• Tidak ada hasil yang ditemukan

(a) (b) (c) Gambar 2 Pohon walur (a); batang umbi walur (b); batang umbi suweg (c) Sumber : Koleksi pribadi 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(a) (b) (c) Gambar 2 Pohon walur (a); batang umbi walur (b); batang umbi suweg (c) Sumber : Koleksi pribadi 2010"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Umbi Walur

Umbi walur merupakan tanaman yang termasuk ke dalam dunia Spermatophyta, sub dunia Angiospermae dan kelas Monokotiledon. Umbi walur juga termasuk ke dalam kelas talas-talasan (areceae), genus Amorphophallus, dan spesies Amorphophallus campanulatus. Menurut Ohtsuki (1967), di Jawa banyak berkembang dua varietas Amorphophallus campanulatus, yaitu varietas sylvestris, yang dikenal dengan nama umbi walur (Gambar 1a) dan varietas hortensis dengan nama umbi suweg (Gambar 1b).

(a) (b)

Gambar 1 Umbi walur (a); suweg (b) Sumber : Koleksi pribadi 2010

Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya (Gambar 2a). Tangkainya belang hijau putih, berbintil-bintil dengan panjang 50-150 cm. Perbungaannya muncul setelah daun hilang dari permukaan tanah, terdiri atas tangkai bunga, seludang dan tongkol. Tongkolnya berbau tidak enak dan terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian bawah bunga betina, bagian tengah bunga jantan dan bagian atas bunga mandul. Spesies Amorphophallus campanulatus (suweg dan walur) mengandung kadar pati yang tinggi yaitu sekitar 77% dan poliosa 14% (Ohtsuki 1968).

(2)

(a) (b) (c) Gambar 2 Pohon walur (a); batang umbi walur (b); batang umbi suweg (c)

Sumber : Koleksi pribadi 2010

Perbedaan kedua jenis varietas tanaman ini terletak pada batang yang dimilikinya. Umbi walur memiliki batang yang kasar (Gambar 2b) sedangkan suweg memiliki batang yang halus (Gambar 2c). Namun, keduanya sangat mudah untuk dikembang biakan melalui anakan atau umbi. Selain mempunyai batang yang kasar, walur memiliki umbi yang sangat gatal jika dikonsumsi (Kriswidarti 1980). Oleh karena itu, walur belum dimanfaatkan penduduk dan masih merupakan tumbuhan liar sedangkan umbi suweg dapat dikonsumsi karena oksalat yang terdapat pada umbi suweg dapat dihilangkan dengan cara perebusan sehingga sudah cukup banyak dimanfaatkan dan banyak ditanam di pekarangan.

2.2 Pati

2.2.1 Sifat Fisikokimia pati

Pati merupakan bagian makanan utama yang terdapat dalam tanaman dan menyediakan 70-80% kalori yang dikonsumsi oleh manusia. Pati dan produk hidrolisisnya merupakan karbohidrat yang dapat dicerna yang tersedia dalam makanan. Selain itu, pati juga banyak digunakan untuk membuat berbagai produk makanan.

Pati terdapat dalam sel tanaman dalam bentuk partikel-partikel dan disebut granula. Penampakan mikroskopik dari granula pati seperti bentuk, ukuran, keseragaman dan letak hilium berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman penghasil

(3)

pati. Dengan demikian sifat fisik tersebut dapat digunakan sebagai variabel dalam identifikasi pati.

Dalam granula pati, campuran molekul yang berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut dengan hilium. Penampakan hilium pada granula pati adalah akibat dari pengendapan lapisan molekul pati yang terjadi pada waktu yang berlainan dan tidak sama kadarnya (Campbell et al. 1999). Letak hilium dalam granula pati ada yang di tengah dan ada yang di tepi

Jane et al. (1996) melaporkan bahwa ukuran granula pati yang berasal dari biji-bijian lebih kecil dari tanaman sumber pati lainnya, yaitu berkisar antara 3-20 μm, sedangkan yang berasal dari akar dan umbi-umbian berkisar antara 10-100 μm dan yang berasal dari batang 50 μm. Bentuk granula pati bervariasi, yaitu mulai dari bentuk bulat, oval, elips, polgonal sampai bentuk yang tidak beraturan.

