• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT) Tafsir Bil Ma tsur Penulis, Ahmad Sarwat 27 hlm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT) Tafsir Bil Ma tsur Penulis, Ahmad Sarwat 27 hlm"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Tafsir Bil Ma’tsur Penulis, Ahmad Sarwat 27 hlm

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Judul Buku

Tafsir Bil Ma’tsur

Penulis

Ahmad Sarwat Lc, MA

Editor

Al-Fatih

Setting & Lay out

Al-Fayyad

Desain Cover

Al-Fawwaz

Penerbit

Rumah Fiqih Publishing Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan

(4)
(5)

Daftar Isi

Daftar Isi ... 5

Bab 1 : Lima Periode Tafsir ... 7

A. Periode Pertama ... 7

B. Periode Kedua ... 7

C. Periode Ketiga ... 8

D. Periode Keempat ... 8

E. Periode Kelima ... 9

1. Bahasa dan Gramatika ... 10

2. Ilmu Fiqih ... 10

3. Aqidah ... 11

4. Filsafat ... 11

5. Tafsir Tasawuf / Sufi ... 12

Bab 2 : Tafsir bil Ma’tsur dan Sumbernya ... 13

A. Pengertian... 13

B. Sumber Tafsir bil Ma’tsur ... 13

1. Al-Quran ... 13

2. Hadits ... 14

3. Perkataan Shahabat ... 16

4A Perkataan Tabi’in ... 16

Bab 3 : Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Bil Ma’tsur ... 18

A. Kelebihan ... 18

B. Kekurangan ... 19

(6)

2. Kendala Keshahihan ... 20

3. Sumber Isra’iliyat... 21

Bab 4 : Kitab Tafsir bil Ma’tsur ... 22

A. Tafsir Ath-Thabari ... 23

(7)

Bab 1 : Lima Periode Tafsir

Dr. Husein Az-Dzahabi dalam kitabnya yang masyhur At-Tafsir wal Mufassirun memetakan sejarah perkembangan ilmu tafsir sejak masa kenabian hingga masa kini menjadi lima periode, yaitu1 :

A. Periode Pertama

Periode pertama adalah periode dimana Nabi SAW hidup bersama dengan para shahabat. Dan kemudian masih bersambung masa para tabi’in.

Para shahabat meriwayatkan tafsir dari Nabi SAW dan kemudian para tabi’in meriwayatkan dari para shahabat. Pembahasan dua masa ini sudah kita lewati sebelumnya.

B. Periode Kedua

Periode kedua adalah periode setelah lewat masa para tabi’in. Di periode ini hadits-hadits nabawi mulai dituliskan sebagai kitab hadits (tadwin) para ulama hadits.

Di antaranya Yazid bin Harun As-Sulami (w. 117 H), Syu’bah bin Al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ ibnul Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Ruh bin Ubadah Al-Bashri (w. 205 H), Abdurrazzaq bin

(8)

8

Hamam (w. 211 H), Adam bin Abi Iyas (w. 220 H), Abdu ibnu Humaid (w. 249 H).

Kitab-kitab hadits susunan mereka umumnya diklasifikasi berdasarkan bab. Dan salah satunya adalah bab yang terkait dengan penjelasan suatu ayat Al-Quran. Sayangnya kitab-kitab hadits susunan mereka ini tak ada satupun yang sampai ke masa kita sekarang, meski hanya dalam bentuk manuskrip.

C. Periode Ketiga

Periode ketiga adalah masa dimana tafsir sudah dipisahkan dari kitab hadits dan sudah dijadikan buku tersendiri. Dimana susunannya sudah diurutkan sesuai dengan mushaf, dan tafsirnya pun sudah lebih lengkap lagi. Di antara para penyusun kitab tafsir di periode ketika ini adalah : Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), Abu Bakar ibnul Mundzir An-Naisaburi (w. 318 H), Ibnu Abi Hatim (w. 327 H), dan Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H).

