• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori. 1. Minat

Berdasarkan fokus perbaikan pembelajaran dalam penelitian ini, maka peneliti mengkaji berbagai literatur sebagai landasan dalam melakukan upaya perbaikan, yaitu peningkatan minat dan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran melalui model kontruktivisme.

Hera Lestari Mikarsa (2007 : 3.5) dalam bukunya Pendidikan Anak di SD mendefinisikan pengertian minat sebagai berikut :

”Minat merupakan dorongan dari dalam diri seseorang atau faktor yang menimbulkan ketertarikan atau perhatian secera selektif, yang menyebabkan dipilihnya suatu objek atau kegiatan yang menguntungkan, menyenangkan dan lama kelamaan akan mendatangkan kepuasan dalam dirinya. Di lain pihak jika kepuasan berkurang maka minat seseorang pun akan berkurang”.

Lebih lanjut Hera Lestari Mikarsa mengemukakan bahwa semakin kuat minat siswa untuk belajar dimungkinkan semakin baik hasil belajaranya. Menurut Hurlock, 1989 (dalam Hera Lestari Mikarsa, 2007 : 3.7) menyatakan bahwa ada empat cara minat mempengaruhi perkembangan anak yaitu (1) minat dapat mempengaruhi bentuk dan intensitas aspirasi, (2) minat dapat sebagai pendorong, (3) minat berpengaruh pada prestasi, dan (4) minat yang berkembang pada masa kanak-kanak dapat menjadi minat selamanya.

(2)

Dalam Pedoman Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar di Sekolah Dasar (Depdikbud, 1994:56) disebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi minat dan perhatian siswa dalam proses belajar mengajar, antara lain (1) pemilihan bahan pengajaran, (2) minat dan perhatian guru, (3) cara guru mengajar, dan (4) kepribadian guru.

Dari beberapa pendapat diatas dapat peneliti simpulkan bahwa minat sangat erat hubungannya dengan hasil yang dicapai. Semakin berminat dalam melaksanakan kegiatan maka akan semakin baik hasil diperoleh. Dalam proses belajar mengajar guru harus dapat membangkitkan minat agar berkembang sehingga siswa lebih aktif belajar.

Untuk mengetahui bagaimana minat seseorang berkembang, guru perlu mengetahui aspek-aspek minat. Puji Lestari Prianto dalam buku Pendidikan Anak di SD (2007 : 3.9) menjelaskan bahwa :

“Aspek minat ada 2 (dua) yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif didasarkan pada konsep anak yang berkembang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan minat. Aspek kognitif dari minat anak pada sekolah didasari pada konsep anak tentang sekolah. Jika dikatakan sekolah sebagai tempat mempelajari sesuatu, tempat untuk meningkatkan rasa ingin tahu, tempat untuk dapat mengadakan hubungan dengan kelompok sebaya maka akibatnya minat setiap anak pada sekolah akan berbeda-beda. Konsep kognitif juga berkaitan dengan pengalaman seseorang yang diperoleh dari rumah, sekolah, serta masyarakat. Sedangkan aspek afektif adalah merupakan konsep yang diekpresikan dalam sikap melalui kegiatan yang diminatinya. Sikap juga berkembang melalui pengalaman dan sikap orang-orang di sekitarnya. Bagi seorang anak sikap yang menyenangkan dengan guru akan menumbuhkan sikap positif pada sekolah”.

Seorang guru SD harus mengetahui hubungan minat siswa terhadap sekolah. Tidak jarang dijumpai siswa-siswa yang bermasalah di sekolah, khususnya siswa yang tampaknya tidak berminat pada sekolah.

(3)

Pada usia dini, pergi ke sekolah merupakan hal yang menyenangkan karena mereka dianggap sudah besar seperti kakak-kakaknya. Namun, begitu anak mulai besar mulai terjadi perubahan. Anak yang tidak suka pada sekolah akan menolak tugas-tugas sekolah. Kalaupun dikerjakan rasanya lebih banyak dilakukan dengan terpaksa. Sikap-sikap seperti ini, timbul apabila anak merasa dalam situasi yang penuh dengan peraturan yang ketat dan sikap guru yang tidak menyenangkan.

Pengalaman yang kurang menyenangkan dengan guru dapat menimbulkan sikap yang negatif terhadap guru. Misal guru yang memberikan hukuman tertentu tanpa sebab-sebab jelas akan membuat anak tidak suka kepada guru. Guru yang memiliki hubungan dengan siswanya dan menerapkan disiplin yang otoritatif akan membangkitkan sikap yang positif pada diri anak. Dengan demikian sikap guru sangat berpengaruh pada minat siswa terhadap kegiatan proses belajar mengajar. 2. Prestasi Belajar

Istilah prestasi bukan lagi suatu hal yang baru dan setiap saat kita telah dengar. Kata prestasi berasal dari bahasa Belanda ”prestatie” yang artinya hasil usaha. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia prestasi diartikan sebagai hasil yang dicapai dari apa yang dikerjakan atau yang sudah diusahakan. Berdasarkan pengertian tersebut, prestasi merupakan hasil dari suatu kegiatan atau aktifitas yang dilaksanakan.

