• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran yang efektif harus didasarkan pada pemahaman tentang bagaimana mahasiswa belajar. Perkembangan teori belajar dari perspektif konstruktivisme menyebutkan bahwa pengetahuan tidak pasif diterima oleh invididu tetapi dibangun oleh individu. Individu akan belajar lebih baik apabila mereka secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman mereka. Dalam hal ini terjadi pengalihan konteks pengetahuan sebagai suatu produk menjadi pengetahuan sebagai suatu proses (Schunk, 2012; Douglas & Morris, 2014). Pembelajaran konstruktivisme memandang bahwa masing-masing individu membentuk atau membangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajari dan pahami dengan menyesuaikan dan memperluas pengetahuan baru dengan pengetahuan lama (Schunk, 2012).

Perkembangan teori-teori pembelajaran pada penerapan di pendidikan tinggi semakin didukung dengan adanya konsep pembelajaran orang dewasa (adult learning). Teori pembelajaran orang dewasa dianggap sangat relevan karena populasi mahasiswa sebagai individu yang dewasa (Knowles, 1947 dalam Fry, et al., 2009). Berdasarkan prinsip pembelajaran orang dewasa, konsep experiential learning dan self regulated learning menjadi fokus penting dalam pengembangan pembelajaran (Pintrich, 2004; Bodkyn & Stevens, 2015).

Mahasiswa yang menyesuaikan diri dengan baik akan terlibat dalam pembelajaran dengan menilai kembali pengetahuan mereka sebagai suatu transisi melalui berbagai cara secara terus menerus. Keterlibatan mahasiswa dalam konteks pendidikan merujuk pada waktu, energi dan sumber-sumber yang dicurahkan oleh mahasiswa untuk kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan pembelajaran (D‟Souza et al., 2013).

(2)

2 Mahasiswa membutuhkan energi yang mendorong untuk terlibat aktif dalam proses belajar. Energi yang mendorong dikenal dengan istilah motivasi. Motivasi menjadi determinan penting untuk keberhasilan dan kualitas belajar mahasiswa (Karabulut, Aktas & Alemdar, 2015; Rose, 2011). Motivasi akademik didefinisikan sebagai energi yang dibutuhkan untuk proses akademik. Motivasi ialah proses mendorong dan mempertahankan tujuan dengan mengarahkan perilaku (Schunk et al., 2008).

Memahami faktor motivasi akan membantu untuk mengarahkan belajar mahasiswa (Rose, 2011). Ketika mahasiswa termotivasi, mahasiswa akan menunjukkan usaha belajar yang lebih baik. Siswa yang termotivasi untuk belajar akan mematuhi pengajaran dan melakukan aktifitas yang berkaitan dengan proses pembelajaran seperti mengolah informasi, menghubungkan dengan pengetahuan sebelumnya, dan mengajukan pertanyaan. Pada saat menghadapi tantangan yang lebih sulit, siswa yang memiliki motivasi akan mengembangkan energi yang lebih besar untuk mengatasi tantangan tersebut (Douglas & Morris, 2014; Bodkyn & Stevens, 2015; Orsini et al., 2015). Mahasiswa yang termotivasi secara internal akan memandang belajar sebagai kesempatan untuk memenuhi keingintahuannya.

Motivasi berkaitan dengan proses pengaturan diri individu dalam belajar (Pintrich, 1999). Faktor pengaturan diri memegang peran penting sebagai mediator antara motivasi dan pencapaian belajar (Ames, 1992). Pengaturan diri adalah keterlibatan dan keaktifan individu dalam mengatur proses belajarnya (Pintrich, 1999). Peran motivasi akan mendorong individu mau dan memiliki strategi yang sesuai untuk mengarahkan belajarnya, memperoses informasi dengan mendalam yang kemudian menghasilkan pencapaian belajar yang lebih baik (Rotgans & Schmidt, 2012).

