• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Franchise - Penyebab Konflik Dalam Hubungan Kerjasama Pada Sistem Franchise di Simply Fresh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Franchise - Penyebab Konflik Dalam Hubungan Kerjasama Pada Sistem Franchise di Simply Fresh"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tinjauan Pustaka

2.1.1. Franchise

Kata Franchise berasal dari bahasa Prancis, yaitu “franchir”. Yang artinya

dibebaskan dari pemberian upeti, pajak. Namun seiring zaman, pengertian

franchise berubah menjadi pemberian izin dalam pemakaian nama atau merek

dagang. Franchise merupakan suatu bentuk strategi usaha yang bertujuan untuk

memperlebar jangkauan usaha dalam meningkatkan pangsa pasar dan penjualan.

Franchise merupakan sebuah perkawinan bisnis yang sudah ada (franchisor) dan

pendatang baru di dunia bisnis (franchisee). Dalam dunia bisnis, istilah franchise

atau waralaba adalah suatu pemberian sebuah lisensi oleh suatu pihak

(perseorangan atau perusahaan) sebagai pemberi franchise kepada pihak lain

sebagai penerima franchise untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang

atau nama dagangnya dengan menggunakan keseluruhan sistem bisnisnya.

2.1.2. Sejarah dan Perkembangan Franchise

Franchise pertama kali dimulai di Amerika oleh Singer Sewing Machine

Company, produsen mesin jahit Singer 1851. Pola itu kemudian diikuti oleh

perusahaan Otomotif General Motor Industry yang melakukan penjualan

kendaraan bermotor dengan menunjukkan distributor franchise pada tahun 1898.

Selanjutnya, diikuti pula oleh perusahaan – perusahaan soft drink di Amerika

(2)

waralaba dirintis oleh J Lycons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg pada

decade 60an.

Sampai pada tahun 1998, cara pendistribusian dengan waralaba diperkirakan

mencapai lebih dari 50% dari total penjualan eceran di Amerika Serikat dan

pertumbuhan waralaba sama berhasilnya di Negara – Negara maju lainnya seperti

: Kanada, Inggris, Jerman dan Jepang. Negara – Negara berkembang seperti

Meksiko, Indonesia dan Malaysia juga mendapatkan bahwa waralaba adalah cara

yang efektif untuk menciptakan bisnis baru dan meningkatkan kesempatan

lapangan kerja. Di Indonesia sendiri jumlah perusahaan waralaba tumbuh

mencapai 274% selama Sembilan tahun 2000 – 2009. (muharam-2002 rev 2010.

Waralaba terbukti survive)

Pada masa itu sebuah rantai toko makanan di Tiongkok menerapkan konsep

distribusi dengan sistem waralaba lisensi produk / merek. Waralaba telah dipilih

sebagai cara menjalankan usaha oleh lebih dari 2500 perusahaan di Amerika

Serikat, karena terbukti memiliki peluang keberhasilan lebih tinggi dibandingkan

format bisnis biasa. Sebagai perbandingan, format bisnis biasa memiliki peluang

sukses 35-45%, sedangkan peluang sukses perusahaan waralaba mencapai

85-90%. Sementara orang berfikir bahwa waralaba hanya terbatas pada industri

makanan siap saji, kenyataanya menunjukan bahwa semua jenis bisnis yang

mungkin ada, dapat diwaralabakan. Misalnya hotel, properti, rumah sakit,

kursus, binatu, foto studio, minimart, spa, salon, bengkel, apotik, kantor pos,

laundry, warnet dapat dikembangkan dengan format waralaba.

Yang menarik adalah kesuksesan waralaba untuk tetap tumbuh selama krisis

moneter di Indonesia. Pada periode 1996 – 1999, usaha waralaba di Indonesia

(3)

bawah 3% (peluang, juni 2000). Sebagian besar pertumbuhan ini diakibatkan

oleh pertumbuhan waralaban lokal.

(sumber: http://frommarketing.blogspot.com/search/label/marketing)

Pelajaran yang dapat diambil dari krisis moneter adalah, waralaba lokal

ternyata mampu mengungguli pertumbuhan waralaba asing. Selisih kurs yang

demikian besar antara rupiah dengan dollar, mengakibatkan waralaba lokal

memiliki keunggulan kompetitif yang lebih baik untuk dikembangkan pada saat

itu. Sebagai gambaran untuk membuka sebuah mini market Indomaret

dibutuhkan investasi 300 -750 juta rupiah, bandingkan jika membeli hak

waralaba Disc Go Round dari Amerika, investasi yang dibutuhkan sekitar 1,1 –

1,3 miliar rupiah. Bayangkan jika kita membeli hak waralaba dari merek yang

lebih terkenal misalnya McDonald’s yang biaya investasinya bisa mencapai

423.000 – 651.000 USD (sumber :Franchise Opportunities Guide, IFA, 1996).

