• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Spons Demospongiae Klasifikasi Spons Demo spongiae

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Spons Demospongiae Klasifikasi Spons Demo spongiae"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Spons Demospongiae Klasifikasi Spons Demo spongiae

Kingdom : Hewan Filum : Porifera Kelas : Demospongiae Ordo : Halichondrida Famili : Axinellidae Genus : Acanthella

Spesies: Acanthella cavernosa Genus : Styllotella

Spesies : Styllotella aurantum Famili : Desmoxyidae

Genus : Higginsia

Spesies : Higginsia massalis Genus : Myrmekioderma

Spesies : Myrmekioderma granulata Famili : Dictyonellidae Genus : Liosina Spesies : Liosina sp Ordo : Hadromerida Famili : Suberitidae Genus : Aaptos

Spesies : Aaptos cf subertoides Ordo : Haplosclerida Famili : Chalinidae Genus : Adocia Spesies : Adocia sp Famili : Niphatidae Genus : Aka Spesies : Aka sp Genus : Nip hates

(2)

Spesies : Niphates calista Famili : Callyspongiidae

Genus : Cally spongia Spesies : Cally spongia sp

Cally spongia aerizusa Famili : Petrosiidae

Genus : Petrosia Spesies : Petrosia sp Genus : Neopetrosia Spesies : Neopetrosia sp Genus : Xesto spongia Spesies : Xesto spongia sp1

Xesto spongia sp2

Xesto spongia testudinaria Ordo : Dendroceratida Famili : Darwinellidae Genus : Chelonaplysilla Spesies : Chelonaplysilla sp Famili : Dysideidae Genus : Euryspongia

Spesies : Euryspongia dilicatula Ordo : Poecilosclerida Famili : Microcionidae Genus : Clathria Spesies : Clathria sp Clathria rendrawti Clathria vulpina Ordo : Spirophorida Famili : Tetillidae Genus : Cinachyra

Spesies : Cinachyra cylindrica Genus : Paratetilla

(3)

Ordo : Dictyoceratida Famili : Spongiidae

Genus : Hippo spongia Spesies : Hippo spongia amata Famili : Thorectidae

Genus : Hyrtios Spesies : Hyrtios erecta Famili : Irciniidae Genus : Ircinia Spesies : Ircinia sp Ordo : Astrophorida Famili : Coppatiidae Genus : Dorypleres

Spesies : Dorypleres spledens Famili : Ancorin idae

Genus : Rhabdastrella

Spesies : Rhabdastrella globastellata Ordo : Verongida

Famili : Drunellidae

Genus : Pseudoceratina

Spesies : Pseudoceratina verongita Genus : Suberea

Spesies : Suberea laboutei (Hooper 2000).

Morfologi Spons

Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera. Filum Porifera ini ada yang menyatakan terdiri atas tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Haywood dan Wells 1989; Sara 1992; Amir dan Budiyanto 1996; Rachmaniar 1996; Romimohtarto dan Juwana 1999), sedangkan menurut Warren (1982) ; Kozloff (1990); Harrison dan De Vos (1991); Ruppert dan Barnes (1991) ; Pechenik (1991) , Filum Porifera terdiri atas empat kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, Hexactinellida, dan Sclerospongia.

(4)

Kelas dari Filum Porifera ini memiliki karakteristik morfologinya masing-masing. Kelas Calcarea misalnya, kelas ini memiliki struktur sederhana dibandingkan yang lainnya. Spikulanya terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Demospongiae berbentuk masif, berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit dan saluran ini dihubungkan dengan kamar-kamar bercambuk kecil yang bundar. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat, serat spongin seperti: Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas. Spikulanya terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin (Warren 1982; Kozloff 1990; Ruppert dan Barnes 1991; Brusca dan Brusca 1990; Amir dan Budiyanto 1996; Romihmohtarto dan Juwana 1999). Kelas Sclerospongia memiliki tipe leuconoid yang kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin. Elemen-elemen ini dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat yang kokoh atau pada rongga yang ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren 1982; Kozloff 1990; Harrison dan De Vos 1991; Ruppert dan Barnes 1991; Pechenik 1991).

Gambar 2 menunjukkan morfologi umum dari Porifera. Tubuh spons dibeda kan berdasarkan bentuknya yaitu dari bentuk encrusting sampai ke bentuk gundukan tanah atau bentuk tabung dengan ukuran diameter lebih kecil dari 1 mm atau lebih besar dari 1 m. Spons ada juga yang berbentuk seperti kuping gajah. Beberapa kasus Porifera memiliki sistem canal yang melalui pemompaan air. Air masuk melalui pori yang disebut ostia, mengalir melalui canal-canal ke ruang yang luas disebut dengan spongoco el dan pengeluaran terakhir melalui pembukaan yang lebar disebut oscula (Rigby et al. 1993).

Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia, dan biologi lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama

(5)

yang hidup pada perairan yang dangkal (Bergquist 1978; Amir dan Budiyanto 1996).

Gambar 2 Morfologi umum dari Porifera (sumber: Rigby et al. 1993).

Beberapa spons ada yang berwarna putih, abu-abu, kuning, oranye, merah, dan hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut Zoochlorellae yang terdapat didalamnya (Romimohtarto dan Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya adalah cyanophyta (cyanobacteria da n eukariot alga seperti dinoflagellata atau Zooxanthella). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenisnya. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980).

Tipe -tipe Sel Spons

Tipe Sel pada Jaringan Epitel. Demospongiae dan Calcarea mempunyai tiga lapisan selluler utama seperti terlihat pada Gamba r 3. Lapisan pertama adalah pinacoderm yang terletak di permukaan bagian luar spons yang terdiri dari satu lapisan sel yang disebut pinacocytes. Lapisan kedua

(6)

adalah choanoderm, tersusun dari sel-sel choanocytes yang mempunyai sel-sel leher (collars). Lapisan yang ketiga adalah mesohyl. Lapisan ini merupakan suatu matriks protein yang terletak antara pinacoderm dan choanoderm, di mana bahan rangka ditemukan dengan semua tipe sel lainnya. Pinacocytes di bagian basal mengsekresikan bahan yang melekatkan spons ke substrat. Pinacoderm adalah suatu lapisan yang selalu berada pada permukaan luar spons dan juga pada semua deretan saluran pemasukan (incurrent canals) dan saluran pengeluaran (excurrent canal). Sel-sel lain yang terdapat pada pinacoderm adalah porocytes. Sel ini berbentuk silindris, mirip donat dan membentuk ostia. Porocytes adalah kontraktil dan dapat membuka dan menutup lubang serta mengatur diameter ostia . Beberapa porocytes dapat menghasilkan bukaan ostia yang melintang seperti membran diafragma sitoplasmik yang mengatur ukuran lubang. Sel-sel porocytes berasal dari lapisan permukaan spongocoel (Brusca dan Brusca 1990; Kozloff 1990; Ruppert dan Barnes 1991).

