• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Mengenai Konsep, Tujuan dan Fungsi Negara

Terbentuknya sebuah negara pada hakikatnya sangat berkaitan erat dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan individu lain untuk dapat hidup dan mempertahankan kehidupannya. Dalam pengertian yang lebih sederhana, manusia menurut kodratnya harus hidup bermasyarakat ataupun berkelompok (zoon politicon). Hal tersebut disebabkan karena masing-masing orang itu secara sendiri-sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhannya (Soehino, 2000:17). Sehingga sebagai mahluk sosial, orang dituntut untuk mampu bekerja sama dengan orang lain. Oleh karenanya sikap bekerjasama, saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain idealnya harus melekat pada diri manusia dalam suatu kelompok atau selanjutnya dimaknai sebagai negara.

Sejalan dengan hal itu, Plato mengungkapkan bahwa negara itu timbul atau ada karena adanya kebutuhan dan keinginan manusia yang beraneka macam, sehingga manusia harus saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu sesuai dengan kecakapan mereka masing-masing, tiap-tiap orang mempunyai tugas sendiri-sendiri dan bekerjasama untuk memenuhi kepentingan mereka bersama. Kesatuan orang yang saling bekerjasama untuk memenuhi kepentingan bersama inilah yang kemudian disebut masyarakat atau negara (Soehino, 2000:17).

Aristoteles mendefinisikan negara sebagai suatu kesatuan, yang tujuannya untuk mencapai kebaikan yang tertinggi, yaitu kesempurnaan diri manusia sebagai anggota daripada negara (Soehino, 2000:24). Pemikiran inilah yang mendasari adanya pelarangan penguasaan kerajaan absolut untuk dikuasai pemerintahan dengan kekuasaan asing.

Definisi negara menurut Epicurus adalah hasil daripada perbuatan manusia yang diciptakan untuk menyelenggarakan kepentingan

(2)

anggota-anggotanya (Soehino, 2000:31). Sehingga menurut Epicurus, negara hanyalah sebuah benda mati atau merupakan mekanisme, sedangkan yang hidup dan merupakan keutuhan adalah individu dalam sebuah negara. Maka yang harus diutamakan adalah individunya, sementara negara hanyalah sebagai alat yang diciptakan dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu.

Negara menurut Thomas Hobbes adalah suatu tubuh yang dibuat oleh orang banyak beramai-ramai, yang masing-masing berjanji akan memakainnya menjadi alat untuk keamanan dan pelindungan mereka (Samidjo, 1986: 29).

Dalam teori modern sebagaimana yang dikemukakan oleh Kranenburg, negara pada hakikatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa (Aminuddin Ilmar, 2012: 8). Pengertian tersebut mengartikan bahwa suatu negara lahir karena adanya bangsa, dimana negara berfungsi untuk menjaga dan menentukan arah untuk terwujudnya keinginan bersama dari sebuah bangsa.

Berdasarkan pengertian yang telah diungkapkan oleh beberapa tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok manusia yang berfungsi sebagai alat yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama, hidup dalam wilayah tertentu dan mempunyai pemerintahan dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan dengan tujuan kesejahteraan bersama. Sehingga faktor kekuasaan pada hakikatnya memang melekat pada negara untuk mencapai tujuan dari negara yang bersangkutan. Menurut Roger H. Soltau, tujuan dari negara itu tidak lain adalah memungkinkan rakyatnya untuk berkembang secara bebas termasuk kreativitasnya (the freest possible development and

creative self-expression of its members) (Miriam Budiarjo, 1996: 45).

Sementara itu tujuan negara menurut Harold J. Laski adalah untuk menciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai keinginannya secara maksimal (creation of those conditions under which the memberof the state

may attain the maximum satisfaction of their desires) (Miriam Budiarjo,

(3)

ketertiban dan keamanan, dan untuk terselenggaranya ini orang harus menundukan diri kepada pemerintah yang bagaimanapun bentuk dan sifatnya (Soehino, 2000: 31). Sedangkan menurut Epicurus, tujuan negara itu selain menyelenggarakan ketertiban dan keamanan, yang penting adalah menyelenggarakan kepentingan perseorangan (Soehino, 2000: 31). Sehingga secara umum tujuan daripada negara dapat disimpulkan sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan umat manusia yang tergabung dalam kelompok masyarakat dalam suatu negara.

Sejalan dengan prinsip umum mengenai tujuan negara tersebut, ternyata bangsa Indonesia juga memiliki sebuah cita-cita luhur untuk mensejahterakan rakyatnya. Hal ini dapat kita temui dalam alenia keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, dimana tujuan negara adalah dinyatakan sebagai berikut:

“....untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,....” Berdasarkan pernyataan tersebut menurut Aminuddin Ilmar, keberadaan negara Republik Indonesia tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai tujuan, melainkan juga sebagai alat untuk mencapai tujuan bernegara, sehingga keberadaan negara Republik Indonesia seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan sebagaimana telah dikemukakan di atas, dan bukan malah sebaliknya (Aminuddin Ilmar, 2012: 11-12). Tugas dan peranan negara berdasarkan pernyataan tersebut adalah untuk mencapai tujuan dari lahirnya suatu negara. Menurut pandangan Friedmann, fungsi negara terbagi ke dalam empat fungsi, yaitu (Aminuddin Ilmar, 2012: 11-12):

a. Sebagai penyelenggara atau penjamin kesejahteraan, atau the state as

provider;

b. Sebagai pengatur, atau as regulator;

c. Sebagai pengusaha, atau as enterpreneur; dan d. Sebagai wasit, atau the state as umpire.

