• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum Kabupaten Cianjur

Secara geografis Kabupaten Cianjur berada di tengah propinsi Jawa Barat, memanjang dari utara ke selatan dengan jarak sekitar 65 Km dari ibukota propinsi Jawa Barat (Bandung) dan 120 Km dari ibukota negara (Jakarta) dan terletak diantara 06O 21 '- 7O 25' Lintang Selatan (LS) dan 106O 42' - 107 O

1. Wilayah pengembangan utara, merupakan dataran tinggi yang terletak di kaki Gunung Gede yang sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi dan sebagian lagi merupakan dataran untuk areal perkebunan dan persawahan.

25' Bujur Timur (BT). Secara administrasi di sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Bogor dan kabupaten Purwakarta, di sebelah timur dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut, di selatan Samudra Indonesia dan di sebelah barat dengan Kabupaten Sukabumi. Wilayah kabupaten Cianjur meliputi areal seluas 350.148 hektar terdiri dari 32 kecamatan, 6 kelurahan dan 348 desa. Masing-masing wilayah mempunyai ciri-ciri khusus balk dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Berdasarkan wilayah pembangunan kabupaten Cianjur secara geografis terbagi dalam tiga wilayah pengembangan yaitu wilayah pengembangan utara (WPU), wilayah pengembangan tengah (WPT) dan wilayah pengembangan selatan (WPS). Masing-masing wilayah mempunyai ciri-ciri khusus baik dari segi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Sumber daya alam dapat dibedakan berdasarkan topografi, jenis tanah, iklim, dan lainnya, sedangkan sumberdaya manusia dibedakan dari jumlah penduduk dan tingkat pendidikan.

2. Wilayah pengembangan tengah, merupakan daerah yang berbukit-bukit kecil dengan keadaan struktur tanahnya labil sehingga sering terjadi tanah longsor, yaitu Kecamatan Tanggeung, Pagelaran, Kadupandak, Takokak, Sukanegara, Campaka dan Campaka Mulya.

3. Wilayah pengembangan selatan, merupakan dataran rendah akan tetapi terdapat bukit-bukit kecil yang diselingi oleh pegunungan yang melebar sampai ke daerah pantai Samudra Indonesia. Terdapat pula areal perkebunan dan pesawahan tetapi tidak begitu luas, seperti Kecamatan Agrabinta, Sindangbarang, Cidaun, Naringgul.

(2)

Topografi dan Iklim

Keadaan topografi kabupaten Cianjur sebagian besar berupa daerah pegunungan, berbukit - bukit dan sebagian merupakan dataran rendah, dengan ketinggian 0 meter sampai dengan 2,962 meter di atas permukaan laut (Puncak Gunung Gede), dengan kemiringan antara 1 sampai 40 %. Kemiringan dan ketinggian wilayah kabupaten Cianjur dapat dilihat di Tabel 10.

Tabel 10 Kemiringan dan ketinggian wilayah No Tinggi m dpl Kemiringan

(%)

Kecamatan

1 200-1000 0-2 Cianjur, Bojongpicung, Karang tengah, Mande, Ciranjang, Warungkondang 2 2-15 Pacet, Cugenang, Cikalongkulon, Cibebe 3 200-700 >700 15-40 Kadupandak, Sukanagara, Takokak,

Campaka, Tanggeung , Pagelaran

5 40 Sindangbarang, Cibinong, Cidaun,

Naringgul (kecuali daeral pantai) Sumber : BPS Cianjur 2009

Kabupaten Cianjur termasuk kedalam tipe iklim sedang dengan hujan pada semua bulan. Kondisi curah hujan bervariasi dengan suhu udara berkisar antara 25-32 oC. Curah hujan rata-rata di wilayah pesisir berkisar antara 1.120 – 3.543 mm/tahun, namun beberapa daerah di kecamatan lain memiliki curah hujan lebih tinggi, yaitu sekitar 3.000 – 4.000 mm/tahun. Iklim tropis tersebut menjadikan kondisi alam subur dan mengandung keanekaragaman kekayaan sumber daya alam yang potensial sebagai modal dasar pembangunan dan potensi investasi yang menjanjikan. Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Keadaan itu ditunjang dengan banyaknya sungai besar dan kecil yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya pengairan tanaman pertanian

Penduduk kabupaten Cianjur berjumlah 2.149.121 orang terdiri atas laki-laki sebanyak 1.101.260 orang dan perempuan 1.047.861 orang (BPS Cianjur,

.

(3)

2010). Dengan penyebaran penduduk yang tidak merata dan bertambahnya jumlah penduduk terutama di pedesaan akan berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi maupun sosial. Rumah tangga petani pemilik lahan maupun yang bukan pemilik lahan jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini berarti bahwa luas pemilikan lahan terutama lahan pertanian jadi semakin kecil. Pemecahkan masalah ini melalui pencetakan sawah baru masih sangat diperlukan disamping mengendalikan penggunaan lahan pertanian.

Sebanyak 63,90% penduduk terkonsentrasi di wilayah utara dengan luas wilayah 30,78%, dan 19,09% mendiami berbagai kecamatan di wilayah tengah dengan luas wilayah 28,45 % dan sisanya sebanyak 17,01 % berada di berbagai kecamatan di wilayah selatan dengan luas wilayah 40,77 %. Dilihat dari kepadatan penduduk, Kecamatan yang memiliki angka kepadatan lebih dari 1000 jiwa per km

2

Peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi di kabupaten Cianjur sangat dominan, indikatornya adalah konrtribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku tahun 2009 sebesar 54,77%. Tanaman pangan merupakan sub sektor yang memberikan kontribusi cukup menonjol yaitu sebesar 35,29 %, disusul subsektor peternakan sebesar 8,69%, subsektor perkebunan 4,37%, subsektor perikanan sebesar 4,14% dan adalah Kecamatan Cianjur (6.275,98 jiwa/km²), Karangtengah (3.073,68 jiwa/km²), Ciranjang (2.276,76 jiwa/km²), Cipanas (1.834,47 jiwa/km²), Pacet (1.495,03 jiwa/km²), Sukaluyu (1.546,96 jiwa/km²), Cugenang (1.424,14 jiwa/km²), Cilaku (1.455,18 jiwa/km²), dan Warungdoyong (1.279,57 jiwa/km²).