Gambar 3 Dinding sel Porifera yang dilihat melalui mikroskop (sumber: Rigby et al. 1993).

Choanocytes berfungsi untuk membuat arus dan mengarahkan air melewati sistem saluran air pada spons . Choanocytes mempunyai flagella. Flagella ini sela lu dikelilingi oleh sel-sel leher (collars), yang terdiri dari

(7)

sejumlah pemanjangan sitoplasmik yang disebut microvilli. Microvilli mempunyai inti mikrofilamen dan berhubungan satu dengan yang lainnya oleh lendir retikulum. Choanocytes bersandar pada mesohyl, berpegang pada suatu tempat oleh interdigitasi permukaan dasar yang berdekatan. Choanocytes berperan utama pada fagositosis dan pinakositosis, karena dia mempunyai vakuola makanan. Arus air melalui dan mengelilingi sel-sel leher (collars) yang membawa bakteri dan partikel makanan kecil lainnya terperangkap di dalam vakuolanya (Brusca dan Brusca 1990; Kozloff 1990; Ruppert dan Barnes 1991). Umumnya choanocytes pada spons kelas Calcarea ukurannya lebih besar (8-12 µm) daripada kelas Demospongiae (2-3 µm).

Tipe Sel Pembentuk Kerangka. Kerangka berupa serat kollagen dikeluarkan oleh sel yang disebut collencytes , lophocytes, dan spongocytes. Collencytes secara morfologi hampir tidak dapat dibedakan dengan pinacocytes, sedangkan lophocytes ukurannya besar, sel-selnya bergerak cepat, dan dapat dikenali dengan pengikat kollagen yang secara khas terdapat di belakangnya. Fungsi utama kedua tipe sel tersebut adalah mengsekresikan penyebaran serat kollagen yang terdapat secara interselluler pada semua spons. Spongocytes menghasilkan serat pendukung kollagen yang disebut sebagai spongin. Spongocytes menjalankan fungsinya dalam kelompok-kelompok dan biasanya dibungkus sekelilingnya oleh spikula atau serat kollagen (Brusca dan Brusca 1990), sedangkan sel yang bertanggung jawab untuk memproduksi spikula kalkareus dan silikon pada spons adalah sclerocytes. Sclerocytes adalah sel-sel aktif yang memiliki banyak mitokondria, mikrofilamen sitoplasmik, dan vakuola kecil. Sejumlah tipe sclerocytes mempunyai gambaran, yaitu se l-sel ini hancur setelah sekresi spikula selesai, sedangkan yang bertanggung jawab untuk memproduksi serat spongin adalah spongocytes. Kedua tipe sel ini berasal dari archaeocytes. Sel-sel archaeo cytes mempunyai banyak manfaat, selain memproduksi spikula dan serat spongin, dia juga penting dalam mengidentifikasi jenis, memelihara bentuk spons , dan kemungkinannya mencegah serangan predator (Brusca dan Brusca 1990; Pechenik 1991).

(8)

Tipe Sel Kontraktil dan Tipe Sel Lainnya. Tipe sel-sel kontraktil pada spons disebut myocytes. Myocytes biasanya berbentuk fusiform dan berkelompok secara konsentris disekitar oskula dan saluran utama. Myocytes dapat dikenali karena berisi sejumlah besar mikrotubula dan mikrofilamen pada sitoplasmanya. Myocytes adalah sama denga n sel-sel otot halus pada invertebrata yang lebih tinggi. Myocytes adalah efektor-efektor independen dengan waktu merespons yang lambat, dan tidak seperti neuron dan serat otot sebenarnya, myocytes tidak sensitif pada rangsangan listrik. Kemudian ada sel-sel yang disebut archaeocytes. Archaeocytes adalah sel-sel-sel-sel ameboid yang berukuran lebih besar dari tipe sel lainnya, dan merupakan sel-sel yang bergerak cepat. Sel-sel ini mempunyai peranan utama pada sistem pencernaan dan pengangkutan makanan. Sel-sel ini memiliki bermacam-macam enzim pencernaan (seperti: asam phosphatase, protease, amylase, lipase) dan dapat menerima bahan makanan dari choanocytes. Sel-sel ini juga mencerna bahan makanan langsung melalui pinacoderm pada saluran air. Sebagai makrofago utama pada spons , sel-sel archaecytes mempunyai banyak aktivitas pada sistem pencernaan, pengangkutan, dan pengeluaran. Sebagai sel-sel yang mempunyai potensi maksimum, archaecytes adalah penting untuk kegiatan perkembangan spons dan berbagai macam proses aseksual, seperti pembentukan gemmule (Brusca dan Brusca 1990).

Sistem Saluran Spons

Sistem saluran ini bertindak sama seperti pada sistem sirkulasi hewan tingkat tinggi. Sistem ini melengkapi jalan bebas untuk pemasukan makanan ke dalam tubuh dan untuk pengangkutan zat buangan ke luar dari tubuh. Ada tiga macam tipe saluran pada spons , yaitu asconoid, syconoid dan leuconoid (Kozloff 1990; Brusca dan Brusca 1990; Ruppert dan Barnes 1991; Romimohtarto dan Juwana 1999). Tipe asconoid terdapat dinding tipis menutupi rongga tengah yang disebut atrium atau spongocoel, yang terbuka ke arah luar melalui oskulum tunggal. Bukaan bagian luar pada saluran porocytes disebut ostium (ostia) atau lubang pemasukan (incurrent pore). Pergerakan air yang melalui spons tipe asconoid , strukturnya adalah sebagai berikut: ostium -

