BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 S pesifikasi SistemBerikut merupakan spesifikasi sistem yang digunakan penulis untuk membuat dan menjalankan program aplikasi dalam melakukan pengujian metode normalisasi.
Tabel 4.1 Spesifikasi Sistem
S pesifikasi Perangkat Keras
M otherBoard Asus P5GC-M X/1333 Clock: 200 M Hz (QDR)
Processor DualCore Intel Pentium E2180,
2000 MHz (10 x 200)
Memory 2GB
Storage 74GB
Graphic Card ATI Radeon HD 5570
M onitor Samsung SyncM aster 591s/591v
S pesifikasi Perangkat Lunak
Sistem Operasi M icrosoft Windows 7 Professional
Framework M icrosoft .NET Framework 4.0.30319 RTM Rel
IDE M icrosoft Visual Studio C# 2010 Express
Library AForge.NET2.2.1
EmguCV 2.3.0
Penulis juga sudah mengujicobakan program aplikasi pada berbagai sistem operasi, seperti Windows XP SP2, XP SP3, dan Vista. Pada sistem operasi yang berbeda, program aplikasi tetap berjalan dengan baik. Untuk menjalankan program di komputer pengguna, pengguna cukup meng-install M icrosoft NET 4.0 Framework.
4.2 Implementasi Program Aplikasi
Untuk mempermudah penulis dalam implementasi pengujian, program aplikasi dibuat dalam modul-modul tugas. Konstruksi penelitian yang digunakan adalah sama seperti yang sudah dijelaskan pada bab 3. Berikut adalah tampilan dan implementasi program aplikasi.
4.2.1 Modul Metode Normalisasi
M odul ini bertujuan untuk menguji output dari metode normalisasi. Ketika program dijalankan, citra dapat di-load dengan memilih File ÆOpen Image. Selanjutnya, dengan memilih menu Source Filters atau tombol toolstrip yang ada pada window citra, metode normalisasi dapat dilakukan dan waktu pemrosesan juga ditampilkan pada bagian atas window citra output.
Pada gambar 4.1, diperlihatkan perbandingan output dari metode normalisasi. Sebagai contoh, output dari metode Multi-Scale Retinex ditunjukkan pada bagian kanan bawah dengan waktu pemrosesan 27 milisekon.
Selanjutnya, hasil dari tiap citra wajah ternormalisasi akan disimpan dalam suatu
folder terpisah dengan citra original. Pemrosesan seluruh citra menggunakan sistem yang terotomatisasi. Waktu pemrosesan juga dicatat dan disimpan pada suatu file excel.
Gambar 4.2 Contoh hasil pemrosesan Multi-Scale Retinex pada database Extended Yale B yang telah disimpan dalam folder.
4.2.2 Modul Training
M odul Training merupakan modul yang digunakan untuk melakukan pelatihan citra wajah. Hal yang perlu disiapkan pertama kali adalah folder yang berisi sampel citra yang ingin didaftarkan pada training set. Pendaftaran dilakukan ketika menu FileÆEnroll Faces dipilih. Dialog untuk memilih folder training set akan dimunculkan.
Setelah folder training set dipilih, pelatihan citra akan dilakukan dengan metode Principal Component Analysis (PCA). Citra yang sudah didaftarkan dapat dilihat pada program dan dihapus dengan memilih FileÆClear Database jika diperlukan.
4.2.3 Modul Pencocokan Citra
Citra yang sudah di-load dapat dicocokkan terhadap training set dengan memilih menu Faces RecogÆMatch Face jika ingin mencocokkan citra tanpa melalui proses deteksi wajah dan cropping. Pada program juga terdapat menu Faces RecogÆDetect and
Match Faces yang dapat dipilih jika proses deteksi wajah dan cropping ingin dieksekusi. Hasil keluaran dari pilihan ini adalah identitas subjek yang paling mendekati dengan citra wajah dan ditampilkan pada suatu kotak pesan.
