• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. akibat adanya kerusakan selektif pada melanosit (Alikhan dkk., 2011). Menurut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. akibat adanya kerusakan selektif pada melanosit (Alikhan dkk., 2011). Menurut"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

9 2.1 Vitiligo

2.1.1 Definisi Vitiligo

Vitiligo secara umum adalah suatu kelainan didapat yang mengenai kulit dan mukosa yang ditandai dengan makula depigmentasi berbatas tegas yang terjadi akibat adanya kerusakan selektif pada melanosit (Alikhan dkk., 2011). Menurut Jain dkk vitiligo merupakan gangguan kulit hipomelanotik didapat yang umum terjadi dan ditandai dengan makula berwarna putih susu berbatas tegas dengan berbagai bentuk dan ukuran. Kondisi ini disebabkan oleh adanya kerusakan melanosit yang menyebabkan hilangnya produksi pigmen pada kulit dan permukaan mukosa (Jain dkk., 2011).

Adanya berbagai definisi dan perbedaan dalam metode penilaian klinis vitiligo mendorong dibentuknya Vitiligo European Task Force (VETF) pada tahun 2003 yang mengajukan suatu konsensus mengenai definisi dan klasifikasi vitiligo. Vitiligo European Task Force mengklasifikasikan vitiligo menjadi dua kelompok besar yaitu vitiligo vulgaris atau vitiligo non segmental dan vitiligo segmental. Menurut VETF vitiligo vulgaris atau common generalized vitiligo atau vitiligo non-segmental didefinisikan sebagai suatu gangguan pigmentasi kronik didapat, yang ditandai dengan makula putih, seringkali simetris dan bertambah luas seiring waktu, yang terjadi akibat kehilangan yang bermakna dari fungsi melanosit epidermal dan kadang melanosit folikel rambut. Kelompok ini

(2)

mencakup vitiligo fokal, vitiligo mukosal, vitiligo akrofasial, vitiligo generalis, dan vitiligo universalis. Sedangkan, vitiligo segmental didefinisikan sama dengan vitiligo non-segmental di atas kecuali untuk distribusinya yang unilateral yang dapat sebagian atau seluruhnya mengikuti pola dermatomal (Taieb dan Picardo, 2007). Klasifikasi dari VETF yang direvisi menambahkan kelompok vitiligo campuran (mixed vitiligo) yang didefinisikan sebagai kombinasi dari lesi awal vitiligo segmental yang kemudian berkembang dengan munculnya lesi depigmentasi bilateral dari vitiligo non-segmental dalam beberapa bulan hingga tahun kemudian (Ezzedine dkk., 2012).

2.1.2 Epidemiologi

Vitiligo adalah kelainan depigmentasi yang paling umum ditemukan, dapat terjadi pada semua umur, dan jenis kelamin (Birlea dkk., 2012; Alikhan dkk., 2011). Prevalensi vitiligo pada populasi diperkirakan berkisar dari 0,1%-2% dan menunjukkan adanya variasi yang luas diantara kelompok etnis yang berbeda. Prevalensi vitiligo pada populasi Kaukasia di Amerika Serikat dan Eropa Utara diperkirakan sebesar 0,38%, sedangkan pada populasi di Cina diperkirakan sebesar 0,19%. Insiden tertinggi dilaporkan dari India (1,25%-8,8%), diikuti Meksiko (2,6%-4%), dan Jepang (1,64%). Adanya perbedaan ini kemungkinan dihubungkan dengan lebih tingginya pasien vitiligo yang melapor terutama berkaitan dengan kontras warna kulit yang tampak dan stigma yang diterima oleh pasien yang mendorong untuk mencari pengobatan. Vitiligo dilaporkan lebih sering pada wanita dibandingkan pria yang kemungkinan menunjukkan