Kusurkar et al. (2013) meneliti secara kuantitatif hubungan motivasi, strategi belajar, energi belajar dan performa akademik pada 383

(3)

3 responden mahasiswa kedokteran University Medical Center Amsterdam. Hasil menunjukkan adanya hubungan positif antara Relative Autonomous Motivation (RAM) dengan performa akademik melalui strategi belajar mendalam dan energi belajar yang lebih besar. Motivasi intrinsic lebih berhubungan erat dengan strategi mengatasi masalah, konsep diri yang lebih baik, kreatifitas tinggi dan menunjukkan performa akademik yang lebih baik (Rose, 2011; Decy & Ryan, 2000). Li & Pan (2009) menyatakan hubungan motivasi dengan pencapaian akademik yang lebih tinggi pada mahasiswa yang berprestasi dibandingkan yang kurang berprestasi.

Pertanyaan penting institusi pendidikan bagi mahasiswa adalah “ bagaimana mahasiswa mengarahkan proses belajarnya dan apa yang dapat dilakukan oleh institusi untuk membantu usaha tersebut?”. Institusi perlu mengidentifikasi bagaimana cara mendorong mahasiswa agar mereka bisa mengatur proses belajar mereka sendiri, mengevaluasi tingkat pengetahuan yang telah dicapai dan melihat area yang membutuhkan perbaikan termasuk menyediakan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung mahasiswa (Douglas & Morris, 2014)

Lingkungan belajar menciptakan suasana belajar yang mempengaruhi motivasi mahasiswa dan strategi belajar. Motivasi akan mengarahkan perilaku dan usaha mahasiswa yang terlihat dari cara mahasiswa memilih suatu strategi belajar tertentu (surface approach atau

deep approach). Pemilihan strategi belajar tersebut kemudian

mempengaruhi hasil belajar yang didapatkan. Untuk itu, diperlukan lingkungan belajar yang baik yang mendukung proses belajar mahasiswa (Emilia, 2003). Penelitian Pimparyon et al. (2000) pada 258 mahasiswa Ilmu Keperawatan di Thailand menyebutkan bahwa mahasiswa yang memiliki persepsi kurang baik mengenai lingkungan belajar cenderung memiliki strategi belajar surface approach dan memiliki prestasi akademik yang rendah. Emilia (2003) meneliti tentang hubungan antara lingkungan belajar, pendekatan belajar dan pencapaian hasil belajar atau kompetensi dokter muda. Penelitian dilakukan pada 209 mahasiswa tahap klinik

(4)

4 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan Instrumen Clinical Setting Questionnaire (CSQ). Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan antara lingkungan belajar klinik, pendekatan belajar dan pencapaian hasil belajar mahasiswa.

Penilaian mahasiswa terhadap lingkungan belajar mereka di berbagai tempat berbeda-beda. Tidak semua tempat praktek mampu memberikan lingkungan pembelajaran yang positif bagi mahasiswa. Perbedaan ini dikaitkan dengan adanya perbedaan karakteristik sumber daya dan tehnologi yang ada di setiap lahan praktek dan perkembangan teknologi di setiap negara. Haggerty, Holloway, dan Wilson (2013) dalam Kim et. al. (2014) mengidentifikasi 4 faktor keefektifan pembimbing yang mendukung pengembangan kompetensi dan kenyamanan mahasiswa. Faktor-faktor tersebut yaitu akses mahasiswa terhadap preceptor, hubungan preceptor dengan mahasiswa, kesiapan peran pembimbing dan keseluruhan budaya bimbingan yang dibentuk.

Saarikoski & Leino-Kilpi (2002) meneliti persepsi lingkungan belajar klinik pada 416 mahasiswa perawat di Finland dengan hasil menunjukan bahwa metode supervisi dan suasana ruangan yang positif merupakan variable paling penting dari lingkungan belajar klinik. Penelitian Rahmani (2011) pada 133 mahasiswa keperawatan di Universitas Tabriz dengan menggunakan Clinical Learning Environment Inventory (CLEI) menunjukan pada skala personalisasi, keterlibatan, inovasi, kepuasan, dan individualisasi dinilai negative oleh mahasiswa sedangkan skala orientasi tugas dinilai positif.

Lingkungan klinik sering menjadi pemicu stress bagi mahasiswa. Mahasiswa memasuki lingkungan asing yang tidak bisa ia kontrol (Elgicil & Sari, 2007). Penyebab stress mahasiswa antara lain kecemasan saat datang pertama kali, ketakutan melakukan kesalahan, kekhawatiran muncul kritik dari lingkungan, komunikasi dengan profesi lain dan dengan pasien, kontak dengan penyakit, keterampilan klinik dan prosedur di RS (Elgicil & Sari, 2007; Evan & Kelly, 2004). Hasil penelitian Nasrin et al.

