• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS. Diajukan sebagai salah satu persyaratan PPDS 1 Radiologi MEGAKOLON TOKSIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KASUS. Diajukan sebagai salah satu persyaratan PPDS 1 Radiologi MEGAKOLON TOKSIK"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

i

MEGAKOLON TOKSIK

Oleh :

dr. Triana Dyah Cahyawati

Pembimbing :

dr. Sri Retna Dwidanarti, Sp.Rad(K)Onk

Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta 2013

(2)

ii

A. Definisi 3

B. Anatomi dan fisiologi tulang 3

C. Patogenesis 5 D. Etiologi 5 E. Epidemiologi 6 F. Manifestasi klinis 6 G. Diagnosis 6 H. Pemeriksaan radiologi 7 I. Diagnosis banding 8 J. Penatalaksanaan 11 K. Prognosis 11

BAB III. LAPORAN KASUS 12

BAB IV. PEMBAHASAN 15

BAB V. KESIMPULAN 18

DAFTAR PUSTAKA 19

(3)

1

non obstruktif dengan diameter lebih atau sama dengan 6 cm dan yang berhubungan dengan toksisitas sistemik.1 Megakolon toksik merupakan bentuk fulminan dari kolitis dengan adanya inflamasi transmural, ulserasi yang dalam dan luas, serta terdapat degenerasi neuromuskular.2 Kelainan ini merupakan komplikasi yang penting dari kolitis dan diagnosis bandingnya meliputi penyebab inflamatorik dan infeksiosa.1Megakolon toksik atau kolitis fulminan secara klasik biasanya terjadi akibat kolitis ulseratif.1,3,4 Namun saat ini megakolon toksik paling sering dikaitkan dengan kolitis akibat Clostridium difficile (pseudomembranous). Crohn’s disease, infeksi (Salmonella enteritidis, Campylobacter sp, amoebic kolitis, Shigella sp, Cytomegalovirus) dan kolitis iskemik merupakan penyebab yang diketahui.1,5 Kelainan ini juga dapat disebabkan oleh kanker kolon yang obstruktif3 serta dapat dicetuskan oleh penggunaan enema, penggunaan obat antidiare yang berlebihan atau setelah pemeriksaan dengan barium enema.3

Megakolon toksik mencerminkan akhir spektrum kolitis parah yang yang tidak dikenali atau tidak diterapi. Pada kasus kolitis ulseratif, sekitar 25% dari seluruh pasien datang ke rumah sakit dengan serangan yang berat dan sekitar 5% dari kasus ini akan mengalami dilatasi toksik.1 Resiko terbesar megakolon toksik kemungkinan terjadi pada awal penyakit.1,3

Pasien megakolon toksik berisiko untuk terjadinya perforasi dan dapat mengancam jiwa.1,6 Diagnosis yang lebih awal, penanganan medis yang lebih intensif dan pembedahan dini dapat mengurangi insidensi megakolon toksik akibat komplikasi kolitis ulseratif.1

Penulisan laporan kasus megakolon toksik ini dilatarbelakangi adanya ketidaksesuaian antara kesimpulan pemeriksaan radiologis dan klinis dari pembedahan. Dengan penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat mempelajari gambaran megakolon toksik agar dapat mendiagnosis kelainan ini lebih dini dan

(4)

tepat sehingga pasien dapat diterapi dengan lebih awal dan mempunyai prognosis yang lebih baik.

(5)

3

Megakolon toksik didefinisikan sebagai dilatasi kolon total atau segmental non obstruktif dengan diameter lebih atau sama dengan 6 cm dan yang berhubungan dengan toksisitas sistemik.1,7 Kelainan ini merupakan komplikasi yang penting dari kolitis dan diagnosis banding penyebab meliputi penyebab inflamatorik dan infeksiosa.1

B. Anatomi 1. Kolon

Kolon atau intestinum crassum terbentang dari ileum sampai anus. Intestinum crassum terbagi menjadi caecum, appendix vermiformis, kolon ascendens, kolon transversum, kolon descendens, dan kolon sigmoideum. Fungsi utama intestinum crassum adalah mengabsorbsi air dan elektrolit dan menyimpan bahan yang tidak dicerna sampai dapat dikeluarkan dari tubuh sebagai feses.8

Caecum adalah bagian intestinum crassum yang terletak di perbatasan ileum dan intestinum crassum, merupakan kantong buntu yang terletak pada fossa iliaca dextra. Appendix vermiformis adalah organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan limfoid. Kolon ascendens terletak di kuadran kanan bawah dengan panjang sekitar 5 inci (13 cm). Kolon ascendens membentang ke atas dari caecum sampai permukaan lobus hepatis dexter, lalo kolon ascendens membelok ke kiri, membentuk flexura coli dextra dan melanjutkan diri sebagai kolon transversum. Kolon transversum berjalan menyilang abdomen, menempati regio umbilicalis, dan mempunyai panjang sekitar 15 inci (38 cm). Kolon transversum mulai dari flexura coli dextra di bawah lobus hepatis dexter dan tergantung ke bawah oleh mesokolon transversum dari pancreas. Kemudian kolon transversum berjalan ke atas sampai flexura coli sinistra di bawah lien. Kolon

