BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tinjauan Pustaka
2.1.1. Franchise
Kata Franchise berasal dari bahasa Prancis, yaitu “franchir”. Yang artinya
dibebaskan dari pemberian upeti, pajak. Namun seiring zaman, pengertian
franchise berubah menjadi pemberian izin dalam pemakaian nama atau merek
dagang. Franchise merupakan suatu bentuk strategi usaha yang bertujuan untuk
memperlebar jangkauan usaha dalam meningkatkan pangsa pasar dan penjualan.
Franchise merupakan sebuah perkawinan bisnis yang sudah ada (franchisor) dan
pendatang baru di dunia bisnis (franchisee). Dalam dunia bisnis, istilah franchise
atau waralaba adalah suatu pemberian sebuah lisensi oleh suatu pihak
(perseorangan atau perusahaan) sebagai pemberi franchise kepada pihak lain
sebagai penerima franchise untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang
atau nama dagangnya dengan menggunakan keseluruhan sistem bisnisnya.
2.1.2. Sejarah dan Perkembangan Franchise
Franchise pertama kali dimulai di Amerika oleh Singer Sewing Machine
Company, produsen mesin jahit Singer 1851. Pola itu kemudian diikuti oleh
perusahaan Otomotif General Motor Industry yang melakukan penjualan
kendaraan bermotor dengan menunjukkan distributor franchise pada tahun 1898.
Selanjutnya, diikuti pula oleh perusahaan – perusahaan soft drink di Amerika
waralaba dirintis oleh J Lycons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg pada
decade 60an.
Sampai pada tahun 1998, cara pendistribusian dengan waralaba diperkirakan
mencapai lebih dari 50% dari total penjualan eceran di Amerika Serikat dan
pertumbuhan waralaba sama berhasilnya di Negara – Negara maju lainnya seperti
: Kanada, Inggris, Jerman dan Jepang. Negara – Negara berkembang seperti
Meksiko, Indonesia dan Malaysia juga mendapatkan bahwa waralaba adalah cara
yang efektif untuk menciptakan bisnis baru dan meningkatkan kesempatan
lapangan kerja. Di Indonesia sendiri jumlah perusahaan waralaba tumbuh
mencapai 274% selama Sembilan tahun 2000 – 2009. (muharam-2002 rev 2010.
Waralaba terbukti survive)
Pada masa itu sebuah rantai toko makanan di Tiongkok menerapkan konsep
distribusi dengan sistem waralaba lisensi produk / merek. Waralaba telah dipilih
sebagai cara menjalankan usaha oleh lebih dari 2500 perusahaan di Amerika
Serikat, karena terbukti memiliki peluang keberhasilan lebih tinggi dibandingkan
format bisnis biasa. Sebagai perbandingan, format bisnis biasa memiliki peluang
sukses 35-45%, sedangkan peluang sukses perusahaan waralaba mencapai
85-90%. Sementara orang berfikir bahwa waralaba hanya terbatas pada industri
makanan siap saji, kenyataanya menunjukan bahwa semua jenis bisnis yang
mungkin ada, dapat diwaralabakan. Misalnya hotel, properti, rumah sakit,
kursus, binatu, foto studio, minimart, spa, salon, bengkel, apotik, kantor pos,
laundry, warnet dapat dikembangkan dengan format waralaba.
Yang menarik adalah kesuksesan waralaba untuk tetap tumbuh selama krisis
moneter di Indonesia. Pada periode 1996 – 1999, usaha waralaba di Indonesia
bawah 3% (peluang, juni 2000). Sebagian besar pertumbuhan ini diakibatkan
oleh pertumbuhan waralaban lokal.
(sumber: http://frommarketing.blogspot.com/search/label/marketing)
Pelajaran yang dapat diambil dari krisis moneter adalah, waralaba lokal
ternyata mampu mengungguli pertumbuhan waralaba asing. Selisih kurs yang
demikian besar antara rupiah dengan dollar, mengakibatkan waralaba lokal
memiliki keunggulan kompetitif yang lebih baik untuk dikembangkan pada saat
itu. Sebagai gambaran untuk membuka sebuah mini market Indomaret
dibutuhkan investasi 300 -750 juta rupiah, bandingkan jika membeli hak
waralaba Disc Go Round dari Amerika, investasi yang dibutuhkan sekitar 1,1 –
1,3 miliar rupiah. Bayangkan jika kita membeli hak waralaba dari merek yang
lebih terkenal misalnya McDonald’s yang biaya investasinya bisa mencapai
423.000 – 651.000 USD (sumber :Franchise Opportunities Guide, IFA, 1996).