(3)

peningkatan pelaporan kasus oleh wanita akibat lebih besarnya konsekuensi sosial yang diterima (Alzolibani dkk., 2011). Anak dan dewasa dapat mengalami vitiligo secara sama rata, dimana prevalensi vitiligo pada kelompok umur anak/dewasa muda dengan kelompok umur dewasa tidak terdapat perbedaan (Alzolibani dkk., 2011; Kruger dan Schallreuter, 2012). Sebagian besar kasus vitiligo dilaporkan saat berkembang aktif dengan 50% pasien datang sebelum usia 20 tahun dan 70-80% datang sebelum usia 30 tahun. Walaupun tidak ada usia yang imun terhadap vitiligo, kondisi ini sangat jarang ditemukan saat lahir (Alzolibani dkk., 2011). Kasus vitiligo pernah dilaporkan terjadi pada usia 6 minggu setelah lahir (Nanda dkk., 1989). Rerata onset vitiligo didapatkan lebih awal pada pasien dengan riwayat keluarga yang positif, yang berkisar antara 7,7% sampai lebih dari 50% (Alikhan dkk., 2011).

2.1.3 Etiologi dan Patogenesis

Vitiligo adalah kelainan yang bersifat multifaktorial dan poligenik, dengan patogenesis kompleks yang belum diketahui sepenuhnya. Berbagai teori dihubungkan dengan patogenesis kondisi ini, dengan faktor genetik dan non-genetik yang berinteraksi sehingga mempengaruhi fungsi dan survival melanosit dan selanjutnya menyebabkan kerusakan autoimun terhadap melanosit. Berbagai teori tersebut mencakup antara lain gangguan pada adhesi melanosit, kerusakan neurogenik, kerusakan biokimia, dan autotoksisitas.

(4)

2.1.3.1 Peranan Genetik pada Vitiligo

Survey epidemiologi dalam skala besar menunjukkan bahwa sebagian besar kasus vitiligo terjadi secara sporadik, walaupun terdapat 15-20% pasien yang memiliki satu atau lebih anggota keluarga tingkat pertama yang juga mengalami vitiligo. Secara umum, pola penurunan pada vitiligo tidak mengikuti pola penurunan Mendelian yang menunjukkan penurunan yang bersifat poligenik dan multifaktorial. Kasus vitiligo pada kembar monozigot didapatkan sebesar 23% menunjukkan bahwa baik peran genetik dan non genetik, terutama peranan lingkungan memainkan peranan yang sama penting dalam patogenesis vitiligo. Beberapa gen yang dihubungkan dengan fungsi imunitas diduga berperan dalam kejadian vitiligo, seperti lokus MHC, CTLA4, PTPN22, IL10, MBL2, dan NALP1.

Baru-baru ini dilakukan suatu studi genetik yang luas dilakukan pada penderita vitiligo dari ras Eropa Kaukasia beserta keluarganya dan mendapatkan sedikitnya 10 lokus genetik yang berbeda yang kemungkinan berhubungan dengan risiko vitiligo, dimana 7 lokus ini ternyata juga dihubungkan dengan penyakit autoimun lainnya. Vitiligo segmental tampaknya secara genetik sedikit berbeda dengan vitiligo vulgaris, dengan kejadiannya yang lebih sporadik, dan distribusi yang unilateral, menunjukkan kemungkinan mozaikisme somatik yang muncul secara de novo (Birlea dkk., 2012).

2.1.3.2 Hipotesis Autoimun

Terdapat berbagai bukti biologis yang menunjukkan adanya peranan autoimun pada vitiligo. Secara epidemiologi, vitiligo dikaitkan dengan beberapa

(5)

penyakit autoimun baik pada pasien sendiri maupun pada keluarganya, yang menunjukkan adanya kemungkinan kelainan autoimun yang diturunkan. Awalnya sistem imunitas humoral dikaitkan dengan patogenesis vitiligo dengan ditemukannya antibodi antimelanosit yang menargetkan berbagai antigen melanosit seperti tirosinase, tyrosinase-related protein-1, dan dopachrome tautomerase yang dapat menyebabkan kerusakan melanosit secara in vitro dan in vivo. Saat ini, diduga bahwa antibodi ini adalah suatu respon humoral sekunder. Peranan yang lebih besar diduga dimainkan oleh infiltrat inflamasi yang ditemukan pada tepi lesi yang terutama terdiri atas limfosit T sitotoksik. Sel T ini menghasilkan profil sitokin tipe 1 dan terdapat secara bersamaan dengan melanosit epidermal, sehingga dihipotesiskan bahwa sel ini bersifat sitolitik aktif terhadap melanosit yang ada melalui granzyme/perforin pathway (Birlea dkk., 2012).

