16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Konstruksi Hukum 1. Pengertian Konstruksi
Konstruksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah
susunan dan hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata. 24
Menurut Sarwiji yang dimaksud dengan makna konstruksi (construction meaning) adalah makna yang terdapat dalam konstruksi
kebahasaan. 25
Dapat diartikan bahwa konstruksi memiliki artian sebuah makna yang berhubungan dengan kata dalam kalimat atau kelompok kata yang lain yang ada didalam sebuah kajian kebahasaan. Pada pengertian yang lain konstruksi juga dapat diartikan sebagai susunan, bentuk, bangunan atau jembatan untuk menyusun hubungan kata yang ada dalam kalimat atau kelompok kata.
Kata konstruksi ini memiliki makna yang cukup sulit
dipahami, karena memiliki makna yang beragam dalam
interpretasinya, hanya di definisikan secara tunggal, yang mana akan tergantung pada konteks pembahasan yang ditulis.
Jadi, dari beberapa uraian diatas penulis mengambil intisari makna dari konstruksi dalam hubungannya dengan penelitian ini adalah
24 Alwi hasan, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat. Jakarta, Penerbit PT. Balai
Pustaka
25 Suwandi, Sarwiji, 2008. Semantik Pengantar Kajian Makna, Yogyakarta, Penerbit Media Perkasa,
sebagai tata cara, bentuk, susunan, atau pola-pola hubungan yang ada dalam suatu peraturan perundangan-undangan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat membentuk suatu susunan yang sistematis dalam perumusan mengenai prostitusi. 2. Pengertian Konstruksi Hukum
Untuk memenuhi kewajiban hakim dalam mengisi kekosongan hukum atau ketidakjelasan suatu peraturan perundangan-undangan dalam ilmu hukum dikenal dengan Konstruksi Hukum dan
Interpretasi (Penafsiran).
Kontruksi Hukum adalah cara mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan dengan asas-asas dan sendi-sendi hukum. Konstruksi Hukum terdiri dari 3 (tiga) macam yaitu analogi (abstraksi), Determinasi (Penghalusan Hukum) dan Argumentasi A contrario. 26 yaitu :
a. Analogi adalah penerapan sesuatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tersebut tadi, tetapi
penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain. 27
b. Penghalusan hukum yaitu dengan tidak menerapkan atau menerapakan hukum secara lain daripada ketentuan hukum tertulis yang ada atau memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga seolah-olah tidak ada pihak yang
disalahkan. 28
c. Argumentasi a contrario yang berarti bahwa menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa
yang diatur dalam undang-undang. 29
26 Enju Juanda, 2016. Konstruksi hukum dan metode interpretasi hukum, Jurnal ilmiah Galuh justisi,
Vol.4 No.2 September 2016, Fakultas Hukum Universitas Galuh, diakses pada
https://jurnal.unigal.ac.id/, hlm. 157
27 Ibid. 28 Ibid.
29 Sovia hasanah, 2017. Arti penafsiran hukum argumentum a contrario, diakses pada website
Jadi konstruksi hukum menjadi salah satu bahan kajian untuk membantu penulis dalam menganalisis permasalahan, karena dengan metode konstruksi hukum ini digunakan apabila dihadapkan dengan situasi adanya kekosongan hukum sehingga dengan menggunakan metode konstruksi hukum ini sangatlah penting untuk mewujudkan suatu keadilan.
Pada penulisan penelitian ini pengertian konstruksi hukum yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan seperti yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi makna konstruksi hukum itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai pengertian konstruksi hukum dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang konstruksi hukum bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait konstruksi hukum yang dimaksud dalam penelitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan tentang konstruksi hukum
B. Tinjaun Umum Tentang Delik 1. Pengertian Delik
Delict yang berasal dari bahasa Latin dellictum. Hukum pidana negara-negara Anglo-Saxon menggunakan istilah offense atau criminal act. Dalam KUHP Indonesia menggunakan istilah asli yaitu strafbaar feit yang bersumber pada WvS Belanda. Lalu timbul masalah
menerjemahkan strafbaar feit kedalam bahasa Indonesia. 30
Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana meskipun tidak untuk menerjemahkan strafbaar feit. Utrech
30 Andi Hamzah, (Edisi revisi 2008) , Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit PT. Rineka Cipta,
menggunakan istilah strafbaar feit menjadi peristiwa pidana dan istilah feit secara harfiah menjadi peristiwa. 31
Dalam hal ini delik juga diartikan sebagai tindak pidana atau sesuatu yang bertentangan dan melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggung jawabkan, baik dilakukan secara sengaja maupun tidak.
Di Belanda dipakai istilah feit digunakan karena alasan itu meliputi tidak hanya meliputi perbuatan (handelen) tetapi juga pengabaian (nattelen). Van Hamel mengusulkan istilah strafwaardig feit (yang artinya patut dipidana). 32
Roeslan saleh memakai istilah “perbuatan pidana” juga memakai istilah “delik”.Moeljatno mengatakan, bahwa perbuatan itu dapat disamakan dengan criminal act, dan berbeda dengan strafbaar feit yang berarti pertanggungjawaban pidana sedangkan criminal act
berarti perilaku dan akibat yang biasa disebut actus reus. 33
a. Menurut Moeljatno, perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang mana larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 34
b. Menurut Teguh Prasetyo, perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan suatu kesalahan oleh orang yang dapat
bertanggungjawab dan pelakunya diancam dengan pidana.35
c. Menurut Simons, Perbuatan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan
yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 36
Jadi perbuatan prostitusi dalam hal ini dapat di kategorikan ke dalam dalam perumusan pembagian delik pada penjelasan menurut simon diatas.
31 Ibid
32 Ibid, hlm. 87 33 Ibid, hlm 88
34 Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana ,cetakan-1, Jakarta, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada ,
hlm. 147
35 Ibid
36 TM Samudra, 2019. Dalam skripsi bab II landasan teori: Mengenai kualifikasi sebagai delik,
Pada penulisan penelitian ini pengertian suatu delik (tindak pidana) yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi pengertian delik itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai pengertian suatu delik dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang delik bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait pengertian delik yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan tentang delik.
2. Rumusan Delik
Yang pertama merumuskan delik itu sebagai suatu kesatuan, Simons, yang merumuskan bahwa strafbaar feit merupakan sebuah perilaku yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dilakukan oleh yang mampu
bertanggung jawab. 37 Jonkers dan Utrech memberi sudut pandang
bahwa rumusan yang dikemukakan oleh Simons merupakan rumusan
yang lengkap, yaitu : 38
1) Diancam dengan pidana oleh hukum; 2) Bertentangan dengan hukum;
3) Dilakukan oleh orang yang bersalah;
4) Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. 39
Delik dalam pasal 506 KUHP : “ Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun...”
Delik dalam pasal tersebut mengenai delik mucikari, terkait lewat waktu, dikatakan bahwa tidak diancam dengan pidana karena mucikarinya, atau menjadikan keadaan orang lain sebagai perbuatan
37 Andi Hamzah, Loc.Cit , hlm.88 38 Ibid
cabul, tetapi perbuatan sebagai mucikari yang menarik keuntungan yang diancam dengan pidana. Jadi tiap perbuatan dilakukan tersendiri
(sebagai delik selesai) yang lewat waktunya ( verjaring ). 40
Dalam Pasal 296 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah...”
Delik dalam pasal 296 KUHP ini disebut delik berangkai, yang artinya delik ini dilakukan dengan lebih dari satu perbuatan untuk
terjadinya delik itu. 41
Oemar Seno Adji,42 mengemukakan pendapat mengenai soal
prostitusi, pelacuran patut mendapat perhatian tersendiri, yang perlu menggariskan perbuatan mana yang harus dimasukkan sebagai ketentuan pidana atau perhatian pokok yang kita tujukan seperti yang dikatakan “extra- legal means” (suatu sarana hukum tambahan) yang dimana sarana ini diharapkan dapat hidup berdampingan dengan hukum pidana itu sendiri.
