan kelanjutan dari lembaga penarik pajak tanah di bawah Inggris. Akan tetapi, Muntinghe hanya tiga bulan bertahan pada jabatannya, karena Komisaris Jenderal Belanda bersepakat untuk menunjuk dirinya sebagai utusan khusus ke Palembang pada bulan November 1816. Tugas utama Muntinghe adalah memberitahu Sultan Machmud Badaruddin bahwa kekuasaan telah diserahkan oleh Inggris kepada Belanda dan Sultan Palembang harus kembali mematuhi kontrak-kontrak yang telah dibuat pada tahun 1811 dengan pemerintah Belanda (Graaf 1918: 793-794).

Muntinghe, pada saat pengembalian wilayah Hindia Timur kepada Belanda di bawah Komisaris Jenderal, menuliskan laporan kepada Van der Capellen, pada tanggal 30 Maret 1820 bahwa “pembantaian tahun 1811 harus dianggap berasal dari hasutan dan

(16)

janji-janji pemerintah Inggris” (Coo1has 1951:115). Baud10 memberitahukan bahwa surat-surat yang diberikan sebagai lampiran pada tulisannya dikirim pada tahun 1816 oleh Sultan Mahmud Badaruddin dari Palembang tidaklah tepat Sangat tidak mungkin bila Sultan Machmud Badaruddin memiliki sahabat Belanda setelah peristiwa yang terjadi pada tahun 1811, dan Mayor Robison yang telah menjadi residen Inggris di Palembang pada tahun 1813 tampaknya sangat dekat dengan Sultan ini. Robison yang saat itu menjabat sebagai Residen Palembang, memulihkan tahta Badaruddin setelah Ahmad Nayamuddin turun tahta pada tanggal 29 Juni 1813, dan naik tahta Palembang lagi tanggal 13 Juli. Memang pemulihan ini ditunda oleh Raffles tetapi Robison tidak puas. Robison membacakan surat Raffles kepada Badaruddin, meyakinkan kesalahan moral atasannya itu dan mengeluhkannya kepada Lord Minto dan ketika tidak berhasil, Robinson mengirimkan laporan itu ke pemerintah pusat di London.

Ketika situasi di Palembang semakin memanas, Muntinghe ditarik oleh pemerintah Batavia dan digantikan oleh J. Van Sevenhoven. Muntinghe menerima penugasan baru sebagai utusan khusus pemerintah Belanda di Bangka dengan tugas mengambil alih pulau penghasil timah ini dari Residen Inggris Mayor Farquhar. Pertimbangan Komisaris Jenderal untuk menunjuk Muntinghe adalah hubungan dekatnya dengan Raffles, sementara Komisaris Jenderal mengetahui bahwa Raffles berada di belakang Farquhar untuk menghambat penyerahan kembali Bangka. Berkat pendekatan diplomatiknya, Muntinghe berhasil mencapai kesepakatan dengan Farquhar dengan ditegakkannya kembali kekuasaan Belanda di Bangka (Coolhas 1951: 117)

Setelah kembali dari penugasannya di Bangka pada awal tahun 1817, Muntinghe mengundurkan diri dari dinas pemerintahan. Pada tahun 1822 Muntinghe kembali ke Belanda dan aktif dalam urusan bisnis dengan ikut membentuk perusahaan dagang Nederlandsch Handelsmaatschappij. Ketika kembali ke Jawa pada tahun 1824, Muntinghe hidup sebagai seorang pengusaha agraria dengan tanah-tanah perkebunannya yang dibeli selama masih menduduki jabatan pemerintahan. Hingga wafatnya pada tahun 1827 di Pekalongan, Muntinghe tetap menjadi seorang pengusaha.

10

Jean Chrétien Baud adalah orang Prancis yang pergi ke Hindia Timur bersama Jan Willem Janssens, Gubernur Jenderal pengganti Herman Willem Daendels. Ia dikenal sangat dekat dengan Mayor Robinson. Jabatannya di Batavia adalah sebagai Asisten Pertama di kantor Penerjemah. Selain menerjemahkan, tugas lainnya adalah menyusun koleksi dan indeks dari berbagai pengumuman yang masuk ke pemerintah pusat di Batavia (F. de Haan: 1935).

(17)

6. Kesimpulan

Dalam perjalanan karirnya, Muntinghe adalah sosok orang Belanda yang tidak pernah menjadi tahanan atau mengalami dampak negatif dari pergantian kekuasaan yang terjadi dalam dua dekade awal abad XIX. Muntinghe selalu menduduki posisi penting pada saat terjadi perubahan pemerintahan dan mengalami promosi pada jabatan yang lebih tinggi ketika rezim baru berkuasa. Ada hal-hal yang perlu dicermati terhadap karir Muntinghe. Jabatan yang diduduki sejak awal tiba di Jawa sampai meletakkan jabatan sebagai pejabat tinggi pemerintah berada dalam lingkup penegakan hukum dan tertib administrasi. Muntinghe juga memiliki pengalaman yang sangat luas dalam bidang hukum baik ketika berkarya di Eropa maupun di Asia. Pengalaman ini bersama sosoknya yang bersih merupakan suatu syarat yang diperlukan oleh rezim-rezim baru yang memerintah Jawa selama akhir abad XVIII sampai awal abad XIX. Dengan kemampuan dan pengetahuannya yang cukup luas, Muntinghe mampu menyampaikan ide-idenya sebagai dasar kebijakan pemerintah yang membawa dampak perubahan besar pada kehidupan masyarakat Jawa. Berdasarkan profesionalismenya dan kemampuannya sebagai pejabat tinggi selama 3 periode (Belanda, Prancis dan Inggris) Muntinghe lebih deikenal sebagai seorang birokrat, karena ia bukanlah seorang pemimpin politik yang taat azas ikut andil dalam penyelenggaraan negara. Peran dan kemampuannya yang profesional menjadikan Muntinghe seorang birokrat sejati yang mampu membaca situasi dan menjadi bagian dari birokrasi baik yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda, Prancis, maupun Inggris.