2.1.3. Franchise di Indonesia
Di Indonesia franchise dikenal sejak era 70-an ketika masuknya Shakey Pisa,
KFC, Swensen dan Burger King. Perkembanganya terlihat sangat pesat dimulai
sekitar 1995. Data Deperindag pada 1997 mencatat sekitar 259 perusahaan
penerima waralaba di Indonesia. Setelah itu, usaha franchise mengalami
kemerosotan karena terjadi krisis moneter. Para penerima waralaba asing
terpaksa menutup usahanya karena nilai rupiah yang terperosok sangat dalam.
Hingga 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal
itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil, ditandai dengan
perseteruan para elit politik. Barulah pada 2003, usaha franchise di tanah air
2.1.4. Format Bisnis Franchise
Seperti yang dijelaskan pada penjelasan sebelumnya mengenai franchise
bahwa suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan (franchisor) memberi
hak pada pihak independen (franschisee) untuk menjual produk atau jasa
perusahaan tersebut dengan peraturan yang ditetapkan oleh franchisor.
Franchisee menggunakan nama, goodwill, produk dan jasa, prosedur pemasaran,
keahlian, sistem prosedur operasional dan fasilitas penunjang dari perusahaan
franchisor. Sebagai imbalannya franchisee membayar initial fee dan royalti
(biaya pelayanan manajemen) pada perusahaan franchisor seperti yang diatur
dalam perjanjian franchise. Sebuah paket franchise yang baik, mampu membuat
seseorang yang tepat bisa mengoperasikan sebuah bisnis dengan berhasil, bahkan
tanpa pengetahuan sebelumnya tentang bisnis tersebut.
Franchise digambarkan sebagai perpaduan bisnis “besar” dan “kecil”, yaitu
perpaduan antara energi dan komitmen individual dengan sumber daya dan
kekuatan sebuah perusahaan besar. Franchise merupakan pilihan untuk
ber-wirausaha dan ber-ekspansi dengan resiko paling kecil. Secara umum franchise
merupakan alternatif jalan keluar yang relatif aman. (Muharam 2003).
2.1.5. Kriteria Franchise
Dalam PP No. 42 Tahun 2007 disebutkan bahwa “Waralaba atau franchise
harus memenuhi 6 (enam) kriteria, yakni :
1. Memiliki Ciri Khas Usaha
Yang dimaksud dengan ciri khas adalah suatu usaha yang memiliki
keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan
Misalnya, sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, atau
penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari
pemberi waralaba.
2. Terbukti Sudah Memberikan Keuntungan
Yang dimaksud dengan sudah memberikan keuntungan adalah
menunjuk kepada pemberi waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5
(lima) tahun dan telah mempunyai kiat – kiat bisnis untuk mengatasi
masalah – masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan
masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan
menguntungkan.
3. Memiliki Standart Atas Pelayanan Barang dan Jasa yang Ditawarkan yang Dibuat Secara Tertulis
Yang dimaksud disni adalah standar secara tertulis supaya penerima
waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan
sama ( standar operasional kerja).
4. Mudah Diajarkan dan Diaplikasian.
Yang dimaksud dengan mudah diajarkan dan diaplikasikan adalah
mudah dilaksanakan sehingga penerima waralaba yang belum memiliki
pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis, dapat
melaksakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan
manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh penerima
5. Adanya Dukungan yang Berkesinambungan
Yang dimaksud dengan dukungan yang berkesinambungan adalah
dukungan dari pemberi waralaba secara terus menerus seperti bimbingan
operasional, pelatihan dan promosi
6. Hak dan Kekayaan Intelektual yang Telah Terdaftar
Yang dimaksud dengan hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar
adalah hak kekayaan intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek,
hak cipta, hak paten, rahasia dagang sudah didaftarkan dan mempunyai
setifikasi atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang
berwenang.
Selanjutnya, menurut sumber dari Majalah Franchise (Rudi, 2013), jika
dirinci, faktor yang membuat keberhasilan usaha waralaba bisa berhasil, yakni :
1. Repicable, atau dipublikasikan dengan baik, bergantung pada sistem,
bukan pada keterampilan individual
2. Controllable, yaitu kualitasnya dapat dikendalikan atau dijaga.
3. Sustainable, atau mampu bertahan di tengah perubahan atau
perkembangan persaingan di lapangan. Bukan suatu tren sesaat.
4. Marketable, atau produknya dapat dipasarkan alias ada sejumlah
pelanggan potensial, serta memiliki merek yang kuat.
5. Profitable, yang berarti memiliki tingkat keuntungan yang dapat dibagi
kepada pihak – pihak yang terlibat, yaitu franchisor dan franchisee.
2.2.Konflik dan Pengertiannya
Konflik berasal dari kata latin configure yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Definisi lain dari konflik adalah
pergesekan atau friksi yang terekspresikan diantara dua pihak atau lebih, dimana masing
– masing mempersepsi adanya interfernsi dari pihak lain yang dianggap menghalangi
jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya akan terjadi bila, semua pihak yang terlibat
mencium adanya ketidaksepakatan. Para pakar ilmu perilaku organisasi, banyak
memberikan definisi tentang konflik. Robbins, salah seorang dari mereka merumuskan
konflik sebagai
“Sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mencapai tujuan yang diinginkan atau merealisasikan minatnya”.
