• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN SAINS BERBASIS BUDAYA LOKAL UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI DASAR SAINS DAN NILAI KEARIFAN LOKAL DI SMP.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN SAINS BERBASIS BUDAYA LOKAL UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI DASAR SAINS DAN NILAI KEARIFAN LOKAL DI SMP.pdf"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN SAINS BERBASIS EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN SAINS BERBASIS BUDAYA LOKAL UNTUK

BUDAYA LOKAL UNTUK MENGEMBANGKMENGEMBANGKAN KOMPETENSIAN KOMPETENSI DASAR SAINS DAN NILAI KEARIFAN LOKAL DI SMP DASAR SAINS DAN NILAI KEARIFAN LOKAL DI SMP

I Wayan Suastra

I Wayan Suastra & & Ketut TikaKetut Tika Jurusan Pendidikan Fisika Jurusan Pendidikan Fisika

Nengah Kariasa Nengah Kariasa Jurusan Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan Biologi

FMIPA Universitas Pendidikan Ganesha FMIPA Universitas Pendidikan Ganesha

Abstrak Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran  berbasis

 berbasis budaya budaya lokal lokal yang yang efektif efektif dalam dalam meningkatkanmeningkatkan kompetensi dasar sains dan nilai kearifan lokal. Tujuan khusus kompetensi dasar sains dan nilai kearifan lokal. Tujuan khusus  penelitian

 penelitian ini ini adalah adalah 1) 1) menganalisis menganalisis perbedaan perbedaan kompetensi kompetensi dasardasar sains siswa antara yang belajar dengan model pembelajaran sains siswa antara yang belajar dengan model pembelajaran  berbasis budaya dan

 berbasis budaya dan belajar dengan model belajar dengan model reguler, 2) reguler, 2) menganalisismenganalisis  perbedaan prestas

 perbedaan prestasi i belajar belajar siswa siswa antara antara yang belajar yang belajar dengan modeldengan model  pembelajaran

 pembelajaran berbasis berbasis budaya budaya dan dan model model reguler, reguler, 3) 3) menganalisismenganalisis  perbedaan

 perbedaan kinerja kinerja ilmiah ilmiah siswa siswa antara antara yang yang belajar belajar dengan dengan modelmodel  pembelajaran berbasis budaya dan mod

 pembelajaran berbasis budaya dan model reguler.el reguler.

Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1, 2, 3, Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 SMP Negeri di Singaraja yang berjumlah 1020 orang. 4, 5, dan 6 SMP Negeri di Singaraja yang berjumlah 1020 orang. Sampel kelas diambil secara acak yang terdistribusi 6 kelas sebagai Sampel kelas diambil secara acak yang terdistribusi 6 kelas sebagai kelas eksperimen dan 6 kelas sebagai kelas kontrol. Jumlah anggota kelas eksperimen dan 6 kelas sebagai kelas kontrol. Jumlah anggota sampel

sampel seluruhnya seluruhnya sebanyak sebanyak 380 380 orang. orang. Rancangan Rancangan penelitianpenelitian menggunakan

menggunakan Pretest-posttes  Pretest-posttes Control Control Group Group DisignDisign. Data tentang. Data tentang  prestasi

 prestasi belajar belajar sains sains siswa siswa diambil diambil dengan dengan tes tes prestasi prestasi belajarbelajar dengan koefisen reliabiltas sebesar 0,72, sedangkan kinerja ilmiah dengan koefisen reliabiltas sebesar 0,72, sedangkan kinerja ilmiah siswa diambil dengan bantuan rubrik penilaian kinerja ilmiah. Data siswa diambil dengan bantuan rubrik penilaian kinerja ilmiah. Data dianalisis dengan teknik MANOVA satu jalur dengan taraf dianalisis dengan teknik MANOVA satu jalur dengan taraf signifikansi 5%.

signifikansi 5%.

Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat diambil kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1) Terdapat perbedaan kompetensi dasar sains sebagai berikut. 1) Terdapat perbedaan kompetensi dasar sains siswa antara yang belajar dengan model pembelajaran berbasis siswa antara yang belajar dengan model pembelajaran berbasis  budaya

 budaya dan dan model model reguler reguler (F= (F= 38,176; 38,176; p<0.05). p<0.05). 2) 2) TerdapatTerdapat  perbedaan

 perbedaan prestasi prestasi belajar belajar sains sains siswa siswa antara antara yang yang belajar belajar dengandengan model pembelajaran berbasis budaya dan model reguler (F= model pembelajaran berbasis budaya dan model reguler (F= 25,575;

25,575; p<0.05). 3) p<0.05). 3) Terdapat perbedaan Terdapat perbedaan kinerja ilmiah siswa antarakinerja ilmiah siswa antara yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya dan yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya dan model reguler (F= 24,219; p<0.05). Dapat disimpulkan bahwa model reguler (F= 24,219; p<0.05). Dapat disimpulkan bahwa

(2)

model pembelajan berbasis budaya lokal cukup efektif dalam meningkatkan kompetensi dasar sains siswa SMP.