(9)

spongocoel (diatas choanoderm) - oskulum. Tipe syconoid , choanocytes dibatasinya oleh ruang spesifik atau diverticula atrium yang disebut ruang berflagella (flagelllate chamber), ruang choanocytes (choanocytes chamber) atau saluran radial (radial canals). Setiap ruang choanocytes (choanocytes chamber) terbuka ke arah spongocoel oleh lubang luas yang disebut apopyle. Spons tipe syconoid dengan kulit yang tebal memiliki sistem saluran atau incurrent canals yang berasal dari lubang kulit melalui mesohyl ke ruang choanocytes (choanocytes chamber). Bukaan dari saluran ini yang menuju ke ruang choanocytes (choanocytes chamber) disebut prosopyles. Spons syconoid, air bergerak dari permukaan spons ke dalam aliran tubuh melalui struktur sebagai berikut: incurrent pore - incurrent canals - prosopyle - ruang choanocytes (choanocytes chamber) - apopyle - spongocoel - oskulum. Tipe leuconoid ditemukan suatu peningkatan jumlah dan penurunan ukuran ruang choanocytes (choanocytes chamber), yang secara khusus mengelompok pada mesohyl yang tebal. Spongocoel berubah ke excurrent canals yang membawa air dari ruang choanocytes (choanocytes chamber) ke oskula. Aliran air yang melalui spons leuconoid adalah sebagai berikut: derma l pore - incurrent canals - prosopyle - ruang choanocytes (choanocytes chamber) - apopyle - excurrent canals - oskulum. Tipe leuconoid adalah ciri khas kebanyakan spons kelas Calcarea dan semua anggota kelas Demospongiae (Brusca dan Brusca 1990).

Sistem Kerangka Spons

Semua spons, kecuali mereka yang termasuk Ordo kecil Myxospongia, dilengkapi dengan kerangka. Kerangka ini ada yang terdiri dari kapur karbonat atau silikat dalam bentuk spikula atau dari spongin dalam bentuk serat. Spikula silikat tersusun dari opal, yaitu suatu bentuk silika terhidrasi yang sama dengan kwarsa dalam reaksi kimianya. Spikula bermacam-macam bentuknya dan karenanya berguna untuk menyusun spons ini ke dalam kelompok-kelompok. Spongin adalah zat yang secara kimia berkerabat dengan sutera. Spongin dikeluarkan oleh sel berbentuk stoples yang dinamakan spongoblast, yakni sel penghasil spongin. Spikula tertimbun dalam sel-sel yang disebut scleroblast, yakni sel spons tempat berkembangnya spikula, dan

(10)

lebih dari satu sel dapat mengambil bagian dalam pembentukan satu spikula. Kapur karbonat dan silikat diekstrak oleh sel-sel dari air sekitarnya. Susunan serat-serat spongin dapat diamati dengan mudah dengan meletakkan sepotong spons mandi (bath sponges) di bawah mikroskop. Spons masif ta k pernah berdiri tegak jika tidak karena adanya spikula atau spongin yang membentuk kerangka, yang menopang tubuhnya sehingga dapat berdiri tegak, dan mencegahnya rontok menjadi seonggok bahan kental seperti agar-agar yang tidak memungkinkan adanya suatu saluran dan ruang-ruang berflagella (Romimohtarto dan Juwana 1999). Adapun macam-macam kerangka spons ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Macam-macam kerangka spons laut (sumber: Rigby et al. 1993).

Spikula adalah gambaran karakteristik spons. Spikula dapat berbentuk kalkareus, silikon atau bahan organik, dan merupakan suatu komposis i kimia yang dipakai sebagai dasar untuk mengklasifikasi spons . Fungsi utamanya

(11)

adalah membentuk rangka pendukung yang mencegah rubuhnya jutaan rongga berflagella lembut dan saluran air dalam spons. Pada Demospongiae, spikula silik at selalu menempel atau tertanam pada spongin, membuatnya lebih kaku, dan pada beberapa jenis butiran pasir dimasukkan. Sekresi spikula baru atau spongin memungkinkan secara relatif perubahan cepat arsitektur pada sistem saluran air untuk merespons perubahan tekanan dan aliran air. Pada umumnya setiap individu spons memiliki lebih dari satu macam bentuk spikula. Menurut Bergquist (1978) bentuk spikula menurut fungsinya dibagi atas dua kategori, yaitu megasklera dan mikrosklera. Megasklera adalah komponen dari kerangka primer yang berperan untuk membentuk spons dan perkembangan substruktur internal. Mikrosklera tidak berfungsi seperti peranan megasklera, tetapi membentuk kelompok antara kumpulan megasklera atau tersebar pada permukaan atau membran internal.

Makanan dan Cara Makan Spons

Spons adalah pemakan menyaring (filter feeder) yang menetap. Spons memperoleh makanan dalam bentuk partikel organik renik baik yang hidup maupun yang mati, seperti: bakteri, mikroalga dan detritus, yang masuk melalui pori-pori arus masuk (ostia) yang terbuka dalam air, dan di bawa ke dalam rongga lambung atau ruang-ruang berflagella. Arus air yang masuk melalui sistem saluran dari spons diciptakan oleh flagella choanocytes yang memukul-mukul secara terus menerus. Choanocytes juga mencerna partikel makanan, baik disebelah luar maupun di dalam sel leher (collars). Sebuah vakuola makanan terbentuk dan di vakuola ini pencernaan terjadi. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang ke luar dari dalam sel leher (collars). Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain dan diedarkan dalam batas tertentu oleh sel-sel amebocytes yang terdapat di lapisan tengah. Penting bagi spons untuk hidup dalam air bersirkulasi, karenanya kita temukan hewan ini dalam air yang jernih, bukannya air yang keruh. Karena arus air yang lewat melalui spons membawa serta zat buangan dari tubuh spons, maka penting agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena air ini tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan Juwana 1999).