Dengan demikian yang dimaksud dengan konflik menurut pakar di atas adalah proses
pertikaian yang terjadi, sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah
salah satu manifestasinya. Dua orang pakar dari Amerika Serikat yaitu Aconstantino
dan Sickles (1989) mengatakan dengan kata – kata yang lebih sederhana, bahwa konflik
pada dasarnya adalah: “sebuah proses mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan,
atau harapan – harapan yang tidak terealisasiakan”. Kedua penulis tersebut sepakat
dengan Robbins bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses. Konflik dapat
diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau
kelompok – kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan
sumber daya yang langka secara bersama – sama atau menjalankan kegiatan bersama –
sama dan atau karena mereka mempunyai status tujuan, nilai – nilai dan persepsi yang
berbeda.
Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi
maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka
mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka, konflik tersebut
telah menjadi kenyataan. Robbins (1993) juga menyatakan, bahwa konflik organisasi
sering terjadi tidak simetris, terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon
terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang
telah atau akan menyerang secara negatif.
Dalam pembahasan tentang konflik, yang menarik adalah beberapa ahli
mengungkapkan secara detail dan rinci mengenai definisinya saja. Jika dilihat dari suku
katanya, konflik hanya mempunyai suku kata saja. Akan tetapi, ketika dibahas secara
detail menjadi satu kesatuan kalimat yang sangat kompleks. Berikut penulis angkat
penjabaran secara detail oleh beberapa ahli yang dijadikan rujukan untuk materi
penelitian ini.
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The
Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan
kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha
meminimalisasiakn konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain;
1. Pandangan Tradisional (The Traditional View)
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang
negatif, merugikan dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah
violence, destruction dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil
difungsional akibat komunikasi buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan diantara
orang – orang dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan inspirasi
2. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relation View)
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang
wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu
yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi
perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus
dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja
organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk
melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View)
Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya
konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif , tenang, damai dan
serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif dan tidak inovatif. Oleh
karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat
minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut
tetap semangat, kritis – diri dan kreatif.
Kemudian konflik menurut Stonner dan Freeman (1989: 392) membagi konflik
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Pandangan Tradisional (Traditional View)
Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini
disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan
optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus
dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak
manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan Modern
Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain
struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai dan sebagainya. Konflik
dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik,
manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta
kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami
berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers,
1993:234)
1. Pandangan Tradisional
Konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan
ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagi faktor penyebab
pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan
dengan kemarahan, agresivitas dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan
kata – kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan konflik yang
lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah
dihindari.
2. Pandangan Kontemporer
Mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu
yang tidak dapat dielakan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang
menanganinya secara tepat, sehingga tidak merusak hubungan antar pribadi bahkan
merusak tujuan organisasi. Konflik bukan dijadikan suat hal yang detruktif,
melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi
tersebut, misalnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Dari penjabaran mengenai pengertian konflik oleh para pakar yang sudah
dipaparkan, konflik memiliki persamaan yang mendasar. Bahwa konflik merupakan
suatu bentuk interaksi sosial ketika dua individu mempunyai kepentingan yang
berbeda dan kehilangan keharmonisan di antara mereka. Pada dasarnya, konflik
merupakan hal yang alamiah dan sering terjadi dalam kehidupan sehari – hari.
2.2.1. Penyebab Konflik
Sarjono Soekanto (2007), menyatakan penyebab konflik yaitu ;
1. Konflik menyangkut komunikasi. Komunikasi adalah hal yang
sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia.
Terutama ketika dalam suatu organisasi atau kelompok usaha atau
perusahaan. Ketika dalam suatu organisasi atau kelompok usaha
maupun perusahaan memiliki komunikasi yang buruk, maka akan
menimbulkan konflik.
2. Konflik menyangkut sumberdaya. Sumber daya yang dimaksud
adalah seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan
lainnya. Apabila perusahaan tidak dapat mengelola sumber daya
yang ada dengan baik, maka konflik akan muncul dan bisa
3. Konflik menyangkut relasi. Setiap perusahaan memiliki relasi atau
orang terdekat. Setiap orang dalam organisasi atau perusahaan harus
menjaga jalinan komunikasi yang baik dengan para relasi.
4. Konflik menyangkut kepentingan / kebutuhan. Konflik juga bisa
timbul karena adanya kepentingan atau kebutuhan. Artinya apabila
perusahaan atau organisasi hanya mementingkan keuntungan bagi
perusahaan saja, maka akan terjadi konflik intern di dalam
perusahaan.