(4)

2. Tinjauan Umum Mengenai Negara Kesejahteraan

Munculnya pemahaman akan konsep negara kesejahteraan yaitu setelah berakhirnya Perang Dunia II. Konsep ini erat kaitannya dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang mengalami masa suram akibat gagalnya sistem politik dan ekonomi kapitalis yang bebas dengan bertumpu pada konsep negara hukum liberal (Aminuddin Ilmar, 2012: 14). Seiring dengan berkembangnya zaman, dengan dilatarbelakangi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin memprihatinkan akibat adanya kegagalan konsep liberalisme sehingga sistem ekonomi menjadi bebas tanpa campur tangan negara menciptakan suatu upaya untuk diperluasnya wewenang negara dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada negara untuk mengatur perekonomian masyarakat (Aminuddin Ilmar, 2012: 15).

Menurut Utrecht, lapangan kesejahteraan dalam konsep negara kesejahteraan mengutamakan kepentingan seluruh rakyat dengan tugas dan fungsi menyelenggarakan kepentingan umum, seperti kesehatan rakyat, pengajaran, perumahan, pembagian tanah dan sebagainya (Utrecht, 1960: 23). Menurut Lemaire dalam buku Utrecht kemudian terdapat istilah “bestuurzrog”dimana dikemukakan bahwa (Utrecht, 1960: 23):

“bestuurzrog” itu menyangkut penyelenggaraan kesejahteraan umum yang dilakukan oleh negara atau pemerintah yang meliputi segala lapangan kemasyarakatan, sehingga secara teoretis memungkinkan negara atau pemerintah ikut serta dalam pergaulan hidup masyarakat. Dengan kata lain, negara atau pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan secara teoretis dibenarkan untuk aktif menyelenggarakan kesejahteraan umum. Hal ini juga merupakan suatu konsekuensi logis dengan diterimanya konsep tersebut sehingga kalau negara atau pemerintah tidak mampu melaksanakannya, maka patut dipertanyakan keberadaan negara semacam itu yakni, apakah negara tersebut masih menganut konsep tersebut ataukah sudah meninggalkannya.

Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin (Edi Suharto, 2006: 6). Berbeda

(5)

dengan sistem dalam the poor law, negara kesejahteraan difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of

citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state obligation) di pihak

lain. (Edi Suharto, 2006: 6).

Berdasarkan paparan konsep negara kesejahteraan menurut para pakar tersebut, dapat dikatakan bahwa negara kesejahteraan pada dasarnya adalah sebuah jembatan bagi negara untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya sebagai wujud dalam pemenuhan hak warga negara melalui intervensi penguasaan negara untuk mengatur perekonomian. Adanya keikutsertaan negara dalam pengelolaan perekonomian pada dasarnya merupakan wujud nyata dari konsep negara kesejahteraan. Ciri pokok dari negara kesejahteraan menurut HR Ridwan, adalah sebagai berikut (HR. Ridwan, 2006: 13):

a. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika dipandang tidak prinsipil lagi. Pertimbangan-pertimbangan dari sudut politis, sehingga peranan organ-organ eksekutif lebih penting daripada organ-organ legislatif. b. Peranan negara tidak terbatas pada menjaga keamanan dan ketertiban

saja, akan tetapi negara secara aktif berperan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga perencanaan (planing) merupakan alat penting dalam welfare state. c. Welfare state merupakan negara hukum materiil yang mementingkan

keadilan sosial dan bukan persamaan formil.

d. Sebagai konsekuensi hal-hal tersebut di atas, maka dalam welfare state, hak milik tidak lagi dianggap sebagai hak yang mutlak, akan tetapi dipandang mempunyai fungsi sosial, ini berarti ada batas-batas dalam kebebasan penggunaannya.

e. Adanya kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan semakin mendesak, hal ini disebabkan karena semakin luasnya peranan negara dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya.

(6)

Negara Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state), dimana kesejahteraan Warga Negara Indonesia (WNI) dijamin oleh konstitusi negara Indonesia, yaitu UUD NRI Tahun 1945. Hal ini tercermin dalam alenia keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, dimana disebutkan bahwa tujuan pembentukan suatu Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

3. Tinjauan Umum Mengenai Kedaulatan Negara

Menurut Jimly Asshiddiqie, konsep kedaulatan negara mencakup dua konteks pengertian, yaitu pengertian internal dan eksternal. Dalam arti internal, kedaulatan sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dikenal selama ini dalam dunia filsafat hukum dan politik mencakup ajaran tentang Kedaulatan Tuhan (Theocracy), Kedaulatan Rakyat (Democracy), Kedaulatan Hukum (Nomocracy), dan Kedaulatan Raja (Monarchy) (Jimly Asshiddiqie, TT: 1). Sedangkan dalam perspektif yang bersifat eksternal, konsep kedaulatan itu bisa dipahami dalam konteks hubungan antar negara (Jimly Asshiddiqie, TT: 1). Hubungan antar negara mutlak diperlukan adanya pengakuan Internasional terhadap status suatu negara yang dianggap merdeka dan berdaulat itu agar mampu bergaul dalam dunia internasional. Sejalan dengan hal itu sebagaimana diketahui dalam literatur ketatanegaraan, khususnya yang membahas ilmu negara disebutkan bahwa syarat-syarat berdirinya suatu negara adalah harus memenuhi 3 (tiga) unsur pokok sebuah negara, yaitu

a. adanya penduduk atau masyarakat yang merupakan satu kesatuan politis; b. adanya wilayah yang jelas batas-batasnya; dan

c. adanya pemerintahan yang berdaulat.

Lebih lanjut dalam tataran konstitusi sebagai norma dasar yang tertinggi, dapat dikatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 mengandung dan menganut hampir semua ajaran kedaulatan, yaitu mulai dari prinsip Kedaulatan Negara secara eksternal dan semua ajaran kedaulatan secara

(7)

internal, yaitu prinsip Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum, Kedaulatan Raja (Jimly Asshiddiqie, TT: 2).

