3
Bu
n
k
a
a
t
n
u
K
H
l
a
i
y
s
u
a
H
6 Jenis Tumbuhan Penghasil Buah
sebagai Sumber Pangan di Tanah Papua
Taer juga memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi dari biji-bijian dan kacang-kacangan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia. Taer adalah salah satu dari 15 jenis Dipterocarpaceae yang dilaporkan terdapat di Papua dan merupakan satu-satunya jenis dari marga Anisoptera yang
terdapat di Papua. Taer adalah salah satu jenis pohon indigenous atau
tumbuhan asli (native species) di Papua. Di
Indonesia, jenis ini penyebarannya meliputi Papua, Maluku dan Maluku Utara (Halmahera). Pulau Yop adalah salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Teluk Wondama. Kondisi hutan
habitat taer di Pulau Yop Meos tergolong baik atau belum mendapatkan tekanan berupa kerusakan yang cukup berarti. Potensi vegetasi tingkat pohon taer adalah sebanyak 20 pohon per hektar. jenis pohon taer tidak mampu tumbuh atau beradaptasi pada habitat karang tetapi mampu tumbuh dan Enam jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial
sebagai bahan pangan di Tanah Papua yang dimanfaatkan oleh masyarakat etnik Papua (suku Wondama, Gebe, Isirawa, Manirem dan Tepra) adalah sebagai berikut :
1. Taer (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton).
Buah taer dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Wondama di Pulau Yop Meos Kabupaten Teluk Wondama sebagai
pengganti kacang hijau. Kandungan protein, lemak dan vitamin C pada taer umumnya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
D e s k r i p s i
aat ini terdapat kekhawatiran terkait dengan krisis
pangan. Hal itu mendorong pemerintah mengeluarkan
S
himbauan untuk meningkatkan ketahanan pangan
dengan memanfaatkan tumbuhan lokal atau pangan lokal
sebagai sumber bahan pangan.
Papua merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia. Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten
Sarmi, Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Raja Ampat,
adalah kabupaten di Papua yang memiliki arti strategis
dalam potensi keanekaragaman hayati. Daerah tersebut
memiliki hutan yang sangat luas dengan tipe ekosistem dari
pantai sampai pegunungan tinggi.
Hutan dan masyarakat tradisional di Papua memiliki
hubungan yang sangat erat. Masyarakat tradisional di Papua
memiliki banyak Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang
dapat dimanfaatkan sebagai diversifikasi bahan pangan,
salah satunya dari tumbuhan hutan penghasil buah.
Buah taer
Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton
A. Perawakan batang B. Daun
C. Buah muda D. Buah tua
beradapatasi dengan habitat tanah berbatu dan tanah berkarang. Pohon taer hanya berbuah sekali dalam 5 tahun.
2. Waribo (Borassus heineanus Beccarii)
Buah Waribo atau kelapa hutan dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Manirem di Kabupaten Sarmi sebagai bahan pangan pengganti kelapa pantai (Cocos nucifera).
Kandungan protein kelapa hutan umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah-buahan namun lebih rendah dibanding jenis kacang-kacangan, sorghum dan jagung. Namun demikian, kelapa hutan memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi dari
biji-bijian dan kacang-kacangan yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat di Indonesia. Penyebarannya sangat terbatas yaitu meliputi Kabupaten Sarmi,.
Buah waribo
6 Jenis Tumbuhan Penghasil Buah
sebagai Sumber Pangan di Tanah Papua
Taer juga memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi dari biji-bijian dan kacang-kacangan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia. Taer adalah salah satu dari 15 jenis Dipterocarpaceae yang dilaporkan terdapat di Papua dan merupakan satu-satunya jenis dari marga Anisoptera yang
terdapat di Papua. Taer adalah salah satu jenis pohon
indigenous atau
tumbuhan asli (native species) di Papua. Di
Indonesia, jenis ini penyebarannya meliputi Papua, Maluku dan Maluku Utara (Halmahera). Pulau Yop adalah salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Teluk Wondama. Kondisi hutan
habitat taer di Pulau Yop Meos tergolong baik atau belum mendapatkan tekanan berupa kerusakan yang cukup berarti. Potensi vegetasi tingkat pohon taer adalah sebanyak 20 pohon per hektar. jenis pohon taer tidak mampu tumbuh atau beradaptasi pada habitat karang tetapi mampu tumbuh dan Enam jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial
sebagai bahan pangan di Tanah Papua yang dimanfaatkan oleh masyarakat etnik Papua (suku Wondama, Gebe, Isirawa, Manirem dan Tepra) adalah sebagai berikut :
1. Taer (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton).
Buah Taer dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Wondama di Pulau Yop Meos Kabupaten Teluk Wondama sebagai
pengganti kacang hijau. Kandungan protein, lemak dan vitamin C pada taer umumnya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
D e s k r i p s i
aat ini terdapat kekhawatiran terkait dengan krisis
pangan. Hal itu mendorong pemerintah mengeluarkan
S
himbauan untuk meningkatkan ketahanan pangan
dengan memanfaatkan tumbuhan lokal atau pangan lokal
sebagai sumber bahan pangan.
Papua merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia. Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten
Sarmi, Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Raja Ampat,
adalah kabupaten di Papua yang memiliki arti strategis
dalam potensi keanekaragaman hayati. Daerah tersebut
memiliki hutan yang sangat luas dengan tipe ekosistem dari
pantai sampai pegunungan tinggi.