Bahwa dilihat kembali pada Pasal 296 KUHP diatas disebutkan bahwa, memidanakan barangsiapa yang menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul orang lain dengan pihak ketiga. Jadi disini dirumuskan sebagai “dengan sengaja” menghubungkan atau
memudahkan untuk melakukan perbuatan cabul oleh seseorang. 43
40 Ibid, hlm. 100
41 Ibid, hlm. 101
42 Nanda Agung Dewantara, 1998, Kemapuan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi
Kejahatan-Kejahatan Baru Yang Berkembang Dalam Masyarakat, cetakan-1, Yoyakarta, Penerbit :Liberty ,
hlm. 61
Perlu ditekankan stigma dan menjadi perhatian untuk semua bahwa tidak hanya terhadap wanita yang mendapat stigma “kurang baik” dalam masyarakat, dengan mereka yang mengadakan eksploitasi dari profesi yang dilakukan oleh seorang wanita, tetapi juga ada
terhadap pria yang mendatangi tempat prostitusi. 44
Pada penulisan penelitian ini rumusan delik (tindak pidana) yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi rumusan delik itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai rumusan suatu delik dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang rumusan delik bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait rumusan delik yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan tentang rumusan delik.
3. Unsur-unsur Delik Aliran monistis :
1) Suatu perbuatan 2) Melawan hukum 3) Diancam dengan sanksi 4) Dilakukan dengan kesalahan
5) Oleh yang dapat dipertanggungjawabkan. 45
Aliran dualistis : 1) Suatu perbuatan
2) Melawan hukum (dilarang)
3) Diancam dengan sanksi pidana. 46
44 Ibid.
45 Teguh Prasetyo, Opcit, hlm. 148 46 Ibid
Berkaitan dengan tindak pidana, pandangan monistis dan dualistis. Penganut pandangan monistis tentang stafbaarfeit atau delik bahwa ada beberapa unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik, ialah sebagai berikut :
a. Kemampuan bertanggung jawab;
b. Kesalahan dalam arti luas, disengaja dan/atau kealpaan; c. Tidak ada alasan pemaaf;
Dalam aliran monistis ini jika tidak terbukti salah satu unsur dari 3 unsur yang ada , maka strafbaarfeit atau tindak pidana tidak terbukti, dan tidak ada strafbaarfeit atau tindak pidana. Sedangkan pada aliran dualistis delik unsur pembuat yang merupakan pertanggungjawaban pidana pembuat, tidak termasuk unsur delik tetapi dengan kata lain masih terbukti adanya delik. 47
Aliran monistis memandang bahwa tindak pidana mencakup perbuatan dan akibat serta pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dari si pelaku, apabila telah dilakukannya tindak pidana berarti telah dipenuhi syarat pemidanaan atau penjatuhan pidana. Dalam pandangan dualistis disebut dengan sistem anglo saxon, dimana berdasar hukum pidana masa kini, memperhatikan perbuatan yang dilakukan disatu sisi dengan berpedoman pada asas legalitas, dan diri si pembuat berdasarkan asas tidak
ada pidana tanpa kesalahan. 48
Pendapat lain dari Unsur-unsur yang terkandung dalam suatu delik, ialah sebagai berikut : a) Subjek; b) Kesalahan; c) Bersifat melawan hukum; d) Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh
47 RH Widiastuti, 2019. dalam skripsi tinjauan pustaka : aliran monistis dan dualistis, diakses pada
http://eprints.ums.ac.id/, 4 januari 2020, hlm. 18-19
Undang/perundang-undangan dan terhadap pelangganya diancam dengan
pidana; e) Waktu, tempat dan keadaan (unsur objektif lainnya). 49
Dalam merumuskan suatu tindak pidana ada 3 (tiga) kemungkinan, yang pertama tindak pidana dirumuskan baik nama ataupun unsur-unsur, kedua bahwa tindak pidana yang hanya dirumuskan unsurnya saja, ketiga bahwa tindak pidana yang hanya menyebutkan namanya saja tanpa menyebutkan unsur-unsurnya. Dalam hal perumusan beberapa tindak pidana tersebut memiliki manfaat yaitu: menyebutkan nama tindak pidana diperlukan pada saat menyusun berita acara dalam penyidikan, misalnya pada berita acara penyidikan disebutkan untuk Tindak pidana apa seorang
terdakwa dituduhkan. 50
Sedangkan unsur-unsur dalam suatu tindak pidana digunakan untuk membuktikan bahwa seseorang memenuhi delik yang dipersalahkan butuh pembuktian unsur-unsur ini. karena jika yang dituduh tidak memenuhi satu saja dari unsur delik yang dituduhkan, maka seseorang yang melakukan perbuatan tersebut dianggap tidak melakukan tindak pidana yang dituduhkan dan akibatnya orang tersebut yang dituduh harus dibebaskan
dari tuduhan melanggar pasal yang tidak terbukti. 51 dan bisa jadi suatu
kejadian tersebut sudah terjadi, namun bukan suatu tindakan yang terlarang oleh Undang-Undang terhadap mana diancam dengan suatu pidana
Moeljatno, berpendapat terhadap unsur-unsur tindak pidana bahwa ada persamaan dan perbedaan unsur subjektif tidak termasuk unsur
49 Al Akif Candra Kelana Pelu, 2019. dalam thesis : Reformulasi Delik Perzinaan dalam Pesrpektif
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, http://eprints.umm.ac.id, diakses pada 2 Desember 2019, hlm.49
50 Ibid, hlm.50 51 Ibid.
perbuatan pidana, namun termasuk pada unsur pertanggungjawaban pidana.
Sedangkan Unsur-unsur objektif merupakan unsur dari perbuatan pidana. 52
Dari jabaran delik diatas dapat dibagi 2 (dua) unsur, yaitu : unsur subjektif berupa: a. Subjek; b.kesalahan. sedangkan unsur objektif berupa: a. Bersifat melawan hukum; b. Tindakan yang terlarang serta diancam dengan pidana oleh Undang-Undang; dan 3 (tiga) faktor objektif lainnya, apabila dibedakan antara unsur-unsur demikian, dimana dibedakan antara unsur-unsur yang berada diluar diri pelaku.
Dari dibedakannya unsur-unsur dalam tindak pidana maka suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang ada di dalam masyarakat maupun bertentangan dengan hukum dapat dengan cermat mengkategorikan perbuatan tersebut kedalam tindak pidana serta memenuhi unsur-unsur dari jabaran delik tersebut.
Pada penulisan penelitian ini unsur-unsur delik (tindak pidana) yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi unsur-unsur delik itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai unsur-unsur suatu delik dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang unsur-unsur delik bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait unsur-unsur delik yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan tentang unsur-unsur delik.