Ekonomi Wilayah

Kabupaten Cianjur merupakan salah satu lumbung padi di Jawa Barat, yang memiliki luas lahan sekitar 350.148 Ha, terdiri atas lahan sawah seluas 63.299 dan lahan darat 286.849 Ha. Pemanfaatannya meliputi 83.034 Ha (23,71%) hutan produktif dan konservasi, 58.101 Ha (16,59%) berupa pertanian lahan basah, 97.227 Ha (27,76%) pertanian lahan kering dan tegalan, 57.735 Ha (16,49%) tanah perkebunan, 3.500 Ha (0,10%) penggembalaan/pekarangan, 1.239 Ha (0,035 %) tambak/kolam, 25.261 Ha (7,20 %) pemukiman/pekarangan dan 22.483 Ha (6,42 %) penggunaan lain (BPS Cianjur 2009).

(4)

subsektor kehutanan 2,24 % (Disperta Cianjur 2010). Secara rinci distribusi persentase PDRB untuk masing-masing sektor disajikan di Tabel 11.

Tabel 11 Distribusi persentase PDRB kabupaten Cianjur atas dasar harga berlaku

No Sektor Kontribusi (%)

1 Pertanian 54,77

2 Pertambangan dan penggalian 1.41

3 Industri pengolahan 1.32

4 Listrik, gas, dan air bersih 0.37

5 Bangunan 6.61

6 Perdagangan, hotel dan restoran 15.68

7 Pengangkutan dan komunikasi 4.47

8 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 4.78

9 Jasa 10.59

Jumlah 100

Sumber : BPS Cianjur 2010

Kegiatan ekonomi pada sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 1.32%. Nilai ini mencerminkan bahwa produk hasil pertanian sebagian besar masih dijual dalam bentuk bahan mentah. Hal ini dikarenakan belum berkembangnya industri pengolahan untuk produk-produk pertanian dan terbatasnya kemampuan SDM yang tersedia. Lemahnya sektor industri pengolahan berdampak pada rendahnya nilai tambah yang diperoleh petani yang pada akhirnya pendapatan petani juga menjadi kurang layak.

Sektor pertanian memiliki peran penting dalam perekonomian karena sebanyak 503.090 orang (62,99%) bekerja dan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian (Tabel 12). Usaha menciptakan lapangan kerja tambahan melalui agroindustri merupakan salah satu altematif yang penting untuk dikembangkan di pedesaan. Namun dari jumlah tersebut 87,52% berpendidikan rata-rata di bawah sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) (BPS Cianjur 2009).

Hasil analisis ketersediaan dan konsumsi beras di Kabupaten Cianjur selama 3 tahun dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 secara keseluruhan menunjukkan nilai surplus jika dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi beras

(5)

penduduk. Jumlah produksi beras pada tahun 2009 sebanyak 435.289 ton, dengan kebutuhan beras penduduk 227.484 ton, sebagaimana disajikan di Tabel 13.

Tabel 12 Penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha No Lapangan Usaha Utama Laki - Laki Perempuan Total

1 Pertanian 328.654 174.436 503.090

2 Pertambangan/Galian 3.903 410 4.313

3 Industri 31.966 7.751 39.717

4 Listrik, Gas dan Air 1.782 - 1.782

5 Konstruksi 44.763 - 44.763

6 Perdagangan 90.914 62.583 153.497

7 Transpor dan Komunikasi 62.111 1.372 63.483

8 Keuangan 8.019 1.711 9.730

9 Jasa 32.628 22.117 54.745

Jumlah 605.150 270.380 875.530

Sumber : BPS Cianjur 2009

Beberapa komoditi tanaman pangan semusim yang telah banyak dikembangkan di Kabupaten Cianjur antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai dan kacang hijau. Usahatani padi merupakan komoditas prioritas petani sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Untuk meningkatkan pendapatan, petani memilih jenis tanaman yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kepastian hasilnya.

Tabel 13 Jumlah ketersediaan beras, dan kebutuhan konsumsi penduduk selama 3 tahun (2007 s.d. 2009) di Kabupaten Cianjur

No Uraian 2007 2008 2009

1 Ketersediaan (ton) 440.069 432.393 435.289 2 Jumlah penduduk 2.098.644 2.125.023 2.149.121 3 Kebutuhan konsumsi (ton) 251.837 224.934 227.484 4 Perimbangan (+/-) 188.232 163.444 162.948

5 Ratio 1,75 1,73 1,76

Keterangan Surplus Surplus Surplus

(6)

Tabel 14 Luas tanam, produksi, dan produktivitas komoditi tanaman pangan di Kabupaten Cianjur

Kabupaten Cianjur No Komoditi Luas tanam

(ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) 1 Padi Sawah 118.971 645.961 5,43 2 Padi Ladang 16.100 42.786 2,66 3 Jagung 11.242 50.810 4,52 4 Kedelai 1.506 1.992 13,23 5 Ubi Kayu 6.698 119.030 17,71 6 Kacang Hijau 321 320 1,1 7 Kacang Tanah 10.895 13.434 1,0 Sumber : BPS Cianjur 2009

Luas tanam, produktivitas dan produksi beberapa komoditi tanaman semusim di Kabupaten Cianjur terlihat pada Tabel 14

Institusi Penyuluhan

Kegiatan penyuluhan pertanian dilakukan oleh aparatur/tenaga penyuluh pertanian yang terdiri dari penyuluh pertanian lapang (PPL), kantor cabang dinas (KCD) Kecamatan dan pengamat organisme pengganggu tanaman (POPT)

PPL

yang ada di Kabupaten Cianjur dengan rincian sebagai berikut :

: 154 orang

KCD : 25 orang

Tata Usaha KCD : 5 orang

POPT : 21 orang

Sumber : Disperta Cianjur 2010

Dengan wilayah kerja yang luas, namun jumlah PPL terbatas, maka yang menjadi sasaran pembinaan dalam rangka melayani seluruh petani adalah kelompok tani. Kelompok tani merupakan wadah berkumpulnya petani, tempat belajar, berdiskusi, dan bertukar informasi dalam berbagai hal yang berhubungan dengan kegiatan pertanian.