Pati merupakan polisakarida yang tersusun atas unit-unit glukosa dengan ikatan α-glikosidik (Winarno 1997). Tiap jenis pati memiliki sifat yang berbeda-beda bergantung pada panjang rantai karbonnya. Selain itu, perbandingan antara molekul amilosa dan amilopektin serta kandungan protein dan lemak juga menjadi faktor yang mempengaruhi sifat dari suatu jenis pati.

Amilosa merupakan polimer linier dengan ikatan α-1,4-D-glukosa sedangkan amilopektin memiliki percabangan pada α-1,6-D- glukosa dan memiliki ukuran yang lebih besar dari amilosa (Gambar 3). Amilopektin merupakan komponen terbesar dalam pati, menyusun sekitar 70-75% dari keseluruhan pati dan amilosa sekitar 20-25% (Fenema 2000). Granula pati berbentuk semikristalin yang terdiri atas 30% unit kristal dan 70% unit amorf. Unit kristal terdiri atas amilopektin sedangkan unit amorf mengandung sejumlah amilosa tetapi juga mengandung amilopektin dalam jumlah yang cukup banyak

(4)

(a)

(b)

Gambar 3 Struktur kimia amilosa (a); amilopektin (b). Sumber : Tester dan Karkalas (2004)

Amilosa bersifat sangat hidrofilik karena banyak mengandung gugus hidroksil, oleh karena itu molekul amilosa cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain melalui ikatan hidrogen dan gaya van der walls. Oleh karena itu, amilosa mampu membentuk struktur kristal karena adanya interaksi molekuler yang kuat. Kristalisasi sering pula disebut sebagai retrogradasi, proses yang menyebabkan molekul pati menjadi tidak larut dalam air yang bersifat dapat balik karena terjadi pembentukan ikatan intermolekuler yang kuat (Klucinec et al. 1999).

2.2.2 Sifat Fungsional Pati

Sifat fungsional pati merupakan sifat-sifat pati yang turut menentukan mutu produk akhir. Sifat fungsional pati antara lain penyerapan air, penyerapan minyak, kemampuan pengembangan dan kelarutan, pembentukan gel dan pola gelatinisasi. Karakteristik fungsional pati untuk aplikasi bahan pangan sangat ditentukan oleh karakteristik kimianya

Suspensi pati ketika dipanaskan mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati akibat penambahan air

(5)

secara berlebihan dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula. Mekanisme gelatinisasi dibedakan menjadi tiga fase (Fennema 2000), yaitu tahap awal, air secara perlahan-lahan dan secara bolak-balik masuk ke dalam granula, selanjutnya tahap kedua, yaitu suhu 60-85 °C granula akan mengembang dengan cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut, sehingga pati akan kehilangan sifat birefringentnya. Pada tahap ketiga, jika suhu tetap naik, maka molekul-molekul pati akan berdifusi keluar granula.

Selama pemanasan dalam air, peregangan lamela granula berawal dari penyerapan molekul air di bagian amorf granula. Selanjutnya bagian ini akan menginduksi pengembangan bagian kristalin granula sehingga molekul amilopektin pada titik percabangan dapat terpisah. Bangun molekul dari amilopektin memungkinkan kemampuan untuk memerangkap air yang lebih besar daripada rantai linier yang membentuk heliks sehingga amilopektin mempunyai peran pada pengembangan granula pati yang lebh besar daripada amilosa (Jane et al. 1999). Pengembangan granula pati akan mencapai maksimal pada suhu gelatinisasi sehingga dapat meningkatkan viskositas secara drastis.

Pemanasan lebih lanjut di atas suhu akhir gelatinisasi akan menyebabkan dinding granula rusak sehingga isi granula terbebaskan ke medium dan menghasilkan pasta. Peningkatan kelarutan juga diikuti dengan peningkatan viskositas. Hal ini disebabkan air yang sebelumnya bebas bergerak di luar granula pati menjadi terperangkap dan tidak dapat bergerak bebas lagi setelah mengalami gelatinisasi.