Gambar 4.3 Contoh hasil pencocokan citra yang sudah diproses dengan Multi-Scale Retinex terhadap training set
Pada gambar 4.2, citra “yaleB01_P00A+085E+20” di-load. Jika citra belum dinormalisasi, sistem mengidentifikasi citra sebagai yaleB35. Setelah citra dinormalisasi dengan Multi-Scale Retinex, citra wajah dengan tepat diidentifikasi sebagai yaleB01.
Untuk melakukan pengujian secara terotomatisasi, menu FileÆMatch Faces dapat dipilih. Dialog untuk memilih folder citra uji akan ditampilkan. Setelah folder citra uji dipilih, proses pencocokan antara semua citra uji terhadap semua citra pada training set akan dilakukan dan hasil identitas citra uji tersebut akan ditampilkan pada file excel.
Gambar 4.4 Contoh file excel hasil dari skenario no. 36
Contoh di atas merupakan contoh hasil dari skenario no. 36 (pencocokan seluruh citra uji Multi-Scale Retinex dengan 38 subjek pada Database Extended Yale B). Terdapat 2414 baris yang menunjukkan hasil pengenalan dari setiap citra wajah. Pada baris ke-19 pada file tersebut, citra “yaleB01_P00A+035E+65” (individu no.1) dikenali sebagai “yaleB09_P00A-005E+10” (individu no. 9) yang berarti terjadi salah identifikasi.
4.3 Hasil dan Interpretasi Pengujian
Sesuai dengan konstruksi penelitian yang sudah dibuat sebelumnya, berikut adalah hasil pengujian metode normalisasi dalam bentuk tabel.
Tabel 4.2 Tabel hasil pengujian metode normalisasi
No Database subjek Uji M etode nUji nSR %SRR (ms)
1. E.Yale B 10 TS - 20 20 100% - 2. Gam 20 20 100% - 3. HE 20 20 100% - 4. Retinex 20 20 100% - 5. SSR 20 20 100% - 6. M SR 20 20 100% - 7. DB - 640 368 57,50% - 8. Gam 640 385 60,12% - 9. HE 640 428 66,88% - 10. Retinex 640 516 80,63% - 11. SSR 640 570 89,06% - 12. M SR 640 560 87,50% - 13. 19 TS - 38 38 100% - 14. Gam 38 38 100% - 15. HE 38 38 100% - 16. Retinex 38 38 100% - 17. SSR 38 38 100% - 18. M SR 38 38 100% - 19. DB - 1198 626 52,25% - 20. Gam 1198 648 54,09% - 21. HE 1198 750 62,60% - 22. Retinex 1198 928 77,46% - 23. SSR 1198 1014 84,64% - 24. M SR 1198 1027 85,73% - 25. 38 TS - 76 76 100% - 26. Gam 76 76 100% - 27. HE 76 76 100% - 28. Retinex 76 76 100% - 29. SSR 76 76 100% - 30. M SR 76 76 100% - 31. DB - 2414 1022 42,34% 0 32. Gam 2414 1088 45,07% 0,36 33. HE 2414 1193 49,42% 0,54 34. Retinex 2414 1589 65,82% 80,44 35. SSR 2414 1782 73,82% 13,39 36. M SR 2414 1801 74,61% 26,47
37. Faces95 36 DB - 613 594 96,90% - 38. Gam 613 602 98,21% - 39. HE 613 599 97,72% - 40. Retinex 613 602 98,21% - 41. SSR 613 591 96,41% - 42. M SR 613 595 97,06% - 43. 72 DB - 1293 1215 93,97% 0 44. Gam 1293 1217 94,12% 0,22 45. HE 1293 1221 94,43% 0,25 46. Retinex 1293 1218 94,19% 22,56 47. SSR 1293 1209 93,50% 4,38 48. M SR 1293 1212 93,74% 7,86 49. Grimace 18 DB - 350 343 98% 0 50. Gam 350 344 98.29% 0,26 51. HE 350 345 98,57% 0,31 52. Retinex 350 348 99,43% 22,68 53. SSR 350 344 98,29% 4,56 54. M SR 350 344 98,26% 8,01 Keterangan tabel:
nUji: banyaknya citra yang diuji untuk dicocokkan dengan training set.
nSR (n Successful Recognition): banyaknya citra yang berhasil dikenali dengan benar oleh PCA.