Seluruhnya merupakan kitab yang berpola periwayatan dengan sanad yang tersambung hingga ke Rasulullah SAW, atau setidaknya hingga shahabat nabi atau hingga ke level para tabi’in.

D. Periode Keempat

Periode keempat adalah periode berikutnya lagi yang ditandai dengan semakin dipangkasnya periwayatan. Setidaknya yang lebih ditonjolkan adalah matan dari tafsir dan bukan lagi silsilah perawinya. Sehingga wajah tafsirnya lebih menonjol ketimbang kejelasan siapa jalur periwayatan.

Dan berjalan sedemikian rupa sehingga orang-orang di masa itu sudah terbiasa menafsirkan suatu

(9)

ayat tanpa harus mengaitkan sumbernya. Dan salah satu dampak negatifnya adalah kesulitan untuk melacak kembali sumber penafsiran, apakah memang benar ini merupakan tafsir dari Nabi SAW, atau dari shahabat atau dari kalangan tabi’in. Kira-kira mirip dengan hadits, yang kemudian banyak sekali beredar di tengah lisan manusia, tanpa bisa lagi dilacak validitasnya.

Pada periode inilah tafsir sedikit mengalami distorsi, apakah karena kemasukan hadits-hadits yang dhaif atau bahkan palsu. Dan kadang juga kemasukan sumber-sumber israiliyat ke dalamnya. Akibatnya jumlah versi penafsiran menjadi sangat banyak, melebihi apa yang dikenal sebelumnya.

Sekedar ilustrasi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Itqan, bahwa makna lafadz : al-maghdhubi alaihim

waladhdhaallin (نيلآضلا لاو مهيلع بوضغملا ريغ) mencapai

sepuluh versi yang saling berbeda. Padahal penafsiran yang asli benar-benar dari Rasulullah SAW hanya yang maksudnya yahudi dan nasrani. Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.1

E. Periode Kelima

Periode kelima ditandai dengan masuknya masa-masa penafsiran yang tidak lagi dengan menggunakan jalur periwayatan, namun sudah jauh berkembang dengan menggunakan akal pikiran dan logika. Secara garis waktu, kejadiannya sejak masa kekhalifahan Bani Abbasiyah hingga sekarang ini.

(10)

10

Dikatakan menggunakan akal disini bukan berarti akal-akalan atau sekedar cocokologi, namun memang merupakan penjelasan yang sangat membantu orang dalam memahami Al-Quran. 1. Bahasa dan Gramatika

Di masa itu bahasa Arab mulai dipetakan dan dirumuskan aturan gramatikanya lewat disusunnya ilmu Nahwu dan Sharaf. Dan memang disusunnya kedua ilmu bahasa Arab ini memang tujuannya untuk memahami Al-Quran, mengingat bahwa begitu banyak orang yang baru masuk Islam dan belum terlalu mengerti bahasa Arab.

Mana yang jadi mubtada’ dan mana yang jadi khabarnya, mana yang fi’il, fa’il dan maf’ulnya. Semua menjadi lebih jelas dan mudah dipahami ketika ilmu alatnya telah ditemukan. Dan memahami Al-Quran menjadi jauh lebih mudah, meski tidak menguasai rasa bahasa Arab secara instan.

Maka mulailah para mufassir di masa itu ketika menjelaskan suatu kata dalam rangkaian ayat dengan menjelaskan kedudukan suatu kata dalam sebuah kalimat. Materi tafsir yang awalnya di masa kenabian, shahabat dan tabi’in hanya sebatas menjelaskan makna kata, kemudian lebih berkembang lagi menjadi penjelasan dari segi struktur kalimat secara gramatika.