(6)

descendens terletak di kuadran kiri atas dan bawah dengan panjang sekitar 10 inci (25 cm). Kolon ini berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra sampai pinggir pelvis, disini kolon transversum melanjutkan diri menjadi kolon sigmoideum.8

Kolon sigmoideum merupakan lanjutan kolon descendens yang terletak di depan apertura pelvis superior, ditandai bentuk loopnya yang berbentuk S, dan panjang sekitar 10-15 inci (25-28 cm). Di caudal kolon sigmoideum berlanjut sebagai rectum yang terletak di depan vertebra sacralis ketiga. Kolon sigmoideum mudah bergerak terutama pada bagian tengah dan tergantung ke bawah masuk ke dalam cavitas pelvis dalam bentuk lengkungan. Kolon sigmoideum dihubungkan dengan dinding posterior pelvis oleh mesokolon sigmoideum yang panjang. Lengkung-lengkung kolon sigmoideum bervariasi, tetapi umumnya meLengkung-lengkung ke sebelah kanan linea mediana sebelum berhubungan dengan rectum. Hubungan kolon ini ke anterior pada pria yaitu vesica urinaria, sedangkan pada wanita yaitu facies posterior uterus dan bagian atas vagina. Arteri yang memperdarahi kolon sigmoideum yaitu arteriae sigmoideae, cabang dari arteria mesenterica inferior. Sedangkan cabang-cabang vena mesenterica inferior bermuara ke sistem vena porta. Kelenjar limfe berjalan di sepanjang arteriae sigmoideae, dari sini cairan limfe dialirkan ke nodi mesenterici inferiores.8,9

Rectum merupakan lanjutan kolon sigmoideum, dan mempunyai panjang sekitar 5 inci (13 cm). Rectum berjalan ke bawah mengikuti lengkung os sacrum dan os coccygis dan berakhir di depan ujung coccygis dengan menembus diaphragma pelvis dan melanjutkan diri sebagai canalis analis. Bagian bawah rectum melebar membentuk ampulla recti.8

Kolon ascendens, kolon descendens dan rektum terletak retroperitoneal, sedangkan kolon transversum dan kolon sigmoid terletak intraperitoneal yang mempunyai penggantung terbentuk dari dua lapisan peritoneum yang berhubungan dengan jaringan lemak, pembuluh darah,

(7)

saraf dan aliran limfatik. Caecum, flexura hepatica dan flexura lienalis juga mempunyai penggantung yang pendek.10

C. Patogenesis

Patogenesis megakolon toksik masih belum jelas, namun mediator kimiawi seperti nitric oxide kemungkinan mempunyai peran yang sangat penting. Inflamasi mukosa akut berkembang transmural dan berhubungan dengan hilangnya persarafan motorik lapisan otot polos yang menyebabkan dilatasi kolon. Nitric oxide menghambat tonus otot polos. Jumlah dan aktivitas nitric oxide synthase yang dapat menginduksi ini akan meningkat secara signifikan pada kasus megakolon toksik. Terjadinya megakolon toksik ini secara potensial ditingkatkan oleh berbagai faktor dengan efek yang merugikan pada kolon, diantaranya yaitu hipokalemia, hipomagnesemia, serta pemberian obat-obatan anti kholinergik dan anti diare. Hal ini relevan pada pseudomembranous kolitis sebagaimana pada kolitis ulseratif. Pemeriksaan histopatologi memperlihatkan gambaran inflamasi akut pada seluruh lapisan kolon, dengan nekrosis otot dan penggantian dengan jaringan granulasi yang diinfiltrasi oleh leukosit dan sel plasma. Proses ini akan mengarah pada terjadinya perforasi pada sekitar 20% pasien.1,4

D. Etiologi

Megakolon toksik atau kolitis fulminan secara klasik biasanya terjadi akibat kolitis ulseratif. Namun saat ini megakolon toksik paling sering dikaitkan dengan kolitis akibat Clostridium difficile (pseudomembranous). Crohn’s disease, infeksi (Salmonella enteritidis, Campylobacter sp, amoebic colitis, Shigella sp, Cytomegalovirus) dan kolitis iskemik merupakan penyebab yang diketahui.1,4 Kelainan ini juga dapat disebabkan oleh kanker kolon yang obstruktif4 serta dapat dicetuskan oleh penggunaan enema, penggunaan obat antidiare yang berlebihan atau setelah pemeriksaan dengan barium enema.2Megakolon toksik akibat infeksi relatif jarang terjadi. Infeksi Cytomegalovirus merupakan penyebab utama megakolon toksik pada pasien dengan AIDS dan juga dapat mempercepat terjadinya megakolon toksik pada kelainan inflamatorik usus.4

(8)

Kolitis ulseratif merupakan kelainan inflamatorik idiopatik yang jarang, dan mempunyai karakteristik dengan adanya kambuhan dan ulangan dari proktitis. Peradangan dan panjang kolon yang terlibat bervariasi luas. Rektum selalu terkena lebih dahulu dan penyebaran ke proksimal timbul secara berkelanjutan pada hampir dua pertiga kasus dan separuhnya bisa menjadi kolitis total. Adapun etiologi secara pasti belum dapat ditentukan, namun telah terdapat beberapa kemungkinan faktor penyebab munculnya kolitis ini, yaitu kerentanan individu, predisposisi genentik, mikroflora gastrointestinal dan kondisi imun pasien.2,10