(7)

Tabel 15 menunjukkan bahwa 27.58% kelompok tani di Kabupaten Cianjur adalah kelompok tani kelas pemula, 49.30% kelas lanjut, 21.02% kelas madya, dan 2.10% kelompok tani yang berada pada kelas utama. Kondisi ini mencerminkan masih lemahnya institusi yang berfungsi sebagai wadah petani untuk mengembangkan kegiatan usaha pada tingkat petani. Pengembangan institusi kelompok tani ini mengalami hambatan karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian.

Tabel 15 Keadaan kelompok tani

No Tahun Kelas Kelompok Jumlah

Pemula Lanjut Madya Utama

1 2007 311 979 297 47 1.634

2 2008 698 825 472 30 2.025

Jumlah 1.009 1.804 769 77 6.163

Persentase (%) 27,58 49,30 21,02 2,10 100 Sumber : Disperta Cianjur 2010

Pemasaran

Pasar merupakan salah satu aspek penting dalam sistem agribisnis. Keterpaduan sistem usaha tani pola SIPT ini akan mempunyai dampak terhadap perubahan ekonomi petani bila pengelolaan usahatani berorientasi pasar. Bila selama ini usaha ternak dianggap sebagai usaha sampingan, maka dalam usahatani pola SIPT ternak sapi potong mempunyai peluang pasar sama dengan komoditas tanaman pangan

Pemasaran hasil pertanian merupakan aktivitas pertanian off farm yang menentukan keberhasilan pengembangan usahatani. Tataniaga pemasaran gabah tidak menguntungkan bagi petani sehingga PEMDA melakukan intervensi melalui kerja sama dengan Sub Dolog Cianjur dan Perusahaan Daerah untuk memotong mata rantai gabah yang panjang sehingga petani dapat langsung memasarkan hasilnya ke Sub Dolog maupun ke pasar.

Ketersediaan pasar hewan dapat memacu berkembangnya pengelolaan usahatani pola SIPT. Pemasaran ternak berlangsung secara dinamis dan harga berfluktuatif. Harga tinggi biasa terjadi pada saat menjelang hari raya Idul Adha, namun sebaliknya harga turun ketika kebutuhan sangat mendesak dan harus menjual sapinya misal untuk kebutuhan biaya sekolah, paceklik, hajatan dan lain-lain. Kondisi

(8)

ini berkaitan langsung dengan permintaan dan penawaran. Sistem pemasaran ternak ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15 Sistem pemasaran sapi potong

Petani pada umumnya tidak menjual sapinya langsung ke pasar hewan melainkan ke pedagang perantara (blantik). Penjualan tersebut merugikan petani karena blantik juga akan mengambil keuntungan dari harga yang disepakati karena jika petani langsung menjual sapinya, maka akan memperoleh harga yang lebih layak. Diperlukan upaya oleh pemerintah daerah melalui instansi teknis bidang peternakan untuk memberikan informasi harga dan tempat penjualan sapi yang lebih menguntungkan petani. Secara mikro tingkat regional pelaku pasar ternak terdiri atas: petani, blantik, jagal, rumah makan, pedagang daging dan konsumen. Pemasaran temak membentuk jaringan tataniaga yang sangat komplek dan terbentuk mulai tingkat desa (petani) sampai konsumen. Penguasaan pasar hewan didominasi oleh keberadaan blantik yang lebih mempunyai posisi tawar walaupun dengan modal terbatas.

4.2 Karakteristik Petani Responden

Karakteristik petani atau kondisi sosial ekonomi petani merupakan atribut yang melekat kepada diri seseorang yang akan menampilkan suatu bentuk perilaku dalam kehidupannya. Kondisi sosial ekonomi melalui umur petani, tingkat pendidikan, pengalaman serta partisipasi dalam kegiatan kelompok.

Rumah Blantik Jagal Pedagang Pengumpul / Lintas Kabupaten Pedagang Daging RPH Konsumen

(9)

Umur Responden

Kemampuan bekerja dalam pengelolaan suatu usahatani sangat tergantung kepada produktivitasnya dalam bekerja, karena kemampuan bekerja seseorang berbeda untuk setiap tingkatan umur. Umur anak, dewasa dan tua masing-masing memiliki produktivitas bekerja yang berbeda-beda. Petani yang berumur relatif muda biasanya lebih kuat, lebih agresif dan lebih tahan bekerja dibandingkan dengan petani yang berumur lebih tua. Rata-rata umur petani 48,34 tahun dengan umur termuda 20 tahun dan tertua 65 tahun, disajikan pada Gambar 15. Umur petani responden paling banyak berada pada selang 41-50 tahun (57.50%).

Gambar 16 Prosentase tingkat umur petani responden

Bila dilihat lebih rinci, sebagian besar responden yang termasuk golongan produktif usia (20-60 tahun) sekitar 115 responden (95.83%) dan usia tidak produktif (lebih dari 60 tahun) ada 5 orang responden (4.17%). Hanya sedikit petani yang berusia muda (dalam selang 20-30 tahun). Hal ini mengindikasikan bahwa kurangnya minat generasi muda yang ingin mengembangkan usahatani di lokasi penelitian. Pemuda di daerah lokasi penelitian secara deskriptif menganggap bahwa pertanian mernbutuhkan waktu yang cukup panjang dan kurang memberikan keuntungan baik secara finansial maupun non finansial. Distribusi umur petani di Kabupaten Cianjur disajikan pada Tabel 16.

(10)

Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan kelompok umur

No Kelompok Umur Jumlah (orang) Persentase (%)

1 20 - 30 8 6.67 2 31 - 40 25 20.83 3 41- 50 69 57.50 4 51- 60 13 10.83 5 > 61 5 4.17 Jumlah 120 100 Tingkat Pendidikan

Penerapan cara berusahatani tidak terlepas dari pengetahuan petani responden. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi pula produktivitasnya karena semakin cepat dalam penerimaan teknologi baru dan lebih berani mengambil resiko dalam usahataninya. Tingkat pendidikan dan pengetahuan petani sangat berperan dalam rangka kemajuan berusahatani.

