• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU TABUHAN KAB. BANYUWANGI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD. Reina Damayanti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMETAAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU TABUHAN KAB. BANYUWANGI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD. Reina Damayanti"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU TABUHAN KAB. BANYUWANGI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD

Reina Damayanti

Program studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura Email reina_damayanti29@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan penyebaran terumbu karang dengan menggunakan teknik penginderaan jauh memanfaatkan data citra satelit

Quicbird dan menggunakan algoritma Lyzenga. Pengambilan data lapang menggunakan

teknik LIT yang dimaksudkan sebagai data pembandingnya. Hasil klasifikasi terbagi menjadi 7 kelas yaitu semak belukar, vegetasi, pasir kasar, karang hidup, karang mati, pecahan karang (rable), dan pasir halus. Luas karang hidup 142.154,79 m2 dan karang mati 118,932,215 m2. Prosentase terumbu karang pada data lapang menghasilkan 66,15 % (kedalaman 3 m) dan 65,74 % (kedalaman 10 m) yang semuanya masuk dalam kategori baik. Uji akurasi terhadap citra satelit Quicbird memberikan hasil yang cukup memadai yaitu 60 %.

Kata kunci: terumbu karang, citra satelit Quicbird, teknik LIT (Line Intercept Transect), uji akurasi

PENDAHULUAN

Pulau-pulau kecil di Jawa Timur mempunyai potensi terumbu karang yang masih tergolong baik salah satunya terumbu karang yang berada di perairan Pulau Tabuhan. Mengingat terumbu karang mempunyai manfaat yang sangat besar bagi biota laut dan manusia tentunya keberadaanya perlu diperhatikan. Upaya pengembangan pulau-pulau kecil kini terus diupayakan oleh pemerintah untuk mencapai pulau-pulau kecil yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan sumberdaya alam yang bisa dimanfaatkan secara terus menerus (sustainable use). Ketersediaan data dan informasi mengenai potensi sumber daya alam pesisir dan laut yang akurat, up to date dan siap pakai menjadi hal penting dalam upaya pengembangannya, salah satunya informasi tentang terumbu karang. Penghitungan persentase terumbu karang dengan metode pengambilan data lapang memakan waktu lama dan biaya yang mahal daerah yang diperolehpun tidak luas oleh karena itu teknik penginderaan jauh dengan memanfaatkan data citra satelit Quickbird memberikan banyak keuntungan untuk diterapkan dalam pemetaan terumbu karang.

Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui kondisi dan penyebaran terumbu karang di Pulau Tabuhan Kabupaten Banyuwangi menggunakan citra satelit Quickbird, mengetahui persentase penutupan terumbu karang dengan menggunakan teknik LIT, dan menguji akurasi klasifikasi terumbu karang hasil analisa citra satelit Quickbird.

(2)

Terumbu Karang dan Citra Satelit Quickbird

Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang atau polip yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae. Terumbu karang terdiri dari dua kata yaitu terumbu dan karang. Terumbu adalah endapan masif batu kapur terutama kalsium karbonat (CaCO3), sedangkan karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum coelenterata (hewan berongga) atau cnidaria yang mampu mensekresi CaCO3. Penyebaran dan pertumbuhan terumbu karang dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu salinitas, cahaya, suhu, Ph, kejernihan air, arus, dan substrat (Nontji, 1993).

Citra Quickbird merupakan satelit sumberdaya bumi komersial dengan resolusi spasial tinggi milik perusahaan swasta AS Digital Globe. Tinggi lintasannya 450 km (sudut inklinasi 98°) dengan orbit sun synchronous, periode edar 93,5 menit. Lebar sapuan 16,5 km dengan waktu yang melintas ekuator pada pukul 10.30 waktu setempat. Resolusi temporal 1-3,5 hari tergantung posisi lintang. Quickbird mempunyai 5 saluran (band) yang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Saluran Citra Satelit Quickbird

Band Panjang Gelombang (µm) Resolusi Spasial (m) Daerah Spektrum

1 0,450 - 0,520 2,4 Biru

2 0,520 – 0,600 2,4 Hijau

3 0,600 – 0,690 2,4 Merah

4 0,760 – 0,900 2,4 Infra merah dekat

5 0,450 – 0,900 0,61 Pankromatik

Sumber : Arief (2008)

