• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demam Tifoid 2013.fh9

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Demam Tifoid 2013.fh9"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEMATIKA PEDOMAN

PENGENDALIAN PENYAKIT

DEMAM TIFOID

Sub Direktorat Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan

Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

(2)

SISTEMATIKA PEDOMAN

PENGENDALIAN PENYAKIT

DEMAM TIFOID

KEMENTERIAN KESEHATAN R.I.

DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN

PENYEHATAN LINGKUNGAN

(3)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... ... i BAB I PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG ... 1 B. TUJUAN ... 2 C. SASARAN ... 3 D. PENGERTIAN ... 3

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN DEMAM TIFOID ... 4

2.1 Kebijakan ... 4

2.2 Strategi... 5

2.3 Kegiatan ... 5

1. Advokasi, Sosialisasi, Pemberdayaan dan Mobilisasi... 5

2. Surveilans Epidemiologi ... 8

3. Penguatan Manajeman Sumber Daya Manusia (SDM) ... 12

4. Upaya Pencegahan ... 13

5. Upaya Promosi ... 19

BAB III PATOGENESIS DAN DIAGNOSIS DEMAM TIFOID 20 3.1. DEFINISI DEMAM TIFOID... 20

1. Suspek Demam Tifoid (Suspected Typhoid Fever)... 20

2. Demam Tifoid (Probable Typhoid Fever)... 21

3. Demam Tifoid Konfirmasi (Confirmed Typhoid Fever)... 21

3.2 Aspek Klinis Demam Tifoid ... 21

3.3. Patogenesis ... 22

3.4 Gambaran Klinis... 23

Pemeriksaan Laboratorium Demam Tifoid... 26

Tatalaksana Klinis ... 30

Perawatan ... 42

BAB IV PERAN DAN TANGGUNG JAWAB ... 50

A. PUSAT ... 50

(4)

C. PROVINSI ... 50

D. KABUPATEN/KOTA ... 50

E. PUSKESMAS ... 51

BAB V PENGELOLAAN LOGISTIK... 52

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM TIFOID ... 52

A. PEMANTAUAN ... 52

B. EVALUASI... 56

C. INDIKATOR P2 TIFOID... 56

BAB VII PENCATATAN DAN PELAPORAN ... 57

BAB VII PENUTUP ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(5)

BAB I

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Demam tifoid ditemukan di masyarakat Indonesia, yang tinggal di kota maupun desa. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas perilaku hidup bersih dan sehat, sanitasi dan lingkungan yang kurang baik. Selain masalah diatas ada beberapa masalah lain yang akan turut menambah besaran masalah penyakit demam tifoid di Indonesia diantaranya adalah angka kemiskinan di kota dan desa Indonesia yang mencapai 11,66 % (Susenas 2012) yaitu sekitar 28.594.060 orang. Pada orang yang miskin bila sakit tidak berobat ke sarana kesehatan medis hal ini dikarenakan masalah biaya, sehingga bila mereka menjadi penjamah makanan maka mereka akan menjadi sumber penularan penyakit kepada masyarakat yang menjadi pembeli jajanan tersebut.Risiko penularan melalui penjual makanan di jalanan yang kebersihannya buruk memperbanyak jumlah kasus demam tifoid.

Di Indonesia penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan angka prevalensi tifoid yang di diagnosa oleh tenaga kesehatan adalah 0,79 %. Angka kesakitan demam tifoid di Indonesia yang tercatat di buletin WHO 2008 sebesar 81,7 per 100.000. dibagi menurut golongan umur : 0-1 thn ( 0,0 / 100 .000), 2-4 thn (148,7/100.000), 5-15 thn (180,3 /100.000).

≥ 16 thn 51,2/100.000/tahun. Angka ini menunjukkan bahwa

penderita terbanyak pada usia 2-15 tahun. Sebesar 20-40 % kasus demam Tifoid harus menjalani perawatan di Rumah sakit. Biaya yang dikeluarkan negara karena sakit Tifoid diperkirakan mencapai 60 juta dolar Amerika pertahun. Penderita demam tifoid mempunyai potensi untuk menjadi carrier atau pembawa menahun setelah penyakitnya di sembuhkan. Era sebelum antibiotika digunakan diperkirakan sedikitnya 5% penderita demam tifoid menjadi pembawa menahun. Studi dewasa ini menemukan angka tersebut hanya menurun sedikit, angka terakhir (2005) di India menurun menjadi sekitar 3%. Pada saat terjadi bencana alam,

(7)

yang menyebabkan terjadinya pengungsian penduduk harus diwaspadai terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit demam tifoid karena masalah kebersihan diri, sanitasi dan kebersihan lingkungan.

Buku Pedoman Pengendalian Demam Tifoid ini direvisi untuk disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sesuai hasil penelitian dan data terbaru, serta kebutuhan program. Selama ini terjadi over diagnosis demam tifoid yang berdampak tingginya penggunaan antibiotika yang tidak tepat, hal ini memicu resistensi bakteri.

Interpretasi hasil pemeriksaan penunjang demam tifoid tidak mudah. Permasalahannya sebagai negara endemis kita masih memiliki angka morbiditas dan mortalitas tinggi. Penemuan kasus belum optimal karena adanya kendala pada penunjang diagnosis, adanya variasi gejala klinis, pemeriksaan penunjang standar baku yang sulit dilaksanakan sampai ke lini terdepan, pelayanan medis dan biaya pengadaan penunjang medis yang sangat minim.

Salah satu faktor yang memberatkan penyakit demam tifoid apabila terjadi komplikasi seperti perforasi, yang mungkin disebabkan resistensi antibiotika (0,8 %). Berdasarkan alasan di atas, maka penyakit demam tifoid harus mendapat perhatian yang serius, dan terpadu dalam pengendaliannya di masyarakat.

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Sebagai acuan bagi petugas kesehatan pada semua lini pelayanan untuk menurunkan kesakitan dan kematian. 2. Tujuan Khusus

a. Tersedianya panduan bagi penentu kebijakan dalam

pelaksanaan dan pengembangan program pengendalian demam tifoid di Indonesia.

b. Tersedianya panduan untuk meningkatkan pengetahuan

petugas dalam tatalaksana standar di semua jenjang pelayanan.

(8)

c. Tersedianya panduan pelaksanaan surveilans epidemiologi dan upaya pengendaliannya.

d. Tersedianya panduan dalam kegiatan monitoring dan

evaluasi

e. Tersedianya panduan dalam kegiatan perencanaan logistik

program

f. Tersusunnya panduan untuk pengendalian faktor risiko

demam tifoid

g. Tersusunnya langkah-langkah kemitraan dalam

pencegahan dan pengendalian demam tifoid dengan melibatkan masyarakat, penentu kebijakan dan petugas kesehatan.

C. SASARAN

Sasaran buku Pedoman adalah penentu kebijakan, dan petugas kesehatan pada semua jenjang pelayanan sesuai peran dan fungsinya.

D. PENGERTIAN

Demam Tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi.

(9)

BAB II

KEBIJAKAN DAN STRATEGI

PENGENDALIAN DEMAM

(10)

BAB II

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN

DEMAM TIFOID

2.1 Kebijakan

Kebijakan Pengendalian demam tifoid adalah sebagai berikut :

1. Pengendalian demam tifoid berdasarkan pada partisipasi

dan pemberdayaan masyarakat serta disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing masing daerah ( local area

specific)

2. Pengendalian demam tifoid dilaksanakan melalui

pengembangan kemitraan dan jejaring kerja secara multi disiplin, lintas program dan lintas sector.

3. Pengendalian demam tifoid dilaksanakan secara terpadu

untuk pencegahan primer (termasuk didalamnya imunisasi), sekunder dan tertier.

4. Pengendalian demam tifoid dikelola secara profesional,

berkualitas, merata dan terjangkau oleh masyarakat melalui penguatan seluruh sumber daya.

5. Penguatan Sistem Surveilans demam tifoid sebagai bahan

informasi bagi pengambil kebijakan dan pelaksanaan program

6. Pelaksanaan kegiatan pengendalian demam tifoid harus

dilaksanakan secara efektif dan efisien melalui pengawasan yang terus ditingkatkan intensitas dan kualitasnya dengan pemantapan sistem , prosedur, bimbingan dan evaluasi. Kebijakan Program Tifoid sebagai berikut :

1. Pengendalian Tifoid berdasarkan pada kemampuan daerah

dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat.

2. Pengendalian Tifoid dengan mengembangkan kemitraan,

jejaring kerja, lintas program dan lintas sektor.

3. Pengendalian Tifoid dengan preventif, promotif dan

kuratif.

4. Penguatan sistem surveilans tifoid berguna untuk

mengetahui besaran masalah sehingga dapat ditentukan arah pengendalian

5. Pelaksanaan kendali manajemen perlu dilakukan untuk

(11)

2.2 Strategi

Strategi dalam pengendalian demam tifoid sebagai berikut :

1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk

berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sehingga terhindar dari penyakit demam tifoid.

2. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan

peran serta masyarakat untuk penyebarluasan informasi tentang pengendalian Demam Tifoid.

3. Peran serta LSM,Media cetak dan Media elektronik , program penyehatan lingkungan, program kesehatan ibu dan anak, usaha kesehatan sekolah, dan lintas program lainnya untuk melakukan penyuluhan dan pelatihan cara hidup bersih dan sehat serta dibutuhkan peran swasta untuk pengendalian demam tifoid.

4. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang imunisasi demam tifoid secara mandiri dan menatalaksana tifoid secara benar dan tuntas agar tidak menjadi carrier.

