• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT INAP PESERTA BPJS DI RSUD SUKOHARJO TAHUN 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT INAP PESERTA BPJS DI RSUD SUKOHARJO TAHUN 2016"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA

PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT INAP PESERTA BPJS DI

RSUD SUKOHARJO TAHUN 2016

PUBLIKASI ILMIAH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Farmasi Fakultas Farmasi

Oleh:

ACHMAD HARJANTO

K 100 130 042

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017

(2)
(3)
(4)
(5)

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT INAP PESERTA BPJS DI RSUD SUKOHARJO

TAHUN 2016

Abstrak

Diabetes melitus merupakan penyakit degeneratif dalam jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya komplikasi ginjal, mata, sistem saraf serta meningkatkan resiko kardiovaskuler sehingga membutuhkan terapi pengobatan yang lama dan biaya terapi yang sangat besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengobatan dan efektivitas biaya terapi penggunaan antidiabetik oral pada penderita diabetes melitus tipe 2 rawat inap peserta BPJS di RSUD Sukoharjo tahun 2016.

Penelitian ini merupakan studi observasional dengan mengumpulkan data rekam medik secara retrospektif pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 peserta BPJS di RSUD Sukoharjo tahun 2016. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 32 pasien. Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan menghitung biaya medik langsung dan menghitung nilai ACER dan ICER.

Hasil penelitian menunjukkan penggunaan antidiabetik oral di RSUD Sukoharjo pada tahun 2016 dengan kombinasi metformin + glimepiride sebesar 31,25%, metformin + glimepiride + akarbose 21,87%, metformin 18,75%, metformin + akarbose 15,62%, metformin + glibenklamid + akarbose 6,25%, glimepirid + akarbose 3,12%, metformin + glibenklamid 3,12%. Terapi antidiabetik oral yang paling cost-effective berdasarkan nilai ACER dan ICER berada pada ruang kelas 3 dengan kombinasi metformin dan glibenklamid dengan nilai ACER sebesar Rp. 11.203,54 dan ICER Rp. 1.380,56.

Kata Kunci: Diabetes melitus, antidiabetik oral, efektivitas biaya, BPJS, RSUD

Sukoharjo.

Abstract

Diabetes mellitus is a long-term degenerative diseases that can lead to kidney, eye, nervous system complications and increased cardiovascular risk. That’s make medication diabetes mellitus requiring long treatment therapies and substantial amount of cost. This study aims to know general overview of treatment and cost effectiveness of oral antidiabetic therapy for in-patients with type 2 diabetes mellitus and BPJS members at Sukoharjo Hospital in 2016.

This study used observational method. Medical record of in-patients with type 2 diabetes mellitus and members of BPJS at Sukoharjo Hospital 2016 was collected retrospectively. Purposive sampling method was used as sampling technique. There were 32 patients met inclusion criteria. Cost effectiveness analysis is calculating by direct medical costs and calculating the value of ACER and ICER.

The result shows oral antidiabetic used in Sukoharjo Hospital in 2016 was combination of metformin + glimepiride 31,25%, metformin + glimepiride + akarbose 21,87%, metformin 18,75%, metformin + akarbose 15,62%, metformin + glibenclamide + akarbose 6,25%, glimepiride + akarbose 3,12%, metformin + glibenclamide 3,12%.

(6)

5

The most cost-effective oral antidiabetic according ACER and ICER values was found in class III using combination metformin and glibenclamide with ACER was Rp. 11.203,54 and ICER was Rp. 1.380,56.

Keywords: Diabetes mellitus, oral antidiabetic, cost-effectiveness, BPJS, RSUD

Sukoharjo.

1. PENDAHULUAN

Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang disebabkan ketiadaan atau kurangnya insulin. Karakteristik dari diabetes melitus ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah atau hiperglikemia serta terjadi gangguan metabolisme pada lipid dan protein. Dalam jangka panjang, gangguan metabolisme yang terjadi meningkatkan resiko komplikasi seperti retinopati, neuropati dan nepropati (Koda-Kimble et al., 2008).

Pada tahun 2000 prevalensi diabetes melitus untuk semua umur diperkirakan sebesar 2,8% dan pada tahun 2030 prevalensi diabetes diperkirakan akan meningkat menjadi 4,4%. Dengan kenaikan prevalensi penderita diabetes melitus ini diperkirakan dari 171 juta menjadi 366 juta dari tahun 2000 hingga 2030 (Wild, et al., 2004). Hasil laporan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan menunjukkan di daerah urban Indonesia memiliki prevalensi diabetes sebesar 5,7% pada usia diatas 15 tahun. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7% dan daerah yang memiliki prevalensi diabetes terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai 11,1% (Melorose et al., 2015).

