• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of Distribution Pattern and Density of Ulin/Ironwood (Eusideroxylon zwageri T. et B) in the Botanical Gardens UNMUL Samarinda, East Borneo.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analysis of Distribution Pattern and Density of Ulin/Ironwood (Eusideroxylon zwageri T. et B) in the Botanical Gardens UNMUL Samarinda, East Borneo."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)Analysis of Distribution Pattern and Density of Ulin/Ironwood (Eusideroxylon zwageri T. et B) in the Botanical Gardens UNMUL Samarinda, East Borneo. Hetty Manurung*, Dwi Susanto, Desi Natalia Dones *hetty_manroe@ymail.com. Mulawarman University, East Kalimantan. Indonesia.. Abstract This study aims to determine the distribution pattern and density of mother trees, sapling and seedling of ulin (Eusideroxylon zwageri T et. B) in the Botanical Gardens Unmul Samarinda, East Borneo. This study used transect method were made in three zones: the Recreation, Collection and Conservation zone. In each zone 100m transect lines were made, and in each transect lines were made on plots 20x20m. Replication done 3 times, so area of observations of each zone is 3600m2. In a plot size of 20x20m, plots were made of 10x10m, 5x5m and 2x2m and then measured the dbh (diameter at breast height) and number of mother trees, saplings and seedlings of the ulin. The Results were analyzed by calculating the distribution patterns and density of the mother trees, saplings, seedlings of ulin. The results showed that on recreation zone the distribution pattern of mother trees were uniform (δ2/μ = 0.791), sapling were clumped (δ2/μ = 2.014) and seedlings (δ2/μ = 32,408) were clumped. On the collection zone The distribution pattern of the mother trees were uniform (δ2/μ = 0.791), saplings were clumped (δ2/μ = 3.887) and seedlings were clumped (δ2/μ = 251, 397). On Conservation zone distribution patterns of mother tress were clumped (δ2/μ = 1.432), saplings were clumped (δ/μ = 5.625) and seedlings were clumped too (δ2/μ = 116.011). The density of mother trees is highest in the conservation zone (0.00642 individuals/3600m2) than the other, the highest density of saplings contained in the collection zone (0.0072 individuals/3600m2), and the highest density of seedlings found in conservation zone (0.1690 individuals/3600m2). Keywords: Botanical Gardens Unmul Samarinda, Density, Distribution, Mother Trees, Sapling, Seedling, Ulin/Ironwood (Eusideroxylon zwageri).. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis yang luas. Salah satu pulau yang masih memiliki hutan hujan tropis di Indonesia adalah pulau Kalimantan. Menurut Ashton (1965) Kalimantan merupakan pulau dengan kekayaan flora tertinggi di Indonesia. Terdata lebih dari 3.000 jenis pohon, termasuk 267 jenis Dipterocarpaceae dengan 58% diantaranya merupakan jenis endemik. Dipterocarpaceae adalah kelompok pohon kayu terpenting di Asia, berperan sebagai penghasil kayu terbesar dan penyusun struktur utama dominan di hutan-hutan dataran rendah Asia Tenggara. Tingkat endemisme flora Kalimantan juga tergolong tinggi yakni 34% dari keseluruhan tumbuhan sedangkan Sumatra hanya 12%. Namun setiap tahunnya luas hutan di pulau Kalimantan terus berkurang. Salah satu pulau di Kalimantan yang memiliki kekayaan flora yang cukup luas adalah Kalimantan Timur (Hidayat, 2003). Kalimantan Timur yang luasnya 211.440 km2 merupakan provinsi terbesar kedua setelah Papua. Luasnya mencakup 11% dari total luas pulau Kalimantan, serta memiliki kawasan hutan yang cukup luas, yaitu 20,62 juta ha. Kawasan hutan yang dihuni oleh beragam flora unik dan menarik ini, semakin terancam keberadaannya dengan adanya berbagai permasalahan seperti kebakaran dan perambahan serta ekploitasi secara besarbesaran. Dari segi fauna, terbukti 11 dari 13 jenis primata Borneo terdapat dikawasan ini, sementara dari segi flora, antara lain terdapat jenis eksotik seperti marga dari Shorea, Parashorea, Dipterocarpus, Dryobalanop, Vatica, Pentacme, Cotylelobium, Anisoptera, Hopea, Balanocarpus, dan Upuna. Salah satu jenis tersebut yaitu kayu ulin (Eusideroxylon.