5. Meningkatkan dan mengembangkan sistem surveilans demam tifoid di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan. 6. Pembagian tugas pusat, provinsi, kabupaten dan dokter koordinator dalam melakukan kendali manajemen demam tifoid.

2.3 Kegiatan

1. Advokasi, Sosialisasi, Pemberdayaan dan Mobilisasi Ada 4 teknik yang digunakan untuk mendapatkan dukungan dari penentu kebijakan dan sasaran termasuk masyarakat yaitu: Advokasi, Sosialisasi, Pemberdayaan, dan Mobilisasi.

a. Advokasi

Advokasi adalah suatu upaya melalui proses yang bijak menggunakan informasi yang akurat dan tepat yang bertujuan untuk merubah atau memperbaiki kebijakan publik terkait dengan program yang akan dikembangkan atau ditingkatkan pencapaiannya.

(12)

Oleh karena itu, advokasi dalam rangka pengendalian tifoid merupakan upaya yang dilakukan melalui proses strategis dan terencana yang menggunakan informasi yang akurat dan teknik yang tepat dengan tujuan untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari penentu kebijakan, pengambil keputusan, pemangku kepentingan, pemilik dana untuk memperbaiki atau merubah kebijakan publik dalam pengendalian tifoid.

Tujuan Advokasi Pengendalian Tifoid adalah memberikan pemahaman kepada para pengambil keputusan dan penentu kebijakan, agar mereka memahami masalah yang dihadapi terkait pengendalian tifoid sedemikian rupa sehingga mereka tertarik dan mau untuk mengatasinya dengan memilih salah satu atau beberapa tindakan dari beberapa alternatif yang mungkin dilakukan melalui suatu tindak lanjut yang ditunjang oleh adanya dukungan kebijakan, komitmen pelaksanaan, penyediaan sumberdaya (manusia, sarana dan dana) yang dibutuhkan untuk pengendalian tifoid. Dukungan kebijakan merupakan dukungan nyata yang diberikan oleh pembuat keputusan terhadap pengendalian tifoid misalnya tersedianya anggaran pada APBN, APBD, dan pembiayaan dari sumber yang tidak mengikat.

Pentingnya advokasi tentang pengendalian demam tifoid berkaitan dengan beberapa hal berikut ini:

a. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang

masih menjadi masalah kesehatan masyarakat tetapi penyakit tersebut masih terabaikan dalam penatalaksanaannya.

b. Penyakit ini dapat menurunkan produktifitas kerja,

meningkatkan angka ketidak hadiran anak sekolah, karena masa penyembuhan dan pemulihannya yang cukup lama.

c. Penyakit ini dapat sembuh sempurna tetapi jika tidak

ditatalaksana dengan baik maka akan menyebabkan seseorang menjadi carier dan sebagai agen penularan terhadap masyarakat lain serta dapat menimbulkan k o m p l i k a s i y a n g m e n y e b a b k a n k e m a t i a n

(13)

Proses advokasi: Haruslah menggunakan pendekatan yang cerdas (smart) dan tepat membahas masalah yang sesuai dan disampaikan dengan cara yang baik dan benar didukung oleh data-data yang akurat sesuai dengan kondisi nyata yang dihadapi.

b. Sosialisasi

Sosialisasi biasanya diarahkan kepada pemangku kepentingan, tenaga kesehatan, organisasi/tokoh masyarakat yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar tentang masalah yang berkaitan dengan pengendalian tifoid, sehingga terpacu untuk mengambil tindakan sesuai tugas pokok dan fungsinya, dan terlibat secara aktif dalam mengatasi masalah secara keseluruhan.

Sosialisasi kepada tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dapat dilakukan melalui kegiatan lokakarya mini Puskesmas

c. Pemberdayaan

Pemberdayaan dilakukan terhadap organisasi dan tokoh masyarakat dengan maksud agar mereka mampu memahami masalah pengendalian tifoid, sekaligus mampu memberdayakan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat menjaga kondisi sanitasi dan lingkungan yang selalu bersih dan pada akhirnya masyarakat mampu mengatasi masalahnya secara mandiri.

d. Mobilisasi

Mobilisasi merupakan upaya yang melibatkan seluruh elemen masyarakat secara besar-besaran agar memahami masalah yang dihadapi dan di fasilitas untuk mau bertindak secara bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dilakukan secara menyeluruh dalam bentuk gerakan masyarakat dalam pengendalian tifoid.

Metode yang digunakan bisa beragam tergantung situasi dan kondisi, bisa dalam bentuk: seminar, lobi, dialog, negosiasi, debat, petisi/resolusi dan mobilisasi.

(14)

2. Surveilans Epidemiologi a. Pengertian :

Surveilans epidemiologi adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu definisi surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data. Sistem Surveilans Epidemiologi adalah tatanan prosedur penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintegrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans epidemiologi antar wilayah Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat. (Kepmenkes R I N O M O R 1 1 1 6 / M E N K E S / S K / V I I I / 2 0 0 3 ) . Data kegiatan surveilans tifoid dapat memberikan informasi adanya distribusi orang, tempat dan waktu. Distribusi orang antara lain meliputi jenis kelamin, kelompok umur dan pekerjaan yang mempunyai risiko demam tifoid, distribusi tempat antara lain meliputi RT, RW, Desa/Kelurahan, Kecamatan dan lainnya, dan distribusi waktu antara lain meliputi jam, hari, minggu, bulan, tahun dan lainnya.

Dengan mengetahui gambaran permasalahan tifoid di masyarakat, maka para pengambil keputusan di bidang kesehatan dapat menetapkan cara penanganan yang tepat berdasarkan hasil analisa dan telaah yang tepat. Data-data surveilans juga dapat digunakan sebagai alat pengukur mutu pelayanan kesehatan.

(15)

Dalam sistem surveilans dikembangkan definisi kasus yang sama diterapkan diseluruh jajaran pelayanan, di mana setiap penyakit dapat dijumpai. Pengumpulan data surveilans dilaksanakan dengan menggunakan protokol standar yang disebut komponen surveilans, yang tergantung dari cara atau sistem surveilans yang dipakai. b. Jejaring Sistem Surveilans (Kepmenkes no 1116, 2003) Penyelenggara jejaring kerja surveilans epidemiologi kesehatan adalah unit penyelenggara surveilans epidemiologi kesehatan baik di unit-unit utama Pusat dan UPT ( Unit Pelaksana Tehnis) Pusat, pusat-pusat penelitian dan pengembangan, pusat-pusat data dan informasi, Dinas Kesehatan Provinsi dan UPT Dinas K e s e h a t a n P r o v i n s i , s e r t a D i n a s K e s e h a t a n K a b u p a t e n / K o t a d a n U P T D i n a s K e s e h a t a n Kabupaten/Kota, pada kondisi normal maupun KLB atau wabah.

Sebagai bentuk kemitraan, penyelenggaraan jejaring ini juga melibatkan unsur lintas sektor seperti kementerian yang terkait dengan bidang kesehatan, perguruan tinggi, badan internasional, regional dan bilateral, organisasi profesi, masyarakat termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat atau media dan sebagainya.

Setiap simpul jejaring surveilans melaksanakan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan sesuai dengan peraturan perundangan dan p e d o m a n t e k n i s m a s i n g - m a s i n g . D a l a m h a l penyelenggaraan jejaring kerja tersebut, tiap simpul jejaring dapat memberikan dan /atau menerima data dan informasi yang diperlukan dari simpul lain melalui mekanisme yang telah diatur.

Jejaring Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan cek dipermenkes

(16)

Jejaring Surveilans Epidemiologi Unit Kerja DinkesKab/Kota. Jejaring Surveilans Epidemiologi Unit Kerja Dinkes Provinsi.

UPT DinkesKab/Kota. Swasta UPT Dinkes Provinsi.

Jejaring Surveilans Epidemiologi Unit Utama Kemenkes

Swasta Swasta UPT Kemenkes PT BPS BMG LSM Profesi Badan Internasional Regional dan Bilateral badan POM

dsb. Mitra

cek dipermenkes

Jejaring Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan

c. Tujuan Surveilans Tifypoid

Adapun tujuan surveilans tifoid tersebut diantaranya adalah :

1. Mengetahui besaran masalah tifoid di Indonesia

2. Mendapatkan Data Dasar Endemi

Pada dasarnya data surveilans demam tifoid digunakan untuk mengkuantifikasikan rate dasar dari demam tifoid yang endemis.

Penentuan endemisitas tifoid sebagai berikut:

• Endemisitas rendah kurang dari 1/100.000

• Endemisitas inter mediate 1/100.000

-100/100.000

• Endemisitas High > 100/100.000

(17)

dapat diketahui seberapa besar risiko yang dihadapi oleh setiap penduduk. Pada saat ini demam tifoid adalah endemik, dan ini diluar dari KLB yang telah dikenal. Oleh karena itu kegiatan demam tifoid harus dimaksudkan untuk menurunkan angka laju endemik tersebut.

3. Mengindentifikasi KLB

Bila angka endemik telah diketahui, maka dapat segera mengenali bila terjadi suatu penyimpangan dari angka dasar tersebut, yang kadang mencerminkan suatu kejadian luar biasa (ìout breakî).

4. Mengevaluasi Sistem Pengendalian

Setelah permasalahan teridentifikasi , upaya pencegahan dan pengendalian telah dijalankan, surveilans harus tetap dilaksanakan secara berkesinambungan agar permasalahan yang ada benar-benar telah terkendali.