2.1.3. Franchise di Indonesia

Di Indonesia franchise dikenal sejak era 70-an ketika masuknya Shakey Pisa,

KFC, Swensen dan Burger King. Perkembanganya terlihat sangat pesat dimulai

sekitar 1995. Data Deperindag pada 1997 mencatat sekitar 259 perusahaan

penerima waralaba di Indonesia. Setelah itu, usaha franchise mengalami

kemerosotan karena terjadi krisis moneter. Para penerima waralaba asing

terpaksa menutup usahanya karena nilai rupiah yang terperosok sangat dalam.

Hingga 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal

itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil, ditandai dengan

perseteruan para elit politik. Barulah pada 2003, usaha franchise di tanah air

(4)

2.1.4. Format Bisnis Franchise

Seperti yang dijelaskan pada penjelasan sebelumnya mengenai franchise

bahwa suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan (franchisor) memberi

hak pada pihak independen (franschisee) untuk menjual produk atau jasa

perusahaan tersebut dengan peraturan yang ditetapkan oleh franchisor.

Franchisee menggunakan nama, goodwill, produk dan jasa, prosedur pemasaran,

keahlian, sistem prosedur operasional dan fasilitas penunjang dari perusahaan

franchisor. Sebagai imbalannya franchisee membayar initial fee dan royalti

(biaya pelayanan manajemen) pada perusahaan franchisor seperti yang diatur

dalam perjanjian franchise. Sebuah paket franchise yang baik, mampu membuat

seseorang yang tepat bisa mengoperasikan sebuah bisnis dengan berhasil, bahkan

tanpa pengetahuan sebelumnya tentang bisnis tersebut.

Franchise digambarkan sebagai perpaduan bisnis “besar” dan “kecil”, yaitu

perpaduan antara energi dan komitmen individual dengan sumber daya dan

kekuatan sebuah perusahaan besar. Franchise merupakan pilihan untuk

ber-wirausaha dan ber-ekspansi dengan resiko paling kecil. Secara umum franchise

merupakan alternatif jalan keluar yang relatif aman. (Muharam 2003).

2.1.5. Kriteria Franchise

Dalam PP No. 42 Tahun 2007 disebutkan bahwa “Waralaba atau franchise

harus memenuhi 6 (enam) kriteria, yakni :

1. Memiliki Ciri Khas Usaha

Yang dimaksud dengan ciri khas adalah suatu usaha yang memiliki

keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan

(5)

Misalnya, sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, atau

penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari

pemberi waralaba.

2. Terbukti Sudah Memberikan Keuntungan

Yang dimaksud dengan sudah memberikan keuntungan adalah

menunjuk kepada pemberi waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5

(lima) tahun dan telah mempunyai kiat – kiat bisnis untuk mengatasi

masalah – masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan

masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan

menguntungkan.

3. Memiliki Standart Atas Pelayanan Barang dan Jasa yang Ditawarkan yang Dibuat Secara Tertulis

Yang dimaksud disni adalah standar secara tertulis supaya penerima

waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan

sama ( standar operasional kerja).

4. Mudah Diajarkan dan Diaplikasian.

Yang dimaksud dengan mudah diajarkan dan diaplikasikan adalah

mudah dilaksanakan sehingga penerima waralaba yang belum memiliki

pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis, dapat

melaksakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan

manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh penerima

(6)

5. Adanya Dukungan yang Berkesinambungan

Yang dimaksud dengan dukungan yang berkesinambungan adalah

dukungan dari pemberi waralaba secara terus menerus seperti bimbingan

operasional, pelatihan dan promosi

6. Hak dan Kekayaan Intelektual yang Telah Terdaftar

Yang dimaksud dengan hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar

adalah hak kekayaan intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek,

hak cipta, hak paten, rahasia dagang sudah didaftarkan dan mempunyai

setifikasi atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang

berwenang.

Selanjutnya, menurut sumber dari Majalah Franchise (Rudi, 2013), jika

dirinci, faktor yang membuat keberhasilan usaha waralaba bisa berhasil, yakni :

1. Repicable, atau dipublikasikan dengan baik, bergantung pada sistem,

bukan pada keterampilan individual

2. Controllable, yaitu kualitasnya dapat dikendalikan atau dijaga.

3. Sustainable, atau mampu bertahan di tengah perubahan atau

perkembangan persaingan di lapangan. Bukan suatu tren sesaat.

4. Marketable, atau produknya dapat dipasarkan alias ada sejumlah

pelanggan potensial, serta memiliki merek yang kuat.

5. Profitable, yang berarti memiliki tingkat keuntungan yang dapat dibagi

kepada pihak – pihak yang terlibat, yaitu franchisor dan franchisee.

2.2.Konflik dan Pengertiannya

Konflik berasal dari kata latin configure yang berarti saling memukul. Secara

sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa

(7)

menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Definisi lain dari konflik adalah

pergesekan atau friksi yang terekspresikan diantara dua pihak atau lebih, dimana masing

– masing mempersepsi adanya interfernsi dari pihak lain yang dianggap menghalangi

jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya akan terjadi bila, semua pihak yang terlibat

mencium adanya ketidaksepakatan. Para pakar ilmu perilaku organisasi, banyak

memberikan definisi tentang konflik. Robbins, salah seorang dari mereka merumuskan

konflik sebagai

“Sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mencapai tujuan yang diinginkan atau merealisasikan minatnya”.