(2) zwageri Teijms. & Binned.) yang merupakan kebanggaan masyarakat Kalimantan (Hidayat, 2003). Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) merupakan suatu lembaga konservasi tumbuhan dan satwa dari Unit Pelaksana Tugas (UPT) Kebun Botani dan Hutan Pendidikan Lempake milik Universitas Mulawarman. KRUS juga merupakan tempat pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan wisata alam. Kawasan ini akan menjadi pusat pembelajaran, penguji teori, objek wisata alam untuk masyarakat luas dan miniatur kawasan Hutan Hujan Tropis Dataran Rendah yang terlengkap dengan berbagai koleksi keanekaragaman hayati khususnya jenis tumbuhan ulin (Tasa, 2005). Tetapi sampai saat ini belum tersedia informasi tentang pola penyebaran serta kerapatan tumbuhan ulin yang berada di kawasan KRUS tersebut, dimana hal ini merupakan informasi yang sangat penting untuk melakukan usaha pelestarian maupun budidaya tumbuhan ulin. Beekman (1949) mengatakan bahwa ulin atau kayu besi termasuk salah satu jenis flora yang langka dan unik didunia, mempunyai daya awet dan kekuatan yang besar. Sebagai jenis tumbuhan asli Indonesia, ulin atau kayu besi (Gambar 1.) telah lama dikenal memiliki mutu yang tinggi, tahan terhadap serangan rayap dan berbagai kondisi alam, namun daya regenerasi dan pertumbuhannya sangat lambat. Semakin gencarnya permintaan akan kebutuhan kayu ulin maka keberadaan jenis ini di hutan alam mulai terancam. Bahkan pohon ulin yang dilindungi tetap saja ditebang, hal ini terjadi karena harga kayu ulin cukup tinggi. Dalam rangka upaya melestarikan jenis ulin yang keberadaannya dikhawatirkan mengalami ancaman kepunahan tanpa adanya usaha untuk melestarikan, dan pertumbuhan pohon ulin yang sangat lambat sehingga memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh kayu yang baik, oleh karena itu ulin merupakan jenis pohon yang dilindungi dimana penebangan hanya boleh dilakukan pada pohon yang berdiameter diatas 60 cm. Tasa (2005) menyatakan bahwa berdasarkan tipe hutan di daerah KRUS termasuk ke dalam jenis hutan : Hutan Tropis Basah (Tropical Rain Forest) yang merupakan satu-satunya Hutan Alam khas Kalimantan yang masih dapat dijumpai di daerah Kota Samarinda dengan luas areal 300 ha, vegetasi awal KRUS merupakan hutan alami Dipterocarpaceae. Setelah mengalami kebakaran tahun 1983, 1993 dan 1998, vegetasi KRUS menjadi Hutan Sekunder Muda yang mengarah ke klimaks. Adapun kawasan KRUS terbagi menjadi 3 zona yaitu: 1. Zona koleksi seluas ± 100 ha adalah zona tempat pengembangan tumbuhan baik bersifat in-situ maupun eks-situ. Pada zona ini dikembangkan berbagai jenis tumbuhan yang berasal dari Kalimantan Timur maupun yang berasal dari luar Kal-Tim dengan tujuan mengoleksikan berbagai jenis tumbuhan untuk melengkapi atau memperbanyak jenis-jenis tumbuhan di Kebun Raya Unmul Samarinda. 2. Zona konservasi Zona konservasi seluas ± 135 ha adalah zona tempat pembangunan dan konservasi tumbuhan dan satwa. a. Pengembangan tumbuhan yang dimaksud adalah ditujukan kepada jenis-jenis tumbuhan asli KalimantanTimur dengan tujuan menambah atau memulihkan populasi serta mempertahankan dan menyelamatkan sumber daya genetika. b. Pengembangan satwa yang ditujukan kepada satwa yang bersifat in-situ dan ek-situ dengan tujuan menambah dan memulihkan populasi serta menyelamatkan maupun mempertahankan sumber daya genetik. 3. Zona rekreasi Zona rekreasi alam seluas ± 65 ha adalah wilayah yang disiapkan untuk membangun berbagai macam fasilitas rekreasi yang diselaraskan dengan kondisi alam lingkungan. Pembangunan fasilitas menunjang rekreasi hanya pada 30% - 40% dari luas zona rekreasi. Pada zona ini dilakukan juga pembinaan dan pengkayaan tumbuhan (enrichment plant) serta konservasi barbagai macam satwa..