Kata-kata kunci : pembelajaran sains berbasis budaya lokal, kompetensi dasar, nilai kearifan lokal

Abstract

This research aims to produce a local cultural-based teaching model that is effective in improving the competence base of science and the value of local wisdom. The specific objectives of this study were 1) to analyze the differences in student’s  science competencies between the study by culture-based teaching model and regular model, 2) to analyze the differences in student achievement between the study by culture-based teaching model and regular model and 3) to analyze the differences scientific  performance between students who studied with culture-based

teaching models and regular models.

The population of this study is student grade VII of SMP Negeri 1, 2, 3, 4, 5, and 6 in Singaraja, who are 1020 people distributed into 34 classes. Class samples are taken randomly and distributed into 6 classes as the experimental group and 6 classes as a control group. The number of all students as sample equals to 190 people. The study is design using Control Group Pretest-posttest Design. Data of students’ science learning achievement is taken by using learning achievement tests of reliability coefficient equals 0.72, while the scientific performance of students was taken trough scientific performance assessment rubric. Data were analyzed by using one-way ANAVA with significance level 5%.

Based on the results of data analysis, it can be concluded as follows. 1) There is a difference of student’s science competencies  between the study by culture-based teaching models and regular models (F= 38,176; p<0.05), 2) There is a difference of student’s achievement between the study by culture-based teaching models and regular models (F= 25,575; p<0.05). 3) There are differences of scientific performance between students who study with culture- based teaching models and regular models (F= 24,219; p<0.05). It can be concluded that is the teaching model based on local culture quite effective in improving junior high school students' science  basic competence.

Keywords : local culture-based science teaching, basic competency, the value of local wisdom

(3)

Pendahuluan

Pendidikan berfungsi memberdayakan potensi manusia untuk mewariskan, mengembangkan serta membangun kebudayaan dan peradaban masa depan. Di satu sisi, pendidikan berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai  budaya yang positif, di sisi lain pendidikan berfungsi untuk menciptakan  perubahan ke arah kehidupan yang lebih inovatif. Oleh karena itu,  pendidikan memiliki fungsi kembar (Budhisantoso, 1992; Pelly, 1992). Dengan fungsi kembar itu, sistem pendidikan asli di suatu daerah memiliki  peran penting dalam perkembangan pendidikan dan kebudayaan.

Berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan. The Third International  Mathematics and Science Study Repeat   melaporkan bahwa kemampuan sains siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-32 dari 38 negara (TIMSS-R, 1999). Masalah lainnya adalah gagalnya sektor  pendidikan khususnya pendidikan sains dalam menanamkan serta menumbuhkembangkan pendidikan nilai di sekolah. Hal ini terbukti dari  berbagai permasalahan seperti rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan berbagai bencana alam seperti kekeringan  berkepanjangan, banjir bandang, kebakaran hutan, polusi udara, polusi tanah/air, dan terakhir luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang sudah dua tahun, sampai hari ini belum juga dapat diatasi. Semua permasalahan ini hanya menghasilkan dan menyisakan kesengsaraan rakyat Indonesia. Adimassana (2000) menambahkan bahwa salah satu penyebabnya adalah akibat dari kegagalan sektor pendidikan dalam melaksanakan pendidikan nilai di sekolah. Zamroni (2000:1) mengemukakan bahwa pendidikan cenderung hanya menjadi sarana “stratifikasi sosial” dan sistem  persekolahan yang hanya “mentransfer” kepada peserta didik, apa yang disebut sebagai dead knowledge, yaitu pengetahuan yang terlalu berpusat  pada buku (textbookish), sehingga bagaikan sudah diceraikan dari akar sumbernya dan aplikasinya. Lebih lanjut Suastra (2005) mengatakan  bahwa nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat asli yang penuh deng an

nilai-nilai kearifan lokal (local genius) diabaikan dalam pembelajaran khususnya dalam pembelajaran sains di sekolah. Dengan demikian,  pembelajaran sains menjadi ”kering” dan kurang bermakna bagi siswa. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian serius bagi para pengambil kebijakan dan praktisi pendidikan sains di daerah.