Hutan dan masyarakat tradisional di Papua memiliki
hubungan yang sangat erat. Masyarakat tradisional di Papua
memiliki banyak Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang
dapat dimanfaatkan sebagai diversifikasi bahan pangan,
salah satunya dari tumbuhan hutan penghasil buah.
Buah taer
Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton
A. Perawakan batang B. Daun
C. Buah muda D. Buah tua
beradapatasi dengan habitat tanah berbatu dan tanah berkarang. Pohon taer hanya berbuah sekali dalam 5 tahun.
2. Waribo (Borassus heineanus Beccarii)
Buah waribo atau kelapa hutan dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Manirem di Kabupaten Sarmi sebagai bahan pangan pengganti kelapa pantai (Cocos nucifera).
Kandungan protein kelapa hutan umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis buah-buahan namun lebih rendah dibanding jenis
kacang-kacangan, sorghum dan jagung. Namun demikian, kelapa hutan memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi dari
biji-bijian dan kacang-kacangan yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat di Indonesia. Penyebarannya sangat terbatas yaitu meliputi Kabupaten Sarmi,
Buah waribo
Kabupaten Waropen dan Kabupaten Yapen. Meskipun secara tradisional masyarakat di Kabupaten Sarmi sudah melakukan kegiatan budidaya (konservasi tradisional), namun secara umum jenis kelapa hutan ini perlu dibudidayakan secara intensif, mengingat jenis ini merupakan jenis endemik yang penyebarannya sangat terbatas namun pemanfaatannya oleh masyarakat cukup tinggi.
3. Piarawi (Haplolobus cf. monticola Husson) Piarawi atau buah hitam dimanfaatkan daging buahnya sebagai sumber lemak atau pengganti alpukat oleh masyarakat Suku Wondama di
Kabupaten Teluk Wondama. Buah piarawi berbuah 1-2 kali setahun.
Kelapa hutan
(Borassus heineanus Becc.) A. Perawakan habitus B. Daun
C. Bunga jantan D. Buah muda
.
Kandungan protein, lemak dan vitamin C piarawi umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya (alpukat, sirsak, langsat, pepaya) yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Penyebarannya sangat terbatas yaitu hanya terdapat di Semenanjung Wondama. Jenis ini menurut informasi masyarakat, dibawa dari Daerah Goni (suatu daerah yang merupakan perbatasan Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Nabire). Sebaran tumbuhan ini di hutan alam di sekitar kampung tersebut sudah mulai berkurang.
Piarawi, adalah salah satu dari 15 jenis Haplolobus yang dilaporkan terdapat di Papua. Jenis ini tumbuh pada hutan dataran rendah bersama-sama dengan
Haplolobus cf. monticola Husson A. Perawakan habitus B. Daun C. Bunga muda D. Buah tua
vegetasi berkayu lainnya membentuk hutan hujan tropis dataran rendah di Semenanjung Wondama.
4.Gayang (Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg)
Buah Gayang dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat suku Isirawa di Kabupaten Sarmi sebagai bahan pangan sumber protein. Gayang berbuah sepanjang tahun dengan musim berbuah maksimal yang menghasilkan banyak buah adalah 2-3 kali dalam setahun.
Kandungan gizi buah gayang sangat tinggi jika dibandingkan dengan tanaman budidaya lainnya seperti alpukat, durian, sirsak, langsat, papaya, rambutan dan salak.
Gayang (Inocarpus fagifer) A. Perawakan habitus B. Daun
C. Buah kecil D. Buah muda E. Buah tua
Gayang merupakan jenis tumbuhan indigenous atau asli (native species) di Papua. Penyebarannya
meliputi Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Kepulauan Pasifik dan Papua. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan berkhasiat obat di daerah-daerah yang merupakan lokasi penyebarannya. Jenis ini juga termasuk dalam jenis tumbuhan kurang dikenal karena lokasi
penyebarannya yang sangat terbatas yaitu di tepi pantai (hutan pantai).
5. Selre (Sararanga sinuosa Hemsley)
Selre atau Anggur Papua dimanfaatkan buahnya oleh masyarakat Suku Dedapre/Tepra di Kabupaten Jayapura sebagai bahan pangan pengganti buah anggur (Vitis vinifera). Buah ini berbuah sepanjang tahun.
D e s k r i p s i
(lanjutan) Anggur Papua (Sararanga sinuosa) A. Perawakan batang B. Daun C. Buah D. BijiKabupaten Waropen dan Kabupaten Yapen. Meskipun secara tradisional masyarakat di Kabupaten Sarmi sudah melakukan kegiatan budidaya (konservasi tradisional), namun secara umum jenis kelapa hutan ini perlu dibudidayakan secara intensif, mengingat jenis ini merupakan jenis endemik yang penyebarannya sangat terbatas namun pemanfaatannya oleh masyarakat cukup tinggi.
3. Piarawi (Haplolobus cf. monticola Husson) Piarawi atau buah hitam dimanfaatkan daging buahnya sebagai sumber lemak atau pengganti alpukat oleh masyarakat Suku Wondama di
Kabupaten Teluk Wondama. Buah piarawi berbuah 1-2 kali setahun.
Kelapa hutan
(Borassus heineanus Becc.) A. Perawakan habitus B. Daun
C. Bunga jantan D. Buah muda
.
Kandungan protein, lemak dan vitamin C piarawi umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya (alpukat, sirsak, langsat, pepaya) yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Penyebarannya sangat terbatas yaitu hanya terdapat di semenanjung Wondama. Jenis ini
menurut informasi masyarakat, idibawa dari daerah Goni (suatu daerah yang merupakan perbatasan Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Nabire). Sebaran tumbuhan ini di hutan alam di sekitar kampung tersebut sudah mulai berkurang.