2. Ilmu Fiqih

Demikian juga halnya yang terjadi dalam masalah hukum-hukum fiqhiyah, yang dimasa itu memang sudah mengalami kemajuan luar biasa. Para ulama fiqih telah berhasil memetakan semua masalah fiqih

(11)

dengan berbagai sumber hukumnya, dimana sumber hukum yang paling utama adalah Al-Quran Al-Karim. Maka ketika menjelaskan ayat yang terkait hukum, para ulama ahli fiqih akan lebih memanjangkan pembahasan masalah hukumnya. Ini tercermin dalam kitab tafsir Al-Jashshash (w. 370 H) yang mewakili mazhab Hanafi, Al-Jami’ li Ahkamil Quran karya Al-Qurtubi (w. 671 H) di kalangan mazhab , Ahkam Al-Quran Al-Kiya Al-Harasi (w. 502 H) di kalangan Asy-Syafi’iyah.

3. Aqidah

Para pegiat ilmu aqidah dengan berbagai macam faksinya juga menuliskan apa yang menjadi konsern mereka di bidang aliran-aliran aqidah lewat karya-karya tafsir. Tentu saja tafsirnya akan lebih menekankan sisi aqidah dan pecahannya.

Di antaranya Ar-Rummani, Al-Jubba’i, Al-Qadhi Abdul Jabbar, Az-Zamakhsyari dari kalangan Mu’tazilah, At-Thubrusy (w. 538 H), Mula Muhsin Al-Kasyi dari kalangan Syiah Itsna Asy’ariyah.

4. Filsafat

Tidak mau kalah juga para pegiat tasawwuf juga banyak menulis tafsir yang sekiranya sejalan dengan apa yang menjadi konsern mereka. Misalnya Tafsir Kasysyaf jarya Az-Zamakhsyari, tafsir Tanzih al-Quran an al-Mathain karya Al-Qadhi Abdul Jabbar, tafsir Mafatih Al-Ghaib karya Fakhruddin Ar-Razi dan lainnya.

(12)

12 5. Tafsir Tasawuf / Sufi

Para ahli tasawuf juga tidak ketinggalan untuk menuliskan karya-karya mereka lewat karya tafsir yang tentu saja sangat kental nuansa tasawuf yang mereka kemukakan. Di antaranya karya yang dinisbatkan kepada Sahal At-Tustari (w. 283 H), Tafsir As-Sulami (w. 412 H), Tafsir Ibnu Arabi (w. 631 H) dan seterusnya.

Dari kelima periode ini, kita akan masuk ke periode ketiga dan keempat, yaitu masa dimana tafsir masih merupakan riwayat-riwayat dari Nabi SAW, para shahabat dan juga para tabi’in, namun sudah mulai era penulisan, baik di periode ketiga yang masih bagian dari kitab hadits, atau pun di periode keempat yang sudah menjadi kitab tafsir tersendiri.

(13)

Bab 2 : Tafsir bil Ma’tsur dan Sumbernya

A. Pengertian

Tafsir bi al-ma’tsur (روثأملاب ريسفتلا) atau juga disebut dengan tafsir bir-riwayah ( ةياورلاب ريسفتلا) adalah penafsiran atas ayat Al-Quran yang disandarkan kepada riwayat atau atsar.

Istilah atsar ini sebenarnya istilah yang digunakan untuk perkataan shahabat sehingga dikenal dengan istilah atsaru-shahabah (ةباحصلا رثأ). Sedangkan perkataan Nabi SAW lazimnya disebut hadits. Namun atsar dalam konteks ini juga digunakan untuk tafsir yang bersumber dari Nabi SAW, para shahabat dan juga para tabi’in, karena diposisikan sebagai lawan dari kata ra’yu atau pemikiran.

B. Sumber Tafsir bil Ma’tsur

Sumber tafsir bil Ma’tsur yang utama ada empat, yaitu Al-Quran, Hadits, pendapat para shahabat, pendapat para tabi’in.

