“Siapapun boleh menjadi penulis.”
Apakah
teman-teman
setuju
dengan
ungkapan itu?
Saya
yang
seorang
pedagang
kecil,
setiap kali memikirkan hal tersebut,
kemudian
berkata
dalam
hati,
“Apakah
menulis
hanya
pekerjaan
mereka
orang-orang
yang
berpendidikan?”
Dan saya pun memutuskan untuk tidak
terlalu
sering
memikirkan
hal
tersebut. Kenapa? Karena kalau saya
hanya
berpikir
apakah
saya
layak
2 2 2 2
atau
tidak
dan
dengan
pertanyaan-pertanyaan
yang
lainnya,
saat
itu
pula
saya
hanya
akan
sibuk
‘berpikir’.
Saya
sangat
menghindari
hal
tersebut. Saya hanya ingin menulis,
tidak peduli apa pun latar belakang
saya.
Saya
ingin
menjadi
seorang
penulis.
Beberapa
halaman
bisa
teman-teman
baca di bawah ini. Namun saya tidak
yakin
dengan
potongan
cerita
tersebut
dapat
membuat
teman-teman
bisa
membayangkan
apa
sebenarnya
3 333
novel
ini.
Karena
itu
hanya
sebagian
kecil
dalam
kisah
yang
saya buat.
Mengutip
beberapa
kata-kata
dari
Dewi
Dewi
Dewi
Dewi Lestari
Lestari
Lestari
Lestari,
29 Dec 12
Di buku yg kt bilang jelek, tetap ada yg mendpt
manfaat dr sana. Buku yg kt sumpah2 bilang bagus,
tetap ada yg tdk sependapat. #kritik
Dan jika benar nantinya teman-teman
merasa
tidak
mendapatkan
apa-apa
dengan membaca buku ini, setidaknya
4 4 4 4
saya
yang
ada
di
dalam
buku
ini.
Tidak
hanya
memberikan
motivasi
untuk
berani
bermimpi,
namun
juga
berani
untuk
menentukan
langkah-langkah
agar
mimpi
itu
semakin
dekat
dan
pada
akhirnya
tercapai.
Apa pun latar belakangmu.
5 555
“Padahal gue pikir kalian akan awet sampai menikah,” ujar Rianti seraya menghempaskan tubuhnya di sofa tempat Denaya duduk, temannya itu sedang menulis.
“Itu artinya prediksi elo kurang tepat,” jawab Denaya dengan mata yang masih juga tidak beralih dari kertas yang sejak tadi digarapnya.
“Jadi notulen itu sungguh melelahkan. Angka saja harus ditulis dengan huruf. Pokoknya, gue tidak mau jadi notulen lagi. Lebih baik gue pegang alat-alat tempur,” Denaya mengeluh sendiri.
“Lalu bagaimana dengannya sekarang?” Rianti masih saja membahas bagaimana usainya kisah cinta Denaya dengan Arnold yang sudah hampir satu tahun ini terjalin. Dan Rianti sangat menyayangkannya.
“Bukankah tadi pagi kalian masih bertemu? Kenapa masih menanyakan bagaimana keadaannya sekarang?” kata Denaya berhenti menulis untuk sejenak, menatap mata Rianti dan kemudian meneruskan pekerjaannya kembali.
“Maksud gue, bagaimana perasannya sekarang? Pasti dia sangat bingung. Setahu gue, kalian itu tidak pernah ada masalah. Dan secara tiba-tiba, kalian putus. Tanpa sebab.” Nada bicara Rianti seperti sangat gemas dengan yang terjadi.
“Kami memang tidak ada masalah. Kalau dibilang kami putus tanpa sebab, rasanya kurang tepat. Dan mungkin memang jalannya harus seperti ini,” jawab Denaya santai.
“Arnold itu kurang apa sih, Nay? Tampan, pintar, dari keluarga baik-baik dan yang gue lihat, sepertinya dia sangat mencintai elo. Kalau gue jadi elo, mungkin Arnold akan gue pegang erat-erat, karena sangat jelas kalau dia itu bibit unggul.”