Tabel 17 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Tidak sekolah 5 4,17

2 SD 67 72,50

3 SLTP 20 16,67

4 SLTA 8 6,67

Jumlah 120 100

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden hanya tamatan SD sebesar 72,50% (87 orang), diikuti SLTP 16,67% (20 orang), dan 6,67% (8 orang) mencapai SLTA. Petani responden pernah mengikuti pendidikan formal, namun tingkat pendidikan yang diikuti oleh petani masih rendah, bahkan responden tidak pernah menempuh pendidikan formal sama sekali sebesar 4,17 persen (5 orang), seperti disajikan di Tabel 17.

Jumlah Tanggungan Keluarga

Tanggungan keluarga dapat merupakan penunjang usahatani yang sedang dilaksanakan, akan tetapi di sisi lain dapat juga menjadi beban keluarga yang

(11)

hanya mengandalkan hasil usahatani yang tidak ditunjang tenaga kerja produktif. Jumlah anggota keluarga rata-rata 5,04 jiwa (5 orang per kepala keluarga) dengan variasi 1 – 8 orang.. Anggota keluarga merupakan modal tenaga kerja dalam keluarga, namun ketersediaannya belum mencukupi sehingga pada kegiatan-kegiatan tertentu diperlukan tambahan tenaga kerja dari luar keluarga, seperti disajikan pada Gambar 17, terdapat 88 orang (73,33%) responden memiliki tanggungan keluarga sebanyak 4–6 orang dengan rata-rata tanggungan keluarga pada petani responden adalah 5 orang. Responden memiliki tanggungan keluarga sebanyak 1–3 orang sebanyak 20 orang (16,67%) dan responden memiliki tanggungan keluarga lebih dari 6 orang sebanyak 12 orang (10%)

Gambar 17 Prosentase jumlah tanggungan keluarga

Tanggungan keluarga petani terutama yang usia produktif merupakan potensi atau sumber tenaga kerja keluarga dalam membantu usahatani. Disamping itu dengan memiliki jumlah tanggungan keluarga di atas 3 orang akan semakin menuntut petani untuk bekerja keras meningkatkan pendapatannya. Artinya mata pencaharian dari usahatani yang dilakukan akan lebih ditingkatkan dengan harapan produksinya meningkat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga.

(12)

Pengalaman Usahatani

Pengalaman berusahatani dihitung sejak petani pertama kali terjun ke dalam usahatani padi sawah, rata-rata responden di wilayah penelitian telah berusaha tani cukup lama yaitu 27.84 tahun dengan kisaran 5 – 45 tahun.

Gambar 18 Prosentase pengalaman usahatani responden

Sebagian besar responden yang mempunyai pengalaman berusaha tani kurang dari 10 tahun ada 5 orang (4,17%), pengalaman berusaha tani antara 11-20 tahun ada 15 orang (12,50%), pengalaman berusaha tani antara 21-30 tahun ada 51 orang (42,50%), pengalaman berusaha tani antara 21-25 tahun ada 59 orang (49.17%) dan pengalaman berusaha tani lebih dari 40 tahun ada 2 orang (1.67%). Distribusi petani berdasarkan pengalaman dalam berusahatani pada Gambar 18.

Pengalaman usahatani merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung keberhasilan usahatani. Pengalaman yang tinggi khususnya dalam usahatani padi sawah apabila ada introduksi teknologi maka petani akan lebih mudah menerapkan teknologi tersebut sehingga produksi yang dihasilkan akan lebih tinggi lagi. Secara umum, pengalaman usahatani diduga akan berpengaruh terhadap keterampilan dan produksi yang dihasilkan.

(13)

Pekerjaan Responden

Tabel 19 menyatakan karakteristik rumah tangga petani bahwa usahatani padi sawah merupakan pekerjaan utama bagi 92 persen responden, dan sisanya 8 persen responden lainnya mempunyai pekerjaan non pertanian (sebagai pedagang dan pensiunan). Hal ini menunjukkan pentingnya sektor pertanian sebagai lapangan kerja di luar sektor industri dan jasa.

Gambar 19. Prosentase pekerjaan pokok responden

Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan status usahatani

Status Usaha SIPT % Reguler % Total %

Utama (Padi) 74 62 36 30 110 92

Sampingan 6 5 4 3 10 8

Jumlah 80 40 120

Sebagian besar pekerjaan pokok responden bermata pencaharian di bidang pertanian 110 orang (91.67%), beternak 5 orang (4.17%) dan non pertanian 5 orang (4.17%) yang terdiri atas pensiunan 3 orang (2.5%), dan pedagang 2 orang (1.67%). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk berkaitan erat dengan potensi lahan pertanian dan sangat

(14)

menggantungkan pada produktivitas lahan pertanian. Prosentase pekerjaan pokok petani responden disajikan di Gambar 19.

Luas Areal Usahatani

Proporsi pekerjaan tambahan terhadap pekerjaan pokok dalam menyumbang penghasilan keluarga berkisar sebesar 30 - 70% yang tiada lain adalah usaha beternak sapi potong. Responden yang menjadikan usaha beternak sebagai pekerjaan pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga masih sangat kecil persentasenya (< 5%). Bagi petani, usaha beternak merupakan sumber penghasilan tambahan untuk tabungan keluarga. Dengan demikian, beternak sapi potong tidak sekaligus memberikan pendapatan yang meningkat pada total penghasilan keluarga per bulan secara proporsional, meskipun secara nominal meningkat nyata jumlahnya. Prosentase luas lahan usahatani petani responden disajikan di Gambar 20.

Gambar 20 Prosentase luas lahan

Luas lahan yang dikelola petani responden di lokasi penelitian adalah 0,21 – 1,25 ha, dengan rata-rata 0,32 ha. Rataan luas pemilikan lahan (Tabel 4) petani sempit, yaitu 0,32 ha sehingga diasumsikan bahwa responden dengan lahan tersebut tidak akan bisa mencukupi tanggungan rumah tangga per keluarga dengan rata-rata tanggungan 5,04 jiwa bila diusahakan usahatani secara parsial.

(15)

Status Kepemilikan Lahan

Sebagian studi yang dilakukan selama ini sering tidak mengkaji lebih dalam mengenai status kepemilikan atau penguasaan lahan pertanian. Isu penting pembangunan pertanian saat ini adalah menciutnya lahan pertanian akibat tekanan pembangunan sektor lain yang membutuhkan lahan.