Dengan demikian yang dimaksud dengan konflik menurut pakar di atas adalah proses

pertikaian yang terjadi, sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah

salah satu manifestasinya. Dua orang pakar dari Amerika Serikat yaitu Aconstantino

dan Sickles (1989) mengatakan dengan kata – kata yang lebih sederhana, bahwa konflik

pada dasarnya adalah: “sebuah proses mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan,

atau harapan – harapan yang tidak terealisasiakan”. Kedua penulis tersebut sepakat

dengan Robbins bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses. Konflik dapat

diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau

kelompok – kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan

sumber daya yang langka secara bersama – sama atau menjalankan kegiatan bersama –

sama dan atau karena mereka mempunyai status tujuan, nilai – nilai dan persepsi yang

berbeda.

Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi

(8)

maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka

mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka, konflik tersebut

telah menjadi kenyataan. Robbins (1993) juga menyatakan, bahwa konflik organisasi

sering terjadi tidak simetris, terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon

terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang

telah atau akan menyerang secara negatif.

Dalam pembahasan tentang konflik, yang menarik adalah beberapa ahli

mengungkapkan secara detail dan rinci mengenai definisinya saja. Jika dilihat dari suku

katanya, konflik hanya mempunyai suku kata saja. Akan tetapi, ketika dibahas secara

detail menjadi satu kesatuan kalimat yang sangat kompleks. Berikut penulis angkat

penjabaran secara detail oleh beberapa ahli yang dijadikan rujukan untuk materi

penelitian ini.

Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The

Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan

kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha

meminimalisasiakn konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain;

1. Pandangan Tradisional (The Traditional View)

Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang

negatif, merugikan dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah

violence, destruction dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil

difungsional akibat komunikasi buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan diantara

orang – orang dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan inspirasi

(9)

2. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relation View)

Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang

wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu

yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi

perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus

dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja

organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk

melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.

3. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View)

Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya

konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif , tenang, damai dan

serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif dan tidak inovatif. Oleh

karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat

minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut

tetap semangat, kritis – diri dan kreatif.

Kemudian konflik menurut Stonner dan Freeman (1989: 392) membagi konflik

menjadi dua bagian, yaitu:

1. Pandangan Tradisional (Traditional View)

Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini

disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan

optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus

(10)

dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak

manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.

2. Pandangan Modern

Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain

struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai dan sebagainya. Konflik

dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik,

manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta

kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.

Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami

berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers,

1993:234)

1. Pandangan Tradisional

Konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan

ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagi faktor penyebab

pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan

dengan kemarahan, agresivitas dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan

kata – kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan konflik yang

lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah

dihindari.

2. Pandangan Kontemporer

Mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu

yang tidak dapat dielakan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang

(11)

menanganinya secara tepat, sehingga tidak merusak hubungan antar pribadi bahkan

merusak tujuan organisasi. Konflik bukan dijadikan suat hal yang detruktif,

melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi

tersebut, misalnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.

Dari penjabaran mengenai pengertian konflik oleh para pakar yang sudah

dipaparkan, konflik memiliki persamaan yang mendasar. Bahwa konflik merupakan

suatu bentuk interaksi sosial ketika dua individu mempunyai kepentingan yang

berbeda dan kehilangan keharmonisan di antara mereka. Pada dasarnya, konflik

merupakan hal yang alamiah dan sering terjadi dalam kehidupan sehari – hari.

2.2.1. Penyebab Konflik

Sarjono Soekanto (2007), menyatakan penyebab konflik yaitu ;

1. Konflik menyangkut komunikasi. Komunikasi adalah hal yang

sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia.

Terutama ketika dalam suatu organisasi atau kelompok usaha atau

perusahaan. Ketika dalam suatu organisasi atau kelompok usaha

maupun perusahaan memiliki komunikasi yang buruk, maka akan

menimbulkan konflik.

2. Konflik menyangkut sumberdaya. Sumber daya yang dimaksud

adalah seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan

lainnya. Apabila perusahaan tidak dapat mengelola sumber daya

yang ada dengan baik, maka konflik akan muncul dan bisa

(12)

3. Konflik menyangkut relasi. Setiap perusahaan memiliki relasi atau

orang terdekat. Setiap orang dalam organisasi atau perusahaan harus

menjaga jalinan komunikasi yang baik dengan para relasi.

4. Konflik menyangkut kepentingan / kebutuhan. Konflik juga bisa

timbul karena adanya kepentingan atau kebutuhan. Artinya apabila

perusahaan atau organisasi hanya mementingkan keuntungan bagi

perusahaan saja, maka akan terjadi konflik intern di dalam

perusahaan.

5. Konflik menyangkut nilai – nilai hidup. Nilai – nilai hidup disini

dapat berupa harga diri maupun perasaan para pekerja dalam

organisasi ataupun perusahaan.