(5)

5 (2012) tentang salah satu kondisi lingkungan belajar klinik yang menjadi sumber stress mahasiswa adalah adanya gap pengetahuan dan gap profesi. Secara pengetahuan, mahasiswa mengalami kesulitan dal mentransfer ilmu yang telah dipelajari selama pendidikan ke dalam seting klinik, beberapa keterampilan klinik yang dipelajari di seting laboratorium tidak bisa dengan mudah diterapkan sesuai keadaan di klinik. Perbedaan ini bisa menimbulkan kebingungan, stress dan kecemasan yang menjadikan turunnya motivasi dan belajar mahasiswa menjadi tidak efektif.

Adanya gap antara perawat dan profesi kesehatan lain terutama dokter menjadi hal yang menurunkan motivasi mahasiswa. Ketidakberdayaan perawat ditemukan pada saat terjadi komunikasi antara dokter dengan perawat, hubungan subordinat dirasakan oleh baik mahasiswa maupun perawat. Harga diri yang tinggi perawat akan membantu menciptakan suasana yang lebih kondusif pada saat mahasiswa nantinya bekerja sebagai perawat dan bekerjasama dengan profesi kesehatan lain (Nasrin, et al., 2012)

Tuntutan pelayanan dan manajerial di lahan menjadikan pembimbing sibuk dengan pekerjaan rutin sehari-hari (Kim, et al., 2014), hal ini berdampak pada kurangnya waktu bimbingan. Kurangnya waktu bimbingan juga disebabkan banyaknya mahasiswa yang praktek dalam satu bangsal dari berbagai institusi pendidikan (Kaphagawani & Useh, 2013). Meskipun mahasiswa telah mendapatkan bekal teori namun mahasiswa memerlukan pentahapan dalam praktek di RS. Pentahapan ini merupakan proses pengadaptasian mahasiswa di sebuah lingkungan yang baru pada setiap perpindahan stase. Seting ruangan dan jenis kompetensi yang berbeda pada saat rotasi stase menimbulkan kecemasan dan rasa tidak percaya diri jika tidak ada pengamatan dan pendampingan dengan pembimbing (Kim, et al, 2014; Lawal et al., 2015; Kaphagawani & Useh, 2013)

(6)

6 Pendidikan klinik Program Studi Ners Universitas „Aisyiyah Yogyakarta diselenggarakan setelah tahap akademik dengan beban 34 sks yang terdiri dari 9 rotasi regular dan 1 rotasi peminatan. Mahasiswa ditempatkan pada berbagai seting rumah sakit baik dalam rawat inap dan poliklinik, puskesmas, panti sosial, keluarga dan komunitas. Selama kurun waktu pelaksanaan program pendidikan ners dari tahun 2008, institusi telah beberapa kali melakukan evaluasi mengenai penyelenggaraan pendidikan profesi. Evaluasi lebih berfokus pada kualitas penyelenggaraan profesi ners pada aspek pembimbing, ketersediaan sumber belajar di lahan praktek dan dokumen perangkat pembelajaran.

Namun evaluasi mengenai lingkungan belajar klinik yang digunakan mahasiswa sebagai tempat belajar belum dilakukan secara rinci termasuk evaluasi faktor motivasi mahasiswa yang memegang peranan penting dalam proses belajar mereka. Mengingat lingkungan belajar klinik mencakup segala sesuatu yang berada di sekeliling mahasiswa yang dibutuhkan untuk proses belajar dari aspek kurikulum, seting klinik, pembimbing, staf, pasien, iklim belajar dan mahasiswa itu sendiri. Komponen tersebut menjadi konteks sosial yang komplek yang berinteraksi satu sama lain dan dapat menaikkan maupun menurunkan motivasi belajar mahasiswa. Dengan mengetahui persepsi mengenai lingkungan klinik dan hubungannya dengan motivasi mahasiswa, maka institusi dapat melihat komponen-komponen yang perlu ditindaklanjuti dan yang masih perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas belajar mahasiswa.

