• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR) dalam sejarah bank

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR) dalam sejarah bank"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR) dalam sejarah bank sentral telah dikenal sejak akhir abad ke-19. Pada umumnya, peranan utama LoLR adalah untuk mencegah terjadinya krisis finansial yang sistemik (a systemic financial

crisis) dalam suatu perekonomian.1 LoLR diartikan sebagai pemberi pinjaman andalan atau pemberi pinjaman terakhir yang dapat diandalkan kepada lembaga-lembaga keuangan jika menghadapi kesulitan keuangan atau memberikan pinjaman talangan (bailout).2 LoLR dapat juga didefinisikan sebagai ketetapan kebijakan likuiditas bagi lembaga keuangan (atau pasar secara keseluruhan) oleh bank sentral sebagai reaksi atas kegoncangan luar biasa yang menyebabkan peningkatan tidak normal dalam kebutuhan likuiditas yang tidak dapat dipenuhi dari suatu sumber alternatif.3

Sebagai konsekuensi dari kegiatan usahanya menempatkan dana dalam bentuk kredit dengan jangka waktu lebih panjang dan menerima dana (simpanan) dengan

1 Iman Sugema & Iskandar Simorangkir, “Peranan The Lender of Last Resort.(LOLR) Terhadap

Perekonomian”, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Manajemen+ Krisis/Jaring+Sistem+Keuangan, (Diakses Senin, 7 Februari 2011).

2 DidikJ. Rachbini, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, (Jakarta : PT. Mardi Waluyo, 2002), hlm 43.

3 Xavier, F., Giannini, C., Hoggarth, G., and Soussa, F., “Lender of Last Resort : A Review of the

Literature”, Financial Stability Review, Bank of England, Vol. 7, November 1999. Di dalam Hasil

Riset Satgas BLBI dengan HLB Hadori & Rekan, Studi Keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, (Jakarta : Bank Indonesia, 2002), hlm 43.

(2)

jangka waktu lebih pendek, bank cenderung menghadapi risiko likuiditas.4

Intervensi bank sentral secara langsung melalui kebijakan LoLR tersebut semakin penting lagi, khususnya sejak krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997/1998. Hubungan erat krisis perbankan, krisis keuangan dan krisis sektor riil merupakan salah satu alasan mengenai pentingnya peranan LoLR. Pengalaman empiris pada krisis perbankan dan krisis keuangan yang terjadi di negara-negara Asia, seperti Thailand, Korea dan Indonesia pada tahun 1997/1998 telah mengakibatkan terjadinya kontraksi yang tajam pada perekonomian negara tersebut.

Dengan demikian, krisis likuiditas akan menjadi meningkat jika deposan menarik dananya, dan pada lanjutannya dapat mengakibatkan terjadinya penarikan dana besar-besaran (bank run). Tanpa kehadiran bank sentral sebagai pemberi pinjaman terakhir, bank

run yang terjadi di salah satu bank dapat menjalar ke bank lainnya sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya kegagalan sistemik pada sistem perbankan secara keseluruhan.

5

4 Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank. Lihat Pasal 1 butir 8, Peraturan Bank Indonesia No. 11/25/PBI/2009 Tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.

Demikian pula yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008, yang diawali dengan kebangkrutan bisnis properti (sub-prime mortage) telah mempengaruhi perekonomian dunia, khususnya Eropa dan juga sebagian Asia.

(3)

Menyadari akan dampak krisis perbankan yang dapat menimbulkan kegagalan sistemik pada sistem keuangan dan pada lanjutannya mengakibatkan kontraksi ekonomi yang lebih dalam, maka pemerintah dan Bank Indonesia pada krisis perbankan tahun 1997/1998 memberikan LoLR kepada sebagian besar perbankan nasional, yang kemudian dikenal dengan nama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sementara pada tahun 2008, salah satu bank bermasalah dan menghadapi permasalahan likuiditas (Bank Century) telah dibantu oleh Bank Indonesia dengan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP)6 dan selanjutnya untuk menghindari terjadinya risiko sistemik (systemic risk)7

BLBI telah menjadi isu yang sangat kontroversial dan menyita banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat sampai saat ini. Hal ini disebabkan karena selain jumlah BLBI yang disalurkan selama masa krisis sangat besar, juga karena

, diputuskan oleh Pemerintah melalui Komite Stabilitas Sistim Keuangan (KSSK) untuk diselamatkan (bailout) dan pengelolaannya diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

6 FPJP diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/26/PBI/2008 Tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum, dan Peraturan Bank Indonesia No. 10/30/PBI/2008 Tentang Perubahan Atas PBI No. 26/PBI/2008, (perubahan atas Pasal 2 dan 4, serta tambahan Pasal 17A).

7 Risiko sistemik (systemic risk) adalah risiko terjadinya kehancuran atau runtuhnya sistem keuangan atau pasar keuangan sehingga fungsi utama sistem keuangan, seperti penyediaan likuiditas, pengelolaan risiko, dan alokasi sumber daya tidak berjalan semestinya. Secara akademis belum ada definisi yang baku. Definisi lain menyatakan, risiko sistemik adalah potensi terjadinya akumulasi kerugian yang besar bagi perekonomian karena terjadinya kerugian berantai dari berbagai lembaga keuangan dan pasar keuangan dalam sistem keuangan. Ada lagi definisi yang menyatakan risiko sistemik sebagai kegagalan satu pelaku pasar dalam sistem keuangan yang diikuti kegagalan pelaku pasar yang lain karena keterkaitan satu pelaku pasar dengan pelaku yang lain atau lembaga lain. Lihat, Abdul Mongid, Risiko Sistemik Bank Century, INFOBANK NEWS, Rabu, 10 Februari 2010.

(4)

berkembang pendapat bahwa penyaluran dana tersebut melibatkan berbagai korupsi, penyalahgunaan dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya.

Demikian pula halnya dengan kasus Bank Century, penyelamatan terhadap bank tersebut telah menimbulkan kehebohan di masyarakat, terlebih lagi hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan adanya penyimpangan, baik dalam pemberian FPJP oleh Bank Indonesia maupun dalam keputusan bailout oleh KSSK sehingga mendorong Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Panitia Khusus (Pansus). Bagi Bank Indonesia, dari krisis keuangan dan perbankan pada tahun 1997/1998 dapat ditarik suatu pelajaran penting bahwa tugas pokok bank sentral sebagai penjaga stabilitas moneter (otoritas moneter) tidaklah cukup tanpa dukungan stabilitas sistem keuangan yang sehat. Gejolak dalam lembaga keuangan, khususnya bank, merupakan salah satu sumber ketidakstabilan. Oleh karena itu, krisis perbankan harus dicegah atau ditangani untuk menghindarkan gangguan terhadap sistem pembayaran dan arus kredit dalam perekonomian. Terkait dengan hal tersebut, upaya membangun sistim keuangan yang stabil memerlukan perangkat aturan hukum (legal framework) yang mampu menjadi landasan bagi penyelenggaraan fungsi bank sentral secara utuh.8 Sebagaimana telah dipahami bahwa dalam legal framework pada sistem keuangan dan perbankan nasional yang berlaku waktu terjadinya krisis tahun 1997/1998, Bank

8 Anwar Nasution, “Stabilitas Sistem Keuangan : Urgensi, Implikasi Hukum Dan Agenda Ke Depan”, dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Bank Indonesia, Vol 2, Desember 2003, hlm 7.