5. Mengevaluasi Ketajaman Diagnostik Secara Klnis

Pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan sarana dengan sarana yang sangat terbatas, umumnya diagnosis hanya berdasarkan pada gejala dan tanda-tanda klinis yang ditemui pada pasien. Banyak penyakit infeksi yang memberikan gejala dan tanda-tanda mirip dengan demam tifoid atau dengan adanya perubahan mikrobiologis sehingga menimbulkan perubahan tanda dan gejala klinis yang selama ini dikenal maka perlu dilakukan evalusi terus menerus dengan membandingkan data diagnosis klinis dengan data yang dikonfirmasi dengan biakan mikrobiologis. Namun berhubung sensitifitas biakan mikrobiologis yang berasal dari sediaan darah juga tidak terlalu tinggi maka interpretasi dapat dilakukan dengan membandingkan trend.

(18)

d. Metode Surveilans

Penemuan Kasus demam tifoid secara pasif di fasilitas pelayanan kesehatan dari tingkat puskesmas sampai tingkat rumah sakit propinsi. Pada surveilans secara pasif, pasien yang memenuhi kriteria definisi tifoid seperti tersebut di atas dicatat sesuai dengan definisi yang dipakai (suspek untuk pasien yang hanya mendapat diagnosis secara klinis, probable untuk yang memenuhi kasus klinis dengan titer Widal 1/320, sedang pasti atau konfirm untuk kasus yang memberikan hasil biakan mikrobiologis yang positif). Pada sarana pelayanan tingkat dasar maka sebagian besar kasus yang tercatat adalah kasus suspek, untuk sarana pelayanan tingkat dua dimana pemeriksaan serologi dimungkinkan maka kemungkinan dapat tercatat kasus probable, sedang di rumah sakit besar dengan sarana laboratorium mikrobiologi dapat mengumpulkan data kasus yang pasti, atau konfirm.

e. Sasaran Surveilans

Menurut sasarannya maka surveilans demam tifoid dapat dibedakan menjadi beberapa macam :

• Sarana pelayanan kesehatan dasar yaitu: Puskesmas

• Sarana pelayanan kesehatan tingkat II seperti rumah

sakit Kabupaten.

• Sarana pelayanan kesehatan tingkat lanjut seperti

rumah sakit di propinsi yang memiliki sarana laboratorium mikrobiologi.

3. Penguatan Manajeman Sumber Daya Manusia (SDM) Penguatan manajemen dan infrastruktur sangat diperlukan dalam pengendalian demam tifoid. Penguatan manajemen dilakukan antara lain penguatan sumber daya manusia serta penyediaan sarana dan prasarana termasuk pengelolaan logistik.

Sumber Daya Manusia (SDM) sangat diperlukan dalam pengembangan program pengendalian penyakit demam tifoid.

(19)

Kebijakan desentralisasi kesehatan juga meningkatkan kompleksitas pengembangan SDM, diantaranya tingginya rotasi dan tidak meratanya distribusi SDM. Dengan demikian dibutuhkan upaya pemerataan penempatan SDM, dan peningkatan mutu SDM melalui pelatihan.

Tujuan yang ingin dicapai adalah:

a. Ketersediaan SDM Kesehatan secara kuantitas dan

kualitas

b. Tersedianya sistem penunjang yang memotivasi SDM

kesehatan menggunakan kompetensi mereka untuk menyelenggarakan pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam pengendalian demam tifoid

c. Terselenggaranya pelatihan dan on the job training

(kalakarya) berkesinambungan.

d. Penguatan program pendidikan dokter, perawat,

laboratorium dan tenaga kesehatan lain yang terlibat dalam pengendalian demam tifoid.

e. Monitoring dan supervisi kinerja SDM kesehatan dalam

pengendalian demam tifoid. 4. Upaya Pencegahan

a. Peningkatan Higiene dan Sanitasi

1) Sanitasi Lingkungan

Salah satu upaya pencegahan penularan demam tifoid adalah perbaikan sanitasi lingkungan. Dengan melibatkan lintas program dan lintas sektor, mitra terkait serta peran serta aktif seluruh lapisan masyarakat melalui :

• Akses terhadap jamban keluarga yang memenuhi

syarat-syarat kesehatan, yaitu tidak mencemari lingkungan, memutus kontak dengan vector dan tidak menyebarkan bau.

• Perilaku cuci tangan pakai sabun dan air mengalir

dengan benar.

• Pengelolaan makanan dan minuman serta

penyimpanan dengan benar.

• Pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah

(20)

• Penyediaan air bersih untuk seluruh warga.

• Kontrol dan pengawasan terhadap sanitasi

lingkungan, terlaksana dengan baik dan berkesinambungan.

• Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat

serta selalu menjaga kondisi sanitasi dan lingkungan bersih.

2) Higiene dan Sanitasi Makanan

Transmisi utama basil Salmonella melalui air minum dan makanan. Higiene makanan dan minuman yang terjamin merupakan faktor yang utama dalam pencegahan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain menerapkan prinsip hygiene dan sanitasi makanan dengan pengendalian titik kritis pada pengelolaan makanan, mulai dari pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan matang, pengangkutan makanan matang, dan penyajian makanan.

Titik-titik kritis yang mungkin terjadi pada setiap langkah pengelolaan makanan harus dapat dikendalikan untuk menjamin makanan matang yang disajikan memenuhi persayaratan hygiene dan sanitasi, sebagai berikut :

a) Memilih bahan makanan yang baik, bermutu,

dan berkualitas sesuai dengan jenis bahan makanan.

b) Menyimpan bahan makanan pada tempat, suhu

dan waktu yang tepat serta menerapkan sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out).

c) Mengolah bahan makanan dengan tepat sesuai

urutan dan sampai masak sempur na. d) M e n y i m p a n m a k a n a n m a t a n g p a d a wadah/tempat dan suhu yang tepat. Makanan matang yang harus disimpan dalam keadaan dingin, beku maupun dalam keadaan hangat/panas.

(21)

e) Apabila makanan matang sebelum disajikan perlu dilakukan pengangkutan maka diangkut dengan menggunakan wadah dan alat yang tepat, tertutup, terlindung, dan aman dari pencemaran.

f) Menyajikan makanan pada waktu yang tepat

dengan memperhatikan tempat penyajian, pewadahan, suhu dan waktu tunggu (lamanya waktu mulai dari makanan matang sampai dengan makanan dikonsumsi).

Perlu diingat 5 (lima) kunci keamanan makanan (WHO) :

a) G u n a k a n b a h a n m a k a n a n y a n g b a i k

b) Gunakan air bersih

c) Masak bahan makanan dengan sempurna

d) Pisahkan makanan matang dengan makanan

mentah

e) Simpan makanan matang pada suhu yang tepat.

Peningkatan pengawasan dan pembinaan tempat-tempat pengelolaan makanan, yaitu jasa boga/catering, rumah makan, restauran, kantin, depot, warung makan, makanan jajanan siap saji dan depot air minum, mulai dari tempat bangunan, peralatan, penjamah makanan serta bahan dari makanannya.

3) Higiene perorangan

Higiene perorangan merupakan salah satu faktor pencegahan dan perlindungan diri terhadap penularan demam tifoid. Oleh karena itu perilaku hidup bersih dan sehat harus benar-benar dilaksanakan oleh setiap orang. Cuci tangan pakai air mengalir dan sabun harus dilakukan sesering mungkin, khususnya sebelum memegang makanan, setelah BAB, setelah keluar dari toilet, setelah melakukan kegiatan, setelah memegang binatang peliharaan, setelah mengganti popok bayi, dan sebagainya.

Syarat utama bagi penjamah makanan adalah sehat jasmani dan rohani, tidak menderita penyakit menular

(22)

serta berperilaku hidup bersih dan sehat. Pemeriksaan kesehatan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun dalam rangka pencegahan dan perlindungan terhadap penularan demam tifoid dan penyakit menular lainnya.

b. Pencegahan dengan Imunisasi

Membuat tubuh kebal (imunisasi) merupakan pilar perlindungan diri dari penularan tifoid. Sampai saat ini vaksin tifoid baru diprioritaskan untuk pelancong, tenaga laboratorium mikrobiologis dan tenaga pemasak/penyaji makanan di restoran-restoran. Namun mengingat demam tifoid dengan angka kesakitan cukup tinggi maka vaksinasi terhadap tifoid sudah harus dipertimbangkan pemberiannya sejak anak-anak setelah mengenal jajanan yang tidak terjamin kebersihannya.

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid yakni :

∞ Vaksin dengan Salmonella yang telah dimatikan (Tab

Vaccine). Diberikan secara subkutan. Menurut evaluasi yang telah dilaksanakan, daya perlindungan vaksin ini terbatas dan adanya efek samping pada tempat suntikan.

∞ Vaksin dengan Salmonella yang dilemahkan (T4

-212). Diberikan peroral, selang sehari 3 kali dosis. Daya lindung kurang lebih 6 tahun (pada anak).

∞ Vaksin berisi komponen Vi basil Salmonella. Diberikan

secara suntikan intra muskular dengan daya lindung 3 tahun dan efikasi diperkirakan 60 - 70 %. Umur minimal untuk pemberian 2 tahun dan booster dilakukan setiap 3 tahun.

c. Pencegahan Karier

Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan pengobatan yang baik berarti melaksanakan pencegahan yang baik pula. Bila pengobatan tifoid terlaksana dengan sempurna, maka dapat mencegah karier yang merupakan sumber penularan di masyarakat.