Piarawi, adalah salah satu dari 15 jenis Haplolobus yang dilaporkan terdapat di Papua. Jenis ini tumbuh pada hutan dataran rendah bersama-sama dengan
Haplolobus cf. monticola Husson A. Perawakan habitus B. Daun C. Bunga muda D. Buah tua
vegetasi berkayu lainnya membentuk hutan hujan tropis dataran rendah di Semenanjung Wondama.
4.Gayang (Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg)
Buah gayang dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat suku Isirawa di Kabupaten Sarmi sebagai bahan pangan sumber protein. Gayang berbuah sepanjang tahun dengan musim berbuah maksimal yang menghasilkan banyak buah adalah 2-3 kali dalam setahun.
Kandungan gizi buah gayang sangat tinggi jika dibandingkan dengan tanaman budidaya lainnya seperti alpukat, durian, sirsak, langsat, papaya, rambutan dan salak.
Gayang (Inocarpus fagifer) A. Perawakan habitus B. Daun
C. Buah kecil D. Buah muda E. Buah tua
Gayang merupakan jenis tumbuhan indigenous atau asli (native species) di Papua. Penyebarannya
meliputi Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Kepulauan Pasifik dan Papua. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan berkhasiat obat di daerah-daerah yang merupakan lokasi penyebarannya. Jenis ini juga termasuk dalam jenis tumbuhan kurang dikenal karena lokasi
penyebarannya yang sangat terbatas yaitu di tepi pantai (hutan pantai).
5. Selre (Sararanga sinuosa Hemsley)
Selre atau anggur papua dimanfaatkan buahnya oleh masyarakat Suku Dedapre/Tepra di Kabupaten Jayapura sebagai bahan pangan pengganti buah anggur (Vitis vinifera). Buah ini berbuah sepanjang tahun.
D e s k r i p s i
(lanjutan) Anggur Papua (Sararanga sinuosa) A. Perawakan batang B. Daun C. Buah D. BijiAlternatif sumber bahan pangan lokal dapat dikembangkan menjadi produk pangan unggulan melalui
pengembangan budidaya dan rekayasa teknologi proses pangan.
Diperlukan dukungan pemerintah pusat dan daerah di Tanah Papua dalam hal pengembangan jenis buah-buahan hutan sebagai bahan pangan unggulan lokal melalui program pengembangan yang tepat.
Tantangan
Penulis : Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding, Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak (BPK Manokwari), Charlie D. Heatubun (UNIPA) dan Hanro Y. Lekitoo ( UNCEN)
Unit kerja : Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari, Universitas Negeri Papua Manokwari (UNIPA) dan Universitas Cendrawasih (UNCEN)
E-mail : [email protected]
Gambar : Koleksi Krisma Lekitoo dkk
Info detil : Buku Re-Diversifikasi Pangan di Tanah Papua Bagian I: Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua yang diterbitkan Badan Litbang Kehutanan tahun 2012.
(www. forda-mof.org/publikasi)
Keterangan
Pohon woton berbuah 3-4 kali dalam setahun, umumnya merupakan jenis pionir yang tumbuh pada daerah-daerah bekas perladangan dan daerah rumpang (gap) pada hutan primer.
Woton memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi dari biji-bijian dan kacang-kacangan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia.
yang tumbuh pada daerah bekas perladangan dan daerah rumpang (gap) pada hutan primer.
Woton memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi dari biji-bijian dan kacang-kacangan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia. Penyebaran jenis ini meliputi Papua, Maluku dan Sulawesi dan merupakan fast growing species sehingga dapat digunakan sebagai alternatif tanaman Hutan Tanaman Industri.
Pohon woton adalah salah satu jenis sterculia dari 26 jenis sterculia yang tercatat ditemukan di tanah Papua. Jenis ini sangat mirip atau hampir mirip dengan Sterculia urceolata J. Sm.
Jenis pohon ini umumnya merupakan jenis pionir Kandungan vitamin C buah anggur papua lebih
tinggi dibandingkan dengan beberapa jenis buah yang sudah dikenal dan sering dikonsumsi oleh masyarakat seperti alpukat, durian, sirsak, langsat, pepaya, rambutan dan salak.
Anggur papua merupakan jenis tumbuhan endemik atau asli (native species) di Papua. Penyebarannya hanya terdapat pada hutan hujan tropis dataran rendah di pesisir pantai utara Papua yang meliputi Kabupaten Jayapura, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Waropen dan Kabupaten Yapen.
6.Woton (Sterculia shillinglawii F.v. Muell.)
Buah ini dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Gebedi Pulau Gag Kabupaten Raja Ampat sebagai bahan pangan pengganti kacang hijau.
Perbedaannya adalah warna daun S. urceolata hijau tua dan berbulu serta warna kulit buahnya merah tua jika dibandingkan dengan daun woton yang berwarna hijau muda dan tidak berbulu serta warna kulit buahnya yang orange sampai merah muda. Masyarakat hanya memanfaatkan buah woton yang tersedia di alam tanpa melakukan kegiatan
budidaya. Secara alami proses regenerasi woton di alam termasuk cepat dimana dengan
mengandalkan jumlah biji yang banyak, tumbuhan tersebut pada tingkat semai umumnya memiliki jumlah anakan yang banyak. Karena jenis ini
termasuk jenis pohon intoleran, maka dalam proses regenerasinya akan lebih baik pada daerah-daerah terbuka jika dibandingkan di hutan primer.