METODE

Lokasi penelitian pemetaan terumbu karang menggunakan citra satelit Quickbird di Pulau Tabuhan Kabupaten Banyuwangi. Penelitian dikerjakan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2011. Citra yang digunakan adalah Quickbird dengan akuisisi 20 Mei 2011. Band yang dipakai adalah band 1 dan band 2, algoritma yang digunakan adalah lyzenga (Wouthuyzen, 2001). Alat dan bahan yang digunakan adalah seperangkat komputer spesifikasi core i3, perangkat lunak pemprosesan data citra, perangkat lunak SIG, microsoft office dan printer. Menurut Siregar (2010) pengolahan citra terdiri dari: 1. Koreksi citra (koreksi geometri dan radiometri).

2. Cropping adalah pemotongan citra sesuai dengan wilayah penelitian.

3. Pemilihan training area, pemilihan area sebanyak 30 titik. Penentuan 30 titik dilakukan pada objek atau area pada citra baik band 1 dan band 2 yang secara visual diduga sebagai bagian dari ekosistem terumbu karang. Setelah itu melakukan penghitungan ragam (varian) dan peragam (covarian) dari band 1 dan band 2 yang dimaksudkan untuk mendapatkan nilai ki/kj dari algoritma Lyzenga.

4. Transformasi Lyzenga, menggunakan software ENVI 4.4. Metode yang digunakan adalah klasifikasi unsupervised-isodata dengan mengkelaskan menjadi 7 kelas. 5. Klasifikasi terumbu karang. Dalam penelitian ini, karena daratan tidak dipisah

dengan laut maka pengkelasan dibagi menjadi semak belukar, vegetasi, pasir kasar, terumbu karang, karang mati, rable, dan pasir halus. Cara pengerjaannya adalah setelah didapatkan peta hasil klasifikasi unsupervised kemudian di export ke Arc

(3)

GIS. Peta yang semula raster dirubah menjadi vektor sehingga bisa menambahkan informasi didalamnya yaitu berupa pengkelasan nama berdasarkan warna hasil klasifikasi unsupervised. Selain itu informasi mengenai luas keseluruhan tiap kelas pada citra Quickbird Pulau Tabuhan bisa diketahui dengan mengexport atribut table ke microsoft excel yang kemudian memanfaatkan tools pivot table.

Pengambilan data lapang menggunakan metode transek garis dengan melakukan penyelaman ke dasar perairan menggunakan peralatan selam scuba, pada kedalam 3 m dan 10 m. Selain itu juga melakukan pengukuran terhadap kualitas perairan meliputi kecerahan, salinitas, suhu, dan pH. Menurut English et al. (1994) prosedur kerja metode transek garis adalah sebagai berikut:

1. Merentangkan rol meter di atas ekosistem terumbu karang sepanjang 100 m.

2. Memperhatikan dan mengamati biota habitat dasar yang terbentang di bawah (menyinggung) rol meter sepanjang 100 m.

3. Setelah rol meter dibentangkan, pengambilan data bergerak perlahan dari titik nol untuk mencatat transisi dan lifeform (kategori)yang berada tepat di bawah transek pada lembar data (data sheet).

4. Pengambilan data harus mencatat kode lifeform biota habitat dasar dan transisi (dalam cm) tempat pergantian lifeform. Kemudian pencatatan dituliskan dalam lembar data sesuai dengan format tercantum.

Analisa data meliputi analisa data citra Quickbird, penghitungan persentase penutupan terumbu karang pada pengambilan data lapang serta uji akurasi terhadap keduanya. Analisa citra menggunakan algoritma Lyzenga, dimana koefisien attenuasinya harus dicari terlebih dahulu. Menurut Siregar (2010) koefisien attenuasi berguna untuk penajaman terumbu karang (ki/kj) yang didasarkan pada penghitungan ragam dan peragam yaitu:

(1)

(2)

Sedangkan formula untuk melakukan transformasi Lyzenga adalah: (3)

Penghitungan persentase penutupan terumbu karang pada data lapang (English

et al.1994 dalam Insafitri 2010) adalah:

% 100 %     transek panjang i ke kategori total panjang i ke jenis penutupan (4)

(4)

 75,0% - 100% = sangat baik  50,0% - 74,9% = baik

 25,0% - 49,9% = sedang  0,0% - 24,9% = buruk

Agar dapat mengetahui hasil pengolahan citra sesuai dengan data lapang maka langkah selanjutnya adalah membuat titik pada peta hasil penutupan terumbu karang, masing-masing kelas sebanyak 10 titik, yang kemudian membandingkannya dengan citra Quickbird komposit RGB (321). Hal ini karena citra Quickbird mempunyai resolusi spasial yang tinggi maka objek di muka bumi bisa diidentifikasi secara visual kecuali kelas karang hidup dan karang mati. Oleh karena itu kelas semak belukar, vegetasi, pasir kasar, pecahan karang (rable) di bibir pantai dan pasir halus langsung bisa dibandingkan. Khusus kelas karang hidup dan karang mati dibandingkan dengan data lapang. Uji akurasi dilakukan terhadap kelompok piksel yang mewakili objek tertentu yang diambil sebagai sampel dalam suatu poligon objek dengan koordinat lokasi yang sama di lapangan. Selanjutnya sampel yang telah diambil dari lapangan dibandingkan dengan piksel hasil klasifikasi. Metode ini dikenal dengan error matrix atau confution matrix.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai ki/kj 0, 9975, sehingga tranformasinya ketika diekstraksi ke dalam citra adalah (alog10(b1))+(0,9975*alog10(b2)) kemudian dikelaskan secara

unsupervised-isodata. Citra hasil ekstraksi algoritma Lyzenga menghasilkan pembagian objek

sebanyak 7 kelas kemudian dianalisis menggunakan software sistem informasi geografis, hasilnya bisa dilihat pada gambar 1.

(5)

Luas pada masing-masing kelas adalah untuk kelas semak belukar 1.317,31 m2, kelas vegetasi 3.448.395 m2, kelas pasir kasar 1.259.297,96 m2, kelas karang hidup 142,154,79 m2, kelas karang mati 118.932,215 m2, kelas pecahan karang (rable) 8.909.864 m2, dan pasir halus 5.824.910 m2 dimana dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Diagram Pie Luas Klasifikasi (m2)

Pengambilan data lapang menggunakan metode transek garis pada kedalaman 3 m dan 10 m. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran substrat terumbu karang pada kedalaman 3 m secara umum didominasi Hard Coral dari golongan Non

Acropora, yaitu Coral Branching (CB) dengan prosentase tutupan karang sebesar 33,05

%, spesies yang ditemukan pada kedalaman 3 m yaitu Montipora digitata, Porites

nigrescens, Porites cylindrica, Seriatopora hystrix, Seriatopora caliendrum. Selain itu

juga ditemukan Hard Coral dari golongan Acropora yaitu Acropora Branching (ACB) dengan persentase tutupan karang sebesar 8,8%, berasal dari spesies Acropora formosa,

Acropora sellago, Acropora tenuis.

Gambar 3. Total Persentase Tutupan Lifeform Berdasarkan Jenisnya Pada Kedalaman 3 m

Pada diagram pie persentase penutupan terumbu karang di kedalaman 3 m terbagi menjadi karang hidup 66,15 % (kategori baik), karang mati 3,8 %, biota lain 5,2 %, algae 0 %, dan abiotik 24,85 %. Pada kedalaman 10 m, terumbu karang yang banyak ditemukan sama dengan kedalaman 3 m yaitu jenis non Acropora (CB) sebesar 46,49

1.317,31 34.483,95 125.929,7 96 142.154,7 9 118.932,2 15 89.098,64 58.249,1 Semak Belukar Vegetasi Pasir Kasar Karang Hidup Karang Mati Pecahan Karang Pasir Halus 66,15% 3,80% 5,20% 0,00% 24,85% Karang Hidup Karang Mati Biota Lain Algae Abiotik

(6)