(3) Gambar 1. Pohon, bunga dan buah Ulin METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November – Desember 2013 yang bertempat di Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) Kalimantan Timur. Kebun Raya Unmul Samarinda terletak diantara 00 27’ 12,9” Lintang Selatan dan 1170 12’, 51,9” Bujur Timur dengan ketinggian mencapai 200 dari permukaan laut (dpl). Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. 523 000. 523 500. 524 000. 524 500. 525 000. Ke B. ont ang. 9 95 150 0. 99 515 00. KEBUN RAYA UNMUL SAMARINDA ( KRUS ) U B. T S. 9 95 100 0. 99 510 00. 100. 0. 100. 200. 300. 400 Meters. Keterangan: Sungai Petak Bangunan Jalan Aspal Jalan Raya Setapak Tanah Landuse AGROFORESTRY BUMI PERKEMAHAN DANAU FAHUTAN KEBUN ROTAN KRUS LAPANGAN BOLA PLAY GROUND POLITENESA SKMA TAMAN PUSPA TAMAN VICO. KR U S. 9 95 050 0. 99 505 00. LAP AN G AN B OL A. Ke Sam ari n da. PLA Y G R OU N D KEB U N BIN A T AN G M IN I TA M AN V IC O. D AN A U AG R OF O R ES T R Y. 99 500 00. 9 95 000 0. TA M AN P U SP A. SKM A KEB U N R OT A N. 510 000. 515 000. 520 000. 525 000. 530 000. Situa si KR US Skala 1: 150.000. PO LIT EN E SA. KR U S. Kec. Samarinda Ulu. 99 450 00. 9 94 500 0. BU M I PE R KE M AH A N. 99 500 00. 9 95 000 0. Kec. Samarinda Utara. Kec. Sungai Kunjang. FA H U T AN. 9 94 950 0. 9 94 000 0. S. 99 400 00. 99 495 00. Kec. Samarinda Ilir. .M. Kec. Samarinda S eberang. ah. aka. m. 9 93 500 0. 99 350 00. Kec. Palaran 510 000. 515 000. 520 000. 525 000. 530 000. 9 94 900 0. 99 490 00. FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS MULARARMAN Dibuat Oleh : Pusat Komputer Fakultas Kehutanan UNMUL 523 000. 523 500. 524 000. 524 500. 525 000. Gambar 2. Peta Kebun Raya Unmul Samarinda. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu meteran, parang, patok, kalkulator, gunting, phiband, kompas, hygrometer, alat tulis dan bahan yang digunakan yaitu tali rapia, pohon induk dan anakan ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.), GPS. Prosedur Penelitian Pembuatan Transek dan plot pengamatan dilakukan pada tiga zona yaitu zona konservasi, zona rekreasi dan zona koleksi. Pada masing-masing zona dibuat garis transek sepanjang 100 m setiap jarak 20 m pada transek dibuat ukuran plot 20 x 20 m yang tegak lurus dengan garis transek atau arah timur barat secara bergantian dengan sebanyak 3 kali.

(4) ulangan sehingga area pengamatan pada masing-masing zona adalah 3600 m2 . Dalam plot ukuran 20 x 20 m ini apabila terdapat pohon induk ulin maka digunakan sebagai titik untuk proses pengambilan data plot lingkaran dengan mengikat tali rapia pada batang pohon induk dengan jarak 10 x 10 m, 5 x 5 m, dan 2 x 2 m kemudian dihitung jumlah pancang dan anakan ulin dan diukur dbh pohon ulin. Analisa Data Data hasil pengamatan dilapangan dianalisis dengan menghitung Kerapatan Pohon Induk, Kerapatan Pancang dan Semai dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (Fachrul, 2007). a) Kerapatan (K) : Jumlah individu Luas Petak Contoh (m2) b) Analisi Pola Penyebaran Pohon Induk, Pancang dan Semai Ulin menggunakan Rumus (Soegianto, 1994) sebagai berikut: - Acak bila : δ2 / μ = 1.0 - Seragam bila : δ2 / μ < 1.0 - Mengelompok bila : δ2 / μ > 1.0 - Dimana: δ2 = Nilai Variance/ragam μ = Nilai mean. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pola Penyebaran Pohon Induk, Pancang dan Semai Ulin di Kebun Raya Unmul Samarinda Pola penyebaran pohon induk, pancang, dan semai ulin disajikan pada Tabel 1. Pola penyebaran di zona rekreasi pada tingkat pohon yaitu seragam, tingkat pancang mengelompok dan semai mengelompok. Pada zona koleksi pola penyebaran pohon yaitu seragam, pancang mengelompok dan semai mengelompok. Sementara pada zona konservasi pola penyebaran pohon yaitu mengelompok, pancang mengelompok sedangkan penyebaran untuk semai mengelompok. Pola penyebaran pohon pada zona rekreasi dan zona koleksi adalah seragam. Menurut Ewusie (1990), Pola penyebaran seragam ini menunjukkan bahwa terjadi persaingan yang cukup kuat antar individu dalam populasi. Persaingan tersebut meliputi persaingan dalam memperebutkan nutrisi maupun ruang, sedangkan pola penyebaran pancang adalah mengelompok. Hal ini dikarenakan pola penyebaran mengelompok menandakan terjadinya interaksi positif antara individu tanaman tersebut atau sistem regenerasinya cenderung dilakukan secara vegetatif atau kemampuan penyebaran bijinya terbatas. Menurut Kosterman dkk (1994) menyatakan hal ini wajar karena ulin secara umum tumbuh berkelompok dan sering sebagai tumbuhan yang dominan di suatu kawasan hutan. Ewusie (1990), menjelaskan bahwa pengelompokan yang terjadi pada suatu komunitas dapat diakibatkan karena nilai ketahanan hidup kelompok terhadap berbagai kondisi. Tabel 1. Pola Penyebaran Pohon Induk, Pancang dan Semai Tumbuhan Ulin pada Zona Rekreasi, Zona Koleksi dan Zona Konservasi di Kebun Raya Unmul Samarinda Pola Penyebaran (Nilai δ2 / μ) Zona Pohon Pancang Semai 0, 791 2, 014 32, 408 Rekreasi (Seragam) (Mengelompok) (Mengelompok) 0, 791 3, 887 251, 937 Koleksi (Seragam) (Mengelompok) (Mengelompok) 1, 432 5, 625 116, 011 Konservasi (Mengelompok) (Mengelompok) (Mengelompok).