Menyadari hal itu, para perancang dan perumus UUD NRI Tahun 1945 juga mendeklarasikan dengan tegas adanya prinsip kedaulatan negara Indonesia itu, baik dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 (Jimly Asshiddiqie, TT: 1). Dari kutipan-kutipan berikut akan menggambarkan dengan jelas bahwa UUD NRI Tahun 1945 juga menganut ajaran kedaulatan negara itu dalam konteks hubungan antar negara yang bersifat eksternal, yaitu:

a. Alinea I Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.

b. Alinea II Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut menyatakan pula, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

c. Untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, diatur pula tugas konstitusional yang dibebankan kepada Tentara Nasionjal Indonesia (TNI) dalam Pasal 30 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menentukan bahwa, “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”.

Sebelum abad ke-sembilanbelas, perhatian negara terhadap kedaulatan wilayah udara praktis belum ada sama sekali. Namun, setelah ditemukannya pesawat oleh Wright bersaudara, ruang udara karenanya mulai diperhitungkan dalam masyarakat Internasional sebagai salah satu daya tarik dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian suatu negara.

(8)

Kedaulatan suatu negara merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam batas-batas wilayah negara itu sendiri, baik wilayah darat, laut, maupun udara. Sehingga dari itu dapat diketahui bahwa wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara di atas wilayahnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, kalau wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah daratan, wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan laut (Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, 2003: 194). Wilayah ini sudah sejak lama dibahas, terutama tampak pada sebuah dalil Hukum Romawi yang berbunyi “cujus est solum, ejus est usque ad coelum”. Dalil ini berarti “Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah” (Priyatna Abdurrasjid, 1989: 49).Dalam konteks kedaulatan udara, pernah terjadi perdebatan tentang penguasaan negara terhadap wilayah udara, yang pada akhirnya terjawab dengan berbagai teori dimana terdapat pemahaman bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara diatasnya. Kendati negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif, perlu diketahui pula bahwa kedaulatan tersebut dibatasi oleh hak-hak negara lain untuk melintas di wilayah ruang udara sebagaimana telah diatur dalam Konvesi Chocago 1944.

Pasal 1 Konvensi Chicago Tahun 1944 menegaskan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif (complete and

exclusive souvereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya.

Ketentuan pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah teritorial, berarti bahwa:

a. setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan eksklusif atas ruang udara nasionalnya; dan

b. tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam

(9)

suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral.

Kedaulatan udara atas wilayah Indonesia dapat di temui dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yaitu dapat dilihat pada ketentuan sebagai berikut:

Pasal 5 : Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.

Pasal 6 : Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.

Pasal 7 : (1) Dalam rangka melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pemerintah menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas.

(2) Pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang.

(3) Larangan terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat permanen dan menyeluruh.

(4) Kawasan udara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk penerbangan pesawat udara negara.

4. Tinjauan Umum Mengenai Prinsip Hak Menguasai Negara

Ideologi dan politik ekonomi Indonesia dapat dijumpai pada Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut disebabkan karena dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 memuat ketentuan mengenai hak penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta ketentuan mengenai bumi, air dan kekayaan alam

(10)

yang terkandung di dalamnya yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Inti dari pasal ini tidak lain bahwa setiap hasil bumi Indonesia yang menjadi kekayaan alam, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa, "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional". Kemudian disambung dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi, "Hubungan hukum antara Bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi". Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa dari sudut pandang agraria sudah menempatkan hak bangsa sebagai hak penguasaan yang tertinggi terhadap kekayaan alam yang berasal dari perut bumi, udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Pengertian akan konsep penguasaan negara atau hak menguasai negara dalam UUD NRI Tahun 1945 pada dasarnya masih mengalami perdebatan. Hal tersebut dapat dilihat pada perjalanan historis dalam perkembangan konstitusi negara, dimana pemaknaan dan penggunaan istilah dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 adalah sama dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950. Sehingga dapat dikatakan bahwa, perdebatan akan pemaknaan konsep penguasaan negara atau hak menguasai negara belum memperoleh tafsir baku yang dapat diterapkan secara umum pasca kemerdekaan Indonesia, artinya bahwa masih banyak kalangan yang belum sepemahaman mengenai makna akan hak menguasi negara. Oleh sebab itu pemaknaan hak meguasai negara dari beberapa ahli masih mengalami tafsiran yang berbeda-beda.

(11)

Untuk dapat memaknai pengertian hak menguasai negara, tinjauan akan konsep penguasaan negara dirasa menjadi hal yang penting. Menurut Van Vollenhoven, negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum (Notonagoro, 1984: 99). Sehingga pemaknaan akan kekuasaan negara menurut Van Vollenhoven adalah selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souverenitet). Sedangkan menurut J.J. Rousseau, yang menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu (R. Wiratno, dkk, 1958: 176). Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan

leges imperii (R. Wiratno, dkk, 1958: 176).

Teori penguasaan negara diatas menunjukan bahwa, secara toritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara dalam hal ini, dipandang sebagai yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif (J. Ronald Mawuntu, 2012: 16).

Keterkaitan dengan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut (J. Ronald Mawuntu, 2012: 16):

a. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;

(12)

b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat; dan c. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan

rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.

Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad (J. Ronald Mawuntu, 2012: 16).

Pengertian, pemaknaan dan substansi dari istilah “di kuasai oleh negara” dalam UUD NRI Tahun 1945, oleh beberapa tokoh dirumuskan sebagai bentuk pengkajian dari hak menguasai negara. Mohammad Hatta merumuskan tentang pengertian negara dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal (Mohammad Hatta, 1977: 28). Muhammad Yamin merumuskan pengertian dikuasai oleh negara termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi (Muhammad Yamin, 1954: 42-43). Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut (Mohammad Hatta, 1977: 28):

a. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat;

b. Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya persertaan pemerintah;

(13)

c. Tanah haruslah di bawah kekuasaan negara; dan

d. Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.