(4)

Pembelajaran sains yang akan datang perlu diupayakan agar ada keseimbangan/keharmonisan antara pengetahuan sains itu sendiri dengan penanaman sikap-sikap ilmiah, serta nilai-nilai kearifan lokal yang ada dan berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, lingkungan sosial-budaya siswa perlu mendapat perhatian serius dalam mengembangkan pendidikan sains di sekolah karena di dalamnya terpendam sains asli yang dapat berguna bagi kehidupannya. Dengan demikian, pendidikan sains akan betul-betul bermanfaat bagi siswa itu sendiri dan bagi masyarakat luas. Hal ini sesuai dengan pandangan reformasi pendidikan sains dewasa ini yang menekankan pentingnya  pendidikan sains bagi upaya meningkatkan tanggung jawab sosial. Berdasarkan usaha reformasi ini, tujuan pendidikan sains tidaklah hanya untuk meningkatkan pemahaman terhadap sains itu sendiri, tetapi yang lebih  penting juga adalah bagaimana memahami kehidupan manusia itu sendiri.

Bagaimana manusia membuat pemahaman tentang dunia alamnya dan  bagaimana mereka berinteraksi dengan keseluruhan tatanan makrokosmos

sangat ditentukan oleh pandangan mereka tentang dunia dan nilai-nilai universal.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka masalah yang diteliti dalam dalam penelitian ini adalah 1) apakah terdapat perbedaan  prestasi belajar sain siswa antara siswa yang belajar dengan model  pembelajaran berbasis budaya dan model reguler? dan 2) apakah terdapat  perbedaan kinerja ilmiah siswa antara siswa yang belajar dengan model  pembelajaran berbasis budaya dengan yang belajar dengan model reguler?

Berkaitan dengan masalah ini, maka dipandang perlu untuk menguji model pembelajaran berbnasis budaya dalam mengembangkan kompetensi dasar (prestasi belajar sains dan kinerja ilmiah) dan kearifan lokal.

Metode

Penelitian ini merupakan tahap uji coba secara luas model  pembelajaran berbasis budaya lokal untuk melihat efektivitasnya dalam mengembangkan kompetensi dasar sains. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1,2,3,4,5,dan 6 Singaraja dengan jumlah 1020 orang yang terdistribusi ke dalam 34 kelas. Sampel penelitian diambil dengan mengundi kelas sehingga diperoleh 6 kelas eksperimen dan 6 kelas control dengan total sampel 380 orang. Rancangan penelitian menggunakan  Pretest-posttes Control Group Disign. Data tentang prestasi belajar sains

(5)

siswa diambil dengan tes prestasi belajar dengan koefisen reliabiltas sebesar 0,72. Dalam penelitian ini diuji satu hipotesis penelitian dengan uji F dengan menggunakan ANAVA.

.

Hasil dan Diskusi

Berdasarkan hasil analisis deskriptik data pretes dan postes prestasi belajar sains siswa, serta kinerja ilmiah siswa setelah pembelajaran baik untuk kelas eksperimen (pembelajaran berbasis budaya) maupun kelas kontrol (pembelajaran regular) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1

Deskripsi Umum Hasil Penelitian

Aspek N Mean S. Deviasi Varians

Kompetensi dasar sains siswa eksperimen

190 90,81 11,06 122,32 Kompetensi dasar sains kontrol 190 80,75 14,18 201,07 Pretes prestasi kelompok eksperimen 190 38,07 7,19 51,69 Postes prestasi kelompok eksperimen 190 65,12 11,10 123,21 Kinerja ilmiah kelompok eksperimen 190 25,69 1,41 1,99 Pretes prestasi kelompok kontrol 190 38,31 10,24 104,86 Postes prestasi kelompok kontrol 190 58,63 13,90 193,21 Kinerja ilmiah kelompok Kontroll 190 23,92 1,36 1,85

Berdasarkan hasil analisis kurikulum untuk kelas VII semester I untuk mata pelajaran sains SMP dapat dikembangkan 6 kompetensi dasar seperti tampak pada Tabel 2. Nilai-nilai kearifan yang dapat dikembangkan dalam penelitian ini meliputi: (1) nilai keharmonisan atau keselarasan, (2)

(6)

nilai pelestarian lingkungan/alam (kontrol), (3) nilai holistik, dan (4) tradisi lokal.

Tabel 2

Kearipan Lokal yang Dapat Dikembangkan

No Kompetensi Dasar Kearifan Lokal

1. Mendeskripsikan besaran  pokok dan besaran turunan  beserta satuannya

Memperkenalkan pengukuran tradisional “sikut” untuk  pembangunan tempat suci atau rumah. Nilai keharmonisan/ keselarasan dan holistik.