E. Epidemiologi

Insidensi megakolon toksik secara pasti belum diketahui, angka ini bervariasi tergantung pada etiologi dan populasi.1,7 Pada kasus kolitis ulseratif, sekitar 25% dari seluruh pasien datang ke rumah sakit dengan serangan yang berat dan sekitar 5% dari kasus ini akan mengalami dilatasi toksik.1 Resiko terbesar megakolon toksik kemungkinan terjadi pada awal penyakit.1,3 Risiko berkembangnya megakolon toksik pada kasus kolitis ulseratif berkisar 1-2%. Risiko ini dapat lebih tinggi pada awal penyakit, dengan adanya data sebanyak 16 dari 55 kasus (30%) pada awal kasus kolitis yang berat berkembang menjadi megakolon toksik dalam kurun waktu 3 bulan pada saat terdiagnosis.1 Megakolon toksik dapat terjadi pada usia berapapun serta dapat menyerang pria dan wanita.7

F. Manifestasi klinis

Gejala klinis megakolon toksik meliputi gejala kolitis parah yang akut, seperti diare yang biasanya berdarah, disertai anoreksia, demam dan takikardi), yang mendahului onset dilatasi akut seminggu atau lebih sebelumnya. Gejala akan tampak tersamarkan pada pasien yang menerima terapi kortikosteroid. Distensi abdomen dapat tidak prominen, walaupun klinisi dapat mendeteksi adanya asimetris pada abdomen akibat dilatasi kolon transversum.1,5

(9)

Diagnosis megakolon toksik dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologi serta laboratorium. Diagnosis kelainan ini dapat ditegakkan dari pemeriksaan radiologi foto polos abdomen yaitu dilatasi kolon lebih dari sama dengan 6 cm yang disertai dengan takikardi atau peningkatan temperatur pada pasien dengan kolitis parah dari berbagai penyebab.1

Temuan laboratorium pada pasien megakolon toksik yaitu temuan akibat respon inflamatorik sistemik meliputi leukositosis, peningkatan rasio sedimentasi eritrosit atau C-reactive protein, dan hipoalbuminemia. Hipokalemia dan hipomagenesemia sering dijumpai dan dapat memperburuk kondisi pasien.5

H. Pemeriksaan radiologi 1. Foto polos abdomen

Pemeriksaan radiologi foto polos abdomen merupakan pemeriksaan yang sangat penting pada pasien dengan kecurigaan megakolon toksik.7 Megakolon toksik ini dapat didiagnosis bila diameter kolon transversum melebihi 6 cm1,3,4,7 dan pada literatur disebutkan bila dilatasi kolon melebihi 5,5 cm2,6 Pada kasus yang berat, dilatasi kolon dapat mencapai 15 cm pada posisi supine. Kolon transversum merupakan segmen kolon yang paling sering mengalami dilatasi pada foto polos, disebabkan posisi pasien supine sehingga udara akan terkumpul di segmen yang tertinggi. Gambaran haustra tampak menghilang atau menumpul, yang mengindikasikan ulserasi pada transmural sehingga menyebabkan degenerasi neuromuskular. Garis mukosa tampak ireguler dengan ulserasi pada mukosa didekatnya, menghasilkan gambaran pulau-pulau mukosa. Dapat terlihat pula gambaran pneumatosis kolon yaitu udara pada dinding usus yang terlihat karena adanya nekrosis.2,3 Konsistensi kolon menyerupai wet blotting paper sehingga pasien berisiko untuk terjadinya perforasi dan kematian. Perforasi kolon dapat terjadi selama serangan akut kolitis ulseratif, dengan lokasi perforasi yang tersering adalah pada kolon sigmoid. Perforasi dapat terjadi akibat

(10)

ulserasi yang dalam dan dapat terlihat pada foto polos posisi LLD, namun pemeriksaan CT scan merupakan pemeriksaan pilihan untuk memperlihatkan gambaran tersebut.2

Foto abdomen seharusnya dilakukan setiap hari pada pasien yang terdapat kemungkinan ataupun sudah tegak terdiagnosis megakolon toksik, untuk menilai respon terhadap terapi medis. Harus diamati pula adanya distensi usus halus, karena pasien dengan udara usus halus yang berlebihan pada foto polos tampak lebih memerlukan tindakan pembedahan.2

2. Pemeriksaan barium enema

Megakolon toksik beresiko tinggi untuk terjadinya perforasi, sehingga merupakan kontraindikasi pemeriksaan barium enema.3,7

3. CT scan

Gambaran megakolon toksik pada CT scan akan terlihat kolon yang distensi lebih dari 6 cm dan terisi udara. Tampak pola haustra yang abnormal dan dijumpai pseudopolip nodular serta penipisan dinding kolon segmental. Gambaran lain yang dapat ditemui namun juga dapat terlihat pada kolitis tanpa megakolon yaitu diantaranya: penebalan dinding kolon difus, edema submukosa, pericolonic fat stranding, asites, dan distensi gaster dan usus halus.7 Pemeriksaan CT scan juga merupakan pemeriksaan pilihan untuk mendeteksi gambaran perforasi, karena volume sebesar 1 cc dapat terdeteksi pada pemeriksaan ini dengan scan yang sesuai.2

I. Diagnosis banding

Diagnosis banding yang akan dijelaskan berikut ini yaitu volvulus kolon terutama volvulus sigmoid, karena mempunyai gambaran radiologis yang hampir mirip dan pada laporan kasus ini terdapat ketidaksesuaian diagnosis megakolon toksik secara klinis dengan diagnosis volvulus sigmoid berdasarkan pemeriksaan CT scan.