1. Al-Quran

Contoh tafsir aayt Quran dengan ayat Quran juga bisa kita lihat dalam menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 187 berikut ini :

اول لكَُو

اولبَ رشْاَو

ى َتَّح

َ َيَّبَتَي

للكَل

لطريَخرلا

لضَيربَ رلْا

َنِم

ِطريَخرلا

ِدَو رسَ رلْا

َنِم

ِررجَفرلا

(14)

14

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (QS. Al-Baqarah : 187)

Lafadz minal-fajr (رجفلا نم) di dalam ayat ini merupakan tafsir atas lafadz sebelumnya, yaitu terang bagi kamu benang putih dan benang hitam. 2. Hadits

Contoh dari penafsiran ini adalah ayat-ayat berikut ini :

a. Al-Quwwah = Memanah

Uqbah bin Amir menceritakan bahwa ketika Nabi SAW sedang berkuhtbah di atas mimbar, Beliau membaca ayat berikut ini, dan kemudian langsung menjelaskan apa yang dimaksud dengan al-quwwah di ayat itu.

اوُّدِعَأَو

رملهَل

اَم

َت ر سا

رلترع َط

رنِم

ةَولق

رنِمَو

ِط َبَِر

ِلريَخرلا

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat (QS. Al-Anfal : 60)

Rasulullah SAW kemudian menerangkan bahwa yang dimaksud dengan al-quwwah itu tidak lain adalah melempar anak panah.

َلَأ

َن

ا

ِ

َةَولقلا

يرمَرلا

Sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar panah.

b. Kalimat Taqwa

Imam At-Tirmiziy meriwayatkan bahwa Ubay bin Ka’ab radhiyallahuanhu meriwayatkan bahwa dirinya

(15)

pernah mendengar Rasulullah SAW membacakan suatu ayat Al-Quran, yaitu surat Al-Fath :

رملهَمَزرلَأَو

َةَمِ َكُ

ىَورقَتلا

Dan Allah mewajibkan mereka kalimat taqwa (QS. Al-Fath : 26)

Lalu Beliau SAW menjelaskan bahwa yang dimaksud dengna kalimat taqwa di dalam ayat itu adalah lafadz Laa illaah illallah.

c. Hisab Yang Mudah

Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa siapa saja orang yang dihisab, berarti dia pasti diadzab. Aisyah radhiyallahuanha lantas bertanya,”Bukankah Allah SWT menyatakan ada orang yang dihisab namun dengan hisab yang mudah.

َفرو َسَف

لب َساَ ليُ

ابَا َسِح

اا ريْ ِسَي

maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah (QS. Al-Insyiqaq : 8)

Rasulullah SAW menjawab bahwa yang dimaksud dengan hisab yang mudah itu sebenarnya bukan hisab, melainkan hanya dinampakkan di matanya saja.

َسريَل

َ ِ

لَذ

با َسِ ِبِ

رنِكَلَو

َ ِ

لَذ

ض ررِعلا

Itu bukan hisab melainkan hanya sekedar dinamakkan saja. (HR. Bukhari dan Muslim)

d. Al-Kautsar

Rasululullah SAW pernah mengatakan tentang apa yang dimaksud dengan Al-Kautsar sebagaimana

(16)

16

yang termuat di dalam Al-Quran dan menjadi nama salah satu surat.

رَثروَكلا

رر َنَ

ِهيِنا َطرعَأ

ِّب َر

ِف

ِةَنَلجا

Al-Kautsar adalah sungai yang Allah SWT berikan kepadaku di surga.

3. Perkataan Shahabat

Cukup banyak contoh penafsiran para shahabat yang bisa disebutkan, namun Penulis tidak akan memperbanyak lagi disini.

Setidaknya kita mengenal banyak shahabat yang menjadi para ahli tafsir, seperti para khulafaurrasyidin yang empat yaitu Abu Bakar Umar, Utsman dan Ali radhiyallahuanhum ajmain’.

Di luar itu kita juga mengenal tiga madrasah besar, yaitu Madrasah Mekkah yang dipimpin oleh Ibnu Abbas, Madrah Madinah yang dipimpin oleh Ubar bin Ka’ab dan Madrasah Kufah yang dipimpin oleh Ibnu Mas’ud ridwanullahi ‘alaihim.