52 Ibid, hlm.51
4. Ruang Lingkup Delik
Dalam beberapa ruang lingkup menurut Sudarto menjabarkan ruang lingkup delik umum tindak pidana, yaitu :
1. Kejahatan dan pelanngaran. Dalam pembagian delik ini, terdapat dalam sistem KUHP;
2. Delik formil dan delik materil,
a. Delik formil, yaitu secara singkat menjelaskan bahwa delik formil ialah delik yang perumusanya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik ini telah selesai dengan dilakukanya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. dalam delik ini, suatu akibat tertentu hanya dapat memberatkan atau meringankan pidana, namun juga tanpa akibat perbuatan itu sendiri sudah dilarang dan dapat dipidana. contohnya: pengahasutan (Pasal 169 KUHP); di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan terhadap satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (Pasal 156 KUHP); penyuapan (Pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (Pasal 242 KHP); pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP); pencurian (Pasal 362 KUHP).
b. Delik materiil yaitu, suatu delik yang suatu perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru dikatakan selesai jika akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Seumpana belum terjadi, maka paling banyak hanya ada percobaan. Dalam delik materiil menelaskan tentang akibat “konstitutif” Misal: pembakaran (Pasal 187 KUHP); penipuan (Pasal 378 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan delik materiil tidak tajam, misalnya Pasal 362
KUHP. 53
3. Delik commisionis, delik omissionis, dan delik commissionis per omissionem commissa :
a. Delik commisionis : yang berarti pelanggaran terhadap laranagan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, misal pencurian, penggelapan, penipuan.
b. Delik commissionis : yang berarti suatu pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan atau diharuskan, contohnya : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal 522 KUHP), dan tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 532 KUHP).
c. Delik commissionis per omissionen commissisa : delik yang berarti pelanggaran larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapat
dilakukan dengan cara tidak berbuat. Contohnya: seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu 9 Pasal 338, 340 KUHP); seseorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194
KUHP). 54
4. Delik dolus dan delik Culpa
a. Delik dolus : yaitu berupa delik yang memuat unsur kesengajaan, contohnya: Pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP.
b. Delik culpa : yaitu berupa delik yang memuat unsur kealpaan yang menjadi salah satu unsurnya, contohnya : Pasal-pasal 195, 197, 201,
203, 231 ayat (4) , 359 dan 360 KUHP. 55
5. Delik tunggal dan delik berganda
a. Delik tunggal : yaitu berupa delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali
b. Delik berganda : delik yang baru, jika dilakukan beberapa kali perbuatan, contonya : Pasal 481 KUHP (penadahan sebagai
kebiasaan). 56
6. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus : delik yan berlangsung secara terus menerus ini memiliki ciri, yaitu keadaan terlarang berlangsung terus, contohnya : merampas
kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP). 57
7. Delik aduan dan bukan delik aduan : delik aduan merupakan salah satu yang dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena, contohnya : penghinaan (Pasal 310 dst jo 319 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), pemerasan dengan ancaman ( Pasal 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo ayat 2). 58
8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya : yang dimaksud dengan delik ini ialah dimana suatu delik ada pemberatannya, contohnya : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya seseorang (Pasal 351 ayat 2,3 KUHP) , pencurian pada waktu malam hari (Pasal 363 KUHP). Dan ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, contohnya :
pembunuhan anak-anak (Pasal 341 KUHP). 59
Pada penulisan penelitian ini ruang lingkup suatu delik (tindak pidana) yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi ruang lingkup delik itu dalam penelitian ini.
54 Ibid, hlm. 32 55 Ibid. 56 Ibid 57 Ibid, hlm. 33 58 Ibid, 59 Ibid
Penjabaran mengenai ruang lingkup suatu delik dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang ruang lingkup delik bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait ruang lingkup delik yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan umum tentang ruang lingkup delik.
C. Tinjauan Umum Tentang Prostitusi atau Pelacuran 1. Pengertian Prostitusi atau Pelacuran
Secara etimonologi kata prostitusi berasal dari bahasa latin yaitu “pro-stituere” artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedangkan kata ‘prostitute’ merujuk pada kata keterangan yang berarti WTS atau sundal dikenal pula
dengan istilah Wanita Tuna Susila (WTS). 60
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) WTS diartikan sebagai wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi pelacur atau
disebut juga seseorang yang menjual jasa. 61 Seseorang yang menjual jasa
seksual disebut WTS, yang kini kerap disebut dengan istilah Pekerja Seks
Komersial (PSK). 62
Yang dimaksud dari prostitusi ini dari penjelasan diatas ialah bahwa seseorang yang membiarkan dirinya melakukan perbuatan seksual dengan orang lain dengan kata lain pelacuran dan seorang perempuan dimana memiliki profesi sebagai pelacur atau Pekerja Seks Komersial (PSK) yang bertujuan menjual jasa seksual kepada orang lain.
60 Vera Yuli Aryanti, 2017, dalam thesis : Fenomena Praktik Prostitusi di Warung (Studi Kasus di
Kawasan Mojosari Kabupaten Mojokerto), Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang,
diakses pada http://eprints.umm.ac.id/ , diakses pada 15 Desember 2019, hlm.1
61 Kamus Besar Bahasa Indonesia 62 Vera Yuli Aryanti, Loc.Cit.
Sarjana P.J de Bruine van amstel berpendapat bahwa prostitusi merupakan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan ialah
bentuk penyerahan dengan harapan mendapat feedback berupa bayaran. 63
Menurut Bonger dalam Mudjijono prostitusi adalah gejala sosial ketika wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan seksual sebagai mata
pencahariannya. 64
Dalam penjelasan tersebut bahwa prostitusi merupakan salah satu perbuatan yang dimana seorang wanita melakukan perbuatan tersebut memiliki beberapa faktor, salah satunya faktor ekonomi yang dimana seseorang yang memiliki gaya hidup yang tinggi dan tidak memiliki pekerjaan melakukan perbuatan seksual untuk mendapatkan bayaran dan dianggap itu sebagai mata pecahariaannya.
Soedjono mengemukakan bahwa prostitusi ialah suatu perbuatan dimana seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya untuk memperoleh bayaran dari laki-laki yang membayarnya, dan wanita tersebut tidak memiliki mata pencaharian lain dalam hidupnya kecuali melakukan
hubungan dengan banyak orang (laki-laki) yang membayarnya. 65
Bahwasannya perbuatan prostitusi ini merupakan perbuatan yang dianggap “tidak baik” dalam kalangan masyarakat karena bertentangan dengan norma-norma yang ada di masyarakat, seperti norma kesusilaan, norma sosial dan norma agama. Dan perbuatan eksploitasi wanita dipandang menjadi suatu keburukan yang pokok dalam
perundang-undangan yang ada kaitannya dengan perbuatan prostitusi. 66
63 Sfnur Hutami, 2018, dalam bab II Landasan Teori (tulisan ilmiah/skiripsi) : Dampak Lokalisasi
Prostitusi Terhadap Perilaku Remaja di Sekitarnya, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
diakses pada http://repository.umy.ac.id/, akses 2 Desember 2019, Hlm. 16
64 Mia Amalia, 2016, Analisis terhadap tindak pidana prostitusi dihubungkan dengan etika moral
serta upaya penanggulangan di kawasan Cisarua Kampung Arab, Tangerang, jurnal hukum mimbar
justitia, Vol. 2 No. 2 Julli-Desember 2016, Fakultas Hukum Universitas Suryakancana diakses pada
https://jurnal.unsur.ac.id/, akses 4 Desember 2019, hlm. 3
65 Ibid,
Pelacuran bila dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus
terhadap pelaku prostitusi (PSK) maupun pengguna jasa prostitusi. 67
Khusunya pada pasal 209 dan 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ditunjukkan pada wanita tuna susila (WTS) ataupun terhadap pengguna jasa nya, tetapi ditujukkan kepada pemilik rumah-rumah bordil, yaitu para germo atau mucikari.