Selanjutnya oleh Bagir Manan dirumuskan mengenai cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak penguasaan negara, sebagai berikut (Bagir Manan, 1995: 12):

a. Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya,

b. Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan,

c. Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu.

Apabila kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan fungsi negara menurut W. Friedmann, maka dapat kita temukan kajian kritis sebagai berikut (Tri Hayati, dkk, 2005: 17):

a. Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.

b. Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar pertimbangan filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efesiensi dan efektifitas), dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(14)

Pada dasarnya pemaknaan akan konsep hak menguasai negara berdasarkan kajian rumusan tersebut diatas adalah sama. Dari pemahaman berbagai persamaan itu, maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam (J. Ronald Mawuntu, 2012: 18).

Oleh karena itu terhadap sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum (public services), harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut, harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata (J. Ronald Mawuntu, 2012: 18).

Secara teoritik kekuasaan negara atas sumber daya alam, udara dan sumber daya yang terkandung didalamnya, bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Adapun Hak Bangsa adalah hak yang memiliki unsur kepunyaan dan kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan. Maka, segala kewenangan pada hak bangsa dilimpahkan kepada negara. Untuk itu, subjek hak bangsa dapat diartikan seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia dari generasi terdahulu, sekarang dan akan datang. Sebagaimana yang disebutkan di atas, hak bangsa mengandung unsur kepunyaan dan kewenangan yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada negara sebagaimana dikenal sebagai Hak Menguasai Negara.

Oleh karena itu, berdasarkan pokok pikiran di atas, memberikan petunjuk mengenai pengertian dan substansi Hak Menguasai Negara sebagaimana dituangkan melalui Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, akan berimplikasi: Pertama, negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya; Kedua, bumi, air dan kekayaan alam yang

(15)

terkandung di dalamnya (bahan galian) dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pengertian hak menguasai negara kemudian ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan atas perkara Nomor 001-021-022/PUU-1/2003 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 atas pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 dalam permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Dalam putusan Mahkamah Konsitusi atas perkara Ketenagalistrikan terdapat pengujian undang-undang secara materiil terhadap Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dimana Mahkamah memberikan pengertian atau makna “dikuasai oleh negara” sebagai tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tersebut yang mempunyai daya berlaku normatif sebagai berikut:

a. Konstitusi memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak;

b. Kewenangan tersebut ditujukan kepada mereka baik yang akan maupun yang telah mengusahakan produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup banyak orang. Pada cabang produksi yang jenis produksinya belum ada atau baru akan diusahakan, yang jenis produksi tersebut penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak negara mempunyai hak diutamakan/didahulukan yaitu negara mengusahakan sendiri dan menguasai cabang produksi tersebut serta pada saat yang bersamaan melarang perorangan atau swasta untuk mengusahakn cabang produksi tersebut; dan

c. Pada cabang produksi yang telah diusahakan oleh perorangan atau swasta dan ternyata produksinya penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, atas kewenangan yang diberikan oleh Pasal 33 ayat (2)

(16)

UUD NRI Tahun 1945, negara dapat mengambil alih cabang produksi tersebut dengan cara yang sesuai dengan aturan hukum yang adil.

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 atas pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Mahkamah berpendapat terkait dengan penguasaan negara, yaitu:

“Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuurdsdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Terakhir, putusan Mahkamah Konstitusi terkait Sumber Daya Air semakin mempertegas tafsir hak menguasai negara oleh Mahkamah Konstitusi. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD NRI Tahun 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuurdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad). Kelima bentuk penguasaan negara tersebut selanjutnya oleh Yance Arizona kemudian disebut sebagai doktrin panca fungsi penguasaan negara (Yance Arizona, 2008:7).

Tabel. 1 Panca Fungsi Penguasaan Negara

No Fungsi Penjelasan

1 Pengaturan (regelendaad)

Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Jenis peraturan yang

(17)

dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah (eksekutif) yang bersifat mengatur (regelendaad).

2 Pengelolaan (beheersdaad)

Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, fungsi ini dilakukan oleh perusahaan daerah.

3 Kebijakan (beleid) Fungsi kebijakan (beleid) dilakukan oleh pemerintah dengan merumuskan dan mengadakan kebijakan.

4 Pengurusan (bestuurdaad)

Fungsi pengurusan (bestuurdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsensi (concessie).

5 Pengawasan (toezichthoudensd

aad)

Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau

(18)

yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Termasuk dalam fungsi ini yaitu kewenangan pemerintah pusat melakukan pengujian Perda (executive review).

Sumber: (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-1/2003 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang

Ketenagalistrikan Terhadap UUD NRI Tahun 1945).

Pengertian dari hak menguasai negara tersebut diatas, telah menegaskan bahwa tema kemakmuran rakyat merupakan tujuan dari setiap pengelolaan dan penggunaan sumberdaya alam nasional. Tujuan itu dipandang sebagai kepentingan yang tidak dapat diabaikan. Sebab selain merupakan amanat konstitusi hal ini juga menjadi kehendak setiap warga negara dan tanggung jawab negara sebagai konsekuensi dari hak menguasai negara.