Volvulus kolon digambarkan sebagai puntiran atau rotasi segmen mobile kolon sekitar mesenteriumnya. Derajat rotasi dapat bervariasi dari 180

(11)

derajat sampai sebanyak empai sampai lima kali putaran lengkap. Kolon sigmoideum merupakan tempat tersering yang meliputi sekitar 80 persen kasus. Caecum merupakan lokasi berikutnya yang meliputi sekitar 15 persen kasus. Pada volvulus sigmoid akan terjadi perputaran kolon disepanjang aksis mesenterik yang menyebabkan obstruksi closed loop dan dapat mengarah pada terjadinya iskemia, perforasi dan kematian. Kelainan ini diperkirakan terhitung 2-5% dari kasus large bowel obstruction di Amerika Serikat, atau urutan ketiga pada prevalensi setelah kanker dan divertikulitis.11,13,14.

Volvulus sigmoideum kurang lazim di Amerika Serikat dan Eropa barat, dimana volvulus sigmoideum bertanggungjawab atas kurang dari 1 persen kasus obstruksi usus. Sedangkan di Eropa timur dan Afrika, sekitar seperlima dari semua pasien obstruksi usus menderita volvulus sigmoideum. Etiologi kelainan ini multifaktorial dan masih kontroversial. Faktor predisposisi antara lain adalah perbedaan anatomi kolon sigmoideum, karena kolon sigmoid yang redundant dan mesenterium berbentuk dolichomesentery, yaitu mesenterium dengan lebar lebih besar daripada panjang.11,15 Volvulus sigmoid biasanya berhubungan dengan kejadian konstipasi kronis yang berat, terjadi pada orang lanjut usia dan pada pasien dengan penyakit psikiatri dan neurologis yang berat.2,3 Pria tampak lebih sering terkena daripada wanita dengan insidensi tertinggi yang terkena yaitu usia dekade ke 4 hingga ke 8.13,16

Pasien biasanya datang terlambat dengan riwayat penyakit yang tidak jelas, namun dapat dicurigai pada pasien lanjut usia dengan keluhan obstruksi. Sering didapatkan nyeri kram abdomen bawah yang disertai distensi abdomen dan konstipasi total dan tenesmus (akibat traksi rektal). Pada pasien biasanya terdapat riwayat kejadian serupa sebelumnya dan seringkali gejala sembuh dengan sendirinya seiring dengan pergerakan usus. Harus diwaspadai tanda-tanda sepsis pada pasien yang mengindikasikan adanya gangren. Adapun trias manifestasi klinis volvulus sigmoid adalah nyeri abdomen, distensi abdomen dan konstipasi. Jarang terjadi perforasi pada kasus volvulus ini.3,14

(12)

Kasus volvulus sigmoid sering dapat didiagnosis dengan mudah pada foto polos, namun sekitar sepertiga kasus dapat menimbulkan kesulitan diagnosis. Permasalahan utama pada kasus tersebut yaitu membedakan dengan distensi kolon sigmoid tanpa puntiran/torsi serta kolon transversum yang mengalami distensi dan turun hingga ke kavum pelvis (pseudovolvulus).2 Gambaran yang penting untuk mendiagnosis volvulus sigmoid yaitu mengidentifikasi dinding loop sigmoid yang terpuntir terpisah dari dari kolon yang distensi lainnya. Apabila terjadi volvulus sigmoid, the inverted U-shaped loop akan mengalami distensi masif dan biasanya disertai hilangnya gambaran haustra (ahaustral) sehingga memberikan gambaran lekukan usus besar yang memanjang dari pelvis dan memberi gambaran yang menyerupai biji kopi (coffee bean sign).16,17. Batas ahaustral ini dapat teridentifikasi tumpang tindih dengan batas bawah bayangan hepar, yang disebut sebagai liver overlap sign. Bila batas ahaustral volvulus ini melewati kolon descendens yang dilatasi dan masih mempunyai haustra, gambaran ini disebut sebagai left flank overlap sign. Apex volvulus sigmoid biasanya terletak tinggi di abdomen, dibawah hemidiafragma kiri, dengan apexnya berada pada atau di atas vertebra thoracalis X.2

Bila terdapat keraguan pada foto polos, dapat dilakukan pemeriksaan barium enema sepanjang tidak terdapat kecurigaan adanya gangren. Gambaran pada lokasi puntiran yaitu penyempitan yang meruncing dan halus, dan disebut sebagai the bird of prey sign. Lipatan mukosa sering memperlihatkan pola seperti sekrup pada lokasi puntiran. Sedangkan pada CT scan dapat terlihat pola pusaran (whirled pattern). Gambaran ini dibentuk dari lengkungan aferen dan eferen usus yang berputar.2,3,16

Pada kasus volvulus sigmoideum harus dilakukan sigmoidoskopi untuk menilai apakah terdapat strangulasi. Jika terbukti tidak terdapat strangulasi maka reposisi sigmoidoskopi pada volvulus harus diusahakan. Reposisi sigmoidoskopik yang berhasil pada volvulus dapat dicapai pada sekitar 80 persen kasus. Kadang-kadang bila reposisi ini tidak berhasil, maka barium enema bisa mereposisi volvulus dan pipa kolon dipasang untuk