(12)

Spons dapat menyaring partikel yang sangat kecil yang tidak tersaring oleh hewan-hewan laut lainnya (Bergquist 1978). Partikel yang berukuran antara 2-5 µm (protozoa, ultraplankton, detritus organik) ditangkap oleh archaeocytes, yang bergerak ke batas saluran pemasukan (incurrent canal), sementara partikel yang berukuran antara 0,1–1,5 µm (bakteri, molekul organik) ditangkap oleh flagella sel-sel leher (collars). Gerak mengombak pada gerakan sel leher (collars) menangkap partikel makanan dan dibawa ke sel tubuh choanocytes kemudian dicerna secara fagositosis atau pinositosis. Spons juga dapat mengambil bahan organik terlarut (Dissolved Organic Matter atau DOM) dalam jumlah yang signifikan secara pinositosis dari dalam air pada sistem saluran (Brusca dan Brusca 1990). Menurut penelitian Reiswig (1976), diacu dalam Brusca dan Brusca (1990) , 80 % bahan organik terlarut diambil oleh jenis spons Jamaika, dan 20 % adalah bakteri dan dinoflagellata. Menurut Bell et al. (1999), jenis ultraplankton yang dimakan oleh spons pada umumnya adalah jenis bakteri heterotropik, Prochlorococcus spp, Synechococcus - tipe cyanobakteri dan picoeukaryotes autotropik

Choanocytes pada tubuh spons jumlahnya relatif besar. Menurut Schmidt (1970) , diacu dalam Brusca dan Brusca (1990) , jenis Epydatia fluvialis mempunyai jumlah choanocytes sekitar 7600 per millimeter kubik tubuh spons . Setiap rongga choanocytes dapat memompa air sekitar 1200 kali dari volume tubuhnya per hari. Spons yang lebih kompleks, tipe leuconoid mempunyai jumlah choanocytes yang lebih besar, yaitu 18.000 per millimeter kubik (Brusca dan Brusca 1990).

Reproduksi Spons

Reproduksi Aseksual. Sejumlah proses reproduksi aseksual pada spons terjadi secara alami, yang dasarnya pada potensi perkembangan archaeocytes. Proses ini termasuk pembentukan pucuk (bud formation ), penyembuhan luka (wound healing), pertumbuhan somatik (somatic growth ), pembentukan gemmule (gemmules formation) (Harrison dan De Vos 1991).

(13)

Produk Alam Laut dari Spons Kategori Produk Alam Laut.

Produk alam laut dikelompokkan atas: (1) sumber biokimia yang mudah untuk mendapatkan dalam jumlah yang besar dan dapat diubah menjadi bahan yang lebih berharga; (2) senyawa bioaktif seperti: (a) senyawa antimikroba, (b) senyawa aktif secara fisiologi (sinyal kimia) (c) senyawa aktif secara farmakologi dan (d) senyawa sitotoksik dan antitumor; (3) Racun laut (Kobayashi dan Rachmaniar 1999).

Senyawa Bioaktif Ekstrak Spons

Spons adalah salah satu biota laut yang menghasilkan senyawa bioaktif. Senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh spons laut berasal dari ekstrak spons. Ekstrak spons yang dihasilkan bersifat sebagai antibakteri, antijamur, antitumor, antivirus, antifouling dan menghambat aktivitas enzim. Beberapa senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh spons laut ditunjukkan pada Tabel 1.

De Voogd (2005) menyatakan, bioaktivitas spons ada tiga tipe berdasarkan ada tidaknya senyawa bioaktif (bioaktive and non bioaktive):

1. Kuat (mortality of nauplii > 50 % pada konsentrasi 100 mg/l) 2. Sedang (mortality of nauplii 20-50 % pada konsentrasi 100 mg/l) 3. Lemah (mortality of nauplii < 20 % pada konsentrasi 100 mg/l)

Rachmaniar (1997) menyatakan, faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya zona hambat senyawa bioaktif antibakteri pertumbuhan aktivitas senyawa bioaktif antara lain aktivitas senyawa bioaktif gugus fungsi dari substansi sendiri, resistensi dari bakteri terhadap substansi senyawa bioaktif kadar substansi aktif, serta jumlah inokulum bakteri atau kepadatan bakteri uji. Rachmaniar (1997) juga menambahkan, ekstrak-ekstrak yang tidak menunjukkan aktivitas senyawa bioaktif belumlah berarti sampel tersebut tidak aktif, tetapi kemungkinan tidak terdeteksi pada konsentrasi sampel uji yang digunakan atau kadar hambat umumnya belum tercapai.

(14)

Tabel 1 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut menurut Soediro (1999) Aktivitas

farmakologi Senyawa bioaktif Jenis spons Asam 3,6 epoksieikosa-

3 ,5,8,1 1,14,17-heksaenoat

Hymeniacidon hauraki Reidispongiolid A dan B Reidispongia coerulea Superstolida A dan B Neosiphnia sperstes Swinhol ida A Theonella swinhoet Arenastatin A Dysidea arenaria Fakeliastatin Phakelia costata Diskodermin E-H Discodermia kiiensis Ingenamin, ingamin A dan B,

Madangamin A

Xesto spongia ingens 8-hidrosimanzamin A Pachypellina sp Glisinililimakuinon A Fasciospongia rimosa

Vaskulin Cribrocalina vasculum

Latrunkulin S, neolaulimalida, zampanolida

Fasciospongia rimosa Leukasandrolida Leucasandra caveolata Altohirtin A-C , 5-deasctil-

Altohirtin

Hyrtios alium Sitotoksik

Halisilindramida A Halichondria caveolata Antitumor Agelasfin (AGL) Agelas muritianus

Kurasin A Lingbya majuscula Amfidinolid B1, B2, B3, N, Q. Amphidinium sp Antileukemia

Triangulin A-H, asam triangulinat

Pellina triagulata Anti HIV 1 Trikendiol Trikentrion loeve

Hormothamnion Hormotamnim

Enteromorphoides Antimikroba

Diskodermin E-H Discodermia kiiensis Antibakteri Lokisterolamin A dan B Corticium sp

Asam kortikatat A,B,C Petrosia corticata Leukasandrolida Leucasandra caveolata Antijamur

Halisilindramida Halichondria cylindrica Imunomodulator Agelasfln 10 dan 12 Agelas muritianus Antiinflamasi Manualida Luffariella variabilis

Halisiklamina A Haliclona sp BastadinA. dan B Ianthella basta Asam manadat A dan B Placortis sp Klatirimin Clathria basilana Belum diketahui

(masih dalam penelitian)

(15)

Aktivitas senyawa bioaktif (antibakteri) ekstrak spons terhadap bioindikator Eschericia coli dan Staphylococcus aureus ditandai dengan adanya zona bening (zona hambat) disekeliling kertas cakram yang mengandung senyawa antibakteri dan diletakkan dipermukaan agar yang telah diinokulasikan bakteri bioindikator. Zona bening tersebut merupakan zona penghambat yang menunjukkan bahwa bakteri bioindikator (bakteri patogen) dihambat pertumbuhannya oleh senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak spons.