%SRR (Percentage of Successful Recognition Rate): persentase keberhasilan citra uji yang berhasil dikenali dengan benar oleh PCA. Nilai persentase ini dihitung dengan membagi jumlah citra yang berhasil dikenali dengan jumlah citra uji.
: waktu eksekusi rata-rata metode normalisasi untuk keselutuhan citra uji yang dilakukan sebelum ukuran citra diperkecil dalam milidetik (ms).
TS (Training Set): uji citra pada training set terhadap training set untuk mengukur validitas pelatihan citra.
DB (database): uji seluruh citra efektif (citra frontal yang 100% dapat terdeteksi wajah dan dalam kondisi baik) pada database terhadap training set.
Berdasarkan tabel hasil pengujian di atas, hasil interpretasi terhadap uji Training Set (TS) pada database Extended Yale B digambarkan pada grafik berikut.
Gambar 4.5 Grafik uji training set
Grafik di atas menunjukkan bahwa citra yang berada dalam training set dapat dikenali 100% jika tidak menggunakan metode normalisasi maupun jika menggunakan metode normalisasi. Hasil ini juga tidak bergantung pada jumlah citra pada training set. Baik database Yale dengan jumlah subjek 10 orang, 19 orang, maupun 38 orang seluruhnya dapat dikenali dengan sempurna.
Hasil dari pengujian ini membuktikan bahwa pelatihan PCA dapat me-recall secara sempurna seluruh citra dalam training set. Hal ini berarti pelatihan ini valid dan dapat digunakan untuk pengujian pengenalan citra. M eskipun demikian, tidak ada informasi tambahan mengenai validitas ataupun akurasi yang sama untuk citra di luar training set. Selain itu, penggunaan metode normalisasi untuk pengujian pada citra training set tidak mempengaruhi akurasi pengenalan citra. Citra tetap dikenali 100%. Hal ini belum membuktikan apapun. Hasil yang lebih akurat ditunjukkan pada skenario yang lain.
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Yale B ‐ 10 Yale B ‐ 19 Yale B ‐ 38
No Mthd Gamma HE Retinex SSR MSR
Berikut adalah grafik yang memperlihatkan hasil dari skenario pengujian untuk seluruh citra efektif pada Database Extended Yale B.
Gambar 4.6 Grafik uji citra efektif pada database Extended Yale B
Grafik di atas menunjukkan bahwa persentase pengenalan tanpa metode normalisasi (No Mthd) adalah paling rendah, yaitu 58%, 52%, dan 42%. Metode koreksi gamma memberikan persentase pengenalan sebesar 60%, 54%, dan 45% yang memberikan hasil selalu lebih baik namun tidak signifikan. M etode ekualisasi histogram (HE) memberikan pengaruh yang lebih baik daripada koreksi gamma, yaitu 67%, 63%, dan 49%. Selanjutnya, metode Retinex memberikan persentase yang jauh lebih baik, yaitu sebesar 81%, 77%, dan 66%.
Terlihat bahwa hasil paling baik diberikan oleh metode Single-Scale Retinex (SSR) dan Multi-Scale Retinex (MSR) dengan persentase 89%, 85%, 74% untuk SSR dan persentase 88%, 86%, dan 75% untuk M SR. Persentase ini menunjukkan hasil yang signifikan lebih baik dibandingkan metode normalisasi lainnya.
58% 52% 42% 60% 54% 45% 67% 63% 49% 81% 77% 66% 89% 85% 74% 88% 86% 75% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Yale B ‐ 10 Yale B ‐ 19 Yale B ‐ 38
No Mthd Gamma HE Retinex SSR MSR
Hasil yang diberikan SSR dan M SR ini memiliki selisih 1%. Dengan demikian, sulit untuk menentukan metode yang lebih baik. Parameter dari SSR dan M SR perlu diuji lebih lanjut pada penelitian yang lain.