(5)

Indonesia merupakan bagian dari otoritas perbankan9 tidak dilengkapi dengan perangkat hukum yang memadai ketika harus mengambil tindakan darurat guna mengatasi risiko yang sistemik (systemic risk) di sektor perbankan yang hampir-hampir saja melumpuhkan sistem perbankan nasional. Dalam upaya mengatasi krisis perbankan pada masa itu dianggap perlu ditempuh dua pendekatan, yaitu : (i) perlunya mem-back-up sistim perbankan nasional agar tidak bangkrut (collapse), dan (ii) membantu penyelesaian krisis keuangan yang dihadapi sektor korporasi untuk memulihkan sektor perbankan dan perekonomian nasional.10 Dengan pertimbangan itulah Bank Indonesia memfungsikan peranannya selaku LoLR dengan memberikan bantuan likuiditas (liquidity support) dengan nama BLBI untuk menyelamatkan sistim perbankan, baik untuk keperluan mengatasi kesulitan likuiditas, maupun dalam rangka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah. Selanjutnya, Bank Indonesia juga harus terlibat untuk membantu penyelesaian krisis keuangan yang dihadapi oleh sektor korporasi selaku debitur bank.11

9 Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, BI merupakan bagian dari Pemerintah dan dalam kaitannya dengan tugas dan wewenang otoritas perbankan, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur bahwa tugas itu dilakukan oleh dua instansi, yaitu Pemerintah cq Departemen Keuangan yang memiliki otoritas menerbitkan/mencabut izin bank dan Bank Indonesia yang memiliki otoritas mengawasi/membina bank. Dalam legal framework pada masa berlakunya UU tersebut, pengaturan perbankan juga dilakukan oleh kedua instansi dimaksud, yaitu Pemerintah menerbitkan peraturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Bank Indonesia menerbitkan peraturan dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (SK Dir.BI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). Pada masa itu Pemerintah juga terlibat jauh dalam pengelolaan sektor perbankan, selain dalam segi pengaturan, Pemerintah juga melakukan penyediaan dana, misalnya selaku pemegang saham bank.

10 Anwar Nasution, “Stabilitas ..., ibid, hlm. 8.

11 Hal ini tercermin dari pembentukan Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) dan keterlibatan BI dalam Paris Club dan proses restrukturisasi kredit. Sebagaimana diketahui, pangsa portofolio pembiayaan perbankan kepada sektor korporasi sangat besar, sehingga adanya kelemahan/permasalahan pada sektor ini dapat mempengaruhi secara signifikan terhadap individual bank bahkan terhadap kestabilan sektor perbankan/keuangan secara keseluruhan. Selain itu, dalam

(6)

Jika ditelaah kembali krisis pada tahun 1997/1998 ketika Bank Indonesia dan Pemerintah melakukan penyelamatan sistem perbankan nasional, terdapat dua kondisi yang seharusnya menjadi perhatian, yaitu :

Pertama, saat itu belum ada perangkat aturan yang ditujukan untuk

menanggulangi krisis yang normanya berbeda dari perangkat aturan yang mengatur kegiatan usaha bank dalam keadaan normal. Perangkat hukum di bidang keuangan dan perbankan yang ada saat itu hanya dapat digunakan sebagai aturan dalam keadaan normal saja. Agar tindakan yang diambil oleh otoritas yang berwenang dalam mengatasi krisis dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka selain perangkat hukum yang mengatur kondisi normal seharusnya perlu pula ada perangkat hukum yang melandasi kerangka kerja manajemen krisis yang bersifat strategis.

Kedua, pelaksanaan fungsi LoLR oleh Bank Indonesia dengan ditempuhnya

kebijakan pemberian BLBI sebagai upaya penyelamatan sistem perbankan dan perekonomian nasional dan bersifat darurat pada masa “abnormal” masih dianggap memiliki sifat melawan hukum.12

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral yang berlaku saat itu, Bank Indonesia berwenang memberikan pinjaman darurat kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang berat. Namun, dalam UU tersebut tidak terdapat peraturan dan prosedur yang jelas tentang bagaimana fungsi ini dilaksanakan. Selama krisis tahun 1997/1998, Bank Indonesia memberikan bantuan likuiditas kepada bank-proses restrukturisasi perbankan BI juga menjadi fasilitator dalam merger dan akuisisi bank, Anwar Nasution, Stabilitas..., Ibid, hlm. 8.

(7)

bank bermasalah untuk mencegah keruntuhan sistem perbankan dan untuk menjaga sistem pembayaran.

Terus memburuknya kepercayaan terhadap sistem perbankan pada saat krisis tersebut yang disertai dengan ketidakpastian politik dan gejolak sosial telah menimbulkan systemic bank run dari bank yang dianggap bermasalah ke bank-bank yang lebih sehat. Dapat dimaklumi, dalam situasi krisis dan dalam rentang waktu terbatas sulit dan mungkin mustahil bagi bank sentral untuk membedakan antara permasalahan likuiditas dan solvensi.13

13 Permasalahan bank yang solvensi atau insolvent adalah suatu keadaan dimana bank tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dengan aktiva yang tersedia.

Karena itu, masalah pokok BLBI adalah ketidakjelasan kriteria untuk membedakan antara bank yang sehat dan yang sakit, serta tiadanya kebijakan dan pedoman LoLR yang jelas untuk meyakinkan akuntabilitas. Juga terdapat kelemahan koordinasi antar lembaga dalam menangani krisis pada saat itu. Oleh karenanya, dari sisi penyelesaian krisis tidaklah memenuhi asas keadilan apabila suatu tindakan darurat yang diambil dalam masa abnormal tersebut dinilai dari kaca mata dan dengan aturan yang berlaku pada kondisi normal, sehingga atas dasar penilaian yang tidak fair itu, tindakan tersebut dikategorikan sebagai bersifat melanggar aturan (perbuatan melawan hukum). Padahal aturan “yang dilanggar” itu sebenarnya hanya dapat berlaku efektif terhadap kegiatan usaha bank di masa normal dan akan tidak efektif apabila diterapkan pada masa krisis sistemik (masa abnormal). Sementara itu, telah disadari bersama bahwa tindakan yang

(8)

dilematis itu harus dilakukan demi menyelamatkan sistem perbankan dan perekonomian nasional yang hampir collapse.

Dalam situasi kritis seperti pada waktu itu, Bank Indonesia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengambil alternatif keputusan/tindakan tersebut. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah yang dilaksanakan Bank Indonesia dengan memperbolehkan bank-bank yang bersaldo debet untuk tetap ikut kliring dalam rangka menghindarkan akibat yang lebih fatal, yaitu bank- run dan collapse-nya sistem perbankan, serta keputusan memberikan back-up dana dalam rangka menjalankan fungsi bank sentral sebagai LoLR untuk mengatasi kesulitan likuiditas perbankan karena di-rush krediturnya dan terlambatnya pengembalian kredit debitur karena kondisi sosial ekonomi dan keamanan yang tidak kondusif, pada dasarnya bukan perbuatan yang melawan hukum dengan tujuan merugikan keuangan Negara.14

14 BI yang berdasarkan legal framework UU No. 13 Tahun 1968 adalah merupakan bagian dari Pemerintah (belum independen) menyediakan BLBI dalam rangka dioperasionalkannya fungsi BI sebagai lender of the last resort berdasarkan Pasal 32 ayat (3) UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral yang memberikan landasan hukum bagi BI untuk menyediakan dana kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dihadapi bank. Selain itu, BLBI juga diberikan terkait dengan pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah terhadap pembayaran kewajiban bank umum berdasarkan Keppres No. 26 Tahun 1998 dan pembayaran kewajiban kepada luar negeri berupa

interbank debt arrears dan trade finance berdasarkan Keppres No. 120 Tahun 1998. Tagihan BLBI

kepada bank-bank tersebut selanjutnya dialihkan oleh BI kepada Pemerintah bersamaan dengan penerbitan Obligasi Pemerintah kepada bank-bank. Selanjutnya, BPPN atas nama Pemerintah mengubah tagihan itu menjadi tagihan BPPN kepada Pemegang Saham Pengendali (PSP) bank. Kondisi yang sama tentunya berlaku pula untuk pemberian dana talangan oleh Bank Indonesia kepada perbankan dalam rangka menjalankan Program Penjaminan Pemerintah.