(5) Pola penyebaran anakan atau seedling pada zona rekreasi, koleksi dan konservasi yaitu mengelompok. Menurut Kiyono dan Hastaniah (1999), pada tempat-tempat tertentu mereka akan berkelompok sesuai dengan kondisi habitatnya, karena secara alami anakan ulin cenderung tumbuh di sekitar induknya. Penyebaran anakan ulin pada umumnya tidak jauh dari pohon induknya, sehingga penyebarannya sangat terbatas. Meskipun pada ketiga area zona tersebut memiliki pola penyebaran anakan yang sama-sama mengelompok namun hasil perhitungan dari ragam sampel memiliki nilai yang berbeda dapat dilihat pada tabel 1. diatas yang menunjukkan pola penyebaran anakan tertinggi yaitu pada zona konservasi dimana area ini khusus digunakan sebagai zona konservasi ulin. Pola penyebaran kedua yang cukup tinggi yaitu pada zona koleksi, meskipun area pada zona koleksi ini sebagian digunakan untuk arboretum buah dan koleksi jenis tumbuhan lain namun pada area ini ditemukan cukup banyak anakan ulin. Sedangkan pola penyebaran terendah ada pada zona rekreasi, hal ini dikarenakan area ini memang digunakan sebagai tempat wisata sehingga anakan ulin yang di temukan pada area ini hanya sedikit karena anakan ulin dapat terinjak-injak oleh pengunjung ataupun mati karena ikut terpotong pada saat dilakukan pemotongan rumput. Pada saat musim berbuah, biji ulin yang masak berjatuhan disekitar proyeksi tajuk dan cenderung ke arah bawah lereng. Menurut Kirana (1992), bahwa pada kelerengan curam penyebaran semai dan sapihan yang terjatuh, ini dikarenakan buah yang jatuh ada yang membentur cabang atau ranting pohon maka maka buah akan melenting keluar menjauhi pohon induk dan dengan kondisi kelerengannya buah bergulir ke arah lereng menurut kehendaknya pada kondisi yang cocok untuk tumbuh. Secara alami biji ulin berkecambah selama 6 – 12 bulan (Sastrapradja et al., 1977). Biji dapat berkecambah apabila memenuhi 3 syarat, yaitu benih harus dalam keadaan hidup, benih tidak berada dalam keadaan dorman, dan persyaratan lingkungan untuk perkecambahan biji dapat terpenuhi. Faktor lingkungan tanaman terdiri dari media tumbuh dan udara. Faktor lingkungan ini harus memiliki ketersedian air, suhu udara dan suhu media yang optimal, cahaya, dan ketersediaan hara mineral esensial bagi tanaman (Lakitan, 1995). Menurut Kosterman dkk (1994), bahwa pada umumnya dengan kondisi cahaya 3050% dan penutupan area oleh tetumbuhan hingga 50%, anakan ulin masih dapat tumbuh dengan leluasa. Pertumbuhan ulin pada tingkat anakan ini sangat membutuhkan naungan, namun pada tingkat lebih dewasa, tumbuhan ini membutuhkan cahaya relatif penuh untuk merangsang pertumbuhan. Menurut Kiyono dan Hastaniah (1999), anakan ulin berumur < 3 tahun lebih sensitif terhadap matahari dibandingkan anakan berumur > 3 tahun. Menurut Martawijaya et al. (1989), bahwa umumnya ulin tumbuh di hutan alam mulai dari dataran rendah sampai pada ketinggian 400 m dpl, pada tanah kering yang sarang, tanah liat dan endapan batu pasir. Syarat-syarat tempat tumbuh (tanah) yang sesuai di mana ulin tumbuh pada sebaran alaminya. Ulin mampu tumbuh pada tanah yang tingkat kesuburannya rendah (pH, KTK, KB, N, P, K, C/N, K, Ca, Mg, Na rendah dan kandungan Al yang tinggi). Sidiyasa et al., 2009 menyatakan bahwa selain lingkungan fisik, lingkungan biotik (vegetasi) juga berperan penting bagi keberadaan dan regenerasi ulin di alam. Jenis ini hanya akan tumbuh dengan baik pada tempat-tempat yang kondisi vegetasi yang ada di sekitarnya juga dalam keadaan baik. Karena kondisi vegetasi yang baik tersebut maka tingkat kelembaban udara di bawah tegakan hutan akan konstan dan relatif tetap tinggi. Pada zona konservasi ditemukan pola penyebaran ulin pada tingkat pohon, pancang dan seedling mengelompok. Hal ini dikarenakan pada zona ini merupakan area yang khusus di gunakan sebagai area konservasi ulin oleh pihak kebun raya unmul samarinda, sehingga pada area ini jenis ulin masih dapat ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Pada zona rekreasi dan zona koleksi pola penyebaran pertumbuhan ulin yang di temukan yaitu seragam, hal ini dikarenakan pada zona rekreasi digunakan sebagai tempat.