“Kalau begitu, elo saja yang menikah dengannya!!! ” “Sayangnya Arnold hanya mencintai seorang Denaya.” Ujar Rianti. Denaya pun tidak menjawab lagi kata-kata Rianti.
6 6 6 6
Hening. Mereka diam. Rasanya Denaya sudah tidak tertarik lagi membahas Arnold.
“Eh, Nay, menurut elo poni gue bagaimana? Apa sudah terlalu panjang?” Rianti bertanya kepada Denaya. Orang yang ditanya pun langsung menengok untuk melihat poni Rianti dan dia mengangguk tanda setuju.
“Itu artinya harus gue potong sedikit,” Rianti berdiri dan menuju kamarnya. Dan tak lama, dia kembali dengan membawa sebuah gunting, sisir dan cermin kecil.
“Jadi elo mau potong poni? Hm… apa elo yakin? ” tanya Denaya agak ragu.
“Iya, atau potongnya nanti saja kalau kita ke salon?” kata Rianti yang masih tidak menangkap ada ekspresi aneh dari wajah Denaya.
“Ri, elo belum lupa dengan mitos dilarang menggunting rambut di sini, bukan?” tanya Denaya yang mulai terang-terangan tentang apa yang ia maksudkan setelah melihat Rianti akan menggunting rambutnya.
“Jadi elo percaya dengan mitos itu, Nay?” Rianti langsung meletakkan gunting di atas meja karena khawatir Denaya memercayai hal tersebut.
“Sebenarnya gue enggak mau memercayai mitos itu, Ri. Tetapi dengan elo tidak memotong rambut di saat-saat seperti ini, elo tidak akan dikambinghitamkan jika ada banyak jenazah yang datang,” ungkap Denaya dengan senyum yang dipaksakan.
“Benar juga, sekalipun mitos itu belum tentu kebenarannya, dengan tidak memotong rambut selama sebulan ini, minimal hidup gue akan tenang, tidak akan disalahkan kalau ada apa-apa,” Rianti akhirnya mengambil keputusan, tidak jadi memotong rambutnya.
Denaya kembali menulis dan Rianti masih terdiam memikirkan tentang mitos tadi. Bagaima na kalau tidak ada Denaya yang mengingatkannya? Mungkin tadi Rianti sudah
7 777
memotong rambutnya. Dia benar-benar lupa akan hal itu. Sama sekali tidak mengingatnya, bahkan saat ia sudah mengambil gunting dan cermin.
Meski sejak awal mereka sepakat untuk tidak ingin memercayainya, namun tetap saja itu seakan menjadi momok tersendiri untuk siapapun yang berada di posisi yang sama seperti mereka. Meski itu hanyalah sebuah mitos, namun siapa yang berani menjamin semua itu hanya isu semata. Bagaimana jika ternyata hal-hal yang ditakutkan itu benar-benar terjadi?
Denaya dan Rianti, dua orang yang bisa dikatakan selalu menggunakan logika, seperti mayoritas mahasiswa kedokteran yang biasa berpikir secara logis, terpaksa harus menerima kehadiran satu mitos tempat di mana mereka berada saat ini. Mitos yang sudah menjadi makanan setiap orang yang berhubungan dengannya. Namun tidak sedikit juga dari mereka yang meme rcayainya. Meski juga ada yang sebaliknya. Atau mungkin malah memilih untuk mencari aman seperti Denaya dan Rianti.
Ponsel Rianti berdering, sebuah pesan singkat masuk. Yang memberikan sebuah kabar, yang juga adalah sebuah tugas.
“Nay, jam delapan malam ini akan ada otopsi.” Rianti mengabarkan sebuah pesan dari RS Hasan Sadikin Bandung.
“Ya ampun, Ri, elo baru akan potong rambut saja kita sudah kedatangan jenazah,” ujar Denaya menggoda Rianti.