%. Pada Gambar 4 tercatat 65,74 % substrat tertutupi oleh karang hidup, hal ini termasuk dalam kategori baik. Koloni-koloni karang hidup yang ditemukan umumnya berukuran kecil dan pendek, memiliki bentuk hidup beragam yaitu bercabang, mengerak, lembaran, massif, submassif dan jamur. Akibat arus yang terlalu kencang, pengamat tidak melakukan pengamatan keanekaragaman jenis karang secara menyeluruh, namun secara kualitatif, dapat dipastikan lokasi ini memiliki kekayaan jenis karang yang cukup tinggi. Sebagian kecil jenis yang sempat tercatat oleh pengamat diantaranya adalah Hydnopora, Fungia, Euphyllia, Montipora, Galaxea, Millepora,

Porites, Favia, Pocillopora, Favites, Dendrophyllia, Cyphastrea, Montipora, Psammocora, dan Symphyllia. Karang mati yang ditemukan di lokasi ini relatif kecil,

hanya 4,7 %.

Gambar 4. Total Persentase Tutupan Lifeform Berdasarkan Jenisnya Pada Kedalaman 10 m

Uji akurasi menggunakan matriks kesalahan (error matrix atau confution matrix) dimana penghitungan uji akurasinya menggunakan data pada tabel matrix uji akurasi (Tabel 2). kelas 1 adalah semak belukar, kelas 2 vegetasi, kelas 3 pasir kasar, kelas 4 terumbu karang, kelas 5 karang mati, kelas 6 pecahan karang dan kelas 7 adalah pasir halus. Rumus uji akurasinya adalah (total diagonal dibagi dengan jumlah keseluruhan titik sampel) kemudian dikalikan 100 % atau (42/70)*100 % sehingga diperoleh nilai 60 %. Jadi nilai akurasi untuk mengetahui tingkat kebenaran pengolahan citra dengan keadaan sebenarnya di lapang sebesar 60 %. Lebih rincinya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Matrix Uji Akurasi

Citra Data lapang

1 2 3 4 5 6 7 Total Omisi 1 4 0 0 0 0 0 0 4 0 2 5 10 4 0 0 0 0 19 9 3 1 0 4 0 0 1 0 6 2 4 0 0 0 5 2 0 1 8 3 5 0 0 2 2 5 3 0 12 7 6 0 0 0 0 0 5 0 5 0 7 0 0 0 3 3 1 9 16 7 Total kolom 10 10 10 10 10 10 10 Komisi 6 0 6 5 5 5 1 Total diagonal 42 Sumber: data lapang

65,74 4,70 5,71 0,98 22,87 Karang Hidup Karang Mati Biota Lain Algae Abiotik

(7)

Hasil pengolahan citra Quickbird menggunakan algoritma Lyzenga didapatkan klasifikasi tutupan terumbu karang sebanyak 7 kelas dikarenakan dalam tahapan pengerjaannya tidak melakukan masking darat dan laut. Pada pengkelasan objek ada beberapa piksel yang terbaca masuk dalam kelas yang lain, misalnya karang hidup dan karang mati yang teridentifikasi di pulau. Selain itu kelas semak belukar, vegetasi dan pasir kasar. Pada citra Quickbird dengan komposit warna true color nampak jelas bahwa daerah tersebut adalah vegetasi di pulau namun setelah dilakukan ekstraksi algoritma Lyzenga lokasi tersebut terbaca menjadi pasir kasar. Hal ini dimungkinkan dalam penentuan 30 titik yang diduga terumbu karang kurang tepat sehingga berdampak pada nilai ki/kj yang diperoleh. Selain itu sinar pantulan yang diterima sensor dari objek yang ada di bumi dimungkinkan mengalami salah tafsir sehingga berdampak pada nilai pixel value yang juga digunakan dalam penentuan ki/kj. Pada penghitungan luas ditiap kelas didapatkan karang hidup lebih luas dari pada karang mati yaitu 142.154,79 m2 dan 118.932,215 m2. Pada pemetaan terumbu karang klasifikasi terumbu karang yang dihasilkan penggambarannya secara umum artinya hanya pada kenampakan yang terjadi di permukaan bumi setelah pengolahan citra dilakukan dan juga lebih didasarkan pada aspek keruangan dari karakteristik tempat tumbuh terumbu karang tersebut.