2.1.3.3 Hipotesis Biokimia

Terdapat beberapa bukti bahwa vitiligo adalah penyakit yang terjadi di seluruh epidermis, kemungkinan melibatkan baik melanosit dan keratinosit. Kelainan morfologi dan fungsional yang terjadi pada melanosit dan keratinosit kemungkinan memiliki peranan faktor genetik. Abnormalitas ultrastruktural dari keratinosit pada bagian perilesional kemungkinan berhubungan dengan gangguan aktivitas mitokondria yang diduga mempengaruhi produksi dari faktor pertumbuhan dan sitokin spesifik dari melanosit yang mengatur survival melanosit. Temuan biokimia yang penting adalah adanya peningkatan hidrogen peroksida pada lesi yang kemungkinan sebagian disebabkan oleh menurunnya

(6)

aktivitas antioksidan keratinosit dan melanosit. Gangguan sistem antioksidan menyebabkan melanosit lebih rentan baik terhadap sitotoksisitas imunologis maupun toksisitas yang diinduksi oleh reactive oxygen species (ROS) (Birlea dkk., 2012).

2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang khas dari vitiligo adalah adanya makula berwarna putih susu dengan depigmentasi yang homogen berbatas tegas, dengan tepi konveks, yang tersebar secara diskret. Walaupun biasanya asimptomatis, keluhan gatal pada lesi vitiligo pernah dilaporkan. Lokasi predileksi adalah pada area yang terpapar sinar dan biasanya mengalami hiperpigmentasi seperti daerah wajah, periorifisium, permukaan dorsal tangan dan kaki, puting susu, daerah lipatan seperti aksila dan inguinal, serta regio anogenital, walaupun semua area tubuh dapat terkena. Berbagai faktor pemicu pernah dilaporkan antara lain trauma fisik, paparan sinar matahari, stres psikologis, inflamasi, kehamilan, kontrasepsi, defisiensi vitamin, dan banyak lagi. Pada vitiligo didapatkan adanya fenomena Koebner dimana lesi dapat muncul pada area kulit yang mengalami trauma. Secara umum lesi vitiligo berkembang perlahan, baik dari pelebaran secara sentrifugal dari lesi yang lama atau adanya pembentukan lesi yang baru. Leukotrikia (depigmentasi pada rambut yang terdapat pada lesi vitiligo) dapat terjadi secara bervariasi antara 10-60% dan dianggap sebagai indikasi kerusakan reservoir melanosit di dalam folikel rambut dan dihubungkan dengan respon terapi yang lebih buruk. Perubahan rambut menjadi putih atau uban dilaporkan

(7)

terjadi pada sekitar 37% pasien dengan vitiligo, walaupun hubungan klinis dari kedua kondisi ini belum dapat dipastikan (Alikhan dkk., 2011; Birlea dkk., 2012). 2.1.5 Diagnosis

Diagnosis dari vitiligo ditegakkan umumnya berdasarkan penilaian klinis yang mencakup distribusi, luas lesi dan perjalanan penyakit. Vitiligo European Task Force telah menetapkan suatu lembaran evaluasi dan sistem penilaian yang dapat sebagai digunakan sebagai standar penilaian klinis vitiligo. Rangkuman data yang terdapat dalam formulir penilaian vitiligo oleh VETF dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Rangkuman informasi yang diperlukan berdasarkan formulir penilaian vitiligo menurut VETF (dikutip dari Taieb dan Picardo, 2007)

Fenotip kulit (Tipe kulit berdasarkan Fitzpatrick’s) Etnisitas

Umur onset Durasi penyakit

Aktivitas penyakit berdasarkan opini pasien (progresif, regresif, stabil dalam 6 bulan terakhir)

Episode repigmentasi sebelumnya, dan jika ada apakah spontan atau tidak (jabarkan detailnya)

Depigmentasi pada skar (Fenomena Koebner)

Stres sebagai faktor pemicu (saat onset penyakit atau memperburuk saat terjadinya flare)

Apakah terdapat gatal sebelum flare?