“Tadi elo bilang enggak percaya, Nay.”
“Bercanda, ayo kita segera berangkat!” ajak Denaya. Mereka pun berlarian ke kamar masing-masing untuk menyiapkan segala peralatan yang harus dibawa setiap kali akan melakukan otopsi mayat.
“Nay, lihat snelli gue?” teriak Rianti dari dalam kamarnya. Denaya menggelengkan kepala karena tidak habis piker dengan sahabatnya itu. Rianti sangat ceroboh, bahkan untuk hal yang sangat penting.
8 8 8 8
Snelli adalah jas putih yang biasa dipakai dokter di rumah sakit. Dan ini adalah salah satu peralatan yang wajib dikenakan oleh Denaya dan Rianti selama menjalani masa koass di rumah sakit.
“Sepertinya ada di mobil,” jawab Denaya dengan berteriak juga pastinya. Seketika ia ingat saat merapikan mobil dan melihat snelli milik Rianti di kursi belakang mobilnya. Saat itu Denaya sedang membawa banyak bawaan sehingga membuatnya tidak membawa serta jas putih itu ke dalam rumah. Dan Denaya pun tidak tahu mengapa Rianti sampai bisa meninggalkan snelli itu di dalam mobilnya.
Dalam sekejap Denaya dan Rianti sudah dalam keadaan rapi. Meski sebenarnya tidak harus terburu-buru seperti ini. Hanya karena kebiasaan Denaya yang sangat tidak suka mengulur-ulur waktu, Rianti jadi ikut terbawa dengan sikap itu semenjak mereka saling mengenal.
Denaya dan Rianti adalah calon seorang dokter. Setelah berhasil mendapatkan gelar sarjana Kedokteran setelah selama empat tahun berjuang di fakultas kedokteran salah satu universitas swasta di Jakarta, kini mereka harus melewati fase selanjutnya sebelum akhirnya resmi menjadi seorang dokter umum. Fase itu biasa disebut dengan istilah KOASS atau Co Assistant atau dokter muda.
Fase ini sangat penting dalam karier semua dokter. Semua dokter dengan berbagai prestasi sudah pasti akan melewati masa koass. Mereka sangat membutuhkan ilmu ketika koass berlangsung. Itu karena selama empat tahun belajar di universitas, mereka tidak berhubungan secara langsung dengan pasien. Yang mereka hadapi setiap harinya adalah materi tentang dunia kedokteran dan praktek di laboratorium, sama sekali tidak ada kontak langsung dengan pasien. Itulah mengapa koass menjadi salah satu syarat untuk bisa menjadi seorang dokter umum. Karena di sinilah mereka mulai belajar bagaimana cara menangani pasien secara langsung. Menangani
9 999
manusia hidup yang keselamatannya menjadi tanggung jawab mereka sebagai seorang dokter.
Ada empat belas stase dalam masa koass. Sedangkan stase sendiri bisa dikatakan seperti bagian-bagian dalam kedokteran yang harus mereka lewati. Karena pada intinya mereka dicetak untuk menjadi seorang dokter umum dan mengharuskan mereka untuk bisa menguasai atau minimal mengenal serta merasakan praktek langsung di semua bagian dalam kedokteran.
Stase terbagi menjadi dua bagian, yaitu stase mayor dan minor. Mungkin itu dilihat dari kerumitan dan lamanya sebuah stase. Stase mayor rata-rata berlangsung selama 9-12 minggu. Sedangkah stase minor selama 4-5 minggu. Dan paling tidak seorang dokter muda mampu menyelesaikan masa koassnya dalam kurun waktu dua tahun.
Stase yang masuk ke dalam stase mayor di antaranya Ilmu Penyakit Dalam, Obstetri dan Gynecology (Obsgyn), Ilmu
Kesehatan Anak, Ilmu Bedah dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Sedangkan yang masuk stase minor antara lain Radiologi, Gigi dan Mulut, Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT), Mata, Kulit dan Kelamin, Anestesi, Penyakit Jiwa, Saraf dan Forensik.