Teknologi pada saat ini berkembang pesat dengan seiring bertambahnya waktu, begitupun dalam dunia kesehatan. Penerapan teknologi canggih mengakibatkan kenaikan biaya kesehatan di Indonesia, bukan hanya teknologi yang mengakibatkan kenaikan biaya kesehatan tapi juga pelayanan yang diberikan melebihi kebutuhan pasien dalam pelayanan kesehatan, pola penyakit degeneratif dan kronik serta inflasi. Biaya pemeliharaan kesehatan yang semakin tinggi semakin sulit ditangani oleh masyarakat dan pemerintah yang menyediakan dana. Biaya yang tinggi berdampak pada mutu pelayanan kesehatan dan akses masyarakat untuk mendapatkan kesehatan (Andayani, 2013). Menurut Janis (2014) dengan adanya kebijakan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) masyarakat yang sebelumnya tidak mampu membayar jasa kesehatan bisa mendapatkan pelayanan kesehatan sehingga permintaan pelayanan keseahatan tinggi. BPJS yang memiliki konsep SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) menunjukan keberhasilan karena transformasi Askes ke BPJS memiliki potensi kinerja yang bagus.

Berdasarkan penelitian Priharsi (2015) tentang analisis efektivitas biaya yang dilakukan di RSUD Moewardi Surakarta menyatakan antidiabetik oral yang banyak digunakan adalah glikuidon

(7)

dari golongan sulfonilurea dengan persentase sebesar 80%. Golongan biguanid memiliki efektivitas tertinggi dengan persentase sebesar 58,33% dan golongan sulfonilurea memiliki efektivitas terendah dengan presentase sebesar 14,81%. Biaya antidiabetik oral yang terendah yaitu golongan biguanid dengan nilai ACER sebesar Rp 1.426,72 dan ICER sebesar Rp -10.454,89, sedangkan antidiabetik oral yang memiliki biaya paling tinggi adalah golongan sulfonilurea sengan nilai ACER dan ICER sebesar Rp 15.193.

Untuk itu perlu dilakukannya evaluasi efektivitas biaya pengobatan antidiabetik pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang menggunakan BPJS dan menjalani rawat inap di RSUD Sukoharjo tahun 2016.

2. METODE

2.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif, teknik pengambilan data dilakukan secara retrospektif berdasarkan data rekam medik. Sampel yang digunakan adalah rekam medik penderita diabetes melitus tipe 2 pada tahun 2016. Subyek penelitian yang digunakan adalah pasien rawat inap peserta BPJS yang telah didiagnosis menderita diabetes melitus tipe 2 yang mendapatkan terapi antidiabetik oral di RSUD Sukoharjo tahun 2016. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data dari instalasi rekam medik, instalasi farmasi dan bagian keuangan rumah sakit. Data yang ditulis pada pengumpulan data meliputi nomor rekam medik, identitas pasien, hasil laboratorium, perincian biaya pengobatan.

2.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengumpul data dan catatan data biaya medik langsung di RSUD Sukoharjo. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari rekam medik, instalasi farmasi dan bagian keuangan.

2.3 Tempat Penelitian

Tempat yang dipilih untuk penelitian ini di RSUD Sukoharjo tahun 2016 pada bagian rekam medik, instalasi farmasi dan bagian keuangan.

2.4 Definisi Operasional

a. Analisis efektivitas biaya adalah perbandingan dari biaya medik langsung perbulan dengan efektivitas terapi.

b. Biaya medik langsung (direct medical cost) per pasien. Perhitungan biaya dibatasi pada direct medical cost, yaitu seluruh biaya yang telah dikeluarkan pasien terkait dengan pelayanan jasa medis untuk tercapai diabetes melitus. Biaya tersebut meliputi biaya antidiabetik oral, biaya obat lain, biaya laboratorium, biaya dokter dan biaya tindakan dan keperawatan, biaya ini dapat

(8)

7

diperoleh di bagian keuangan rumah sakit. Biaya ini dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya antidiabetik oral, biaya obat lain, biaya laboratorium, biaya dokter dan biaya tindakan dan keperawatan kemudian dibagi jumlah kasus.

c. Target terapi antidiabetik oral adalah tercapainya nilai normal dari GDS < 200 mg/dL (PERKENI, 2015).

d. % Efektivitas adalah jumlah pasien yang mencapai target gula darah sewaktu dibagi dengan jumlah seluruh pasien yang medapatkan terapi.

2.5 Populasi dan Sampel

Populasi yang dipilih sebagai subyek penelitian ini yaitu pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Sukoharjo tahun 2016. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling.

