• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. budaya adalah segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. budaya adalah segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan oleh"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya Organisasi 2.1.1. Pengertian Budaya

Menurut Peruci dan Hamby (dalam Tampubolon, 2004:184) mendefisinisikan budaya adalah segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan oleh manusia dalam masyarakat, serta termasuk pengakumulasian sejarah dari objek-objek atau perbuatan yang dilakukan sepanjang waktu.

Menurut Stoner (1995: 181) budaya (culture) adalah gabungan kompleks dari asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu.

Kemudian Alisyahbana (dalam Supartono, 2004:31) budaya merupakan manifestasi dari cara berfikir, sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas sebab semua tingkah laku dan perbuatan, mencakup di dalamnya perasaan karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.

Menurut Edward Taylor dalam Sobirin, Achmad (2007 : 52), budaya adalah kompleksitas menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan berbagai kapabilitas lainnya serta kebiasaan apa saja yang diperoleh seoang manusia sebagai bagian dari sebuah masyarakat.

Berdasarkan pengertian diatas maka budaya dapat disimpulkan yaitu segala sesuatu yang merupakan hasil pemikiran dan kemudian dilakukan dalam

(2)

kehidupannya baik sebagai individu maupun sebagai anggota dalam masyarakat. Hasil pemikiran tersebut dapat berupa pengetahuan, kepercayaan, kesenian, nilai-nilai dan moral yang didapat dari interaksi manusia dengan lingkungannya, baik interaksi terhadap alam maupun terhadap manusia lain dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Soekanto (171:1990) masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Maka dengan begitu tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan, dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya, Sehingga suatu organisasi yang merupakan bagian dari masyarakat tentulah memiliki kebudayaan didalamnya.

2.1.2. Pengertian Organisasi

Organisasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu organon yang berarti alat atau instrumen. Arti kata ini menyiratkan bahwa organisasi adalah alat bantu manusia. Ketika seorang mendirikan sebuah organisasi, tujuan akhirnya bukan organisasi itu sendiri melainkan agar dia dan semua orang yang terlibat didalamnya dapat mencapai tujuan lain lebih mudah dan lebih efektif. Itulah sebabnya kenapa organisasi itu sering didefinisikan sebagai sekelompok manusia yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Stoner (1995:6) Organisasi (organization) adalah dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam cara yang terstruktur untuk mencapai sasaran spesifik atau sejumlah sasaran. Pengertian ini juga didukung oleh Gers (dalam Supardi dan Anwar, 2004:5) yang mengatakan organisasi merupakan tata hubungan antara orang-orang untuk dapat memungkinkan tercapainya tujuan bersama dengan adanya pembagian

(3)

tugas dan tanggung jawab. Menurut Malinowski dalam Cahyani (2004 : 2) juga mengatakan organisasi sebagai suatu kelompok orang yang bersatu dalam tugas-tugas, terikat pada lingkungan tertentu, menggunakan alat teknologi dan patuh pada peraturan.

Menurut Sobirin (2007 : 7) organisasi adalah sebagai unit sosial atau entitas yang didirikan oleh manusia untuk jangka waktu yang relative lama, beranggotakan sekelompok manusia-manusia minimal dua orang, mempunyai kegiatan yang terkoordinir, teratur dan terstruktur, didirikan untuk mencapai tujuan tertentu dan mempunyai identitas diri yang membedakan satu entitas dengan entitas lainnya.

Menurut Rivai dalam Kartono (2003 : 188) organisasi merupakan wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri. Organsasi merupakan suatu unit terkoordinasi yang terdiri dari dua orang atau lebih berfungsi mencapai suatu sasaran tertentu. Sedangkan menurut J. Bernard dalam Tika (2006 : 3) organisasi adalah kerja sama dua orang atau lebih, suatu sistem dari aktivitas-aktivitas atau kekuatan-kekuatan perorangan yang dikoordinasikan secara sadar.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi adalah suatu kelompok yang menghimpun anggota-anggota yang memiliki satu tujuan tertentu dan bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan dimana dalam kelompok tersebut memiliki struktur yang memuat unit-unit kerja sebagai pengelompokan tugas-tugas atau pekerjaan sejenis dari yang mudah hingga yang terberat dimana setiap unit memiliki volume dan beban kerja yang harus diwujudkan

(4)

guna mencapai tujuan organisasi. Dalam pencapaian tujuan tersebut dibutuhkan koordinasi dalam pelaksanaan kerjasama yang berdasarkan prosedur yang telah diatur secara formal.