5. Konflik menyangkut nilai – nilai hidup. Nilai – nilai hidup disini
dapat berupa harga diri maupun perasaan para pekerja dalam
organisasi ataupun perusahaan.
Sedangkan menurut Mangku Negara (2001) dalam bukunya yang
berjudul konflik organisasi menyatakan bahwa penyebab konflik adalah:
1. Saling mengklaim dan menguasai Sumber Daya Alam yang mulai
terbatas akibat tekanan penduduk dan kerusakan lingkungan.
2. Kecemburuan sosial yang bersumber dari ketimpangan –
ketimpangan ekonomi antar kaum pendatang dan penduduk lokal.
Keberhasilan ekonomi para pendatang sebagai usaha kerja keras dan
tidak mengenal lelah yang kemudian dapat menguasai pasar dan
peluang ekonomi, sering dilihat sebagai penjajah ekonomi.
3. Dorongan emosional kesukuan dan ikatan – ikatan norma
tradisional. Bisa juga konflik ini muncul karena dorongan
4. Mudah dibakar dan dihasut oleh para dalang kerusuhan, elit politik
dan orang – orang yang haus akan kekuasaan. Ini didorong oleh
kualitas sumber daya manusia yang rendah yang diikuti juga oleh
rendahnya kesadaran sosial.
Dalam buku yang sama Mangku Negara (2001), menyatakan bahwa
konflik biasanya timbul karena 3 faktor yaitu :
1. Masalah Organisasi. Adanya masalah dalam tubuh organisasi yang
tidak dapat diselesaikan dengan baik akan merambat ke
kelangsungan hidup organisasi. Setiap organisasi atau perusahaan
harus menghindari masalah intern agar tidak terjadi konflik yang
besar.
2. Hubungan Pribadi. Hubungan antar individu dalam organisasi
ataupun perusahaan harus dijaga. Perbedaan pendirian dan perasaan
akan sesuatu hal yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab
konflik, sebab dalam menjalani hubungan, seseorang tidak selalu
sejalan dengan kelompoknya.
3. Struktur Organisasi. Dalam struktur organisasi juga dapat
menimbulkan konflik. Apabila penerapan struktur organisasi tidak
tepat dan dapat memicu kecemburuan pihak lain.
Menurut Torang (2013), ada beberapa faktor penyebab konflik, yakni :
1. Perbedaan Individu
Perbedaan ini yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaaan. Setiap
dan perasaan yang berbeda – beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian
dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi
faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,
seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika
berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
waganya akan berbeda – beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik,
tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2. Perbedaan Latar Belakang Kebudayaan
Perbedaan latar belakang kebudayaan membentuk pribadi – pribadi yang
berbeda. Seseorang sedikit banyaknya akan terpengaruh dengan pola – pola
pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda
itu pada akhirnya menghasilkan perbeedaan individu yang dapat memicu
konflik.
3. Perbedaan Kepentingan Antara Individu atau Kelompok
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang
kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan
masing – masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda –
beda. Kadang – kadang orang dapat melakukan hal yang sama tetapi untuk
tujuan yang berbeda – beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan
kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat
menganggap hutan sebagai kekayaan kebudayaan yang menjadi bagian dari
kebudayaan mereka, sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para
petani menebang pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka
untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon –
membuka pekerjaan. Sedangkan bagi para pecinta lingkungan, hutan adalah
bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan.
Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok
dengan kelompok lainnya, sehingga akan mendatangkan konflik sosial di
masyarakat. Konflik akibat perbeedaan kepentingan ini dapat pula
menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Begitu pula dapat
terjadi antar kelompok atau antar kelompok dengan individu, misalnya konflik
antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan
kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang
memadai.
2.2.2. Jenis – jenis Konflik
Mengenai jenis – jenis konflik, Menurut Dahrendorf (1996) konflik dibedakan
menjadi 6 macam:
1. Konflik antara atau dalam peran sosial (intra pribadi), misalnya antara peranan – peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
2. Konflik antara kelompok – kelompok sosial (antar keluarga, antar gank)
3. Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa)
4. Konflik antara satuan nasional (kampanye, perang saudara)
5. Konflik antar atau tidak antar agama
6. Konflik antar politik
2.2.3. Akibat Konflik
1. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in group) yang
mengalami konflik dengan kelompok lain.
2. Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
3. Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci,
saling curiga dll.
4. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia
5. Dominasi bahkan penaklukan satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak – pihak yang berkonflik dapat
menghasilkan respom terhadap konflik menurut sebuah skema dua dimensi, yaitu
pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya.
Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagi berikut:
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak, akan menghasilkan
percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri, akan menghasilkan percobaan
untuk “memenangkan” konflik
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain, hanya akan menghasilkan percobaan
yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak, akan menghasilkan percobaan
menghindari konflik
2.3.Manajemen Konflik
Istilah manajemen berasal dari bahasa Italia maneggiare (Haney dalam Mardianto,
mengendalikan, sedangkan pengelolaan dan istilah manager berarti tindakan
membimbing atau memimpin, sedangkan dalam bahasa Cina, manajemen adalah kuan
lee yang berasal dari dua suku kata yaitu khuan khung (mengawasi orang kerja) dan lee
chai (me-manajemen konfliksi uang). Sehingga manajemen dapat didefinisikan sebagai
mengawasi/ mengatur orang bekerja dan me-manajemen konfliksi administrasi dengan
baik. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1997) manajemen adalah proses
penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien untuk menca Spritual tujuan.
Manajemen merupakan proses penting yang menggerakan organisasi karena tanpa
manajemen yang efektif tidak akan ada usaha yang berhasill cukup lama.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, manajemen sebuah
tindakan yang berhubungan dengan usaha tertentu dan penggunaan sumber daya secara
efektif untuk mencaSpiritual tujuan.
2.3.1. Aspek – Aspek Dalam Manajemen Konflik
Gottman dan Korkoff (Mardianto, 2000) menyebutkan bahwa secara garis
besar ada dua manajemen konflik yaitu:
2.3.1.1.Manajemen Konflik Destruktif
Manajemen konflik destruktif yang meliputi conflict angagement
(menyerang dan lepas kontrol), withdrawal (menarik diri) dari situasi
tertentu yang kadang – kadang sangat menakutkan hingga menjauhkan
diri ketika menghadapi konflik dengan cara menggunakan mekanisme
pertahanan diri, dan compliance (menyerah dan tidak membela diri).
2.3.1.2.Manajemen Konflik Konstruktif
Yaitu positive problem solving yang terdiri dari kompromi dan
pihak yang terlibat mengurang tuntutanya agar tercipta tercaSpritual suatu
penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk
melaksanakan kompromi adalah bahwa satu pihak bersedia untuk
merasakan dan memahami keadaan pihak lain dan sebaliknya. Sedangkan
nogoiasi yaitu suatu cara untuk menetapkan keputusan yang dapat
disepakati dan diterima olrh dua pihak dan menyetujui apa dan bagaimana
tindakan yang akan dilakukan di masa mendatang. Menurut Prijaksono
dan Sembel (2000), negosiasi memiliki sejumlah karakteristik utama,
yaitu :
1. Senantiasa melibatkan orang, baik sebagai individual, perwakilan organisasi atau perusahaan, sendiri atau dalam kelompok.
2. Memiliki ancaman di dalamnya mengandung konflik yang terjadi mulai dari awal samSpriritual terjadi kesepakatan dalam akhir
negosiasi.
3. Menggunakan cara – cara pertukaran sesuatu, baik berupa tawar menawar (bargain) maupun tukar menukar (barter).
4. Hampir selalu berbentuk tatap muka yang menggunakan bahasa lisan, gerak tubuh maupun ekspresi wajah.
5. Negosiasi biasanya menyangkut hal – hal di masa depan atau sesuatu yang belum terjadi dan kita inginkan terjadi.
6. Ujung dari negosiasi adalah adanya kesepakatan yang diambil oleh kedua belah pihak, meskipun kesepakatan itu misalnya kedua belah
Manajemen konflik disebut konstruktif bila dalam upaya menyelesaikan
konflik tersebut kelangsungan hubungan antara pihak – pihak yang berkonflik
masih terjaga dan masih berinteraksi secara harmonis.
Johnson dan Johnson (Farida, 1996) mengatakan bahwa ketika individu
terlibat konflik maka untuk menghadapinya seringkali digunakan Relegiustas
dasar manajemen konflik yaitu Withdrawing (menghindari), forcing (memaksa),
smoothing (melunak), compromising (kompromi), dan confronting (konfrontasi).
Individu yang menggunakan cara withdrawing cenderung berusaha menarik diri
untuk menghindari konflik dengan orang yang terlibat dengannya. Forcing
digunakan oleh individu yang telibat konflik yang berusaha untuk mengalahkan
lawannya dan memaksa untuk menerima solusi konflik, sedangkan bila individu
menganggap individu sebagai sesuatu yang harus dihindari demi keharmonisan
hubungan dengan orang lain disebut smoothing. Bila ada upaya mengorbankan
sebagai tujuan dan membujuk orang lain untuk mau mengorbankan sebagian
tujuannya juga maka cara menyelesaikan konflik tersebut disebut compromising,
dan confrontation adalah bila individu memandang konflik sebagai masalah yang
harus dipecahkan dan berupaya agar solusi yang digunakan mampu memcahkan
masalah dan memuaskan kedua belah pihak.