Kriteria inklusi :

a. Pasien peserta BPJS yang terdiagnosis menderita diabetes melitus tipe 2 yang menjalani rawat inap di RSUD Sukoharjo tahun 2016.

b. Pasien diabetes melitus tipe 2 yang mendapatkan terapi antidiabetik oral minimal 3 bulan dengan jenis yang sama dalam periode pemeriksaan tahun 2016.

c. Data rekam medik memuat identitas pasien (nomor rekam medik, nama, jenis kelamin dan usia), diagnosis, hasil laboratorium gula darah sewaktu masuk dan keluar rumah sakit, biaya medik langsung (biaya obat antidiabetik oral, biaya obat lain, biaya laboratotium,biaya rawat inap, biaya jasa dokter dan biaya tindakan dan keperawatan), nama obat yang diberikan.

Kriteria eksklusi :

a. Pasien diabetes melitus mendapat terapi insulin yang mengindikasikan DM tipe 1. b. Pasien diabetes melitus yang mempunyai komplikasi gagal ginjal.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karateristik Pasien

Penelitian dilakukan pada 236 pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD Sukoharjo tahun 2016. Pengambilan sampel pasien dilakukan dengan metode purposive sampling. Setelah dilakukan penelitian pada 236 pasien didapatkan 32 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, dari 236 pasien berkurang menjadi 199 karena 37 pasien membayar pengobatan dengan mandiri tidak menggunakan BPJS, dari sejumlah 199 pasien berkurang karena riwayat pasien meninggal, gagal ginjal, ulkus diabetik, data rekam medik dan keuangan yang tidak lengkap. Data 32 pasien diabetes melitus tipe 2 rawat inap RSUD Sukoharjo tahun 2016 dikelompokakan menurut umur, jenis kelamin, lama

(9)

perawatan dan kelas rawat inap. Karateristik pasien diabetes melitus tipe 2 rawat inap peserta BPJS di RSUD Sukoharjo tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Gambaran demografi pasien diabetes melitus tipe 2 rawat inap RSUD Sukoharjo tahun 2016

Keterangan Jumlah Persentase (%)N=32

Usia 20-44 3 9,37% 45-64 25 78,13% > 65 4 12,5% Jenis Kelamin Laki-laki 9 28,12% Perempuan 23 71,88%

Lama Rawat Inap

1-2 hari 1 2,94% 3-4 hari 9 29,41% 5-6 hari 10 32,35% >7 hari 12 35,30% Kelas III 25 78,12% II 4 12,5% I - - VVIP 3 9,38% Diagnosa DM 14 43,75% DM + HT 9 28,125% DM + Gastritis 2 6,25% DM + IHD 2 6,25% DM + Malaise 1 3,125% DM + IHD + HT 3 9,375% DM + HT + Gastritis 1 3,125%

Menurut penelitian yang dilakukan oleh CDC pada tahun 2010-2012, 37% orang dewasa dengan umur 20 tahun atau lebih memiliki riwayat prediabetes, 51% orang dewasa dengan umur 65 tahun atau lebih memiliki riwayat diabetes melitus. Hasil observasi penelitian ini pada umur 45-64 memiliki persentase terbesar, hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra (2013). Hasil penelitian Riskesdas tahun 2013 menyatakan prevalensi diabetes melitus tipe 2 pada rentang usia 55-64 tahun sebesar (4,8%), sedangkan rentang umur 65-74 tahun sebesar (4,2%).

Pasien diabetes melitus di RSUD Sukoharjo tergambarkan pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 9 dengan persentase 28,12% dan perempuan 23 dengan persentase 71,88%. Perawatan di rumah sakit paling banyak lebih dari 7 hari. Riwayat diabetes gestational yang terjadi pada perempuan akan lebih mudah berkembang menjadi diabetes melitus pada masa mendatang, sehingga perkembangan penyakit diabetes melitus pada perempuan terus meningkat (American Diabetes Association, 2016). Wanita pasca-menopause memiliki resiko diabetes melitus karena adanya perubahan hormonal, perubahan hormonal menyebabkan terjadinya gangguan pada distribusi lemak sehingga menyebabkan diabetes melitus (Irawan, 2010).

(10)

9

Penderita diabtes melitus tipe 2 pada usia 20 tahun ke atas akan meningkat angka kejaidiannya, peningkatan sering terjadi pada wanita dari pada pria. Umur 41-60 tahun pada pasien diabetes melitus tipe 2 memiliki angka kejadian paling banyak dengan 62,5% dan pada penderita dengan jenis kelamin perempuan sebesar 68,75% (Triplitt et al., 2008).