Untuk mendapatkan prestasi yang tinggi diperlukan adanya motivasi diri yang tinggi. Kesuksesan yang dicapai setiap orang dalam

(4)

memperoleh prestasi tidak hanya dicapai oleh dirinya sendiri, akan tetapi juga selalu diperlukan bantuan orang lain. Bantuan yang dibutuhkan seseorang dalam upaya mencapai prestasi yang tinggi dapat bermacam-macam wujudnya dari yang berupa material, spiritual, atau dalam bentuk lain. Hal ini sesuai dengan pendapat John Robert Power yang terdapat dalam buku Budiyanto (2005 : 11) dinyatakan bahwa diri kita merupakan people who make things happenning (pelaku yang mampu mewujudkan sesuatu). Pernyataan ini memang membenarkan adanya pernyataan yang menyatakan bahwa seseorang tidak mungkin meraih sukses tanpa bantuan orang lain.

Agar apa yang kita usahakan dapat berprestai yang tinggi, menurut Barbara Bartlein dalam buku Budiyanto (2005 : 13) menyebutkan sepuluh kiat untuk mencapai suatu kesuksesan dan prestasi kerja dalam The Measures of Success (sepuluh ukuran kesuksesan), yaitu :

1. Memberikan sumbangan pada masyarakat dengan suka rela. 2. Belajar dari kegagalan dan penolakan

3. Menghabiskan waktunya untuk melakukan apa yang diinginkan 4. Mempunyai gaya hidup yang sehat secara fisik

5. Menjaga kehidupan spiritual

6. Mendapatkan penghasilan yang baik dari hasil pekerjaan yang baik 7. Mempunyai visi dan tujuan

8. Memperoleh cinta dan penghormatan dari orang-orang lain di sekitar kita.

9. Berusaha untuk meraih kesempurnaan, dan 10. Mempercayai bahwa anda adalah orang sukses. 3. Volume

Volume adalah ruang yang terdapat didalam sebuah benda tiga dimensi. Volume dihitung dalam satuan-satuan seperti centimeter kubik

(5)

Benda-benda cair bisaanya diukur dan dijual dalam ukuran volume, tetapi hal ini belaku juga beberapa benda padat, seperti es krim dan batubara. Beberapa industri menggunakan satuan-satuan volume yang khusus sebagai satuan pengukurannya, misalnya : pertumbuhan anggur diukur dengan dengan ukuran standar botol (750 mililiter). Pencatatan volume yang akurat merupakan hal yang sangat penting untuk eksperimen-eksperimen yang dilakukan dalam bidang sains dan teknik. Volume juga merupakan hal yang penting dalam penyelesaian masalah berat jenis, berat jenis dari sebuah benda adalah berat dibagi dengan volume benda tersebut. Benda padat terkecil dikenal dengan seagel, yang berasal dari ganggang laut. Seagel lebih ringan dari udara, dan akan melayang terus jika tidak tertahan oleh udara yang terperangkap dalam pori-pori.

Volume dari bangun-bangun yang padat, atau ruang-ruang tiga dimensi di ukur dalam satuan kubik. Banyak rumus matematika untuk menghitung volume dari bangun-bangun padat beraturan seperti pada kerucut, bola, silinder, dan kubus. Untuk menghitung ini anda perlu tahu pengukuran-pengukuran seperti panjang, lebar, dan tinggi dari setiap bangun. Selama berabad-abad para ahli matematika terus-menerus tertarik untuk mencari rumus yang berlaku untuk perhitungan-perhitungan ini. Orang pertama yang mengawali segi bangun-bangun padat adalah Archimedes. Ia menemukan bahwa, volume dari bola yang jari-jarinya r adalah 4πr³, sebuah rumus yang dipahat dalam batu nisannya. Volume-volume dari bangun tidak beraturan tidak dapat dicari dengan mudah.

(6)

Metode yang digunakan yaitu metode pemindahan, yaitu volume yang dicari sama dengan volume cairan yang digunakan untuk mengisi bangun tidak beraturan.

Samuel Plimsoll (1824-1898) adalah seorang pedagang Inggris yang pada tahun 1875, mendorong reformasi perkapalan untuk mendapatkan standar-standar. Pada saat kapal diisi muatan, maka kapal tersebut menjadi lebih berat dan agak tenggelam menggantikan volume air yang lebih besar, berdasarkan hukum Archimides. Jika kapal terlalu berat untuk dinaiki, maka kapal tersebut menjadi tidak stabil. Plimsoll memperkenalkan batas-batas pengisian, yang ditandai pada posisi badan kapal pengangkut untuk melihat muatan maksimum yang bisa dibawa oleh kapal tersebut. Batas muatan internasional diciptakan pada tahun 1930.

Pengertian volume adalah suatu ukuran yang menyatakan besar suatu bangun ruang. Mengukur volume berarti membandingkan besar ssesuatu dengan sesuatu yang mempunyai besar tertentu, yaitu sesuatu bangun ruang yang menjadikan patokan yang disebut satuan volume (volume satuan).

Ukuran bangun ruang (berdimensi tiga) dinamakan volume (volum) atau isi.

Definisi volume bangun ruang adalah banyaknya satuan volume yang dapat tepat mengisi bagian ruang yang ditempati oleh bangun tersebut.

(7)

Bangun ruang memiliki unsur-unsur yang disebut sisi, rusuk, dan titik sudut.