Penyakit tiroid, jika ada jabarkan detailnya termasuk adanya autoantibodi tiroid Riwayat keluarga dengan prematur hair graying

Riwayat keluarga dengan vitiligo (jika ada, jabarkan pohon silsilah keluarga) Tipe dan durasi pengobatan sebelumnya (termasuk opini pasien apakah terapi berguna atau tidak)

Terapi saat ini (termasuk tanggal dimulainya terapi) Riwayat penyakit lain dan terapinya

Riwayat penyakit autoimun lainnya

Riwayat penyakit autoimun dalam keluarga (jabarkan detailnya) Adanya nevus halo (jika ada, berapa jumlahnya)

Vitiligo pada area genital

Pemeriksaan Global quality of life Referensi berdasarkan foto klinis

(8)

Pemeriksaan biopsi kulit jarang diperlukan dalam menegakkan vitiligo. Beberapa diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan saat diagnosis vitiligo dapat dilihat pada tabel 2.2. Umumnya, secara histopatologi vitiligo akan menunjukkan kehilangan melanosit epidermis pada area yang terkena, dan kadang disertai infiltrat limfosit jarang pada dermis, perivaskular, dan perifolikuler terutama pada bagian tepi lesi awal dan lesi aktif yang kemungkinan menunjukkan adanya proses imunologis yang diperantarai oleh sel yang menyebabkan kerusakan melanosit in situ (Gawkrodger, 2008; Birlea dkk., 2012).

Pemeriksaan laboratorium bersifat tidak spesifik untuk diagnosis vitiligo, tetapi beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan sebagai skrining mengingat banyaknya kelainan autoimun yang dapat menyertai vitiligo. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain hitung sel darah lengkap, kadar hormon tiroid, dan antibodi antinuklear. Klinisi juga perlu mempertimbangkan pemeriksaan antitiroglobulin serum dan antibodi peroksidase antitiroid terutama jika penderita menunjukkan tanda dan gejala ke arah penyakit tiroid (Gawkrodger, 2008; Birlea dkk., 2012).

Tabel 2.2 Diagnosis Banding Vitiligo (dikutip dari Birlea dkk., 2012) DIAGNOSIS BANDING VITILIGO VULGARIS

Hipomelanosis yang Diturunkan Piebaldisme Sindrom Waardenburg’s Tuberosklerosis Hipomelanosis Ito Penyakit Infeksi Tinea versikolor Sifilis sekunder Kusta (tuberkuloid/lepromatosa) Hipopigmentasi Pasca Inflamasi

(9)

Lupus eritematosus diskoid, skleroderma, liken sklerosus et atropikus, psoriasis Hipomelanosis Paramaligna

Mikosis fungoides Melanoma kutaneus

Reaksi autoimun terhadap melanoma Kelainan Idiopatik

Hipomelanosis gutata idiopatik

Depigmentasi Akibat Toksin Depigmentasi akibat obat

DIAGNOSIS BANDING VITILIGO SEGMENTAL Nevus Depigmentosus

Nevus Anemikus

2.1.6 Penilaian Derajat Keparahan dan Aktivitas Penyakit Pada Vitiligo Saat ini terdapat berbagai metode untuk penilaian klinis vitiligo. Penilaian klinis vitiligo mencakup metode subjektif seperti penilaian langsung dengan cahaya tampak dan digital fotografi hingga penilaian yang objektif seperti colorimetry dan reflectance confocal microscopy. Beberapa peneliti mencoba membuat suatu sistem penilaian secara semi-kualitatif yang dapat digunakan dalam praktek klinis untuk membantu dalam menilai derajat keparahan serta aktivitas penyakit dan respon terhadap terapi pada vitiligo. Beberapa sistem penilaian tersebut antara lain Vitiligo European Task Force Assessment (VETFa), Potential Repigmentation Index (PRI), dan Vitiligo Extent Tensity Index (VETI), Vitiligo Area Severity Index (VASI), dan Vitiligo Disease Activity (VIDA). Sayangnya hingga saat ini belum terdapat konsensus yang disepakati mengenai sistem penilaian klinis vitiligo ini (Kawakami dan Hashimoto, 2011; Alghamdi dkk., 2012; Benzekri, 2013; Feily, 2014).