Sudah hampir satu minggu ini Denaya dan Rianti berada di kota Bandung dengan alasan stase yang kini mereka jalani, yaitu stase forensik berlangsung di rumah sakit Hasan Sadikin. Berpindah dari satu kota ke kota yang lain memang sudah menjadi hal yang biasa selama masa koass berlangsung. Tangerang, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya pernah menjadi persinggahan mereka demi menuntaskan kewajiban satu stase koass.
Forensik? Apa yang biasanya terlintas dalam kepala saat mendengar kata ini? Mungkin salah satunya adalah otopsi. Sebagian masyarakat mungkin sudah tahu kalau otopsi yang dilakukan oleh tim forensik biasanya untuk membantu pihak kepolisian mengungkap sebab dari kematian jenazah. Tujuannya jelas sangat baik. Namun yang ada di kepala Denaya dan Rianti
10 10 10 10
saat mendengar kata forensik adalah mereka harus siap untuk membedah mayat. Bukan hanya saat kondisi mayat itu dalam keadaan baik saja, tetapi juga sebaliknya. Mungkin dalam keadaan tidak utuh atau malah sudah dalam kondisi membusuk. Itulah mengapa pada stase ini, baik Denaya ataupun Rianti banyak bertanya kepada senior tentang apa saja yang harus mereka siapkan untuk bisa melewati stase ini tanpa hambatan. Bukan lagi tentang persiapan teknis yang mereka khawatirkan, namun lebih tentang mental.
Mungkin ini bukan kali pertama Denaya dan Rianti membedah tubuh seseorang, mereka pernah merasakannya pada stase-stase sebelumnya. Itulah alasan mengapa forensik mereka pilih di masa akhir koass. Mereka ingin melatih mental sebelum akhirnya harus berhadapan dengan stase ini.
Masih segar dalam ingatan mereka saat pertama kali Denaya, Rianti, Arnold dan Steve digabungkan ke dalam satu grup untuk melalui koass bersama. Meski tidak mudah, baik Denaya atau Rianti, mereka sangat menikmati masa-masa seperti ini. Waktu dan fisik selalu menjadi kendala mereka terlebih saat di stase mayor. Bagaimana padatnya jadwal saat stase bedah dan stase Obsgyn mereka jalani. Belum lagi
tumpukan tugas yang juga harus diselesaikan dan ujian di akhir stase untuk bisa melanjutkan ke stase berikutnya.
Sebelum ini, Denaya dan Rianti baru saja menyelesaikan stase Ilmu Penyakit Dalam atau Interna di salah satu rumah sakit di Jakarta. Dan itu tentu saja sangat melelahkan untuk mereka karena padatnya aktifitas di sana. Namun kali ini berbeda. Stase forensik yang masuk dalam stase minor ini tidak memiliki jadwal yang terlalu padat. Bahkan tidak ada jadwal jaga malam. Sistem on call-lah yang berlaku di sini. Setiap kali
ada jenazah datang, mereka baru akan mendapatkan panggilan. Meski setiap harinya mereka tetap harus datang ke rumah sakit untuk mengikuti kuliah bersama konsulen atau dokter ahli forensik. Selebihnya, mereka bisa bersantai-santai.
11 11 11 11
Meski awalnya menakutkan, namun pada akhirnya Denaya dan Rianti mulai terbiasa dan bisa menikma ti stase ini. Apalagi jadwalnya yang tidak padat. Ini seperti sebuah berkah untuk seorang dokter muda, setidaknya untuk istirahat dan menikmati indahnya masa muda, seperti orang kebanyakan. Dan itu bukanlah hal yang mudah didapatkan oleh mereka, para calon dokter.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Denaya dan Rianti sampai di RS Hasan Sadikin. Rumah milik keluarga Rianti memang berada tidak jauh dari sana. Dengan alasan itulah mereka tidak perlu menyewa kamar kost seperti pada saat koass di kota lain.