Sterculia shillinglawii F.v. Muell
A. Perawakan batang B. Daun
C. Buah muda
D e s k r i p s i
(lanjutan)Alternatif sumber bahan pangan lokal dapat dikembangkan menjadi produk pangan unggulan melalui
pengembangan budidaya dan rekayasa teknologi proses pangan.
Diperlukan dukungan pemerintah pusat dan daerah di Tanah Papua dalam hal pengembangan jenis buah-buahan hutan sebagai bahan pangan unggulan lokal melalui program pengembangan yang tepat.
Tantangan
Peneliti : Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding, Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak (BPK Manokwari), Charlie D. Heatubun (UNIPA) dan Hanro Y. Lekitoo (UNCEN)
Unit kerja : Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari, Universitas Negeri Papua Manokwari (UNIPA) dan Universitas Cendrawasih (UNCEN)
E-mail : [email protected]
Gambar : Koleksi Krisma Lekitoo dkk
Info detil : Buku Re-Diversifikasi Pangan di Tanah Papua Bagian I: Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua yang diterbitkan Badan Litbang Kehutanan tahun 2012.
(www. forda-mof.org/publikasi)
Keterangan
Pohon woton berbuah 3-4 kali dalam setahun, umumnya merupakan jenis pionir yang tumbuh pada daerah-daerah bekas perladangan dan daerah rumpang (gap) pada hutan primer.
Buah Woton dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Gebedi Pulau Gag Kabupaten Raja Ampat sebagai bahan pangan pengganti kacang hijau. Secara umum pohon woton berbuah 3-4 kali dalam
Penyebaran jenis ini meliputi Papua, Maluku dan Sulawesi dan merupakan fast growing species sehingga dapat digunakan sebagai alternatif tanaman Hutan Tanaman Industri.
Pohon woton adalah salah satu jenis sterculia dari 26 jenis sterculia yang tercatat ditemukan di tanah Papua. Jenis ini sangat mirip atau hampir mirip dengan
Sterculia urceolata J. Sm.
Perbedaannya adalah warna daun S. urceolata hijau tua dan berbulu serta warna kulit buahnya merah tua jika dibandingkan dengan daun woton yang berwarna Kandungan vitamin C buah anggur Papua lebih
tinggi dibandingkan dengan beberapa jenis buah yang sudah dikenal dan sering dikonsumsi oleh masyarakat seperti alpukat, durian, sirsak, langsat, pepaya, rambutan dan salak.
Anggur Papua merupakan jenis tumbuhan endemik atau asli (native species) di Papua. Penyebarannya hanya terdapat pada hutan hujan tropis dataran rendah di pesisir pantai utara Papua yang meliputi Kabupaten Jayapura, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Waropen dan Kabupaten Yapen.
6.Woton (Sterculia shillinglawii F.v. Muell.)
Buah ini dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Gebedi Pulau Gag Kabupaten Raja Ampat sebagai bahan pangan pengganti kacang hijau.
buahnya yang orange sampai merah muda.
Masyarakat hanya memanfaatkan buah woton yang tersedia di alam tanpa melakukan kegiatan budidaya. Secara alami proses regenerasi woton di alam
termasuk cepat dimana dengan mengandalkan jumlah biji yang banyak, tumbuhan tersebut pada tingkat semai umumnya memiliki jumlah anakan yang banyak. Karena jenis ini termasuk jenis pohon intoleran, maka dalam proses regenerasinya akan lebih baik pada daerah-daerah terbuka jika
dibandingkan di hutan primer.
hijau muda dan tidak berbulu serta warna kulit
Sterculia shillinglawii F.v. Muell
A. Perawakan batang B. Daun
C. Buah muda
D e s k r i p s i
(lanjutan)Standar Mutu Gaharu
aharu yang beredar di pasaran terdiri dari
berbagai tingkatan mutu, mulai mutu
G
rendah (kemedangan) hingga mutu tinggi
(gubal gaharu). Untuk menentukan mutu gaharu
telah tersedia Standardisasi Nasional Indonesia
(SNI) 7631:2011 tentang gaharu.
Kualifikasi mutu gaharu berdasarkan SNI tersebut
menggunakan parameter warna, bobot dan
aroma dibakar yang masih bersifat kualitatif dan
subjektif sehingga sangat sulit membedakan mutu
satu dengan lainnya. Parameter bobot yaitu
tenggelam, terapung dan melayang dapat dengan
mudah dilihat, sedangkan parameter warna dan
aroma lebih sulit membedakannya. Oleh karena
itu perlu ditambahkan parameter-parameter yang
bersifat kuantitatif. Dengan demikian kualifikasi
mutu gaharu akan lebih objektif.
D e s k r i p s i
Untuk meningkatkan kualifikasi mutu gaharu berdasarkan SNI 7631:2011 perlu ditambahkan parameter-parameter yang bersifat kuantitatif agar mutu gaharu akan lebih objektif.