(10)

Sistem penilaian dari Vitiligo European Task Force, VETFa, terdiri dari luas lesi, stadium penyakit (staging), dan progresivitas penyakit (spreading). Luas lesi dinilai menggunakan metode rule of nine, staging dinilai berdasarkan pigmentasi pada kulit dan rambut dan dibagi menjadi stadium 0-3, sedangkan spreading digunakan untuk menilai progresivitas penyakit dan dibagi menjadi +1 (progresif), 0 (stabil), -1 (regresif) (Taieb dan Picardo, 2007; Kawakami dan Hashimoto, 2011).

Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi dkk dan merupakan metode yang telah terstandarisasi serta sensitif untuk mengukur derajat dan persentase dari depigmentasi dan repigmentasi. Skor VASI ini secara konseptual analog dengan skor psoriasis area severity index (PASI) yang digunakan pada psoriasis. Menurut Alghamdi dkk, skor VASI bersama penggunaan lampu wood dan rule of nine merupakan metode yang paling baik yang tersedia untuk menilai lesi pigmentasi dan mengukur luas serta derajat vitiligo baik secara klinis maupun dalam penelitian dan uji klinis (Alghamdi dkk., 2012). Dalam penghitungan skor VASI tubuh penderita dibagi menjadi 5 bagian yaitu tangan, ekstrimitas atas (tidak termasuk tangan), badan, ekstrimitas bawah (tidak termasuk kaki), dan kaki. Regio aksila dimasukkan dalam ekstrimitas atas sedangkan regio inguinal dan bokong dimasukan dalam ekstrimitas bawah. Satu hand unit, yang mencakup telapak tangan dan permukaan volar dari jari tangan diperkirakan sebanyak 1% dan digunakan untuk menilai jumlah area yang terlibat di setiap regio. Derajat depigmentasi ditentukan berdasarkan gambaran lesi yang dinilai dengan skor 0%, 10%, 25%, 50%, 75%, 90%, 100%. Derajat 100% depigmentasi berarti tidak ada

(11)

pigmen yang tampak, pada 90% terdapat bercak pigmen yang tampak, pada 75% area depigmentasi melebihi area pigmentasi, pada 50% area yang mengalami depigmentasi dan yang mengalami pigmentasi adalah sama banyak, pada 25% area pigmentasi melebihi area depigmentasi, pada 10% hanya terdapat bercak depigmentasi, dan 0% tidak terdapat bercak depigmentasi. Panduan penilaian gambaran depigemntasi/repigmentasi dapat dilihat pada gambar 2.1. Untuk setiap bagian tubuh skor VASI ditentukan dengan menjumlahkan area vitiligo dalam hand units dan derajat depigmentasi dalam setiap hand unit yang diperiksa dengan skor minimal 0 sampai dengan skor maksimal 100 menggunakan rumus berikut (Hamzavi dkk., 2004; Kawakami dan Hashimoto, 2011):

.

Gambar 2.1 Gambar panduan yang telah distandarisasi untuk memperkirakan derajat pigmentasi pada vitiligo (dikutip dari Hamzavi dkk., 2004).

(12)

Skor VIDA menggunakan skala 6 poin untuk menilai stabilitas dan progresivitas penyakit seiring berjalannya waktu. Sistem skoring ini dapat digunakan untuk membantu menilai efektivitas pengobatan dalam menghentikan dan mengembalikan area depigmentasi. Skor ini menggunakan penilaian pasien sendiri mengenai bagaimana perjalanan penyakitnya melalui teknik wawancara. Skor VIDA yang semakin rendah menunjukkan aktivitas penyakit yang semakin menurun (Bhor dan Pande, 2006; Alghamdi dkk., 2012).

Tabel 2.3. Tabel Sistem Skor Vitiligo Disease Activity (VIDA) dalam skala 6 poin (Dikutip dari Njoo, 1999)

Aktivitas Penyakit Skor Vida

Aktif dalam 6 minggu terakhir Aktif dalam 3 bulan terakhir Aktif dalam 6 bulan terakhir Aktif dalam 1 tahun terakhir

Stabil dalam minimal 1 tahun terakhir Stabil dalam minimal 1 tahun terakhir, dan terjadi repigmentasi spontan

+4 +3 +2 +1 0 -1

Keterangan: Vitiligo aktif mencakup adanya perluasan lesi lama maupun munculnya lesi baru