2. Mendeskripsikan pengertian suhu dan pengukurannya

Mengekop anak yang sakit panas dengan menggunakan pelapah  pisang atau daun dapdap. Pembuatan lengis tandusan  Nilai  pelestarian lingkungan (kontrol) 3. Melakukan pengukuran dasar

secara teliti dengan

menggunakan alat ukur yang sesuai dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari

Melakukan pengukuran dengan ukuran  sikut, seperti adepa, alengkat, ahasta, atampak ngandang, anyari, dll. Nilai keharmonisan/keselaran antara tempat suci/rumah dengan  pemiliknya. Nilai keharmonisan antara isi dan tempatnya dan holistik.

4. Melakukan percobaan

sederhana tentang asam, basa, dan garam dari dengan bahan- bahan yang diperoleh dalam

kehidupan sehari-hari

Pembersihan alat-alat upacara yang terbuat dari perak yang berwarna hitam dengan bahan asem atau buah krerek,  pembuatan  lawar , dan  pembuatan garam secara tradisional.  Nilai pelestarian alam dan tradisi. 5. Mendeskripsikan konsep massa

 jenis dalam kehidupan

Para tukang bangunan “undagi” menentukan muncuk dan bongkol kayu dengan cara menimbang kayu dengan benang/tali pada bagian tengahnya. Nilai tradisi yang  bersifat holistik.

(7)

6. Melakukan pemisahan campuran dengan berbagai cara  berdasarkan sifat fisika dan

kimianya

Pembuatan garam dapur dari air laut dengan cara tradisional.

Pembuatan minyak tandusan. Pelestarian tradisi lokal

Berdasarkan hasil analisis prstasi belajar sains dan kinerja ilmiah siswa dengan ANAVA diperoleh hasil seperti pada Tabel 3, 4, dan 5.

Tabel 3

Ringkasan Hasil ANAVA

Tests of B etween-Subjects E ffects

Dependent Variable: Kompetensi Dasar Sains

Source Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 6176.379 1 6176.379 38.176 .000

Within Group 61155.053 378 161.786

Total 67331.432 379

Berdasarkan ringkasan ANAVA yang disajikan pada Tabel 3, dapat ditarik interpretasi yaitu sumber pengaruh variabel model pembelajaran terhadap variabel terikat kompetensi dasar sains siswa, diperoleh nilai statistik (F = 38,176; p < 0,05) sehingga dapat diambil kesimpulan terdapat  perbedaan kompetensi dasar sains siswa antara kelompok siswa yang belajar

dengan model pembelajaran berbasis budaya lokal dan kelompok siswa yang  belajar dengan model pembelajaran konvensional.

Bila ditelusuri lebih lanjut yang tampak pada Tabel.1 dapat dilihat  bahwa kompetensi dasar sains yang diajar dengan model pembelajaran  berbasis budaya lebih tinggi (rerata= 90,81) dibandingkan dengan belajar dengan model reguler (rerata= 80,75). Ini berarti, pembelajaran sains dengan model pembelajaran berbasis budaya lebih efektif dibandingkan  pembelajaran reguler dalam meningkatkan kompetensi dasar sains siswa.

Tabel 4

Ringkasan Hasil ANAVA Prestasi Belajar Sains Dependent Variable: Prestasi Belajar Sains

(8)

Source

Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups

139.211 1 139.211 25.575 .000

Within Group 2057.537 378 5.443

Total 2196.747 379

Berdasarkan ringkasan ANAVA yang disajikan pada Tabel 3, dapat ditarik interpretasi yaitu sumber pengaruh variabel model pembelajaran terhadap variabel terikat prestasi belajar sains siswa, diperoleh nilai statistik (F = 25,575; p < 0,05) sehingga dapat diambil kesimpulan terdapat  perbedaan prestasi belajar sains siswa antara kelompok siswa yang belajar

dengan model pembelajaran berbasis budaya lokal dan kelompok siswa yang  belajar dengan model pembelajaran konvensional.