Lebarnya diameter zona bening dapat dijadikan sebagai parameter untuk melihat kekuatan senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak spons. Semakin lebar diameter zona bening yang terbentuk mengindikasikan semakin kuatnya senyawa bioaktif itu menghambat pertumbuhan bakteri (De Voogd 2005).

Mekanisme antibakteri yang dapat merusak sel mikroba dan akhirnya mematikan sel mikroba itu sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, (2) peningkatan permeabilitas membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (3) menginaktivasi enzim esensial dan (4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik (Pelczar dan Chan 1993).

Beberapa Jenis Bakteri Patogen

Metode assay yang efektif untuk mendeteksi adanya aktivitas bioaktif metabolit sekunder yang berasal dari darat dan organisme laut adalah dengan menggunakan larva Artemia salina nauplii. Artemia salina nauplii merupakan organisme yang sangat sensitif terhadap pengaruh ekstrak spons . Setelah Artemia salina nauplii , tingkatan kedua disusul oleh jamur Filamentous, kemudian yeast dan terakhir adalah bakteri (De Voogd 2005).

Bioindikator yang digunakan untuk melihat aktivitas antibakteri ekstrak spons dalam penelitian ini adalah bakteri gram negatif E. coli dan bakteri gram positif S. aureus. Kedua bakteri ini merupakan bakteri umum yang sering digunakan dala m pengujian mikrobiologi dan dapat dianggap mewakili bakteri patogen lainnya.

(16)

Staphylococcus aureus termasuk dalam Famili Micrococcaceae dan merupakan bakteri gram positif, berbentuk kokus dengan diameter 0,7-0,9 µ m. Bakteri ini da pat hidup secara aerob ataupun anaerob fakultatif, bersifat non motil dan tidak membentuk spora. S. aureus tumbuh secara aerobik pada temperatur antara 7-4 oC dan mempunyai suhu optimum pertumbuhan 35-40

o

C (Fardiaz 1992).

Echerichia coli termasuk dalam suku Escherichiae dan merupakan bagian dari Famili Enterobacteriacae. Bakteri ini dikenal sebagai oxidase-negatif, termasuk dalam golongan bakteri gram oxidase-negatif, berbentuk batang dengan ukuran 1,1-1,5 µm x 2-6 µm, bersifat motil karena adanya flagela (Willshaw et al. 2000) . Bakteri ini mempunyai kisaran suhu pertumbuhan yang sangat luas yaitu 15-45 oC dengan suhu optimum 37 oC. Bakteri ini resisten pada pemanasan suhu 55 oC selama 60 menit atau pada suhu 60 oC selama 15 menit.

Menurut Pelczar dan Chan (1993) perbedaan relatif kedua kategori bakteri tersebut adalah: (1) struktur dinding sel bakteri gram positif tebal dan berlapis tunggal, sedangkan bakteri gram negatif relatif tipis dan berlapis tiga; (2) komposisi dinding sel bakteri gram positif kandungan lipidnya rendah (1-4 %), peptidoglikan ada sebagai lapisan tunggal, sedangkan bakteri gram negatif kandungan lipidnya tinggi (11-22 %), peptiglogikan ada didalam lapisan kaku sebelah dalam. Struktur dinding sel bakteri S. aureus yang berlapis tunggal dan relatif sederhana akan memudahkan masuknya zat-zat yang dapat merusak sel bakteri, sedangkan bakteri E. coli struktur dinding selnya berlapis tiga, yang terdiri dari lipopolisakarida, peptiglogikan dan protein. Lipopolisakarida ini mengandung antigen O dan endotoksin yang dapat melindungi sel dari perubahan lingkungan. Adanya lapisan ini juga menyebabkan dinding sel tidak mudah dipisahkan dari sel bakteri oleh enzim pengurai. Selain itu, E. coli adalah bakteri gram negatif yang tahan hidup dalam media yang kekurangan gizi.

(17)

Struktur Komunitas Spons

Spons terdiri atas tiga kelas. Kelas yang pertama adalah Calcarea Kelas ini adalah kelas spons yang semuanya hidup di laut. Kelas kedua dari spons adalah Demospongiae, adalah kelompok spons yang terdominan di antara Porifera masa kini. Mereka tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun organismenya sangat banyak (Warren 1982; Kozloff 1990; Ruppert dan Barnes 1991; Brusca dan Brusca 1990; Amir dan Budiyanto 1996; Romihmohtarto dan Juwana 1999). Kelas yang ketiga adalah Sclerospongia, merupakan spons yang kebanyakan hidup pada perairan dalam di terumbu karang atau pada gua-gua, celah-celah batuan bawah laut atau terowongan diterumbu karang (Warren 1982; Kozloff 1990; Harrison dan De Vos 1991; Ruppert dan Barnes 1991; Pechenik 1991).

De Voogd (2005) menyatakan, spons telah dipelajari secara metodologi di Northwest Atlantik, Mediterania, Caribbean dan negara-negara yang sedang dalam masa penjelajahan seperti Cina, Maldives serta Indonesia. Indo-Malayan memiliki keanekaragaman laut yang sangat tinggi. Di Indonesia terdiri atas 850 jenis spons , beberapa diantaranya telah digambarkan jenisnya secara jelas.

Dari semua tingkatan invertebrata laut, spons memiliki komponen atau senyawa dalam jumlah besar dan semua spons di laut pada umumnya mengandung senyawa bioaktif. Bahkan di daerah terumbu karang perairan Indonesia memiliki keanekaragaman spons dengan kandungan kimia yang sangat tinggi dan terdapat hubungan antara senyawa bioaktif spons dengan kelimpahannya. Dimana spons dengan senyawa bioaktif lemah atau tidak memiliki senyawa bioaktif , energi yang digunakan didalam tubuhnya lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi daripada memproduksi metabolit sekunder. Sedangkan spons dengan kandungan senyawa bio aktif tinggi disamping energinya untuk pertumbuhan dan reproduksi, maka kelebihan energi (sisa energi yang lainnya) juga digunakan untuk memproduksi metabolit sekunder dalam perta hanan dirinya terhadap pemangsa ( De Voogd 2005).