Lain halnya dengan Rubin (Farida, 1996) yang menyatakan bahwa
manajemen konflik yang biasa digunakan seseorang adalah domination
(dominasi), capitulation (menyerah), in action (tidak bertindak), withdrawal
(menarik diri), negotiation (negosiasi), dan third party intervention (intervensi
pihak ketiga). Ketika individu yang terlibat konflik berusaha memaksa secara
lain yang terlibat konflik, sedangkan bila salah satu pihak yang berkonflik tidak
melakukan usaha untuk menyelesaikan konflik tersebut disebut in action.
Withdrawal adalah cara yang digunakan individu dengan menghindar agar tidak
terlibat dalam konflik yang terjadi. Negotiation ditandai dengan adanya
penukaran pendapat antara kedua belah pihak untuk mencaSpiritual tindakan
yang disetujui bersama dan intervensi pihak ketiga terjadi bila individu atau
kelompoj di luar pihak yang bertikai berupaya menggerakkan pihak – pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan konflik. Pada saat ini pihak ketiga hanya
berperan sebagai moderator.
Pendapat Deutch yang dikutip oleh Bernt dan Ladd (Indati, 1996) menyatakan
beberapa pengelolaan konflik atau bisa disebut manajemen konflik, yaitu:
1. Destruktif
Adalah bentuk konflik dengan menggunakan ancaman, paksaan, atau
kekerasan. Adanya usaha ekspansi yang meninggi di atas isu awalnya atau
bisa dikatakan individu cenderung menyalahkan.
2. Konstruktif
Merupakan bentuk penanganan konflik yang cenderung melakukan
negosiasi, sehingga terjadi satu tawar menawar yang menguntungkan serta
tetap mempertahankan interaksi sosialnya. Selain itu dapat pula
menggunakan bentuk lain yang disebut reasoning yaitu sudah dapat berfikir
Setiap konflik yang ada dalam kehidupan apabila dapat dikelola dengan baik,
maka akan sangat bermanfaat dalam hal memajukan kreatifitas dan inovasi,
meskipun konflik memiliki sisi konstruktif dan sisi destruktif (Winardi, 1994).
Pengelolaan konflik bertujuan untuk mengembangkan dan memberikan
serangkaian pendekatan, alternatif untuk membatasi dan menghindari kekerasan
dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak – pihak yang
terlibat (Fisher, 2000). Menurut Johnson setiap orang memiliki relegiusitas
masing – masing dalam mengelola konflik. Relegiusitas – relegiustias ini
merupakan hasil belajar, biasanya dimulai dari masa kanak – kanak dan berlanjut
hingga remaja (Supraktiknya, 1995).
2.4.Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Konflik
Pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di
dalam diri individu (internal) dan kindisi eksternal. Cara individu bertingkah laku dalam
menghadapi konflik dengan orang lain akan ditentukan oleh seberapa penting tujuan –
tujuan pribadi dan hubungan dengan pihak lain yang dirasakan sehingga ada dua hal
yang menjadi pertimbangan dalam penyelesaian masalah yaitu :
1. Tujuan atau kepentingan pribadi dirasa sebagai hal yang sangat penting sehingga harus dipertahankan atau tidak penting sehingga bisa dikorbankan.
2. Hubungan dengan pihak lain. Sama halnya dengan tujuan pribadi, hubungan dengan pihak lain ketika konflik terjadi bisa menjadi sangat penting atau sama
sekali tidak penting
Menurut Boardman dan Horowitz (Mardianto, 2000), karakteristik kepribadian
kecenderungan agresif, kebutuhan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif
atau kompetitif, kemampuan berempati dan kemampuan menemukan alternatif
penyelesaian konflik. Boardman dan Horowitz juga mengatakan bahwa faktor jenis
kelamin dan sikap etnosentrik sangat berpengaruh pada proses penyelesaian dan akhir
konflik. Sikap etnisentrik adalah cara pandang yang menggunakan norma kelompok
sebagai tolak ukur dalam memandang segala sesuatu serta mengukur atau meniai orang
lain. Hal ini akan memperkecil kemungkinan terjadi proses pemecahan masalah yang
produktif dalam interaksi antar individu dalam kelompok yang berbeda. Selain itu
kemampuan manajemen konflik juga banyak didukung oleh karakteristik – karakteristik
seperti keterbukaan akan pendapat, hubungan yang hangat, serta kebiasaan untuk tidak
memecahkan masalah secara sepihak. Manajemen konflik disebut konstruktif bila, dalam
upaya menyelesaikan konflik tersebut kelangsungan hubungan antara pihak – pihak yang
berkonflik masih terjaga dan masih berinteraksi secara harmonis.
2.5.Kerjasama
Sebagai mahluk sosial manusia tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya. Setiap
orang di Dunia ini tidak ada yang dapat berdiri sendiri melakukan segala aktivitas untuk
memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain. Secara alamiah manusia melakukan
interaksi dengan lingkungannya, baik sesama manusia maupun dengan mahluk
hidup.Dalam kesuskesan usahanya pasti ada peran orang atau pihak lain. Oleh karena
itu, salah satu kunci sukses usaha adalah dalam kerjasama usaha.