Sedangkan menurut Mangku Negara (2001) dalam bukunya yang

berjudul konflik organisasi menyatakan bahwa penyebab konflik adalah:

1. Saling mengklaim dan menguasai Sumber Daya Alam yang mulai

terbatas akibat tekanan penduduk dan kerusakan lingkungan.

2. Kecemburuan sosial yang bersumber dari ketimpangan –

ketimpangan ekonomi antar kaum pendatang dan penduduk lokal.

Keberhasilan ekonomi para pendatang sebagai usaha kerja keras dan

tidak mengenal lelah yang kemudian dapat menguasai pasar dan

peluang ekonomi, sering dilihat sebagai penjajah ekonomi.

3. Dorongan emosional kesukuan dan ikatan – ikatan norma

tradisional. Bisa juga konflik ini muncul karena dorongan

(13)

4. Mudah dibakar dan dihasut oleh para dalang kerusuhan, elit politik

dan orang – orang yang haus akan kekuasaan. Ini didorong oleh

kualitas sumber daya manusia yang rendah yang diikuti juga oleh

rendahnya kesadaran sosial.

Dalam buku yang sama Mangku Negara (2001), menyatakan bahwa

konflik biasanya timbul karena 3 faktor yaitu :

1. Masalah Organisasi. Adanya masalah dalam tubuh organisasi yang

tidak dapat diselesaikan dengan baik akan merambat ke

kelangsungan hidup organisasi. Setiap organisasi atau perusahaan

harus menghindari masalah intern agar tidak terjadi konflik yang

besar.

2. Hubungan Pribadi. Hubungan antar individu dalam organisasi

ataupun perusahaan harus dijaga. Perbedaan pendirian dan perasaan

akan sesuatu hal yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab

konflik, sebab dalam menjalani hubungan, seseorang tidak selalu

sejalan dengan kelompoknya.

3. Struktur Organisasi. Dalam struktur organisasi juga dapat

menimbulkan konflik. Apabila penerapan struktur organisasi tidak

tepat dan dapat memicu kecemburuan pihak lain.

Menurut Torang (2013), ada beberapa faktor penyebab konflik, yakni :

1. Perbedaan Individu

Perbedaan ini yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaaan. Setiap

(14)

dan perasaan yang berbeda – beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian

dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi

faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,

seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika

berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap

waganya akan berbeda – beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik,

tetapi ada pula yang merasa terhibur.

2. Perbedaan Latar Belakang Kebudayaan

Perbedaan latar belakang kebudayaan membentuk pribadi – pribadi yang

berbeda. Seseorang sedikit banyaknya akan terpengaruh dengan pola – pola

pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda

itu pada akhirnya menghasilkan perbeedaan individu yang dapat memicu

konflik.

3. Perbedaan Kepentingan Antara Individu atau Kelompok

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang

kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan

masing – masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda –

beda. Kadang – kadang orang dapat melakukan hal yang sama tetapi untuk

tujuan yang berbeda – beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan

kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat

menganggap hutan sebagai kekayaan kebudayaan yang menjadi bagian dari

kebudayaan mereka, sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para

petani menebang pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka

untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon –

(15)

membuka pekerjaan. Sedangkan bagi para pecinta lingkungan, hutan adalah

bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan.

Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok

dengan kelompok lainnya, sehingga akan mendatangkan konflik sosial di

masyarakat. Konflik akibat perbeedaan kepentingan ini dapat pula

menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Begitu pula dapat

terjadi antar kelompok atau antar kelompok dengan individu, misalnya konflik

antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan

kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang

memadai.

2.2.2. Jenis – jenis Konflik

Mengenai jenis – jenis konflik, Menurut Dahrendorf (1996) konflik dibedakan

menjadi 6 macam:

1. Konflik antara atau dalam peran sosial (intra pribadi), misalnya antara peranan – peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))

2. Konflik antara kelompok – kelompok sosial (antar keluarga, antar gank)

3. Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa)

4. Konflik antara satuan nasional (kampanye, perang saudara)

5. Konflik antar atau tidak antar agama

6. Konflik antar politik

2.2.3. Akibat Konflik

(16)

1. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in group) yang

mengalami konflik dengan kelompok lain.

2. Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.

3. Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci,

saling curiga dll.

4. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia

5. Dominasi bahkan penaklukan satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak – pihak yang berkonflik dapat

menghasilkan respom terhadap konflik menurut sebuah skema dua dimensi, yaitu

pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya.

Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagi berikut:

1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak, akan menghasilkan

percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.