Rumah yang beberapa tahun lalu dibeli Ayah Rianti ini sungguh menolong mereka. Ditambah lagi yang posisinya berada di kawasan Sukajadi, tidak terlalu jauh dari RS Hasan Sadikin tempat mereka kini melaksanakan koass forensik.
Denaya dan Rianti langsung bergegas menuju kamar jenazah rumah sakit. Ruangan yang selama beberapa hari ini cukup membuat Denaya untuk belajar beradaptasi khususnya dari aromanya yang tidak biasa. Aroma campuran daging busuk, formalin, binatang yang mungkin telah hidup di dalam tubuh jenazah, belum lagi feses, membuat Denaya sudah tidak terlalu kaget lagi seperti saat pertama kali datang ke tempat ini.
Namun, telah terbiasa mencium aroma seperti ini tidak lantas membuat Denaya menganggap enteng hal tersebut. Saat otopsi pertama kali, meski Denaya bertugas sebagai notulen, tetap saja dia harus berhadapan dengan jenazah dan sempat membuatnya hampir pingsan. Namun kali ini ia berharap bisa lebih kuat selama otopsi berlangsung. Yang ada di kepala Denaya saat ini untuk meruntuhkan rasa takutnya adalah otopsi yang akan dilakukannya bertujuan untuk menegakkan keadilan dengan bantuan ilmu kedokteran. Itu artinya dia juga turut serta membantu keluarga korban untuk mengungkap kebenaran yang terjadi sebelum korban meninggal dunia.
12 12 12 12
Semua tim sudah berkumpul. Otopsi akan segera dimulai. Denaya mema sang masker, sarung tangan berlapis dan tak lupa menumpahkan sedikit minyak angin di lengan kemejanya yang sesekali akan dihirupnya saat rasa mual itu datang. Rianti bahkan membuka bungkus kopi hitam yang beraroma kuat dan memang bisa membantu untuk mendapatkan aroma lain saat otopsi.
Kali ini jenazah yang datang diduga korban pembunuhan yang kemudian ditenggelamkan di dalam sumur tua selama beberapa hari. Kondisi jenazah sudah dalam keadaan membusuk dan sudah muncul belatung.
Sebelum melakukan otopsi, tim melakukan pemeriksaan luar. Mereka menemukan beberapa lebam pada tubuh korban. Denaya menduga ada beberapa fraktur atau patah tulang yang juga dialami korban. Dan yang tak kalah pentingnya adalah mereka juga harus mengukur panjang belatung yang ada di tubuh korban untuk menentukan berapa lama hari korban ini meninggal dunia. Panjang tubuh belatung dapat memberikan informa si sejak kapan ia hidup dalam tubuh jenazah. Dan dari sana dapat diketahui kapan peristiwa nahas itu terjadi sampai akhirnya jenazah itu meregang nyawa.
Total tim otopsi terdiri dari tujuh orang, terdiri dari empat orang mahasiswa koass, dua orang residen atau yang merupakan dokter umum yang tengah kuliah mengambil spesialisasi forensik dan satu lagi adalah seorang professor di bidang otopsi.
Otopsi dimulai dengan membelah dada pasien dengan menggunakan pisau tajam yang dilakukan oleh salah seorang residen. Dengan agak takut, Denaya memerhatikan dengan saksama bagaimana residen itu melakukan aksinya. Dia harus mengambil ilmu dari sana. Rianti beberapa kali terlihat memejamkan matanya. Sepertinya ia takut. Ketika rongga dadanya sudah terbuka, terciumlah aroma yang sudah Denaya duga, ia pun mencium aroma minyak angin yang sudah disiapkannya tadi. Sambil terus berharap ia dapat bertahan
13 13 13 13
sampai otopsi ini selesai. Denaya, Rianti, Arnold dan Steve mengerjakan tugas masing-masing. Otopsi ini adalah pengalaman kedua untuk mereka. Dan otopsi kali ini seharusnya bisa dilewati dengan lebih baik daripada yang sebelumnya.