Berikut adalah grafik yang memperlihatkan hasil dari skenario pengujian untuk seluruh citra efektif pada database Faces95 (36 dan 72 subjek) dan database Grimace.
Gambar 4.7 Grafik uji citra efektif pada database Faces95 dan Grimace
Grafik di atas menunjukkan bahwa meskipun metode normalisasi tidak digunakan, pengenalan wajah dapat berlangsung dengan sangat baik, yaitu sebesar 97%, 84%, dan 98%. Hal ini dikarenakan database Faces95 dan Grimace tidak memiliki variasi iluminasi yang signifikan.
Dapat dilihat pada grafik bahwa pada database Faces95 dengan subjek 36, metode SSR memiliki persentase keberhasilan pengenalan wajah sebesar 96% yang lebih rendah 1% dibandingkan dengan jika metode tidak digunakan. Hal ini memperlihatkan bahwa
97% 94% 98% 98% 94% 98% 98% 94% 99% 98% 94% 99% 96% 94% 98% 97% 94% 98% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Faces95 ‐ 36 Faces95 ‐ 72 Grimace
No Mthd Gamma HE Retinex SSR MSR
metode normalisasi dapat memberikan pengaruh negatif. Namun, secara keseluruhan, penggunaan metode normalisasi pada citra database ini tidak mempengaruhi pengenalan wajah secara signifikan dengan selisih persentase yang diberikan adalah 2%, sehingga metode normalisasi dapat digunakan pada sistem pengenalan wajah jika tidak terdapat variasi iluminasi.
Berikut adalah grafik yang memperlihatkan waktu permosesan rata-rata (dalam milisekon) metode normalisasi pada database Extended Yale B, Faces95, dan Grimace.
Gambar 4.8 Grafik waktu pemrosesan rata-rata (dalam ms) metode normalisasi
Dapat dilihat pada grafik bahwa metode koreksi gamma dan ekualisasi histogram melakukan pemrosesan paling cepat, yaitu sekitar 0.2 milisekon hingga 0.5 milisekon pada citra database Extended Yale B, Faces95, dan Grimace. Waktu pemrosesan pada database Extended Yale B lebih lama karena ukuran citra wajah yang diproses lebih besar, yaitu 168x192 pixel, sedangkan ukuran wajah hasil cropping dari database Faces95 dan Grimace cenderung lebih kecil dari citra Yale dan cenderung bervariasi.
00.40.5 00.20.3 00.30.3 80 23 23 13 4 5 26 8 8 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Ext. Yale B Faces95 Grimace
No Method Gamma HE Retinex SSR MSR
Waktu pemrosesan Retinex paling lama dari semua metode normalisasi, yaitu 80ms, 23ms, dan 23ms. Hal ini disebabkan karena metode Retinex membutuhkan jalur untuk melewati pixel secara random, sehingga jalur yang dipilih haruslah panjang.
M etode SSR membutuhkan waktu pemrosesan 13ms, 4ms, dan 5ms, sedangkan metode M SR cenderung membutuhkan waktu pemrosesan 2 kali lipat dibandingkan SSR. Hal ini sesuai perkiraan sebelumnya, karena pada M SR dipilih jumlah skala adalah 2 sedangkan SSR hanya memiliki satu skala.
Berikut diringkaskan perbandingan antara metode normalisasi. Persentase keberhasilan pengenalan wajah dirata-ratakan dari semua skenario dengan subjek berbeda pada database Extended Yale B. Waktu pemrosesan dirata-ratakan dari semua skenario dari semua database. Sebagai contoh, %SSR (Successful Recognition Rate) dari MSR dihitung dengan 88% 86% 75% 3⁄ . Selanjutnya, setiap nilai tersebut akan direpresentasikan relatif terhadap metode ekualisasi histogram.