(13)

mencegah kekambuhan. Sedangkan jika terdapat kecurigaan strangulasi ataupun reposisi sigmoidoskopi tak mungkin dilakukan, maka harus dilakukan laparotomi. Mortalitas akibat reposisi bedah volvulus tanpa gangren adalah rendah dan reseksi jarang direkomendasikan. Sedangkan angka mortalitas pada kasus volvulus strangulata dengan gangren adalah tinggi, yaitu mendekati 50 persen.11

J. Penatalaksanaan

Aspek kunci penatalaksanaan megakolon toksik meliputi terapi medikamentosa agresif dan keputusan tindakan pembedahan awal. Terapi medikamentosa meliputi pemberian resusitasi cairan dan elektrolit, kortikosteroid, serta pemberian antibiotik bila terdapat kecurigaan etiologi infeksi. Terapi kalium mungkin diperlukan untuk mengkoreksi hipokalemia. Pemberian agen antimotilitas, opioid dan antikholinergik seharusnya dihentikan dan selanjutnya dimulai pemberian tromboprofilaksis. Diperlukan tindakan pembedahan kolektomi segera bila dalam waktu 24 jam tidak terdapat perbaikan setelah terapi.1

K. Prognosis

Prognosis megakolon toksik bervariasi dan sangat bergantung pada kelainan yang mendasarinya.12 Secara umum megakolon toksik merupakan penyakit yang potensial fatal dan beresiko tinggi untuk terjadinya perforasi, sehingga dapat mengancam jiwa.2,7 Mortalitas akibat megakolon toksik terkait kolitis pseudomembranosa antara tahun 1962 hingga 1992 diperkirakan mencapai 31-35%. Trudel dkk melaporkan angka mortalitas keseluruhan mencapai 64-67% dan mortalitas pada pasien dengan terapi pembedahan mencapai 71-100%.12

(14)

12

datang ke RSUP dr. Sardjito pada tanggal 4 Juni 2011. Keluhan utama pasien yaitu sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh tidak bisa buang air besar (BAB) selama 3 hari, buang angin (-), muntah-muntah setiap makan dan minum, isi muntahan apa yang dimakan dan diminum, darah (-), perut terasa sebah dan membesar. Kemudian pasien memeriksakan diri ke RS swasta, pasien dirawat selama 4 hari, dan dengan pemberian urus-urus bisa BAB, pasien kemudian dipulangkan dengan pemberian obat yaitu paracetamol, vitamin, alinamin, ranitidin. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh muntah-muntah bertambah, lebih dari 10 kali, isi apa yang dimakan dan diminum, mual dan muntah tiap makan dan minum, muntah darah (-), nyeri ulu hati (+), mual (+), perut membesar, sebah, demam (+), BAB cair > 5 kali sehari, sedikit-sedikit, ampas (-), lendir dan darah (-). Pasien akhirnya dibawa ke UGD RSUP dr. Sardjito, dari hasil anamnesis didapatkan keluhan muntah (+) berkurang, mual (+), nyeri ulu hati (+) berkuarang, BAB cair 3x ampas (+), lendir dan darah (-), demam, perut sebah, dan buang air kecil (BAK) (+) normal. Pada pasien didapatkan riwayat melena (+) yang tidak jelas, riwayat diabetes mellitus (+) 8 tahun tidak terkontrol, hipertensi (-), sakit kuning (-), transfusi (+) 2 kantong pada lima tahun yang lalu. Riwayat alergi (-), operasi (-). Riwayat penyakit keluarga (-), kelainan herediter (-), infeksi (-).

Pada pemeriksaan fisik tampak keadaan umum pasien sedang, compos mentis. Pada pemeriksaan kepala leher, tidak terdapat konjungtiva anemis dan JVP tidak meningkat. Pada pemeriksaan thorax, tidak terdapat cardiomegali dan bising, paru-paru sonor, vesikuler +/+, RBB -/-, RBK -/-. Pada pemeriksaan abdomen tampak abdomen distensi dengan dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada, pada palpasi hepar dan lien tak teraba, perkusi timpani, pada auskultasi peristaltik (+)meningkat. Pada ekstremitas tidak didapatkan adanya oedema. Pada pemeriksaan rectal toucher, TMSA tampak dalam batas normal,

(15)

ampula tak kolaps, tidak terdapat lendir, darah maupun massa. Pemeriksaan EKG terdapat sinus takikardi 120 x/menit. Pemeriksaan laboratorium tanggal 4 Juni 2011 didapatkan data sebagai berikut: WBC 11,7x103/uL; Neutrofil 65,4%; limfosit 10,6%; monosit 22,7%; eosinofil 0,8%; RBC 4,60x106/uL; Hb 10,2g/dL; HCT 30,9%; PLT 435 x103/uL; total bilirubin 0,42; direct bilirubin 0,33; albumin 2,27; SGPT 60; SGOT 56; BUN 9, creatinin 1,08; gula darah sesaat 159; natrium 131 mmol/L; kalium 3,2 mmol/L; klorida 91 mmol/L. Pada awal masuk RS ini pasien didiagnosis dengan gastroenteritis akut dengan dehidrasi ringan dan dispepsia tipe motilitas et causa suspek gastropati DM. Pasien diterapi dengan infus NaCl 0,9%: RL=2:2, injeksi ondansentron, injeksi pantozol, alinamin F, dan diet TKTP lunak.