2.1.3. Pengertian Budaya Organisasi

Victor S.L Tan dalam Tunggal (2007 : 2) , budaya organisasi merupakan suatu norma yang terdiri dari suatu keyakinan, sikap, core value, dan pola perilaku yang dilakukan orang dalam organisasi. Keyakinan adalahh semua asumsi dan persepsi tentang sesuatu, orang dan organisasi secara keseluruhan, dan diterima sebagai sesuatu yang benar dan sah.

Menurut Davis dalam Lako (2004 : 29) budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mangkunegara (2005: 113) yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan internal. Menurut Robbins dalam Tampubolon (2004) bahwa budaya organisasi merupakan perekat sosial yang mengikat anggota-anggota organisasi secara bersama-sama melalui nilai-nilai, norma-norma standar yang jelas tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan dan dikatakan oleh anggotanya.

Scein dalam Stoner (1995) budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok

(5)

tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut.

Pendapat Scein diatas diperkuat oleh Drucker (dalam Tika, 2006: 4) yang menyatakan budaya organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan ddan merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti diatas. Dari beberapa pendapat ahli diatas bisa disimpulkan bahwa Budaya Organisasi adalah seperangkat asumsi atau keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggota untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.

2.1.4. Model Kultur Organisasi

Banyak fenomena yang berkaitan atau mencerminkan suatu kultur, akan tetapi tidak seluruh fenomena tersebut dapat dikatakan suatu kultur dan menurut Edgar H. Schein perlu ditambahkan dua syarat agar sesuatu itu dapat disebut kultur, yaitu stabilitas struktural bahwa “sesuatu” itu tidak semata-mata dimiliki bersama oleh para anggota, melainkan juga tertanam secara mendalam serta stabil dalam struktur dan perilaku mereka; adanya pola atau integrasi bahwa unsur-unsur tersebut

(6)

termuat dalam suatu paradigma atau gestalt yang terdapat pada level yang lebih dalam dan mengikat semua itu menjadi satu kesatuan.

Mengingat luasnya fenomena yang tercakup di dalamnya maka untuk memahami kultur, Schein (1992) menyederhanakan menjadi tiga lapisan berdasarkan tingkat “kedalamannya”, yaitu artifak yang meliputi elemen-elemen yang paling kasat mata dan berada pada lapis terluar; nilai-nilai yang sifatnya lebih abstrak, tetapi masih berada dalam ruang lingkup kesadaran pelaku; dan asumsi-asumsi kultural atau basic assumption yang bersifat kelaziman atau taken for granted dan sering kali berada di luar kesadaran pelaku.

Ketika diterapkan pada organisasi, pada lapisan terluar, artifak, terdapat struktur dan proses-proses organisasional yang dapat diamati secara langsung oleh peneliti. Perlu diingat bahwa karakteristik artifak adalah hard to dechiper atau sulit ditafsirkan oleh pengamat luar. Dalam mengungkapnya dibutuhkan waktu yang cukup dengan orang-orang di dalam organisasi tersebut, atau jalan yang lebih singkat adalah menganalisis melalui nilai-nilai ideal (espoused value), norma-norma, dan aturan-aturan yang berlaku dalam kegiatan sehari-hari organisasi.

Pada lapisan terdalam jika peneliti menggali lebih lanjut akan ditemukan keyakinan, persepsi, pemikiran, dan perasaan yang sifatnya taken for granted atau selalu dianggap benar oleh para pelaku, serta merupakan sumber dari nilai-nilai dan perilaku para anggota organisasi. Inilah yang dimaksud dengan asumsi-asumsi kultural yang merupakan dasar terdalam dari kultur sebuah organisasi. Menurut Schein, asumsi-asumsi inilah yang paling penting untuk ditemukan oleh seorang

(7)

peneliti. Jika asumsi-asumsi ini dipahami, maka kedua level lainnya akan dapat dijelaskan lebih mudah (1992:6).

a. Asumsi-asumsi Kultural, hubungan antara asumsi-asumsi kultural dengan individu-individu yang menjadi anggota organisasi dapat dibayangkan seperti ikan dengan air (Hatch, 1997: 210), seekor ikan menerima keberadaan air sebagai suatu “kebenaran” yang tidak perlu dipertanyakan lagi, bahkan sering kali tidak disadari. Para anggota organisasi, sebagai pelaku dalam kultur, menganggap bahwa apa yang dilakukan di dalam organisasi sebagai “the way we do things around here” (Michela dan Burke, 2000: 229), atau sudah sewajarnya dilakukan. Selain itu, yang harus dicatat bahwa kultur bukanlah asumsi atau keyakinan yang bersifat tunggal, tetapi seperangkat asumsi atau keyakinan yang saling berhubungan (tetapi tidak harus konsisten satu sama lain).

b. Nilai-nilai, nilai dapat dikelompokkan dalam dua level: individu dan kelompok. Nilai dalam konteks individu adalah wilayah kajian filsafat, etika, atau psikologi. Sementara itu, nilai yang menyangkut kelompok adalah cakupan dari sosiologi, ekonomi, politik, dan lain-lain bidang ilmu yang berkaitan dengan kemasyarakatan.