(6) wisata dan sebagian dari area rekreasi digunakan sebagai tempat konservasi satwa sehingga ulin yang tumbuh pada area ini seragam atau merata karena dilakukannya penjarangan terhadap pohon ulin. Sedangkan pola penyebaran ulin yang seragam pada zona koleksi, hal ini dikarenakan pada zona koleksi di gunakan sebagai arboretum sehingga pohon ulin yang ditemukan seragam. B. Kerapatan Pohon Induk, Pancang dan Semai Ulin di Kebun Raya Unmul Samarinda Kerapatan pohon induk, pancang, dan semai ulin menunjukkan hasil yang berbeda pada 3 zona pengamatan. Kerapatan pohon induk ulin pada zona rekreasi, koleksi dan konservasi dapat dilihat pada tabel 2. berikut: Tabel 2. Kerapatan Pohon Induk Ulin pada Zona Rekreasi, Zona Koleksi dan Zona Konservasi di Kebun Raya Unmul Samarinda Kerapatan Pohon Induk Ulin (Individu/3600 m2) Plot Zona Rekreasi Zona Koleksi Zona Konservasi 1 0,00028 0,00084 0.00028 2 0,00084 0.00112 3 0.00028 4 0,00056 0,00056 0.00194 5 0.00112 0,00056 0.00084 6 0.00112 0.00112 7 0.00056 0,00056 8 0,00084 9 0.00084 0,00084 0.00084 Total Kerapatan 0.00420 0.00420 0.00642 Pada tabel 2. diatas terlihat bahwa kerapatan pohon induk ulin tertinggi terdapat pada zona konservasi dengan nilai 0.00642 pohon/3600m2, kemudian diikuti pada zona rekreasi dan koleksi kerapatan pohon induk ulin masing-masing dengan nilai 0.00420 pohon/3600m2 . Kerapatan pohon induk ulin lebih tinggi pada zona konservasi karena pada zona ini telah dilakukan penanaman ulin sebagai usaha konservasi ulin itu sendiri, sedangkan pada zona rekreasi dan zona koleksi kerapatan pohon induk ulin hampir sama karena pada zona rekreasi sebagian kawasannya digunakan sebagai rekreasi sedangkan pada zona koleksi juga sebagian digunakan untuk koleksi tumbuhan lain sehingga pada kedua zona tersebut tidak dilakukan penanaman lagi terhadap ulin tetapi hanya memelihara pohon ulin yang ada. Kondisi ini mencerminkan bahwa tidak semua pohon yang berdiameter kecil punya kesempatan untuk hidup dan tumbuh menjadi besar mencapai kelas diameter maksimalnya. Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan tajuk untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk hidup dan pertumbuhannya. Bagi pohon-pohon yang mempunyai kecepatan pertumbuhan yang rendah seperti ulin, manakala terjadi celah atau gap sebagai akibat terbukanya tajuk dari pohon yang tumbang biasanya akan kalah bersaing dengan pohon-pohon lainnya yang mempunyai kemampuan tumbuh cepat sehingga tajuknya dengan cepat menguasai ruang terbuka untuk mendapatkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya, sehingga jenis-jenis yang lambat tumbuh seperti ulin akan terhambat pertumbuhannya bahkan lambat laun akan bisa mati. dipengaruhi oleh dua faktor yaitu dari dalam pohon berupa sifat genetik, sedangkan dari luar adalah faktor lingkungan. Husch et al. (1982) menyatakan bahwa pertumbuhan pohon dipengaruhi oleh kemampuan genetis dari individu yang berinteraksi dengan lingkungan. Pengaruh lingkungan meliputi: faktor tanah (sifat fisik kimia tanah, kelembaban dan mikroorganisme); faktor iklim (suhu udara, curah hujan, angin dan sinar matahari); topografi (kelerengan, ketinggian) serta kompetisi (pengaruh individu pohon lain, pengaruh jenis tanaman lain dan binatang)..