Bangun ruang balok mempunyai enam sisi yang masing-masing berbentuk daerah persegi panjang yaitu sisi depan yaitu sisi depan dan belakang, sisi kiri dan kanan, dan sisi atas dengan bawah. Karena mempunyai sisi sebanyak enam (yang berupa daerah persegi panjang/ persegi) disebut pula dengan bidang enam, tetapi tidak setiap bidang enam dapat disebut balok. Balok mempunyai dua belas rusuk dan delapan titik sudut.

Pengertian kubus menurut Drs Julius Hambali, Siskandar, M.A, dan Drs. Mohammad Rahmat, (1995, 8.1) adalah bidang enam tetapi semua sisinya merupakan daerah bujur sangkar (persegi) sehingga panjang setiap rusuknya sama. Kubus mempunyai enam sisi yang sama panjang, sama seperti balok dua belas rusuk dan delapan titik sudut

Pengertian bidang empat menurut Gatot Muhsetyo (2007, 5.32) dalam buku Pembelajaran Matematika SD menjelaskan pengertian limas adalah suatu benda ruang yang dibatasi oleh sebuah segibanyak dan segitiga-segitiga yang mempunyai titik puncak persekutuan di luar sudut banyak tersebut, sedangkan sisi-sisi segi banyak itu merupakan alas-alas segitiga-segitiga itu. Sedangkan bidang segi empat adalah limas yang alasnya berupa segitiga.

Pengertian bidang empat adalah bangun ruang yang mempunyai sisi yang paling sedikit mempunyai empat sisi, karena tidak ada bangun

(8)

ruang yang mempunyai sisi kurang dari empat. Bidang empat disebut juga limas segitiga.

Pengertian limas segitiga adalah bangun ruang yang mempunyai jumlah segi selain alas ada sebanyak tiga, sedangkan alasnya berupa daerah segitiga. Limas segitiga mempunyai empat sisi, banyak rusuk adalah delapan, dan banyak titik

Pengertian limas segiempat adalah bangun ruang yang selain alasnya berjumlah empat, sedangkan alasnya berupa daerah segiempat. Banyaknya sisi limas segiempat adalah limas, banyaknya rusuk delapan, dan titik sudut adalah lima.

Pengertian limas segilima adalah bangun ruang yang mempunyai jumlah segi selain alasnya sebanyak lima, sedangkan alasnya berupa daerah segilima. Banyak sisinya adalah enam, banyak rusuk adalah sepuluh dan banyaknya titik sudut adalah lima.

Pengertian prisma sigitiga adalah bangun yang mempunyai dua sisi yang saling sejajar, yaitu sisi alas dan sisi atas banyak sisi seluruhnya adalah lima (tiga sisi selain alas dan atas). Terdapat tiga rusuk yang sejajar dinamakan rusuk tiga tegak.

Pengertian prisma segiempat menurut Drs Julius Hambali, Siskandar, M.A, dan Drs. Mohammad Rahmat (1995 : 8.1) yaitu bangun yang mempunyai dua sisi yang saling sejajar.

(9)

Pengertian prisma menurut Gatot Muhsetyo (2007 : 5.32) adalah bidang banyak yang dibatasi oleh dua bidang yang sejajar dan beberapa bidang lain yang berpotongan menurut garis-garis yang sejajar.

Pengertian kerucut adalah bangun ruang yang mempunyai sisi melengkung dan mempunyai alas beberapa daerah lingkaran. Menurut Gatot Muhsetyo (2007 : 5.32) dalam buku Pembelajaran Matematika SD menjelaskan pengertian kerucut atau kerucut lingkaran tegak adalah tempat kedudukan garis-garis yang melalui sebuah titik tetap P dan memotong sebuah lingkaran (N, R) sehingga PN  bidang lingkaran (N, R). Titik P disebut titik puncak, lingkaran (N, R) dinamakan lingkaran alas dan PN disebut sumbu kerucut. Garis-garis itu disebut garis-garis pelukis.

Pengertian tabung adalah mirip dengan prisma yaitu mempunyai dua sisi yang sejajar yaitu sisi alas dan sisi atas yang bentuknya berupa daerah lingkaran. Pengertian tabung menurut Gatot Muhsetyo (2007 : 5.32) ialah tempat kedudukan titik-titik yang berjarak tertentu (R) dari sebuah garis tetap s dinamakan tabung atau silinder (definisi). Tabung dengan sumbu s dan jari-jari R disingkat dengan tabung (s, R).

Para penganut Pythagoras di zaman Yunani kuno menemukan bahwa beberapa polihegron dimasukkan secara tepat dalam suatu bola. Bangun-bangun ruang ini mempunyai muka yang seluruhnya berupa bangun beraturan. Misalnya persegi/segitiga sama sisi. Karena Pythagoras menyebutnya “bangun-bangun ruang yang sempurna” bangun-bangun ruang sempurna paling sederhana yang mereka amati adalah kubus.

(10)

Bangun-bangun ruang sempurna lainnya adalah fetrahedron beraturan, octahedron beraturan, dadekahedron beraturan, dan ikosadron beraturan. Kita sekarang menyebut kelima bangun ruang ini dengan “bangun-bangun ruang Platonik” diambil dari nama Plato, seorang filosof Yunani yang mencoba menerapkan fisika alam semesta dengan mengkaji bangun-bangun tadi.

Matematikawan Perancis yang bernama Girard Desargues (1593-1662) adalah salah satu orang pertama yang memperlihatkan secara geometris bagaimana benda-benda seharusnya di gambarkan agar tampak berdimensi tiga. Aspek seni ini disebut perspektif.