4A Perkataan Tabi’in

Sumber yang keempat ini yaitu pendapat para tabi’in ini tidak secara bulat diterima. Misalnya Az-Zurqani yang cenderung menafikan pendapat para tabi’in dengan alasan mereka tidak pernah bertemu dengan Rasulullah SAW.

Namun Dr. Husein Adz-Dzahabi dalam kitabnya cenderung mendukung bahwa para tabi’in itu merupakan sumber tafsir juga. Salah satu alasannya karena kitab tafsir bil-ma’tsur yang paling besar, yaitu Tafsir Ath-Thabari masih juga menyisipkan

(17)

berbagai pendapat yang bersumber dari kalangan tabi’in.

(18)

18

Bab 3 : Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Bil

Ma’tsur

A. Kelebihan

Kalau dilihat dari sumber penafisiran, tafsir bil ma’tsur ini jelas punya kelebihan, yaitu sumbernya langsung dari Rasulullah SAW, para shahabat dan juga para tabi’in. Tiga lapis generasi itu disebut sebagai generasi yang terbaik yang pernah ada di muka bumi.

Maka dari segi keaslian, kemurnian dan juga kapasitas serta otoritas, tentu saja tafsir bil-ma’tsur inilah yang sangat bisa dipercaya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.

Sebagian kalangan mengatakan bahwa tafsir yang benar-benar bisa dipercaya kebenarannya hanyalah tafsir bil ma’tsur bila dibandingkan dengan tafsir bir’ra’yi. Alasannya karena keotentikan sumbernya.

Termasuk kajian yang amat penting dalam tafsir adalah mengetahui kapan dan bagaimana suatu ayat diturunkan, serta peristiwa yang melatar-belakangi turunnya. Dan kajian semacam ini hanya ada di dalam tafsir bil-ma’tsur saja, tidak terdapat dalam tafsir bir-ra’yi.

(19)

B. Kekurangan

Di samping mempunyai keistimewaan-keistimewaan, metode tafsir bi al-ma'tsur juga mempunyai beberapa kekurangan.

1. Kurang Lengkap

Tafsir bir-ma’tsur umumnya hanya merupakan penjelasan kata per kata tertentu saja, yaitu sebatas kata-kata yang kurang dipahami oleh para shahabat. Padahal kata dalam Al-Quran yang tidak dipahami oleh para shahabat sangat sedikit, mengingat mereka orang Arab asli yang mengalami turunnya Al-Quran, sehingga pengetahuan mereka justru tidak terungkap dalam catatan periwayatan. Ilmu mereka sebenarnya cukup banyak, namun tidak terungkap dan terkubur di alam pikiran mereka saja. Hal itu terjadi lantaran tidak ada faktor pemicu yang membuat mereka harus menguraikan makna ayat secara panjang lebar dan mendalam.

Berbeda dengan tafsir bi-ra’yi yang umumnya terpicu dari pengalaman lapangan para mufassirnya. Para ahli fiqih misalnya, karena mereka bergelut dengan masalah hukum, ketika bicara tentang ayat-ayat hukum, mereka bisa menguraikan dengan panjang lebar dan mendalam. Begitu juga dengan pakar bahasa, filsafat, aqidah, sains dan cabang-cabang ilmu lainnya, mereka bisa dengan leluasa bercerita tentang banyak hal dan masuk ke dalam kajian ayat yang sedang mereka tafsirkan.

Secara umum, kita yang membaca tafsir bil-ma’tsur terkadang merasa terbatasi ruang lingkup pembicaraannya. Berbeda dengan tafsir bi-ra’yi yang

(20)

20

biasanya amat luas kajiannya, sehingga sebagian kalangan ada yang menyindir bahwa di dalam tafsir bir-ra’yi terdapat semua masalah kecuali tafsirnya itu sendiri.