Selama perawatan pasien kemudian dilakukan pemeriksan oesophagus maag dan duodenum (OMD), ultrasonografi (USG) abdomen, CT scan abdomen. Pemeriksaan OMD tanggal 7 Juni 2011 dengan diagnosis klinis pda blanko permintaan tidak dicantumkan kemudian dikesankan sebagai gambaran gastric volvulus organoaxial type curiga et causa desakan sistema colon, yang menyebabkan penyempitan dan gangguan pasase oesophagus pars thoracalis aspek distal, tak tampak kelainan pada duodenum, sistema tulang intak. Pemeriksaan USG abdomen pada hari yang sama dikesankan sebagai meteorismus, tak tampak kelainan pada hepar, vesica fellea, lien, pankreas, kedua ren, vesica urinaria tak tervisualisasi. Pemeriksaan CT scan abdomen tanggal 9 Juni 2011 dengan diagnosis klinis pada blanko permintaan yaitu curiga volvulus kolon transversum kemudian dikesankan sebagai volvulus sigmoid subtotal di aspek kuadran kanan bawah, dengan right sided sigmoid dan redundant, gaster kolaps, distensi kolon, pelebaran ileum distal, tak tampak kelainan pada hepar, vesica fellea, lien, pankreas, kedua ren, vesica urinaria, prostat dan rektum. Pasien kemudian didiagnosis dengan volvulus sigmoid, pelebaran ileum, dengan diagnosis banding et causa: fungsional, organik, kemudian direncanakan pembedahan laparotomi. Dilakukan operasi tanggal 11 Juni 2011 dengan diagnosis pra bedah volvulus sigmoid, dan diagnosis pasca bedah megakolon toksik impending perforasi di kolon sigmoid pada 3 tempat. Ditemukan kolon

(16)

sigmoid distensi pada seluruh sistem, tampak impending perforasi. Setelah operasi pasien didiagnosis megakolon toksik impending perforasi, DM2NO, syok hipovolemik. Post operasi tgl 13 Juni 2011 keadaan pasien memburuk di bangsal sehingga dirujuk ke ICU dengan syok sepsis, dd: syok hipovolemik. Pasien akhirnya meninggal dunia pada tanggal 13 Juni 2011 dengan diagnosis akhir, post laparotomi ileostomi, atas indikasi megakolon toksik, DM2NO, insufisiensi renal, serta syok sepsis.

(17)

15

kolitis ulseratif dan kolitis lain.5 Pasien dengan megakolon toksik biasanya mengeluhkan nyeri abdomen dengan distensi yang progresif, terdapat keluhan diare yang biasanya berdarah, anoreksia. Pada pemeriksaan terdapat nyeri tekan abdomen. Tanda-tanda sepsis seperti demam, kaku/rigor, dan takikardia sering ditemui.2 Pada pasien dalam laporan kasus ini keluhan sesuai yang ditemukan pada literatur yaitu adanya nyeri abdomen, diare (tidak berdarah), dan anoreksia.

Kriteria megakolon toksik secara klinis yang paling banyak digunakan adalah yang dikemukakan oleh Jalan pada tahun 1969, yaitu adanya demam lebih dari 38°C, denyut jantung lebih dari 120 kali permenit, leukositosis neutrofilik >10,5x109/L disertai anemia.7 Pada laporan kasus ini, pasien demam sejak sebelum masuk rumah sakit, denyut jantung 120 kali permenit, terdapat leukositosis dan anemia (Hb awal masuk 10,2 yang berangsur-angsur turun). Pada megakolon toksik juga sering dijumpai peningkatan ESR atau CRP dan hipoalbuminemia serta hipokalemia1, hal ini sesuai dengan yang dijumpai pada pasien yaitu temuan hipoalbuminemia dan hipokalemia. Megakolon toksik biasanya diderita akibat kolitis ulseratif yang tidak terkontrol dengan baik. Sekitar 25 persen pasien dengan megakolon toksik akan berkembang ke arah perforasi. Ini ditandai secara klinis dengan nyeri lokal yang berkembang menjadi peritonitis difus disertai penurunan kesadaran.2 Pada pasien dalam laporan kasus ini dijumpai secara klinis impending perforasi pada kolon.

Megakolon toksik dapat didiagnosis bila diameter kolon melebihi 6 cm1,3,4,7 dan pada literatur disebutkan bila dilatasi kolon melebihi 5,5 cm2,6 Pada kasus yang berat, dilatasi kolon dapat mencapai 15 cm pada posisi supine. Kolon transversum merupakan segmen kolon yang paling sering terlihat dilatasi pada foto polos posisi supine. Gambaran haustra tampak

(18)

menghilang atau menumpul, yang mengindikasikan ulserasi pada transmural sehingga menyebabkan degenerasi neuromuskular. Garis mukosa tampak ireguler dengan ulserasi pada mukosa didekatnya, menghasilkan gambaran pulau-pulau mukosa. Dapat terlihat pula gambaran pneumatosis kolon yaitu udara pada dinding usus yang terlihat karena adanya nekrosis.2,3 Perforasi kolon dapat terjadi dengan lokasi perforasi yang tersering adalah pada kolon sigmoid. Sedangkan pada CT scan akan terlihat kolon yang distensi dengan dinding tipis disertai pseudopolip nodular, serta dapat terlihat gambaran perforasi.2,7