Bila ditelusuri lebih lanjut gain score seperti yang tampak pada Tabel.1 dapat dilihat bahwa prestasi belajar sains dalam hal ini dinyatakan dalam gains score nya yang belajar dengan model pembelajaran berbasis  budaya lebih tinggi (rerata= 21,79) dibandingkan dengan belajar dengan model reguler (rerata= 15,47). Ini berarti, pembelajaran sains dengan model  pembelajaran berbasis budaya lebih efektif dibandingkan pembelajaran

reguler dalam meningkatkan prestasi belajar sains siswa. Tabel 5

Ringkasan Hasil Analisis Kinerja Ilmiah Siswa Dependent Variable: Kinerja Ilmiah

Source

Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups

4059 1 4059.379 24.219 .000

Within Group 63358.053 378 167.614

Total 67417.432 379

Berdasarkan ringkasan ANAVA yang disajikan pada Tabel 4, dapat ditarik interpretasi yaitu sumber pengaruh variabel model pembelajaran

(9)

terhadap variabel terikat kinerja ilmiah siswa, diperoleh nilai statistik (F = 24,219; p < 0,05) sehingga dapat diambil kesimpulan terdapat perbedaan kinerja ilmiah siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model  pembelajaran berbasis budaya lokal dan kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran regular.

Bila ditelusuri lebih lanjut seperti yang tampak pada Tabel.1 dapat dilihat bahwa kinerja ilmiah siswa yang belajar dengan model pembelajaran  berbasis budaya lebih baik (rerata= 25,69) dibandingkan dengan belajar dengan model konvensional (rerata= 23,92). Ini berarti, pembelajaran sains dengan model pembelajaran berbasis budaya lebih efektif dibandingkan  pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kinerja ilmiah siswa.

Diskusi

Hasil penelitian dengan menggunakan analisis multivariat menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model  pembelajaran berbasis budaya dibandingkan model pembelajaran reguler  pada pembelajaran sains di kelas VII Semester I yang dicapai oleh siswa bila diukur secara statistik, terjadi perbedaan yang signifikan dalam peningkatan  prestasi belajar sains siswa pada taraf signifikan 0,05. Hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai statistik F yang diperoleh dari sumber pengaruh model pembelajaran terhadap prestasi belajar sains siswa (F = 25,575 ; p < 0,05). Skor statistik ini memiliki makna bahwa terdapat perbedaan prestasi  belajar sains siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model  pembelajaran berbasis budaya dan model pembelajaran reguler. Di samping itu, hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kinerja ilmiah kinerja ilmiah siswa antara yang belajar dengan model pembelajaran berbasis  budaya dan model belajar regular ( F= 24, 219; p< 0,05).

Prestasi belajar sains siswa yang dicapai dengan menggunakan model  pembelajaran berbasis budaya lebih tinggi daripada siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran reguler. Secara deskriptif, kelompok model pembelajaran berbasis budaya memiliki nilai rata-rata sebesar 65,12, sedangkan model pembelajaran reguler memiliki nilai rata-rata sebesar 58,63. Skor rata-rata ini jika dikualifikasikan, berarti kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis  budaya menunjukkan prestasi belajar sains yang sama-sama kualifikasi

(10)

Hasil analisis kinerja ilmiah siswa yang belajar dengan model  pembelajaran berbasis budaya lebih baik dibandingkan dengan model  pembelajaran regular, meskipun sama-sama berkualifikasi baik. Skor rata-rata kinerja ilmiah yang belajar dengan model pembelajaran berbasis budaya sebesar 23,70, sedangkan kinerja ilmiah yang belajar dengan model  pembelajaran regular sebesar 21,82. Ini berarti, model pembelajaran berbasis  budaya lebih efektif daripada model pembelajaran reguler dalam hal meningkatkan prestasi belajar sains siswa dan kinerja ilmiah. Dengan kata lain, model belajar berbasis budaya cukup efektif digunakan dalam mengembangkan kompetensi dasar sains siswa..

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka terlihat bahwa model pembelajaran berbasis budaya dapat memberikan pengaruh yang lebih  baik terhadap peningkatan prestasi belajar sains siswa dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran dengan reguler. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan sebagai berikut.

 Pertama, dilihat dari segi landasan teoretis, model pembelajaran  berbasis budaya dapat membantu siswa dalam menjembatani antara  pengetahuan budaya mereka dengan sains di sekolah. Mengawali  pembelajaran siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan, ide,  pengetahuan dan bahkan keyakinannya terhadap objek atau fenomena alam maupun sosial budaya di sekitar siswa yang terkait dengan pelajaran yang akandipelajari. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Ausubel (dalam Suastra, 2009) yang mentakan bahwa hal yang paling penting dalam belajar adalah apa yang telah diketahui siswa. Hal senada juga dikemukakan oleh George (2001) bahwa guru perlu menggali pandangan dan menjadikan acuan dalam  belajar sains yaitu pandangan asli siswa dan pandangan ilmiah tentang dunia