(23)

Masalah rumit yang sering timbul sehubungan penanganan kasus tifoid yang tidak optimal adalah Karier

(Carrier), Relaps dan Resistensi.

• Karier tifoid adalah seseorang yang mengandung

basil Salmonella dan menjadi sumber infeksi (penular) untuk orang lain. Karier terjadi pada penderita yang tidak diobati dengan adekuat, atau ada faktor-faktor predisposisi pada penderita sehingga basil susah dimusnahkan dari tubuh. Seseorang disebut karier bila basil kultur feses atau urin masih positif sampai 3 bulan setelah sakit, dan disebut karier kronik bila basil masih ada sampai 1 tahun atau lebih. Bagi penderita yang tidak diobati dengan adekuat, insidens karier dilaporkan 5-10 % dan kurang lebih 3% menjadi karier kronik.

• Relaps adalah kambuh kembali gejala-gejala klinis

demam tifoid setelah 2 minggu masa penyembuhan. Relaps terjadi sehubungan dengan pengobatan yang tidak adekuat, baik dosis atau lama pemberian antibiotika. Relaps dapat timbul dengan gejala klinis lebih ringan atau lebih berat.

• Resistensi adalah basil yang tidak peka lagi dengan

antimikroba yang lazim dipakai. Resisten timbul karena adanya perubahan atau mutasi genetika kuman, tanpa perubahan patogenitas dan virulensinya. Tifoid resisten terhadap kloramfenikol sering diambil sebagai standar penelitian karena obat ini adalah obat yang menjadi pilihan utama untuk tifoid (drug of choice). Dalam perkembangannya, sejak tahun 50’an telah dilaporkan tifoid resisten di Mexico, Vietnam dan India dan hingga saat ini, tifoid resisten dengan kloramfenikol makin meningkat, bahkan pernah ada laporan peningkatan resisten dari 16% s/d 81% dalam 1 tahun dalam satu lokasi. Resisten makin berkembang pada anti mikroba lain seperti Ampisillin, Kotrimoksazol dan Quinolone (Multi drug

(24)

Beberapa faktor yang menunjang kejadian resisten:

o Pemakaian antibiotika yang bebas oleh

masyarakat (tanpa resep)

o Pemakaian antibiotika oleh dokter tanpa pedoman

dan tanpa kontrol

o Pilihan antibiotika lini pertama yang kurang

tepat

o Dosis yang tidak tepat

o L a m a p e m b e r i a n y a n g k u r a n g t e p a t

o Ada penyakit lain (komorbid) yang menurunkan

imunitas, serta kelainan-kelainan yang merupakan predisposisi untuk karier tifoid, dll. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat direkomendasikan beberapa langkah-langkah strategis yang bermanfaat untuk mengatasi ketiga per masalahan tifoid ini, diantaranya :

o Terlaksananya monitoring dan kontrol yang ketat

terhadap pemakaian antibiotika yang bebas (tanpa resep) oleh masyarakat.

o Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang

merawat pasien, memiliki standar medis penatalaksanaan tifoid (Pedoman Tatalaksana Klinis) dan konsisten mengimplementasikannya. o Setiap fasilitas pelayanan kesehatan memiliki aturan-aturan pemakaian antibiotika yang terpola dengan baik,yang memiliki kepekaan yang dibuat secara berkala (antibiogram) serta menetapkan antibiotika yang dipergunakan sebagai terapi empiris lini pertama dan kedua, baik untuk dewasa maupun anak.

o Terhadap setiap kasus tifoid, agar dilakukan :

• Perawatan yang adekuat

• Penggunaan antibiotika dengan efikasi dan

daya pencegahan karier yang baik

• Dosis dan lama pemberian yang tepat

• Pengawasan kemungkinan terjadinya karier

dengan biakan feses secara serial. Sekurang-kurangnya pada saat pulang, 4 minggu dan 3 bulan kemudian dilaksanakan biakan lanjutan untuk mendeteksi karier.

(25)

5. Upaya Promosi

Penyakit tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat tetapi sebagian besar masyarakat masih belum mengetahui tentang penyakit tersebut seperti gejala, cara pencegahan, dan penanggulangan yang benar, sehingga masih diperlukan upaya promosi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ini.

Upaya peningkatan promosi kesehatan dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling, kampanye dan penyebaran informasi dengan menggunakan berbagai media KIE baik berupa media cetak maupun media elektronik. Untuk mempercepat penyebarluasan informasi tersebut dapat juga dilakukan kerja sama dengan media massa seperti majalah, koran, televisi, radio, website dan jejaring sosial lainnya yang mengeluarkan informasi mengenai pencegahan dan pengendalian demam tifoid.

Penyuluhan dapat dilakukan di Puskesmas dan di masyarakat melalui Posyandu, UKS, Rapat PKK, Karang taruna dan sebagainya serta melalui media Komunikasi baik cetak maupun elektronik

(26)

BAB III

PATOGENESIS DAN

(27)

BAB III

PATOGENESIS DAN DIAGNOSIS DEMAM TIFOID

3.1. DEFINISI DEMAM TIFOID

Demam Tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman

Salmonella Typhi, Salmonella Paratyphi A , Salmonella Paratyphi B (Schotmulleri), Salmonella Paratyphi C (Hishfeldii), disebut pula

sebagai demam enterik dan tifus abdominalis. Merupakan penyakit yang dapat bermanifestasi klinis berat karena komplikasinya dan mampu menyebabkan karier. Manusia merupakan satu-satunya pejamu bagi organisme ini. Diberi nama demam tifoid karena tanda dan gejalanya mirip tifus yang disebabkan Rickettsia. Di masyarakat dapat ditemukan adanya kerancuan penggunaan istilah demam tifoid dengan tifus, walaupun telah dijelaskan dalam buku William Jenner tahun 1850 mengenai “On The Identity or Non-Identity of Typhoid and Typhus Fever”. Infeksi akibat spesies Salmonella (non tifoid) ditemukan di berbagai belahan dunia, memiliki sindrom klinis yang luas mulai dari asimtomatik, gastroenteritis yang dapat sembuh sendiri sampai dengan berat. Memiliki pejamu yang umumnya pada hewan.

Di masyarakat dikenal istilah seperti “verdaag typhus”, gejala tifus, atau tifus sehingga menyebabkan diagnosis demam tifoid sangat sering ditegakkan oleh petugas kesehatan (overdiagnosis). Penegakkan diagnosis pasti demam tifoid memerlukan pemeriksaan kultur, namun hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan karena keterbatasan sarana. Untuk menyamakan persepsi diagnosis demam tifoid dibuat pengelompokkan definisi kasus sebagai berikut:

1. Suspek Demam Tifoid (Suspected Typhoid Fever) Hanya boleh digunakan apabila tidak ada sarana penunjang (laboratorium) atau terjadi kejadian luar biasa di wilayah kesehatan tersebut. Termasuk dalam suspek demam tifoid apabila seorang pasien dengan gejala demam yang meningkat secara bertahap terutama sore dan malam hari, kemudian menetap tinggi selama 5 hari atau lebih, disertai nyeri kepala hebat, nausea (mual), hilang nafsu makan, gejala gastrointestinal berupa obstipasi atau diare. Dalam bentuk berat dapat menimbulkan berbagai komplikasi.

(28)

2. Demam Tifoid (Probable Typhoid Fever)

Termasuk demam tifoid atau sangat mungkin kasus tifoid ditemukan gejala di atas dengan didukung oleh pemeriksaan serologis. Hasil pemeriksaan serodiagnosis atau deteksi antigen yang positif tanpa gejala seperti di atas, tidak boleh menjadi patokan diagnosis demam tifoid.

3. Demam Tifoid Konfirmasi (Confirmed Typhoid Fever) Adalah kasus demam tifoid klinis yang telah menunjukkan hasil biakan positif untuk Salmonella Typhi dan/atau pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) S. Typhi positif dan/atau serologi Widal menunjukkan kenaikan titer 4 kali lipat pada interval pemeriksaan 5ñ7 hari.

3.2 Aspek Klinis Demam Tifoid A. Demam Tifoid pada Anak

Secara umum gambaran klinis dan komplikasi pada anak berbeda dibandingkan pasien dewasa. Tanda dan gejala klinis tergantung usia:

Bayi

Gejala timbul biasanya sesudah 3 hari setelah lahir berupa muntah-muntah, diare, distensi abdomen. Suhu tubuh tidak stabil, ikterus, berat badan menurun, toksik, kadang disertai kejang. Kasus pada neonatus sering sulit dibedakan dari sepsis.

Usia Balita

Relatif jarang, biasanya bersifat ringan berupa demam ringan, malaise, dan diare. Sering didiagnosis sebagai diare akut Usia Sekolah dan Masa Remaja

Gejala klinis menyerupai penderita dewasa

Onset insidious. Malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala,

sakit daerah abdomen (anak biasanya tidak dapat menunjukkan daerah yang paling sakit/rasa tidak nyaman

(29)

sampai hari ke-4 bersifat remiten, dengan pola seperti anak tangga (step ladder), sesudah hari ke-5 atau paling lambat akhir minggu pertama pola demam berbentuk kontinu. Diare dapat ditemukan pada hari-hari pertama sakit, selanjutnya terjadi konstipasi. Bila diare terjadi sesudah minggu kedua harus dicurigai adanya infeksi sekunder. Mual dan muntah dapat ditemukan pada awal sakit, bila ditemukan pada minggu kedua atau ketiga harus diwaspadai awal dari suatu komplikasi. Pada minggu kedua keluhan malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala, sakit daerah abdomen pada minggu kedua bertambah berat, dapat ditemukan disorientasi, letargi, delirium bahkan stupor

Biasanya anak tidak dapat melokalisasi rasa sakit, memberi kesan rasa tidak enak/sakit yang difus. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid, yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Bradikardia relatif (jarang pada anak usia yang lebih muda, dapat ditemukan pada remaja). Rose spot ditemukan pada 50% kasus, dicari di daerah dada bawah dan abdomen bagian atas. Bila ditemukan tanda pneumonia seperti sesak napas dan crackles, biasanya terjadi sesudah minggu kedua dan merupakan superinfeksi.