2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri, akan menghasilkan percobaan

untuk “memenangkan” konflik

3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain, hanya akan menghasilkan percobaan

yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut

4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak, akan menghasilkan percobaan

menghindari konflik

2.3.Manajemen Konflik

Istilah manajemen berasal dari bahasa Italia maneggiare (Haney dalam Mardianto,

(17)

mengendalikan, sedangkan pengelolaan dan istilah manager berarti tindakan

membimbing atau memimpin, sedangkan dalam bahasa Cina, manajemen adalah kuan

lee yang berasal dari dua suku kata yaitu khuan khung (mengawasi orang kerja) dan lee

chai (me-manajemen konfliksi uang). Sehingga manajemen dapat didefinisikan sebagai

mengawasi/ mengatur orang bekerja dan me-manajemen konfliksi administrasi dengan

baik. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1997) manajemen adalah proses

penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien untuk menca Spritual tujuan.

Manajemen merupakan proses penting yang menggerakan organisasi karena tanpa

manajemen yang efektif tidak akan ada usaha yang berhasill cukup lama.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, manajemen sebuah

tindakan yang berhubungan dengan usaha tertentu dan penggunaan sumber daya secara

efektif untuk mencaSpiritual tujuan.

2.3.1. Aspek – Aspek Dalam Manajemen Konflik

Gottman dan Korkoff (Mardianto, 2000) menyebutkan bahwa secara garis

besar ada dua manajemen konflik yaitu:

2.3.1.1.Manajemen Konflik Destruktif

Manajemen konflik destruktif yang meliputi conflict angagement

(menyerang dan lepas kontrol), withdrawal (menarik diri) dari situasi

tertentu yang kadang – kadang sangat menakutkan hingga menjauhkan

diri ketika menghadapi konflik dengan cara menggunakan mekanisme

pertahanan diri, dan compliance (menyerah dan tidak membela diri).

2.3.1.2.Manajemen Konflik Konstruktif

Yaitu positive problem solving yang terdiri dari kompromi dan

(18)

pihak yang terlibat mengurang tuntutanya agar tercipta tercaSpritual suatu

penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk

melaksanakan kompromi adalah bahwa satu pihak bersedia untuk

merasakan dan memahami keadaan pihak lain dan sebaliknya. Sedangkan

nogoiasi yaitu suatu cara untuk menetapkan keputusan yang dapat

disepakati dan diterima olrh dua pihak dan menyetujui apa dan bagaimana

tindakan yang akan dilakukan di masa mendatang. Menurut Prijaksono

dan Sembel (2000), negosiasi memiliki sejumlah karakteristik utama,

yaitu :

1. Senantiasa melibatkan orang, baik sebagai individual, perwakilan organisasi atau perusahaan, sendiri atau dalam kelompok.

2. Memiliki ancaman di dalamnya mengandung konflik yang terjadi mulai dari awal samSpriritual terjadi kesepakatan dalam akhir

negosiasi.

3. Menggunakan cara – cara pertukaran sesuatu, baik berupa tawar menawar (bargain) maupun tukar menukar (barter).

4. Hampir selalu berbentuk tatap muka yang menggunakan bahasa lisan, gerak tubuh maupun ekspresi wajah.

5. Negosiasi biasanya menyangkut hal – hal di masa depan atau sesuatu yang belum terjadi dan kita inginkan terjadi.

6. Ujung dari negosiasi adalah adanya kesepakatan yang diambil oleh kedua belah pihak, meskipun kesepakatan itu misalnya kedua belah

(19)

Manajemen konflik disebut konstruktif bila dalam upaya menyelesaikan

konflik tersebut kelangsungan hubungan antara pihak – pihak yang berkonflik

masih terjaga dan masih berinteraksi secara harmonis.

Johnson dan Johnson (Farida, 1996) mengatakan bahwa ketika individu

terlibat konflik maka untuk menghadapinya seringkali digunakan Relegiustas

dasar manajemen konflik yaitu Withdrawing (menghindari), forcing (memaksa),

smoothing (melunak), compromising (kompromi), dan confronting (konfrontasi).

Individu yang menggunakan cara withdrawing cenderung berusaha menarik diri

untuk menghindari konflik dengan orang yang terlibat dengannya. Forcing

digunakan oleh individu yang telibat konflik yang berusaha untuk mengalahkan

lawannya dan memaksa untuk menerima solusi konflik, sedangkan bila individu

menganggap individu sebagai sesuatu yang harus dihindari demi keharmonisan

hubungan dengan orang lain disebut smoothing. Bila ada upaya mengorbankan

sebagai tujuan dan membujuk orang lain untuk mau mengorbankan sebagian

tujuannya juga maka cara menyelesaikan konflik tersebut disebut compromising,

dan confrontation adalah bila individu memandang konflik sebagai masalah yang

harus dipecahkan dan berupaya agar solusi yang digunakan mampu memcahkan

masalah dan memuaskan kedua belah pihak.

Lain halnya dengan Rubin (Farida, 1996) yang menyatakan bahwa

manajemen konflik yang biasa digunakan seseorang adalah domination

(dominasi), capitulation (menyerah), in action (tidak bertindak), withdrawal

(menarik diri), negotiation (negosiasi), dan third party intervention (intervensi

pihak ketiga). Ketika individu yang terlibat konflik berusaha memaksa secara

(20)

lain yang terlibat konflik, sedangkan bila salah satu pihak yang berkonflik tidak

melakukan usaha untuk menyelesaikan konflik tersebut disebut in action.