Ditinjau dari sudut pandang psycopathologis, prostitusi merupakan suatu perilaku yang menyimpang dari norma-norma susila, selanjutnya
kartini kartono mengemukakan definisi pelacuran sebagai berikut : 68
a) Prostitusi merupakan bentuk penyimpangan seksual dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu seks tanpa kendali
dengan orang banyak disertai eksploitasi dan komersialisasi seks. 69
b) Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan menjual belikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang
untuk memuaskan nafsu seks dengan imbalan pembayaran. 70
c) pelacuran adalah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul, dengan mendapatkan
upah. 71
Pada penulisan penelitian ini pengertian pelacuran atau prostitusi yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi pengertian prostitusi itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai pengertian prostitusi dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang pengertian prostitusi bertujuan untuk memberi gambaran
67 Mia Amalia, Opcit, hlm. 4
68 C.I Anom Pemayun, 2017, dalam tulisan makalah: Upaya Pemerintah Dalam Memberantas
Prostitusi, Denpasar, Fakultas Hukum Universitas Udayana, diakses pada
https://simdos.unud.ac.id/, akses 23 November 2019, hlm. 8
69 Ibid 70 Ibid 71 Ibid
secara umum terkait pengertian prostitusi yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan umum tentang pengertian prostitusi
2. Faktor-faktor penyebab prostitusi
Weisberg menemukan adanya tiga motif utama yang menyebabkan
perempuan memasuki dunia pelacuran, yaitu : 72
1) Motif psikoanalisa menekankan aspek neurosis pelacuran, seperti bertindak sebagaimana konflik dan kebutuhan untuk menentang standar
orang tua dan sosial. 73
2) Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi , yang
dimaksud motif ekonomi ini ialah uang. 74
3) Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang tua, penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan
dengan orang tua. 75
Pada penulisan penelitian ini mengenai faktor-faktor penyebab prostitusi yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi faktor-faktor penyebab prostitusi itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai faktor-faktor penyebab prostitusi dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang faktor-faktor penyebab prostitusi bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait faktor-faktor penyebab prostitusi yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan umum tentang faktor-faktor penyebab prostitusi.
72 Lutfi Irwansyah, 2016, dalam artikel Seminar Asean Psychology and Humanity forum Psychology
UMM : Kemiskinan, Keluarga dan Prostitusi pada Remaja, diadakan pada 19-20 Februari 2016, diakses pada http://mpsi.umm.ac.id/ , akses 23 November 2019, hlm. 214
73 Ibid
74 Ibid, hlm. 215 75 Ibid
3. Jenis –jenis Prostitusi
Ada beberapa jenis pelacuran menurut Kartini Kartono, diantaranya yaitu : 76
1) Prostitusi menurut Aktivitasnya :
a. Prostitusi terdaftar : dimana pelakunya diawasi oleh Vice control dari kepolisian, dibantu oleh rekan sosial dan rekan kesehatan. b. Postitusi yang tidak terdaftar : yang termasuk dalam golongan ini
ialah mereka yang elakukan secara diam-diam, gelap-gelapan dan
liar, baik perseorangan maupun kelompok. 77
2) Prostitusi menurut jumlahnya :
a. Prostitusi yang beroperasi secara individual
b. Prostitusi yang terorganisir dan rapi. 78
3) Prostitusi berdasarkan lokasinya :
a. Lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kopmleks penduduk b. Rumah-rumah panggilan
c. Dibalik bisnis-bisnis terhormat ( misal: salon kecantikan, rumah
makan, tempat mandi uap dan pijat, dan lain-lain). 79
Perlunya mengetahui jenis-jenis perbuatan prostitusi ini untuk dapat memudahkan aparat penegak hukum untuk mengkategorikan perbuatan prostitusi yang ditangani nya termasuk kedalam kategori prostitusi yang jenis apa agar dapat bertindak sesuai dengan prosedur-prosedur yang jelas
76 Sfnur Hutami, Opcit, hlm. 23 77 Ibid,
78 Ibid, 79 Ibid, hlm. 24
dan baik dan dapat memberi rasa aman terhadap masyarakatnya terhadap perbuatan prostitusi yang meresahkan di lingkungan masyarakat.
Pada penulisan penelitian ini mengenai jenis-jenis prostitusi yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi jenis-jenis prostitusi itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai jenis-jenis prostitusi dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang jenis-jenis prostitusi bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait jenis-jenis prostitusi yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan umum tentang jenis-jenis prostitusi .
4. Modus Operandi Prostitusi
Penggambaran dalam modus prostitusi ada beberapa cara, ialah
sebagai berikut : 80
1) Prostitusi legal/lokalisasi resmi, ialah modusnya berupa para pelaku dan konsumen melakukan transaksi seksual langsung di tempat lokalisasi tersebut, baik secara melalui germo atau secara langsung melalui pelaku prostitusi.
2) Prostitusi jalanan, ialah modusnya berupa pelaku menjajakan diri di tempat-tempat tertentu yang tidak resmi. Yang biasanya terjadi seorang konsumen melakukan transaksi langsung dengan pelaku.
80 Luqman Hakim, 2007, dalam thesis : Tinjauan Yuridis Sosiologis Tentang Fenomena Prostitusi
(Studi PSK dilokalisasi Krandeg-Nganjuk), Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang,
3) Prostitusi bentuk lain, ialah modusnya bisa oleh konsumen secara langsung maupun berhubungan atatu melakukan transaksi dengan pelaku, bisa juga melalui makelar atau penghubung.
4) Prostitusi modern, ialah modusnya melalui situs jejaring sosial (internet).
Dalam ruang lingkup kehidupan sosial di masyarakat, prostitusi
merupakan fenomena dalam masyarakat yang harus segera dicarikan solusi sosialnya dengan baik, karena mengingat perbuatan prostitusi meruakan perbuatan yang menyimpang dan melanggar moral, serta mengakibatkan dampak sosial di kehidupan masyarakat terutama menyebabkan kerusakan tatanan lingkungan masyarakat, seperti kejahatan lain yang meliputi
perjudian, perkosaan dan lainnya. 81
Pada penulisan penelitian ini mengenai modus operandi prostitusi yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi modus operandi prostitusi itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai modus operandi prostitusi dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang modus operandi prostitusi bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait modus operandi prostitusi yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan umum tentang modus operandi prostitusi 5. Ketentuan Prostitusi dalam KUHP
Pelacuran atau prostitusi merupakan suatu permasalahan dalam yang seharusnya keberadaannya harus dicermati, karena dengan perbuatan prostitusi menimbulkan dampak lain munculnya sebuah kriminalitas,
seperti perjudian, minuman keras, dan lainnya. 82
81 Ibid, hlm. 24
Dalam hal ini menurut kajian kriminologis telah sangat mendesak untuk dilakukan kajian faktor-faktor penyebab dan upaya penanggulangan prostitusi, sebagai langkah antisipatif agar dampak dari perbuatan prostitusi tersebut tidak muncul muncul secara meluas.
Secara komprehensif, dapat memperhatikan juga aspek budaya,
psikologis maupun kebijakan publik.83 fenomena pelacuran di Indonesia
semakin meningkat karena Indonesia belum mempunyai peratutan-peraturan yang secara khusus mengatur tentang larangan orang yang melakukan perbuatan pelacuran atau prostitusi tetapi dalam KUHP hanya mengatur larangan bagi mereka yang mengeksploitasi para pelacur, yang dilakukan oleh mucikari dan germo.
Bagi germo, larangan itu termaktub dalam Pasal 296 KUHP dan terhadap muckari larangan nya terdapat pada Pasal 506 KUHP , berbunyi : Pasal 296
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah...”
Pasal 506
“Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun...”
Prostitusi dikatakan kabur dalam peraturan KUHP, karena ketidak jelasan apakah prostitusi memang merupakan suatu kejahatan jika dilihat
83 Ibid, hlm. 25
dari segi yuridis, dan jika demikian mengapa hukum pidana (KUHP) tidak secara tegas dalam menetapkan prostitusi sebagai suatu kejahatan. Oleh karena itu tidak adanya pasal yang mengatur dalam KUHP, perbuatan prostitusi ini dianggap sebagai kejahatn menurut pandangan sesuai dengan salah satu asas hukum pidana, yaitu asas legalitas (tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas ketentuan pidana dalam perundangan-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan).