Pasta pati dapat membentuk gel jika dilakukan pendinginan. Amilosa yang tercuci ke dalam medium dispersi akan membentuk jaringan tiga dimensi yang bersifat kontinyu. Sebaliknya, molekul amilopektin berperan untuk mempertahankan molekul air di dalam gel. Faktor yang mempengaruhi karakteristik suspensi pati dan gelnya adalah pH, suhu dan pengadukan yang diberikan serta keberadaan komponen lain seperti gula, protein lipid dan serat. Faktor konsentrasi pati menentukan jumlah air yang diperlukan untuk mengembangkan granula, pH dapat menurunkan viskositas akibat hidrolisis oleh

(6)

asam dan pengadukan dapat meningkatkan atau menurunkan viskositas tergantung dari rasio amilosa dan amilopektin.

Scoch dan Maywald (1968) mengelompokkan pati ke dalam empat tipe pola gelatinisasi berdasarkan kemampuan pengembangan granula pati dan ketahanannya terhadap panas serta pengadukan. Keempat jenis pola viskositas tersebut adalah tipe A, B, C dan D. Tipe A adalah jenis pati yang memiliki kemampuan pengembangan yang tinggi. Granula pati dari tipe ini mengembang dengan mudah ketika dipanaskan dalam air dan ikatan internalnya menjadi lemah sehingga menjadi tidak tahan terhadap pengadukan. Kurva viskositas tipe ini menghasilkan puncak viskositas yang tinggi diikuti dengan pengenceran secara cepat selama pemasakan. Jenis pati yang memiliki pola viskositas tipe ini adalah pati kentang, tapioka, dan sereal jenis wax.

Tipe B adalah pati yang mengalami pengembangan yang moderat. Karena granula pati tidak mengembang secara sempurna sehingga menyebabkannya menjadi tidak mudah pecah, maka pati jenis ini menunjukkan puncak viskositas yang lebih rendah dan mengalami sedikit pengenceran selama pemasakan. Contohnya adalah pati sereal. Tipe C merupakan jenis pati yang mengalami pembengkakan terbatas. Kurva viskositasnya tidak menunjukkan adanya puncak viskositas tapi memiliki viskositas yang sangat tinggi dan meningkat selama pemasakan berlangsung.

Pola viskositas tipe D merupakan pati yang memiliki pengembangan yang sangat terbatas. Biasanya, pati yang memiliki pola viskositas ini adalah pati yang mengandung amilosa sangat tinggi. Hal ini karena kekakuan ikatan internal akibat interaksi molekul-molekul linier sehingga menyebabkan granula pati tidak memberikan pembengkakan yang cukup untuk meningkatkan viskositas selama pemasakan.

2.3 Oksalat dalam Bahan Pangan

Asam oksalat adalah asam dikarboksilat yang hanya terdiri atas dua atom karbon pada masing-masing molekul (Gambar 4a). Asam oksalat dalam keadaan murni berupa senyawa kristal, larut dalam air (8% pada 10 °C) dan larut dalam alkohol. Asam oksalat membentuk garam netral dengan logam alkali (Na dan K),

(7)

yang larut dalam air (5-25%), sementara itu asam oksalat juga dapat berikatan dengan ion logam dan membentuk endapan tak larut, seperti kalsium oksalat (Gambar 4).

(a) (b)

Gambar 4 Struktur kimia asam oksalat (a); kalsium oksalat (b).

Oksalat banyak ditemukan di dalam tanaman. Lebih dari 215 keluarga tanaman mengakumulasi kristal ini di dalam jaringannya. Kandungan oksalat dalam tanaman sekitar 5-80% (b/b) dan 90% dari total oksalat tanaman berada dalam bentuk garam oksalat. Kristal kalsium oksalat dalam tumbuhan memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai pengatur kalsium dalam jaringan, melindungi dari hewan herbivora dan sebagai detoksifikasi logam (Nakata 2003).

Senyawa oksalat dalam tanaman biasanya berada dalam bentuk larut air dan tidak larut air. Oksalat larut air berada dalam bentuk asam oksalat, sodium oksalat dam kalium oksalat, sedangkan oksalat yang tidak larut air berada dalam bentuk garam kalsium oksalat, magnesium oksalat (terutama garam kalsium) (Noonan dan Savage 1999). Kalsium oksalat merupakan jenis garam yang terbentuk antara ion kalsium dan ion oksalat.