Pembahasan tentang nilai umumnya pada level kelompok karena kultur bagaimanapun adalah suatu fenomena kelompok. Namun, konteks nilai pada level individu tetap dibahas karena pengertian nilai yang paling mendasar sesungguhnya berada pada level ini. Nilai merupakan acuan bertindak, bersikap, dan berpikir seorang individu walaupun sumber dari nilai-nilai sebagian besar barangkali terletak pada level kelompok. Oleh karena itu, dalam konteks kultur, Mary Jo Hatch

(8)

mendefinisikan nilai sebagai prinsip-prinsip, tujuan-tujuan, dan standar-standar sosial yang berlaku di dalam suatu kultur dan dianggap memiliki nilai intrinsik (1997:214). Jika diterapkan dalam organisasi, maka nilai-nilai adalah sesuatu yang paling diperhatikan dan didahulukan oleh organisasi tersebut dalam setiap aktivitasnya baik itu berupa kebebasan, demokrasi, tradisi, kesejahteraan, maupun loyalitas.

Berdasarkan kajian terhadap definisi yang ada, Kilmann (1981) menemukan bahwa pengertian umum yang dapat ditangkap dari definisi mengenai nilai meliputi objek-objek, kualitas-kualitas, standar-standar, atau kondisi-kondisi yang memuaskan atau dianggap dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia dan/atau menjadi pedoman dalam bertindak (Stackman dkk, 2000:38).

Sementara itu, Vijay Sathe (1985) mendefinisikan nilai sebagai asumsi dasar atau basic assumption tentang “what ideals are desirable or worth striving for”. Dengan kata lain, nilai menyangkut tentang ideal-ideal yang diinginkan atau layak diperjuangkan. Dalam definisi yang lain, Hofstede (1980:19), bahwa nilai adalah “a broad tendency to prefer certain state of affairs over others.” Setiap individu atau kelompok memiliki kecenderungan (preferensi) terhadap apa yang dianggap penting (nilai kebutuhan pragmatis), baik (nilai moral) atau benar (nilai pengetahuan).

Pokok permasalahan lain yang cukup penting dan sering dibicarakan oleh ahli-ahli kultur organisasi dalam kaitannya dengan nilai-nilai adalah transformasi atau perubahan nilai-nilai. Hal ini berguna sekali jika kita membahas dinamika nilai, misalnya pada kasus perubahan kultur organisasi. Manajemen perubahan kultur selalu dilakukan dengan prinsip dasar ini. Rokeach (1973) memberikan sebuah teori bahwa

(9)

perubahan nilai-nilai umumnya dilakukan dengan menghadapkan individu pada informasi, umpan balik, atau interpretasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakininya (prinsip self confronting).

c. Artifak, merupakan unsur terakhir yang menjadi fokus perhatian dalam melakukan penelitian kultur organsasi dan sekaligus aspek penting yang sering kali mendapat penekanan khusus dalam penelitian kultur terutama yang menggunakan pendekatan simbolik-interpretif. Di satu sisi, kultur organisasi hanya dapat disimpulkan dari pengamatan terhadap artifak-artifak yang kelihatan. Namun di sisi lain, makna kultural yang sesungguhnya dari artifak-artifak tersebut tidak mudah diungkap. Hal ini membutuhkan keterlibatan yang mendalam dan waktu yang cukup panjang, sebelum seorang peneliti mampu menangkap makna-makna simbolik yang diberikan anggota kepada artifak yang ada.

Hacth (1997:216) membagi arrtifak menjadi tiga kelompok besar, yaitu 1. Manifestasi fisik contohnya: seni, gaya bangunan, penampilan, objek material, tata letak fisik; 2. Perilaku contohnya: upacara/ritual, pola-pola komunikasi, tradisi/adat istiadat, ganjaran/hukuman; 3. Verbal contohnya: anekdot/joke, jargon/nama/julukan, penjelasan-penjelasan, kisah-kisah/mitos/sejarah, pahlawan/penjahat, metafor.