Pada penulisan penelitian ini mengenai ketentuan prostitusi dalam KUHP yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi ketentuan prostitusi dalam KUHP itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai ketentuan prostitusi dalam KUHP dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang ketentuan prostitusi dalam KUHP bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait ketentuan prostitusi dalam KUHP yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan umum tentang ketentuan prostitusi dalam KUHP
D. Tinjauan Umum Teori Kriminalisasi, Teori Keadilan , dan Teori Kepastian Hukum (utility).
1. Pengertian Teori Kriminalisasi
Kriminalisasi ialah bagian dari politik hukum pidana yang merupakan kebijakan bagaimana merumuskan tindak pidana yang baik dan memberikan pedoman dalam pembuatan (kebijakan legislatif), aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan (kebijakan eksekutif) hukum pidana. 84
84 Ari Wibowo, 2015, Tinjauan Teoritis Terhadap Wacana Kriminalisasi LGBT, Yogyakarta, Jurnal
Cakrawala Hukum, Vol 11 No. 1 Tahun 2015, Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, diakses pada
Krimnalisasi menjadi bagian dari politik hukum pidana khususnya pada kebijakan Legislatif atau formulatif. Pada tahap formulatif ini akan menentukan pada tahap-tahap berikutnya karena pada tahap ini akan ditentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang akan dijadikan sebagai tindak pidana. Kriminalisasi merupakan proses penetapan suatu perbuatan yang
awalnya bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana. 85
Karena perilaku seks bebas atau perbuatan prostitusi ini merupakan perbuatan penyimpangan seksual yang tidak memperhatikan nilai moral, agama, etika serta hukum yang berlaku saat ini. Serta menjadi masalah yang sangat urgent hingga saat ini yang harus ditanggulangi bersama oleh Pemerintah, aparat penegak hukum, pembuat kebijakan dan seluruh elemen masyarakat agar dapat meminimalisir perbuatan prostitusi salah satunya ialah dengan melakukan kriminalisasi terhadap pelaku atau para pihak yang terlibat dalam prostitusi agar dapat diketahui darimana akar permasalahan prostitusi ini sehingga menjadi salah satu perbuatan yang meresahkan masyarakat sekitar.
Kebijakan kriminalisasi ialah menetapkan perbuatan yang awalnya bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan. Kebijakan kriminalisasi bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana, oleh karena itu
termasuk dalam salah satu bagian dari kebijakan hukum pidana. 86
Suatu perbuatan dapat dipidana harus ditemukan beberapa ketentuan yang mencerminkan pencelaan terhadap perbuatan yang bertentangan
85 Ibid
86 Vicky Kholia Winarto, 2016, dalam thesis (penelitian hukum) : Kebijakan Kriminalisasi Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Pedofilia Menurut Hukum Pidana Indonesia, Riau, Jurnal Online Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Riau, Vol. 3 Nomor 2 Oktober 2016, diakses pada
dengan nilai kesusilaan dan keagamaan dalam masyarakat, dan juga dapat tertampung akibat perkembangan ilmu dan teknologi yang tidak kita
kehendaki. 87
Sebuah proses kriminalisasi ini merupakan awal dari proses suatu pemidanaan dan pada proses akhirnya nanti akan menghasilkan suatu produk undang-undang dimana didalamnya diancam sanksi yang berupa perbuatan tindak pidana, maka terbentuklah peraturan hukum pidana
dimana telah siap diterapkan oleh penegak hukum seperti Hakim. 88 dalam
menjatuhkan hukuman pidana kepada pelaku (pengguna jasa prostitusi) yang telah melakukan perbuatan tersebut.
Kriminalisasi pada hakikatnya merupakan pintu masuk untuk keberlakuan hukum pidana (mteriil). Hukum pidana yang dimaksud oleh
Moeljatno ialah : 89 “ Hukum pidana ialah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 90
b) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan. 91
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut. 92
87 Djoko prakoso, 1987, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, cetakan-1, Yogyakarta,
penerbit : Liberty, hlm. 153
88 Ibid.
89 Marthen H.Tholle, 2014, Kriminalisasi Ditinjau Dari Perspektif Teori Hukum Pidana (Criminal
Law a Theory), Jurnal Ilmu Hukum Refleksi Hukum, Vol. 8 No.2 tahun 2014, Fakultas Hukum
Universitas Satya Wacana, diakses pada https://ejournal.uksw.edu/, akses 25 November 2019, hlm. 116-117
90 Ibid, hlm 117 91 Ibid.
Kriminalisasi menurut Persak ialah menentukan suatu tindak pidana dan memberlakukan ancaman sanksi pidana atas tindak pidana tersebut. Berdasar pada Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikenal sebagai Asas Legalitas, suatu tindakan dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana manakala negara telah melakukan kriminalisasi terhadap tindakan tersebut melalui Undang-Undang (Legislasi). 93
Menurut Moeljatno 94 ada tiga aspek kriteria sifat kriminalisasi
dengan tahap pembetukan hukum pidana, yaitu :
a) Penetapan suatu perbuatan yang melanggar aturan (perbuatan pidana) harus sesuai dengan perilaku yang ada di Masyarakat;
b) Ancaman pidana atau penjatuhan pidana apakah merupakan pintu utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut; c) Pemerintah dan aparatur penegak hukum lainnya apakah mampu untuk
benar-benar melaksanakan ancaman pidana jika ternyata ada yang melanggar.
Menurut Hebert Lionel 95 dalam konteks definisi Kriminalisasi yaitu
untuk dapat menelaah perbuatan atau perilaku manusia yang pada dasarnya suatu perbuatan tersebut belum dirumuskan dalam bentuk peraturan, tetapi hanya berdasarkan pada nilai-nilai kepatutan yang berlaku di masyarakat.
93 Ibid,
94 I Komang Mahardika Wijaya, I Gede Yusa, 2019, Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Pengguna
Jasa Prostitusi di Indonesia, Kertha Wicara : Journal ilmu hukum, Vol. 8 No.4 tahun 2019, Fakultas
Hukum Universitas Udayana, diakses pada https://ojs.unud.ac.id/, akses 1 Desember 2019. Hlm. 8-9
Oleh karena itu karena perbuatan prostitusi ini bertentangan dengan nilai-nilai moral, agama dan kesusilaan yang ada di masyarakat untuk itu perlu adanya peraturan yang jelas yang dapat menjerat para pihak yang terlibat dalam prostitusi.
Teori kriminalisasi yang dikemukakan oleh Lord Devlin, bahwa perbuatan yang harus dipandang sebagai kriminalitas yaitu setiap perbuatan
yang bersifat merusak atau tindak asusila. 96
Perbuatan pengguna jasa prostitusi berdasarkan uraian mengenai Kriminalisasi, maka hal tersebut perlu digolongkan sebagai “perbuatan pidana” dengan cara merumuskan kedalam suatu peraturan tertulis, agar orang yang dianggap melakukan perbuatan terlarang melanggar sesuai dengan kebijakan fundamental dalam hukum pidana ialah asas legalitas
dapat dijatuhi pidana. 97
Dalam konteks kriminalisasi, suatu perbuatan terlarang dapat dilakukan dengan cara penambahan atau peingkatan, pemberatan hukum pidana yang telah diatur sebelumnya tidak hanya membuat perumusan
dalam bentuk norma perundang-undangan. 98
Akan tetapi mengenai perbuatan prostitusi secara khusus belum ada peraturan perundang- undangan yang mengatur secara jelas dan ini menyebabkan perbuatan prostitusi ini masih “eksis” hingga sat ini karena lemah pada peraturan perundang-undangan. Untuk itu pembuat kebijakan
96 Riswan Erfa, 2015, Kriminalisasi Perbuatan Cabul Yang Dilakukan Oleh Pasangan Sesama Jenis
Kelamin (Homoseksual), Malang, Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
diakses pada https://www.neliti.com/, akses 1 Desember 2019, Hlm. 10
97 I Komang Mahardika Wijaya, Opcit, Hlm. 9 98 Ibid.
seharusnya dapat merespon perbuatan ini secara cepat dan cermat sehingga dapat dilakukan tindakan lebih lanjut untuk mengkriminalisasikan para pihak yang terlibat. Agar tidak menjadi penyakit di masyarakat.
Perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat meliputi perubahan besar dalam susunan masyarakat yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat dan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya yang mempengaruhi alam pikiran, mentalitas serta jiwa. Perubahan sosial tidak hanya berarti perubahan struktur dan fungsi masyarakat, tetapi di dalamnya terdapat juga perubahan nilai, sikap dan pola tingkah laku masyarakat.
Pada penulisan penelitian ini mengenai tinjauan umum tentang teori kriminalisasi yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan menurut beberapa ahli hukum yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi tentang kriminalisasi itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai tentang kriminalisasi dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang kriminalisasi bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait tentang kriminalisasi yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan umum tentang kriminalisasi
2. Tinjauan Umum Teori Keadilan
Keadilan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu (perbuatan, perlakuan dan sebagainya) yang adil. Sosial kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organis sehingga setiap
anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk
tumbuh dan belajar hidup kemampuan aslinya. 99
Ada dua tujuan dalam teori keadilan menurut John Rawls, yaitu : 100
a) Teori ini menyatakan bahwa berbagai keputusan moral yang sangat dipertimbangkan dalam keadaan khusus-khusus kita (masyarakat), dalam arti “keputusan moral” merupakan evaluasi moral yang telah dibuat yang kiranya menyebabkan tindakan sosial.
b) John Rwls mengembangkan teori keadilan sosial yang lebih unggul dari teori utilitarianisme, karena dimaksudkan bahwa institusi atau tatanan sosial dikatakan adil jika dapat memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan. Sedangkan pada utilitarianisme “keuntungan” diartikan sebagai kepuasan atau keuntungan yang terjadi melalui pilihan-pilihan.
Keuntungan sosial, yang meliputi kekayaan, perlindungan, harga diri, kewibawaan, harga diri, dan hak-hak kebebasan merupakan fungsi
dasar tatanan masyarakat dalam mendistribusikan keuntungan sosialnya. 101
John Rawls juga menambahkan bahwa teori ini lebih keras apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Situasi ketidaksamaan dalam masyarakat harus diberikan aturan sehingga paling menguntungkan golongan
masyarakat yang paling lemah dan masyarakat yang paling kuat. 102
Ketidaksamaan yang pertama menjamin maksimum dan minimum bagi golongan orang yang lemah, dan yang kedua ketidaksamaaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang, dalam artian agar
semua orang diberikan peluang besar dalam hidup. 103
99 Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada https://kbbi.web.id/, akses 2 Desember 2019 100 Damanhuri Fattah, 2013, Teori Keadilan Menurut John Rawls, Jurnal TAPIS (Teropong Aspirasi
Politik Islam), Vol.9 No.2 Juli-Desember 2013, Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Raden Intan Lampung, diakses pada http://ejournal.radenintan.ac.id/, akses 2 Desember 2019, Hlm. 32-33
101 Ibid, Hlm. 33
102 Subhan Amin, 2019, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat, Jurnal
Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis El-Afkar, Vol. 8 No.1 Tahun 2019, Institut Agama Islam Negeri Bengkulu, diakses pada https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/, akses 2 Desember 2019, hlm. 3
Menurut Aristoteles, pengertian keadilan ada bermacam-macam, seperti : 104
a) Keadilan distributif : dapat disebut sebagai keadilan yang seimbang, karena berawal dari pemberian hak sesuai dengan besar kecilnya jasa; b) Keadilan korektif : keadilan ini dimaksud pembenaran atas suatu
kesalahan, sebagai contoh jika ada kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, makan orang yang merugikan tersebut harus mengganti rugi atas perbuatannya
(kompensasi). 105
Selanjutnya Aristoteles mengemukakan mengenai keadilan yaitu sangat penting karena hukum hanya bisa ditetapkan berkaitan dengan keadilan. keadilan harus dipahami suatu keasamaan tetapi Aristoteles
membuat perbedaan antara kesamaa numerik dengan proporsional. 106
Kesamaan numerik diartikan diartikan memepersamakan setiap manusia sebagai unit, dengan maksud mengatakan semua warga negara sama didepan hukum. Sedangakan kesamaan terhadap proporsional ialah memberikan tiap orang yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan,
prestasi, dan lainnya. 107
Menurut ahli hukum Purnadi Purbacaraka yang pada dasarnya merumuskan keadilan ialah keselarasan antara kepastian hukum dan
kesebandingan hukum. 108
Satjipto Rahardjo, mengemukakan bahwa merumuskan suatu konsep keadilan harus dapat menciptakan nila-nilai yang diciptakan atas
dasar persamaan hak dan kewajiban. 109 dan membuat dan mengeluarkan
peraturan hukum yang dapat menerapkan sanksi pada masyarakat yang melanggar berdasar peraturan yang telah atau akan dibuat, perbuatan yang
104 S. Najamuddin, 2019, dalam bab II landasan teori tinjauan umum asas kepastian hukum, Malang,
Universitas Muhammadiyah Malang, diakses pada http://eprints.umm.ac.id/, akses 2 Desember 2019, Hlm. 19
105 Ibid.
106 Subhan Amin, Op.Cit, Hlm. 2 107 Ibid.
108 Ibid.
boleh dan tidak boleh dilakukan yaitu substantif, serta tata cara untuk
melaksanakan peraturan tersebut dalam masyarakat yaitu prosedural. 110
Juga dalam menciptakan keadilan dalam tatanan masyarakat tentu tidak diskriminatif. Jika suatu keadilan dapat diartikan sebagai nilai-nilai atas persamaan hak dan kewajiban, maka Dalam hal ini diperlunya suatu peraturan perundangan-undangan yang mengatur terkait perbuatan prostitusi agar dapat menjerat para pihak atau pelaku yang terlibat dalam prostitusi secara langsung maupun tidak untuk mencapai tatanan dan keseimbangan didalam masyarakat serta tidak diskriminatif antara satu dengan yang lainnya. Mengembalikan tatanan masyarakat dalam arti menjaga kondisi atau marwah masyarakat yang baik serta taat terhadap nilai-nilai yang ada dimasyarakat atau terhadap aturan-aturan hukum yang berlaku. Dan dapat menangkap atau tanggap terhadap suatu permasalahan yang timbul atau menyimpang dari aturan dan nilai-nilai yang ada dimasyarakat.
Pada penulisan penelitian ini mengenai tinjauan umum tentang teori keadilan yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan menurut beberapa ahli hukum yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi tentang tentang teori keadilan itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai teori keadilan dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang teori keadilan bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait tentang kriminalisasi yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur
110 Ibid.
untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan umum tentang teori keadilan.
3. Tinjauan Umum Teori Kepastian Hukum (Utility)
Teori Kepastian Hukum menurut Fance M. Wantu, yaitu kepastian
hukum itu : 111
a) Melakukan solusi autotorif : yang artinya memberi jalan keluar untuk menciptakan stabilitas yaitu memberikan ketertiban dan ketentraman bagi para pidah dan masyarakat;
b) Undang-undang dijadikan dasar dari putusan untuk memberikan kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum sesuai dengan tujuan hukum;
c) Memberikan kesempatan yang sama pada semua orang (equality before the law).