Withdrawal adalah cara yang digunakan individu dengan menghindar agar tidak

terlibat dalam konflik yang terjadi. Negotiation ditandai dengan adanya

penukaran pendapat antara kedua belah pihak untuk mencaSpiritual tindakan

yang disetujui bersama dan intervensi pihak ketiga terjadi bila individu atau

kelompoj di luar pihak yang bertikai berupaya menggerakkan pihak – pihak yang

berselisih untuk menyelesaikan konflik. Pada saat ini pihak ketiga hanya

berperan sebagai moderator.

Pendapat Deutch yang dikutip oleh Bernt dan Ladd (Indati, 1996) menyatakan

beberapa pengelolaan konflik atau bisa disebut manajemen konflik, yaitu:

1. Destruktif

Adalah bentuk konflik dengan menggunakan ancaman, paksaan, atau

kekerasan. Adanya usaha ekspansi yang meninggi di atas isu awalnya atau

bisa dikatakan individu cenderung menyalahkan.

2. Konstruktif

Merupakan bentuk penanganan konflik yang cenderung melakukan

negosiasi, sehingga terjadi satu tawar menawar yang menguntungkan serta

tetap mempertahankan interaksi sosialnya. Selain itu dapat pula

menggunakan bentuk lain yang disebut reasoning yaitu sudah dapat berfikir

(21)

Setiap konflik yang ada dalam kehidupan apabila dapat dikelola dengan baik,

maka akan sangat bermanfaat dalam hal memajukan kreatifitas dan inovasi,

meskipun konflik memiliki sisi konstruktif dan sisi destruktif (Winardi, 1994).

Pengelolaan konflik bertujuan untuk mengembangkan dan memberikan

serangkaian pendekatan, alternatif untuk membatasi dan menghindari kekerasan

dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak – pihak yang

terlibat (Fisher, 2000). Menurut Johnson setiap orang memiliki relegiusitas

masing – masing dalam mengelola konflik. Relegiusitas – relegiustias ini

merupakan hasil belajar, biasanya dimulai dari masa kanak – kanak dan berlanjut

hingga remaja (Supraktiknya, 1995).

2.4.Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Konflik

Pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di

dalam diri individu (internal) dan kindisi eksternal. Cara individu bertingkah laku dalam

menghadapi konflik dengan orang lain akan ditentukan oleh seberapa penting tujuan –

tujuan pribadi dan hubungan dengan pihak lain yang dirasakan sehingga ada dua hal

yang menjadi pertimbangan dalam penyelesaian masalah yaitu :

1. Tujuan atau kepentingan pribadi dirasa sebagai hal yang sangat penting sehingga harus dipertahankan atau tidak penting sehingga bisa dikorbankan.

2. Hubungan dengan pihak lain. Sama halnya dengan tujuan pribadi, hubungan dengan pihak lain ketika konflik terjadi bisa menjadi sangat penting atau sama

sekali tidak penting

Menurut Boardman dan Horowitz (Mardianto, 2000), karakteristik kepribadian

(22)

kecenderungan agresif, kebutuhan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif

atau kompetitif, kemampuan berempati dan kemampuan menemukan alternatif

penyelesaian konflik. Boardman dan Horowitz juga mengatakan bahwa faktor jenis

kelamin dan sikap etnosentrik sangat berpengaruh pada proses penyelesaian dan akhir

konflik. Sikap etnisentrik adalah cara pandang yang menggunakan norma kelompok

sebagai tolak ukur dalam memandang segala sesuatu serta mengukur atau meniai orang

lain. Hal ini akan memperkecil kemungkinan terjadi proses pemecahan masalah yang

produktif dalam interaksi antar individu dalam kelompok yang berbeda. Selain itu

kemampuan manajemen konflik juga banyak didukung oleh karakteristik – karakteristik

seperti keterbukaan akan pendapat, hubungan yang hangat, serta kebiasaan untuk tidak

memecahkan masalah secara sepihak. Manajemen konflik disebut konstruktif bila, dalam

upaya menyelesaikan konflik tersebut kelangsungan hubungan antara pihak – pihak yang

berkonflik masih terjaga dan masih berinteraksi secara harmonis.

2.5.Kerjasama

Sebagai mahluk sosial manusia tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya. Setiap

orang di Dunia ini tidak ada yang dapat berdiri sendiri melakukan segala aktivitas untuk

memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain. Secara alamiah manusia melakukan

interaksi dengan lingkungannya, baik sesama manusia maupun dengan mahluk

hidup.Dalam kesuskesan usahanya pasti ada peran orang atau pihak lain. Oleh karena

itu, salah satu kunci sukses usaha adalah dalam kerjasama usaha.