(9)

Berpijak pada asas hukum presumption of innocence, sudah barang tentu apabila dalam pelaksanaannya ditemui adanya pelanggaran hukum, maka kasus pelanggaran hukumnya perlu diteliti dan diusut tuntas, sedangkan kebijakan ditempuhnya langkah-langkah dalam rangka penyelamatan sistem dan perekonomian nasional itu bukanlah suatu pelanggaran hukum.

Demikian pula dengan kasus Bank Century (sekarang bernama Bank Mutiara) pada tahun 2008 sungguh telah menyita perhatian dan tenaga bangsa Indonesia. Apalagi setelah Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pembentukan Panitia Khusus (Pansus) atas masalah ini. Pansus dibentuk karena ditengarai upaya penyelamatan (bailout) bank tersebut dalam rangka menyelamatkan dana para deposan besar dan sebagian dari dana tersebut mengalir kepada partai politik tertentu dan tim sukses dari salah satu calon presiden dalam pemilu presiden (pilpres) pada tahun 2009 yang lalu.

Beragam isu bertebaran di ruang-ruang publik mengenai kasus ini, termasuk di layar kaca (teve) ketika stasiun teve seperti berlomba menyuguhkan siaran lansung (live) dari sidang-sidang Pansus dengan beragam saksi dan nara sumber. Laporan pandangan mata itu semakin menimbulkan rasa penasaran publik akan apa yang sedang terjadi. Setiap pihak yang terkait masalah Bank Century sepertinya menyuguhkan alibi masing-masing yang cukup meyakinkan. Publik pun akhirnya menjadi bingung.

(10)

Darmin Nasution, Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia saat itu, dalam

Press Conference bersama Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan LPS terhadap

Hasil Audit Investigasi BPK di Departemen Keuangan tanggal 24 November 2009,15

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, peran Bank Indonesia sebagai LoLR sangat terbatas. Bank Indonesia hanya dapat memberikan LoLR kepada bank pada kondisi normal (maksimum 90 hari) dengan agunan berkualitas tinggi dan likuid, tetapi tidak untuk kondisi khusus.

menjelaskan bahwa penyelamatan Bank Century harus dilihat dalam konteks penyelamatan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian secara keseluruhan yang pada periode tersebut diambang krisis sebagai dampak dari krisis perekonomian global yaang saat itu tengah berlangsung. Kebijakan Bank Indonesia dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berpotensi sistemik, merupakan bagian dari kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dalam upaya penanganan dampak krisis global, dengan maksud untuk menyelamatkan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian Indonesia.

16

15 Harian Kompas, 25 November 2009, hlm 2 : “Bailout Bank Century, Menyelamatkan Sistem

Perbankan”.

Agunan tersebut dapat berupa surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau surat berharga sejenis lainnya yang bernilai

16 Pasal 11 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia berbunyi : “Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang bersangkutan”.

(11)

tinggi dan dapat segera dijual ke pasar.17

Mempertimbangkan kondisi makro ekonomi global dan domestik, Pemerintah memandang memasuki kuartal ke IV tahun 2008 perekonomian Indonesia memasuki kondisi yang mengkhawatirkan. Dengan mengacu kepada Pasal 22 UUD 1945, maka Pemerintah sekaligus menerbitkan 3 Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPPU), yang terdiri dari :

Dalam kenyataannya, yang memenuhi kriteria tersebut hanya obligasi rekapitalisasi yang diterbitkan pemerintah dan SBI. Fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia tersebut berfungsi seperti fasilitas diskonto yang disediakan secara rutin oleh bank sentral untuk mengatasi kesenjangan (mismatch) likuiditas yang mungkin dihadapi oleh bank. Namun demikian, fasilitas tersebut tidak mencakup fungsi LoLR yang khusus digunakan dalam rangka pemberian bantuan likuiditas darurat kepada sistem keuangan dalam masa krisis. Dalam hal ini bank-bank umumnya tidak memiliki agunan berkualitas tinggi sehingga diperlukan beberapa pengecualian dari persyaratan kondisi normal.

1) PERPPU No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Bank Indonesia.

PERPPU ini diterbitkan dilatarbelakangi oleh keterbatasan kepemilikan surat berharga perbankan sebagai secondary reserve yang dapat diagunkan kepada Bank Indonesia dikaitkan dengan peran sebagai Lender of The Last Resort.

17 Ibid, Pasal 11 ayat (2) berbunyi : ” Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh Bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.

(12)

Untuk itu, PERPU ini mengubah syarat agunan FPJP (Pasal 11 UU Bank Indonesia) yang semula hanya berupa surat berharga yang bernilai tinggi dan mudah dijual, menjadi sebagai berikut : “... surat berharga dan/atau tagihan

yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai dan aset kredit kolektibilitas lancar ...”.

2) PERPPU No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan.

PERPU ini diterbitkan dilatarbelakangi dengan adanya kebutuhan peningkatan cakupan penjaminan dana pihak ketiga LPS yang tidak mungkin dilakukan tanpa mengamandemen UU LPS yang mengatur kriteria dan persyaratan cakupan penjaminan dana pihak ketiga. Dengan PERPPU ini, LPS mengubah penjaminan dana pihak ketiga dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 milyar.

3) PERPPU No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

PERPPU ini diterbitkan dilatarbelakangi kebutuhan untuk memperjelas Crisis

Management Protocol (CMP) Sistem Keuangan Indonesia, terutama terkait

dengan otoritas yang berkepentingan dan pengaturan mengenai hak dan kewajiban, serta belum selesainya penyusunan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK).

(13)

Dalam PERPPU ini diatur ruang lingkup pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), baik dalam rangka pencegahan krisis maupun penanganan krisis.

Selanjutnya, berdasarkan PERPPU No. 2 Tahun 2008 Bank Indonesia mengeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebagai peraturan pelaksanaannya, yang menyempurnakan ketentuan sebelumnya yang terkait dengan pelaksanaan fungsi LoLR.

Namun, meskipun sudah berdasarkan PERPPU-PERPPU diatas, analisis dampak sistemik yang menjadi alasan KSSK untuk melakukan bailout terhadap Bank Century pada tanggal 22 November 2008 menjadi masalah yang sangat dipertanyakan, baik oleh BPK RI maupun oleh Pansus DPR RI. Demikian pula dengan pemberian FPJP oleh Bank Indonesia pada awal November 2008. Akhirnya dalam sidang paripurna DPR pada hari Rabu tanggal 3 Maret 2010 melalui voting diputuskan bahwa kebijakan bailout terhadap Bank Century “salah” (opsi C) dan kepada aparat penegak hukum agar menindaklanjuti permasalahan hukumnya.18

Melihat begitu pentingnya fungsi bank sentral sebagai LoLR terutama untuk mencegah terjadinya krisis finansial yang sistemik, tetapi dalam pelaksanaannya di Indonesia selalu dianggap bermasalah yang menimbulkan implikasi hukum terhadap pejabat-pejabat yang mengambil keputusan, seperti terlihat dari kasus BLBI dan Bank Century, maka hal inilah yang menyebabkan penulis tertarik untuk menulis tesis ini

(14)

yang berjudul : “Analisis Yuridis Mengenai Fungsi Bank Indonesia Sebagai Lender

of the Last Resort Perbankan”.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Mengapa fungsi lender of the last resort perlu ada pada Bank Sentral ? 2. Bagaimana penerapan fungsi lender of the last resort oleh Bank Indonesia? 3. Bagaimana implikasi hukum dalam penerapan fungsi lender of the last resort?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian tesis ini adalah untuk menambah pemahaman tentang aspek-aspek hukum dari permasalahan yang telah dirumuskan dengan cara mengumpulkan, mensistimasikan dan menganalisis data yang relevan dengan masalah yang diteliti. Secara lebih rinci tujuan penelitian ini sedikitnya meliputi : 1. Untuk mengetahui mengapa fungsi lender of the last resort ada pada Bank

Sentral.

2. Untuk menganalisis penerapan fungsi lender of the last resort oleh Bank Indonesia terhadap bank yang menghadapi permasalahan likuiditas.