Hukum bertugas untuk dapat menciptakan kepastian hukum karena tujuannya untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat, karena dengan
adanya hukum masyarakat akan lebih tertib. 112
Sudikno Mertokusumo menyampaikan mengenai Kepastian
Hukum, yaitu : 113
Kepastian hukum itu menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh hukum atau peraturannya, karena setiap orang mengharapkan sebuah hukum yang konkret. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya
kepastian hukum masaryakat akan tertib. 114
Karena dengan kepastian hukum, perbuatan atau tingkah laku yang ada di masyarakat dapat diatur dengan tertib karena sudah diatur dalam
111 Arifin Ali Mustofa, 2017, dalam tulisan ilmiah (skripsi) : Tinjuan Asas Keadilan, Kepastian
Hukum, dan Kemanfaatan dalam Putusan Hakim Terhadap Pembagian Harta Bersama Dalam Kasus Perceraian (studi putusan pengadilan agama sukoharjo), Surakarta, Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negeri Surakarta, diakses pada http://eprints.iain-surakarta.ac.id/, akses 3 Desember 2019, Hlm. 15
112 Ibid.
113 Sulardi, Yohana Puspitasari wardoyo, 2015, Kepastian, Kemanfaatan, Dan Keadilan Terhadap
Perkara Pidana (kajian putusan nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt), Malang, Jurnal Yudisial Vol. 8
No. 3 Desember 2015, diakses pada https://jurnal.komisiyudisial.go.id, akses 4 Desember 2019, hlm. 258-259
sebuah norma yang tertulis dan dapat menjamin kepastian terhadap masyarakat. Oleh karena itu suatu kepastian hukum di perlukan dalam perbuatan prostitusi ini karena untuk memberikan kepastian dalam suatu peraturan yang dibuat oleh pembuat kebijakan yaitu perundang-undangan yang dapat memberikan sanksi atau pemidanaan terhadap para pihak yang ikut serta dan terlibat dalam prostitusi ini.
Kepastian hukum secara normatif ialah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis, maksudnya ialah dengan tidak menimbulkan keragu-raguan, dan logis diatur menjadi suatu sistem norma, agar tidak bertentangan ataupun
menimbulkan konflik dengan norma lainnya. 115
Hukum bertugas menjamin kepastian hukum (rechszekerheid) dalam pergaulan di masyarakat . dalam sebuah tugas itu ada beberapa tugas lain yang ada dalam kepastian hukum yaitu harus menjamin keadilan dan hukum tetap terjaga ditengah masyarakat yang semakin berkembang, agar
tidak adanya main hakim sendiri (eigenrichting) .116
Lebih luas lagi dibahas mengenai Kepastian Hukum yang dikemukakan oleh Ahmad, bahwa dalam menjabarkan mengenai kepastian
hukum ialah berkaitan dengan beberapa hal, yaitu : 117
a) Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan , bukan berdasarkan putusan sesaat untuk hak-hal tertentu;
b) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik; c) Peraturan tersebut tidak berlaku surut;
115 Khairul imam, syarfurddin kalo, et.all, 2018, Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak
Pidana Prostitusi Online Di Tinjau dari Undang-UndangNomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Elektronika ( Studi Putusan Nomor 267/Pid.B/2015/PN. Pgp), Law Journal USU, Vol.6 No.3
April 2018, Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara, diakses pada https://jurnal.usu.ac.id/, akses 4 Desember 2019, hlm. 99
116 Ibid, hlm. 100 117 Ibid.
d) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; e) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
f) Tidak boleh menuntut suatu tindakan melebihi apa yang dapat dilakukan;
g) Tidak boleh sering dibah-ubah;
h) Harus adanya kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari. 118
Dari penjabaran tersebut, bahwa fungsi dari teori kepastian hukum disini pada dasarnya menjamin hak-hak pelaku tindak pidana prostitusi yang dilakukannya, juga mengingat perlunya kepastian hukum atau sanksi pidana yang akan dijatuhkan kepada korban,pelaku, mucikari dan
Pengguna jasanya dalam tindak pidana prostitusi. Karena berbicara mengenai kepastian hukum, tentulah perlunya peraturan yang jelas untuk mengatur mengenai perbuatan prostitusi dimana peraturan yang dibuat nantinya tidak bertentangan dengan dengan peraturan yang lain serta norma-norma yang hidup didalam masyarakat.
Pada penulisan penelitian ini mengenai tinjauan umum tentang teori kepastian hukum yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan menurut beberapa ahli hukum yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi tentang tentang teori kepastian hukum itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai teori kepastian hukum dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang teori kepastian hukum bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait teori kepastian hukum yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan umum tentang teori kepastian hukum.
118 Ibid.
E. Tinjauan Umum Pembaharuan Hukum pidana
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum yang berlaku pada suatu
negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : 119
1) Menemtukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada orang yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Moelyatno, hukum pidana itu dapat dirumuskan dalam beberapa
uraian sebagai berikut : 120
a) Hukum pidana ialah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara : maksudnya ialah bahwa biasanya bagian dari hukum tersebut dibagi kedalam dua jenis yaitu hukum publik dan hukum privat. Sedangkan hukum pidana digolongkan dalam ranah hukum publik yang mengatur antara negara dan perseorangan atau mengatur
tentang kepentingan umum. 121
b) Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana : kepada yang melanggar larangan tersebut akan diancam dengan sanksi pidana, dinamakan perbuatan pidana atau delik yang dalam sistem KUHP yaitu : pertama, menurut anggapan pembuat undnag-undangnya masing-masing berlainan sifatnya secara kualitatif berupa kejahatan. Kedua, tujuan hukum pidana di Indonesia untuk mencegah penghambatan atau penghalang-halangan datangnya masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, yaitu dengan jalan penentuan perbuatan-perbuatan manakah yang diancamkan kepada orang yang melanggar larangan-larangan itu...”
Perbuatan pidana menurut wujud dan sifatnya bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki, ialah perbuatan yang mekawan hukum. Artinya bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil, dapat juga dikatakan bahwa perbuatan tersebut merugikan masyarakat.
119 Djoko Prakoso, Opcit, hlm.18 120 Ibid, hlm.19
Namun dalam hal ini tidak semua perbuatan melawan hukum atau merugikan masyarakat diberi sanksi pidana, misalnya pelacuran, tidak dijadikan dalam perbuatan pidana karena tidak dilarang dan diancam dengan pidana, namun jangan diartikan sebagai perbuatan yang tidak dilarang dalam masyarakat hanya saja dalam hal ini belum mendapatkan rumusan yang tepat dan juga sukar dalam prakteknya.
Misalnya saja yang dapat dituntunt ialah orang yang menyediakan jasa dan tempat untuk pelacuran yang menjadikan hal itu sebagai mata
pencaharian (lihat dalam pasal 296 KUHP). 122
a) Hukum pidana menentukan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana : yang dimaksud dalam hal ini yang mana dipandang sebagai suatu perbuatan pidana, karena dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP kita menganut asas legalitas yang artinya suatu perbuatan pidana harus
ditentukan terlebih dahulu oleh suatu aturan Undang-undang. 123
b) Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana : dalam hal ini tiap orang yang melakukan perbuatan pidana belum pasti dipidana, karena untuk memidana seseoran disamping melakukan perbuatan yang dilarang, dikenal asas yan berbunyi: “ tidak dipidana jika kita tidak ada kesalahan”.. asas ini terdapat dalam hukum tidak tertulis yaitu yang hidup didalam masyarakat yang kurang mutlak
berlakunya dari asas yang tertulis dalam perundangan. 124
122 Ibid, hlm.20-21
123 Ibid, hlm.22 124 Ibid, hlm.23
c) Hukum pidana mengatur tentang pertanggung jawaban hukum pidana (criminal liability atau criminal responsibility) : semua peraturan yang mengatur tentang peraturan tersebut dinamakan hukum pidana materiil karena berisi mengenai hukum pidana itu sendiri.
d) Beberapa pendapat tentang definisi hukum pidana :
Menurut Mezger, mengatakan bahwa hukum pidana ialah semua peraturan-peraturan hukum yang menentukan suatu pidana sebagai akibat hukum kepada suatu perbuatan yang telah dilakukan.