Secara umum terdapat lima jenis kalsium oksalat yang berada di dalam tanaman, yaitu berbentuk jarum (raphide), bentuk pensil (rectangular), bulat (druse), prisma dan parallelogram (rhomboid). Semua jenis kristal kalsium oksalat tersebut merupakan mineral yang relatif stabil dan sedikit larut dalam air (Webb 1999), tidak larut dalam keadaan netral atau alkali dan mudah dipecahkan oleh asam (Noonan dan Savage 1999).

2.4 Penurunan kadar Oksalat

Umbi yang termasuk ke dalam spesies Araceae terutama edible aroid mengandung bahan aktif yang dapat menyebabkan gatal dan menyebabkan iritasi pada bibir, mulut serta kerongkongan. Penyebab rasa gatal pada rongga mulut dan

(8)

kulit tersebut disebabkan oleh senyawa yang terdapat pada permukaan kristal calsium oksalat jenis rafida. Kristal rafida ini hanya berfungsi sebagai pembawa sedangkan senyawa yang menyebabkan iritasi tersebut adalah jenis protein dengan bobot molekul 26 KDa (Paul et al. 1999).

Jenis oksalat lain yang terdapat dalam umbi araceae adalah oksalat larut air. oksalat larut air yang ada dalam bahan pangan tersebut jika masuk ke dalam tubuh manusia, maka dapat menghambat bioavailibilitas kalsium dalam tubuh karena akan membentuk kompleks yang tidak dapat dicerna. Kompleks ini akan mengendap di dalam ginjal dan membentuk batu ginjal (Noonan dan Savage 1999). Oleh sebab itu, kedua jenis oksalat, baik oksalat larut air maupun yang tidak larut air memberikan efek yang tidak baik bagi tubuh jika berada dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Untuk perlu dilakukan proses penurunan kadar oksalat untuk dapat mengurangi efek negatif tersebut.

Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi kandungan oksalat dalam sampel. Sangketkit et al. (2001) melakukan proses penurunan kadar oksalat pada umbi yam New Zealand (Oxalis Tuberosa Mol.) dengan beberapa cara pemasakan konvensional, yaitu dengan perebusan, pengukusan dan pemanggangan. Hasilnya, terjadi penurunan kandungan total oksalat pada umbi yang direbus dan dikukus, namun terjadi kenaikan kandungan oksalat pada umbi yang dipanggang. Hasil yang sama juga terjadi pada proses penurunan kadar oksalat berbagai jenis varietas umbi talas oleh Catterwood et al. (2007). Hasilnya menunjukkan bahwa dengan proses perebusan, terjadi penurunan kandungan total oksalat dari 1714 ppm menjadi 506 ppm, sedangkan proses pemanggangan meningkatkan kandungan oksalat menjadi 2290 ppm.

Metode penurunan kadar oksalat juga tidak hanya dilakukan pada berbagai jenis umbi, Judprasong et al. (2006) juga melakukannya pada beberapa jenis gandum, kacang polong dan juga sayur-sayuran. Hasilnya hampir sama, dimana dengan proses perebusan, maka akan mengurangi kandungan total oksalat dalam sampel, sedangkan dengan proses pemanggangan akan meningkatkannya. Proses perebusan dapat mengurangi kandungan oksalat karena dengan proses perebusan, maka akan melarutkan berbagai jenis oksalat larut air ke dalam air perebusan tersebut.

(9)

Berbeda dengan proses perebusan, proses pemanggangan menyebabkan terjadinya peningkatan kandungan oksalat dalam sampel. Hingga saat ini, terdapat dua penjelasan ilmiah yang mungkin mengenai hal ini. Pertama, kulit permukaan umbi akan terkena dengan suhu tinggi selama proses pemanggangan yang akan menyebabkan terjadinya proses pemutusan prekursor oksalat yang ada pada kulit dan jaringan luar. Karena fungsi oksalat dalam tanaman adalah untuk melindungi dari pemangsa, maka kemungkinan besar jumlah oksalat di kulit luar lebih banyak dibandingkan di dalam. Selain itu, selama proses pemanggangan akan terjadi penguapan kandungan air dalam umbi sehingga kandungan oksalat dalam sampel akan terkonsentrasi (Sangketkit et al. 2001)

2.5 Cookies dan mie

Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lainnya, dengan proses pemanasan dan pencetakan (SNI 01-2973-1992). Biskuit terbagi menjadi biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer. Cookies adalah sejenis biskuit dari adonan lunak, berlemak tinggi, renyah, dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat (Manley 2000).