3. Untuk menganalisis implikasi hukum yang timbul dalam pelaksanaan fungsi

(15)

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis manfaat penelitian tesis ini diharapkan untuk menambah pengetahuan teoritis terkait kaidah hukum, teori dan doktrin ilmu hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi lender of the last resort oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia. Manfaat yang lebih praktis dari hasil penelitian diharapkan sebagai berikut :

1. Memberikan masukan kepada Bank Indonesia, khususnya terkait dengan

penerapan fungsi lender of the last resort dan mencegah atau menghindari implikasi hukum yang mungkin terjadi.

2. Bahan masukan bagi Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa

Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Peradilan terkait dengan pelaksanaan fungsi lender of the last resort oleh Bank Indonesia dan upaya mencegah dan mengatasi krisis perbankan.

3. Bahan masukan dan sumber informasi bagi pihak-pihak yang memerlukan, antara

lain kalangan perbankan, perguruan tinggi, praktisi hukum, media masa dan masyarakat secara umum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Program Magister Studi Ilmu Hukum tidak ditemukan penelitian yang terkait dengan permasalahan yuridis dari pelaksanaan fungsi lender of the last resort oleh Bank Indonesia terhadap perbankan.

(16)

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa penelitian tesis tentang Analisis Yuridis

Mengenai Fungsi Bank Indonesia Sebagai Lender Of The Last Resort Perbankan ini

belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi, penelitian ini dapat disebut asli sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Sejarah keberadaan lender of the last resort (LoLR) tidak terlepas dari sejarah keberadaan bank sentral. Fungsi bank sentral sebagai LoLR telah dikenal sejak akhir abad ke 19 dan peranan tersebut semakin menonjol sejak perekonomian suatu negara menerapkan sistem fiat money, khususnya lagi sejak runtuhnya sistem standar emas (gold standard) pada pertemuan Bretton Woods pada tahun 1973. Pada dasarnya LoLR adalah pemberian fasilitas pinjaman kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan berfungsi untuk mencegah terjadinya krisis keuangan yang sistemik. Mengingat risiko sistemik yang terjadi di perbankan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian, maka terdapat konsesus bahwa perlunya menciptakan suatu mekanisme untuk mencegah terjadinya krisis tersebut dengan intervensi langsung dari bank sentral dengan menyediakan fasilitas pinjaman (LoLR) kepada bank dalam rangka menutupi liquidity mismatch. Secara teoritis, intervensi bank

(17)

sentral/pemerintah diperlukan dalam hal terjadi mekanisme pasar tidak sempurna, khususnya dengan adanya market failure. Pada dasarnya terdapat 2 (dua) jenis market

failure yang merupakan karateristik dari sektor perbankan, yaitu kemungkinan

terjadinya kesulitan likuiditas, dan risiko sistemik kegagalan bayar suatu bank terhadap bank lainnya (systemic risk).19

Landasan teoritis doktrin LoLR pertama sekali disusun oleh Henry Thornton pada tahun 1802. Thornton mengemukakan elemen-elemen dasar praktek bank sentral yang baik dalam kaitannya dengan pemberian pinjaman darurat. Kemudian Walter Bagehot pada tahun 1873, yang lebih dikenal sebagai peletak teori LoLR modern mengembangkan karya Thornton (meskipun sama sekali tidak merujuk namanya). Bagehot mengemukakan 4 (empat) pilar sebagai dasar LoLR, yaitu :

20

a) Bank Sentral sebagai lender of the last resort harus mencegah terjadinya kebangkrutan bank yang sehat akibat kekurangan likuiditas;

b) Bank Sentral harus memberikan pinjaman dengan bebas tetapi mengenakan penalti;

c) Bank Sentral harus mengakomodir siapa saja yang memiliki jaminan (collateral) dengan nilai yang berkualitas tinggi;

d) Bank Sentral harus menyatakan kesiapannya untuk memberikan pinjaman. Disamping empat pilar tersebut, ada 2 (dua) prinsip operasional khusus yang juga harus diterapkan. Pertama, Pelaksanaan LoLR oleh bank sentral bersifat diskresi, bukan mandatori. Kedua, pertimbangan bank sentral bukan hanya kesulitan likuiditas

19 Iman Sugema & Iskandar Simorangkir, loc.cit., hlm. 3.

20 Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank Suatu Gagasan Tentang Pendirian

Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, (Jakarta : Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum

(18)

yang dihadapi individual bank, akan tetapi juga mempertimbangkan dampak tularan kesulitan tersebut kepada bank lain.21

Kehadiran bank sentral dalam fungsinya menjalankan LoLR dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian karena dapat mengurangi terjadinya krisis keuangan yang lebih parah dan mengurangi terjadinya fluktuasi dalam siklus ekonomi.22

Berdasarkan fungsinya, terdapat dua jenis LoLR, yaitu : (i) LoLR normal dan (ii) LoLR krisis.

Secara umum fasilitas LoLR berfungsi untuk : (i) mencegah terjadinya

bank-run yang terjadi secara individual maupun yang bersifat sistemik, dan (ii)

mengatasi masalah kesulitan likuiditas yang terjadi secara temporer. Fungsi yang pertama dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan terjadinya panik diantara penabung. Jadi fungsi ini bersifat untuk selalu menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Fungsi yang kedua dimaksudkan untuk menghindari terjadinya interupsi dalam cash flow suatu bank akibat mismatch antara kewajiban dan kekayaan bank yang bersifat sangat jangka pendek (day to day basis). Interupsi dalam cash flow dapat menjadi ancaman yang serius tidak hanya bagi bank itu sendiri, tetapi juga bagi bank-bank lainnya.

23

21 Rosa Maria Lastra, Crises Management and Lender of Last Resort, dalam Rosa M. Lastra (ed),

Bank Failures and Bank Insolvency Law in Economies in Transition, (The Hague : Kluwer Law

International, 1999), hal 23), di dalam Zulkarnain Sitompul, Ibid...hlm. 106.

LoLR normal adalah pemberian bantuan likuiditas yang bersifat sementara oleh bank sentral kepada bank. Pemberian fasilitas LoLR ini harus

22 Miron, Jeffrey A, “Financial Panics, the Seasonality of the Nominal Interest Rate, and the

Founding of the Fed”, American Economic Review 76, March 1986, page 125-140.

23 Lind, Goran, and Michael Taylor : “Financial Safety Net”. Presentasi di Bank Indonesia, Jakarta, Mei 2003.

(19)

didukung dengan jaminan (collateral) yang cukup dan berfungsi menjaga kelancaran sistem pembayaran dan stabilitas moneter. Sementara LoLR krisis adalah pemberian fasilitas pinjaman likuiditas kepada bank dalam rangka menghindarkan risiko sistemik pada perbankan secara keseluruhan. Pemberian fasilitas ini dapat dimungkinkan diberikan kepada bank-bank yang kurang jaminan dan bank yang

insolvent tetapi dengan jaminan pemerintah.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan akhir dari LoLR adalah untuk mencegah terjadinya bank run yang sistematis, maka pemberian LoLR seharusnya tidak diberikan untuk kegiatan yang terkait dengan kebijakan pemberian kredit individual bank. LoLR tidak diberikan untuk bank-bank yang tidak sehat sehingga bank-bank yang dikelola tidak sehat seharusnya ditutup. Bank-bank yang tidak sehat tidak mempunyai dampak yang luas (spillover effect) sehingga pemberian LoLR tidak diperlukan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sebelum LoLR diberikan kepada bank, maka harus jelas dibedakan antara bantuan likuiditas untuk meningkatkan stabilitas moneter dengan bantuan likuiditas untuk melindungi kepentingan pemilik dan manajemen bank. Pemisahan tersebut perlu dibedakan mengingat pemberian likuiditas dari LoLR berasal dari pencetakan uang baru yang merupakan hak monopoli bank sentral. Selain itu, untuk mencapai tujuan akhir ini, maka LoLR harus dapat merespon dengan cepat suatu krisis dan ruang lingkup cakupannya harus luas.