Menurut Daft (1997: 323), beberapa aspek kultural penting yang teramati dan bersifat khas dari sebuah organisasi adalah ritus (rites) dan upacara, kisah (stories), symbol-simbol dan bahasa. Hal yang lebih kurang sama dikatakan oleh Dandridge dkk (1980: 77), bahwa unsur-unsur yang mencirikan karakter, ideologi, dan sistem

(10)

nilai pada sebuah organisasi adalah kisah-kisah (stories), mitos, upacara, ritual, logo, anekdot, dan lelucon (jokes).

Schein (1992: 245-252) memberikan keterangan yang agak berbeda tentang fungsi dan pengaruh artifak, khususnya artifak yang termasuk dalam kelompok artifak fisik dan verbal. Pengamatan terhadap artifak fisik dan verbal adalah kelompok artifak mekanisme sekunder jika dilakukan pada organisasi yang sudah mapan tidak serta-merta akan menjelaskan kultur yang berlaku. Mekanisme sekunder dapat digunakan untuk menjelaskan kultur dengan baik hanya pada kasus-kasus dimana mekanisme sekunder ini konsisten dengan mekanisme primer. Jika tidak, artifak yang termasuk dalam mekanisme sekunder tidak memiliki makna kultural yang konsisten dengan kultur yang berlaku (artinya diabaikan oleh para anggota atau menjadi sumber konflik intern). Hal ini dapat mengelabui pengamat dari luar yang tidak mengetahui secara mendalam latar belakang dan sejarah organisasi tersebut.

Dalam pengertian ini, Schein menggaris-bawahi bahwa artifak (khususnya bentuk fisik dan verbal) tidak memiliki makna kultural yang berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan perilaku pendiri organisasi pada awal pertumbuhan dan perkembangan organisasi tersebut. Ketika organisasi telah mapan, artifak ini memberikan makna kultural tertentu kepada para anggota, tetapi dengan syarat bahwa hal itu konsisten dengan mekanisme primer yang telah terbentuk dalam sejarah organisasi. Dengan kata lain, artifak-artifak dalam kultur sebuah organisasi biasanya memiliki makna kultural yang konsisten jika kultur organisasi tersebut tergolong kultur yang kuat.

(11)

Penjelasan Schein ini memperkuat gambaran bahwa artifak bukanlah unsur yang mudah ditafsirkan dalam ssebuah organisasi. Pemahaman terhadap artifak mempersyaratkan pula pemahaman terhadap latar belakang dan sejarah organisasi, khususnya bagaimana para pendirinya membangun dan menanamkan nilai-nilai tertentu kepada anggotanya.

2.1.5. Elemen Budaya Organisasi

Beberapa ahli mengemukakan elemen budaya organisasi, seperti Denison (1990) antara lain : nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar, dan praktek-praktek manajemen serta perilaku. Serta Schein (1992) yaitu : pola asumsi dasar bersama, nilai dan cara untuk melihat, berfikir dan merasakan, dan artefak.

Terlepas dari adanya perbedaan seberapa banyak elemen budaya organisasi dari setiap ahli, secara umum elemen budaya organisasi terdiri dari dua elemen pokok yaitu elemen yang bersifat idealistik dan elemen yang bersifat perilaku.

1. Elemen Idealistik

Elemen idealistik umumnya tidak tertulis, bagi organisasi yang masih kecil melekat pada diri pemilik dalam bentuk doktrin, falsafah hidup, atau nilai-niali individual pendiri atau pemilik organisasi dan menjadi pedoman untuk menentukan arah tujuan menjalankan kehidupan sehari-hari organisasi. Elemen idealistik ini biasanya dinyatakan secara formal dalam bentuk pernyataan visi atau misi organisasi, tujuannya tidak lain agar ideologi organisasi tetap lestari.

Schein (1992) dan Rosseau (1990) mengatakan elemen idealistik tidak hanya terdiri dari nilai-nilai organisasi tetapi masih ada komponen yang lebih esensial yakni

(12)

asumsi dasar yang bersifat diterima apa adanya dan dilakukan diluar kesadaran, asumsi dasar tidak pernah dipersoalkan atau diperdebatkan keabsahanya.

2. Elemen Behavioural

Elemen bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul kepermukaan dalam bentuk perilaku sehari-sehari para anggotanya, logo atau jargon, cara berkomunikasi, cara berpakaian, atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi dan bentuk-bentuk lain seperti desain dan arsitektur instansi. Bagi orang luar organisasi, elemen ini sering dianggap sebagai representasi dari budaya sebuah organisasi sebab elemen ini mudah diamati, dipahami dan diinterpretasikan, meski interpretasinya kadang-kadang tidak sama dengan interpretasi orang-orang yang terlibat langsung dalam organisasi.