4. Konstruktivisme

Menurut pandangan konstruktivisme keberhasilan belajar bergan- tung bukan hanya pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat, dan dengar (West & Pines, 1985). Pembentukan makna merupakan suatu proses aktif yang terus berlanjut. Jadi siswa memiliki tanggung jawab akhir atas belajar mereka sendiri, seperti dikemukakan oleh Fensham (1994 : 5) sebagai berikut. …A constructivist view of learning with its fundamental prociple that people construct their own menaing for experienced and for anything told them. Then constructed meaning depends on the person’s exixting knowledge. And since it is inevitable that people had different experienced and have heard or read different thing.

Implikasi dari pandangan konstruktivisme di sekolah ialah pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke

(11)

siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Senada dengan pernyataan ini peneliti pendidikan matematika mengungkapakan bahwa belajar matematika merupakan proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari siswa (Piaget dalam Dahar, 1996), sehingga di sini peran guru berubah, dari sumber dan pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar siswa. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pembelajaran dan perspektif konstruktivisme mengandung empat bagian inti, yaitu : (1) berkaitan dengan prakonsepsi atau pengetahuan awal (prior knowledge) siswa; (2) mengandung kegiatan pengalaman nyata (experience); (3) melibatkan interaksi sosial (social interaction); dan (4) terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (sense making).

Dari uraian di atas, artikel dan beberapa buku yang ditulis Driver et al. (1985) dan Osborne & Freyberg (1985), yang dirangkum oleh Tytler (1996) tentang implikasi pandangan konstruktivisme untuk pembelajaran dapat disarikan beberapa kebaikan pembelajaran berdasarkan konstruktivisme adalah sebagai berikut.

a. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapakan gagasan secara explisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya. b. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang

(12)

kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki (diberi) kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.

c. Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya agar siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang teori dan model, mengenalkan gagasan-gagasan matematika pada saat yang tepat.

d. Pembelajaran konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.

e. Pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.

f. Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapakan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu “jawaban yang benar”.

(13)

Jadi dalam perspekif konstruktivisme belajar itu merupakan proses perubahan konsepsi. Oleh karena belajar dipandang sebagai perubahan konsepsi, maka dapat dikatakan belajar merupakan suatu kegiatan yang rasional. Belajar hanya akan terjadi apabila seseorang mengubah atau berkeinginan mengubah pikirannya ( West & Pines, 1985 : 211-214). Dalam perubahan konsepsi siswa dipandang sebagai pemproses pengalaman dan informasi, bukan hanya sebagai tempat penampung pengalaman dan informasi. Dengan demikian sebagai kegiatan yang rasional, maka belajar itu dimaksudkan apa yang dilakukan oleh seseorang terhadap ide atau gagasan yang telah dimilikinya.

Pandangan perubahan konsepsi menyatakan bahwa kemampuan siswa untuk belajar dan apa yang dipelajari siswa bergantung pada konsepsi yang terdapat dalam pengalaman tersebut. Gagasan yang baru tidak begitu saja ditambahkan pada gagasan yang telah ada, tetapi mereka saling berinteraksi yang kadang-kadang memerlukan perubahan. Perubahan ini menurut Dygstra (dalam Dagher, 1994) dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, pembedaan atau differentiation, artinya konsep baru muncul dari konsep lebih umum yang sudah ada. Kedua, perluasan konsepsi atau class extention, yaitu konsep lama yang mengalami pengembangan menjadi konsep baru. Ketiga, konseptualisasi ulang atau reconceptualization, yaitu terjadi perubahan signifikan dalam bentuk dan hubungan antar konsep. Konseptualisasi ulang disebut juga restrukturisasi (Carey, 1985; Dagher, 1994).

(14)

Gagasan siswa yang diperoleh dari persepsinya terhadap alam sekitar, yang dibawa dari rumah sering kali berbeda dengan gagasan ilmiah. Hal ini dibiarkan berlanjut dan menghambat siswa dalam belajar matematika selanjutnya (Dakar, 1996). Untuk itu perlu diupayakan pembelajaran yang memungkinkan siswa dengan sadar mengubahapa yang diyakininya yang ternyata tidak konsisten dengan konsep ilmiah. Dengan kata lain informasi dan pengalaman yang dirancang guru-guru untuk siswa seharusnya koheren dengan konsep yang dibawa anak atau disesuaikan dengan pengetahuan awal siswa. Untuk itu mengungkapkan pengetahuan awal siswa merupakan hal yang urgen untuk dilakukan oleh seorang guru.

Selanjutnya Tytler (1996 : 11-17) menyatakan bahwa setiap model memiliki fase-fase dengan istilah yang berbeda, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu: (a) menggali gagasan siswa, (b) mengadakan klarifikasi dan perluasan terhadap gagasan tersebut, kemudian (c) merefleksikannya secara eksplisit.

Kelebihan pembelajaran konstruktivisme adalah melibatkan konsepsi siswa, ada interaksi sosial, terjadi konflik kognitif, siswa mendapat kesempatan untuk mengklarifikasi konsepsi baru dan konsepsinya melaui kegiatan (pengamatan, percobaan, penyelidikan, mencari sumber bacaan atau sumber lainnya). Kekurangan pembelajaran konstruktivisme adalah waktu lebih panjang, guru perlu memperkirakan konsepsi awal siswa melalui apersepsi dan menggunakannya untuk membantu siswa membangun konsep atau pengetahuannya.