3.2 Gambaran Penggunaan Obat Antidiabetik Oral

Terapi antidiabetik oral pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD Sukoharjo secara umum menggunakan obat golongan sulfonilurea, alfa-glukosidase inhibitor dan biguanid. Sulfonilurea bekerja dengan memacu sekresi insulin. Biguanid bekerja dengan meningkatkan sensivitas insulin. Alfa-glukosidase inhibitor bekerja dengan menghambat absorpsi glukosa di saluran pencernaan (PERKENI, 2015). Gambaran penggunaan antidiabetik oral di RSUD Sukoharjo tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penggunaan antidiabetik oral pada pasien diabetes melitus tipe 2 rawat inap di RSUD sukoharjo 2016

Golongan Obat Nama Obat Jumlah Persentase (N=32)

Biguanid Metformin 6 18,75%

Biguanid + sulfonylurea Metformin +

Glimepirid

10 31,25%

Biguanid + Alfa- glukosidase inhibitor Metformin + Akarbose 5 15,62% Sulfonilurea + Alfa- glukosidase inhibitor Glimepirid + Akarbose 1 3,12%

Biguanid + sulfonylurea Metformin +

Glibenklamid

1 3,12%

Biguanid + sulfonilurea + Alfa- glukosidase inhibitor

Metformin + Glimepirid + Akarbose

7 21,87%

Biguanid + sulfonilurea + Alfa- glukosidase inhibitor

Metformin + Glibenklamid +

Akarbose

2 6,25%

Antidiabetik oral digunakan untuk menurunkan kadar gula dalam darah dengan bebabagai macam mekanisme, penggunaan antidiabetik oral yang paling banyak digunakan adalah metformin. Metformin adalah obat lini pertama untuk diabetes melitus. Metformin dapat menurunkan 1-2% HbA1c sehingga lebih banyak digunakan (PERKENI, 2016). Metformin merupakan obat yang memiliki efektivitas terapi yang tinggi dengan biaya yang rendah (Gu et al., 2015).

3.3 Penggunaan Obat Lain

Terapi diabetes melitus tidak hanya pada pengobatan penyakitnya saja tetapi juga komplikasi dan gejala-gejala yang ditimbulkan, oleh karena itu dibutuhkan terapi obat lain. Penggunaan infus RL OGB menjadi terapi yang banyak digunakan. Gambaran penggunaan obat lain di RSUD Sukoharjo dapat dilihat pada Tabel 3.

(11)

Tabel 3. Gambaran Pola Pengobatan Non Antidiabetik Oral Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Inap Peserta BPJS di RSUD Sukoharjo Tahun 2016

Kelas Terapi Nama Obat Jumlah Persentase (%)

N=32

Larutan elektrolit Inj. RL OGB 32 100%

Obat saluran cerna Inj. Omeprazole 20 mg CAP 9 28,12% Inj. Ranitidine 25 mg/mL 10 31,25%

Syp . Sucralfat 100 mL 3 9,37%

Inj. Ondansentron 4 mg 4 12,5%

Antihipertensi Amlodipine 10 mg 11 34,37%

Captopril 12,5 mg 2 6,25%

Obat jantung Clopidogrel 3 9,37%

Nitrokaf 2 6,25%

Obat saluran napas Ambroxol 30 mg 2 6,25%

Multivitamin inj .Vitmin B1 100 mg 5 15,62%

Inj. Vitamin B12 500 mg 17 53,12% Vitamin B12 100 mg 9 28,12% Asam folat 1 mg 3 9,37% Analgesik Ketorolak 2 6,25% Antalgin 3 9,37% Paracetamol 500 mg 6 18,75%

Pada penelitian ini terdapat komplikasi penyakit yang paling banyak yaitu hipertensi dengan jumlah 13 kasus dan IHD dengan jumlah 4 kasus. Pasien diabetes melitus umumnya memiliki kopmlikasi hipertensi yang bisa memicu komplikasi mikrovaskuler dan faktor resiko terjadinya penyakit jantung (American Diabetes Association, 2014). Terapi hipertensi pada penelitian ini menggunakan obat amlodipine 10 mg dan kaptopril 12,5 mg. Amlodipine merupakan golongan

Calcium Channel Blocker yang diberikan pada pasien khusus yang memiliki resiko tinggi terhadap

penyakit koroner dan diabetes (Depkes, 2006). Pemberian terapi obat amlodipin bermanfaat untuk mengurangi resiko terjadinya stroke dengan persentase mencapai 50% dan resiko myocardial

infraction dengan persentase 26% (Fares et al., 2016).

3.4 Analisis efektivitas biaya

a) Biaya Medik Langsung

Biaya medik langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk produk dan layanan medis yang digunakan untuk mencegah, mendeteksi, dan mengobati penyakit. Biaya medik langsung memiliki cakupan biaya obat,biaya obat lain, biaya keperawatan dan tindakan, biaya laboratorium dan biaya tes diagnostik, biaya rawat inap, dan biaya kunjungan. Kopomonen biaya medik langsung pada pasien diabetes melitus tipe 2 rawat inap peserta BPJS di RSUD Sukoharjo tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 4.