Parameter-parameter tersebut adalah : Sebagai contoh, gaharu kualitas tinggi (double super)
yang berwarna hitam merata menandakan gaharu
a. Kadar air tersebut dipenuhi oleh resin dibanding gaharu super A
dengan warna hitam tidak merata yang berarti gaharu Kadar air kayu gaharu dapat mempengaruhi
tidak sepenuhnya dipenuhi resin. Agar penilaian lebih penampilan gaharu. Jika gaharu dalam kondisi
objektif perlu diukur kadar resin yang terkandung pada basah (kadar air tinggi), maka warna gaharu akan
gaharu. Klasifikasi mutu gaharu salah satunya sulit diamati. Parameter warna tersebut
berdasarkan besar kecilnya kadar resin gaharu. Kadar menandakan adanya resin gaharu. Kadar air gaharu
resin yang terkandung pada gaharu akan berbeda setidaknya mencapai kadar air keseimbangan (KAK)
tergantung mutu gaharu tersebut. Kadar resin gaharu yaitu kadar air pada kondisi di mana kayu akan
beberapa mutu tercantum pada Tabel 1. mengeluarkan atau menyerap air kembali ke/dari
lingkungannya. KAK bervariasi tergantung lokasi/tempat, di Indonesia berkisar 10-19% (Basri, 2012).
b. Kadar resin
Kualitas gaharu ditentukan oleh kadar resin, semakin tinggi semakin bagus kualitasnya. Resin yang terdapat pada gaharu adalah resin aromatik di mana didalam SNI 7631:2011 dijadikan salah satu parameter menentukan kualifikasi mutu, namun parameter tersebut masih bersifat subjektif.
Gaharu Kualitas Teri A
Gaharu kualitas kacangan B Gaharu kualitas teri B
No. Mutu gaharu Kadar resin (%) 1. Kacangan B 21,22* 2. Teri B 19,81* 3. Medang A 17,76* 4. Medang B 23,42* 5. Teri A 24,67** 6. Kacangan A 29,42** 7. Tanggung 30,85**
Tabel 1. Kadar resin gaharu
Sumber : * Waluyo dan Anwar (2012) ** Waluyo dan Pari (2012)
11
Gaharu alam dikelompokan dalam 3 grup, yaitu gubal,
kemedangan dan abu. Gubal gaharu terdiri dari kualitas dobel super, super A, super B, kacang teri A, kacang teri B dan sabah tenggelam. Kelompok kemedangan terdiri dari kemedangan kualitas A sampai dengan C, kualitas BC, kemedang putih dan teri terapung. Kelompok abu merupakan campuran dari hasil pembersihan gaharu kualitas gubal dan kemedangan, dan ini dibagi ke dalam empat kualitas yang meliputi abu gaharu super, abu gaharu kemedangan A, abu gaharu kemedangan dan TGC.
Standar Mutu Gaharu
aharu yang beredar di pasaran terdiri dari
berbagai tingkatan mutu, mulai mutu
G
rendah (kemedangan) hingga mutu tinggi
(gubal gaharu). Untuk menentukan mutu gaharu
juga telah tersedia Standardisasi Nasional
Indonesia (SNI) 7631:2011 tentang gaharu.
Kualifikasi mutu gaharu berdasarkan SNI tersebut
menggunakan parameter warna, bobot dan
aroma dibakar yang masih bersifat kualitatif dan
subjektif sehingga sangat sulit membedakan mutu
satu dengan lainnya. Parameter bobot yaitu
tenggelam, terapung dan melayang dapat dengan
mudah dilihat, sedangkan parameter warna dan
aroma lebih sulit membedakannya. Oleh karena
itu perlu ditambahkan parameter-parameter yang
bersifat kuantitatif. Dengan demikian kualifikasi
mutu gaharu akan lebih objektif.
D e s k r i p s i
Untuk meningkatkan kualifikasi mutu gaharu berdasarkan SNI 7631:2011 perlu ditambahkan parameter-parameter yang bersifat kuantitatif agar mutu gaharu lebih objektif. Parameter-parameter
tersebut adalah : Sebagai contoh, gaharu kualitas tinggi (double super)
yang berwarna hitam merata menandakan gaharu
a. Kadar air tersebut dipenuhi oleh resin dibandingkan gaharu
super A dengan warna hitam tidak merata yang berarti Kadar air kayu gaharu dapat mempengaruhi
gaharu tidak sepenuhnya dipenuhi resin. Agar penilaian penampilan gaharu. Jika gaharu dalam kondisi
lebih objektif perlu diukur kadar resin yang terkandung basah (kadar air tinggi), maka warna gaharu akan
pada gaharu. Klasifikasi mutu gaharu salah satunya sulit diamati. Parameter warna tersebut
berdasarkan besar kecilnya kadar resin gaharu. Kadar menandakan adanya resin gaharu. Kadar air gaharu
resin yang terkandung pada gaharu akan berbeda setidaknya mencapai kadar air keseimbangan (KAK)
tergantung mutu gaharu tersebut. Kadar dan mutu yaitu kadar air pada kondisi di mana kayu akan
resin gaharu tercantum pada Tabel 1. mengeluarkan atau menyerap air kembali ke/dari
lingkungannya. KAK bervariasi tergantung lokasi/tempat, di Indonesia berkisar 10-19% (Basri, 2012).
b. Kadar resin
Kualitas gaharu ditentukan oleh kadar resin, semakin tinggi akan semakin bagus kualitasnya. Resin yang terdapat pada gaharu adalah resin aromatik seperti disebutkan di dalam SNI 7631:2011 dijadikan salah satu parameter menentukan
kualifikasi mutu, namun parameter tersebut masih bersifat subjektif.