2.1.6. Budaya Organisasi yang Kuat

Deal dan Kennedy (1982) dalam bukunya Corporate Culture mengemukakan bahwa ciri-ciri organisasi yang memiliki budaya organisasi kuat sebagai berikut:

a. Anggota-anggota organisasi loyal kepada organisasi, tahu dan jelas apa tujuan organisasi serta mengerti perilaku mana yang dipandang baik dan tidak baik. b. Pedoman bertingkah laku bagi orang-orang di dalam instansi digariskan

dengan jelas, dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan oleh orang-orang di dalam instansi sehingga orang-orang yang bekerja menjadi sangat kohesif. c. Nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya berhenti pada slogan, tetapi

(13)

orang-orang yang bekerja dalam instansi, dari mereka yang berpangkat paling rendah sampai pada pimpinan tertinggi.

d. Organisasi/instansi memberikan tempat khusus kepada pahlawan-pahlawan instansi dan secara sistematis menciptakan bermacam-macam tingkat pahlawan, misalnya, pemberi saran terbaik, inovator tahun ini, dan sebagainya.

e. Dijumpai banyak ritual, mulai yang sangat sederhana sampai dengan ritual yang mewah. Pemimpin organisasi selalu mengalokasikan waktunya untuk menghadiri acara-acara ritual ini.

f. Memiliki jaringan kulturul yang menampung cerita-cerita kehebatan para pahlawannya.

2.1.7. Fungsi Budaya Organisasi

Stephen P. Robbins dalam bukunya Organizational Behavior membagi lima fungsi budaya organisasi, sebagai berikut:

a. Berperan menetapkan batasan.

b. Mengantarkan suatu perasaan identitas bagi anggota organisasi.

c. Mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari pada kepentingan individual seseorang.

d. Meningkatkan stabilitas sistem sosial karena merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi.

e. Sebagai mekanisme kontrol dan menjadi rasional yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.

(14)

2.1.8. Karakteristik Budaya Organisasi

Menurut Robbins dalam Tika, (2006) terdapat beberapa karakteristik yang apabila dicampur dan dicocokkan maka akan menjadi budaya internal yaitu :

1. Inisiatif individu yaitu sejauh mana organisasi memberikan kebebasan kepada setiap pegawai dalam mengemukakan pendapat atau ide-ide yang di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi.

2. Toleransi terhadap tindakan beresiko yaitu sejauh mana pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif dan mengambil resiko dalam mengambil kesempatan yang dapat memajukan dan mengembangkan organisasi. Tindakan yang beresiko yang dimaksudkan adalah segala akibat yang timbul dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh pegawai.

3. Pengarahan yaitu sejauh mana pimpinan suatu organisasi dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan, sehingga para pegawai dapat memahaminya dan segala kegiatan yang dilakukan para pegawai mengarah pada pencapaian tujuan organisasi. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi dan misi. 4. Integrasi yaitu sejauh mana suatu organisasi dapat mendorong

(15)

Handoko (2003 : 195) koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan- tujuan dan kegiatan-kegiatan pada unit-unit yang terpisah (departemen atau bidang - bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan. 5. Dukungan manajemen yaitu sejauhmana para pimpinan organisasi dapat

memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap pegawai. Dukungan tersebut dapat berupa adanya upaya pengembangan kemampuan para pegawai seperti mengadakan pelatihan.

6. Kontrol yaitu adanya pengawasan dari para pimpinan terhadap para pegawai dengan menggunakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan demi kelancaran organisasi. Pengawasan menurut Handoko (2003: 360) dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi tercapai.

7. Identitas dimaksudkan untuk sejauh mana para anggota suatu organisasi atau perusahaan dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai suatu kesatuan dalam perusahaan dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian professional tertentu.

8. Sistem imbalan yaitu sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya.

9. Toleransi terhadap konflik yaitu sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka guna memajukan organisasi, dan bagaimana pula tanggapan organisasi terhadap konflik tersebut.

(16)

10. Pola komunikasi yaitu sejauh mana komunikasi dalam organisasi yang dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal dapat berjalan baik. Menurut Handoko (2003: 272) komunikasi itu sendiri merupakan proses pemindahan pengertian atau informasi dari seseorang ke orang lain. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat memenuhi kebutuhan sasarannya, sehingga akhirnya dapat memberikan hasil yang lebih efektif.

2.2. Kinerja Pegawai 2.2.1. Pengertian Kinerja

1. Menurut Rivai (2005) Kinerja merupakan hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target/sasaran atau kriteria yang telah disepakati bersama.