Pada intinya, kerjasama menunjukkan adanya kesepakatan antara dua orang atau
lebih yang saling menguntungkan. Arti kerjasama itu sendiri adalah interaksi sosial antar
individu atau kelompok yang secara bersama – sama mewujudkan kegiatan untuk
“kerjasama merupakan usaha terkoordinasi diantara anggota kelompok atau masyarakat
yang diarahkan untuk mencapai tujuan bersama”. Lebih lanjutnya lagi
Santosa (1992: 29-30) menyatakan bahwa “ kerjasama adalah suatu bentuk interaksi sosial dimana tujuan anggota kelompok yang satu berkaitan erat dengan tujuan anggota kelompok lain atau tujuan kelompok secara keseluruhan sehingga seseorang individu hanya dapat mencapai tujuan bila individu lain juga mencapa tujuan”
2.5.1. Sikap Kerjasama Dalam Kelompok
Sikap kerjasama dalam kelompok merupakan perpaduan dari sikap individu
yang terbentuk berdasarkan komitmen bersama yang diwujudkan berupa satu
sikap dan perilaku kelompok sesuai dengan karakteristik dari pada sikap dan
perilaku individu. Sikap dan perilaku kelompok yang akan mendukung jalannya
kerjasama adalah
1. Ada kejelasan visi dan misi kelompok yang dilahirkan secara bersama.
2. Ada partisipasi individu dalam kelompok
3. Ada pengaruh dalam pembuatan keputusan
4. Ada berbagi informasi
5. Sering terjadi interaksi antar anggota kelompok
2.5.2. Karakteristik – Karakteristik Pribadi Anggota Kelompok
Sikap kerjasama dalam kelompok merupkan hal yang penting bagi para
wirausaha untuk menyelesaikan tugas secara efisien dan efektif. Karakteristik –
1. Kesetiaan
2. Kesopanan
3. Kesabaran
4. Semangat
5. Optimis
6. Komunikasi
7. Kemampuan untuk menyetujui
8. Dapat diandalkan
9. Ketepatan waktu
10. Kehati – hatian
11. Humoris
Agar mekanisme kerja kelompok menjadi lancar dan terarah, masing – masing
kelompok hendaknya mempunyai pengurus kelompok yang terdiri atas ketua
kelompok, sekretaris kelompok dan jika diperlukan bendahara kelompok. Dalam
mengembangkan sikap kerjasama kelompok yang kreatif dan inovatif, seorang
pengusaha perlu mengkaji secara komprehensif tujuan kerjasama kelompok yang
dibentuk agar sesuai dengan visi dan misi pengusaha. Dengan demikian,
kelompok harus mempunyai visi untuk memberikan fokus dan pengarahan pada
energi kreatif. Contoh, kelompok penelitian (evaluation team) di tingkat
pengusaha harus memiliki visi yang jelas, dianut bersama, dirundingkan, bisa
tersebut harus dapat memberikan inspirasi bagi anggota kelompok untuk
menyumbangkan hasil pemikiran bagi kepentingan pengusaha.
Bekerjasama dalam satu tim memang membutuhkan kekompakan dan
kerjasama yang solid. Tapi meski demikian, setiap anggota juga dituntut untuk
mandiri didalam kelompok. Artinya, walau kerja tim, setiap anggota tidak boleh
hanya mengandalkan bantuan dan pertolongan rekan satu tim. Setiap anggota
tetap harus memberikan kontribusi pribadi bagi kepentingan kelompok. Menjadi
mandiri dalam kelompok kerjasama dapat diupayakan dengan berbagai cara:
1. Inisiatif
Bekerjasama bukan berarti setiap anggota cukup menunggu perintah
ketua kelompok. Jika diperlukan, lakukan apa saja yang dapat dilakukan
untuk kelompok tanpa menanti perintah. Tentu saja dengan ketentuan
mengetahui batas inisiatif yang jelas. Selain itu, jangan ragu untuk
menawarkan bantuan pada rekan yang membutuhkan bantuan anda. Dan
perlu diperhatikan bahwa, inisiatif juga merupakan bagian dari kontribusi
pada kelompok.
2. Jangan Tergantung
Jangan biasakan sifat ketergantungan di dalam kelompok. Tanamkan
bahwa, setiap individu dalam kelompok atau tim harus berbuat sesuatu
untuk kelompok. Tidak perlu cemas dan takut, jika salah satu anggota tim
tidak hadir. Bahkan, jika seandainya ketua tim berhalangan, anggota tim
3. Kebangkan Diri
Jangan menganggap bahwa, nama salah satu anggota tim akan ikut
terangkat meski Ia bermalas – malasan saja dalam kelompok, sementara
yang lain bekerja keras. Meskipun kerja tim, masing – masing anggota
kelompok memiliki nilai tersendiri. Oleh kerana itu, tidak dianjurkan
mengandalkan kerja keras rekan lain. Kesadaran akan perlunya
mengembangkan diri di dalam kelompok sangatlah diperlukan.