Gaharu Kualitas Teri A
Gaharu kualitas kacangan A Gaharu kualitas kacangan B
Gaharu kualitas teri B
No. Mutu gaharu Kadar resin (%) 1. Kacangan B 21,22* 2. Teri B 19,81* 3. Medang A 17,76* 4. Medang B 23,42* 5. Teri A 24,67** 6. Kacangan A 29,42** 7. Tanggung 30,85**
Tabel 1. Kadar resin gaharu
Sumber : * Waluyo dan Anwar (2012) ** Waluyo dan Pari (2012)
Gaharu alam dikelompokan dalam 3 grup, yaitu gubal,
kemedangan dan abu. Gubal gaharu terdiri dari kualitas dobel super, super A, super B, kacang teri A, kacang teri B dan sabah tenggelam. Kelompok kemedangan terdiri dari kemedangan kualitas A sampai dengan C, kualitas BC, kemedang putih dan teri terapung. Kelompok abu merupakan campuran dari hasil pembersihan gaharu kualitas gubal dan kemedangan, dan ini dibagi ke dalam empat kualitas yang meliputi abu gaharu super, abu gaharu kemedangan A, abu gaharu kemedangan dan TGC.
c. Komponen kimia
Komponen utama gaharu yang menimbulkan aroma wangi/aromatik adalah kelompok senyawa sesquiterpen dan turunan khromon (Wu, et.al.,2012). Hasil rangkuman analisa komponen kimia gaharu berbagai jenis yang berasal dari berbagai negara penghasil gaharu seperti Indonesia, Laos, India, China, Vietnam terdapat sebanyak 132 senyawa yang
menimbulkan aroma harum yaitu kelompok senyawa sesquiterpene dan
2-(2-phenylethyl)-4H-chromen-4-one (Chen, et.al. 2012).
Sedangkan Waluyo dan Pari (2012) melaporkan bahwa gaharu mutu terendah (kemedangan) hanya mengandung senyawa sesquiterpen dan tidak mengandung senyawa turunan khromon. Sedangkan untuk gaharu mutu sedang
mengandung kedua senyawa tersebut. Dengan demikian ada kecenderungan komponen kimia gaharu mutu rendah hanya mengandung senyawa sesquiterpen dan makin tinggi mutu gaharu mengandung senyawa sesquiterpen dan turunan khromon.
Aplikasi
Cara/metode analisis kadar resin gaharu dapat menggunakan metode ASTM D 297-93 atau metode maserasi. Masing-masing metode sebagai berikut : 1. Metode ASTM
Gambar 1. Bagan alir ekstrak aseton (Kadar resin)
Kadar resin dihitung dengan menggunakan rumus ukuran 80 mesh dalam larutan aseton dan secara
sebagai berikut : periodik larutan aseton diganti berulang-ulang hingga
larutan aseton jernih. Larutan aseton yang berwarna/tidak jernih diuapkan dengan suhu
o
60-70 C hingga tersisa ekstrak resin dan ditimbang beratnya. Cara menghitung kadar resin menggunakan rumus seperti di atas.
2. Metode maserasi dengan larutan aseton
Untuk mengetahui komponen kimia gaharu dengan (Hashimoto, et.al., 1985)
memanfaatkan resin hasil analisa kadar resin gaharu
Metode maserasi dilakukan dengan cara dengan menggunakan alat GCMS.
mengekstrak/merendam 5 gram serbuk gaharu
1. Agar parameter mutu gaharu dalam SNI 7631:2011 dapat lebih objektif disarankan untuk ditambahkan dengan parameter kadar air, kadar resin dan komponen kimia. 2. Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan parameter
mutu gaharu hasil rekayasa, karena diduga terdapat perbedaan komponen kimia. Selain itu perlu dikaji apakah perbedaan jenis pohon penghasil gaharu berpengaruh terhadap kualitas gaharu yang dihasilkan
Tantangan
Peneliti : Totok K. Waluyo dan Gustan Pari
Unit Kerja : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah)
Email : [email protected] dan [email protected]
Info detil : www.pustekolah.org
Keterangan
berat ekstrakKadar resin (%) = X 100%
Berat sampel
D e s k r i p s i
(lanjutan)5 gram sampel serbuk gaharu 80 mesh dibungkus kertas saring
dimasukkan ke soklet dan diekstraksi dengan larutan aseton selama 7 jam
- aseton + ekstrak dikeringkan suhu 60-700C. - setelah kering ditimbang sehingga bobot
konstan
ekstrak filtrat + aseton
c. Komponen kimia
Komponen utama gaharu yang menimbulkan aroma wangi/aromatik adalah kelompok senyawa sesquiterpen dan turunan khromon (Wu, et.al.,2012). Hasil rangkuman analisa komponen kimia gaharu berbagai jenis yang berasal dari berbagai negara penghasil gaharu seperti Indonesia, Laos, India, China, Vietnam terdapat sebanyak 132 senyawa yang
menimbulkan aroma harum yaitu kelompok senyawa sesquiterpene dan
2-(2-phenylethyl)-4H-chromen-4-one (Chen, et.al. 2012).
Sedangkan Waluyo dan Pari (2012) melaporkan bahwa gaharu mutu terendah (kemedangan) hanya mengandung senyawa sesquiterpen dan tidak mengandung senyawa turunan khromon. Sedangkan untuk gaharu mutu sedang
mengandung kedua senyawa tersebut. Dengan demikian ada kecenderungan komponen kimia gaharu mutu rendah hanya mengandung senyawa sesquiterpen dan makin tinggi mutu gaharu mengandung senyawa sesquiterpen dan turunan khromon.