2. Menurut Mangkunegara (2001) Hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan penampilan kerja oleh pegawai di tempat kerjanya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

2.2.2. Pengertian Kinerja Pegawai

Kinerja pegawai adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja baik untuk individu maupun kelompok menjadi pusat perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi,

(17)

seperti yang diungkapkan oleh Mathis & Jackson (2002). 2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Anwar P. Mangkunegara (2001), terdapat dua faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai yaitu :

1. Faktor Individu.

Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi.

2. Faktor Lingkungan Organisasi.

Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai kinerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, otoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi yang efektif, hubungan kerja yang harmonis, iklim kerja yang respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai.

Menurut Mathis dan Jakson (2001), Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu:

a. Kemampuan mereka. b. Motivasi.

(18)

c. Dukungan yang diterima.

d. Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan. e. Hubungan mereka dengan organisasi.

2.2.4. Unsur-unsur Penilaian Pegawai

Menurut Hasibuan (2002: 56), kinerja pegawai dapat dikatakan baik atau dapat dinilai dari beberapa hal, yaitu :

1. Kesetiaan.

Kinerja dapat diukur dari kesetiaan pegawai terhadap tugas dan tanggung jawabnya dalam organisasi. Menurut Syuhadhak (1994: 76) kesetiaan adalah tekad dan kesanggupan, menaati, melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

2. Prestasi Kerja.

Hasil prestasi kerja pegawai, baik kualitas maupun kuantitas dapat menjadi tolak ukur kinerja. Pada umumnya prestasi kerja seorang pegawai dipengaruhi oleh kecakapan, keterampilan, pengalaman, dan kesanggupan pegawai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

3. Kedisiplinan.

Sejauh mana pegawai dapat mematuhi peraturan-peraturan yang ada dan melaksanakan instruksi yang diberikan kepadanya.

4. Kreatifitas.

Merupakan kemampuan pegawai dalam mengembangkan kreatifitas dan mengeluarkan potensi yang dimiliki dalam menyelesaikan pekerjaannya

(19)

sehingga bekerja lebih berdaya guna dan berhasil guna. 5. Kerjasama.

Dalam hal ini kerjasama diukur dari kemampuan pegawai untuk bekerja sama dengan pegawai lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan, sehingga hasil pekerjaannya akan semakin baik.

6. Kecakapan.

Dapat diukur dari tingkat pendidikan pegawai yang disesuaikan dengan pekerjaan yang menjadi tugasnya.

7. Tanggung jawab.

Yaitu kesanggupan seorang pegawai menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul resiko pekerjaan yang dilakukan.

Menurut Wibowo (2012: 235), banyak faktor yang dapat dijadikan ukuran kinerja, namun ukuran kinerja harus relevan, signifikan, dan komprehensif. Keluarga ukuran berkaitan dengan tipe ukuran yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Produktivitas.

Biasanya dinyatakan sebagai hubungan antara input dan output suatu proses. Oleh karena itu, produktifitas merupakan hubungan antara jumlah output dibandingkan dengan sumber daya yang dikonsumsi dalam memproduksi output. 2. Kualitas.

Kualitas biasanya termasuk baik ukuran internal seperti susut, jumlah ditolak, dan cacat per unit, maupun ukuran eksternal rating seperti kepuasan pelanggan atau

(20)

penilaian frekuensi pemesanan ulang pelanggan. 3. Ketepatan Waktu

Ketepatan waktu menyangkut persentase pengiriman tepat waktu atau persentase pesanan dikapalkan sesuai dijanjikan. Pada dasarnya, ukuran ketepatan waktu mengukur apakah orang melakukan apa yang dikatakan akan dilakukan.

4. Cycle Time

Cycle time menunjukkan jumlah waktu yang diperlukan untuk maju dari satu titik ke titik lain dalam proses. Pengukuran cycle time mengukur berapa lama sesuatu dilakukan.

5. Pemanfaatan Sumber Daya.

Merupakan sumber daya yang dipergunakan lawan sumber daya tersedia untuk dipergunakan. Pemanfaatan sumber daya dapat diterapkan untuk mesin, komputer, kendaraan, dan bahkan orang. Tingkat pemanfaatan sumber daya tenaga kerja 40% mengindikasikan bahwa sumber daya manusia baru dipergunakan secara produktif sebesar 40% dari waktu mereka yang tersedia untuk bekerja, hal ini berarti organisasi tidak memerlukan lebih banyak sumber daya.

6. Biaya.

Ukuran biaya terutama berguna apabila dilakukan kalkulasidalam dasar per unit. Namun, banyak perusahaan hanya mempunyai sedikit informasitentang biaya per unit. Pada umumnya dilakukan kalkulasi biaya secara menyeluruh.