Pada kedalaman 10 m prosentase terumbu karang lebih kecil namun keanekaragaman jenis terumbu karang lebih banyak dan berukuran kecil. Hal ini dikarenakan topografi yang berbeda antara kedalaman 3 m dan 10 m. Pada kedalaman 10 m mempunyai kemiringan yang cukup curam antara 45°- 60°, arus perairan lebih besar. Menurut Nybakken (1988) arus sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang karena berkaitan dengan ketersediaan makanan jasad renik, oksigen maupun terhindarnya karang dari timbunan endapan, namun arus yang terlalu besar juga bisa mematahkan terumbu karang. Itulah sebabnya pada kedalaman 10 m terumbu karang lebih bervariasi jenisnya namun hampir semuanya berukuran kecil, diduga terumbu karang hanya mampu tumbuh sampai ukuran sedang.

Apabila dibandingkan dengan data kualitas air pada Tabel 4.3 menurut Nontji (2003) dan Nyabakken (1988) ambang batas untuk parameter pertumbuhan terumbu karang adalah suhu (25-28o C), pH (7.0-8.5), salinitas (27-40 ‰) dan kecerahan (> 3 m) maka dapat dijelaskan bahwa kondisi parameter-parameter kualitas perairan di kawasan Pulau Tabuhan masih berada dibawah ambang batas yang disyaratkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa perairan Pulau Tabuhan adalah perairan yang alami dan belum mengalami penurunan kualitas ataupun pencemaran yang diakibatkan baik oleh peristiwa alami atau akibat aktivitas manusia. Selain itu, perairan di sekitar Pulau Tabuhan masih sangat baik dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan kehidupan organisme laut sehingga prosentase karang hidup yang diperoleh di lokasi masuk dalam kategori baik. Pada penelitian Nababan (2009) di bagian timur perairan Pulau Rubiah Nangroe Aceh Darussalam prosentase terumbu karang yang didapatkan 73,10 % yang juga termasuk dalam kategori baik. Hal ini juga sama dikarenakan parameter kualitas air di lokasi penelitian masih dalam ambang batas baku mutu.

Pada tabel matrix uji akurasi terdapat kolom omisi dan komisi. Omisi adalah jumlah piksel yang masuk kekelas lain sedangkan komisi adalah jumlah piksel masuk

(8)

dari kelas lain. Terlihat bahwa omisi paling besar terdapat pada kelas vegetasi, hal ini dikarenakan pada waktu perbandingan antara citra hasil transformasi algoritma Lyzenga dan citra Quickbird komposit RGB nampak jelas perbedaan yang didapat. Pada citra komposit nampak jelas sebuah vegetasi namun pada citra hasil transformasi algoritma Lyzenga terbaca menjadi kelas yang lain misal pasir kasar. Komisi paling besar terdapat pada kelas semak belukar dan pasir kasar. Dua kelas tersebut banyak piksel yang masuk pada kelas vegetasi. Tentu permasalahannya sama, letak kesalahan terdapat pada waktu identifikasi. Semua itu akan mempengaruhi pada jumlah diagonal yang natinya dipakai dalam penghitungan uji akurasi.

Dalam penelitian ini didapatkan nilai uji akurasi adalah 60 %. Ada beberapa literatur yang menyebutkan nilai uji akurasi bisa dikatakan benar-benar mewakili keadaan lapang apabila nilainya minimal 80 %. Namun pada penelitian Siregar (2010) di kepulauan Seribu yang juga menggunakan citra satelit Quickbird didapatkan hasil uji akurasi 76% dan itu disimpulkan uji akurasinya memadai, yang menjadi patokannya adalah pesawat dan CASI dimana keduanya memiliki uji akurasi 67 % dan 81 %. Merujuk dari hal ini uji akurasi 60 % yang didapatkan bisa dikatakan juga cukup memadai, artinya informasi tutupan terumbu karang yang diberikan oleh citra Quickbird menggunakan algoritma Lyzenga cukup mewakili keadaan di lapang.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Kondisi dan penyebaran terumbu karang di Pulau Tabuhan tergolong dalam kategori baik, dengan luas karang hidup 142.154,79 m2.