secara simultan dalam belajar. Ogunniyi (dalam Aikenhead, 2000:8) menjelaskan bahwa pandangan asli yang bertentangan dengan pemikiran sains Barat tidak menghalangi pemahaman sains siswa dan bahkan  pandangan asli dan pandangan ilmiah tentang dunia dimungkinkan untuk diajarkan secara simultan. Lebih lanjut, George (2001:3) menyatakan dua hal sebagai berikut. (1) Pada belajar kolateral paralel ( parallel collateral learning ), siswa dapat memiliki kedua skemata yang hanya sedikit  persamaannya (sains aslinya belum dapat dijelaskan sains Barat), dan akan menerima skemata yang terbaik dan cocok dengan situasi yang dimilikinya. (2) Melalui belajar kolateral yang menguatkan ( secured collateral learning ), siswa dapat dengan mudah menyelesaikan konflik skematanya karena hanya

(11)

sedikit perbedaan. Siswa mungkin akan memperoleh pemahaman yang lebih  baik tentang kedua skemata karena sedikit perbedaan (sains aslinya dapat

dijelaskan dengan sains Barat). Dengan demikian, budaya yang dimiliki siswa dalam masyarakat tradisional Bali tidak begitu saja hilang dengan datangnya budaya sains Barat, tetapi dapat berjalan secara paralel dan  bahkan dapat menguatkan budaya yang telah ada sebelumnya (inkulturasi). Dengan demikian, pemahaman siswa akan menjadi lebih baik dan pada akhirnya prestasi belajarnya akan meningkat.

 Kedua, pembelajaran berbasis budaya membuat siswa lebih mandiri dan memberikan peluang siswa untuk lebih mengeksplor kemampuannya sendiri baik itu pengetahuan awal maupun keyakinannya. Selain itu, model  pembelajaran berbasis budaya adalah model pembelajaran yang

mengutamakan keaktifan siswa, baik ketika jam pelajaran, maupun di luar  jam pelajaran. Hal ini dikarenakan siswa dituntut untuk mencari informasi

mengenai sesuatu hal di luar jam pelajaran yang kemudian akan dibahas ketika jam pelajaran dimulai. Oleh karena itu, siswa dapat terjun langsung kedunia nyata dan menerapkan konsep-konsep yang ada, sehingga model  pembelajaran berbasis budaya mampu menggeser pembelajaran dari  pembelajaran yang menggunakan hafalan menjadi pembelajaran yang menghubungkan suatu konsep dengan fakta yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

 Ketiga, model pembelajaran  berbasis budaya didisain berdasarkan  prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme di mana pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa ( student centered ), sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan mediator. Guru tidak perlu mentransfer semua pengetahuan kepada pebelajar tetapi mengajak pebelajar untuk berpikir dan mencari  jawaban sendiri atas permasalahan yang diberikan oleh guru maupun  pebelajar itu sendiri melalui diskusi kelas maupun diskusi kelompok  berdasarkan pengalaman mereka yang telah diperoleh dari kehidupan

sehari-hari.

Berbeda dengan model pembelajaran reguler yang lebih banyak memberi kesempatan kepada guru dalam menyampaikan materi pelajaran secara jelas dan terperinci. Ketika berjalannya jam pelajaran, peran guru sangat dominan di dalam kelas. Peran siswa di sini lebih banyak mendengarkan penjelasan guru, sehingga siswa sangat pasif dalam kegiatan  pembelajaran. Meskipun pada pembelajarannya siswa diberikan kreativitas

(12)

yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan guru telah mendisain praktikumnya dan siswa hanya ditunntut untuk mencari jawaban atas persoalan yang diberikan guru.

Penerapan model pembelajaran berbasis budaya di dalam kelas , yaitu (1) menggali ide/gagasan dan keyakinan siswa melalui bertanya, (2) meneliti gagasan dan ide siswa dari berbagai perspektif (ilmiah, sains asli/tradisi, sejarah) dengan bantuan Lembaran Kerja Siswa (LKS), (3) melakukan elaborasi yaitu menghubungkan konsep yang dipelajari dengan konsep/ide /keyakinan awal siswa serta menuntun siswa untuk melintasi batas  budayanya menuju konsep ilmiah, dan (4) melakukan konfirmasi atau mengecek ide-ide yang cocok dan yang berbeda. Bila konsepsi awal atau keyakinan siswa tidak bertemu maka dibiarkan berjalan secara bersama-sama, dan bila ada pertemuan maka akan saling diperkuat. Dengan demikian, tidak ada ide/keyajinan (budaya lokal) yang tidak penting yang harus dihilangkan begitu saja, tetapi tetap berjalan seirama.