Kemampuan diri untuk merespon positif terhadap segala bentuk informasi
yang bersifat membangun.
4. Kesempatan Berharga
Setiap anggota wajib menanamkan di dalam dirinya, bahwa bekerja
dalam tim merupakan kesempatan berharga untuk banyak belajar. Pelajari
hal – hal baru di dalam kelompok yang tidak ditemui jika bekerja sendiri.
Walaupun masing – masing anggota kelompok merupakan pribadi yang
mandiri dalam kelompok kerjasama, iklim saling menjatuhkan harus dibuang
jauh – jauh. Perlunya kesadaran diri bahwa antara anggota adalah mitra
sejajar yang memiliki tanggung jawab bersama di dalam satu tim.
2.6.Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Hasil Penelitian
2 Simarmata
communication yang
dilakukan oleh
Terjadinya suatu konflik yang berpengaruh terhadap hubungan kerjasama pada sistem
franchise, tergantung bagaimana me-manage konflik itu sendiri. Oleh karenanya,
seorang owner atau pemilik perusahaan harus mempertimbangkan ketika membuat suatu
standart operating prossedure (SOP). Begitu juga dengan calon investor atau pembeli
franchise, diharuskan mengetahui secara detail sistem pada perusahaan yang dipilih.
Penulis memfokuskan analisis mengenai pengaruh konflik terhadap hubungan
kerjasama pada sistem franchise. Berdasarkan analisis, perusahaan yang menggunakan
waralaba sangat diminati baik pemula di bidang usaha maupun bukan. Pemahaman
mengenai untung rugi, kesiapan berwirausaha, pemahaman sistem franchise, komunikasi
dan mental dalam menjalankan usaha, khususnya yang menggunakan sistem franchise
yang buruh memicu terjadinya konflik. Sedikit banyaknya konflik yang terjadi,
Penulis mencoba meniliti pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama pada sistem
franchise. Secara sistematis konsep pemikiran dapat dilihat pada gambar 2.2 sebagai
berikut :
gambar 2.2. Kerangka Konseptual
Sumber : Soekanto (2007)
Tumbuh kembangnya perekonomian global mengakibatkan persaingan yang sangat
ketat dialami oleh perusahaan baik yang bergerak di bidang jasa maupun yang lainnya.
Sehingga setiap perusahaan memiliki keharusan menciptakan sebuah inovasi, baik dari
segi produk maupun pemasarannya. Keterangan
Komunikasi
Sumberdaya
Relasi
Kepentingan / kebutuhan
KONFLIK
Hubungan Kerjasama
usaha
(franchise)
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Komunikasi adalah hal yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam
kehidupan manusia. Terutama ketika dalam suatu organi sasi atau kelompok usaha
atau perusahaan. Ketika dalam suatu organisasi atau kelompok usaha atau
perusahaan memiliki komunikasi yang buruk, maka akan menimbulkan konflik
yang serius.
2. Pentingnya memiliki sumber daya baik itu alam ataupun tenaga ahli dalam
menjalankan usaha bisnis terlebih menggunakan sistem franchise. Faktor ini
sangat dibutuhkan untuk menunjang kinerja perusahaan.
3. Relasi sangatlah penting, selain menjadi media pemasaran dapat dijadikan sebagai
pemasukan (keuntungan) bagi perusahaan. Semakin banyak relasi yang dimiliki
oleh perusahaan maka semakin baik pula pondasi perusahaan untuk tetap berdiri
dalam persaingan bisnis.
4. Kepentingan / kebutuhan adalah suatu pencapaian baik individu atau kelompok
yang dapat dijadikan sebuah alasan menjalankan sebuah kegiatan (usaha) atau
menghasilkan produk baik jasa maupun barang. Dalam sebuah perusahaan
tentunya pemenuhan kebutuhan konsumen dicapai melalu pelayanan dan produk
itu sendiri, dan dalam komunikasi bisnis, keuntungan atau kebutuhan adalah
mengenai pendapatan dan kekuasaan itu sendiri. Selama masih sama – sama
memberikan kebutuhan tersebut maka suatu perusahaan dapat terjamin
kekuatanya.
5. Pada hubungan interaksi baik langsung maupun tidak, tentunya tidak lepas dari
menjunjung tinggi atau menerapkan nilai – nilai kehidupan, suatu perusahaan
secara otomatis memiliki karakter tersendiri di mata masyarakat, begitu pula
dengan anggota organisasi ataau perusahaan.
2.8.Hipotesis