Menurut Utrech, “hukum pidana itu ialah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barang siapa yang tidak menaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk
mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana”. 125
Pandangan Barda Nawawi Arief mengenai makna Pembaharuan
Hukum Pidana dapat dilihat pada: 126
1. Sudut pandang pendekatan kebijakan :
a) Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pada hakikatnya sebagai upaya mengatasi masalah-masalah sosial untuk mencapai tujuan nasional. b) Bagian dari kebijakan kriminal, merupakan upaya perlindungan
terhadap masyarakat (khususnya penanggulangan kejahatan).
c) Bagian dari kebijakan penegakan hukum, yaitu sebagai upaya pembaharuan substansi hukum dalam rangka mengefektifkan penegak hukum.
2. Dalam sudut pendekatan nilai :
Pembaharuan hukum pidana pada dasarnya meninjau kembali nilai-nilai dari sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural yang menjadi dasar terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana, jika orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (KUHP baru) sama
125 Ibid, hlm.24-25
126 Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis, dan Praktik, Bandung,
dengan nilai hukum pidana yang lama (warisan penjajah). 127 Ada tiga pendapat utama mengapa diperlukan pembaharuan di bidang hukum pidana, yang diantaranya memiliki korelasi terhadap alasan politis,
sosiologi, dan praktis. Yaitu : 128
a) Alasan politis : bahwa menegaskan Indonesia layak sebagai negara merdeka memiliki KUHP yang sifatnya nasional sehingga di pandang merupakan kebanggaan tersendiri sebagai negara dan telah melepaskan
kedudukannya dari penjajah. 129
b) Alasan sosiologis : bahwa pada dasarnya KUHP adalah cerminan dari nilai dan kebudayaan suatu bangsa. Namun tidak mencerminkan sepenuhnya nilai kebudayaan bangsa Indonesia karena tidak
sepenuhnya dibuat oleh Indonesia sendiri. 130
c) Alasan praktis : bahwa KUHP (Wetboek Van Strafrecht) kenyataannya ialah dari bahasa Belanda sehingga jumlah penegak hukum yang memahami bahasa Belanda semakin sedikit. Terjemahan yang beraneka ragam tidak akan memberikan penyelenggaraan hukum pidana yang pasti dan serasi sehingga terjadi keseimbangan penafsiran yang
menyimpang dari makna aslinya karena terjemahannya kurang tepat. 131
Bambang purnomo berpendapat bahwa :
Konsep perbaikan hukum dan sanksi pidana ini yang merupakan sikap pembaharuan tahap kedua, setelah kurang berhasilnya kegiatan pembaharuan pidana pada tahap perintis dari aliran klasik dan aliran
modern. 132
Pembagian hukum pidana antara hukum pidana objektif (objectif strafrecht) dan hukum pidana subjektif (subjectief srafrecht). Subjektif recht diartikan sebagai hak dan wewenang, jadi kewenangan negara untuk
127 Ibid, hlm. 400 128 Ibid. 129 Ibid. 130 Ibid. 131 Ibid. 132 Ibid, hlm. 401
menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada seseorang yang telah
terbukti bersalah dan telah melanggar larangan dalam hukum pidana. 133
Pada hukum pidana objektif membahas berbagai macam perbuatan yang dilarang, yang terhadap perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana kepada barangsiapa yang melakukan nya. Selanjutnya sanksi pidana yang telah ditetapkan dalam UU maka hal tersebut oleh negara
dijatuhkan dan dijalanka kepada pelaku perbuatan. 134
Ada tiga macam teori pemidanaan, yaitu :
a) Teori Absolut atau Teori Pembalasan : dalam teori ini negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan kepada hak dan kepentingan hukum masyarakat yang
dilindungi (pribadi, masyarakat, atau negara). 135 tindakan penjatuhan
pidana sebagai pembalasan dalam teori ini , yaitu : ditujukan pada penjahatnya dan ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam didalam masyarakat.
b) Teori Relatif atau Teori Tujuan : dalam teori ini menegaskan bahwa tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Dan sebagai alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan agar tujuan untuk menertibkan masyarakat
itu terpelihara dengan baik. 136
133 Adami Chazawi, 2012, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 ( stelsel pidanan, tindak pidana,
teori-teori pemidanaan, dan batas berlakunya hukum pidana), Jakarta, Penerbit PT. Raja Grafindo
Pesrsada, hlm.155
134 Ibid.
135 Ibid, hlm. 157 136 Ibid, hlm. 162
Untuk dapat mencapai tujuan menertibkan masyarakat tersebut, pidana memiliki tiga macam sifat, yaitu :
1) Bersifat menakut-nakuti 2) Bersifat memperbaiki, dan
3) Bersifat membinasakan. 137
c) Teori Gabungan: dimana teori ini bertujuan untuk mengkolaborasikan dua teori sebelumnya, yaitu teori absolut dan teori relatif. pertama dimana teori gabungan mengutamakan pembalasan tetapi tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankan dalam tata tertib masyarakat. Kedua mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan karena dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang
dilakukan terpidana. 138
Dinamika kehidupan dalam masyarakat hingga saat ini tidak dapat diselesaikan dengan mudah, masalah paling krusial yaitu masalah reformasi hukum pidana. Adanya sanksi pidana secara ultimum remidium atau sarana paling akhir dalam segala persmasalahan hukum dalam
masyarakat, bangsa dan negara. 139 tetapi sarana hukum berupa peraturan
dan undang-undang (pidana) belum selesai bahkan tidak memadai justru pada saat muncul keinginan besar dari segenap elemen masyarakat guna
mewujudkan masa depan hukum ius constituendum yang baik.140
137 Ibid.
138 Ibid, hlm. 166
139 Marthen H.Tholle, Opcit, hlm 18 140 Ibid.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja 141 fungsi hukum diharapkan tidak hanya sebagai “sarana pembaharuan hukum” law as a toool of social engineering atau sebagai “sarana pembangunan” .“sarana pembaharuan masyarakat” dilandasi dengan adanya keteraturn dan ketertiban dalam usaha pembangunan dan pembaharuan merupakan suatu konsep yang dipandang perlu. Makna lain yang terkandung dalam konsepsi hukum yaitu sebagai sarana pembaharuan ialah hukum dalam arti peraturan hukum bisa berfungsi sebagai alat atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah aktivitas manusia pada arah yang dikehendaki oleh
pembangunan dan pembaharuan. 142
Pada penulisan penelitian ini mengenai tinjauan umum tentang pembaharuan hukum pidana yang penulis gunakan sebagai bahan tinjauan yang telah dijabarkan diatas karena untuk membatasi tentang pembaharuan hukum pidana itu dalam penelitian ini. Penjabaran mengenai pembaharuan hukum pidana dalam subbab ini dari tinjauan umum tentang pembaharuan hukum pidana bertujuan untuk memberi gambaran secara umum terkait pembaharuan hukum pidana yang dimaksud dalam penenlitian ini dan sebagai tolak ukur untuk pembahasan subbab-subbab berikutnya dalam tinjuan umum tentang pembaharuan hukum pidana.
141 Ibid, hlm. 18, dikutip dalam tulisan Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum
dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Penerbit Bina Cipta.