Tabel 4.3 Perbandingan %SSR dan metode normalisasi serta nilai relatifnya dengan ekualisasi histogram
Indikator Gamma HE Retinex SSR MSR
%SSR 53% 60% 75% 83% 83%
%SSR 0.88 1 1.25 1.38 1.38
0.3 ms 0.37 ms 42 ms 7.33 ms 14 ms
0.81 1 113.51 19.81 37.84
Dibandingkan dengan ekualisasi histogram, metode M SR memiliki persentase keberhasilan pengenalan wajah 1,38 kali lebih baik, namun memiliki waktu pemrosesan 37,84 kali lebih lama. Dengan melihat metode SSR yang memiliki persentase yang sama dengan M SR dan waktu yang lebih cepat, metode SSR dapat dikatakan memiliki performa yang lebih baik dari M SR.
4.4 Analisis Multi-S cale Retinex
Untuk dapat mengetahui cara kerja Multi-Scale Retinex dan dapat mengimplementasikan Multi-Scale Retinex pada lingkungan yang sebenarnya, penulis merasa perlu untuk melakukan analisis lebih lanjut terhadap metode metode tersebut.
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab 2, formula Multi-Scale Retinex (M SR)
adalah ∑ dengan , log , log , , , dan
merupakan setiap channel dari R, G, dan B. Citra yang diproses dalam pengujian merupakan citra grayscale sehingga simbol dapat dihilangkan.
Formula M SR dapat dijabarkan menjadi:
log , log , , ,
log , log , , ,
. . . log , log , , ,
Karena ∑ 1, maka formula di atas dapat disederhanakan menjadi:
log , log , , ,
log , , , . . . log , , ,
Dengan penyederhanaan di atas, perhitungan log , cukup dihitung sekali untuk setiap pixel, sehingga dapat mempersingkat waktu komputasi yang dibutuhkan.
M eskipun sudah dapat mempersingkat waktu komputasi, secara keseluruhan waktu yang dibutuhkan oleh M SR bergantung dari waktu pemrosesan untuk menghasilkan citra Gaussian. Semakin besar sigma, maka fungsi sekitar akan memperbesar lebar kernel yang
dibutuhkan untuk konvolusi sehingga waktu yang dibutuhkan akan lebih lama. Sebagai perbandingan, metode ekualisasi histogram menghitung frekuensi setiap pixel dengan membentuk histogram, kemudian memodifikasi pixel-pixel tersebut sesuai frekuensi tersebut. Oleh karenanya, kompleksitas yang dibutuhkan untuk ekualisasi histogram adalah 2x x dengan dan merupakan sebagai lebar dan tinggi citra. Sedangkan untuk M SR, jika jumlah skala ( ) adalah 1, sigma adalah 8 dan dengan asumsi lebar kernel yang digunakan adalah 9 (lebar kernel haruslah ganjil), maka kompleksitas algoritma dari M SR adalah x9x9x x 81x x yaitu membutuhkan 40 kali lebih lama daripada ekualisasi histogram. Untuk mempersingkat kompleksitas yang dibutuhkan, maka modifikasi proses konvolusi ini perlu dilakukan, yaitu dengan memperkecil nilai , dan lebar kernel. Sedangkan untuk metode koreksi gamma, metode ini membuat tabel pemetaan untuk setiap byte kemudian melakukan modifikasi
pixel, sehingga kompleksitasnya adalah 255 . Kompleksitas metode Retinex
statis adalah x ) dengan adalah jumlah jalur dan adalah jumlah pixel yang dilalui untuk setiap jalur, sehingga pada penelitian ini kompleksitas Retinex adalah
0.25 8 8 x100 25x x . Pada hasil penelitian menunjukkan hal yang berbeda, yaitu waktu yang dibutuhkan Retinex statis adalah sekitar 100 kali lebih besar daripada ekualisasi histogram. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan jalur secara random pada perulangan masih kompleks. Source code bisa dilihat pada lampiran.
M enurut Barnard et al. (Barnard & Funt, p. 1), selain untuk mendapatkan pendekatan reflektansi absolut (color constancy), M SR juga melakukan kompresi jarak dinamis dan mempertajam kontras (Rahman, 1995). Pada literatur tersebut, efek yang diberikan M SR hanya dilihat secara visual. Untuk dapat memperlihatkan hal ini, penulis
memberi ilustrasi dalam bentuk tabel untuk memperlihatkan hubungan antara , sebagai intensitas citra sumber dan , , , sebagai intensitas dari citra sekitarnya. Untuk mempermudah analisis, digunakan 1 sehingga MSR dapat dilihat sebagai Single-Scale Retinex (SSR) serta diambil sampel diskrit pada intensitas dengan kedalaman 8 bit dari byte 0 hingga 255.