(15)

Syarat terjadinya pembelajaran konstruktivisme adalah lihat konteks ekologi konsepsi. (Ekologi konsepsi: anak merasa tidak puas dengan gagasan yang dimilikinya; gagasan baru harus dapat dimengerti (inteligible); konsepsi yang baru harus masuk akal (plausible); dan konsepsi yang baru harus dapat memberi suatu kegunaan (fruitful).

Tugas guru dalam mengajar terutama adalah membantu transfer belajar. Tujuan melakukan transfer belajar adalah menerapkan hal-hal yang sudah dipelajari ada situasi baru. Caranya dengan menjadikannya lebih bersifat umum. Pandangan konstruktivisme lebih menekankan belajar sebagai upaya membangun konsep atau argumen yang harus dilakukan sendiri oleh siswa yang belajar (dengan bantuan guru atau orang dewasa). Konsepsi awal siswa mendapat perhatian dalam pembelajaran berdasarkan pandangan konstruktivis. Tugas guru adalah menciptakan situasi konflik setelah siswa mengemukakan gagasannya, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksperimen atau observasi (atau membaca) melalui interaksi sosial, mengemukakan konsepsi barunya dan menerapkannya pada situasi baru.

Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan

(16)

mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus lalu dapat melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Oleh karena seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari pengetahuan yang kita konstruksikan.

Dari segi subjek yang membentuk pengetahuan, dapat dibedakan antara konstruktivisme psikologis, personal, sosiokulturalisme, dan konstruktivisme sosiologis. Hal-hal yang personal dengan tokohnya Piaget menekankan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh seseorang secara pribadi di dalam berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Orang itu sendiri yang membentuk pengetahuan. Sosiokulturalisme yang ditokohi oleh Vygotsky, menjelaskan bahwa pengetahuan dibentuk baik secara pribadi, tetapi juga oleh interaksi sosial dan kultural dengan orang-orang yang lebih tahu tentang hal itu dan lingkungan yang mendukung. Dengan dimasukkannya seseorang dalam suatu masyarakat ilmiah dan kultur yang sudah punya gagasan tertentu maka orang itu membentuk pengetahuannya. Sedangkan konstruktivisme sosiologis menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat sosial. Unsur masyarakatlah yang penting, sedangkan unsur pribadi tidak diperhatikan.

(17)

Dalam uraian sebelumnya telah diungkapkan bahwa menurut pandangan konstruktivisme pengetahuan pada dasarnya dibangun oleh siswa melalui interaksi dengan lingkungan. Asumsi ini mengisyaratkan bahwa proses yang bermakna bagi siswa akan terjadi kalau ia berbuat atas lingkungannya, mengkreasi atau memanipulasi objek. Menurut Greenberg (1984) siswa akan terlibat dalam belajar secara intensif jika ia membangun sesuatu daripada sekedar melakukan atau meniru yang dibangun orang lain.

Selanjutnya, M. Solehuddin (1999) merumuskan sejumlah pemikiran yang memungkinkan aktifitas belajar anak SD lebih bermakna dengan menerapkan prinsip konstruktivisme. Pemikiran ini terutama berkenaan dengan upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran. Jika para guru cenderung menggunakan cara pembelajaran yang terarah dengan berpusat pada guru (teacher centered teaching approach), tentu pendekatan itu tidak relevan dengan prinsip-prinsip pandangan konstruktivisme. Cara mengajar demikian, tidak memberi peluang kepada anak untuk mengkreasi dan membangun pengetahuan. Sebaliknya, pandangan konstruktivisme menghendaki para guru untuk menerapkan pendekatan mengajar yang berpusat pada anak (child-centered teaching approach). Secara lebih terperinci, cara pembelajaran anak yang diharapkan dapat dideskripsikan berikut ini.

a. Orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik. Kegiatan mengajar tidak sekadar diarahkan untuk membuat

(18)

anak menguasai sejumlah konsep pengetahuan dan atau keterampilan lebih sempit lagi terampil dalam menyelesaikan soal-soal dalam tes, melainkan juga diarahkan untuk mengembangkan sikap dan minat belajar serta potensi dasar anak. Dalam mengajarkan matematika, misalnya guru tidak hanya menekankan pengembangan konsep matematika pada anak, tetapi juga pengembangan wawasan tentang proses matematika, keterampilan inquiri, dan sikap positif terhadap matematika.

b. Untuk membuat pelajaran bermakna bagi anak, topik-topik yang dipilih dan dipelajari didasarkan pada pengalaman-pengalaman anak yang relevan. Masalah-masalah yang dibahas harus bersifat menantang dan aktual. Hal tersebut diperlukan untuk mengembangkan sikap positif dan apresiasi anak terhadap pelajaran. Dengan cara demikian, pelajaran tidak dipersepsi anak sebagai tugas dari atau sesuatu yang dipaksakan oleh guru, melainkan sebagai bagian dari atau sebagai alat yang dibutuhkan dalam kehidupan anak.

c. Metode mengajar yang digunakan harus membuat anak terlibat dalam suatu aktifitas langsung dan bersifat bermain yang menyenangkan atau a pleasure hands-on and playful activity dan bukannya sekadar membuat anak mengikuti pelajaran yang alami dan bermakna. Mereka mengalami aktifitas belajar sebagai aktifitas sehari-hari dan bukan sebagai kegiatan yang dipaksakan dari luar.