5. Tinjauan Umum Mengenai ASEAN Open Sky Policy 2015

Dalam waktu dua dekade ini berkembang perubahan yang signifikan dalam pengaturan kebijakan transportasi udara serta aktivitas kerja sama jasa transportasi udara yang dilakukan oleh negara-negara di dunia (Fachri Mahmud, 2012: 91). Kerjasama dilakukan untuk mengantisipasi adanya perubahan kondisi arus penerbangan dalam industri penerbangan menyusul kemunculan banyak maskapai baru yang menambah padat jumlah armada penerbangan, adanya perubahan situasi ekonomi, maupun karena ketatnya aturan main yang diterapkan secara berbeda-beda oleh masing-masing negara. Kerja sama ini terjadi di berbagai belahan dunia mulai dari kawasan Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, Pasifik, bahkan hingga ke Asia Tenggara (Devi Fajria, 2015: 1).

(19)

Bentuk kerjasama yang dilakukan adalah berupa open sky atau kesepakatan langit terbuka untuk pembukaan pasar angkut udara yang merupakan liberalisasi atas peraturan yang berkaitan dengan industri penerbangan khususnya penerbangan komersil dengan tujuan untuk menciptakan pasar bebas industri penerbangan. Menurut Sakti Adji Sasmita, dalam kerja sama open skies, terdapat sekumpulan aspek kebijakan yang dilakukan secara berbeda, misalnya deregulasi kapasitas dan penghapusan kendali pemerintah atas harga yang ditetapkan, yang berdampak pada melonggarnya peraturan-peraturan dalam industri jasa transportasi udara (Sakti Adji Sasmita, 2012: 66).

Inisiatif untuk meliberalisasi penuh pasar transportasi udara melalui perjanjian open skies sesungguhnya pertama kali datang dari Amerika Serikat yaitu pada tahun 1979, sampai pada perjanjian open skies antara Amerika Serikat dan Uni Eropa yang berlaku sejak tanggal 2 Maret 2007 (Fachri Mahmud, 2012: 91-92). Kerjasama tersebut pada akhirnya menyebar ke Asia Tenggara khususnya ke kawasan ASEAN.

Open sky dalam praktek yang diterapkan dalam ASEAN, tidaklah

benar-benar dikatakan sebagai langit terbuka karena masih dibatasi kebebasan pembukaan langit, seperti tidak dibukanya kebebasan langit tujuh, ke-delapan, dan ke-sembilan. ASEAN open sky tidaklah sebebas pasar penerbangan tunggal di Uni Eropa tetapi setidaknya akan lebih bebas jika dibandingkan dengan perjanjian bilateral maupun perjanjian lainnya yang kini telah diterapkan dalam maskapai penerbangan ASEAN (Whittle Chris, 2012: 19).

Berikut adalah isi dari Freedom of The Air (Hak Kebebasan Udara) seperti yang disebutkan dalam Pasal 19 Paragraf 1 Konvensi Paris 1919, yaitu:

a. 1st Freedom of the Air

Hak suatu penerbangan baik berjadwal maupun tidak berjadwal untuk terbang atau meintasi wilayah negara lain tanpa mendarat. Contoh: dari

(20)

Toronto ke Mexico City dengan penerbangan Canada terbang diatas wilayah Amerika Serikat.

b. 2nd Freedom of the Air

Hak suatu penerbangan baik berjadwal maupun tidak berjadwal untuk melintasi wilayah negara lain (C). Apabila ada keadaan tertentu yang mendesak, maka penerbangan tersebut dapat mendarat di negara kedua (B) tanpa mengangkut ataupun menurunkan penumpang maupun barang. Yang disebut keadaan mendesak yaitu untuk mengisi bahan bakar atau melakukan perbaikan di negara lain tanpa menurunkan penumpang, barang, kargo. Contoh: dari Toronto ke Mexico City dengan penerbangan Canada mengisi bahan bakar diwilayah Amerika.

c. 3rd Freedom of the Air

Hak suatu penerbangan untuk terbang dari negara asal maskapai penerbangan ke negara lain. Contoh: dari Toronto ke Chicago menggunakan penerbangan milik Canada.

d. 4th Freedom of the Air

Hak suatu penerbangan untuk terbang dari negara lain ke negara asal maskapai penerbangan. Contoh: dari Tokyo ke Jakarta menggunakan penerbangan Garuda Indonesia (milik Indonesia)

e. 5th Freedom of the Air

Hak untuk terbang antara 2 negara asing dimana negara asal keberangkatan atau negara tujuan merupakan negara asal maskapai penerbangan. Contoh: dari Kuala Lumpur ke Singapore di lanjutkan ke Jakarta menggunakan penerbangan MH (Negara Asal Keberangkatan) atau dari Kuala Lumpur ke Singapore dilanjutkan ke Jakarta menggunakan penerbangan GA (Negara Tujuan).

f. 6th Freedom of the Air

Hak untuk terbang dari satu negara asing ke negara lain dan melakukan pemberhentian diluar alasan teknik di negara asal maskapai penerbangan. Contoh: dari Hongkong ke Manila ke Jakarta menggunakan penerbangan

(21)

Cathay Pasific dan melakukan pemberhentian diluar alasan teknik di Manila.

g. 7th Freedom of the Air

Hak untuk terbang antara 2 negara asing tetapi tidak terbang ke negara asal maskapai penerbangan. Contoh: dari Hongkong ke Manila menggunakan maskapai Garuda Indonesia (Milik Indonesia).

h. 8th Freedom of the Air

Hak untuk terbang di dalam negri negara asing, kemudian melanjutkan

penerbangan ke negara asal maskapai.

Contoh: dari Paris menuju Jakarta menggunakan maskapai Garuda Indonesia (Milik Indonesia).

i. 9th Freedom of the Air

Hak untuk terbang di dalam negri negara asing tanpa melanjutkan penerbangan ke negara asal maskapai. Contoh: dari Jakarta - Palembang menggunakan maskapai Air Asia (Milik Malaysia).