2. Kendala Keshahihan

Meskipun namanya tafsir bil-ma’tsur, yang mana merupakan tafsir yang sumbernya mengandalkan atsar baik ayat Al-Quran, hadits nabawi, perkataan shahabat ataupun tabi’in, namun biar bagaimana pun yang namanya riwayat itu bukan tanpa kritik.

Justru yang menjadi titik masalah adalah pada kritik periwayatannya itu sendiri. Dalam menerima dan mengamalkan hadits-hadits nabawi, kita tidak bisa menerima suatu hadits dengan begitu saja, harus melewati proses kritik sanad, sehingga nanti ada klasifikasi mana yang shahih, hasan, dhaif dan palsu. Maka demikian pula dengan sanad periwayatan dalam tafsir, harus lolos dari kritik periwayatan sanad juga. Sebab pada dasarnya tafsir bil-ma’tsur itu adalah hadits juga. Maka tafsirnya harus menjalani proses kritik juga sebagaimana hadits.

Masalahnya justru disitulah biang keladinya. Kebanyakan kitab tafsir yang ditulis para ulama di masa lalu, belum lagi dilengkapi dengan studi kritik periwayatannya. Sehingga bisa saja seorang yang membaca kitab tasfir bil-ma’tsur ini malah terjebak dengan tafsir yang mana periwayatannya dhaif, lemah bahkan palsu.

Contoh paling sering terjadi pada Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhuma. Nama

(21)

keduanya seringkali disebut-sebut sebagai sumber penafsiran, padahal boleh jadi jalur periwayatannya lemah atau malah bermasalah. Sehingga sekelas Al-Imam Asy-Syafi’i banyak meragukan tafsir yang konon bersumber dari Ibnu Abbas. 1

ثيدح ةئابم هيبش ل ا يْسفتلا ف سابع نبا نع تبثي لم

Tidak ada yang dipastikan kekuatan periwayatan tafsir dari Ibnu Abbas kecuali sekitaran seratusan hadits saja.

Bukan meragukan Ibnu Abbas sebagai ahli tafsir, tapi meragukan jalur-jalur riwayat yang diklaim sebagai riwayatnya Ibnu Abbas.

3. Sumber Isra’iliyat

Salah satu kritik terhadap tafsir bil-ma’tsur adalah masih tersisanya sumber-sumber penafsiran dari kalangan Bani Israil, atau disebut dengan israiliyat. Konon sebagian kalangan mengkritisi level para tabi’in yang disinyalir sebagiannya masih merujuk kepada kalangan ahli kitab dalam menafsirkan suatu ayat.

(22)

22

Bab 4 : Kitab Tafsir bil Ma’tsur

Dr. Husein Adz-Dzahabi di dalam At-Tafsir wa

Al-Mufassirun menuliskan setidaknya ada 8 delapan

kitab tafsir yang bisa dijadikan contoh tafsir dalam katergori bil Ma’tsur, yaitu :1

▪ Tafsir Jamiul Bayan fi Tafsir Ayil Quran karya Ibnu Jarir At-Thabari

▪ Tafsir Bahrul Ulum karya Abul-Laits As-Smarqandi

▪ Tafsir Kasyfu wal Bayan ‘an-Tafsir

Al-Quran, karya Abu Ishak Ats-Tsa’labi.

▪ Tafsir Ma’alimu At-Tanzil karya Abu Muhammad Al-Husein Al-Baghawi

▪ Tafsir Al-Muharrar Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab

Al-Aziz, karya Ibnu Athiyah Al-Andalusi

▪ Tafsir Al-Quran Al-Azhim, karya Abul Fida Ibnu Katsir

▪ Tafsir Al-Jawahir Al-Hisan fi Tafsir Al-Quran, karya Abdurrahman At-Tsa’alibi

▪ Tafsir Ad-Dur Mantsur fi At-Tafsir

Al-Ma’tsur, karya Jalaluddin As-Suyuthi.

Dalam tulisan ini Penulis akan menguraikan dua dari kedelapan tafsir tersebut yaitu Tafsir At-Thabari dan Ibnu Katsir.