(19)

d. Dalam proses belajar, kesempatan anak untuk bermain dan bekerja sama dengan orang lain juga perlu diprioritaskan. Hal demikian, akan berdampak positif bukan sekadar pada perkembangan sosial anak, melainkan juga pada perkembangan berpikirnya.

e. Bahan-bahan pelajaran yang digunakan hendaknya bahan-bahan yang konkret dan, kalau mungkin ini bahan yang sebenarnya.

f. Dalam menilai hasil belajar siswa, para guru tidak hanya menekankan aspek kognitif dengan menggunakan tes tulis (paper-pencil test), tetapi harus pula mencakup semua domain perilaku anak yang relevan dengan melibatkan sejumlah alat penilaian.

g. Ide di atas akhirnya mengimplikasikan perlunya para guru menampil-kan peran utama sebagai guru dalam proses pembelajaran anak dan bukannya sebagai transmitor pengetahuan kepada anak.

Para perencana kurikulum, menurut pandangan konstruktivisme, tidak begitu saja mengambil atau menerapkan kurikulum standar yang menekankan kepada aktifitas guru (teacher oriented), sedangkan siswa hanya sebagai objek semata. Isi kurikulum bukan sebagai kumpulan pengetahuan atau kumpulan keterampilan, melainkan lebih sebagai program aktifitas dimana pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksikan.

Menurut teori konstruktivisme, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya, mencari arti sendiri dari apa yang mereka pelajari. Setiap siswa

(20)

mempunyai cara sendiri untuk memperoleh pengertian, dengan demikian siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Setiap siswa harus memahami tentang kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya, mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi mereka sendiri dalam mengkonstruksi pengetahuannya.

Model kurikulum yang bercorak konstruktivisme dalam pelaksanaanya menerapkan beberapa prinsip sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham, Duffy, dan Knuth (Sulton, 1998), yaitu sebagai berikut. a. Mengembangkan pengalaman melalui proses konstruksi pengetahuan.

Prinsip ini menghedaki agar siswa dilibatkan dalam menentukan topik/subtopik mata pelajaran yang mereka pelajari, metode belajar, dan strageti pemecahan masalah.

b. Mengembangkan pengalaman belajar yang memungkinkan apresiasi dan kaya akan berbagai alternatif. Problema dalam dunia nyata hampir tidak pernah teratasi dengan hanya satu penekatan yang benar atau hanya ada satu solusi.

c. Mengintegrasikan proses belajar dengan pengalaman yang nyata dan relevan. Sebagian besar belajar berlangsung dalam konteks sekolah, hendaknya guru dapat mengubah situasi nyata masuk dalam aktifitas belajar.

d. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan isi dan arah belajar mereka sendiri. Hal ini merupakan inti dari pembelajaran konstruktivisme.

(21)

e. Menanamkan belajar melalui pengalaman bersosialisasi. Perkembangan intelektual berkaitan dan dipengaruhi oleh interaksi sosial, karena itu aktifitas belajar harus merupakan kolaborasi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa.

f. Mendorong penggunaan berbagai bentuk representasi. Komunikasi lisan dan tulis merupakan bentuk yang umum dalam penyampaian pengetahuan dan setting pembelajaran.

g. Mendorong peningkatan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan. Kunci hasil belajar konstruktivisme adalah “mengetahui bagaimana kita tahu”. Kemampuan siswa untuk menjelaskan mengapa atau bagaimana pemecahan suatu masalah dengan cara tertentu.

B. Kerangka Berpikir.

Belajar dalam arti sebenarnya adalah aktifitas mental yang sangat kompleks. Aktifitas tersebut akan menghasilkan perubahan-perubahan yang bersifat kualitatif. Kualitas perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh pendekatan pembelajaran mana yang digunakan oleh guru dalam rangka membantu siswa memperoleh perubahan.

Untuk menghasilkan pembelajaran matematika yang bermakna maka sebaiknya guru menggunakan model pembelajaran yang tepat antara lain model pembelajaran konstruktivisme

Dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran matematika maka akhir-akhir ini para ahli mengembangkan berbagai model pembelajaran yang dilandasi pandangan konstruktivisme dari Piaget. Pandangan ini

(22)

berpendapat bahwa dalam proses belajar anak membangun pengetahuannya sendiri dan memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah (Dahar, 1989 : 160).

Teori Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kemampuan intelektual manusia terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti :

1. Kematangan (maturation), yaitu pertumbuhan otak dan system syaraf manusia karena bertambahnya usia, dari lahir sampai dewasa.

2. Pengalaman (experience), yang terdiri dari :

a. Pengalaman fisik, yaitu interaksi manusia dengan objek-objek di lingkungannya.

b. Pengalaman logiko-matematis, yaitu kegiatan-kegiatan pikiran yang dilakukan manusia yang bersangkutan.

c. Transmisi social, yaitu interaksi dan kerjasama yang dilakukan oleh manusia dengan manusia lainnya.

3. Penyeimbangan (equilibration), yaitu proses struktur mental (struktur kognitif) manusia kehilangan keseimbangan sebagai akibat dari adanya pengalaman-pengalaman atau pembelajaran-pembelajaran baru.