Aplikasi
Cara/metode analisis kadar resin gaharu dapat menggunakan metode ASTM D 297-93 atau metode maserasi. Masing-masing metode sebagai berikut : 1. Metode ASTM
Gambar 1. Bagan alir ekstrak aseton (Kadar resin)
Kadar resin dihitung dengan menggunakan rumus ukuran 80 mesh dalam larutan aseton dan secara
sebagai berikut : periodik larutan aseton diganti berulang-ulang hingga
larutan aseton jernih. Larutan aseton yang berwarna/tidak jernih diuapkan dengan suhu
o
60-70 C hingga tersisa ekstrak resin dan ditimbang beratnya. Cara menghitung kadar resin menggunakan rumus seperti di atas.
2. Metode maserasi dengan larutan aseton
Untuk mengetahui komponen kimia gaharu dengan (Hashimoto, et.al., 1985)
memanfaatkan resin hasil analisa kadar resin gaharu
Metode maserasi dilakukan dengan cara dengan menggunakan alat GCMS.
mengekstrak/merendam 5 gram serbuk gaharu
1. Agar parameter mutu gaharu dalam SNI 7631:2011 dapat lebih objektif disarankan untuk ditambahkan dengan parameter kadar air, kadar resin dan komponen kimia. 2. Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan parameter
mutu gaharu hasil rekayasa, karena diduga terdapat perbedaan komponen kimia. Selain itu perlu dikaji apakah perbedaan jenis pohon penghasil gaharu berpengaruh terhadap kualitas gaharu yang dihasilkan
Tantangan
Peneliti : Totok K. Waluyo dan Gustan Pari
Unit kerja : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah)
Email : [email protected] dan [email protected]
Info detil : www.pustekolah.org
Keterangan
berat ekstrakKadar resin (%) = X 100%
Berat sampel
D e s k r i p s i
(lanjutan)5 gram sampel serbuk gaharu 80 mesh dibungkus kertas saring
dimasukkan ke soklet dan diekstraksi dengan larutan aseton selama 7 jam
- aseton + ekstrak dikeringkan suhu 60-700C. - setelah kering ditimbang sehingga bobot
konstan
ekstrak filtrat + aseton
Penguat Warna Kain Alami
dari Serbuk Daun Loba
Penguat warna kain yang umum digunakan masyarakat NTT berasal dari jenis tanaman loba, yaitu Loba Manu (Symplocos chochichinensis) dan Loba Wawi
(Symplocos fasciculate Zoll.). Kedua jenis pohon tersebut cukup banyak terdapat di Pulau Flores dan Sumba. Hasil survey potensi di Kabupaten Ende
menunjukan tegakan alam loba kerapatan 64 pohon/ha menghasilkan daun gugur hingga 90 kg/ha/tahun. Masyarakat menggunakan bagian tanaman loba
tersebut sebagai campuran pada proses pewarnaan kain tradisional dengan cara yang sederhana. Bagian
tanaman yang digunakan adalah daun.
Penguat warna dari ekstrak loba dapat diaplikasikan pada berat/volume. Sedangkan untuk pemberian warna kuning dari serbuk
pemberian warna kain dengan bahan pewarna alami. Konsentrasi kulit nangka (Artocarpus heterophyllus) digunakan konsentrasi 50%
penggunaan serbuk penguat bergantung kepada bahan pewarna berat/volume.
yang akan diberikan.
Hasil uji kekuatan warna terhadap pencucian dengan menggunakan
Pada pemberian warna merah dari serbuk akar mengkudu Standar Industri Indonesia (SII) nomor SII.0115-75 dan penjemuran
(Morinda citrifolia L.) dan warna biru daun dari fermentasi daun dibawah sinar matahari SII.0119-75 menunjukan nilai 5 (baik
taum (Indigovera tinctoria), digunakan penguat sebanyak 20% sekali/awet) berdasarkan standar pengujian Grey Scale (SII.0113.75).
erajinan tenun merupakan salah satu
warisan budaya nusantara, termasuk di Nusa
KTenggara Timur. Pembuatan kain tradisional
saat ini masih berlangsung baik untuk kebutuhan
pakaian, adat istiadat maupun sebagai
cinderamata.
Pewarnaan kain tenun tradisional tersebut
umumnya dibuat dengan warna yang berasal dari
bagian tumbuh-tumbuhan. Salah satu kelemahan
zat pewarna alami adalah daya rekat warnanya
lebih rendah dibandingkan dengan pewarna
sintetik, sehingga dibutuhkan zat tambahan lain
yang dapat menguatkan warna tersebut. Di Nusa
Tenggara Timur, masyarakat menggunakan serbuk
daun gugur tanaman loba (Symplocos sp) untuk
meningkatkan kekuatan warna kain tradisional yang
berasal dari bahan pewarna alami tumbuhan.
D e s k r i p s i
Aplikasi
Daun loba yang sudah gugur dikeringkan dengan kandungan
cara dijemur dibawah terik matahari untuk garam
meningkatkan keawetan penyimpanan. Daun logam
kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan Aluminium (Al)
siap untuk digunakan. Serbuk daun gugur loba dapat pada daun lebih tinggi dibanding bagian tanaman
digunakan untuk menguatkan warna kain tenun lainnya. Gugurnya daun loba secara alami menunjukan
tradisional yang diwarnai dengan pewarna alami. akumulasi Al yang sudah maksimal di dalam daun.