Tabel 4.4 Nilai perkiraan log , log , , , , , , dalam byte 0 32 64 96 128 160 192 224 255 , ( by te ) 0 128 0 0 0 0 0 0 0 0 32 255 128 97 78 65 55 46 39 33 64 255 159 128 109 96 86 78 70 64 96 255 178 147 128 115 105 96 89 83 128 255 191 160 141 128 118 109 102 96 160 255 201 170 151 138 128 120 112 107 192 255 210 178 160 147 136 128 121 115 224 255 217 186 167 154 144 135 128 122 255 255 223 192 173 160 149 141 134 128
Isi dari tabel di atas merupakan hasil dari log , log , , , sebagai algoritma SSR. Untuk menghindari nilai 0 pada log, maka pada perhitungan logaritma , dan , , , ditambah dengan 1. Hasil dari algoritma SSR tersebut berada pada interval -2,408 dan 2.408. Dengan menggunakan prinsip normalisasi atau contrast streching (Gonzalez & Woods, 2002, p. 85), nilai tersebut dipetakan ke byte 0 hingga 255. Normalisasi ini bergantung secara global dengan melihat keseluruhan pixel pada citra dan hasilnya bisa berbeda-beda untuk tiap citra, sehingga nilai pada tabel 4.3 merupakan nilai perkiraan jika citra sumber memiliki jarak dinamis yang lebar (memiliki semua rentang nilai pixel dimulai dari 0 hingga 255).
Dapat dilihat dari tabel tersebut bahwa SSR juga melakukan kompresi jarak dinamis citra. Intensitas yang gelap (0, 32, 64, dan 96) akan cenderung meningkat,
sedangkan intensitas terang (160, 192, 224, 255) akan cenderung menurun. Algoritma SSR juga memiliki sifat mempertajam kontras citra. Sebagai contoh, jika intensitas sumber adalah 64 dan nilai intensitas sekitarnya lebih rendah dari 64 (misalnya 32), maka output dari SSR akan meningkat secara signifikan (64 menjadi 159). Sebaliknya, jika intensitas sekitarnya lebih tinggi dari 64 (misalnya 160), maka peningkatannya tidak signifikan (64 menjadi 86).
M asalah yang dihadapai oleh algoritma SSR adalah pengabu-abuan pixel. Jika nilai intensitas sumber dan nilai intensitas sekitarnya relatif sama (misalnya 64 dengan 64 dan 96 dengan 96), maka output SSR akan menjadi abu-abu (intensitas 128). M asalah ini lebih sering dijumpai jika skala yang digunakan adalah rendah ( < 8) karena area sekitarnya relatif kecil. Selain itu, SSR bisa menimbulkan efek “halo”, yaitu munculnya cahaya putih pada sekeliling objek, yang disebabkan karena intensitas sekitarnya yang gelap (misalnya 0) sehingga menghasilkan output intensitas yang tinggi.
Berdasarkan pengamatan histogram, frekuensi intensitas dari M SR akan terlihat menyebar dari nilai 0 hingga 255 karena efek peningkatan kontras, namun lebih memuncak di tengah (sekitar 128) sebagai akibat dari efek kompresi dinamis dari M SR. Seringkali, histogram pada M SR meningkat di pixel 0 dan 255 karena efek “halo” dari M SR. Sebagai perbandingan, metode ekualisasi histogram juga akan menyebarkan frekuensi pixel pada citra sesuai dengan distribusi kumulatif histogram. M etode ekualisasi histogram akan mempertahankan jumlah frekuensi pixel dari histogram awalnya. M etode
Retinex statis dan koreksi gamma secara umum akan meningkatkan kecerahan citra, sehingga histogram akan terlihat bergeser ke kanan. Untuk lebih jelasnya, citra dan histogram dapat dilihat pada lampiran.