(21)

2.3. Pengertian & Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia 2.3.1. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia menurut Husein Umar (2005:3) yaitu: “Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan bagian dari manajemen keorganisasian yang memfokuskan diri pada unsur sumber daya manusia, yang bertugas mengelola unsur manusia secara baik agar diperoleh tenaga kerja yang puas akan pekerjaannya”.

Berdasarkan pengertian di atas, jelas bahwa manajemen secara garis besar menitikberatkan pada aspek manusia dalam hubungan kerja dengan tidak melupakan faktor lainnya. Sedangkan, Manajemen Sumber Daya Manusia menitikberatkan pada bagaimana mengelola pegawai sebagai aset utama organisasi instansi karena keberhasilan organisasi instansi tergantung dari kinerja efektif dari pegawai itu sendiri.

2.3.2. Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia

Dalam menjalankan pekerjaan seharusnya organisasi memperhatikan fungsi-fungsi manajemen dan fungsi-fungsi operasional seperti yang dikemukakan oleh Flippo Edwin B. (Flippo, 1996:5-7). Menurutnya, fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia ada dua, yakni:

a. Fungsi manajemen Fungsi ini terdiri dari: 1. Perencanaan (Planning)

(22)

akan mendukung pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh instansi. 2. Pengorganisasian (Organizing)

Organisasi dibentuk dengan merancang struktur hubungan yang mengaitkan antara pekerjaan, pegawai, dan faktor-faktor fisik sehingga dapat terjalin kerjasama satu dengan yang lainnya.

3. Pengarahan (Directing)

Pengarahan terdiri dari fungsi staffing dan leading. Fungsi staffing adalah menempatkan orang-orang dalam struktur organisasi, sedangkan fungsi leading dilakukan pengarahan sdm agar pegawai bekerja sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

4. Pengawasan (Controlling)

Adanya fungsi manajerial yang mengatur aktivitas-aktivitas agar sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan organisasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, bila terjadi penyimpangan dapat diketahui dan segera dilakukan perbaikan.

b. Fungsi Operasional

Fungsi Operasional dalam sdm merupakan segala bentuk usaha/aktivitas dalam pengelolaan sdm guna pencapaian tujuan perusahaan.

Fungsi ini terdiri dari: 1. Pengadaan (Procurement)

Usaha untuk memperoleh sejumlah tenaga kerja yang dibutuhkan instansi, terutama yang berhubungan dengan penentuan kebutuhan tenaga kerja,

(23)

penarikan, seleksi, orientasi dan penempatan 2. Pengembangan (Development)

Usaha untuk meningkatkan keahlian pegawai melalui program pendidikan dan latihan yang tepat agar pegawai dapat melakukan tugasnya dengan baik.

3. Kompensasi (Compensation)

Fungsi kompensasi diartikan sebagai usaha untuk memberikan balas jasa atau imbalan yang memadai kepada pegawai sesuai dengan kontribusi yang telah disumbangkan kepada instansi atau organisasi.

4. Integrasi (Integration).

Merupakan usaha untuk menyelaraskan kepentingan individu, organisasi, instansi, maupun masyarakat. Oleh sebab itu harus dipahami sikap prinsip-prinsip pegawai. 5. Pemeliharaan (Maintenance)

Setelah keempat fungsi dijalankan dengan baik, maka diharapkan organisasi atau perusahaan mendapat pegawai yang baik. Maka fungsi pemeliharaan adalah dengan memelihara sikap-sikap pegawai yang menguntungkan instansi.

6. Pemutusan Hubungan Kerja (Separation)

Usaha terakhir dari fungsi operasional ini adalah tanggung jawab instansi untuk mengembalikan pegawainya ke lingkungan masyarakat dalam keadaan sebaik mungkin, bila organisasi atau instansi mengadakan pemutusan hubungan kerja.

(24)

2.4. Hubungan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai

Kotter dan Heskett (1997) mengatakan bahwa budaya yang kuat dapat menghasilkan efek yang sangat mempengaruhi individu dan kinerja, bahkan dalam suatu lingkungan bersaing pengaruh tersebut dapat lebih besar daripada faktor- faktor lain seperti struktur organisasi, alat analisis keuangan, kepemimpinan dan lain –lain. Budaya organisasi yang mudah menyesuaikan dengan perubahan jaman (adaptif) adalah yang dapat meningkatkan kinerja.