(18)

DAFTAR PUSTAKA a. Arsip

Daendels, H.W. 1814. Staat der Nederlandsche Oostindische Bezittingen onder het bestuur van den Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels, in de Jaren 1808-1811. Beijlagen eerste deel dan tweede deel. ‘s Gravenhage.

Roo, JWG de. 1909. Documenten omtrent Herman Willem Daendels. Deel I en deel II. ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff.

b. Kamus dan Ensiklopedi

Graaf, S. de dan DG Stibbe. 1818. Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

c. Buku dan Majalah

Albrow, Martin. 1996. Birokrasi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana

Chijs, JA van der. 1895. Plakaatboek 1602-1811, jilid 14, Batavia: Landsdrukkerij.

Colenbrander. H.T. 1925. Koloniale Geschiedenis. Jilid II. Gravenhage : Martinus Nijhoff.

Coolhas. W. Ph. 1951. “Baud on Raffles” dalam JMBRAS, XXIV

Coupland, R. 1926. Raffles 1781-1826, London: Oxford University Press.

Daendels, H.W. 1814. Staat der Nederlandsche Oostindische Bezittingen onder het bestuur van den Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels, in de Jaren 1808-1811. ‘s Gravenhage

(19)

Deventer, S. Van, JSZ. 1865. Bijdragen tot de Kennis van het Landelijk Stelsel op Jawa, jilid I, ‘s Gravenhagae: Joh. Noman en Zoon.

Doel, HW van den. 1994. De Stille Macht: Het Europese binnenlands bestuur op Java en Madoera 1808-1942. Amsterdam: Uitgeverij Bert Bakker.

Eerde, JC Van. 1929. De persoonlijke verhouding tusschen raffles en Muntinghe dalam Indische Gids Jilid I.

Haan, F. De. 1901. “De historie van een oudgast” dalam TBG Jilid XLIII.

Haan, F. De. 1935. “Personalia der periode van het Engelsch bestuur over Java 1811-1816” dalam BKI Jilid 92.

Haan, J.C. de Haan en P.J. van Winter, 1940. Nederlanders over de Zeeen, Utrechts: Uitgeversmaatschappij.

Hageman, J. 1856. “Geschiedenis van het Hollandsch Gouvernement op Java. Dalam Tijdschrift van Bataviaasch Genootschap voor Indische Taal-, Land en Volkenkunde, jilid V,

Hageman, J. 1857. “De Engelschen op Java“ dalam Tijdschrift van Bataviaasch Genootschap voor Taal-, Land, en Volkenkunde, jilid VI.

Hageman, JCZ. 1855. Geschiedenis van het Bataafsche en Hollandsche Gouvernement op Java 1802—1810. Dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde, jilid IV.

Idema, HA. 1928. “Overzicht van de indische recht en staatkundige geschiedenis 1600-1854 dalam Kolonieel Studien. Jilid II.

Kaiser, F. 1857. De Britsche Heerschappij over Java en Onderhoorigheden (1811-1816), ‘s Gravenhage, Gebroeders Belinfante.

Lloyd, Christopher.1989. The Structure of History. Cambridge: Blackwell.

Louw, PJF. 1897. De Java-Oorlog van 1825-1830, tweede deel. Batavia : Landsdrukkerij

Mijer, P. 1839. Geschiedenis der Nederlandsche Oost Indie Bezittingen Onder de Franche Heerschappij, dalam TNI Jilid II tahun ke-2

(20)

Nn. 1844. “Overzigt Van de voornaamste gebeurtenissen in het Djocjocartasche-Rijk, seder deszelf stichting (1755) tot aan Het einde van het Engelsche tusschen-bestuur in 1815. dalam TNI. No. III.

Stapel, FW. 1940. Geschiedenis van Nederlandsch Indie, Amsterdam, NV. Uitgeversmaatschappij

Veth, PJ. 1878.”Java: Geografisch, Etnologisch, Historisch, Jilid II. Haarlem: De Erven F. Bohn.

Wright, HRC. 1952 “Muntinghe’s advice to Raffles on the land question in Java. Dalam BKI Jilid 108.

Referensi

Dokumen terkait

Keterampilan proses itu meliputi keterampilan mengamati dengan seluruh alat indera, keterampilan menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “RISK ASSESSMENT PADA UNIT PENGELOLAAN

Aspek-aspek yang dinilai dalam presentasi adalah sebagai berikut: kekompakan, sistematika penyajian, partisipasi anggota,pemerataan tugas anggota,spontanitas menjawab

Untuk mengetahui distribusi spesifik angka prevalensi gangguan fungsi paru pada pedagang sate di wilayah Denpasar berdasarkan faktor resiko lama kerja. Untuk

Dasar dari kepuasan relasi karyawan adalah keputusan yang diambil ketika mereka akan tetap tinggal pada perusahaan tersebut atau justru meninggalkan perusahaan dengan

Pengujian sistem dilakukan untuk menguji hubungan antara program aplikasi yang dibuat dengan elemen yang lain dalam sistem informasi. Adapun tujuan dari pengujian sistem

Nama : Miftahul Fazri No.. Saudara Fazri mengatakan tentang strategi penghimpunan dana produk tabungan iB Hasanah pada Bank BNI syariah kantor cabang