Jika dilihat dari banyaknya responder yang mengelola lahan milik sendiri 92 orang (77%), lahan milik sendiri sekaligus menyewa lahan 8 orang (7%), bagi hasil atau menyakap 12 orang (10%) dan gadai 8 orang (7%). Bila ditelusuri lebih jauh, luas lahan sewa tersebut berkisar 0,30 - 0,40 hektar dan tidak ada yang menyewa lahan ≤ 0,3 hektar, yang berarti petani melakukan efisiensi produksi dengan tidak menyewa lahan yang kurang dari 0,3 hektar. Prosentase status kepemilikan lahan petani responden disajikan di Gambar 21

Gambar 21 Prosentase status kepemilikan lahan

4.3. Keragaan Usaha Penggemukan Sapi Potong

Jenis ternak yang telah dikembangkan di Kabupaten Cianjur yaitu sapi potong, sapi perah kerbau, domba dan lainnya, disajikan pada Tabel 19. Jumlah populasi ternak cenderung yang meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir secara nasional populasi sapi potong mengalami peningkatan dari 10,532.889 ekor pada tahun 2006 menjadi 11,869.000 ekor

(16)

pada tahun 2010. Hal serupa juga terjadi pada tingkat provinsi Jawa Barat dengan populasi sapi potong mengalami peningkatan dari 236.948 ekor pada tahun 2006 menjadi 327.750 ekor di tahun 2010.

Tabel 19 Jumlah populasi ternak berdasarkan komoditas (2006-2010)

Jenis Usaha Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 Sapi Potong 22.272 23.721 24.415 27.040 27,263 Sapi Perah 1.867 1.905 2.249 2.864 3,652 Kerbau 13.807 14.107 13.824 12.816 10,286 Domba 258.603 264.530 236.914 277.308 354,459 Kambing 86.262 87.690 89.221 96.113 101,345

Ayam Ras Petelur 1.076.250 1.108.537 1.140.718 1.180.831 1,238,997 Ayam Ras Pedaging 2.855.567 2.941.234 3.014.764 3.112.437 5,565,825

Sumber : Dinas Peternakan Cianjur 2010

Gambar 22 Grafik jumlah populasi sapi potong nasional pada tahun 2006 - 2010. Sumber: Diolah dari Statistik Dinas Peternakan 2010

Tabel 20 Jumlah populasi sapi potong di wilayah Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat dan nasional pada tahun 2006– 2010

No Wilayah Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

1 Cianjur 22.272 23.721 24.415 27.040 27.263 2 Jabar 234.948 254.243 272.264 295.554 327.750 3 Nasional 10.569.312 10.875.125 11.514.871 11.719.000 11.869.000

(17)

Demikian juga di Kabupaten Cianjur, populasi sapi potong dari 22.272 ekor pada tahun 2006 meningkat menjadi 27.263 ekor pada tahun 2010 meskipun dengan laju yang rendah, disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 22 dan Gambar 23 (Statistik Peternakan 2010; Dinas Peternakan Cianjur 2010).

Gambar 23 Grafik jumlah populasi sapi potong di wilayah Kabupaten Cianjur dan provinsi Jawa Barat, 2006 - 2010.

Sumber: Diolah dari Statistik Peternakan 2010 dan Disperta Cianjur 2010

Sistem pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh petani dalam beternak lebih dari 60% bersifat tradisional. Ternak dilepas pada siang hari, dan sore harinya dimasukkan ke kandang. Akibatnya produktivitas ternak rendah, kotoran sapi tercecer dimana-mana dan mengganggu kebersihan dan keindahan lingkungan dan tidak dapat diolah menjadi pupuk organik. Oleh karena itu perlu diubah menjadi cara pemeliharaan yang dikandangkan (semi intensif atau bahkan secara intensif).

Jenis pakan ternak sapi potong yang dipelihara adalah rumput alam(lebih dari 80%) dan sisanya 20% yang disabitkan. Keadaan ini menjadi kendala yang serius untuk pengembangan sapi di kabupaten Cianjur jika hanya mengandalkan pakan dari rumput alam. Menurut Dinas Peternakan Cianjur (2009), potensi hijauan pakan ternak yang berasal dari limbah pertanian sangat tinggi. Potensi pakan ternak tersebut sebagaimana disajikan pada Tabel 21, dapat memenuhi kebutuhan pakan ternak sapi untuk pengembangan populasi sapi potong sebanyak 90.897 ekor sapi potong. Jumlah pakan 542.653 ton/tahun diperoleh dari

(18)

perhitungan setiap hektar lahan sawah rata-rata akan menghasilkan jerami 6 -10 ton/ha/musim tanam, sedangkan perkebunan sawit yang sudah berproduksi akan menghasilkan limbah berupa daun, pelepah, tandan kosong, serat perasan, dan bungkil sebanyak 73,9 Kg/Ha/Hari dan kebun yang belum berproduksi hanya menghasilkan limbah sebanyak 54,12 Kg/Ha/Hari (Dwiyanto et. al. 2003).

Tabel 21 Potensi pakan ternak yang berasal dari sawah

No Sumber Pakan Luas Areal (Hektar) Volume Pakan (ton/tahun)

1 Sawah 63.229 505.832

2 Pekebunan 1.420 36.821

Jumlah 542.653

Sumber : Diolah dari dinas Peternakan Cianjur, 2009

Pemanfaatan sumber pakan akan sangat mendukung terlaksananya penerapan berbagai teknologi seperti inseminasi buatan (IB), vaksinasi, dan pengobatan ternak. karena salah satu yang menjadi kendala dalam penerapan teknologi SIPT adalah ternak tidak dikandangkan, akibatnya petugas dari kesehatan hewan mengalami kesulitan untuk melakukan tindakan dan program kegiatan peningkatan produktifitas ternak. Sebagian besar petani (lebih dari 50 persen) masih menggunakan sistem kawin alam, padahal jika menerapkan teknologi IB seekor sapi potong secara teoritis dapat beranak setiap tahun.