3.3. Patogenesis

Melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi, S. Typhi akan masuk ke lambung. Kuman yang masih bertahan selanjutnya mencapai usus halus (ileum), kemudian menembus dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque Peyeri). Kemudian melalui saluran limfe mesenterik, kuman selanjutnya masuk ke aliran darah sistemik (disebut bakteremia ke-1) lalu mencapai retikulo endothelial dan jaringan tubuh. Kemudian kuman akan dilepas ke sirkulasi sistemik (disebut bakteremia ke-2) mencapai organ tubuh dan mampu menyebabkan komplikasi. Endotoksin SalmonellaTyph i turut berperan dalam patogenesis terjadinya tanda dan gejala klinis, komplikasi pada demam tifoid. Kuman S. Typhi yang mampu bertahan di kandung empedu dan saluran kemih akan menyebabkan tifoid karier, selanjutnya menjadi sumber penularan melalui feses atau urinnya. Pada umumnya tifoid karier terjadi pada pasien dewasa.

(30)

3.4 GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis demam demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala sangat ringan (sehingga tidak terdiagnosis ) atau dengan gejala yang khas (sindrom demam tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran klinis dapat bervariasi menurut populasi, daerah, atau menurut waktu. Gambaran klinis di negara berkembang dapat berbeda dengan negara maju dan gambaran klinis tahun 2000 dapat berbeda dengan tahun enam puluhan pada daerah yang sama.(..)Gambaran klinis pada anak cenderung tak khas. Makin kecil anak gambaran klinis makin tak khas. Kebanyakan perjalanan penyakit berlangsung dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.

a. Gejala Klinis Demam tifoid

Kumpulan gejala klinis demam tifoid disebut sebagai sindromdemam tifoid. Beberapa gejala klinis yang sering dijumpai adalah :

1) Demam

Demam atau panas adalah gejala utama demam tifoid. Pola demam tifoid secara klasik digambarkan sebagai berikut: pada awal sakit demam tidak terlalu tinggi lalu akan makin meningkat dari hari ke hari, suhu pagi dibandingkan sore atau malam hari lebih tinggi (step ladder fashion). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam akan terus menerus (demam kontinu), demam akan menurun pada akhir minggu ke-3 dan minggu ke-4 sampai mencapai suhu normal.

Komplikasi demam tifoid terjadi pada fase demam di akhir minggu ke-2 dan ke-3. Hati-hati apabila terjadi penurunan suhu tubuh di akhir minggu ke-2 dan ke-3 karena dapat merupakan tanda dan gejala komplikasi perdarahan dan perforasi saluran cerna.

2) Gangguan Saluran Pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering dan kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor, ditutupi selaput kotor (coated tongue), ujung dan tepi lidah tampak kemerahan, serta lidah tampak tremor. Pada anak balita tanda dan gejala

(31)

Pasien sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrium (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan muntah. Sering dijumpai meteorismus, kontipasi, dan/atau diare

3) Gangguan Kesadaraan

Umumnya dijumpai gangguan kesadaran, kesadaran berkabut, penurunan kesadaran karena tifoid ensefalopati, dan meningoensefalitis. Sebaliknya mungkin dapat ditemukan gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). 4) Hepatosplenomegali

Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Pada perabaan hati teraba kenyal dan nyeri tekan. 5) Bradikardia relatif dan gejala lain

Bradikardi relatif jarang ditemukan pada anak. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah setiap peningkatan suhu 1∞C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid seperti rose spot biasanya ditemukan diregio abdomen atas.

b. Komplikasi Demam tifoid

Pada minggu ke 2 atau ke-3, sering timbul komplikasi demam mulai dariyang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi diantaranya: 1) DEMAM TIFOID TOKSIK (TIFOID ENSEFALOPATI)

Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Analisa cairan otak dalam batas normal.

2) SYOK SEPTIK

Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, pasien jatuh ke dalam fase kegagalan vaskular (syok). Tekanan darah sistolik dan/atau diastolik turun, nadi cepat, dan halus, berkeringat, serta akral dingin. Akan berbahaya bila syok menjadi irreversible.

(32)

3) PERDARAHAN, PERFORASI INTESTINAL, DAN PERITONITIS

• Perdarahan biasanya berupa buang air besar (BAB)

darah (hematoschezia) atau occult bleeding yang dapat terdeteksi dengan pemeriksaan darah samar. Apabila perdarahan berat, pasien akan tampak anemis bahkan berlanjut sampai syok hipovolemia. Suhu tubuh akan mendadak turun dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir syok.

• Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen

akut, tegang, dan nyeri tekan abdomen (paling nyata di kuadran kanan bawah). Pada pemeriksaan perut didapatkan tanda distensi abdomen, defences muscularum, ileus paralitik, bising usus melemah, dan pekak hati menghilang. Perforasi dipastikan dengan pemeriksaan foto abdomen 3 posisi (diafragma,

left lateral decubitus, dan plain abdomen). Perforasi

intestinal adalah komplikasi demam tifoid yang serius k a r e n a s e r i n g m e n i m b u l k a n k e m a t i a n .

• Pada peritonitis, ditemukan gejala abdomen akut

yakni nyeri perut hebat, kembung, serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas (rebound phenomenon) khas untuk peritonitis.

4) HEPATITIS TIFOSA

Demam tifoid disertai ikterus, hepatomegali dan kelainan tes fungsi hati (peningkatan SGPT, SGOT dan bilirubin darah) dikatakan sebagai hepatitis tifosa.

5) PANKREATITIS TIFOSA

Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejalanya adalah sama dengan pancreatitis akut. Penderita nyeri perut hebat, disertai mual dan muntah warna kehijauan, meteorismus, serta bising usus menurun. Enzim amilase dan lipase meningkat.

6) PNEUMONIA

Adalah komplikasi demam tifoid disertai tanda dan gejala klinis: batuk kering, sesak napas, tarikan dinding dada, ditemukan adanya ronki/crakles, serta gambaran infiltrat pada foto polos toraks. Pada anak umumnya merupakan

(33)

7) KOMPLIKASI LAIN

Kuman S. Typhi berada di intraselular (makrofag), yang mengikuti sirkulasi darah dan menyebabkan infeksi fokal diantaranya osteomielitis, arthritis, miokarditis, perikarditis, endokarditis, pielonefritis, orkhitis, dll.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DEMAM TIFOID Pemeriksaan Hematologi

Darah Tepi

Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran leukopeni (3000 - 5000/uL), limfositosis relatif, monositosis, aneosinofilia dan trombositopenia ringan. Leukopenia terjadi akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang lain. Angka kejadian leukopenia diperkirakan sebesar 25%, beberapa laporan lain menyebutkan hitung leukosit sering dalam batas normal atau leukositosis ringan. Kejadian trombositopenia diduga akibat produksi yang menurun dan destruksi yang meningkat pada sistem retikulo endotel (RES). Sedangkan anemia dapat disebabkan oleh produksi hemoglobin yang menurun serta kejadian perdarahan intestinal yang tidak nyata (occult bleeding). Perlu diwaspadai bila terjadi penurunan hemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4, karena bisa disebabkan oleh perforasi usus yang menimbulkan peritonitis dan perdarahan dalam abdomen.

I. Pemeriksaan Mikrobiologi

1. Biakan Bakteri

Spesimen untuk biakan dapat diambil dari darah, sumsum tulang, feses, urin. Pemilihan jenis spesimen tergantung patogenesis penyakit dan lama masa sakit. Ketentuan umum pengambilan spesimen adalah:

- Spesimen diambil pada saat pertama kali datang ke dokter

- Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik

- Spesimen diambil secara aseptik

- Menggunakan wadah yang steril, tertutup, dan tidak

mudah bocor

(34)

A. Darah

Spesimen darah dapat diambil mulai demam minggu pertama. Sebaiknya darah diambil pada saat pasien demam. Darah pada pasien anak diambil sebanyak 2-5 mL (10% dari berat badan) dan pada pasien dewasa 10 mL, masing-masing sebanyak 2 tabung spesimen yang diambil dari 2 tempat pungsi vena yang berbeda (lengan kanan dan kiri). Darah diambil secara aseptik lalu dimasukkan kedalam botol biakan darah yang berisi 5 0 - 1 0 0 m l k a l d u e m p e d u ( p e r b a n d i n g a n spesimen:medium = 1:9) atau menggunakan medium dalam botol tertutup yang tersedia secara komersial (contoh BACTEC dan BacTalert).