Pada intinya, kerjasama menunjukkan adanya kesepakatan antara dua orang atau

lebih yang saling menguntungkan. Arti kerjasama itu sendiri adalah interaksi sosial antar

individu atau kelompok yang secara bersama – sama mewujudkan kegiatan untuk

(23)

“kerjasama merupakan usaha terkoordinasi diantara anggota kelompok atau masyarakat

yang diarahkan untuk mencapai tujuan bersama”. Lebih lanjutnya lagi

Santosa (1992: 29-30) menyatakan bahwa “ kerjasama adalah suatu bentuk interaksi sosial dimana tujuan anggota kelompok yang satu berkaitan erat dengan tujuan anggota kelompok lain atau tujuan kelompok secara keseluruhan sehingga seseorang individu hanya dapat mencapai tujuan bila individu lain juga mencapa tujuan”

2.5.1. Sikap Kerjasama Dalam Kelompok

Sikap kerjasama dalam kelompok merupakan perpaduan dari sikap individu

yang terbentuk berdasarkan komitmen bersama yang diwujudkan berupa satu

sikap dan perilaku kelompok sesuai dengan karakteristik dari pada sikap dan

perilaku individu. Sikap dan perilaku kelompok yang akan mendukung jalannya

kerjasama adalah

1. Ada kejelasan visi dan misi kelompok yang dilahirkan secara bersama.

2. Ada partisipasi individu dalam kelompok

3. Ada pengaruh dalam pembuatan keputusan

4. Ada berbagi informasi

5. Sering terjadi interaksi antar anggota kelompok

2.5.2. Karakteristik – Karakteristik Pribadi Anggota Kelompok

Sikap kerjasama dalam kelompok merupkan hal yang penting bagi para

wirausaha untuk menyelesaikan tugas secara efisien dan efektif. Karakteristik –

(24)

1. Kesetiaan

2. Kesopanan

3. Kesabaran

4. Semangat

5. Optimis

6. Komunikasi

7. Kemampuan untuk menyetujui

8. Dapat diandalkan

9. Ketepatan waktu

10. Kehati – hatian

11. Humoris

Agar mekanisme kerja kelompok menjadi lancar dan terarah, masing – masing

kelompok hendaknya mempunyai pengurus kelompok yang terdiri atas ketua

kelompok, sekretaris kelompok dan jika diperlukan bendahara kelompok. Dalam

mengembangkan sikap kerjasama kelompok yang kreatif dan inovatif, seorang

pengusaha perlu mengkaji secara komprehensif tujuan kerjasama kelompok yang

dibentuk agar sesuai dengan visi dan misi pengusaha. Dengan demikian,

kelompok harus mempunyai visi untuk memberikan fokus dan pengarahan pada

energi kreatif. Contoh, kelompok penelitian (evaluation team) di tingkat

pengusaha harus memiliki visi yang jelas, dianut bersama, dirundingkan, bisa

(25)

tersebut harus dapat memberikan inspirasi bagi anggota kelompok untuk

menyumbangkan hasil pemikiran bagi kepentingan pengusaha.

Bekerjasama dalam satu tim memang membutuhkan kekompakan dan

kerjasama yang solid. Tapi meski demikian, setiap anggota juga dituntut untuk

mandiri didalam kelompok. Artinya, walau kerja tim, setiap anggota tidak boleh

hanya mengandalkan bantuan dan pertolongan rekan satu tim. Setiap anggota

tetap harus memberikan kontribusi pribadi bagi kepentingan kelompok. Menjadi

mandiri dalam kelompok kerjasama dapat diupayakan dengan berbagai cara:

1. Inisiatif

Bekerjasama bukan berarti setiap anggota cukup menunggu perintah

ketua kelompok. Jika diperlukan, lakukan apa saja yang dapat dilakukan

untuk kelompok tanpa menanti perintah. Tentu saja dengan ketentuan

mengetahui batas inisiatif yang jelas. Selain itu, jangan ragu untuk

menawarkan bantuan pada rekan yang membutuhkan bantuan anda. Dan

perlu diperhatikan bahwa, inisiatif juga merupakan bagian dari kontribusi

pada kelompok.

2. Jangan Tergantung

Jangan biasakan sifat ketergantungan di dalam kelompok. Tanamkan

bahwa, setiap individu dalam kelompok atau tim harus berbuat sesuatu

untuk kelompok. Tidak perlu cemas dan takut, jika salah satu anggota tim

tidak hadir. Bahkan, jika seandainya ketua tim berhalangan, anggota tim

(26)

3. Kebangkan Diri

Jangan menganggap bahwa, nama salah satu anggota tim akan ikut

terangkat meski Ia bermalas – malasan saja dalam kelompok, sementara

yang lain bekerja keras. Meskipun kerja tim, masing – masing anggota

kelompok memiliki nilai tersendiri. Oleh kerana itu, tidak dianjurkan

mengandalkan kerja keras rekan lain. Kesadaran akan perlunya

mengembangkan diri di dalam kelompok sangatlah diperlukan.

Kemampuan diri untuk merespon positif terhadap segala bentuk informasi

yang bersifat membangun.

4. Kesempatan Berharga

Setiap anggota wajib menanamkan di dalam dirinya, bahwa bekerja

dalam tim merupakan kesempatan berharga untuk banyak belajar. Pelajari

hal – hal baru di dalam kelompok yang tidak ditemui jika bekerja sendiri.