1 Dr. Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid 1

(23)

A. Tafsir Ath-Thabari

Aslinya tafsir ini berjudul Jami‘ al-Bayan fi tafsir

al-Quran, namun kita lebih akrab dengan sebutan

Tafsir Ath-Thabari yang dinisbahkan kepada penulisnya, Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.). Beliau adalah seorang ulama multi-talenta. Dalam bidang sejarah, Beliau tercatat sebagai perintis sejarah Islam. Ia mendapatkan gelar Bapak Sejarah Islam karena jasanya meretas jalan di bidang kajian itu. Ilmunya dalam bidang ini pun berhasil diabadikan dalam sebuah karyanya yang agung berjudul,

Tarikhul Umam wal Muluk, sejarah umat-umat dan

para rajanya.

Ilmu hadis, sejarah, dan Al-Quran yang dikuasai menjadi modal bagi Ath-Thabari untuk menguasai tafsir Alquran. Beliau tumbuh menjadi ahli tafsir yang menjadi rujukan dan melahirkan karya yang monumental. Tafsir Jami'ul Bayan fit Tafsiril Quran yang lebih dikenal Tafsir Ath-Thabari, merupakan referensi bagi ahli tafsir lain setelah masanya.

Dengan karya besarnya itu, kemudian Ath-Thabari mendapatkan julukan marja'ul maraji (induk para ahli tafsir). Beliau adalah ahli tafsir awal yang karya tafsirnya sampai kepada masyarakat setelah masanya. Karyanya merupakan sebuah karya yang fenomenal.

Sebelum Ath-Thabari memang banyak ahli tafsir yang lahir. Namun karya mereka tak banyak ditemukan. Wajar saja jika semua ahli tafsir tak dapat memalingkan diri dari karya tafsirnya. Selain itu, tafsir Ath-Thabari memiliki kualitas yang tinggi. Tafsirnya penuh dengan pijakan tafsiran Rasulullah

(24)

24

(sunah), pendapat para sahabat dan tabi'in serta tabi'ut tabi'in.

Ath-Thabari memang memiliki kelebihan dalam beragam bidang. Kelebihannya ini membuat karya tafsirnya dianggap paling sahih dan hidup. Ahli tafsir ini amat menguasai sejarah, hadis maupun fikih. Bahkan dalam fikih ia mendapatkan gelar sebagai mujtahid mutlak. Laiknya para imam-imam besar fikih perintis, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali.

Karya tafsirnya dianggap sahih karena ia selalu menafsirkan suatu ayat dalam kitab suci dengan berpegang pada pendapat para sahabat dan tabiin. Thabari selalu mencoba mencari pendapat yang kuat dengan memperlihatkan kekuatan dan kelemahan masing-masing dari berbagai segi. Kemudian ia akan mengambil pendapat yang paling valid dan argumentatif. Sering ia menolak hadis untuk dijadikan argumentasi dalam sebuah penafsiran. Itu bila ia menganggap hadis tersebut lemah. Selain itu, juga karena hadis tersebut dianggapnya tak sesuai menjadi pijakan argumentasi dari suatu ayat yang ia tafsirkan. Biasanya, Ath-Thabari mengambil langkah awal menafsirkan sebuah tafsir dengan mencari makna suatu ayat dari segi bahasa. Ia memahami arti lahiriah kata per kata. Untungnya, ia memiliki kemampuan dalam bidang bahsa dan sastra. Tahap selanjutnya, ia pun memasukkan aspek lain dalam melakukan penafsiran.

Sesuai alirannya, tafsir ini masih sangat kental menyebutkan jalur-jalur periwayatan, mulai dari paling bawah yaitu Ibnu Jarir sendiri, kemudian ke

(25)

jalur di atasnya, terus sehingga sampa ke level sumber dari kalangan tabi’in, kadang terus lagi sampai ke level shahabat bahkan sampai ke level Rasulullah SAW.