(7) Menurut Martawijaya et al. (1989). Umumnya ulin tumbuh di hutan alam mulai dari dataran rendah sampai pada ketinggian 400 m dpl, pada tanah kering yang sarang, tanah liat dan endapan batupasir. Ulin temasuk kayu dengan kelas kuat dan kelas awet I dengan berat jenis 1,03 sehingga termasuk kelompok jenis kayu tenggelam. Pertumbuhan pohon ulin termasuk jenis yang lambat tumbuh, hal ini ditunjukkan oleh berat jenisnya yang melebihi berat jenis air, sehingga untuk mencapai diameter besar (limit diameter tebang ulin 60 cm) memerlukan waktu yang sangat lama bisa mencapai lebih 100 tahun. Hal ini pulalah yang menyebabkan ketidak tertarikan masyarakat untuk menanamnya, sehingga mereka hanya mengandalkan ulin yang tersedia di hutan alam yang sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun. Kerapatan pancang di bawah pohon induk ulin pada zona rekreasi, zona koleksi dan zona konservasi yang diukur dari jarak 2 x 2 m, 5 x 5 m, 10 x 10 m dari pohon induk disajikan pada tabel 3. sebagai berikut: Tabel 3. Kerapatan Pancang di bawah Pohon Induk Ulin pada Zona Rekreasi, Zona Koleksi dan Zona Konservasi di Kebun Raya Unmul Samarinda Plot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata Kerapatan Total Kerapatan. Kerapatan Pancang di Bawah Pohon Induk (Individu/ 3600 m2) Plot Zona Rekreasi Plot Zona Koleksi Plot Zona Konservasi 2x2 5x5 10x10 2x2 5x5 10x10 2x2 5x5 10x10 4 4 1 7 4 1 2 6 2 1 4 2 1 6 1 2 2 1 2 -. -. 0.0020. 0.0020. 0.0017. 0.0044 0.0072. 0.0011. 0.0036. 0.0014. 0.0005. 0.0055. Pada tabel 3. terlihat kerapatan pancang tertinggi terdapat pada zona koleksi (0.0072 individu/3600 m2 kemudian diikuti kerapatan pada zona konservasi 0,0055 individu/3600 m2 dan kerapatan terendah terdapat pada zona rekreasi 0,0020 individu/3600 m2. Hal ini dikarenakan pada zona koleksi meskipun digunakan sebagai area koleksi tumbuhan lain namun masih banyak ditemukan pancang ulin. Pada zona konservasi kerapatan pancang sedang karena meskipun area ini digunakan sebagai konservasi namun tidak semua semai yang ada dapat tumbuh menjadi pancang, keadaan ini terjadi karena kematian ataupun persaingan dalam memperoleh nutrisi makanan. Pada zona rekreasi kerapatan pancang sangat sedikit karena selain digunakan sebagai area wisata juga disebabkan adanya aktivitas pembersihan yang mengakibatkan kematian, atau karena patah tertimpa kayu yang tumbang. Kerapatan semai ulin di bawah pohon induk pada zona rekreasi, koleksi dan konservasi yang diukur pada plot 2 x 2 m, 5 x 5 m, 10 x 10 m disajikan pada tabel 4. Kerapatan semai ulin tertinggi pada ketiga zona pengamatan terdapat pada zona koleksi yaitu 0.1690 individu/3600m2, kemudian diikuti kerapatan pada zona koleksi yaitu 0.1318 individu/3600m2 dan kerapatan terendah terdapat pada zona rekreasi yaitu 0.0610 individu/3600m2. Hal ini dikarenakan pada zona konservasi digunakan sebagai konservasi ulin sehingga semai ulin dibiarkan tumbuh secara alami atau dilakukan penanaman kayu ulin, pada zona koleksi kerapatan semai ulin yang ditemukan sedang karena zona ini masih memiliki pohon induk ulin yang cukup banyak meskipun sebagian zona ini digunakan.

(8) sebagai zona koleksi untuk tumbuhan lain atau dijadikan sebagai arboretum buah. Kerapatan semai ulin pada zona rekreasi sangat rendah karena zona ini sebagian besar digunakan sebagai area wisata sehingga semai ulin yang tumbuh akan mati terinjak oleh pengunjung atau pun ikut terpotong pada saat dilakukan pembersihan rumput. Tabel 4. Kerapatan Semai dibawah Pohon Induk Ulin pada Zona Rekreasi, Zona Koleksi, Zona Konservasi di Kebun Raya Unmul Samarinda Plot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata Kerapatan Total Kerapatan. Kerapatan Semai di Bawah Pohon Induk (Individu/3600 m2) Plot Zona Rekreasi Plot Zona Koleksi Plot Zona Konservasi 2x2 5x5 10x10 2x2 5x5 10x10 2x2 5x5 10x10 35 35 4 78 59 5 14 29 42 3 5 2 63 129 150 20 15 18 20 35 9 5 18 9 24 16 5 90 55 45 13 15 2 40 17 8 46 67 25 8 5 2 10 6 3 0.0286. 0.0255 0.0610. 0.0069. 0.0594. 0.0502 0.1318. 0.0222. 0.0450. 0.0610. 0.0630. 0.1690. Menurut Sugiyanti, dkk. (2011) pertumbuhan populasi mengalami kerapatan yang bertambah dengan cepat terjadi bilamana populasi ada dalam suatu lingkungan yang ideal, yaitu kesediaan makanan, ruang dan kondisi lingkungan lainnya tanpa ada persaingan dan lain sebagainya. Kerapatan yang rendah disebabkan juga karena jumlahnya yang sedikit dan penyebarannya yang terbatas. Hal tersebut dipengaruhi oleh toleransi yang berbeda antara tumbuhan dewasa, anakan dan tunas pohonya, selain itu juga terjadi interaksi dengan populasi lain, baik tumbuhan maupun hewan. Pengukuran populasi suatu tumbuhan dipengaruhi oleh faktor natalitas, mortalitas, migrasi, dan kondisi lingkungan. Hal ini yang menyebabkan kerapatan populasi ulin pada setiap tingkat pertumbuhannya berbeda-beda. Natalitas (kelahiran) merupakan salah satu faktor yang dapat berperan dalam tingginya kerapatan jenis suatu tumbuhan. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kebun Raya Unmul Samarinda ditemukan bahwa banyaknya semai/anakan ulin terdapat di sekitar tumbuhan dewasa yaitu pada jarak 2 x 2 m sampai 5 x 5 m, karena disini banyak biji ulin yang jatuh dan dapat berkecambah karena faktor lingkungan yang mendukung. Mortalitas (kematian) juga dapat berpengaruh terhadap kerapatan suatu jenis tumbuhan. Mortalitas hampir selalu tinggi pada kerapatan yang sangat tinggi, disebabkan oleh banyaknya terdapat anakan (Subahar, 1995 dalam Sugiyanti dkk, 2011). Banyaknya terdapat anakan menyebabkan persaingan anakan-anakan ini dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Anakan ulin juga bersaing dengan tumbuhan-tumbuhan lapis bawah lainnya. Rapatnya tumbuhan-tumbuhan lapis bawah menyebabkan banyak anakan ulin yang tidak mampu bersaing untuk mendapatkan nutrisi hingga akhirnya mati. Selain persaingan dengan tumbuhan lain, salah satu faktor yang menyebabkan kematian ini adalah tebalnya tajuk pohon di hutan yang menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan untuk berkembang biak dibawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh dibawah naungan. Ulin merupakan tumbuhan yang kurang dapat melakukan adapatasi dengan baik terhadap kondisi yang kekurangan cahaya matahari sehingga anakan ulin banyak yang mati..