(12)

11

11

Tabel 4. Rekapitulasi biaya medik langsung pada pasien Diabetes melitus tipe 2 rawat inap peserta BPJS di RSUD Sukoharjo tahun 2016.

Ruangan Kombinasi 0bat Komponen biaya (Rp±SD) Biaya Visite Dokter Biaya Laboratorium Harga Antidiabetik Harga Obat Lain

Biaya rawat inap Biaya keperwatan dan tindakan Total Biaya Kelas 3 Metformin + Glimepirid + Akarbose 23.332,09± 60.100 89.036,62± 230.468 6.491,11± 13.744 182.445,93± 463.169 53.632± 227.229 149.941,69± 198.745 285.681,93± 1.193.455 Metformin + Akarbose 35.309,34± 94.250 106580,94± 256.875 7.919,82± 13.692 122.682,11± 437.612 194.300,41± 421.750 217.497,35± 288.313 671.807,27± 1.512.492 Metformin + Glimepirid 34.606,35± 92.500 111.394,40± 218.900 13.29,42± 3.450 93.143± 353.165 144.938,79± 309.278 306.823,95± 538.006 538.061,89± 1.515.299 Metformin + Glibenklamid + Akarbose 41,365,75± 92.250 48,012,55± 205.900 1,849,1± 8.612 807,51± 443.781 34,082,55± 409.700 70,268,74± 149.813 198,507,5± 1.310.055 Glimepirid + Akarbose 49.500 284.300 20.889 359.337 289.200 317.175 1.320.401 Metformin 57.510,87± 84.000 137.353,78± 236.538 998,71± 2.249 259.041,98± 383.278 188.288,32± 298.981 37.980,65± 80.795 419.742,33± 1.085.840 Metformin + Glibenklamid 67.500 177.030 3.401 430.323 337.400 104.700 1.120.354 Kelas 2 Metformin + Glimepirid 66.267,22± 61.642 777,82± 148.250 5.379,67± 10.980 99.610,13± 327.432 156.270,59± 552.500 349.504,49± 380.013 667050,59± 1.480.817 Metformin 300.520,38± 280.000 289.135,96± 378.400 3.835,34± 5.613 211.654,73± 439.461 872.852,61± 1.002.800 332.104,72± 550.984 1.579.123,59± 2.657.257 Kelas Vvip Metformin + Glimepirid 68.589,35± 226.000 127.526,70± 269.275 7.684,13± 12.250 3.078,03± 308.657 1.517.451,15± 2.723.000 279.307,17± 522.500 1.851.089,58± 4.061.681 Metformin + Akarbose 300.500 852.100 13.122 834.614 1.442.500 288.675 3.731.511

(13)

Hasil penelitian yang ada pada tabel 6 menunjukkan total biaya medik langsung terendah terdapat pada kelas 3 dengan terapi obat metformin, biaya yang dikeluarkan sebesar 419.742,33 ± 1.085.840. Metformin dapat menghemat biaya terapi 39,87% sampai 40,97% (Gu et al., 2015). Sedangkan pemberian terapi metformin dan glimepirid menjadi total biaya medik langsung tertinggi dengan biaya sebesar 4.061.681, hal ini disebabkan karena biaya ruang rawat inap selama 15 hari dan biaya obat lain yang sudah tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan Hartanto (2017) pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan terapi antidiabetik oral di RSUD Ulin Banjarmasin menunjukkan biaya tertinggi adalah biaya obat sebesar 53,27% yang mencakup biaya obat antidiabetik oral dan obat lain. Biaya obat pada pasien Jamkesmas diabetes melitus menjadi komponen yang paling besar untuk biaya total pengobatan yaitu sebesar 32,38% (Sari,2014).

Menurut penelitian yang dilakukan Priharsi (2015) menunjukkan biaya total rata-rata terapi diabetes melitus tipe 2 rawat jalan peserta BPJS di RS Dr. Moewardi tahun 2014 yang paling besar adalah terapi dengan golongan sulfonilurea yaitu sebesar Rp 225.008± 64.305,93.

b) Efektivitas Biaya

Terapi antidiabetik oral pada pasien diabetes melitus bertujuan untuk menurunkan kadar gula darah sewaktu yang tinggi menjadi normal. Terapi diabetes melitus dikatakan berhasil jika kadar glukosa darah sewaktu ≤ 200 mg/dl (PERKENI, 2015). Gambaran efektivitas pola terapi pada pasien diabetes melitus tipe 2 rawat inap peserta BPJS di RSUD Sukoharjo tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Gambaran Efektivitas Pola Terapi Pada Pasien DM tipe 2 Rawat Inap Peserta BPJS di RSUD Sukoharjo Tahun 2016