Terdapat beberapa hal yang perlu ditekankan dalam konstruktivisme (Tasker, 1992 : 30), yaitu sebagai berikut :

1. Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. 2. Pentingnya membuat kaitan antar gagasan oleh siswa dalam

(23)

3. Mengkaitkan gagasan siswa dengan informasi baru di kelas.

Dalam pembelajaran matematika menurut teori Vygotsky, teori ini berusaha mengembangkan model pembelajaran konstruktivisme belajar mandiri menjadi belajar kelompok. Melalui teori ini peserta didik dapat memperoleh pengetahuan melalui kegiatan yang beranekaragam dengan guru sebagai fasilitator.

Untuk menjadikan pembelajaran menarik dan menyenangkan. kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya penciptaan makna secara konstektual berdasarkan pada pengalaman merupakan salah satu prinsip dasar dari pendekatan konstruktivisme. Belajar melalui pembelajaran konstruktivisme merupakan proses membangun sendiri pengetahuan yang diproses dari pengalaman sebelumnya.

Konstruktivisme yang menggunakan kegiatan hands-on serta memberikan kesempatan yang luas untuk melakukan dialog dengan guru dan teman-temannya akan dapat meningkatkan pengembangan konsep dan keterampilan berpikir para siswa.

Cikal bakal konstruktivisme bermula dari gagasan Giambatissta Vico seorang epistemology Italy, kemudian dimunculkan dalam tulisan Mark Baldwin, kemudian diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget.

Para penganut konstruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajai, tetapi

(24)

merupakan konstruksi kognitif seseorang tehadap objek, pengalaman maupun lingkungannya.

Menurut Von Glaserfeld, tokoh filsafat konstruktivisme di Amerika Serikat, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) berpikiran orang yang belum punya pengetahuan (siswa).

Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang membatasi proses konstruksi pengetahuan, yaitu: (1) konstruksi yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi pengetahuan kita pula. Von Glaserfeld membedakan tiga level konstruktivisme dalam kaitan hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa.

Aliran filsafat ini menekankan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi (bentukan) manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungannya.

Menurut Driver dan Bell (Suparno, 1997), ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta, tetapi merupakan ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas.

(25)

Von Glaserfeld membedakan tiga level pengetahuan dan kenyataan, yakni hipotetik, dan konstruktivisme yang bisaa. Konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran.

Kaum konstruktivisme menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya. Dengan berinterkasi terhadap objek dan lingkungannya melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan, orang dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamatimobil, mempelajari cara mengoperasikan mobil, mengemudikan mobil maka orang membentuk pengetahuan tentang mobil.

Menurut Greenberg (1984) siswa akan terlibat dalam belajar secara instensif jika ia membangun sesuatu daripada sekadar melakukan atau meniru yang dibangun orang lain.

C. Hipotesis Tindakan.

Dalam pembelajaran matematika perlu diterapkan konsep-konsep yang tepat untuk memberikan respon positif terhadap materi. Sulit untuk dibayangkan apabila siswa tidak memahami konsep yang ada lingkungannya.

Para penganut konstruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi menutuir konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman maupun lingkungannya.

(26)

Menurut Von Glaserfeld, tokoh filsafat konstruktivisme di Amerika Serikat, mengetahui bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) berpikir yang belum punya pengetahuan (siswa). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan penertiannya kepada siswa.

Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada tang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan menbandingkan sangat penting untuk dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus lalu dapat melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Oleh karena seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari pengetahuan yang kita konstruksikan.

Bettencourt menyatakan memang konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih menekankan bagaimana kita tahu atau menjadi tahu.

(27)

Pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari.

Salah satu komponen yang menentukan ketercapaian kompetensi adalah penggunaan strategi pembelajaran matematika, yang sesuai dengan (1) topik yang sedang dibicarakan, (2) tingkat perkembangan intelektual peserta didik, (3) prinsip dan teori belajar, (4) keterlibatan aktif peserta didik, (5) keterkaitan dengan kehidupan peserta didik sehari-hari, dan (6) pengembangan dan pemahaman penalaran matematis.

Menurut Bruner, cara menyajikan pelajaran harus disesuaikan dengan derajat berpikir anak yang terdiri dari tiga tahap berpikir,yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik.

Ada dua pendekatan model belajar Bruner, yaitu bahwa perolehan pengetahuan merupakan proses interaktif dan orang mengkonstruksikan pengetahuannya dengan cara menghubungkan informasi yang tersimpan yang telah diterima sebelumnya.

Pandangan konstruktivisme menghendaki para guru untuk menerapkan pendekatan yang berpusat pada anak (Child - Centered teaching Approach). Cara pembelajaran anak yang diharapkan dapat di deskripsikan (1) orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik. (2) untuk membuat pelajaran bermakna bagi anak topik-topik yang dipilih dan dipelajari didasarkan pada pengalaman-pengalaman anak yang relevan.

(28)

Brekdemp dan Rosegrant (1992) bahwa anak akan belajar dengan baik dan bermakna apabila dalam proses pembelajaran tersebut mencakup hal-hal berikut :

1. Orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik 2. Topik-topik yang dipekajari dapat bedasarkan anak yang relevan.