(9) Persebaran semai jika dilihat berdasarkan jarak terjauh dari pohon induk pada berbagai tingkat kelerengan lahan, khususnya yang dijumpai di KRUS terdapat kecenderungan bahwa pada tempat-tempat yang memiliki tingkat kelereng lebih tinggi, semai akan tersebar lebih jauh dari pohon induknya. Hal ini sangat wajar mengingat buah atau biji ulin yang besar dan berat akan menggelinding pada saat buah jatuh ke lantai hutan. Namun hasil yang diperoleh ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Soetrisno (2006) bahwa pada tempat-tempat yang memiliki tingkat kelerengan sedang (16-29%) justru memiliki sebaran semai dan pancang yang paling jauh, yakni hingga 10,31 m dari pohon induk. Pada saat musim berbuah, banyak biji-biji ulin yang berjatuhan kelantai hutan, hal ini juga diduga dapat menjadi faktor banyaknya anakan-anakan ulin mati karena tertimpa biji ulin. Menurut Baker (1950) bahwa kehadiran dan pertumbuhan anakan pada suatu tempat dipengaruhi oleh kondisi penutupan tajuk dan faktor fisiologis (faktor dalam) serta faktor luar seperti cahaya, air, CO2, unsur hara serta lingkungan biotik. Selain itu juga adanya persaingan, parasit, dan simbiosis dengan tumbuhan lain juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Sehingga hanya sedikit sekali semai yang dapat bersaing hidup sampai tingkat pancang. Selain itu juga, adanya pohon tumbang yang mengakibatkan banyak semai dan pancang yang mati karena tertimpa pohon tersebut. Sidiyasa et al. (2009), rendahnya tingkat regenerasi ulin antara lain disebabkan oleh kehadiran hama (terutama tupai dan musang) yang memakan biji ulin pada saat biji masih muda. Pada saat biji sudah masak dan jatuh ke lantai hutan, tidak banyak hama yang merusaknya. Meskipun ada (biasanya semut), namun tingkat kerusakan yang ditimbulkan relatif kecil, yang lebih parah justru karena tekanan yang dialami oleh semai akibat persaingan dengan tumbuhan lain di sekitarnya. Dengan pertumbuhan ulin yang sangat lambat akan memungkinkan terjadinya penutupan tajuk oleh tumbuhan lain dan menaungi semai ulin secara rapat, ataupun tekanan lain misalnya batang patah akibat tertimpa dahan pohon dan lain-lain. Kesimpulan Penelitian yang telah dilakukan memberikan informasi bahwa: Pola penyebaran pohon induk ulin pada zona rekreasi seragam, pola penyebaran pancang mengelompok dan pola penyebaran untuk tingkat semai mengelompok. Pola penyebaran pohon induk ulin pada zona koleksi seragam sedangkan pola penyebaran pancang mengelompok dan pola penyebaran untuk tingkat semai mengelompok. Pola penyebaran pohon induk ulin pada zona konservasi adalah mengelompok demikian juga pola penyebaran pancang dan semai adalah mengelompok. Kerapatan pohon induk ulin tertinggi terdapat pada zona konservasi yaitu 0.00642 individu/3600m2, kerapatan pancang dari pohon induk ulin terdapat pada zona koleksi dengan kerapatan 0.0072 individu/m2 dan kerapatan semai ulin tertinggi terdapat pada zona konservasi dengan kerapatan 0.1690 individu/m2. DAFTAR PUSTAKA Ashton, P.S. 1965. A Manual of the Diptercorp Trees or Brunei State Oxford University Press. Baker, F.S. 1987. Prinsip-prinsip Silvikultur. (terjemahan Marsono. D) Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Beekman, A. 1949. Houttek in Indonesia, H. Veeman and Zonen Wageningen. (terjemahan Soekotjo, W). Proyek Penterjemah Literatur Kehutanan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Ewusie,Y.J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Institut Teknologi Bandung. Bandung..