Walaupun jarang, M SR bisa menimbulkan distorsi warna yang tidak diharapkan, misalnya hijau menjadi biru. Hal ini dikarenakan M SR bekerja pada channel R, G, dan B yang terpisah. Untuk mengatasi hal ini, menurut Funt et al. (1997) M SR dimodifikasi menjadi Luminance-Based Multi-Scale Retinex (LM SR) yang dikatakan lebih baik daripada M SRCR (Multi-Scale Retinex with Color Restoration). Pada LMSR, algoritma bekerja pada channel grayscale yang selanjutnya output dari grayscale tersebut digunakan untuk memodifikasi pixel dari channel warna R, G, dan B. Penelitian pada skripsi ini belumlah melibatkan LM SR karena citra yang diolah berformat grayscale, namun peranan LM SR menjadi penting jika citra yang digunakan merupakan citra warna.
Berdasarkan sifat-sifat penskalaan pada M SR, dapat diketahui bahwa M SR bersifat lokal. Dengan demikian, pemrosesan untuk setiap pixel M SR hanya memperhitungkan area sekitar pada pixel tersebut. Semakin besar parameter sigma, maka semakin besar area lokalnya. Berbeda dengan metode ekualisasi histogram yang memperhatikan histogram, histogram dibuat secara global dengan melihat seluruh frekuensi seluruh pixel pada citra. Dengan melihat sifat ini, metode ekualisasi histogram sangat dipengaruhi oleh latar. Hal ini merupakan kelebihan dari M SR karena M SR tidak dipengaruhi latar. Namun, sebagai timbal baliknya, M SR memiliki kelemahan dalam pemrosesan citra yang ukurannya berbeda. Sebagai contoh, citra original dengan ukuran pixel 400x400 pixel yang diperkecil lalu diproses akan memiliki output yang berbeda dengan citra yang diproses terlebih dahulu kemudian diperkecil. Hal ini disebabkan karena nilai sigma M SR dianggap tetap (ukuran area sekitar adalah tetap) namun ukuran citra berubah sehingga area yang diproses pada citra sebelum dan sesudah diperkecil akan berbeda.
4.5 Usulan Penerapan
Berdasarkan hasil pengujian dan analisis metode normalisasi, penulis memberi usulan agar bisa diterapkan pada lingkungan yang sebenarnya dan tidak terkonstrain yaitu sebagai berikut.
1. Pada sistem pengenalan wajah, algoritma Single-Scale Retinex (SSR) dapat digunakan untuk menormalisasikan iluminasi pada citra. Namun, pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah variasi iluminasi yang terdapat pada lingkungan pengambilan citra. Jika variasi iluminasi sangat tinggi, metode SSR sangat baik untuk digunakan dalam pemrosesan. Sebaliknya, jika variasi iluminasinya sedikit, metode ekualisasi histogram memiliki performa yang lebih baik.
2. M etode SSR memiliki kompleksitas yang tinggi pada penelitian ini, yaitu sekitar 20 kali lebih besar daripada ekualisasi histogram. Penggunaan SSR memungkinkan jika kecepatan processor tinggi atau mengurangi frame rate pada kasus video. Penurunan frame rate pada video ini perlu dipertimbangkan terutama jika pergerakan objek memiliki kecepatan yang tinggi, namun tidak menjadi masalah yang berarti jika pergerakan objeknya rendah.
3. Nilai skala SSR yang digunakan pada penelitian ini adalah 8. Namun, skala ini tidak konsisten untuk semua objek yang diambil kamera karena SSR bergantung pada resolusi citra. Oleh karenanya, nilai ini perlu diatur sesuai dengan resolusi kamera atau dibuat dinamis sesuai dengan ukuran objek yang diambil. Pengujian langsung di lapangan sangat dibutuhkan.
4. Pendekatan aktif, misalnya mengatur iluminasi langsung pada lingkungan pengambilan objek, juga perlu dipertimbangkan sebagai solusi alternatif.