Model pembelajaran reguler lebih menekankan pada aktivitas guru (teacher centered ). Langkah pembelajaran dengan menggunakan model  pembelajaran reguler yaitu: (1) penyajian materi pelajaran oleh guru secara  jelas dan terperinci, (2) siswa melakukan percobaan berdasarkan petunjuk LKS dan bimbingan guru, dan (3) kegiatan diskusi yang dipimpin oleh guru. Berdasarkan hal ini, proses belajar sebagian masih merupakan tanggung  jawab guru. Meskipun dalam pembelajaran reguler digunakan metode selain

ceramah seperti praktikum dan dilengkapi atau didukung dengan penggunaan media, penekanannya tetap pada proses penerimaan pengetahuan (materi  pelajaran) bukan pada proses pencarian dan konstruksi pengetahuan. Hal ini mengakibatkan siswa tidak dapat mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki ke dalam aktivitas nyata sehingga proses pembelajaran menjadi lebih  bermakna.

Beberapa kendala yang dialami guru dalam melaksanakan  pembelajaran berbasis budaya adalah dalam memperkenalkan istilah-istilah  budaya lokal seperti  sikut adepa, alengkat , ngidu, lengis tandusan, lawar , khususnya bagi siswa yang bukan or ang asli Bali atau anak “kota” mengalami kesulitan. Meskipun demikian, guru menjelaskan secara ringkas istilah-istilah yang baru bagi siswa.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka terbukti secara empiris dan teoretis bahwa model pembelajaran berbasis budaya lebih unggul daripada model pembelajaran reguler dalam meningkatkan prestasi belajar sains siswa

(13)

dan kinerja ilmiah siswa. Atau dengan kata lain, model pembelajaran  berbasis budaya sangat efektif diterapkan dalam pembelajaran sains sebagai

upaya untuk mengembangkan kompetensi dasar sains dan nilai-nilai kearifan lokal.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan rumusan masalah, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, ada empat nilai kearifan lokal yang dapat dikembangkan dalam enam kompetensi dasar sains seperti : nilai keharmonisan/ keseimbangan, nilai pelestarian alam atau lingkungan sosial budaya, nilai  budaya lokal, nilai tradisi lokal.

Kedua, terdapat perbedaan yang signifikan kompetensi dasar sains antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis  budaya lokal dengan model pembelajaran reguler (F = 38,196; p<0,05).

Ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan prestasi belajar sains antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis  budaya lokal dengan model pembelajaran reguler (F = 14,121; p<0,05).

Keempat, terdapat perbedaan yang signifikan kinerja ilmiah siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis  budaya lokal dengan model pembelajaran reguler (F = 24,219; p<0,05).

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran  berbasis budaya lokal cukup efektif digunakan untuk mengembangkan

kompetensi dasar sains dan nilai kearifan lokal. Saran

Berdasarkan temuan penelitian ini dalam menerapkan model  pembelajaran berbasis budaya lokal untuk mengembangkan kompetensi dasar sains dan nilai kearifan lokal disarankan: (1) guru harus mengidentifikasi sains asli siswa dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di lingkungan siswa, (2) guru berperan cerdas dan arif dalam menjembatani sains asli siswa menuju sains Barat, (3) mendorong siswa melakukan aktivitas kelompok untuk mengkaji topik yang dipelajari dari berbagai  persepktif (sains Barat, sains asli, atau sejarah), (4)

(14)

Adimassana,Y.B.(2000).  Revitalisasi Pendidikan Nilai dalam Sektor  Pendidikan Formal . Atmadi & Setiyaningsih (eds). Transformasi  pendidikan memasuki milenium ketiga. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Atmaja, N.B. (2006). Kearifan Lokal dan Agama Pasar.  Media Komunikasi Sejarah Lokal Candra Sengkala Bali . Edisi Khusus. No. 8 Tanggal 15 Januari 2006.

Bodner,M. (1986). “Constructivism: A Theory of Knowledge”.  Journal of  Chemical Education. 63 (10): 873 –  878.

Borg,W.R & Gall,M.D (1989).  Educational Research. New York: Longman. Budhisantoso,S.(1992).  Pendidikan Indonesia Berakar pada  Kebudayaan Nasional . Makalah pada konvensi nasional pendidikan

Indonesia II. Medan.

Cobern,W.W. Aikenhead,G.S. (1996). Cultural Aspects of Learning Science. SLCSP Working paper #121.

http://www.wmich.edu/slcsp/121.htm’.

Dahar. R.W. (1989). Teori-teori Belajar . Jakarta: Penerbit Erlangga.

Depdiknas (2005). Mutu pendidikan Indonesia tahun 2003 “ Laporan trends in international mathematics and science study . Warta Balitbang  Depdiknas Vol II No. 1 Januari 2005.