(20)

Secara teoritis, pentingnya fungsi LoLR dikemukakan oleh Diamond dan Dybvig.24

Jika kepanikan diantara nasabah terjadi, maka bukan hanya posisi finansial bank yang terganggu, tetapi juga perusahaan-perusahaan yang melakukan investasi mengalami kesulitan untuk membiayai kelanjutan investasi. Dengan demikian, dampak dari kepanikan akan secara langsung mengakibatkan produksi barang-barang dan jasa-jasa menjadi terganggu. Investasi yang sedang berjalan tidak bisa dilanjutkan dan investasi yang direncanakan menjadi tidak dapat direalisasikan. Kondisi tersebut Pada dasarnya, argumen mereka dilandasi oleh kenyataan bahwa transaksi perbankan memiliki karateristik sebagai berikut : (i) bank meminjam dana dari nasabah secara jangka pendek dalam bentuk tabungan dan deposito, dan (ii) bank menyalurkan kredit yang bersifat jangka panjang kepada debitur. Dari realitas tersebut ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, selama nasabah percaya bahwa dananya relatif aman serta ada kepastian bahwa mereka dapat menarik dana sesuai dengan kebutuhan, maka nasabah akan terus menyimpan dananya di bank. Dalam kasus seperti ini bank dapat berfungsi secara baik dalam intermediasi finansial, yaitu mentransformasikan kewajiban-kewajiban jangka pendek menjadi investasi jangka panjang. Kedua, jika nasabah tidak yakin bahwa dananya akan dikembalikan sepenuhnya oleh bank, maka akan terjadi bank-run, yaitu dimana sebagian besar atau seluruh nasabah menarik simpanannya secara serentak dari bank. Dalam keadaan seperti ini fungsi intermediasi finansial menjadi hilang.

24 Diamond, Douglas W, and Philip H. Dybvig, “Bank Runs, Deposit Insurance, and Liquidity”, Journal of Political Economy, June 1983, 91(3), dalam Iman Sugema & Iskandar Simorangkir : Peranan The Lender of Last Resort (LOLR) Terhadap Perekonomian, Loc.Cit. hlm. 4.

(21)

sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadori dan Rekan untuk kasus BLBI.25

Pemberian BLBI pada saat krisis 1997/1998 merupakan suatu opsi dilematis yang harus dihadapi Pemerintah. Opsi ini adalah, pertama menutup sejumlah bank dengan risiko mengundang kepanikan para deposan, lumpuhnya seluruh sistem perbankan, kekacauan lalu lintas pembayaran dan kemandekan seluruh kegiatan ekonomi nasional. Kedua, menyelamatkan bank melalui pemberian bantuan likuiditas perbankan guna mencegah lumpuhnya sistem perbankan dengan risiko menimbulkan

moral hazard. Dengan demikian, keduanya mengandung risiko dan sangat dilematis.

Apapun kebijakan yang akan diambil akan selalu ada risiko yang mengikutinya. Akan tetapi, keputusan harus tetap diambil pemerintah dengan segala konsekuensi yang dikandungnya. Akhirnya, Pemerintah dengan tegas mengambil dua pilihan seperti dikemukakan di atas. Mula-mula bank yang tidak dapat diselamatkan lagi ditutup. Akan tetapi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya krisis kepercayaan terhadap sistem Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian LoLR atau BLBI oleh BI dapat mencegah terjadinya kontraksi perekonomian Indonesia yang lebih parah lagi jika dibandingkan tidak ada pemberian BLBI. Dengan mengasumsikan terjadinya dooms day, maka tanpa adanya pemberian fasilitas LoLR/BLBI kepada bank, maka fungsi intermediasi perbankan terhambat dan sistem pembayaran dalam dan luar negeri terganggu sehingga secara keseluruhan ekonomi akan mengalami kontraksi yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan perekonomian dengan BLBI.

25 Hadori, HBL dan Rekan, “BLBI Dari Aspek Ekonomi dan Keuangan : Suatu Alternatif

(22)

perbankan nasional. Untuk mencegah dampak seperti ini, uang para deposan yang terdapat pada bank yang ditutup ditalangi. Sementara itu, bagi bank-bank yang masih mungkin diselamatkan diberikan likuiditas melalui Bank Indonesia.26

Agak berbeda dengan krisis yang terjadi pada tahun 2008, dimana untuk menanggulangi krisis yang merupakan dampak dari situasi krisis global pemerintah menyusun suatu kerangka sistem hukum pencegahan krisis (crisis prevention) dengan mengeluarkan tiga PERPPU sekaligus, masing-masing; PERPPU No. 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Undang-Undang Bank Indonesia, PERPU No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Undang-Undang Lembaga Penjaminan Simpanan dan PERPPU No. 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

Namun, ketentuan hukum yang dipakai Bank Indonesia adalah untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank dalam situasi normal, sementara keadaan dalam situasi krisis.

Kerangka JPSK sebenarnya telah mulai disusun Pemerintah dan Bank Indonesia sejak tahun 2005, tetapi Rancangan Undang-Undang Tentang JPSK tersebut belum juga diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Pemberian BLBI pada krisis 1997/1998 yang mengacu pada Pasal 32 ayat (3) dan Penjelasan Umum angka III huruf b UU No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral, memberi banyak pelajaran bagi Pemerintah dan BI khususnya dalam menjaga sistem keuangan. Salah satu instrumen JPSK tersebut adalah pengimplementasian fungsi BI sebagai LoLR.

26 Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan Judicial Watch Indonesia, BLBI Perspektif

(23)

Dengan berdasarkan PERPPU No. 2 Tahun 2008, untuk mengantisipasi krisis global Bank Indonesia mengeluarkan perangkat ketentuan yang menyempurnakan ketentuan sebelumnya, yang terdiri dari:

1) Peraturan Bank Indonesia No. 10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum;

2) Peraturan Bank Indonesia No. 10/30/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 10/26/PBI/2008, yaitu mengubah Pasal 2 dan 4 serta menambahkan Pasal 17A.

3) Peraturan Bank Indonesia No. 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum.

Pelaksanaan fungsi lender of the last resort oleh Bank Indonesia, seperti dalam pemberian BLBI dan FPJP, dan demikian juga dengan keputusan bailout Bank Century merupakan cerminan dari teori utilitarisme. Teori tersebut untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Jeremy Bentham,27

27 Jeremy Bentham (1748-1832), karyanya “An Introduction to the Priciples of Morals and

Legislation”, pertama kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rukukan (locus classicus) tradisi utilitarian. Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti “manfaat”. Diktum

Bentham yang selalu dikenang, yakni bahwa mereka diharapkan mampu memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang lain, Ian Saphiro, Asas Moral Dalam Politik, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Amerika Serikat dan Freedom Institute, 2006), hlm 13.

yang dalam karya tulisnya yang berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation” menjelaskan bahwa suatu kebijakan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau hanya mendatangkan manfaat bagi orang banyak sebanyak mungkin. Dalam hal ini utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan, baik buruknya tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika suatu perbuatan

(24)

mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik (the

greatest good for the greatest number). Artinya, bahwa hal yang benar didefinisikan

sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya bagi kebanyakan orang.28 Jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat, perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan tersebut memang menentukan seluruh kualitas moralnya. Perbuatan yang memang bermaksud baik, tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik.29

Moral biasanya mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Disamping itu, moralisme hukum paling baik dipahami sebagai pola alami institusional, yakni pola dari upaya untuk membuat nilai-nilai menjadi efektif untuk memberikan arahan bagi tingkah laku manusia. Moralitas “dilegalisasi” ketika ideal-ideal kebudayaan diindentikkan dengan suatu gambaran pasti mengenai tatanan sosial. Sehingga, moralisme hukum bergerak kearah hukum punitif, yakni dengan memasukkan suatu kecenderungan untuk memberi sanksi ke dalam proses hukum.