Walaupun masing – masing anggota kelompok merupakan pribadi yang

mandiri dalam kelompok kerjasama, iklim saling menjatuhkan harus dibuang

jauh – jauh. Perlunya kesadaran diri bahwa antara anggota adalah mitra

sejajar yang memiliki tanggung jawab bersama di dalam satu tim.

2.6.Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Hasil Penelitian

(27)

2 Simarmata

communication yang

dilakukan oleh

Terjadinya suatu konflik yang berpengaruh terhadap hubungan kerjasama pada sistem

franchise, tergantung bagaimana me-manage konflik itu sendiri. Oleh karenanya,

seorang owner atau pemilik perusahaan harus mempertimbangkan ketika membuat suatu

standart operating prossedure (SOP). Begitu juga dengan calon investor atau pembeli

franchise, diharuskan mengetahui secara detail sistem pada perusahaan yang dipilih.

Penulis memfokuskan analisis mengenai pengaruh konflik terhadap hubungan

kerjasama pada sistem franchise. Berdasarkan analisis, perusahaan yang menggunakan

waralaba sangat diminati baik pemula di bidang usaha maupun bukan. Pemahaman

mengenai untung rugi, kesiapan berwirausaha, pemahaman sistem franchise, komunikasi

dan mental dalam menjalankan usaha, khususnya yang menggunakan sistem franchise

yang buruh memicu terjadinya konflik. Sedikit banyaknya konflik yang terjadi,

(28)

Penulis mencoba meniliti pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama pada sistem

franchise. Secara sistematis konsep pemikiran dapat dilihat pada gambar 2.2 sebagai

berikut :

gambar 2.2. Kerangka Konseptual

Sumber : Soekanto (2007)

Tumbuh kembangnya perekonomian global mengakibatkan persaingan yang sangat

ketat dialami oleh perusahaan baik yang bergerak di bidang jasa maupun yang lainnya.

Sehingga setiap perusahaan memiliki keharusan menciptakan sebuah inovasi, baik dari

segi produk maupun pemasarannya. Keterangan

Komunikasi

Sumberdaya

Relasi

Kepentingan / kebutuhan

KONFLIK

Hubungan Kerjasama

usaha

(franchise)

(29)

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Komunikasi adalah hal yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam

kehidupan manusia. Terutama ketika dalam suatu organi sasi atau kelompok usaha

atau perusahaan. Ketika dalam suatu organisasi atau kelompok usaha atau

perusahaan memiliki komunikasi yang buruk, maka akan menimbulkan konflik

yang serius.

2. Pentingnya memiliki sumber daya baik itu alam ataupun tenaga ahli dalam

menjalankan usaha bisnis terlebih menggunakan sistem franchise. Faktor ini

sangat dibutuhkan untuk menunjang kinerja perusahaan.

3. Relasi sangatlah penting, selain menjadi media pemasaran dapat dijadikan sebagai

pemasukan (keuntungan) bagi perusahaan. Semakin banyak relasi yang dimiliki

oleh perusahaan maka semakin baik pula pondasi perusahaan untuk tetap berdiri

dalam persaingan bisnis.

4. Kepentingan / kebutuhan adalah suatu pencapaian baik individu atau kelompok

yang dapat dijadikan sebuah alasan menjalankan sebuah kegiatan (usaha) atau

menghasilkan produk baik jasa maupun barang. Dalam sebuah perusahaan

tentunya pemenuhan kebutuhan konsumen dicapai melalu pelayanan dan produk

itu sendiri, dan dalam komunikasi bisnis, keuntungan atau kebutuhan adalah

mengenai pendapatan dan kekuasaan itu sendiri. Selama masih sama – sama

memberikan kebutuhan tersebut maka suatu perusahaan dapat terjamin

kekuatanya.

5. Pada hubungan interaksi baik langsung maupun tidak, tentunya tidak lepas dari

(30)

menjunjung tinggi atau menerapkan nilai – nilai kehidupan, suatu perusahaan

secara otomatis memiliki karakter tersendiri di mata masyarakat, begitu pula

dengan anggota organisasi ataau perusahaan.

2.8.Hipotesis

Gambar

gambar 2.2. Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Ratna Askiah S, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Metrologi dan Instrumentasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.. Seluruh Dosen dan

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Semua mahasiswa yang telah dinyatakan diterima oleh Mitra IDUKA mengikuti sesi pembekalan dari Ditjen DIKTI secara online agar mahasiswa memahami etika dan lebih siap

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sari dan Rina Harimurti dengan judul Sistem Pakar untuk Menganalisis Tingkat Stres Belajar pada Siswa

Merujuk pada studi Elmeskov, InterCAFE (International Center for Applied Finance and Economics) tahun 2008 melakukan studi tentang persistensi pengangguran yang terjadi di

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis akan meneliti pengaruh dari penerapan PSAK 24 khususnya mengenai imbalan pascakerja terhadap risiko perusahaan dan

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).