2. Prosentase terumbu karang dengan menggunakan metode LIT pada kedalaman 3 m dan 10 m menghasilkan prosentase 66,15 % dan 65,74 % yang termasuk dalam kategori baik

3. Uji akurasi yang dihasilkan 60%, hal ini mengartikan bahwa pemetaan terumbu karang menggunakan citra satelit Quickbird dapat memberikan informasi yang cukup mewakili keadaan di lapang.

Saran

1. Sebaiknya dalam metode perlu melakukan masking (pemisahan darat dan laut) sehingga yang terinterpretasikan hanya objek di laut saja. Hal ini yang akan menyebabkan nilai omisi dan komisi menjadi lebih kecil.

2. Metode klasifikasi yang digunakan untuk pemetaan terumbu karang sebaiknya terbimbing (supervised) sehingga memungkinkan nilai uji akurasi yang didapat lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Arief M, 2008. Analisis Penentuan Ekosistem Laut Pulau-Pulau Kecil Dengan Menggunakan Data Satelit Resolusi Tinggi Studi Kasus Pulau Bokor. Majalah Sains dan Tekhnologi Dirgantara Volume 3 No 4 edisi Desember 2008: 149-157

(9)

DKP Provinsi Jawa Timur. 2011. Laporan Akhir Pemetaan Potensi Sumber Daya Pulau-Pulau Kecil. Jawa Timur

English SC, Wilkinson, dan Baker V. 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resources. Australian Institut Of Marine Science. Townsville

Insafitri. 2010. Prosentase Penutupan Terumbu Karang Di Pulau Kangean Sumenep. Bangkalan. Universitas Trunojoyo

Nababan T. 2009. Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian Timur Perairan Pulau Rubiah Nangroe Aceh Darussalam. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatra Utara

Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan

Noviar H dan Wiradisastra US. 2005. Kemampuan Interpretasi Kebun Semangka dari Citra Satelit Landsat 7 ETM+. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Surabaya: ITS

Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: Gramedia

Sirengar V. 2010. Pemetaan Substrat Dasar Perairan Dangkal Karang Congkak dan Lebar Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Satelit Quickbird. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis: IPB. Volume 2 No 1 edisi Juni 2010: 19-30 Wouthuyzen S. 2001. Pemetaan Perairan Dangkal Dengan Menggunakan Citra Satelit

LANDSAT TM 5 Guna Dipakai Dalam Pendugaan Ikan Karang: Suatu Studi Di Pulau-Pulau Padaido. In: Prosiding seminar potensi dan eksploitasi sumberdaya alam nasional dalam mendukung otonomi daerah di Jakarta; 29 Maret 2001. LIPI

Gambar

Gambar 1. Peta Penutupan Terumbu Karang Berdasarkan Pengolahan Citra
Gambar 2. Diagram Pie Luas Klasifikasi (m 2 )
Gambar 4. Total Persentase Tutupan Lifeform Berdasarkan Jenisnya Pada  Kedalaman 10 m

Referensi

Dokumen terkait

Kalau ia melihat dunia, ia tidak melihat dunia, ia tidak akan akan merasa senang di dalamnya sampai ia dapat melahirkan pertemuan kembali dengan Tuhan merasa senang di

Kombinasi aromatase inhibitor (AI), anti dopamian (AD) dan ovaprim dengan proporsi yang berbeda pada pemijahan ikan sumatra mampu mempercepat pematangan gonad dan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan cara-cara yang dipakai oleh guru dalam mensosialisasikan nilai-nilai karakter bangsa adalah sebagai berikut. 1)

Pelatihan dilaksanakan di tempat tersebut dengan pertimbangan, yaitu: (1) kedua kelompok mitra belum memiliki alat dan lokasi finishing, (2) lokasi adalah milik

Penurunan ketahanan putus ini juga berhubungan dengan menurunnya nilai MH, yang menjelaskan bahwa serat gebang belum dapat berfungsi sebagai bahan penguat pada komposit CR/NR..

DESKRIPSI SINGKAT : Dalam pertemuan ini Anda akan mempelajari kebutuhan zat makanan untuk itik petelur baik pada periode laying (bertelur) atau pada periode growing

Setiap dana zakat yang dihimpun oleh Laznas IZI akan disalurkan ke dalam berbagai program yang telah ditetapkan, untuk dana non halal pun memiliki program khusus