Menurut Peter Forsyth dan John King, di dalam perjanjian open sky biasanya mengandung beberapa ketentuan yaitu (Peter Forsyth dan John King, 2004: Hlm. 1):

a. Kompetisi Pasar Bebas

Yang mana biasanya di tandai dengan dibebaskannya pembatasan-pembatasan yang berkaitan dengan rute, jumlah, kapasitas, jenis, frekuensi atas pesawat yang akan beroperasi.

b. Harga Ditentukan oleh kebutuhan Pasar

Perjanjian open sky membebaskan perusahaan pengangkutan penerbangan memfleksibelkan harga sesuai dengan pasar.

c. Berkompetisi secara setara dan adil

Yang mana mencakup di dalam perjanjian bahwasanya, misalnya, perusahaan pengangkutan diizinkan untuk membuka kantor pemasaran di negara yang mana telah menandatangani perjanjian.

(22)

Biasanya perusahaan pengangkutan diizinkan untuk ikut serta dalam kerjasama di bidang pemasaran dan perjanjian sewa atas pesawat dari negara yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut.

e. Penyelesaian atas perselisihan

Perjanjian open sky mengikutsertakan prosedur-prosedur pernyelesaian perselisihan maupun perbedaan yang mungkin akan terjadi selama adanya perjanjian tersebut.

f. Liberal Charter Agreement

Dalam perjanjian open sky memuat adanya ketentuan yang membebaskan pasar bebas.

g. Keselamatan dan keamanan

Dalam hal ini pemerintah atas negara yang bersangkutan sepakat untuk lebih memperhatikan tingkat keamanan dan keselamatan penerbangan. h. Hak pilihan terhadap cargo

Dalam perjanjian open sky memuat bahwa pesawat negara anggota yang membawa muatan/kargo diperbolehkan untuk mengoperasikan layanan muatan/kargo murni antara negara anggota lain dan negara ketiga tanpa harus berhenti di negara asal muatan/kargo.

Perjanjian kerjasama jasa angkut udara tanpa batas atau open skies dapat diperinci sebagai berikut (Adi Kusumaningrum, 2014: 43):

a. ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors (AFAIPS) merupakan kesepakatan yang mendasari open sky policy atau liberalisasi jasa angkut udara di kawasan ASEAN. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani AFAIPS pada tanggal 29 November 2004 di Vientiane, Laos. Kesepakatan ini sebagai hasil keputusan Para Kepala Pemerintah/Kepala Negara ASEAN pada KTT ASEAN ke-sepuluh;

b. ASEAN Framework (Amendment) Agreement for the Integration of

Priority Sectors ((Perubahan) Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN untuk

Integrasi Sektor-sektor Prioritas, dimana integrasi dalam bidang pelayanan jasa penerbangan termasuk salah satu yang diprioritaskan.

(23)

Persetujuan iniä ditandatangani di Cebu, Filipina, pada tanggal 8 Desember 2006;

c. ASEAN Sectoral Integration (Amendment) Protocol for Priority Sectors ((Perubahan) Protokol Integrasi Sektoral ASEAN untuk sektor-sektor Prioritas), yang ditandatangani di Cebu, Filipina, pada tanggal 8 Desember 2006;

d. Protocol to Amend Article 3 of the ASEAN Framework (Amendment)

Agreement for the Integration of Priority Sectors (Protokol untuk

Mengubah Pasal 3 (Perubahan) Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN untuk Integrasi Sektor-Sektor Prioritas), yang ditandatangani di Makati

City, Filipina, pada tanggal 24 Agustus 2007, beserta 12 (dua belas)

Protokol Sektor Prioritasnya.

Kesepakatan ASEAN Framework Agreement for the Integration of

Priority Sectors yang memuat pelaksanaan liberalisasi sektor perjalanan

udara lebih lanjut disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pengesahan ASEAN Framework Agreement for the Integration of

Priority Sectors (Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN untuk Integrasi

Sektor-Sektor Prioritas). Dalam regulasi nasional, pembukaan akses pasar transportasi udara menuju open sky diatur dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menerangkan bahwa:

“Pelaksanaan pembukaan akses tanpa batas dari dan ke Indonesia untuk perusahaan angkutan udara niaga asing dilaksanakan secara bertahap berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral yang pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak. Perjanjian bilateral maupun multilateral tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (reciprocity).”

Kebijakan hubungan udara luar negeri Indonesia di tingkat ASEAN akan difokuskan pada upaya Indonesia dalam menghadapi ASEAN Single

Aviation Market 2015 dengan pendekatan sebagai berikut (Adi

(24)

a. Tetap mempertahankan prinsip cabotage. Kebijakan hubungan udara luar negeri Indonesia tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, khususnya tentang pengaturan prinsip

cabotage dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan yang menetapkan bahwa Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga. Lebih lanjut prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang mengatur bahwa angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional baik milik BUMN, BUMD maupun BUMS berbentuk perseroan terbatas (PT) yang telah mendapat ijin usaha angkutan udara niaga berjadwal;

b. Melakukan ratifikasi perjanjian angkutan udara ASEAN secara bertahap; c. Perjanjian multilateral dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal bailk (reciprocity); d. Apabila Indonesia melakukan perjanjian plurilateral mengenai angkutan

udara dengan suatu organisasi komunitas negara lain, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan yang disepakati dalam perjanjian tersebut; dan

e. Pertukaran hak angkut dan pembukaan point ditingkat sub region (IMT-GT) dan (BIMP-EAGA) dapat dilakukan lebih liberal di bandingkan ASEAN guna mendorong pertumbuhan sub kawasan.

Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP 480 Tahun 2012 tentang Roadmap Hubungan Udara Indonesia menetapkan

roadmap yang digunakan sebagai pedoman bagi setiap pejabat dalam

melakukan perundingan hubungan udara dengan negara mitra. Tujuan dari penyusunan Roadmap Hubungan Udara ini adalah tersusunnya suatu kebijakan angkutan udara nasional yang lebih terarah dan berhasil guna melakukan perundingan hubungan udara dengan negara lain (Adi

(25)

Kusumaningrum, 2014: 44). Ditetapkannya roadmap tersebut Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal, Badan Usaha Angkutan Udara Bukan Niaga serta Pengelola Bandara wajib melakukan langkah-langkah penyesuaian. Berikut Tabel Roadmap Hubungan Udara Indonesia dalam Kerangka ASEAN (Adi Kusumaningrum, 2014: 44).

Tabel 2. Roadmap Hubungan Udara Indonesia Dalam Kerangka ASEAN

Materi 2011-2012 2013 2014 2015 2016-2020 Ratifikas i Perjanjia n Angkuta n Udara ASEAN Ratifikasi ASEAN Multilateral Agreement on Air Services (Body Agreement/MA AS) Ratifikasi ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of Air Freight Services (Body Agreement/MAFLA FS) Ratifikas i Protocol 5 MAAS (Unlimit ed Third and Fourth Freedom Traffic Rights Between ASEAN Capotal) Ratifikasi ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of Passenger Air Services (MAFLPAS/Bo dy Agreement) Review Pelaksanaa n MAAS, MAFLAFS dan MAFLPAS dan diskusi internal kemungkin an liberalisasi akses pasar Ratifikasi Protocol 1 MAAS (Unlimited Third and Fourth Freedom Traffic Rights Between ASEAN Sub Region) Ratifikasi Protocol 1 MAFLAPS (Unlimited Third,

Fourth and Fifth Freedom of Traffic Rights Among Designated Points in ASEAN) Ratifikas i Protocol 5 MAAS (Unlimit ed Third and Fourth Freedom Traffic Rights Ratifikasi Protocol 1 MAFLPAS (Unlimited Third and Fourth Freedom of Traffic Rights Any ASEAN Cities)

(26)

Between ASEAN Capotal) Ratifikasi Protocol 2 MAAS (Unlimited Fifth Freedom Traffic Rights Within The ASEAN Sub Region)

Ratifikasi Protocol 2 MAFLAPS

(Unlimited Third,

Fourth and Fifth Freedom of Traffic Among All Points With International Airports) Ratifikasi Protocol 2 MAFLPAS (Unlimited Third, Fourth and Fifth Freedom Traffic Rights Any ASEAN Cities) Ratifikasi Protocol 3 MAAS (Unlimited Third and Fourth Freedom Traffic Rights Between The ASEAN Sub Regions) Ratifikasi Protocol 4 MAAS (Unlimited Fifth Freedom Traffic Rights Between The ASEAN Sub Regions)

Sumber: (Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: KP 480 Tahun 2012 tentang Roadmap Hubungan Udara Indonesia).

Berdasarkan Tabel 2. Roadmap Hubungan Udara Indonesia Dalam Kerangka ASEAN diatas terdapat tiga kesepakatan multilateral terkait pelaksanaan kebijakan angkutan udara di ASEAN yang diikuti oleh

(27)

Indonesia. Kepala Negara ASEAN telah menandatangani tiga perjanjian multilateral yaitu:

1. ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of Air Freight

Services (MAFLAFS);

2. ASEAN Multilateral Agreement on Air Services (MASS);

3. ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of Passenger

Air Services (MAFLPAS).

Tabel. 3. Ratifikasi Multilateral Agreement on Air Services (MAAS) Protocol 1 Protocol 2 Protocol 3 Protocol 4 Protocol 5 Protocol 6 Brunei Darussalam Cambodia Indonesia Lao PDR Malaysia Myanmar Philippines x x Thailand Vietnam

Sumber: (Michelle DY, 2015, http://www.slideshare.net/MichelleDy/ASEAN-single-aviation-market?related=1, diakses tanggal 13 Januari 2016).

(28)

Tabel. 4. Ratifikasi ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of

Passenger Air Services (MAFLPAS)

Protocol 1 Protocol 2 Brunei Darussalam Cambodia Indonesia Lao PDR x x Malaysia Myanmar Philippines Thailand Vietnam

Sumber: (Michelle DY, 2015, http://www.slideshare.net/MichelleDy/ASEAN-single-aviation-market?related=1, diakses tanggal 13 Januari 2016).

Tabel. 5. Ratifikasi ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalization of

Air Freight Services (MAFLAFS)

Protocol 1 Protocol 2 Brunei Darussalam Cambodia Indonesia x x Lao PDR Malaysia Myanmar Philippines Thailand Vietnam

Sumber: (Michelle DY, 2015, http://www.slideshare.net/MichelleDy/ASEAN-single-aviation-market?related=1, diakses tanggal 13 Januari 2016).

(29)

Indonesia telah meratifikasi ASEAN MAAS, sedangkan untuk ASEAN MAFLAFS dan ASEAN MALFPAS Indonesia masih melakukan penundaan penandatanganan. ASEAN MALFPAS merupakan kelanjutan dari ASEAN MAAS terkait dengan liberalisasi angkutan udara penumpang. Perbedaannya adalah dalam ASEAN MAAS masih mengatur liberalisasi angkutan udara dalam kawasan ASEAN namun dengan kota-kota tujuan yang terbatas sedangkan dalam ASEAN MALFPAS akan mengatur open sky atau liberalisasi angkutan udara penumpang secara penuh dengan kota-kota tujuan semua bandara internasional yang ada di setiap negara (Adi Kusumaningrum, 2014: 47). Guna melindungi kepentingan nasional, Indonesia saat ini masih menunda untuk menandatangani ASEAN MALFPAS dan ASEAN MAFLAFS. Hal tersebut boleh dilaksanakan oleh negara anggota ASEAN, dimana salah satu atau lebih anggota dapat memilih untuk menahan pelaksanaannya jika negara tersebut tidak siap. Ketentuan tersebut dapat ditemui dalam ASEAN Minus X (ASEAN-X) yaitu: “While all ASEAN

member States are to participate in intra-ASEAN economic arrangements, one or more members may choose to withhold their implementation if they are not ready” (Framework Agreement on Enchancing ASEAN Economic Cooperation. Singapore, 28 January 1992).