(18)

Fisika-Kimia Perairan dan Spons Laut

Beberapa parameter yang mempengaruhi distribusi spons adalah kedalaman (Wilkinson dan Cheshire 1989; Alvarez et al. 1990; Bell dan Barnes 2000, diacu dalam De Voogd 2005), intensitas cahaya (Cheshire dan Wilkinson 1991, diacu dalam De Voogd 2005), pasang surut air laut (Barnes 1999, diacu dalam De Voogd 2005) dan kecepatan arus (Bell dan Barnes 2000, diacu dalam De Voogd 2005).

Gerrodette dan Flechsig (1979) , diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan spons adalah suhu, salinitas, kedalaman serta kekeruhan dan sedimentasi. Sementara Wilkinson (1987), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, faktor -faktor yang mempengaruhi pertumbuhan spons adalah nitrat, fosfat dan bahan organik terlarut.

Suhu

Suhu diasumsikan sebagai faktor lingkungan utama yang mengatur reproduksi spons pada daerah beriklim empat, dimana perubahan musimnya besar. Didaerah tropik, walaupun studi reproduksi spons masih relatif sedikit, tetapi beberapa penelitian sudah dapat memberikan gambaran, seperti yang dilakukan oleh Ilan dan Loya (1988). Gerrodette dan Flechsig (1979) , diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, suhu untuk pertumbuhan spons laut adalah antara 26-31 oC.

Salinitas

Pasang surut dapat menyebabkan perubahan salinitas. Saat pasang air laut jauh masuk kearah hulu dan sebaliknya saat surut garis isoha lin bergeser kearah hilir (Odum 1971). Gerrodette dan Flechsig (1979), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, salinitas pertumbuhan spons laut adalah antara 28-36 o/oo.

Kekeruh an dan Total Padatan Tersuspensi

De Voogd (2005) juga menambahkan, kekeruhan yang tinggi dapat meningkatkan laju sedimentasi pada permukaan spons sehingga memaksa

(19)

spons mengeluarkan energi lebih banyak untuk menghalau sedimen dengan jalan memproduksi le ndir dalam jumlah banyak. Produksi lendir yang banyak dapat membuat spons mati lemas, karena lendir tersebut dengan efektif mengisolasi spons sehingga mencegah pertukaran gas. Sedimentasi yang tinggi akan mematikan spons karena menutupi ostia dan oskula, sehingga menghambat atau menutupi aliran air.

Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Didalam air, pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd 1982). Oksigen Terlarut (DO)

Kandungan oksigen dalam suatu perairan erat kaitannya dengan banyaknya bahan organik yang berada di suatu perairan. Kandungan DO akan menurun dengan masuknya bahan organik ke perairan, karena dimanfaatkan oleh organisme untuk menguraikan zat-zat organik tersebut. Nybakken (1992) menyatakan, kandungan bahan organik dan tingginya populasi bakteri dalam sedimen menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen di perairan.

Bahan Organik

Bahan organik mempunyai pera nan penting dalam ekosistem laut sebagai sumber energi, makanan, vitamin dan bahan keperluan lainnya bagi bakteri, tanaman dan hewan. Selain itu pula bahan organik berperan dalam proses mempercepat dan memperlambat pertumbuhan sehingga bahan organik memiliki peranan yang penting dalam mengatur organisme hidup dilaut khususnya fitoplankton (Chester 1990).

Bahan organik dalam kolom air dimanfaatkan oleh spons sebagai makanannya. Menurut Brusca dan Brusca (1990), spons dapat memakan dalam jumlah yang signifikan bahan organik terlarut secara pinositosis dari dalam air pada sistem saluran airnya.

(20)

Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD5)

Nilai BOD5 merupakan parameter yang menunjukkan besarnya

oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam proses dekomposisi secara biokimia (Boyd 1982). Peningkatan nilai BOD5 merupakan petunjuk dari menurunnya DO karena pertumbuhan

yang berlebihan dari mikroorganisme bentik (Center dan Hill 1979).

Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)

Nilai COD dipakai sebagai petunjuk tingkat pencemaran air, limbah industri (Alaerts dan Santika 1984; Mahida 1984). Nilai COD umumnya lebih besar dari nilai BOD5, karena jumlah senyawa kimia yang dapat dioksidasi

secara kimiawi lebih besar dibandingkan secara biologi (Saeni 1954).

Nutrien

Kandungan nutrien yang berupa nitrat dan fosfat secara bersama-sama dibutuhkan oleh mikroba simbiotik spons untuk pertumbuhan dan multiplikasinya. Mikroba simbiotik pada spons terdiri dari bakteri heterotropik, cyanobakteri dan alga uniseluler. Menurut Wilkinson et al. (1980) mikroba simbiotik pada jaringan spons dapat mencapai 60 % dari volumenya.

Nitrat merupakan salah satu senyawa yang penting dalam sintesis protein hewani dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan tumbuhan air (ganggang) dalam jumlah banyak, bila didukung oleh nutrien yang lainnya. Nitrat adalah senyawa nitrogen yang stabil. Fosfat sama halnya dengan nitrat merupakan elemen penting yang dibutuhkan dalam menopang kehidupan ekosistem perairan. Senyawa ini berasal dari erosi tanah, buangan industri, kotoran hewan dan pelapukan tumbuhan. Tapi sebagian besar pencemaran yang disebabkan oleh fosfor berasal dari senyawa deterjen dipermukaan air (Alaerts dan Santika 1984).

Silikat

Silikat dalam kolom air sangat dibutuhkan oleh spons dari kelas Demospongiae untuk mensintesa dan membentuk endoskeletonnya atau

(21)

spikulanya yang sebagian besar tersusun dari senyawa silikat. Menurut Romihmohtarto dan Juwana (1999), kapur karbonat dan senyawa silikat diekstrak oleh scleroblast spons untuk membentuk spikulanya.