Ruangan Kombinasi Obat Jumlah

pasien Jumlah pasien yang mencapi target Efektivitas (%) Kelas 3 Metformin + Glimepirid + Akarbose 7 5 71,43% Metformin + Akarbose 4 3 75% Metformin + Glimepirid 6 5 83,33% Metformin + Glibenklamid + Akarbose 2 2 100% Glimepirid + Akarbose 1 1 100% Metformin 4 3 75% Metformin + Glibenklamid 1 1 100% Kelas 2 Metformin + Glimepirid 2 2 100% Metformin 2 2 100%

Kelas vvip Metformin + Glimepirid

2 2 100%

Metformin + Akarbose

(14)

13

Hasil efektivitas terapi menunjukkan sebagian besar pasien telah memenuhi target gula darah sewaktu, efektivitas yang paling kecil adalah obat kombinasi metformin, glimepirid dan akarbose sebesar 71,43%. Terapi pengobatan rata-rata hampir mencapai 100%, efektivitas yang mencapai 100% bukan berarti menunjukkan terapi berhasil semuanya karena hal ini terjadi hanya pada sampel yang kecil.

Menurut penelitian Priharsi (2015) Hasil penelitian menunjukkan antidiabetik oral yang banyak digunakan adalah glikuidon dari golongan sulfonilurea dengan presentase sebesar 80%. Efektivitas terapi tertinggi yaitu golongan Biguanid dengan presentase sebesar 58,33% dan efektivitas terendah adalah golongan Sulfonilurea dengan presentase sebesar 14,81%.

c) Perhitungan Efektivitas Biaya Berdasarkan ACER Dan ICER

Biaya merupakan komponen pengeluaran untuk mendapatkan outcome yang baik dengan biaya serendah mungkin. Terapi dituntut bukan hanya pada efek terapi yang bagus tetapi juga biaya terapi yang rendah. Pengukuran efektivitas biaya dapat menggunakan 2 metode yaitu ACER dan ICER untuk menganalisis total biaya medik langsung. Perhitungan ACER Dan ICER dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perhitungan ACER Dan ICER Pada tiap Antidiabetik oral yang digunakan pasien diabetes melitus tipe 2 peserta BPJS di RSUD Sukoharjo 2016.

Ruangan Kombinasi Obat Total biaya (C) Efektivitas (E) (%)

ACER (C/E) ICER (ΔC/ΔE)

Kelas 3 Metformin 1.085.840 75 14.477,87 - Metformin + Glibenklamid 1.120.354 100 11.203,54 1.380,56 .Metformin + Glimepirid + Akarbose 1.193.455 71,43 16.708,03 -2.558,66 Metformin + Glibenklamid + Akarbose 1.310.055 100 13.100,55 4.081,20 Glimepirid + Akarbose 1.320.401 100 13.204,01 - Metformin + Akarbose 1.512.492 75 20.166,56 -7.683,64 Metformin + Glimepirid 1.515.299 83,33 18.184,31 336,97 Kelas 2 Metformin + Glimepirid + 1.480.817 100 14.808,17 - Metformin 2.657.257 100 26.572,57 -

Kelas vvip Metformin +

Akarbose

3.731.511 100 37.315l,11 -

Metformin + Glimepirid

4.061.681 100 40.616,81 -

Nilai ACER yang paling kecil pada penelitian ini adalah pemberian terapi obat metformin dan glibenklamid pada kelas 3 dengan nilai sebesar Rp.11.203,54. Hasil nilai ICER yang paling kecil adalah pemberian terapi obat metformin dan Akarbose yang memiliki nilai Rp.-7.683,64. Dari tabel

(15)

6 menunjukkan terapi yang paling cost-effective adalah metformin dan glibenklamid di ruang kelas 3 dengan nilai ACER sebesar Rp.11.203,54 dan nilai ICER sebesar Rp.1.380,56.

Hasil penelitian Aldilla (2008) menunjukkan pola pengobatan yang banyak digunakan adalah terapi tunggal biguanid sebesar 51,39 %. Biaya terapi tiap bulan untuk pengobatan DM tipe 2 rawat inap di RSUD Sleman Yogyakarta untuk terapi tunggal biguanid sebesar Rp.56.359,42 ± 31.449,48 sedangkan terapi tunggal sulfonilurea sebesar Rp.54.080,68 ± 32.768,75. Efektivitas paling besar terlihat pada pola pengobatan terapi tunggal biguanid yaitu 97,30 %. Pengobatan yang cost-effective adalah terapi tunggal biguanid dengan nilai ACER sebesar Rp.579,23 serta memberikan manfaat sebesar Rp.261,02.