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies terbagi dalam dua kelompok, yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat adalah tepung, susu, dan putih telur. Sedangkan bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut adalah gula, lemak, baking powder, dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978).

Proses pembuatan cookies meliputi tiga tahap, yaitu pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan adonan. Pembuatan adonan diawali dengan proses pencampuran dan pengadukan bahan-bahan. Menurut Manley (2000), metode dasar pencampuran adonan adalah metode krim (creaming method) dan metode all in. Pada metode krim, bahan baku dicampur secara bertahap. Pertama adalah pencampuran lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna dan perisa, kemudian susu dan bahan kimia aerasi berikut garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air.

(10)

Penambahan tepung dilakukan pada bagian paling akhir. Metode ini baik untuk cookies karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan (Matz dan Matz 1978). Sesuai dengan namanya, metode all in dilakukan dengan pencampuran seluruh bahan lalu diaduk sampai membentuk adonan. Adonan yang telah dicetak selanjutnya ditata dalam loyang yang telah diolesi dengan lemak lalu dipanggang dalam oven. Pengolesan lemak berfungsi untuk mencegah lengketnya cookies pada loyang setelah dipanggang. Adonan dipanggang dengan suhu ±176.7 ºC (350 ºF) selama ±10 menit. Suhu dan lama waktu pemanggangan mempengaruhi kadar air cookies. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan

lemak yang digunakan, suhu pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi (177-204 ºC). Setelah dipanggang, cookies harus segera didinginkan untuk

mengurangi pengerasan akibat memadatnya gula dan lemak.

Mi kering didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01-2974-1996). Proses pengolahan mi kering sebenarnya hampir sama dengan mi instan. Pada mi kering terjadi proses pengeringan untuk mengurangi kadar air mi hingga 10-12 persen. Sedangkan proses pengolahan mi instan umumnya dengan digoreng dan dilengkapi oleh bahan tambahan seperti bumbu, cabe, kecap, minyak, dan sayuran kering sehingga mudah dihidangkan dengan segera Menurut Departemen Kesehatan RI (1992), dalam 100 gram mi kering terkandung 337 kkal energi, protein 7.9 g, lemak 11.8 g, karbohidrat 50.0 g, kalsium 49 mg, fosfor 47 mg, besi 2.8 mg, vitamin B1 0.01 mg, dan air 28.9 g.

Mie dalam bentuk kering mempunyai padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%. Mie kering yang baik memiliki penampakan putih, tidak pecah dan hancur selama pemasakan, memiliki permukaan yang lembut dan tidak ditumbuhi mikroba. Mie kering dihasilkan dengan cara mengeringkan mie mentah di dalam oven pada suhu ± 60 °C. Dengan demikian, mie kering memiliki umur simpan yang lebih lama dibandingkan dengan mie basah. Umur simpan ini akan dipengaruhi oleh kadar air dan cara penyimpanannya.

(11)

2.6 Substitusi pati pada pembuatan cookies dan mie

Tepung terigu kini merupakan bahan makanan pokok penting kedua di Indonesia, setelah beras. dimana kebutuhannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini konsumsi terigu penduduk Indonesia mencapai 17 kg/kapita/tahun. Pada saat ini seluruh kebutuhan tepung terigu dalam negeri dipenuhi dari impor dalam bentuk biji gandum yang kemudian diproses menjadi tepung terigu oleh industri penepungan. Ketergantungan yang sangat tinggi pada terigu impor ini akan mengganggu kemandirian pangan nasional.

Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap tepung terigu ini perlu dikurangi agar tidak mengganggu stabilitas ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah melalui diversifikasi pangan pokok berbasis bahan pangan lokal. Seperti sudah diketahui bahwa Indonesia memiliki komoditas pangan sumber karbohidrat yang sangat beragam, baik yang tergolong serealia seperti jagung, sorgum, hanjeli dan hermada, serta aneka umbi seperti ubikayu, ubijalar, talas, gadung, gembili, suweg, iles-iles, kentang, garut dan ganyong (Widowati 2009).