30

Prinsip Utilitarian menyatakan bahwa suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan

28 Erni R. Ernawan, Business Ethics : Etika Bisnis, (Bandung : Alfabeta, 2007), hlm 93. 29 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), hlm 67.

30 Phillippe Nonet & Phillip Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Harper & Row, New York, 2003, diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco, Hukum Responsif Pilihan di

Masa Kini, (Jakarta : Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis),

(25)

tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan.31 Menurut teori ini sesuatu adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi, utilitarianisme tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis. Dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik.32

Menurut Roscoe Pound hukum adalah katalisator dari kepentingan-kepentingan yang saling berkonflik, dan sebuah pedoman perikelakuan yang bertujuan untuk menciptakan kebaikan dan menjadi alat bagi pemenuh kebutuhan dengan sedikit sekali memunculkan friksi dan kesia-siaan. Peran pembuat hukum dalam hal ini vital, terutama dalam menciptakan keseimbangan hak dalam masyarakat, bahkan pengadilan dengan pertimbangan hukumnya dapat memberikan keadilan bagi anggota masyarakat yang kehilangan haknya.

Hal ini dapat dipahami dari alasan diberikannya bantuan likuiditas pada bank-bank yang masih mungkin diselamatkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.

33

31 Manuel G. Velasquez, Business Ethics : Concepts and Cares (fifth edition), Pearson Education Inc, 2002, hal 76 : “An action is right from an ethical point of view if and only if the sum total of

utilities produced by that act is greater than the sum total of utilities produced by any other act the agent could have performed in its place”.

Identifikasi Pound adanya kepentingan dalam masyarakat yang bahkan dapat saling berkonflik memunculkan pemikiran bahwa

32 K. Bertens, Op.Cit, hlm 66.

33 Lihat Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 110.

(26)

hukum harus menjadi sarana rekayasa sosial.34 Namun demikian, Pound juga tidak menafikan bahwa ada bias dalam penilaian apabila sebuah kepentingan telah dilekati oleh kepentingan sosial yang berlawanan dengan kepentingan pribadi. Dicontohkan olehnya sebuah pabrik disekitar pemukiman sedemikian mengganggu warga sekitar, padahal pabrik tersebut mendatangkan keuntungan dan pekerjaan bagi warga sekitar. Menurutnya penyelesaian hal tersebut harus dipertimbangkan secara proporsional. Kepentingan pengusaha harus melihat kepentingan sosial dan dalam hal tertentu kepentingan sosial perlu dikaji secara terpisah, sehingga dapat menghasilkan keputusan yang adil bagi semuanya.35

Mengacu kepada pendapat Roscoe Pound tersebut, maka dalam konteks penyaluran dana oleh Bank Indonesia kepada bank yang bermasalah, seperti dalam rangka pemberian BLBI maupun FPJP, haruslah dilihat untuk kepentingan yang jauh lebih besar yaitu untuk menyelamatkan ekonomi nasional, khususnya menjaga kestabilan sistem perbankan. Apabila dianggap terdapat permasalahan hukum dalam kebijakan tersebut, tentunya harus mempertimbangkan pula manfaat yang jauh lebih besar yang diperoleh, yaitu terjaganya kestabilan sistem perbankan nasional, dan tidak semata-mata melihat kepada besarnya dana yang dikeluarkan.

Sejalan dengan perkembangan industri perbankan serta tuntutan pembangunan ekonomi nasional dan internasional, hukum berkembang dan berperan mengatur dengan menciptakan pola-pola kelakuan baru yang disesuaikan dengan

34 Ibid, hlm. 111. 35 Ibid, hlm. 112.

(27)

perkembangan pembangunan ekonomi tersebut. Karena pada dasarnya ilmu ekonomi adalah alat yang sangat kuat untuk menganalisis a vast range pertanyaan-pertanyaan hukum. Dan hakikat dari fungsi hukum tersebut adalah mengikuti perubahan-perubahan dalam komponen di luar hukum dan sedapat mungkin mengesahkan perubahan-perubahan tersebut. Menyusun suatu kerangka sistim hukum pengaman keuangan nasional bagi sektor perbankan untuk mencegah dan menanggulangi krisis yang merupakan dampak dari hubungan ekonomi internasional tersebut. Disini sistem hukum berfungsi sebagai alat untuk mengadakan perubahan sosial yang terencana.36 Lawrence Milton Friedman mengemukakan bahwa sistem hukum yang berlaku pada suatu negara terdiri dari tiga elemen atau unsur ; Pertama, struktur hukum yang merupakan kerangka dari sistem hukum tersebut secara keseluruhan. Struktur inilah yang memberikan bentuk pada sistem hukum yang menopang sistem hukum tersebut. Struktur tersebut menggambarkan bagaimana kekuasaan dalam suatu negara didistribusikan dan dilaksanakan. Bagaimana selanjutnya pendelegasian wewenang pada masing-masing lembaga dalam negara, yang menjadi hak dan wewenang masing-masing, termasuk sistem peradilan yang berjalan di suatu negara.37

36 Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Diktat Teori Hukum, (Medan : Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, 2007).

Dalam sistem hukum perbankan yang termasuk struktur adalah institusi yang menjadi otoritas yang mengeluarkan peraturan-peraturan perbankan serta mengawasi berfungsinya sistem perbankan yang sehat, yaitu Bank Indonesia.

37 Teori sistem hukum ini diperkenalkan oleh Lawrence M. Friedman, A History of American Law, (New York : W.W. Norton & Company), hlm 5-8, terjemahan bebas ke Bahasa Indonesia.

(28)

Kedua, substansi hukum yang merupakan aturan-aturan hukum yang berlaku, norma-norma dan pola perilaku dari setiap anggota masyarakat dalam sistem hukum yang berlaku tersebut. Aturan hukum disini tidak hanya tertulis dalam peraturan perundang-undangan, melainkan juga aturan-aturan yang hidup dalam anggota masyarakat. Substansi inilah yang mengisi sistem hukum yang menentukan bagaimana suatu masyarakat dapat dan harus berjalan, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.38

Ketiga, unsur terakhir dalam sistem hukum adalah budaya hukum, yang melambangkan sikap masyarakat terhadap hukum, menggambarkan bagaimana kepercayaan nilai-nilai dan ekspektasi mereka terhadap hukum, mencakup mengenai siapa dan bagaimana menentukan struktur dan substansi hukum berjalan dan digunakan.

Dalam sistem hukum perbankan, yang termasuk substansi adalah setiap regulasi dan kebijakan yang berkaitan dengan perizinan, kegiatan usaha dan pembubaran bank, baik yang diberlakukan secara individual maupun secara sistem.

39

38 Ibid, hlm 6.

Dalam sistem hukum perbankan yang termasuk dalam budaya hukum adalah hal-hal yang terkait dengan cara aparat otoritas perbankan yang melaksanakan hukum perbankan maupun bagaimana para pengurus atau pemilik bank memahami, mematuhi dan melaksanakan ketentuan serta kebijakan perbankan, seperti prinsip kehati-hatian (prudential banking). Dalam konteks ini, tidak terlepas pula aspek

(29)

politik hukum yang mempengaruhi penerapan kebijakan dan ketentuan di bidang perbankan.

Pandangan Friedman tersebut pada dasarnya merupakan refleksi dari pandangan sebagian besar kalangan akademisi hukum yang melihat hukum sebagai salah satu fenomena sosial. Hukum adalah bayangan dari masyarakat setempat. Hukum sebagai suatu sistem tidaklah berdiri sendiri melainkan merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat. Setiap aspek dalam hukum dipengaruhi oleh kehidupan ekonomi dan budaya masyarakat.40

Dengan demikian, untuk memfungsionalkan hukum mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki, maka pembangunan hukum mutlak dilakukan.