Pada pasien dalam laporan kasus ini dilakukan pemeriksaan OMD (disertai foto polos abdomen), dan CT scan. Diagnosis megakolon toksik belum ditegakkan secara radiologis dari OMD dan CT scan. Pada foto polos terlihat dilatasi sistema colon terutama colon sigmoid, gambaran haustra colons sigmoid tampak menghilang (ahaustral). Gambaran ini menyerupai gambaran pada volvulus sigmoid yang memberikan gambaran coffee bean sign. Namun terdapat gambaran yang khas ditemui pada megakolon toksik yaitu gambaran pulau-pulau mukosa pada dinding kolon.

Pada pemeriksaan CT scan tampak adanya dilatasi sistema kolon (caecum kolon ascendens, kolon transversum, kolon descendens hingga kolon sigmoid). Dilatasi terukur lebih dari 6 cm, bahkan mencapai 10 cm dan tampak pola haustra sistema kolon yang abnormal (ahaustral). Terdapat gambaran penipisan dinding dengan pseudopolip nodular dan dibeberapa segmen tampak penebalan fokal dinding kolon. Terdapat pula gambaran edema submukosa dan distensi usus halus dengan air fluid level (+). Lokasi megakolon toksik ditemukan pada kolon pada sisi kanan, kiri serta kolon transversum. Keterlibatan kolon transversum ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa dilatasi kolon transversum selalu dijumpai pada pasien megakolon toksik atau lokasi tersering megakolon toksik adalah pada kolon transversum ataupun kolon sisi kanan. Keterlibatan kolon sisi kiri, kolon sigmoid merupakan temuan yang jarang, karena berdasarkan literatur, kolon sisi kiri, kolon sigmoid dan rektum merupakan lokasi yang jarang terkena.6

(19)

Gambaran CT scan abdomen pasien sesuai dengan kriteria diagnosis megakolon toksik, dan tidak ditemukan pola pusaran (whirl sign) yang menunjukan adanya volvulus sigmoid. Diagnosis megakolon toksik pada pasien ditegakkan setelah dilakukan terapi pembedahan, yang disertai adanya impending perforasi pada kolon sigmoid di tiga tempat. Hal ini sesuai dengan CT scan yang tidak terlihat gambaran perforasi. Pemeriksaan OMD menggambarkan adanya desakan distensi kolon yang menyebabkan gaster aspek caudal terdesak ke cranial dan terlipat sebagian, namun belum mengalami puntiran.

(20)

18

adanya volvulus kolon transversum. Terdapat ketidaksesuaian antara hasil pemeriksaan radiologi (volvulus gaster dari pemeriksaan OMD dan volvulus sigmoid dari CT scan) dengan diagnosis akhir dari pembedahan yaitu megakolon toksik.

Gambaran foto polos sesuai dengan gambaran megakolon toksik yaitu terlihat dilatasi kolon, gambaran haustra yang menghilang dan pulau-pulau mukosa. CT scan pasien sesuai dengan gambaran megakolon toksik, yaitu terlihat adanya dilatasi sistema kolon lebih dari 6 cm, dengan pseudopolip nodular, gambaran haustra yang menghilang, penipisan dinding kolon segmental, terlihat pula edema submukosa, penebalan dinding kolon, distensi usus halus disertai air fluid level multipel. Gambaran OMD pasien memperlihatkan efek akibat distensi kolon masif pada gaster yang menyebabkan gaster aspek caudal terdesak ke cranial. Tidak dijumpainya pola pusaran (whirl sign) pada CT scan menyingkirkan diagnosis volvulus sigmoid.

(21)

19

2. Sutton D, editor. Textbook of radiology and imaging. 7th ed. Volume 1. Elsevier Churchill Livingstone; 2003.

3. Soetikno RD. Radiologi Emergensi. 1st ed. PT Refika Aditama Bandung; 2011.pp 160-3.

4. Sheikh RA, Yasmeen S, Prindiville T. Toxic megacolon: a review. JK-practitioner. 2003;10:176-8.

5. Evans S, Travis S. Toxic dilatation of the colon. Medicine. 2006;35:169-71. 6. Hokama A, Ohira T, Kishimoto K, Kinjo F, Fujita J. Impending megacolon:

small bowel distension as a predictor of toxic megacolon in ulcerative colitis. Intern Emerg Med. 2012;7:487-8.

7. Moulin V, Dellon P, Laurent O, Aubry S, Lubrano J, Delabrousse E. Toxic megacolon in patients with severe acute colitis: computed tomography features. Clin imaging. 2011;35:431-6.

8. Snell RS. Clinical anatomy for medical students. 6th ed. Lippincott Williams&Wilkins;2000.

9. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Clinically oriented anatomy. 6th ed. Lipincott Williams&Wilkins; 2010.

10. Bartrim CI, Taylor S. The large bowel. In: Adam A, Dixon AK, editors. Grainger & Allison’s Diagnostic radiology; A textbook of medical imaging. 5th ed. Elsevier Churchill Livingstone; 2008.