Budaya organisasi yang kuat akan membantu organisasi dalam memberikan kepastian kepada seluruh pegawai untuk berkembang bersama, tumbuh dan berkembangnya instansi. Pemahaman tentang budaya organisasi perlu ditanamkan sejak dini kepada pegawai. Bila pada waktu permulaan masuk kerja, mereka masuk ke instansi dengan berbagai karakteristik dan harapan yang berbeda – beda, maka melalui training, orientasi dan penyesuaian diri, pegawai akan menyerap budaya organisasi yang kemudian akan berkembang menjadi budaya kelompok, dan akhirnya diserap sebagai budaya pribadi. Bila proses internalisasi budaya organisasi menjadi budaya pribadi telah berhasil, maka pegawai akan merasa identik dengan instansinya, merasa menyatu dan tidak ada halangan untuk mencapai kinerja yang optimal. Ini adalah kondisi yang saling menguntungkan, baik bagi instansi maupun pegawai.

2.5. Landasan Teori

Budaya Organisasi meliputi inisiatif individu, toleransi terhadap tindakan beresiko, pengarahan, integrasi, dukungan manajemen, kontrol, identitas, sistem

(25)

imbalan, toleransi terhadap konflik, pola komunikasi. Dari variabel budaya organisasi, peneliti mengambil sepuluh variabel untuk diteliti lebih lanjut karena berdasarkan hasil survei pendahuluan peneliti diindikasikan berpengaruh terhadap kinerja karyawan kantor PT. PLN (Persero) Wialyah Sumatera Utara.

Teori kinerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari Wibowo (2012: 235), banyak faktor yang dapat dijadikan ukuran kinerja, namun ukuran kinerja harus relevan, signifikan, dan komprehensif. Keluarga ukuran berkaitan dengan tipe ukuran yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) produktivitas, merupakan hubungan antara jumlah output dibandingkan dengan sumber daya yang dikonsumsi dalam memproduksi output, (2) kualitas, biasanya termasuk baik ukuran internal seperti susut, jumlah ditolak, dan cacat per unit, maupun ukuran eksternal rating seperti kepuasan pelanggan atau penilaian frekuensi pemesanan ulang pelanggan, (3) ketepatan waktu, pada dasarnya ukuran ketepatan waktu mengukur apakah orang melakukan apa yang dikatakan akan dilakukan, (4) cycle Time, menunjukkan jumlah waktu yang diperlukan untuk maju dari satu titik ke titik lain dalam proses. Pengukuran cycle time mengukur berapa lama sesuatu dilakukan, (5) pemanfaatan sumber daya, merupakan sumber daya yang dipergunakan lawan sumber daya tersedia untuk dipergunakan. Pemanfaatan sumber daya dapat diterapkan untuk mesin, komputer, kendaraan, dan bahkan orang, (6) biaya, terutama berguna apabila dilakukan kalkulasi dalam dasar per unit., pada umumnya perusahaan melakukan kalkulasi biaya secara menyeluruh.

(26)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori kinerja dari Wibowo (2012: 235) sebagai teori utama yang digunakan untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja karyawan kantor PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Medan.

2.6. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmojo, 2002). Berdasarkan kerangka teori yang ada, maka kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian. Budaya Organisasi :

Inisiatif individual.

Toleransi terhadap tindakan beresiko. Pengarahan. Integrasi. Dukungan manajemen. Kontrol. Identitas. Sistem imbalan.

Toleransi terhadap konflik. Pola komunikasi.

Referensi

Dokumen terkait

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Citra digital yang dibandingkan memiliki format true color image; (2) Algoritma shingling digunakan untuk

Suatu tempat jang sangat berlainan dengan Jerusalem sekarang ini jang di kaget oleh bom tetapi djuga tempat dimana Jesus akan mati.. Perdjalanan jang di tundjuk oleh Roh itulah

Pengenceran Larutan Standar M1 = Konsentrasi larutan induk (ppm) V1 = Volume larutan induk (ml).. M2 = Konsentrasi larutan yang diencerkan (ppm) V2 = Volume larutan yang

Walaupun tidak semua lelaki melayu mempunyai sikap seumpama itu kajian ini akan cuba merungkai permasalahan berkenaan dan membuktikan bahawa lelaki melayu

Kemampuan membaca cepat merupakan keterampilan memilih isi bacaan yang harus dibaca sesuai dengan tujuan, yang ada relevansinya dengan pembaca tanpa membuang-buang

Sedangkan jika diberikan dalam bentuk HLS (diekstrak), tidak ada perbedaan pengaruh terhadap hasil biomassa di antara keempat bahan yang digunakan, meskipun demikian

PEMERINTAH KABUPATEN NGAWI PEMERINTAH KABUPATEN NGAWI DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Jalan Teuku Umar No... KERANGKA ACUAN KERJA (KAK)

Keempat tentang alur proses pengiriman / rujukan pecandu narkoba dari Kabupaten Bulungan ke Balai Besar Rehabilitasi LIDO Badan Narkotika Nasional dan ke Kabupaten Bulungan