41

40 Pendapat ini seringkali disebut “mirror theories of law”. William Ewald, Comparative

Jurisprudence (II) : The Logic of Legal Transplant”, American Journal Comparative Law (Fall, 1995)

hlm 492, di dalam Gunawan Wijaya, Refleksi Sepuluh Tahun Undang-Undang Kepailitan dan

Antisipasi Dampak Krisis Moneter Global dan Efektifitas Pengadilan Niaga, Jurnal Hukum Bisnis,

Volume 28, No.1, Tahun 2009, hlm 11.

Kajian terhadap indikasi tidak berfungsinya hukum dengan baik (low based failure) merupakan kajian hukum yang harus dilakukan secara mendalam guna menjawab permasalahan-permasalahan yang menghambat peranan hukum dalam pembangunan.

41 Pembangunan hukum mempunyai makna ganda sebagaimana yang dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja, yaitu sebagai berikut :

1) Pembangunan hukum bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengertian yang biasanya disebut sebagai modernisasi hukum;

2) Pembangunan hukum bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-perubahan sosial sebagaimana yang dibutuhkan masyarakat yang sedang membangun.

Di dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung : Alumni, Bandung 1983), hlm 221.

(30)

Sesuai dengan pendapat Burg’s mengenai hukum dan pembangunan dimana setidaknya ada lima unsur kualitas hukum yang harus dipenuhi agar tidak menghambat pertumbuhan ekonomi, yaitu stabilitas (stability), prediksi (predictability), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan khusus bagi para sarjana hukum (the special development abilities of the lawyer).42. Burg’s menjelaskan bahwa unsur pertama dan kedua merupakan prasyarat agar sistem perekonomian dapat berfungsi baik. Dalam konteks pelaksanaan fungsi lender of the

last resort oleh Bank Indonesia, stabilitas diartikan bahwa peraturan

perundang-undangan yang mengatur akses terhadap bantuan likuiditas (liquidity support) terakomodasi dengan baik dan tidak terjadi benturan kepentingan (conflict of interest) satu sama lain, sedangkan prediksi merupakan suatu kebutuhan untuk bisa memprediksi penerapan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan liquidity

support. Hukum harus dapat mencegah dampak buruk dari adanya akses pendanaan

BLBI dan FPJP, salah satunya agar tidak menimbulkan celah terjadinya moral hazard bagi pemegang saham pengendali (PSP) dan pengurus bank.43

42 Leonard J. Theberg, Law and Economic Development, Journal of International Law and Policy, Vol 9, page 232, di dalam Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung : Books Terrace & Library, 2007), hlm. 37-38.

Diantara kedua unsur itu penting pula diperhatikan aspek keadilan (fairness), seperti perlakuan yang sama

43 PSP adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang :

1) Memiliki saham bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan bank dan mempunyai hak suara;

2) Memiliki saham bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan bank dan mempunyai hak suara, namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian bank, baik secara langsung maupun tidak langsung.

PBI No. 8/16/PBI/2006 Tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia, Pasal 1 ayat (3).

(31)

dan standar pola tingkah laku pemerintah selaku otoritas di bidang fiskal dan Bank Indonesia di bidang moneter dan pengawasan bank, yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.44

Terkait dengan pemberian BLBI, FPJP dan bailout Bank Century, yang diharapkan tentunya agar dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat sehingga tercipta keadilan sosial yang merata. Menstabilkan kinerja bank yang menghadapi kesulitan likuiditas sehingga bank menjadi sehat dan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk tetap menyimpan uang di bank pada akhirnya mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Implementasi ketiga unsur tersebut harus diterapkan dalam kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia sehingga dapat menjaga stabilitas pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan.

2. Konsepsi

Guna menghindari terjadinya perbedaan dalam penafsiran istilah yang digunakan

dalam penelitian ini, berikut dijabarkan definisi dari istilah tersebut : a. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia45

44Bismar Nasution, “Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Ekonomi”, Pidato pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Universitas Sumatera Utara, Medan, 17 April 2004, hlm 12.

. Bank Sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,

45 Pasal 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009.

(32)

mengatur dan mengawasi perbankan serta menjalankan fungsi sebagai lender

of the last resort.46

b. Lender of the last resort (kreditur akhir), salah satu fungsi dari bank sentral

untuk memberikan kredit kepada perbankan karena sumber pembiayaan lain telah tertutup.47

c. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

48

d. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.49

e. Bank Bermasalah adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam bentuk kesulitan likuiditas dan/atau kesulitan solvabilitas yang membahayakan kelangsungan usahanya.50

f. Bank Gagal adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank Indonesia.51

46 Penjelasan atas Pasal 4 ayat (1) UU Tentang Bank Indonesia. 47 Kamus Perbankan, Loc. Cit. hlm 96.

48 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

49 Pasal 1 angka 3, Ibid.

50 Pasal 1 angka 2 Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/31/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum.

(33)

g. Kesulitan Likuiditas adalah kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif.52

h. Permasalahan solvabilitas adalah kesulitan permodalan yang dialami bank sehingga tidak memenuhi Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.53

i. Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal secara efektif menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional.54

j. Dampak Sistemik adalah potensi penyebaran masalah (contagion effect) dari satu bank bermasalah ke bank lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga mengakibatkan kesulitan likuiditas bank-bank lain dan berpotensi menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dan mengancam stabilitas sistem keuangan.55

k. Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia yang diputuskan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK), yang dijamin oleh Pemerintah kepada bank yang mengalami kesulitan

51 Pasal 1 angka 3, Ibid. 52 Pasal 1 angka 5, Ibid. 53 Pasal 1 angka 6, Ibid. 54 Pasal 1 angka 7, Ibid. 55 Pasal 1 angka 8, Ibid.

(34)

likuiditas yang memiliki dampak sistemik dan berpotensi krisis namun masih memenuhi tingkat solvabilitas.56

l. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) adalah komite yang terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota yang berfungsi sebagai sarana pengambilan keputusan pemberian FPD.57

m. Likuiditas adalah kemampuan untuk memenuhi seluruh kewajiban yang harus dilunasi segera dalam waktu yang singkat; sebuah perusahaan dikatakan likuid apabila mempunyai alat pembayaran berupa harta lancar yang lebih besar dibandingkan dengan seluruh kewajibannya.

58

n. Bank run, rush (penarikan massal), penarikan tunai secara besar-besaran di

luar perkiraan karena menurunnya kepercayaan nasabah penyimpan dana karena kekhawatiran bank akan ditutup.

59

o. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah fasilitas yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi bank-bank umum untuk memperlancar pengaturan likuiditas sehari-hari, atau untuk menanggulangi kesulitan likuiditas sementara sebagai akibat ketidaksesuaian pendanaan (mismatch).60

56 Pasal 1 angka 9, Ibid. 57 Pasal 1 angka 10, Ibid.

58 Kamus Perbankan, (Jakarta : Bank Indonesia, 1999), hlm 105. 59 Ibid, hlm. 178.

60 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271/Kep/Dir Tanggal 6 Maret 1998 tentang Fasilitas Diskonto, Sanksi Pelanggaran Giro Wajib Minimum dan Sanksi atas Saldo Giro Negatif di Bank Indonesia.

(35)

p. Bailout (bantuan penyelamatan), bantuan keuangan kepada bank tertanggung

atau lembaga tabungan yang mengalami kerugian karena kredit macet, kondisi pasar yang lesu, atau penarikan dana dalam jumlah besar secara tiba-tiba oleh para deposan; pengupayaan akuisisi oleh lembaga keuangan yang sehat; dalam hal tertentu dana asuransi simpanan (deposit insurance fund) memberikan bantuan dalam bentuk surat utang (promissory notes) untuk menutup perbedaan perkiraan nilai pasar dari aset dan kewajiban bank (kekayaan bersih bank telah menunjukkan posisi yang negatif) sehingga akan menyehatkan bank tersebut.61

q. Dana Pihak Ketiga, yang untuk selanjutnya disebut DPK, adalah kewajiban bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam Rupiah dan valuta asing.