Komoditas yang sedang dikembangkan untuk dapat menggantikan terigu adalah tepung jagung. Sampai saat ini tepung dan pati jagung sudah digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan mie. Budiyah (2004) melakukan pembuatan mi jagung instan dengan memanfaatkan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung instan mengandung nilai gizi yang baik yaitu sekitar 360 kalori/kemasan atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori),. Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi.

Huang dan Lai (2010) juga telah membuat mie yang berasal dari substitusi tepung terigu dengan pati beras dan pati jagung. Hasilnya menunjukkan bahwa karakteristik pati mempengaruhi karakteristik mie mentah maupun mi hasil pemasakan. Sifat reologi mie mentah sangat dipengaruhi oleh ukuran granula pati

(12)

dimana granula pati yang kecil, seperti pati beras, membutuhkan air dalam jumlah yang banyak dalam proses pembuatan adonana. Karakteristik pemasakan dari mie tersebut dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan straktur halus amilopektin, yang menyebabkan perbedaan di dalam penyerapan air dan waktu optimum pemasakan.

Selain diaplikasikan pada pembuatan mie, pati juga banyak diaplikasikan pada pembuatan cookies. Kue kering merupakan salah satu jenis makanan ringan yang diminati masyarakat. Konsumsi rata-rata kue kering di kota besar dan pedesaan di Indonesia adalah 0.40 kg/kapita/tahun.Salah satu pati yang sudah diaplikasikan dalam pembuatan cookies adalah pati garut. Pati garut merupakan pati yang diperoleh dari tanaman Maranta arundinacea L.Cookies pati garut yang dihasilkan memiliki nilai indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan dengan cookies tepung terigu (Gustiar 2009).

Pada tahun 2006, Saguilan et al. Melakukan penelitian mengenai sustitusi pati resisten dari pati pisang dalam pembuatan cookies. Hasilnya menunjukkan bahwa cookies dari pati pisang memiliki tingkat kesukaan yang sama dengan cookies tepung terigu. Hasil ini mengindikasikan bahwa pati pisang berpotensi untuk dijadikan sebagai ingredient dalam pembuatan produk roti yang mengandung karbohidrat dengan daya cerna yang rendah.

Pati ganyong juga telah dimanfaatkan untuk menggantikan terigu dalam pembuatan cookies. Pati ganyong, dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan cookies hingga 100% dengan jumlah pemakaian tiga kali lebih rendah dibandingkan dengan tepung terigu untuk hasil yang sama (Hidayat 2008).

Gambar

Gambar 1 Umbi walur (a); suweg (b)   Sumber : Koleksi pribadi 2010
Gambar 3 Struktur kimia amilosa (a); amilopektin (b).

Referensi

Dokumen terkait

Namun DPUM telah berusaha untuk mengatasi hal ini dengan meningkatkan kemitraan dengan nelayan lokal, serta rencana pendirian badan usaha baru dengan kepemilikan

Bahan yang dapat digolongkan dalam kelas C adalah : bahan onorganik yang tidak dicelup dan tidak diikat dengan subtansi organik, misalnya mika, mikanit yang tahan panas

Sesuai dengan kajian teori tentang pendapatan desa yang telah dijabarkan sebelumnya terhadap hasil penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan bahwa peran desa

28 Soalan 28 berdasarkan pernyataan di bawah Peristiwa tersebut merupakan pengalaman yang patut dan dahsyat yang pernah dialami oleh Angkatan Tentera Laut British di Tanah Melayu

Ujaran yang bergaris bawah dari contoh ketiga caption tersebut terdapat bentuk alih kode inter-sentential switching berdasarkan teori Hoffman (1991: 112) karena terdapat satu

Hasil dapatan yang paling tinggi menunjukkan bahawa pakar media dan pelajar suka akan perisian multimedia Interaktif Jahitan ini kerana mempunyai reka bentuk skrin

Menghidupkan budaya literasi di sekolah tidak hanya akan berefek tunggal berupa kemampuan individu dalam baca tulis, dan pemanfaatan teknologi informasi namun

kegiatan membaca, khususnya buku-buku dan sumber bacaan lain yang bersifat kreatif dan ringan misalnya fiksi, cerpen, dan lain sebagainya.. Tujuan dari perpustkaan