Pengelolaan kesehatan temak ditujukan untuk mengendalikan penyakit dan pengobatan ternak secara umum. Jenis penyakit yang biasa terjadi yaitu cacing dan tympani, namun sudah bisa diatasi sendiri oleh petani atau memanggil petugas kesehatan hewan. Pada awal pemeliharaan biasanya sapi diberi obat cacing, vitamin dan menjaga kebersihan lingkungan untuk mendapatkan kondisi optimum bagi kesehatan ternak. Kemauan petani untuk melakukan vaksinasi ternak secara rutin masih terlihat rendah yaitu kurang dari 50% dan pemberian obat cacing secara rutin setiap 6 bulan sekali hanya sekitar 16%.

Pencegahan kemungkinan timbulnya infeksi penyakit yang bersifat ektoparasit maupun endoparasit belum dilakukan secara maksimal. Masih dijumpai kondisi tumpukan sisa pakan bercampur dengan kotoran terletak

(19)

dipinggir-pinggir kandang, sehingga lingkungan kandang menjadi kotor dan akan menimbulkan berbagai macam penyakit ternak. Kondisi ini menunjukkan perlunya prioritas pengelolaan limbah ternak, pengelolaan pakan, dan penanganan kesehatan ternak

Hasil sampingan yang dapat diperoleh dari kegiatan usaha budidaya sapi potong adalah kotoran ternak yang dapat dimanfaatkan untuk pupuk orgnik. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa kotoran ternak memiliki unsur hara yang diperlukan oleh tanaman dan dapat menurunkan keasaman tanah serta dapat memperbaiki struktur tanah yang rusak akibat pemakaian pupuk anorganik. Namun pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk organik masih sedikit yang dilakukan oleh petani. Hal ini dikarenakan sistem pemeliharaan ternak yang dilepas, sehingga kotoran ternak tersebut tidak bisa dikumpulkan. Dari hasil wawancara di lapangan, petani dapat menghemat pemakaian pupuk anorganik sampai dengan 40% jika memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik dalam kegiatan usaha pertaniannya. Dari sisi ekonomi, akan menurunkan biaya produksi dan meningkatkan pendapatan petani.

Keragaan produksi menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan berat badan harian sapi (PBBH) yang dikelola secara terintegrasi sebesar (0,79 kg/ekor/hari, sedang ternak sapi potong yang dikelola secara parsial 0,32 kg/ekor/hari, disajikan di Tabel 22

Tabel 22 Keragaan produksi padi - sapi potong

Uraian Integrasi Parsial

PBBH (kg/ekor/hari) 0,79 0,32

Konsumsi pakan (kg) 3,52 -

Produksi pukan (kg/ekor/hari) 4 ?

Produksi padi (t/ha) 5,36 4,86

Data primer, diolah

Keterangan: ? = data tidak bisa diamati, pemeliharaan dilepas .

Angka pertumbuhan ini dicapai selama periode pemeliharaan penggemukan sapi potong. PBBH yang dihasilkan dari sapi yang dikelola secara terintegrasi lebih tinggi sekitar 247% dari pola pemeliharaan petani secara parsial. Kegiatan

(20)

penggemukan sapi ini bukan semata-mata untuk pencapaian nilai PBBH yang tinggi, tetapi bagaimana sapi potong ini dapat memanfaatkan limbah jerami padi yang belum optimal dimanfaatkan, sehingga pada gilirannya akan menekan biaya produksi dan ramah lingkungan.

Pemeliharaan sapi potong dengan sistem seperti ini mendapat respon yang cukup baik dari petani. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan jumlah dana maupun jumlah petani yang ikut serta dalam kegiatan tersebut pada Tabel 23. Dampak dari penelitian ini adalah petani yang semula hanya memperoleh hasil dari padi berupa gabah dan padi, berkembang menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, selain itu diharapkan pula suatu saat menjadi pembuka lapangan kerja baru, dan membuka peluang tumbuhnya simpul-simpul agribisnis baru yang simultan dan berkesinambungan. Perkembangan ini mempunyai prospek yang cerah apalagi didukung dengan potensi alam, limbah pertanian melimpah dan permintaan konsumen akan daging yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Tabel 23 Perkembangan jumlah dana dan kepemilikan saham Periode

Pemeliharaan

Jumlah Sapi (ekor)

Jumlah Pemegang Saham (orang)

I 15 45

II 20 60

4.4 Keragaan Usaha Padi

Lahan sawah merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar keluarga tani dengan komoditas utama yang diusahakan yaitu padi. Lahan yang digunakan budidaya padi sawah mendapatkan jasa irigasi dari waduk Cirata dan terletak pada ketinggian 200 meter dari permukaan laut (dpl). Kebiasaan petani pada musim hujan pertama sekitar bulan November sudah melakukan tanam benih padi selanjutnya pada bulan Februari menanam benih padi lagi setelah panen padi pada musim hujan. Pola tanam yang diterapkan yaitu: padi-padi-padi, dan padi-padi- palawija/hortikultura, dengan variasi waktu tanam antar petani tiap musim sangat tinggi. Pola tanam ini selain dipengaruhi oleh kondisi pengairan yang tersedia sepanjang tahun, maka musim kering dilakukan penanaman padi

(21)

lagi (pola tanam model I), sedangkan pada daerah yang air irigasinya terbatas dilakukan penanaman palawija (pola tanam model II). Pola tanam yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian pada Gambar 24.

Pola tanam model 1 MUSIM PENGHUJAN MENJELANG MUSIM KEMARAU MUSIM KEMARAU Nov Des Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt

PADI PADI PADI

Pola tanam model 2 MUSIM PENGHUJAN MENJELANG MUSIM KEMARAU MUSIM KEMARAU Nov Des Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt

PADI JAGUNG PADI

SAPI Gambar 24 Pola tanam

Kondisi lahan yang digunakan sebelum tanam diketahui bahwa lahan sawah memiliki karakteristik agak masam (pH 5.3–6.1), kandungan unsur hara makro (N, P dan K) rendah, C-organik <1,5%, C/N ratio, P2O5 dan K2O sangat rendah. Keberadaan bahan organik tanah, ditunjukkan dengan rendahnya kandungan C-organik tanah dan kondisi ini mengindikasikan bahwa untuk usahatani padi perlu penambahan bahan organik untuk meningkatkan KTK tanah. Kandungan unsur N total, P2O5 total dan KTK dengan kriteria sedang. Kandungan basa-basa tukar seperti K dan Na rendah, Mg dan Ca tinggi. Menurut Diwyanto dan Hendrawan (2004), untuk mengembalikan kualitas tanah pada kondisi normal diperlukan peningkatan kadungan bahan organik tanah di lahan sawah.