Hubungan Kelimpahan terhadap Senyawa Bioaktif dan Beberapa Parameter lingkungan Perairan

De Voogd (2005), melalui studi yang dipelajarinya di Kepulauan Spermonde, Sulawesi didapatkan hubungan antara kelimpahan, senyawa bioaktif dan sifat fisika serta kimia perairan. Senyawa bioaktif yang didapatkan bervariasi, yaitu terdiri atas bioaktif lemah, sedang dan kuat. Ketiga tipe bioaktif ini didasarkan pada mortality dari larva Artemia salina nauplii pada konsentrasi ekstrak spons 100 mg/l dengan kategori seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Kelimpahan rata-rata tiap tipe berturut-turut, 94±27 /m2 bioaktif lemah, 75±19 /m2 bioaktif sedang, 174±66 /m2 bioaktif kuat. Jumlah spesies spons yang mengandung senyawa bioaktif berturut-turut adalah 67 lemah, 52 sedang dan 32 kuat. Jumlah spesies spons per transeknya antara 14-77 spesies dengan total kepadatan 112-1265 individu per transek (=100 m2). Kerapatan spons antara 1,2-12,7 individu/m2. Hanya 17 spesies yang teramati di 22 lokasi studi.

Kekayaan jenis (Gambar 5) dan kelimpahan (Gambar 6) dari seluruh tipe meningkat dengan meningkatnya kedalaman, tetapi akan mencapai maksimum pada kedalaman antara 10-15 m. Kelimpahan dan kekayaan jenis spons bioaktif lemah akan semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman jika dibandingkan dengan dua tipe bioaktif yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh pengaruh turbulensi dan radiasi ultraviolet di air yang dangkal (Wilkinson dan Cheshire 1998; Wilkinson dan Evans 1989; Alvares et al. 1990, diacu dalam De Voogd 2005). Penyebab lainnya ada lah spesies bioaktif lemah akan terhenti atau sedikit bila bersaing dengan organisme fotosintetik yang berada di perairan dangkal dibandingkan pada kedalaman yang lebih dalam. Relatif munculnya sebagian kecil spesies spons bioaktif lemah di daerah yang dangkal juga dipengaruhi oleh fluktuasi suhu, salinitas serta tingginya tingkat pemukiman penduduk.

(22)

Kedalaman (m)

Gambar 5 Hubungan antara kekayaan spesies spons dan kedalaman pada tiga tipe senyawa bioaktif (sumber: De Voogd 2005).

Kedalaman (m)

Gambar 6 Hubungan antara kelimpahan spons dan kedalaman pada tiga tipe senyawa bioaktif (sumber: De Voogd 2005).

Spesies Strepsichordaia aliena dan Carteriospongia foliascen s, merupakan spesies yang sangat menyukai daerah perairan yang dangkal. Kedua spesies ini mampu melakukan fototropik dan lebih mengutamakan pemindahan nutrien dari simbiotik sianobakteria (Wilkinson 1987, diacu

Kekayaan jenis

Kelimpahan (ind/m

(23)

dalam De Voogd 2005). Spesies tersebut juga memiliki tekstur tubuh yang keras disebabkan oleh penggabungan dari kumpulan tanah atau pasir dan material asing di lapisan kulit terluar (korteks). Hal ini memungkinkan mereka bertahan terhadap energi gelombang yang tinggi.

Pada umumnya spons tidak dapat hidup didaerah dengan tingkat gangguan yang sangat tinggi, seperti sedimentasi yang tinggi misalnya, karena akan menyumbat pori dan kecepatan pemompaan akan menurun secara cepat (Gerrodette dan Flechsig 1979, diacu dalam De Voogd 2005). Spesies-spesies yang mampu beradatasi terhadap sedimentasi yang tinggi adalah Clathria rendward ti, Echinodyctium flabelliformis dan Paratetilla bacca dimana khusus untuk spesies Paratetilla bacca memiliki adaptasi yang terbatas terhadap lingkungan. Meskipun beberapa spesies tersebut dapat bergabung dengan kumpulan pasir dalam jaringannya, maka hal ini bukan merupakan metode yang khusus untuk menghalangi penyumbatan didaerah yang bersedimentasi tinggi. D isamping itu, spesies-spesies sebelumnya diatas tidak hanya bebas dari material asing di kerangkanya , tetapi juga mampu melindungi dirinya dari sedimen secara baik.

Meskipun sebagian besar spons yang ditemukan di Kepulauan Spermonde adalah bioaktif lemah, tetapi rata-rata kelimpahan adalah tertinggi /m2 dibandingkan tipe bioaktif kuat. Sebagian besar spesiesnya didominasi oleh jenis Amphimedon paraviridis, Lamellodysidae herbacea dan Hyrtios erectus. Ketiga spesies tersebut adalah spesies yang sangat me limpah. Hasil ini sesuai dengan yang didapatkan oleh Chanas dan Pawlik (1995), diacu dalam De Voogd (2005), dimana mereka menyatakan bahwa spons bioaktif lemah atau yang tidak mengandung senyawa bioaktif lebih melimpah daripada spons bioaktif kuat.

Pada studi sekarang ini, bioaktif berhubungan dengan kelimpahan dimana persaingan spons dalam komunitas terumbu karang di Indo-Pasifik terjadi. Mekanisme yang tepat dari perluasan komunitas terumbu karang tersebut tidak diketahui tetapi ia akan muncul bila pr oduksi senyawa bioaktif berada dalam jumlah yang sangat besar di dalam mempertahankan dirinya terhadap predator atau persaingan spatial (ruang/tempat). Akan tetapi bioaktif

(24)

spons memiliki satu ciri yang utama dalam kehidupan sejarah yaitu memiliki pengaruh terhadap kelimpahan dan distribusi spesies spons di seluruh Kepulauan Spermonde. Seperti telah disebutkan sebelumnya spons bioaktif (seperti: Clathria rendwardti dan Haliclona sp) meskipun bioaktifinya lemah tetapi memiliki kerapatan yang sangat tinggi.