3. Metode mengajar harus berorientasi pada anak dengan sifat yang menyenangkan..

4. Kesempatan anak untuk bermain dan bekerja sama denga orang lain mendapat prioritas.

5. Bahan pembelajaran dapat diambil dari bahan yang konkrit. 6. Penilaian tidak hanya terbatas pada aspek kognetif semata

7. Keenam hal terdahulu membawa implikasi bagi guru yang harus menampilkan diri sebagai guru dalam proses pembelajaran.

Teori konstruktivisme dalam pendidikan terutama berkembang dari hasil pemikiran Vygotsky (Social and Emancipator constructivism) yang menyimpilkan bahwa siswa mengonstruksikan pengetahuan atau menciptakan makna bagai hasil pemikiran dan berinteraksi dalam suatu konteks social.

David Ausubel banyak mencurahkan perhatiannya pada pentingnya pengembangan potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna (meaningful learning) dan belajar verbal yang dikenal dengan expository learning

Kerangka pemikiran konstruktivisme sangat menantang guru dan perancang pembelajaran untuk mampu menciptakan, mengkreasika

(29)

lingkungan belajar yang memungkinkan guru dan siswa berpartisipasi aktif dalam proses berpikir, mencari, menemukan dan menciptakan makna berdasarkan pengalaan dan pengetahuan awal yang dimiliki guru maupun siswa.

Brooks & Brooks (1993) menyatakan bahwa pembelajaran konstruktivisme bercirikan :

1. Tidak terpaku pada proses mempelajari materi sebagaimana tercantum dalam kurikulum

2. Proses belajar merupakan milik siswa sehingga siswa sangat diberi keleluasaan untuk menuruti minat dan rasa ingin tahunya.

3. Mempercayai adanya beragam perspektif yang berbeda-beda, dan kebenaran merupakan suatu hasil interpretasi makna (mearning making)

Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Agar belajar menjadi bermakna dan memiliki struktur informasi yang kuat, siswa harus aktif mengidentifikasi prinsip-prinsip kunci yang ditemukannya sendiri, bukan hanya sekedar menerima penjelasan dari guru saja.

Berdasarkan pembelajaran konstruktivisme proses pembelajaran mempersyaratkan terjadinya interaksi aktif untuk negosiasi makna dalam proses penciptaan makna bedasarkan pengetahuan dan pengalaman awal yang dimilikinya.

Gallas (Dalam Golberg, 2000) menyatakan tantangan bagi guru untuk mampu merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa menampil-

(30)

kan semua kreatifitas dan kemampuannya secara optimal.

Model pembelajaran bercorak konstruktivisme menerapkan prinsip sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham, Duffy, dan Knoth (Sulton, 1998), sebagai berikut.

a. Mengembangkan pengalaman melalui proses pengetahuan

b. Mengembangkan pengalaman belajar yang memungkinkan apresiasi dan kaya akan berbagai alternatif

c. Mengintegrasikan proses belajar dengan pengalaman yang nyata dan relevan.

d. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan isi dan arah belajar mereka sendiri.

e. Menanamkan belajar melalui pengalaman bersosialisasi. f. Mendorong penggunaan berbagai bentuk revresentasi.

g. Mendorong peningkatan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan.

Dengan mempertimbangkan dan merujuk kepada pendapat pakar di atas disusunlah hipotesis tindakan sebagai berikut :

1. Model pembelajaran konstruktivisme dengan ciri belajar membangun sendiri pemahaman dan mengembangkan pemahaman melalui belajar bermakna dapat meningkatkan prestasi belajar dan minat belajar siswa. 2. Pemberian soal latihan secara terus menerus dapat meningkatkan

(31)

D. Kriteria Keberhasilan.

Indikator yang digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dapat dilihat dari ketuntasan siswa dalam mempelajari materi. Kriteria siswa dikatakan tuntas belajar jika telah mencapai tingkat penguasaan materi 75% keatas.

Indikator yang digunakan untuk mengukur peningkatan minat belajat siswa adalah keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Siswa dinyatakan aktif jika memberikan respon positif terhadap penjelasan dan pertanyaan guru, aktif dalam mencari dan menemukan informasi, aktif belajar dalam kelompok, dan dalam mengkomunikasikan hasil.

Sedangkan kreteria untuk mengukur tingkat keberhasilan upaya perbaikan pembelajaran adalah sebagai berikut :

a. Hasil belajar siswa terhadap materi pembelajaran dinyatakan berhasil, jika 75% dari jumlah siswa tuntas belajar.

b. Peningkatan minat belajar siswa dinyatakan berhasil jika 75% dari jumlah siswa terlibat aktif selama proses pembelajaran dan menampilkan seluruh indikator yang dipersyaratkan.

Referensi

Dokumen terkait

Layanan Dial-Up merupakan jasa akses internet yang memanfaatkan jaringan telepon biasa dan modem dial up, pelanggan diharuskan berlangganan ke Internet Service Provider

Ledakan penduduk juga terjadi karena rumah tangga tidak direncanakan secara baik dan tidak melihat faktor sebab akibat, banyak rumah tangga yang berdiri tapi tidak

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

[r]

Bahan-bahan yang digunakan dalam kajian ini meliputi benih sayuran sebagai tanaman uji, pupuk organik cair asal limbah pasar (Hasil uji Balitbangda Kabupaten

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Menimbang, bahwa atas permohonan a quo, Termohon telah menyampaikan jawabannya melalui jawaban dan dupliknya yang pada pokoknya membenarkan bahwa dalam rumah tangga Pemohon dan