Salah satu dugaan terjadinya penurunan produktivitas padi adalah karena menurunnya kualitas tanah sebagai akibat dari upaya petani untuk memperoleh hasil padi yang tinggi dengan pemakaian pupuk anorganik secara berlebihan, terutama pupuk urea. Namun kenyataannya hasil gabah tidak meningkat, bahkan pH tanah cenderung menurun. Penurunan pH tanah dapat terjadi karena penggunaan urea yang berlebihan.

(22)

Introduksi pupuk organik sangat diperlukan agar tingkat kesuburan tanah meningkat sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal bagi tanaman dan untuk efisiensi penggunaan pupuk anorganik. Nisbah C/N rendah menunjukkan proses nitrifikasi berjalan baik, sehingga bila pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah memiliki nisbah C/N tinggi akan menyebabkan terjadinya fiksasi unsur hara oleh mikroorganisme. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tanah yang ada di daerah penelitian apabila dilakukan penambahan C-organik, akan memiliki produktivitas yang tinggi sesuai dengan potensi lahannya

Usahatani yang menonjol dilokasi pengkajian adalah usahatani padi, jagung dan beternak sapi potong (penggemukan). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari aspek peningkatan produksi padi, rata-rata usahatani padi yang dikelola secara parsial berproduksi sekitar 4,86 ton/ha/musim sedang usahatani padi yang dikelola secara terintegrasi berproduksi 5,36 ton/ha/musim, disajikan pada Tabel 24. Hasil ini menunjukkan bahwa produksi padi yang dihasilkan dari yang dikelola secara terintegrasi (pupuk kandang) lebih tinggi sekitar 10,29% dari pola pemeliharaan petani secara parsial (tanpa pupuk kandang). Namun produksi ini belum optimal, karena potensi produksi padi varietas Ciherang bisa mencapai 6–8 ton/ha. Hasil penelitian Sumanto et al. (2002), menunjukkan bahwa pengelolaan padi terpadu meningkatkan hasil dari 4,5 - 5,5 ton/ha/musim.

Tabel 24 Produksi padi pada pola tanam padi-padi-jagung

Produksi Produksi/ha (kg) Produksi/petani (kg)

padi (MT I) 4,56 - 6,17 4,31 – 5,67

padi (MT II) 5,01 – 5,60

jagung kering (MT III) - -

rata-rata 5,36 4,86

Hasil panen pada MT I sebagian besar (65%) dijual, sisanya untuk konsumsi. Pada MT II terjadi sebaliknya yaitu 78% untuk konsumsi dan sisanya dijual. Hal ini terjadi karena dua alasan yaitu pada MT I petani hanya menyediakan cadangan konsumsi untuk keluarga selama empat bulan, sedangkan pada MT II selama tujuh bulan. Alasan yang ke dua adalah pada MT II (padi), petani memerlukan biaya untuk pertanaman padi, sedangkan pada MT III (jagung) ongkos produksi relatif lebih rendah.

(23)

4.5. Pengolahan Pupuk Organik (Kompos)

Salah satu kunci keberhasilan sistem integrasi usahatani tanaman dan ternak adalah teknologi pengolahan dan pemanfaatan pupuk organik (kompos) untuk meningkatkan kesuburan lahan. Permasalahan utama dari pukan bila dimanfaatkan sebagai sumber hara pada tanaman adalah rendahnya kandungan hara dan masih tingginya nilai C/N. Untuk mempercepat dekomposisi pukan dapat diberikan kapur dan probiotik. Pemberian probiotik (kumpulan mikroba pengurai) diharapkan mampu mempercepat proses pematangan pupuk organik.

Menurut Anwar (2003), pupuk organik yang ideal serta siap untuk digunakan memiliki nilai C/N ratio sama dengan atau kurang dari 25, berwarna coklat dan bersifat gembur dengan kelembaban berkisar 50−55% . Bila kelembaban kurang dari 50% maka fermentasi berjalan lebih lama. Hasil analisis unsur hara pukan menunjukkan bahwa fermentasi dapat memperbaiki kualitas pupuk. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya C/N kotoran sapi antara sebelum dan setelah fermentasi dari 33,67 menjadi 19,03. Hasil analisis Pukan sebelum dan setelah fermentasi pada Tabel 25.

Tabel 25 Komposisi unsur hara pukan sapi

Jenis Kandungan hara (%)

pH C Organik N Total C/N Rasio Al Fosfat P 2O Kalium K 5 2O Pukan 7,29 36,70 1,09 33,67 1,63 1,19 0,08 Pukan fermentasi 7,44 20,93 0,98 19,03 1,68 1,51 1,72

Dalam penelitian dicobakan pemanfaatan pupuk organik yang berasal dari pukan sapi dengan dosis 2 ton/ha yang dikombinasikan dengan benih unggul dan pupuk anorganik setengah dari dosis yang direkomendasikan. Pemanfaatan pupuk organik 2 ton/ha menghasilkan 5,36 ton/ha gabah kering panen, meningkat 10,29% dan secara ekonomis mengurangi penggunaan pupuk anorganik mencapai 57,14% (Tabel 26).

Pukan sapi dapat menjadi alternatif pengganti pupuk anorganik dan belum dioptimalkan manfaatnya untuk lahan pertanian. Penggunaan pupuk anorganik di

(24)

tingkat petani kurang efisien karena tidak diikuti peningkatan hasil. Kecenderungan petani untuk menambah pupuk urea mencapai 400 kg/ha guna mengatasi pelandaian produksi, merupakan tindakan inefisiensi. Secara ekonomis mengurangi penggunaan pemakaian urea mencapai 71.43%, TSP 50% dan KCl 50% per musim tanam. Hasil ini cenderung lebih tinggi dari yang dilaporkan BPTP Pertanian Jabar (2001) dimana pemupukan urea mampu meningkatkan efisiensi mencapai 30%-40 %.