Tabe l 2 Sebaran fauna spons pada kedalaman 1-15 m di Pulau Genteng Besar sebelah Selatan (sumber: Amir 1991)

Bangsa Kedalaman Suku Jenis 1-5 m 6-10 m 11-15 m Dictyoceratida Thorectidae Halichondrida Axinellidae Halicondridae Poecilosclerida Microcionidae Esperiopsidae Hadromerida Spirastrellidae Haplosclerida Niphatidae Petrosiidae Callyspongiidae Verongida Aplysinellidae Astrophorida Stelletidae Dendriceratida Dysideidae Spirophorida Telilledae Ircinia ramosa Pseudaxinella massa Acanthella carteri Epipolasis suluensis Clathria ramoa Clathria reindardti Clathria sp Rhaphidophlus sp Iotrochota baculifera Spirastrella vagabunda Gelliodes pumila Gelliodes fibulatus Xestospon gia exigua X. cf. Carbonaria Petrosia testudinaria Callyspongia sp1 Callyspongia sp2 Druinella purpurea Stelletta globostellata Stelletta sp Ecionemia acervus Dysidea granulosa Cinachyra australiensis + + - + - + - - + + - - + + + - - + - + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - - - + + + + + + + - + - + + + + + - - - + - - - -

(25)

Tabel 2 menunjukkan sebaran beberapa fauna spons pada kedalaman antara 1-15 m di Pulau Genteng Besar sebelah selatan.

Uriz et al. (1992), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, hanya sedikit spesies spons yang discreening bioaktivitasnya di Mediterania menunjukkan tidak ada aktivitas. Sebagian besar menunjukkan aktivitas lemah sampai sedang dalam uji toksitas yang bervariasi.

Richelle-Ma urer et al. (2002), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, 75 % dari 216 spesies spons yang discreening dari lima lokasi geografi menunjukkan bioaktif pada biossay yang bervariasi dan 1/3 nya menunjukkan bioaktif yang spesifik. Dalam studi ini hanya sebagian kecil spesies [seperti: Callyspongia aerizusa dan Callyspongia sp (black )] yang tidak menunjukkan aktivitas meskipun banyak spesies spons menunjukkan aktivitas. Semua uji toksisitas memperlihatkan sensitifitas yang berbeda pa da ekstrak spons, tetapi hasil yang didapatkan dalam studi ini memberikan suatu perbedaan yang jelas antara spons bioaktif lemah dengan yang kuat. Ditambah lagi, larva Artemia merupakan organisme yang sensitif terhadap ekstrak spons (Richelle -Maurer et al. 2002, diacu dalam De Voogd 2005). Ini merupakan studi kuantitatif yang pertama pada kelimpahan dan distribusi bioaktif spons di wilayah geografi khususnya. Beberapa studi sebelumnya telah menfokuskan pada perbedaan pertahanan kimia dari organisme laut antara wilayah tropik yang luas dengan wilayah beriklim empat (temperate region). Organisme di daerah beriklim tropis menunjukkan pertahanan kimia yang sangat baik dibandingkan organisme beriklim empat. Hal ini disebabkan oleh tingkat predasi yang sangat besar (Faulkner 1984; Hay dan Fenical 1998; Bolser dan Hay 1996; Cetrulo dan Hay 2000; Burn dan Ilan 2003, diacu dalam De Voogd 2005).

Bukti-bukti penelitian menjelaskan bahwa variasi kualitatif dan kuantitatif pertahanan kimia yang dihasilkan oleh suatu organisme dipengaruhi oleh variasi-variasi secara ekologi dengan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi profil biokiminya. Sintesis dan penyimpanan senyawa ini memberikan keuntungan pada kelangsungan hidup suatu organisme pada lingkungan yang kompleks. Pertahanan kimia pada spons dapat dipakai

(26)

sebagai mekanisme pertahanan terhadap pencegahan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme patogenik (Lozano et al. 1998).

Berdasarkan studi tersebut didapat beberapa spesies spons dengan kandungan bioaktif kuat dan dijumpai dalam jumlah yang sedikit pada kedalaman yang lebih dalam tetapi dapat diterapkan dalam aquakultur spons. Spesies-spesies spons tersebut antara lain adalah Amphimedon paraviridis, Hyrtios erecta , Acantostrongylopora ingens dan Callyspongia (Euplacella) biru. Speses tersebut juga mampu beradaptasi terhadap variasi lingkungan yang cukup luas. Sedangkan spons yang dapat dikultur sesuai dengan kelimpahannya adalah spesies Aaptos subertoides dan Lamellodysidea herbacea (Salmoun et al. 2002; Jeong et al. 2003; Pettit et al. 2004, diacu dalam De Voogd 2005).

Gambar

Gambar 2   Morfologi umum dari Porifera (sumber: Rigby  et al. 1993).
Gambar  3  Dinding sel Porifera yang dilihat melalui mikroskop (sumber:
Gambar 4  Macam-macam kerangka spons  laut (sumber: Rigby et al. 1993).
Gambar 5  Hubungan antara kekayaan spesies spons dan kedalaman  pada tiga  tipe senyawa bioaktif (sumber: De Voogd 2005)

Referensi

Dokumen terkait

Pada perairan yang lebih dalam, spons cenderung memiliki bentuk tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil

Meskipun awalnya penemuan senyawa bioaktif banyak ditemukan sebagai hasil ekstraksi dari jaringan spons tetapi arah penelitian sekarang ini lebih banyak dieksplorasi pada

(IM1) yang bersimbiosis dengan spons Ircinia muscarum dari teluk Naples (Italia). Aktivitas antimikrob berpektrum luas senyawa yang diisolasi dari B. subtilis yang

Rasa yang dihasilkan oleh yoghurt berbahan susu kerbau cenderung lebih asam dibandingkan berbahan susu full krim, karena produksi asam oleh bakteri lebih cepat akibat bakteri

Posisi duduk yang benar dapat mengurangi dan mencegah rasa nyeri pada punggung, cara ini jauh lebih baik daripada mengobati sakit yang sudah kronis sebagai akibat dari posisi

Pong-Masak (2003) melakukan transplantasi spons jenis Auletta sp. di Sulawesi Selatan pada kedalaman 7 meter dengan panjang fragmen 5cm. Penelitian ini bertujuan untuk

Kupu-kupu di daerah beriklim tropis memiliki suhu tubuh yang relatif lebih stabil dibandingkan kupu-kupu pada daerah beriklim subtropis, sehingga kupu-kupu di daerah

Anak dengan bobot lahir yang tinggi memiliki daya hidup yang tinggi, kondisi tubuh menjadi lebih baik dan lebih tahan terhadap serangan penyakit (Khalil &amp;