Penguat mampu mengikatkan warna pada kain katun
Jenis tanaman tersebut juga memiliki kelebihan yakni sehingga menghindaran kelunturan kain dan
mampu mengakumulasi logam Alumunium (Al) dalam meningkatkan intensitas warna.
tubuhnya, sehingga tahan hidup pada lahan dengan
Daun loba yang gugur secara alami memiliki sifat kandungan Al tinggi dimana sebagian besar tumbuhan
penguat (mordant) lebih tinggi dibandingkan dengan akan teracuni.
daun yang masih menempel. Hal ini karena
Upaya budidaya tanaman loba harus terus dikembangkan mengingat tanaman ini secara ekologis mampu tumbuh pada daerah dengan kandungan logam Al tinggi dan secara ekonomis dapat menjadi sumber penghasilan tambahan pengerajin tenun.
Tantangan
Peneliti : Dani Sulistiyo Hadi dan Dani Pamungkas Unit kerja : Balai Penelitian Kehutanan Kupang
E-mail : [email protected] dan [email protected]
Gambar : Koleksi BPK Kupang
Info detil : Prosiding INAFOR, www.foristkupang.org
Keterangan
Daun Loba yang sedang dikeringkan
Loba manu Loba wawi
Penguat Warna Kain Alami
dari Serbuk Daun Loba
Penguat warna kain yang umum digunakan masyarakat NTT berasal dari jenis tanaman loba, yaitu Loba Manu (Symplocos chochichinensis) dan Loba Wawi
(Symplocos fasciculate Zoll.). Kedua jenis pohon tersebut cukup banyak terdapat di pulau Flores dan Sumba. Hasil survey potensi di Kabupaten Ende
menunjukan tegakan alam loba kerapatan 64 pohon/ha menghasilkan daun gugur hingga 90 kg/ha/tahun. Masyarakat menggunakan bagian tanaman loba
tersebut sebagai campuran pada proses pewarnaan kain tradisional dengan cara yang sederhana. Bagian
tanaman yang digunakan adalah daun.
Penguat warna dari ekstrak loba dapat diaplikasikan pada berat/volume. Sedangkan untuk pemberian warna kuning dari serbuk
pemberian warna kain dengan bahan pewarna alami. Konsentrasi kulit nangka (Artocarpus heterophyllus) digunakan konsentrasi 50%
penggunaan serbuk penguat bergantung kepada bahan pewarna berat/volume.
yang akan diberikan.
Hasil uji kekuatan warna terhadap pencucian dengan menggunakan
Pada pemberian warna merah dari serbuk akar mengkudu Standar Industri Indonesia (SII) nomor SII.0115-75 dan penjemuran
(Morinda citrifolia L.) dan warna biru daun dari fermentasi daun dibawah sinar matahari SII.0119-75 menunjukan nilai 5 (baik
taum (Indigovera tinctoria), digunakan penguat sebanyak 20% sekali/awet) berdasarkan standar pengujian Grey Scale (SII.0113.75).
erajinan tenun merupakan salah satu
warisan budaya nusantara, termasuk di Nusa
KTenggara Timur. Pembuatan kain tradisional
saat ini masih berlangsung baik untuk kebutuhan
pakaian, adat istiadat maupun sebagai
cinderamata.
Pewarnaan kain tenun tradisional tersebut
umumnya dibuat dengan warna yang berasal dari
bagian tumbuh-tumbuhan. Salah satu kelemahan
zat pewarna alami adalah daya rekat warnanya
lebih rendah dibandingkan dengan pewarna
sintetik, sehingga dibutuhkan zat tambahan lain
yang dapat menguatkan warna tersebut. Di Nusa
Tenggara Timur, masyarakat menggunakan serbuk
daun gugur tanaman loba (Symplocos sp) untuk
meningkatkan kekuatan warna kain tradisional yang
berasal dari bahan pewarna alami tumbuhan.
D e s k r i p s i
Aplikasi
Daun loba yang sudah gugur dikeringkan dengan cara daun yang
dijemur dibawah terik matahari untuk meningkatkan masih
keawetan penyimpanan. Daun kemudian menempel.
dihancurkan hingga menjadi serbuk dan siap untuk Hal ini karena
digunakan. Serbuk daun gugur loba dapat digunakan kandungan garam logam Aluminium (Al) pada daun lebih
untuk menguatkan warna kain tenun tradisional yang tinggi dibandingkan bagian tanaman lainnya. Gugurnya
diwarnai dengan pewarna alami. Penguat mampu daun loba secara alami menunjukan akumulasi Al yang
mengikat warna pada kain katun sehingga sudah maksimal di dalam daun.
menghindari kelunturan kain dan meningkatkan
Jenis tanaman tersebut juga memiliki kelebihan yakni intensitas warna.
mampu mengakumulasi logam Alumunium (Al) dalam
Daun loba yang gugur secara alami memiliki sifat tubuhnya, sehingga tahan hidup pada lahan dengan
penguat (mordant) lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan Al tinggi dimana sebagian besar tumbuhan
Upaya budidaya tanaman loba harus terus dikembangkan mengingat tanaman ini secara ekologis mampu tumbuh pada daerah dengan kandungan logam Al tinggi dan secara ekonomis dapat menjadi sumber penghasilan tambahan pengrajin tenun.
Tantangan
Peneliti : Dani Sulistiyo Hadi dan Dani Pamungkas Unit kerja : Balai Penelitian Kehutanan Kupang
E-mail : [email protected] dan [email protected]
Gambar : Koleksi BPK Kupang
Info detil : Prosiding INAFOR, www.foristkupang.org
Keterangan
Daun Loba yang sedang dikeringkan
Loba manu Loba wawi