Driver,R.& Bell. B (1986). Students’ Conceptions and the Learning of Science. International Journal of Science Education. 11. 481-490. George,J. (1999). Wordview Analysis of Knowledge in Rural Village:

Implication for Science Education. Science Education. 83 : 77-95. George.J. (2001). Culture and Science Education: Developing World .

http://www.id21.org/education/e3jg1g2.html.

Hawkins,J.& Pea,R.D. (1987). Tools for Bridging the Culture of Everyday andScientific Thinking. Journal of Research in Science Teaching . 24(4). 291-307.

(15)

Harlen, W. (1992). The Teaching of Science. London: David Fulton Publishers.

Jegede,O.J & P.A.Okebukola (1989). Influence of Socio-Cultural Factor on Secondary Students’ Attitude toward Science. Research in Science  Education. 19. 155-164.

Jegede,O.J & Aikenhead,G.S (2000). Transcending Cultural Border:  Implications for Science Teaching . http://www.

Jegede@ouhk.edu.hk .

Jegede,O.J, Aikenhead.G, and Cobern,W. (2002) Cultural Studies in Science Education. http://www.157.80.39.44/jrp/report.htm. Johnson,E.B. (2002). Contextual Teaching Learning . California: Corwin

Press.

Pelly,U (1992). Pendidikan Berakar pada Kebudayaan Nasional . Makalah  pada konvensi nasional pendidikan Indonesia II. Medan.

Suastra,I. W. (2003).  Implementasi Pembelajaran Sains Berbasis Inkuiri di SLTP . Laporan Penelitian Research Grand IKIP Negeri Singaraja. Tidak Dipublikasikan.

Suastra. I.W. (2005). Implementasi Pembelajaran Kontekstual dalam Pembelajaran Sains Sebagai Upaya Pengembangan Kecakapan Hidup Siswa Sekolah Dasar.  Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP  Negeri Singaraja. Volume 38 No.2, April 2005

Suastra,I W. (2005). Merekonstruksi Sains Asli ( Indigenous Science) Dalam Rangka Mengembangkan Pendidikan Sains Berbasis Budaya Lokal di Sekolah (Studi Etnosains pada Masyarakat Penglipuran Bali). Disertasi. Tidak Dipublikasikan.

(16)

Suastra, I.W, K. Tika, N. Kariasa. (2009). Pengembangan Model Pembelajaran Sains Berbasis Budaya Lokal di SMP.  Laporan  Penelitian. Tidak Dipublikasikan.

Suastra, I.W, K. Tika, N. Kariasa. (2009). Pengembangan Model Pembelajaran Sains Berbasis Budaya Lokal di SMP.  Laporan  Penelitian. Tidak Dipublikasikan.

Suastra, I.W (2009).  Pembelajaran Sains Terkini. Singaraja: Penerbit Undiksha.

Trawbridge, L & Rodger W Bybee. (1990).  Becoming a Secondary School Science Teacher . London: Merril Publishing Company.

Zamroni. (2000).  Paradigma Pendidikan Masa Depan . Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Referensi

Dokumen terkait

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel tanah terganggu yang diambil di lahan perkebunan karet dengan tanaman sela meranti, damar, gaharu dan

Sementara kategori sikap kemandirian belajar siswa terhadap mata pelajaran Fisika menunjukkan : kategori sikap siswa selalu sebanyak 22.53 % (16 dari 71 siswa) atau

Bentuk-bentuk dari ke-7 desain elemen estetis interior berornamen kearifan lokal yang dikembangkan pada Masjid Imaduddin Tancung mengusung konsep dan filosofi

Menurut Fitri dkk., (2013), menentukan kelas umur simpai dapat dilakukan dengan mengetahui ukuran tubuh dan warna rambut simpai yaitu pada individu dewasa

Penerimaan terhadap diri sendiri adalah dasar yang utama terhadap kemampuan membentuk intimacy dalam hubungan dengan orang lain, karena seseorang yang menerima diri sendiri

caesaria. Penelitian pada tahun 2001, persalinan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan sebanyak 290 kasus dengan 69 kasus tindakan sectio caesaria. Sedangkan di Rumah Sakit

IMANDA KARTIKA SARI, D1214038, PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI NON REGULER, KOTA KREATIF DESAIN DALAM MEDIA KOMUNIKASI (Strategi Penggunaan Media Komunikasi

Kemudian, guru BK SMP Negeri di Jakarta Timur yang termasuk dalam kategori rendah pada variabel pengetahuan mengenai layanan konseling individual sebanyak 4