Tabel 26 Pemanfaatan pupuk organik (1 ha padi/musim)

No Jenis Pupuk Volume (Kg) Efisiensi (%)

1 Urea tanpa pupuk organik 350

Urea dengan pupuk organik 100 71.43

Selisih 250

2 TSP tanpa pupuk organik 100

TSP dengan pupuk organik 50 50

Selisih 50

3 KCl tanpa pupuk organik 100

KCl dengan pupuk organik 50 50

Selisih 50

Rataan 57.14

Pemanfaatan pukan sebagai pupuk organik bukan merupakan hal baru dalam sistem usahatani, namun penggunaan pukan untuk menjaga kesuburan tanah di kalangan petani masih sangat terbatas. Kendala yang dihadapi oleh masyarakat pengguna pukan adalah masih terbatasnya persediaan pukan, proses pengomposan memakan waktu dan masih sedikitnya instalasi pengomposan baik milik pemerintah maupun masyarakat.

Beberapa manfaat penggunaan pukan (kompos) dalam jangka panjang mampu mempertahankan keanekaragaman dan kehidupan organisme tanah melalui peningkatan kandungan bahan organik tanah yang mudah terdekomposisi, dan pertukaran kation. Bahan organik merupakan sumber energi bagi kehidupan organisme tanah (Wada, 1981 dalam Sutanto, 2002).

(25)

Potensi pukan di Kabupaten Cianjur sangat besar seiring dengan populasi sapi potong yang ada yaitu sekitar 27.263 ekor (Dinas Peternakan, 2010). Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa seekor sapi potong dewasa mampu menghasilkan pupuk organik rata-rata 4 kg/ekor/hari sehingga bila diasumsikan dapat menghasilkan pupuk organik sejumlah 315 ton/hari. Rataan produksi kompos 2,4 ton/5 ekor/4 bulan, bila diasumsikan harga jual Rp 400/kg, seperti harga di Kabupaten Cianjur maka akan diperoleh tambahan pendapatan Rp 960.000/musim. Kontribusi tambahan penerimaan dari kompos sebesar 10.02%, sedangkan pola kebiasaan petani tidak ada penerimaan dari pukan.

4.6. Pengolahan Jerami Padi untuk Pakan Ternak

Pengambilan jerami padi harus dilakukan karena cara pemanenannya secara serempa. Para petani melakukan pengolahan maupun penyimpanan jerami dengan dan tanpa pengolahan lebih dahulu. Pengolahan jerami padi banyak dilakukan dengan teknologi fermentasi, yaitu menggunakan biostarter yang telah tersedia di pasaran kemudian dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak, disajikan pada Tabel 25.

Hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata jerami padi yang dihasilkan sekitar 7,26 ton/ha, disajikan pada Tabel 27, sesuai penelitian Diwyanto (2002). Asumsi yang digunakan dimana setiap ekor sapi memerlukan pakan 5–6 kg/ekor/hari, maka satu kali panen cukup untuk memelihara minimal 2 ekor sapi sepanjang tahun. Umumnya petani menyimpan jerami padi untuk pakan sapi sekitar 3-4 ton dan sisanya dibakar. Berdasarkan hasil penelitian, sapi yang diberi pakan jerami fermentasi mampu meningkatkan bobot hidup sapi sebesar 0,79 kg/ekor/hari.

Tabel 27 Produksi jerami padi

Limbah Produksi/ha (ton)

Jerami padi (MT I) 7,08

Jerami padi (MT II) 7,44

Hasil analisis proksimat jerami sebelum dan setelah fermentasi (Tabel 28) menunjukkan bahwa fermentasi dapat meningkatkan protein sebesar 2,88% dari

(26)

4,01% menjadi 7,09%, serat kasar menurun 6,32%, dan peningkatan TDN 6,95%. Peningkatan protein dan penurunan kadar serat kasar sangat mendukung dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak, Umumnya yang menjadi factor pembatas dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak adalah rendahnya nilai nutrisi. Tabel 28 Kandungan nutrisi jerami padi dan jerami padi fermentasi

Bahan baku Bahan kering (%)

Hasil analisis proksimat (%) BETN (%) TDN (%) PK LK SK Abu Jerami padi 87,58 4,21 10,61 24,76 19,05 40,78 41,68 Jerami fermentasi 89,18 7,09 15,0 18,44 21,31 35,69 48,63 Data primer, diolah

PK : protein kasar; LK : lemak kasar; SK : serat kasar

Gambar

Tabel 10  Kemiringan dan ketinggian wilayah  No  Tinggi m dpl  Kemiringan
Tabel 11  Distribusi persentase PDRB kabupaten Cianjur atas dasar harga berlaku
Tabel 12   Penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha   No  Lapangan Usaha Utama  Laki - Laki  Perempuan  Total
Tabel 14  Luas tanam, produksi, dan produktivitas komoditi tanaman pangan  di Kabupaten Cianjur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi K+ dlm larutan tanah merupakan indeks ketersediaan kalium, karena difusi K+ ke arah permukaan akar berlangsung dalam larutan tanah dan kecepatan difusi tgt pada

Menurut Ibnu Arabi (dalam Hudaya, 2008) Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dapat merasakan sebuah pancaran cahaya dalam dirinya disaat seorang tersebut dapat

Berdasarkan hasil uji diperoleh bahwa variabel yang berhubungan dengan dukungan instrumen adalah pendidikan, sedangkan tingkat HDR, lama gejala HDR, usia,

Apabila memperhatikan ayat-ayat tersebut di atas, maka Allah menyebutkan dua pandangan yaitu: al-kitab (al- Qur’an) dan al -Hikmah. Imam Syafi’i telah mendengar pendapat

[r]

Pembuatan membran elektrolit kitosan- PVA- litium dengan penambahan getah pohon kayu jawa, mula-mula kitosan dilarutkan sebanyak 30% berat dari berat kitosan + PVA dengan

Perusahaan Belanda, yang kini hampir selama satu abad memperluas perdagangan- nya di Kerajaan Siam di bawah nenek moyang Duli Yang Maha Mulia Paduka Raja yang sangat luhur,

Hubungan interaksi antara suhu dan lama pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P&gt;0,05) terhadap warna bumbu cair sate padang.Semakin tinggi suhu