B. Tafsir Ibnu Katsir

Judul aslinya adalah Tafsir Al-Quran Al-Azhim, namun lebih masyhur disebut Tafsir Ibnu Katsir, karya Al-Hafiz Ibnu Katsir al-Dimasyqi (w. 774 H). Tafsir ini salah satu dari antara tafsir bil ma’tsur yang shahih, jika kita tidak mengatakan yang paling shahih. Di dalamnya diterangkan riwayat-riwayat yang diterima dari Nabi SAW, para sahabat dan para tabi’in.

Keunggulannya bahwa dalam tafsir ini riwayat-riwayat yang dha’if ditinggalkan semuanya di samping diberikan komentar-komentar yang sangat memuaskan.

Darul-Kutub Al-Ilmiyah-Beirut, Lebanon, menerbitkannya dengan versi 4 jilid di tahun 2012. Dengan cover yang sama warna biru dongker keemasan merupakan cetakan keempat dengan ukuran yang sama pada setiap jilidnya yaitu 20x28.

(26)

26

Secara garis besar, langkah-langkah yang ditempuh Ibnu Kasir mulai dari menyebutkan ayat yang ditafsirkannya, kemudian Beliau tafsirkan dengan bahasa yang mudah dan ringkas. Jika dimungkinkan, Beliau menjelaskan ayat tersebut dengan ayat lain. Kemudian membandingkannya sehingga maksudnya menjadi jelas. Seperti halnya ketika ia menafsirkan kalimat lafadz hudan

lil-muttaqin (نيقتملل ىده), Beliau menafsirkan ayat ini

dengan ayat 44 dari surat Fushilat, ayat 82 dari surat Al-Isra’ dan ayat 85 dari surat Yunus.

Selain itu Beliau mengemukakan berbagai hadits atau riwayat yang disandarkan kepada Nabi SAW (marfu’) yang berhubungan dengan ayat yang Beliau tafsirkan. Bukan sekedar mengemukakan haditsnya saja, melainkan juga dikemukakan pendapat para sahabat, tabi’in dan para ulama’ salaf. Misalnya, ketika Beliau menampilkan banyak hadits untuk menjelaskan kata ghibah dalam ayat (اضعب مكضعب بتغي لاو), ia menegaskannya dengan hadits Nabi yaitu ( كاخأ كركذ هيضري لا امب) yaitu kamu menyebut saudaramu dengan hal yang tidak disenanginya).

Beliau juga mengemukakan berbagai macam pendapat mufasir atau ulama’ sebelumnya, sambil sesekali menentukan pendapat yang paling kuat diantara pendapat para ulama’ yang dikutipnya.

(27)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Setelah mengetahui bentuk dari kerja sama antara organisasi internasional dengan NGO, kemudian dapat diidentifikasi apa-apa saja upaya yang dilakukan oleh

Pemodelan menggunakan program software Homer untuk merancang sistem pembangkit listrik di salah satu perusahaan percetakan terbesar di Yogyakarta, yang memanfaatkan sumber

Dalam buku ini terlihat gambaran pelaksanaan tata kelola pemerintahan daerah, dilihat dari pelaksanaan audit internal sektor publik, kompetensi aparatur pemerintah

Jika fungsi distribusi itu adalah diskrit maka prosedur yang diperlukan untuk membangkitkan random variate dari f(x) sbb:.. Tempatkan RN yang diperoleh pada f(x) axis

Peserta didik didorong untuk mengumpulkan berbagai sumber informasi yang kemudian dari berbagai informasi yang diperolehnya tersebut peserta didik dapat menentukan

Kualitas air baku (TDS) RO tahap 1 (desalinasi) bervariasi sesuai dengan musim, jika musim hujan TDS air baku menjadi rendah sampai 500 mg/l karena resapan air hujan ke sumur air

− Nilai resiko yang diperkirakan harus dapat diperhitungkan dalam menetapkan kelayakan usaha baik secara ekonomi maupun secara finansial. − Upaya pengelolaan resiko harus