B. Sumsum tulang

Spesimen sumsum tulang harus diambil oleh seorang ahli yang kompeten dan dilakukan di ruang khusus. Spesimen diambil secara aseptik sebanyak 0,5-2 mL dan langsung dimasukkan ke dalam medium cair..mL (komen PK)

C. Biakan Tinja

Spesimen tinja diambil pada minggu ke II dan minggu ñ minggu selanjutnya. Spesimen tinja yang digunakan harus yang segar, tidak tercampur urin atau air. Jumlah spesimen yang diambil adalah sebanyak 10 gram atau sebesar telur burung puyuh. Bila tinja encer diambil sebanyak 10 mL atau 2 sendok makan. Spesimen dimasukkan ke dalam wadah tinja yang bersih dan kering, bermulut lebar, dapat ditutup rapat dan tidak mudah bocor atau pecah. Spesimen tinja segera dibawa ke laboratorium pemeriksa dalam waktu kurang dari 2 jam, sebaiknya pada suhu dingin.

Pemeriksaan kultur tinja dapat digunakan untuk pembuktian karier tifoid. Untuk tujuan tersebut, tinja harus diambil sebanyak 3 kali dengan jarak waktu beberapa hari atau sekitar 2 minggu.

(35)

3. Biakan Urin

Spesimen urin dapat diambil pada minggu ke 2 dan minggu berikutnya. Spesimen urin diambil sebanyak 10 mL lalu secara steril diputar dan endapannya dikultur . Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan adalah biakan dan uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik.

a. Spesimen darah atau sumsum tulang di dalam medium

kaldu empedu atau botol komersial diinkubasi dalam

incubator dengan suhu 35-370C selama 22-24 jam. Hari

kedua, dari biakan dilakukan pewarnaan Gram dan diinokulasi pada medium padat selektif (agar

Salmonella-Shigella) dan dibiakkan pada suhu 35-370C selama

22-24 jam. Apabila pada hari ketiga biakan negatif, dilakukan biakan ulang dari medium cair sampai biakan positif atau sampai dengan hari kelima. Apabila telah didapatkan biakan positif, dilakukan pemurnian koloni tersangka Salmonella sp.dan dilanjutkan uji identifikasi secara biokimia serta uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik. Apabila digunakan biakan darah di dalam botol komersial menggunakan inkubator khusus dengan detektor pertumbuhan, maka pada saat terdeteksi adanya pertumbuhan langsung dilakukan pewarnaan Gram dan inokulasi pada medium padat selektif.

b. Spesimen tinja dan urin ditanam langsung pada medium

cair selektif untuk Salmonella (misalnya kaldu Selenit) dan medium padat selektif (misalnya agar Salmonella Shigella/agar SS). Bila terdapat pertumbuhan, maka dilakukan pemurnian koloni tersangka Salmonella sp.dan dilanjutkan uji identifikasi dan uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik.

II. Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan serologi untuk pendukung diagnosis demam tifoid yang saat ini tersedia adalah pemeriksaan antibodi pada serum pasien, yaitu anti-Salmonela IgM (misalnya TubexTF, chromatography Test) atau IgM-IgG (Widal, Immuno-chromatography Test).

(36)

Uji Widal adalah reaksi antara antigen Salmonella (suspensi Salmonella yang telah dimatikan) dengan antibodi (IgM-IgG) spesifik di dalam darah manusia. Antigen yang digunakan adalah antigen O (somatik) dan H (flagel).

Antibodi terhadap antigen O mulai dibentuk pada akhir minggu I demam sampai puncaknya pada minggu ke III sampai ke V. Antibodi terhadap antigen H dapat bertahan sampai lama, 6 - 12 bulan, biasanya mencapai puncak lebih lambat, minggu ke IV ñ VI dan menetap dalam waktu lebih lama bisa sampai 2 tahun kemudian. Oleh karena itu pemeriksaan Widal harus dilakukan serial yaitu menggunakan serum akut dan serum konvalesen (masa penyembuhan) atau pemeriksaan ulang berjarak 5-7 hari. Interpretasi Reaksi Widal:

• Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak

sama pada masing-masing daerah, tergantung endemisitas daerah masing-masing dan tergantung hasil penelitian.

• Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan

kesepakatan atau perjanjian satu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa titer antibodi terhadap antigen O sebesar 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam demam tifoid.

Reaksi Widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis demam tifoid.

• Diagnosis pasti demam tifoid adalah bila didapatkan kenaikan

titer 4 kali lipat pada pemeriksan ulang dengan interval 5ñ7 hari. Perlu diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi reaksi Widal, sehingga mendatangkan hasil yang keliru, baik negatif palsu atau positif palsu. Hasil tes negatif palsu seperti pada pembentukan antibodi yang rendah, dapat ditemukan pada keadaan gizi buruk, konsumsi obat-obatan imunosupressif, penyakit agammaglobulinemia, leukemia, karsinoma lanjut, dll. Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi, terdapat riwayat infeksi subklinis, reaksi aglutinasi silang, dll.

III. Pemeriksaan Molekuler

(37)

Pemeriksaan Kimia Klinik 1. Enzim Transaminase

Akibat proses peradangan sel-sel hati sering ditemukan peningkatan enzim-enzim transaminase (SGOT, SGPT) Peningkatan transaminase ini dapat disebabkan banyak faktor seperti pengaruh endotoksin, mekanisme imun dan obat-obatan. Bila proses peradangan makin berat, maka tes fungsi hati lain akan terganggu, seperti bilirubin akan meningkat, albumin akan menurun. Secara klinis bila tes fungsi hati terganggu jelas dan disertai ikterus dan hepatomegali, disebut hepatitis tifosa atau hepatitis Salmonella (lihat bab komplikasi). 2. Lipase dan Amilase

Bila kuman Salmonella sampai menginvasi pankreas, dapat menimbulkan pankreatitis, maka enzim lipase dan amylase akan meningkat (pankreatitis tifosa).

TATALAKSANA KLINIS

Tatalaksana klinik adalah semua kegiatan dalam rangka mengobati dan merawat penderita (tatalaksana kasus). Dua kegiatan utama yang terpenting adalah :

1. Tatalaksana diagnosis.

Merupakan kegiatan mendiagnosis penderita, baik diagnosis klinis, etiologik serta diagnosis terhadap komplikasi 2. Tatalaksana pengobatan.

Merupakan kegiatan pengobatan dan perawatan penderita

TATALAKSANA

Antibiotik harus diberikan untuk eradikasi kuman serta memperpendek tanda dan gejala dan demam tifoid. Pemilihan antibiotik tergantung dari pola kepekaan di tiap rumah sakit dan sampai saat ini lini pertama terapi masih dapat digunakan, seperti hasil penelitian yang tercantum dalam tabel di bawah ini.

(38)

Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid 31

Aminoglikosid (gentamisin, amikasin), sefalosporin generasi ke-1 (contoh: sefadroksil, sefradin, sefazolin), sefalosporin generasi ke-2 (contoh: sefuroksim), sefalosporin generasi ke-3 (kecuali seftriakson), serta karbapenem (contoh: meropenem), bukan merupakan obat pilihan untuk demam tifoid.

Tabel 1 Contoh Hasil Pola Kepekaan Antibiotik terhadap S. Typhi

Antibiotik Sensitivitas 2006 2007 2008 2009 2010 Zona Inhibisi (mm) Konsentrasi

(µg) Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Kloramfenikol = 18 30 62 100 50 94,3 28 100 22 100 28 96,5 Ampisilin = 17 10 64 98,5 46 92 25 100 27 100 28 100 Amoksisilin = 17 10 64 97 39 86,7 28 100 20 100 27 100 Trimetoprim- = 16 1,25/23,75 62 100 50 100 24 100 23 100 27 100 sulfametoksazol Seftriakson = 23 30 50 100 55 100 28 100 20 95 27 100 Siprofloksasin = 21 5 6 100 7 100 28 100 22 100 23 100

2 O/IM/IV 14 hari 14 hari

1 O 7 hari 10-14 hari

3 O/IV 14 hari 14 hari

1. TATALAKSANA DEWASA:

O= Oral IM= Intra Muskular IV= Intra Vena

Antibiotika Dosis Frekuensi Durasi Efek samping Cara pemberian Tanpa komplikasi Komplikasi Kloramfenikol 50-100 mg /hari Dosis diturunkan menjadi 30 4 0 7 hari bebas panas 4 0 7 hari bebas panas Depresi sumsum tulang 7 hari bebas panas 7 hari bebas panas Tiamphenikol 50-100 mg /kg / hari Ampisilin dan Amoksisilin TMP-SMX Ciprofloksasin Ceftriakson Sefiksim 75-100mg/ kg/hari (3-4gr/hari) 160 mg TMP 500 mg /hari 1-4 gr/hari 8-10 mg/kg/hari Tidak direkomendasikan Tdk dianjurkan pada anak Nefrotoksik alergi

1-2 IM/IV 5-10 hari 10-14 hari

(39)

2. Tatalaksana pada Anak ANAK :

Antipiretik bila suhu tubuh >38,5oC.

Tabel 2 Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid

Oral Parenteral

*Kontraindikasi kloramfenikol pada leukosit <2000/µl, dosis maksimal 2g/hari #Sefiksim: perhatikan dosis untuk demam tifoid.