(10) Hidayat, S. 2003. Persebaran Ulin (Eusideroxylon zwageri T et. B) dan Tumbuhan Asosiasinya di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Jurnal. Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor. LIPI Bogor. Hamzah, Z. 1956. Seputar Permasalahan Silvikultur Di Kalimantan. Rimba Indonesia. Th. Ke V. No. 3-4. Jakarta. Husch, B., Miller,C.I., Beers, T.W. 1982. Forest Measuration. Third Edition. John Willey and Sons. New York. Keng, H. 1969. Orders and Families Of Malaya Seed Plants. Singapore: University Press. Kirana, S. C. 1992. Studi Penyebaran Alam Semai dan Sapihan Eusideroxylon zwageri T. et B serta Pertumbuhan Semai Pada Kelerengan Yang Berbeda di Hutan Koleksi UNMUL Lempake. Skripsi Sarjana Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. Kiyono, Y and Hastaniah. 1999. Growth of Eusyderoxylon zwageri Seedlings and Silvicultural Changes in Logged-Over and Burned Forests of Bukit Soeharto, East Kalimantan, Indonesia. http://ss.jircas.affrc.go.jp/engpage/jarq/34-1/kiyono/ 34 1(8).htm. Kostermans, A.J.G.H., Sunarno B., Martawijaya ,A.,Sudo, S. 1994. In Soerianegara and R.H.M.J. Lemmens (ed.). PROSEA No. 5 (1): Timber Tress: Major Commercial Timbers. Bogor: PROSEA. Lakitan B. 1995. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Marsono, D. 1979. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-tipe Vegetasi Tropika. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Martawijaya, A., Kartasujana,I., Mandang,Y.I., Prawira,S.A.,Kadir,K. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Richard, P. W. 1964. The Tropical Rain Forest, An Ecological Study. Cambridge University Press. Cambridge London. Melbourne. New York. Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Penerbitan Usaha Nasional. Jakarta. Sidiyasa, Atmoko,K.T., Ma’ruf,A., Mukhlisi. 2009. Kajian tentang keragaman morfologi, ekologi, pohon induk dan konservasi ulin di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja. Sastrapradja, S.,Kartawinata,K., Roemantyo., Soetisna,U.,Wiriadinata, H.,Riswan,S. 1977. Jenis-jenis Kayu Indonesia. Lembaga Biologi Nasional – LIPI. Bogor. Sugiyanti, Hardiansyah, Aminarti, S. 2011. Jenis Dan Kerapatan Tumbuhan Meranti Penghasil Damar Yang Terdapat Di Hutan Hamurau Dusun Puli’in Desa Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar. Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011. Soetrisno, K. 2006. Penyebaran semai dan pancang ulin (Eusideroxylon zwageriT.et B.) dari pohon induk pada tingkat kelerengan yang berbeda (pp. 33-37). Prosiding Workshop Sehari:Peran Litbang dalam Pelestarian Ulin. Samarinda, 20 Desember 2006.Bogor: Pusat Litbang Hutan Tanaman dan Tropenbos International Indonesia. Tasa, R. 2005. Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) Sebagai Kawasan Pendidikan, Wisata dan Seni Budaya. Anak Bangsa: Samarinda. Whitmore, T. C. 1975. Tropical Rain Forest. Clarodom Press. Oxford University Press. London..

(11)

Referensi

Dokumen terkait

S impulan: Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa gambaran kadar SGPT pada perokok aktif usia &gt; 40 tahun di Desa Kolombo lingkungan IV RT 04

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik kebiasaan merokok dan kebiasaan

Dari iman seseorang dapat dikatakan mu’min, karena iman merupakan masalah yang berkaitan dengan keyakinan hati nurani dan pikiran oleh karena itu agar orang lain dapat

Fungsi pendidikan agama Islam untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan

kota A ke kota B hendak ditempuh dengan kecepatan 60 km/jam, maka waktu yang diperlukan Bryan untuk menempuh jarak tersebut adalah ….. Usman berangkat dari kota A pukul 08.35

Semua target yang terdeteksi akan ditampilkan dalam satu tampilan yang terdiri dari tiga warna yang berbeda (hijau, kuning, merah – pemantulan terendah hingga

Hasil penelitian didapatkan hanya sebagian kecil kegiatan persiapan pada hari pemulangan klien yang dilakukan diantaranya: memberikan kesempatan pada klien dan

Nilai koefisien absorpsi bunyi material akustik serat lumut yang didapatkan dari hasil pengujian menggunakan metode tabung impedansi terlihat bahwa kelima sampel