11. Ramming KP. Penyakit kolon dan rektum. In; Sabiston DC, ed. Buku ajar bedah. Bagian 2. Penerbit buku kedokteran EGC. 1994

12. Trudel JL, Deschenes M, Maynard M. Toxic megacolon complicating pseudomembranous enterocolitis. Dis Colon rectum.1995;10:1033-8.

13. Meilling J, Makin CA. Sigmoid volvulus, acquired megacolon and pseudo-obstruction. Surgery. 2011;29:387-90.

(22)

14. Levsky JM, Den EI, DuBrow RA, Wolf EL, Rozenbilt AM. CT findings of sigmoid volvulus. AJR. 2010;194:136-43.

15. Atamanalp SS. Sigmoid volvulus. EAJM. 2010;42:142-7.

16. Matsumoto S, Mori H, Okino Y, Tomonari K, Yamada Y, Kiyosue H. Computed tomography imaging of abdominal volvulus: pictorial essay. CARJ. 2004;55:297-303.

17. Feldman D. The coffee bean sign. Radiology. 2000;216:178-9.

18. Schuenke M, Schulte E, Schumacher U. Atlas of anatomy; Neck and internal organs. Thieme; 2010.

(23)
(24)
(25)

Gambar 2. CT scan abdomen.

(26)

Gambar 4. Megakolon toksik, dengan dilatasi lumen usus, haustra colon yang abnormal, penebalan mural dan tampak gambaran pulau-pulau mukosa.2

Gambar 5. megakolon toksik pada pasien wanita umur 37 tahun dengan diare berat progresif lebih dari 3 minggu, yang tidak berespon terhadap terapi medis dan memerlukan kolektomi total. Diagnosis akhir yaitu crohn’s disease.2

Gambar 6. Megakolon toksik, foto polos abdomem memperlihatkan dilatasi kolon yang berat, edema mukosa, dengan menghilangnya haustra colon transversum dan colon descendens.1

(27)

Tabel 1. Etiologi megakolon toksik

(28)

Gambar 7. CT scan dengan kontras potongan aksial wanita berusia 52 tahun dengan megakolon toksik akibat kolitis akut yang berat karena kolitis pseudomembranosa. Gambar A memperlihatkan penebalan dinding kolon kiri dengan edema submukosa (kepala panah), pericolonic fat stranding, dan asites (panah). Kolon transversum terdilatasi lebih dari 6 cm (tanda bintang), dan tampak penipisan dinding. Tidak terlihat distensi usus halus. Gambar B dengan lung window memperlihatkan pola haustra kolon transversum yang abnormal dengan pesudopolip nodular (kepala panah).7

Gambar 8. CT scan wanita berusia 56 tahun dengan kolitis pseudomembranosa tanpa megakolon toksik.7

(29)

Gambar 9. CT scan wanita berusia 35 tahun dengan megakolon toksik komplikasi kolitis akut berat karena kolitis ulseratif. Gambar A (scout view) memperlihatkan distensi kolon transversum lebih dari 6 cm (tanda bintang). Gambar B yaitu CT scan dengan kontras potongan aksial memperlihatkan penebalan dinding sigmoid (kepala panah). Gambar C yaitu CT scan dengan kontras potongan koronal lung window memperlihatkan pola haustra kolon transversum yang abnormal dengan pseudopolip nodular (kepala panah). Tidak terlihat dilatasi usus halus.7

(30)

Gambar 10. Gambaran kolon sigmoid sebelum dan sesudah puntiran 180°.13

Gambar 11. Foto polos abdomen memperlihatkan volvulus sigmoid yang meluas pada fossa iliaca (coffee bean appearance) dengan dilatasi kolon proksimal.13

(31)

Gambar 12. Foto polos abdomen memperlihatkan gambaran coffee bean appearance pada volvulus sigmoid.14

Gambar 13. Foto dari pemeriksaan barium enema pada posisi supine memperlihatkan

(32)

Gambar 14. Wanita berusia 90 tahun dengan volvulus sigmoid. Gambar A memperlihatkan tanda X, the spot sign yang disebabkan oleh transisi persilangan. Garis horisontal dan aksial skematik mengindikasikan level B dan C. Gambar B merupakan CT

scan post kontras potongan aksial pada transisi proksimal-superior (tanda panah). Gambar

C merupakan CT scan aksial 15 mm caudal dari gambar B pada transisi distal-inferior (kepala panah).18

Gambar

Gambar 1. Foto polos abdomen dan OMD
Gambar 2. CT scan abdomen.
Gambar 4. Megakolon toksik, dengan dilatasi lumen usus, haustra colon yang abnormal, penebalan mural dan tampak gambaran pulau-pulau mukosa
Gambar 7. CT scan dengan kontras potongan aksial wanita berusia 52 tahun dengan megakolon toksik akibat kolitis akut yang berat karena kolitis pseudomembranosa.
+5

Referensi

Dokumen terkait

Di sisi lain, pada kondisi infark akut, adalah mungkin untuk mendapatkan regio jaringan yang menunjukkan CBF menurun dengan CBV menetap yang menandakan jaringan yang dapat

Lightning Arrester merupakan peralatan yang digunakan untuk melindungi peralatan sistem tenaga dari gangguan.. sambaran petir pada jaringan