Merupakan regimen oral lanjutan setelah penggunaan seftriakson i.v. agar memenuhi lama

Terapi 10-14 hari Obat pilihan pertama untuk demam tifoid tanpa komplikasi Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hr setiap 6 jam selama 14 hr* Amoksisilin 150-200

mg/kgBB/hr setiap 8 jam selama 14 hr

TMP-SMX 8/40 mg/kgBB/hr setiap 12 jam

selama 14 hr

Kloramfenikol 100mg/kgBB/hr setiap 6 jam selama 14 hari* Ampisillin 150-200 mg/kgBB/hr setiap 8 jam selama 14 hari

Obat pilihan pertama untuk demam tifoid tanpa komplikasi Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hr setiap 6 jam selama 14 hr* Amoksisilin 150-200

mg/kgBB/hr setiap 8 jam selama 14 hr

TMP-SMX 8/40 mg/kgBB/hr setiap 12 jam

selama 14 hr

Kloramfenikol 100mg/kgBB/hr setiap 6 jam selama 14 hari* Ampisillin 150-200 mg/kgBB/hr setiap 8 jam selama 14 hari

Alternatif terapi demam tifoid tanpa komplikasi

Sefiksim (multi-drug resistance)# 10-20 mg/kgBB/hr selama 7 hr Dengan komplikasi/ Multidrug resisten Salmonella typhi

Seftriakson 80 mg/kgBB/hari setiap 12-24 jam selama 10-14 hari i.v. drip dalam 1-2 jam dalam NaCl0,9% atau D5

(40)

Tatalaksana Komplikasi

• Kortikosteroid dianjurkan pada tifoid ensefalopati, yaitu

deksametason 3mg/kg/kali (1x) i.v., dilanjutkan 1mg/kgBB/kali, setiap 6 jam (penggunaan lebih dari 48 jam akan meningkatkan angka relaps)

a) PERAWATAN UMUM DAN NUTRISI

Penderita demam demam tifoid, sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Tujuan Perawatan adalah :

- Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan

- Observasi terhadap perjalanan penyakit

- Minimalisasi komplikasi

- Isolasi untuk menjamin pencegahan pencemaran

a) TIRAH BARING

Penderita yang dirawat, harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat penderita harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus di ubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Buang air besar dan kecil sebaiknya dibantu oleh perawat. Hindari pemasangan kateter urine tetap, bila tidak indikasi betul.

b) NUTRISI

(1) CAIRAN

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis cairan parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi, dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan

(41)

(2) DIET

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. Bila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini). Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.

a. Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet

secara enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral di pertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi perdarahan dan atau perforasi.

(3) TERAPI SIMPTOMATIK

Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita :

- Roboransia / vitamin

- Antipiretikuntuk demam dankenyamanan penderita,

terutama untuk anak-anak

- Anti emetik diperlukan bila penderita muntah hebat.

c) KONTROL DAN MONITOR DALAM PERAWATAN

Kontrol dan monitor yang baik harus dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan. Hal-hal yang menjadi prioritas untuk dimonitor adalah :

(1) Suhu tubuh (status demam) serta petanda vital lain. Tanda vital (suhu, nadi, nafas, tekanan darah) harus diukur secara serial. Kurva suhu harus dibuat secara sempurna pada lembaran rekam medik.

(2) Keseimbangan cairan

Cairan yang masuk (infus atau minum) dan cairan tubuh yang ke luar (urine, feses) harus seimbang. (3) Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi (4) Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit

(42)

(5) Efek samping dan atau efek toksik obat (6) Resistensi anti mikroba

(7) Kemajuan pengobatan secara umum

Disamping untuk mengetahui keberhasilan pengobatan, kontrol dan monitor oleh dokter dan perawat sangat diperlukan untuk :

Perubahan terapi dan penghentian terapi Program mobilisasi

Program perubahan diet Indikasi pulang perawatan

b) ANTI MIKROBA

a) KEBIJAKAN DASAR PEMBERIAN ANTI MIKROBA

Anti mikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam demam tifoid telah dapat ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun suspek. Sebelum anti mikroba diberikan, harus diambil spesimen darah atau sumsum tulang lebih dulu untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella (biakan gaal), kecuali fasilitas biakan ini betul-betul tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan.

Anti mikroba yang dipilih harus mempertimbangkan pola sensitifitas kuman Salmonella Typhi, Paratyphi A, B,C, setempat (diharapkan tiap kabupaten mempunyai peta kuman / pola sensitifitas kuman), mempunyai afinitas yang tinggi menuju organ sasaran , mampu menembus jaringan dengan baik.

b) PILIHAN ANTI MIKROBA UNTUK DEMAM TIFOID

Anti mikroba (antibiotika) yang dikemukakan dalam tabel di bawah adalah yang telah dikenal sensitif dan efektif untuk demam demam tifoid serta merupakan pilihan dan dipilih dar hasil uji kepekaan.

(43)

Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid 36

TABEL : ANTI MIKROBA UNTUK PENDERITA DEMAM TIFOID (DEWASA) disesuaikan dengan konas petri,anak dan cat Prof Harto.

ANTIBIOTIKA DOSIS KELEBIHAN DAN KEUNTUNGAN KETERANGAN Kloramfenikol 4 x 500 mg (2 gr)

sampai 7 hari bebas panas,

Merupakan obat yang

sering digunakan dan telah lama dikenal efektif untuk demam demam tifoid

Murah dan dapat diberi peroral sensitivitas masih tinggi

Pemberian PO/IV Obat Lini pertama

penderita rawat jalan.

◆ ◆ ◆ ◆ Seftriakson (2-4) gr/hr Selama 5-7 hari Cepat menurunkan suhu,

lama pemberian pendek dan dapat dosis tunggal serta cukup aman untuk anak.

Pemberian IV Obat lini pertama

rawat inap ◆ ◆ ◆ ◆ ◆ ◆ Ampisilin & Amoksisilin 100 mg/kgBB/hr (dibagi 4 x perhari) selama 10-14 hr Aman untuk penderita

hamil.

Sering dikombinasi dengan khloram-fenikol pada pasien kritis Tidak mahal Pemberian PO/IV Pilihan utama ◆ ◆ Pilihan utama ◆ Pilihan utama ◆ Pilihan utama ◆ TMP-SMX (Kotrimoksasol) 2 x 160-800mg /hari Selama 2 minggu Tidak mahal Pemberian peroral ◆ ◆ Quinolone Siprofloksasin : 2 x 500 mg selama 1 minggu Levofloksasin ◆ ◆

Dilaporkan daerah dengan

peternakan memakai antibiotika maka siprofloksasin sdh resisten.

(44)

500 - 750 mg / hari dosis tunggal Selama 5 hari Ofloksasin : 2 x ( 200-400) 1 minggu Pefloksasin : 1 x 400 selama 1 minggu Fleroksasin : 1 x 400 selama 1 minggu Pefloksasin dan fleroksasin lebih cepat menurunkan suhu Efektif mencegah relaps dan karier Pemberian peroral Pilihan kedua MDR ◆ ◆ Pilihan utama ◆ Cefixim 2 x 200 - 400 mg/hari, selama 10 - 14 hari

Aman untuk anak Efektif Pemberian peroral Pilihan kedua MDR ◆ ◆ Tiamfenikol Azithromycin 4 x 500mg/hari Selama 5-7 hari bebas panas.

Dapat untuk anak dan dewasa

Dilaporkan cukup sensitif pada beberapa daerah. Dewasa: 500-750

mg/hari, selama 7 hari (dosis tunggal) ◆ ◆ ◆ ◆ ◆ ◆ ◆ ◆ ◆ ◆ ◆

c) Strategi pemberian anti mikroba untuk demam tifoid

Antimikroba segera diberikan bila diagnosis telah dibuat. Antimikroba yang diberikan sebagai terapi awal adalah dari kelompok anti mikroba lini pertama untuk demam tifoid. Pilihan ini sesuai dengan antimikroba dengan kepekaan tertinggi pada suatu daerah, karena lain daerah akan berbeda tingkat kepekaan antimikroba. Sampai saat ini (tahun 2003).

(45)

Pemilihan antimikroba untuk lini pertama seperti, misalnya : Kloramfenikol, Ampisillin atau Amoxicillin (aman untuk penderita yang sedang hamil), Trimetroprim-Sulfametoksazol.

Bila pemberian salah satu anti mikroba lini pertama, dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan anti mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini kedua seperti Seftriakson, Cefixim , Quinolone (tidak dianjurkan untuk anak < 18 th, karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang). Penderita dengan klinis berat sampai toksik atau syok septik, rujuk kepelayanan yang lebih tinggi .

3) PENGOBATAN DAN PERAWATAN KOMPLIKASI

a) PRINSIP

• Monitor dan evaluasi, baik klinis maupun

laboratoris harus terlaksana secara adekuat;

• Bila komplikasi ada, segera dirujuk.

1. PERAWATAN MANDIRI DI RUMAH

Tidak semua penderita demam demam tifoid yang mau dirawat di rumah sakit. Sangat banyak kendala atau hambatan yang ada pada masing-masing masyarakat kita, yang salah satu diantaranya adalah ketiadaan biaya. Dengan pertimbangan yang matang serta mengikuti syarat-syarat yang di tetapkan maka penderita demam demam tifoid dapat dirawat dirumah namun tetap tidak dianjurkan. a. Syarat - Syarat

Syarat untuk penderita :

(1) Penderita dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi serta tak ada komorbid yang membahayakan.

(2) Penderita dengan kesadaran baik dan dapat makan minum dengan baik pula

(46)

(3) Penderita dengan keluarganya cukup mengerti tentang cara-cara merawat serta cukup paham tentang petanda bahaya yang akan timbul dari demam demam tifoid. (4) Rumah tangga penderita memiliki atau dapat melaksanakan sistem pembuangan ekskreta (feses, urin, muntahan) yang memenuhi syarat-syarat kesehatan (5) Penderita dengan keluarganya harus mengikuti program

pengobatan yang di berikan oleh dokter Syarat untuk tenaga kesehatan

(1) Dokter yang merawat bertanggung jawab penuh terhadap pengobatan dan perawatan pasiennya.