62

r. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat.63

s. Giro Wajib Minimum, yang untuk selanjutnya disebut GWM adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK.64

61 Kamus Perbankan, Op.Cit, hlm 23.

62 Pasal 1 angka 3, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing.

63 Pasal 1 angka 4, Ibid. 64 Pasal 1 angka 9, Ibid.

(36)

t. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami oleh bank.65

u. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) dalam Rupiah sehingga bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM Rupiah.66

v. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek.67

w. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan hutang dalam mata uang rupiah yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.68

x. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN atau Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.69

65 Pasal 1 angka 4 PBI No. 10/26/PBI/2008 Tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum.

66 Pasal 1 angka 5, Ibid.

67 Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/39/DPM/2008 Perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.

68 Ibid. 69 Ibid

(37)

y. Obligasi Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah oleh badan usaha milik negara atau badan usaha swasta dan ditatausahakan di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).70

z. Aset Kredit adalah kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.71

G. Metode Penelitian

1. Jenis, Sifat dan Pendekatan Penelitian

Apabila dilihat dari permasalahan dan tujuan penelitian, maka jenis penelitian

yang sesuai dengan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif72

70 Ibid.

atau disebut juga penelitian hukum doktrinal. Fokus permasalahan penelitian adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan fungsi lender of the last

71 Ibid.

72 Penelitian hukum normatif tidak hanya merupakan penelitian terhadap teks hukum semata, tetapi melibatkan kemampuan analisis ilmiah terhadap badan hukum dengan dukungan pemahaman terhadap teori hukum namun pada derajat tertentu juga memerlukan refleksi kefilsafatan yang diperoleh melalui filsafat hukum atau dengan kata lain merupakan penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma. Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum

Normatif, (Malang : Bayumedia, Cetakan Ketiga, 2007), hlm 282.

Lihat juga Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1996), hlm 14, menyebutkan bahwa bentuk penelitian hukum dapat berupa ;

1) Inventarisasi hukum positif; 2) Penemuan asas hukum; 3) Penemuan hukum in concreto; 4) Perbandingan hukum.

Lihat juga Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers,1998), hlm 43, membagi penelitian hukum doktrinal/yuridis normatif sebagai berikut :

1) Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif;

2) Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah (dogma atau doktrinal) hukum positif;

3) Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.

(38)

resort dari sebuah bank sentral serta doktrin-doktrin atau teori-teori yang mendukung

argumentasi penelitian, khususnya doktrin atau teori terkait dengan pelaksanaan fungsi lender of the last resort sebuah bank sentral.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Dengan demikian, dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan secara akurat dan sistematik gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum terkait dengan kepastian hukum dalam pelaksanaan fungsi lender of the last resort sebuah bank sentral, tetapi ditujukan juga untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut dan kemudian mendeskripsikannya secara sistematis serta ditarik kesimpulan terhadap gejala hukum yang dipermasalahkan. Dalam konteks ini terutama dianalisis pelaksanaan LoLR oleh Bank Indonesia ketika terjadi krisis perbankan pada tahun 1997/1998 dan pengaruh krisis global pada tahun 2008.

2. Sumber Data

Penelitian tesis ini mempergunakan data sekunder sebagai data utama dan

didukung dengan data primer berupa hasil wawancara sebagai data pendukung analisis. Data sekunder yang dipergunakan berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang dikumpulkan melalui studi pustaka (library research), yakni :

a. Bahan hukum primer terdiri dari ;

1) Undang –Undang No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral.

2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

(39)

3) Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.

4) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. 5) Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

6) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

7) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan.

8) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

9) Peraturan Menteri Keuangan No. 136/PMK.05/2005 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pemberian Fasilitas Pembiayaan Darurat.

10) Peraturan Bank Indonesia No. 10/26/PBI/2008 Tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum

11) Peraturan Bank Indonesia No. 29/PBI/2008 Tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum

12) Peraturan Bank Indonesia No. 10/30/PBI/2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 10/26/PBI/2008 Tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.

(40)

13) Peraturan Bank Indonesia No. 10/31/PBI/2008 Tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum.

b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian dan keterangan pers. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus ekonomi, kamus perbankan, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris dan artikel-artikel lainnya, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, baik yang berdasarkan civil law maupun

common law. Situs web juga menjadi bahan penelitian sepanjang memuat

informasi yang relevan dengan penelitian ini, dan digunakan secara layak untuk tujuan ilmiah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data sekunder (bahan hukum) yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research). Tehnik ini dipergunakan untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya. Data primer sebagai data penunjang

(41)

dikumpulkan dengan menggunakan tehnik penelitian lapangan (field research) dengan alat pengumpulan data berupa wawancara.

4. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data sekunder dilakukan dengan menggunakan instrumen studi pustaka dan studi dokumen pada lokasi penelitian di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IX (Sumut-Aceh) di Medan dan Kantor Pusat Bank Indonesia di Jakarta. Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventarisasi seluruh data dan atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya, dilakukan pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah dipilih.

Data primer dikumpulkan dengan menggunakan wawancara. Tehnik wawancara dengan menggunakan wawancara tidak terstruktur dengan memakai pedoman wawancara. Wawancara dilakukan kepada beberapa pejabat Bank Indonesia di Kantor Pusat Jakarta yang terkait dengan proses pelaksanaan fungsi lender of the last

resort, dan juga dengan mantan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia.

5. Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan dengan studi kepustakaan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif yang didukung oleh logika berfikir secara deduktif sebagai berikut :

(42)

1) Mengumpulkan seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Bank Indonesia dan Perbankan dalam proses pelaksanaan fungsi lender of the

last resort dan mengumpulkan bahan sekunder yang relevan.

2) Memilah-milah peraturan perundang-undangan yang benar-benar sesuai dengan masalah penelitian dan menyusunnya secara sistematis.

3) Menafsirkan kaidah-kaidah hukum yang ada dan menelaah bahan hukum sekunder untuk menemukan konsep-konsep yang diperlukan, misalnya konsepsi tentang bank sentral, likuiditas, moneter, perbankan, dan lain-lain. 4) Menemukan hubungan antara konsep-konsep yang ada dengan menggunakan

kerangka teori yang sudah disusun, yakni teori-teori kesulitan likuiditas dan keuangan.

5) Mengumpulkan data wawancara dan mensistematisasikan data tersebut untuk mendukung argumentasi teoritis.

Referensi

Dokumen terkait

Studi yang dilakukan IMF pada tahun 1998 menyatakan bahwa faktor-faktor pendorong terjadinya krisis adalah defisit neraca berjalan, hutang luar negeri yang besar,

Secara keseluruhan, Adaptive Neuro Fuzzy Inference System (ANFIS) mampu melakukan training atas data dan memodelkan kelakuan hubungan input- output dengan baik, hal ini

Data yang ditampilkan pada Gambar 2 menunjukkan bahwa waktu mempunyai pengaruh yang besar pada proses imobilisasi papain pada matriks kitosan-Mg.. Pada waktu 3-9 jam

Hasil analisis data menunjukkan bahwa pembimbingan Program Pengalaman Lapangan yang dilakukan oleh guru pamong sudah sangat baik dan terlaksana sesuai

Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang pengaruh iklan layanan iklan layanan KB versi dua anak lebi baik terhadap perilaku, terdapat indikator variabel iklan layanan

On the supply side, enrolment is correlated with the change in public expenditure on education, availability of institutions at the preschool level, for Kazakhstan availability at

Sa Seksyon 10 naman ay nakapaloob ang pagbuo ng Solid Waste Management Committee para sa mga barangay sa matagumpay na pagpapatupad ng mga programa sa segregasyon, koleksyon,

Model peramalan terbaik untuk inflow uang kartal di KPw BI Surabaya, Malang, Kediri, dan Jember secara berturut-turut adalah model variasi kalender, fungsi transfer,