Upaya yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini dalam rangka implementasi ASEAN open sky sebagaimana tertuang dalam ASEAN MAAS adalah hanya akan membuka 5 (lima) bandar udara Internasional dari 27 (dua puluh tujuh) bandara internasional yang ada di Indonesia. Upaya pemerintah Indonesia yang hanya akan membuka 5 (lima) bandara internasional untuk liberalisasi angkutan udara secara penuh tersebut sesuai dengan amanah yang diberikan Pasal 86 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyebutkan bahwa dalam membuat perjanjian multilateral harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan serta mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (reciprocity). Sehingga rute penerbangan

(30)

domestik Indonesia dapat dijalankan dan dimaksimalkan dengan baik oleh maskapai penerbangan nasional.

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Negara Indonesia adalah negara kesejahteraan sebagaimana yang diamanatkan dalam alenia ke-empat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Untuk mewujudkaan kesejahteraan rakyat tersebut, berbagai bentuk pembangunan terus dilakukan pemerintah agar mampu memenuhi dan melindungi kebutuhan warganegaranya dalam segala aspek kehidupan, termasuk kemudahan akses transportasi udara guna mempercepat pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Pemanfaatan ruang udara sebagai salah satu bentuk penguasaan negara untuk mempercepat pembangunan perekonomian tidak terlepas dari materi muatan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan bahwa, “bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Atas dasar ketentuan

tersebut, maka lahir hak menguasai negara atas sumber daya alam yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk udara) dan

Liberalisasi Jasa Angkut Penerbangan ASEAN OPEN SKY

POLICY 2015 M A A S M A F L P A S M A F L A F S Ratif ikasi Tun da Tun da Kesejahteraan Rakyat (Alenia ke-empat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945) Formulasi kebijakan untuk pemerataan pembangunan (MP3EI 2010-2025) Pemanfaatan Ruang Udara (mempermudah akses transportasi antar daerah) Globalisasi Hak Menguasai Negara atas sektor wilayah udara (Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945

RUANG

UDARA

INDONESIA

(31)

penguasaan tersebut memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Seiring dengan berkembangnya arus globalisasi, membuat Indonesia tergabung kedalam organisasi kawasan ASEAN. Salah satu rencana strategis peningkatkan perekonomian ASEAN adalah dengan adanya integrasi perekonomian antar negara ASEAN, dimana salah satu sektor yang diintegrasikan adalah jasa penerbangan. Indonesia sendiri telah meratifikasi perjanjian liberalisasi jasa angkut penerbangan ASEAN MAAS yang berimplikasi pada dibukanya bandar udara Internasional di Indonesia, yaitu meiputi 5 kota besar di Indonesia: Jakarta, Surabaya, Bali, Makasar dan Medan. Oleh sebab itu, dengan adanya perkembangan arus globalisasi yang sedemikian rupa, maka telah membawa implikasi hak penguasaan negara atas wilayah udara Indonesia untuk dihadapkan pada dinamakan liberalisasi ruang udara atau pembukaan ruang udara Indonesia tanpa batas. Pembukaan liberalisasi angkut penerbangan dalam ASEAN

open sky bagi kedaulatan udara Indonesia bukan berarti tidak menuai hambatan,

ancaman kedaulatan negara di ruang udara menjadi hal krusial yang perlu dicermati. Hal ini disebebkan, dalam ASEAN open sky nantinya negara akan dihadapkan pada pasar bebas penerbangan yang mana akan berimplikasi pada melemahnya penguasaan negara atas wilayah udaranya, khususnya pada permasalahan kedaulatan negara. Negara akan dihadapkan pada persoalan kedaulatan wilayah, kedaulatan ekonomi, serta kedaulatan dalam pengendalian lalu lintas penerbangan.

Gambar

Tabel 2. Roadmap Hubungan Udara Indonesia Dalam Kerangka ASEAN

Referensi

Dokumen terkait

Kepala Desa Teluk Endin Fahrudin pun mengucapkan banyak terimakasih kepada UJP Banten 2 Labuan yang telah membantu dalam perbaikan perahu nelayan pasca banjir ini, semoga

12) Kurikulum dan silabus diklat kepelautan ditetapkan oleh Kepala Badan dengan mengacu pada persyaratan nasional dan konvensi internasional STCW 1978 dan

(Raise The Red Lantern, 01:01:04-01:01:18) Dari tindakan Yan'er di atas dapat terlihat bahwa Yan'er tidak menyukai kehadiran Song Lian sebagai istri baru Chen Zuoqian dengan

Melaksanakan  Algoritma  berarti  mengerjakan  langkah‐langkah  di  dalam  Algoritma  tersebut.  Pemroses  mengerjakan  proses  sesuai  dengan  algoritma  yang 

Dapat menjadi sumber ilmu tambahan untuk berbagai pihak misalnya Aparatur penegak hukum seperti Polisi, Hakim, dan Jaksa yang mengawal jalannya penyelesaian kasus-kasus

Dari hasil penelitian ini akan terlihat bagaimana mahasiswa menerapkan peraturan tata guna lahan pada hasil tugas SPA 3 sesuai ketentuan yang telah diatur dalam RTRW

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang berdasar

Dengan menerapkan metode pembelajaran yang terintegrasi dengan teknologi komputer (seperti SPC) akan memberikan suatu model yang berbasis unjuk kerja, hal ini