(7)

7 B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka masalah yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan antara persepsi mahasiswa mengenai lingkungan belajar klinik dan motivasi belajar pada Program Studi Ners Universitas „Aisyiyah Yogyakarta?”

C. Tujuan Penelitian

1. Mengukur lingkungan belajar klinik dengan menggunakan Clinical Learning Environment and Supervision (CLES).

2. Mengukur motivasi belajar mahasiswa dengan menggunakan Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ).

3. Mengetahui adanya hubungan antara persepsi mahasiswa mengenai lingkungan belajar klinik dan motivasi belajar

4. Mengetahui hubungan tiap sub skala lingkungan belajar klinik dengan motivasi belajar.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi belajar mahasiswa dari variabel lingkungan belajar klinik.

2. Praktis

a. Melakukan evaluasi terhadap lingkungan belajar klinik di Program Studi Ners Universitas „Aisyiyah Yogyakarta.

b. Melakukan evaluasi mengenai motivasi belajar mahasiswa dalam menjalani Profesi Ners.

c. Memberikan informasi bagi Program Studi Ners terkait dimensi lingkungan pembelajaran klinik yang masih memerlukan perbaikan.

(8)

8 E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan replikasi sebagian penelitian Karabulut et al. (2015). Tujuan penelitian Karabulut et al. (2015) adalah mengevaluasi lingkungan belajar klinik dan mengkaji hubungan lingkungan belajar klinik dengan motivasi akademik mahasiswa keperawatan. Rancangan penelitiannya merupakan penelitian deskriptif korelatif dengan responden 127 mahasiswa keperawatan yang sedang menjalani training di Fakultas Ilmu kesehatan, Universitas Giresun. Pengumpulan data menggunakan instrument „Clinical Learning Environment Scale‟ (CLEs) dan „Academic

Motivation Scale‟ (AMS). Analisa data dengan Pearson Correlation

menunjukkan koefisien korelasi r=0.254, p=0.004 (P< 0.05). skor rata-rata CLEs 66.7+8.7 dan skor AMS 68+10.9. Motivasi akademik mahasiswa baik ketika kualitas lingkungan belajar klinik bagus.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Karabulut et al. (2015) adalah bertujuan secara umum melihat hubungan persepsi lingkungan belajar klinik dengan motivasi mahasiswa. Perbedaan penelitian ini adalah menganalisis hubungan tiap sub skala pada lingkungan belajar klinik dengan motivasi mahasiswa dan melihat karakteristik mahasiswa berdasarkan minat terhadap profesi perawat dan pilihan karir selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui penurunan aktivitas ALT dan AST serum akibat pemberian jangka pendek ekstrak metanol-air biji P.americana pada tikus jantan yang terinduksi

Kegiatan ini mencakup proses penentuan calon petani dan calon lokasi (CP/CL); koordinasi dengan pemerintah daerah dan provinsi; penentuan dan sebaran 60%

Sosok nilai yang menunjukan kualitas termoelektrik suatu bahan dapat dilihat salah satunya dari BiSbTe paduan material yang menghasilkan nilai ZT puncak 1,4 pada suhu 100

Kedadalan dapat terjadi melalui perpecahan ikatan. Karena E yang cukup kuat Æ e- dapat lepas dari ikatan kovalennya. Pasangan hole dan e- yang baru timbul memperbesar arus balik

Buku lain yang juga digunakan sebagai studi teoritis pembuatan animasi “Akura-Popo episode Sampah” adalah buku dengan judul “Kreasi Animasi Kartun dengan Adobe Flash.”

Tujuan perawatan hygiene mulut pasien adalah pasien akan memiliki mukosa mulut utuh yang terhidrasi baik serta untuk mencegah penyebaran penyakit yang ditularkan melalui

Gambar 3.53 Sequence untuk hitung rute dengan Dual Genetic Algorithm 131 Gambar 3.54 Sequence untuk hitung rute dengan Hybrid Savings-Dual Genetic Algorithm 132 Gambar 3.55

Apabila dalam agenda amandemen UUPK tidak dimasukkan mengenai pemberlakuan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), maka kewajiban bagi para perancang