Obat antidiabetik oral yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metformin, glimepirid, glibenklamid dan akarbose telah terdapat dalam Formularium Nasional 2014 yang merupakan acuan dalam pelaksanaan BPJS di Fasilitas Kesehatan 1,2 dan 3 sebagai salah badan hukum yang dibentuk oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini sesuai dengan ketentuan pada Formularium Nasional 2014 karena menurut Keputusan Kementrian Kesehatan Nomor 228/Menkes/SK/VI/2013 tentang Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional 2013 obat-obat tersebut merupakan obat yang dibutuhkan dan harus tersedia di Fasilitas Kesehatan 2 dan 3 yaitu Rumah Sakit tipe A, B dan C, sehingga RSUD Sukoharjo yang merupakan rumah sakit tipe B termasuk kedalam Fasilitas Kesehatan tipe 2. Sedangkan untuk kombinasi antidiabetik oral yang merupakan terapi lini ke 2 dan 3 dalam penelitian ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut pada Formularium Nasional 2014.

d) Analisis Sensivitas

Kajian farmakoekonomi memperhitungkan aspek ketidakpastian (uncertainty) dari berbagai data yang digunakan maupun dihasilkan, agar ketidakpastian yang ada dapat diperhitungkan dengan baik, dampak dari unsur ketidakpastian harus diidentifikasi, dinilai, dan diinterpretasi terutama untuk parameter yang paling dominan pada hasil kajian. Untuk menganalisis dampak ketidakpastian, lazim digunakan analisis sensitivitas. Metode yang paling sederhana adalah analisis sensitivitas satu arah, dilakukan dengan mengubah nilai suatu variabel dalam kisaran yang memungkinkan dengan menjaga nilai variabel lainnya konstan (KEMENKES, 2013)

Tabel 7. Rekapitulasi Perhitungan Analisis Uji Sensitivitas Terapi Metformin dan Glibenklamid

Biaya Visite Dokter (Rp) Biaya Laboratorium (Rp) Biaya Antidiabetik (Rp) Biaya Obat Lain (Rp) Biaya Ranap (Rp) Biaya Keperwatan dan tindakan (Rp) Total Biaya (Rp) Biaya 67.500 177.030 3.401 430.323 337.400 104.700 1.120.354 Plus 25% 131.250 31.5037,5 4.251,25 350.403,75 421.750 177.750 1.400.442,5 Minus 25% 78.750 189.022,5 2.550,75 210.242,25 253.050 106.650 840.265,5

(16)

15

Selisih 52.500 126.015 1.700,5 140.161,5 168.700 71.100 560.177

Biaya pengobatan pasien diabetes melitus tipe 2 di ruang kelas 3 dengan terapi obat metformin dan glibenklamid menghabiskan total biaya Rp. 1.120.354. Hasil perhitungan analisis sensivitas dengan selisih yang paling besar ada pada biaya rawat inap sebesar Rp.168.700. Biaya rawat inap pada terapi antidiabetik metformin dan glibenklamid berada pada ruang kelas 3 yang merupakan ruang kelas dengan biaya paling rendah dibandingkan dengan kelas lainnya sehingga jika ruang kelas dinaikkan maka menjadi lebih mahal, sedangkan biaya antidiabetik merupakan komponen biaya yang paling rendah.

4. PENUTUP

Antidiabetik oral yang digunakan adalah kombinasi metformin + glimepiride sebanyak 10 pasien (31,25%), metformin + glimepirid + akarbose sebanyak 7 pasien (21,87%), metformin sebanyak 6 pasien (18,75%), metformin + akarbose sebanyak 5 pasien (15,62%), metformin + glibenklamid + akarbose sebanyak 2 pasien (6,25%), glimepiride + akarbose sebanyak 1 pasien (3,12%), metformin + glibenklamid sebanyak 1 pasien (3,12%).

Terapi antidiabetik oral yang paling cost-effective berdasarkan nilai ACER adalah kombinasi metformin dan glibenklamid dengan nilai sebesar Rp. 11.203,54, jika berdasarkan nilai ICER antidiabetik oral yang paling cost-effective adalah kombinasi metformin dan glibenklamid dengan nilai sebesar Rp. 1.380,56.

PERSANTUNAN

Terimakasih diucapkan kepada Ibu Mariska Sri Harlianti, M.Sc., Apt selaku pembimbing skripsi dan Direktur serta Staf rumah sakit terkait yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan artikel ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aldilla , D., 2008, Analisis Efektivitas-Biaya Penggunaan Terapi Tunggal Biguanid Dan Sulfonilurea Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan Di RSUD Sleman Yogyakarta Tahun 2007-2008. Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Andayani, T., 2013, Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi, Yogyakarta: Bursa Ilmu.