(2) Dokter sangat yakin dan dapat memprediksi bahwa penderita tidak akan menghadapi bahaya-bahaya yang serius

(3) Pada prinsipnya semua kegiatan penatalaksanaan demam demam tifoid dapat di laksanakan seperti :

- Istirahat dan pentahapan mobilisasi

- Diet yang benar untuk demam demam tifoid

- Pemberian obat-obatan

(4). Dokter mengunjungi pasiennya tiap hari. Bila tidak bisa harus diwakili oleh seorang perawat yang mampu merawat demam demam tifoid

(5) Dokter mempunyai hubungan komunikasi yang lancar dengan keluargapasien.

b) Penyelenggaraan

(1) Pasien yang dirawat dapat 2 tipe yakni sejak awal sakit dirawat di rumah atau lanjutan perawatan dari rumah sakit

(2) Dokter menerangkan secara jelas terhadap tatacara pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam demam tifoid yang harus di ketahui pasien dan

(47)

(3) Tatacara ini (diet, pentahapan mobilisasi dan komsumsi obat) sebaiknya diperhatikan atau dilihat langsung oleh dokter, bahwa keluarga pasien telah memahaminya dan mampu melaksanakan.

(4) Dokter dan atau perawat mengunjungi pasien seca ra reguler (tiap hari)

(5) Aturan serta perubahan-perubahan dari terapi dilaksanakan oleh dokter sesuai prosedur yang telah ditetapkan (Pedoman Tatalaksana Demam Demam tifoid Bagi Tenaga Kesehatan)

(6) Bila pasien mempunyai petanda kegawatan, harus segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk perawatan. 5) RANGKUMAN PRINSIP & LANGKAH STRATEGIS TATALAKSANA

DEMAM TIFOID

Berpedoman kepada uraian sebelumnya, dimulai dari patogenesis dan patofisiologis, gambaran klinis, diagnosis, pengobatan dan perawatan maka dapat direkomendasikan beberapa prinsip dan langkah-langkah strategis dalam tatalaksana demam tifoid ini, seperti yang diutarakan dalam kolom-kolom berikut.

Menetapkan indikasi rawat atau rujuk Indikasi Rawat :

1. Demam tidak turun selama 7 hari sudah diberikan antibiotika oral (lini pertama )tidak membaik.

2. Pasien dengan gangguan intake oral.

3. Pasien yang tidak mampu laksana tirah baring dirumah. PRINSIP DAN LANGKAH STRATEGIS TATALAKSANA DEMAM TIFOID

NO. LANGKAH PRINSIP

1. EVALUSI AWAL (Diagnosis Kerja )

a. Menegakkan diagnosis klinis :

Suspek demam demam tifoid (Typhoid fever suspect) atau Demam tifoid klinis (Typhoid fever Probable)

b. Mengantisipasi atau deteksi komplikasi ( diagnosis komplikasi ), dan atau komorbid / ko infeksi yang mungkin ada

c. Tetap dipikirkan bukan demam tifoid (diagnosis deferensial) 2. RAWAT ATAU

(48)

Indikasi Rujuk :

1. Demam demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan 2. Demam demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dengan

fasilitas tidak mencukupi 4. KONTROL DAN

MONITOR Kontrol dan monitor petanda vital (tensi, nadi, suhu, kesadaran)secara reguler sesuai aturan dan dicatat secara baik di rekam medik. Kurva suhu, tensi, nadi adalah sangat penting untuk monitor demam tifoid.

Kontrol dan memonitor terhadap kemungkinan komplikasi (perdarahan, perforasi, sepsis, ensefalo pati dan infeksi pada organ lain), terutama pada masa minggu ke 2 dan ke 3 demam. Kontrol dan monitor terhadap perjalanan penyakit untuk menentukan :

Perubahan terapi antibiotika Mobilisasi dan pemberian diet Indikasi Pulang

5. PENILAIAN KEMAJUAN TERAPI

Efikasi antibiotika dinilai, kurang lebih setelah (3-5) hari pemberian Mengevaluasi apakah resisten, ada efek samping atau efek toksik serta konsistensi pemberian (dosis, lama pemberian)

Perubahan antibiotika :

Diganti dengan antibiotik yang sensitive menurut hasil uji kepekaan, namun tetap dipilih dari antibiotik yang dikenal sensitive untuk demam tifoid.

Bila biakan tak ada, diganti dengan antibiotik lini kedua yang telah dikenal mempunyai efikasi yang tinggi.

Menilai kemajuan pengobatan secara umum : Penurunan suhu

Perbaikan kesadaran Nafsu makan Dll

(2-3) hari bebas panas : Program mobilisasi Perubahan Diit

Bila penilaian klinis sembuh, ditetapkan indikasi pulang : 5 - 7 hari bebas panas

Keadaan umum baik

Komplikasi /komorbid teratasi atau terkontrol

6. DETEKSI KARIER 3 bulan pasien pasca tifoid periksa kultur Salmonella dari feses dan urin di rumah sakit

(49)

Perawatan

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tifoid Tujuan Perawatan pasien secara umum adalah:

• Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan

• Observasi terhadap perjalanan penyakit

• Minimalisasi komplikasi

• Isolasi untuk menjamin pencegahan penularan

a. Asuhan Keperawatan pada Pasien Tifoid di Rumah Sakit Pelayanan Keperawatan terhadap pasien dengan Demam Tifoid di Rumah Sakit, dilakukan sesuai tahap-tahap dalam proses Keperawatan, yang terdiri dari :

a. Pengkajian Keperawatan

Dalam pengkajian keperawatan, mencakup Riwayat Kesehatan Sekarang, Riwayat Kesehatan Dahulu, Riwayat Kesehatan Keluarga, Riwayat Psikososial dan pola pola fungsi kesehatan. Dalam Riwayat Kesehatan Sekarang perlu dipertimbangkan faktor predisposisi dan faktor presipitasi munculnya demam tifoid, karena dengan mengenali faktor ini merupakan langkah dalam merencanakan intervensi yang akan diberikan pada pasien.

Selanjutnya pengkajian fisik head to toe yang khususnya lebih terfokus pada gejala klinis yang muncul pada pasien dengan Tifoid :

- Demam, pola demam, suhu tubuh, muka tampak

pucat, kelemahan

- Gangguan saluran pencernaaan yang terjadi, seperti

anoreksia, mual, muntah, bibir pecah-pecah, lidah kotor ditutupi selaput putih, nyeri perut, konstipasi, peristaltic usus meningkat, kadang terjadi diare.

- Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, kulit kering,

turgor kulit menurun

- Terjadinya nyeri otot, nyeri kepala

- Gangguan Kesadaran

- Pemeriksaan Penunjang seperti hasil laboratorium,

(50)

b. Diagnosa Keperawatan berdasarkan NANDA - I, 2010 Diagnosa Keperawatan utama yang biasa muncul pada pasien dengan demam thypoid adalah :

1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses

infeksi Salmonella thypii

2. Gangguan Kebutuhan Nutrisi : Kurang dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.

3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

berhubungan dengan output yang berlebihan yang dimanisfestasikan dengan muntah.

4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan

kelemahan

c. Intervensi dan Implementasi Keperawatan (Nursing

Intervention Classification, 2008)

Intervensi dan Implementasi Keperawatan yang dapat direncanakan

1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses

infeksi Salmonella Thypii

Tujuan : Peningkatan suhu tubuh dapat di atasi Kriteria :

- Suhu, Nadi dan Pernafasan dan Tekanan Darah

normal

- Proses Infeksi bekurang

- Leukosit kembali normal

- Tes Widal normal

Intervensi Keperawatan :

a. Tirah baring (bedrest total), untuk mencegah

komplikasi perdarahan dan per forasi.

b. Monitor peningkatan suhu tubuh

c. Monitor vital sign ( suhu, nadi, TD dan Pernafasan ) secara teratur

d. Beri kompres air biasa pada temporal, axilla,

lipat paha

e. Anjurkan pasien mengganti pakaian yang

menyerap keringat

f. Monitoring intake dan output

Gambar

Tabel 1 Contoh Hasil Pola Kepekaan Antibiotik terhadap S. Typhi
Tabel 2  Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid

Referensi

Dokumen terkait

melakukan pemantauan, analisis, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan rencana, program, kegiatan dan anggaran di lingkungan pendidikan tinggi;d. melakukan pengumpulan

melakukan pemantauan, analisis, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan rencana, program, kegiatan dan anggaran di lingkungan pendidikan tinggi;.. melakukan pengumpulan

Laporan c uaca bulanan yang rutin dibuat St asiun Klimat ologi Pondok Betung periode ini menyajikan informasi evaluasi cuaca wilayah Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Penanganan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) ini setiap tahunnya selalu menjadi program rutin Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru, namun pada hasilnya kasus ini tidak

Hambatan pelaksanaan surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kota Kediri tahun 2013 adalah adanya ketidaklengkapan pengumpulan data, keterlambatan pengumpulan data,

Dibutuhkan layanan sebuah sistem integrasi data laporan DBD pada dinas kesehatan untuk menginformasikan atau menampilkan data maupun laporan dari masing-masing puskesmas,

Laporan rutin puskesmas ini di tingkat dinas kesehatan akan direkapitulasi dan digabung dengan data pelayanan kesehatan dari fasilitas kesehatan non puskesmas

Sektor pengolahan makanan berdasarkan data dalam Profil Kesehatan Kota Semarang 2015 (Tim Penyusun Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2015), diggambarkan bahwa hanya 22% dari