American Diabetes Association, 2014, Standards of Medical Care in Diabetes-2014. Diabetes Care, Vol. 37 (1): S14

American Diabetes Association, 2014, Standards of Medical Care in Diabetes-2015. Diabetes Care, Vol. 38.

Berger, M.L., Bingefors, K., Hedblom, E., Pashos, C.L., Torrance, G., Smith, M.D., 2003, Health Care Cost, Quality, and Outcomes : ISPOR Book of Terms, ISPOR: USA.

(17)

Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G. and Posey L.M., 2011, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 8th ed., Mc Graw - Hill, United State of America.

Fares H., DiNicolantonio J.J., O’Keefe J.H. and Lavie C.J., 2016, Amlodipine in hypertension: a first-line agent with efficacy for improving blood pressure and patient outcomes, Open Heart, 3 (2), e000473.

Gu S., Tang Z., Shi L., Sawhney M., Hu H. and Dong H., 2015, Cost-Minimization Analysis of Metformin and Acarbose in Treatment of Type 2 Diabetes, Value in Health Regional Issues, 6, 84–88. Terdapat di: http://dx.doi.org/10.1016/j.vhri.2015.03.012.

Hartanto D. and Mulyani T., 2016, Gambaran Biaya Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Terapi Antidiabetik Oral Di Rsud Ulin, , 2 (1), 109–116.

Kemenkes RI, 2013, Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta.

Kumar, S., and Baldi, A., 2013, Pharmacoeconomics: Principles, Methods and Economic Evaluation of Drug Therapies, Department of Quality Assurance, I. S. F, College of Pharmacy: India.

Koda-Kimble, M.A., et. al., 2009, Applied Therapeutics. The Clinical Use Of Drug. 9 th, Lippincot Williams & Wilkins: Philadelpia.

Melorose J., Perroy R. and Careas S., 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, Statewide Agricultural Land Use Baseline 2015, 1, 3–7.

Murni, 2010, Analisis Efektivitas Biaya pada Penderita Diabetes Melitus tipe 2 Rawat inap Peserta Asuransi Kesehatan di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta tahun 2014, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

National Institute of Health, 2014, Causes of Diabetes, National Diabetes Information.

Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013, Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, www.depkes.go.id (diunduh pada tanggal 16 November 2016).

PERKENI, 2011, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI, Jakarta.

Price, S. A. And Wilson, L, M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6, EGC: Jakarta.

Priharsari. A., 2015. Analisi Efektivitas Biaya Antidibetik Oral pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat inap Peserta BPJS di Rumah Sakit Umum Daerah DR. Moewardi Tahun 2014, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Rascati, K, L., 2009, Essential of Pharmacoeconomics, Walters Kluwer Health: Philadelphia.

Sari, R.M. 2014. Perbandingan Biaya Riil dengan Tarif Paket Ina-CBGs dan Analisis Faktor yang Mempengaruhi Biaya Riil pada Pasien Diabetes Melitus Rawat Inap Jamkesmas di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. SPREAD. Vol.4 No.1 : 61-70

UU BPJS, 2011, Penjelasan Tentang BPJS, www.djpp.kemenkumham.go.id (diunduh pada tanggal 16 November 2016).

Wild, S., Roglic, G., Green, A., Sicree, R., & King, H., 2004, Global Prevalence of Diabetes: Estimates for the year 2000 and projections for 2030, Diabetes Care, 27, 1047-1053.

Referensi

Dokumen terkait

– Status solusi ( solution state ): satu atau lebih status yang menyatakan solusi persoalan. •

44 KABUPATEN SIMALUNGUN 63 KOTA MAGELANG 45 KABUPATEN SINJAI 64 KABUPATEN BATU BARA 46 KABUPATEN SOLOK 65 KABUPATEN PATI 47 KABUPATEN SOLOK SELATAN 66 KOTA PALEMBANG 48 KABUPATEN

DDL merupakan bahasa atau query yang memungkinkan pengelola atau pengguna basis data untuk membuat dan memberi nama sebuah entitas, atribut, dan hubungan

[r]

Bumi yang kaya ini jika dikelola dengan baik akan membuat setiap rakyat Indonesia bisa memperoleh kemakmuran yang luar biasa sehingga bisa jadi suatu saat rakyat Indonesia sudah

Kotoran ayam tersebut akan diuraikan oleh mikroba pengurai yang ada di dalam tanah secara alami baik unsur hara makro maupun mikro menjadi bahan organik

Konsep Porter ini dikenal sebagai Diamond of Competitive Advantage (Gambar 1): (1) Kon- disi faktor ( faktor conditions ), yaitu posisi negara dalam hal penguasaan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Projek Akhir Arsitektur tahap Landasan Teori dan.. Program