2.1.7 Penatalaksanaan

Mekanisme etiopatogenesis dari vitiligo yang belum dipahami dengan pasti menyebabkan hambatan dalam penatalaksanaan kondisi ini. Terdapat berbagai modalitas terapi yang dapat digunakan namun belum terdapat konsensus yang digunakan secara luas untuk pedoman dalam penatalaksanaan vitiligo. Vitiligo European Task Force membuat suatu panduan dalam penatalaksanaan vitiligo non-segmental dan segmental berdasarkan rekomendasi evidance based dan expert-based. Rangkuman rekomendasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.4.

(13)

Tabel 2.4 Rangkuman Pedoman Pengobatan pada Vitiligo (dikutip dari Taieb dkk., 2013)

Tipe Vitiligo Tingkat Penanganan Vitiligo segmental

atau vitiligo non segmental yang terbatas (< 2-3% BSA) Vitiligo non segmental Lini pertama Lini kedua Lini ketiga Lini pertama Lini kedua Lini ketiga Lini keempat

Menghindari faktor pemicu, terapi lokal (kortikosteroid, penghambat kalsineurin). Terapi NB-UVB lokal, terutama dengan menggunakan laser atau lampu excimer monokromatik.

Pertimbangkan terapi pembedahan jika repigmentasi tidak memuaskan.

Menghindari faktor pemicu, stabilisasi dengan terapi NB-UVB sedikitnya selama 3 bulan. Durasi optimal setidaknya dalam 9 bulan. Kombinasi dengan terapi sistemik/topikal, termasuk dengan terapi UVB lokal jika memungkinkan.

Steroid sistemik (terapi dengan dosis denyut kecil selama 3-4 bulan) atau dengan imunosupresi pada penyakit yang sangat progresif atau tidak mengalami stabilisasi dengna terapi NB-UVB.

Graft pada area yang tidak berespon terutama pada daerah dengan dampak kosmetik yang besar, namun adanya fenomena koebner membatasi penggunaan graft. Kontraindikasi relatif pada area dorsum manus.

Teknik depigmentasi (hidroqquinone monobenzyl ether atau 4-methoxyphenol tersendiri atau dengan kombinasi Q-switched ruby laser) pada lesi yang luas dan tidak berespon (>50%) atau pada daerah yang sangat terlihat (wajah/tangan) dan bersifat rekalsitran.

Kortikosteroid topikal telah digunakan sejak tahun 1950an karena efek anti-inflamasi dan imunomodulasinya. Pilihan terapi ini banyak digunakan sebagai pilihan terapi pertama pada bentuk vitiligo yang terbatas bersama dengan inhibitor kalsineurin topikal. Kortikosteroid topikal memiliki hasil yang paling baik yaitu sebesar 75% repigmentasi pada daerah yang terpapar sinar matahari

(14)

seperti wajah dan leher, sedangkan lesi pada akral berespon buruk. Inhibitor kalsineurin topikal telah digunakan sejak tahun 2002 terutama pada area dimana kortikosteroid topikal tidak dianjurkan untuk digunakan jangka panjang. Efektivitas inhibitor kalsineurin topikal dikatakan baik terutama pada area kepala dan leher (Taieb dkk., 2013).

Fototerapi yang saat ini menjadi pilihan pada vitiligo adalah menggunakan narrowband UVB (311 nm) terutama pada vitiligo aktif dengan lesi yang luas. Fototerapi menggunakan NB-UVB ini memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan fotokemoterapi menggunakan psoralen dan UVA (PUVA) atau khellin dan UVA (KUVA) dengan efektivitas yang setara. Dalam suatu studi didapatkan 64% pasien dengan terapi NB-UVB mencapai lebih dari 50% perbaikan dibandingkan hanya 36% kelompok yang diterapi dengan PUVA untuk mencapai perbaikan yang setara. Saat ini dikembangkan alat targeted phototherapy menggunakan excimer atau lampu yang menghasilkan sinar dalam range UVB (puncak pada 308 nm) yang dapat menjadi pilihan pada lesi yang lebih terlokalisir (Majid, 2010; Taieb dkk., 2013).

Kostikosteroid oral dikatakan dapat menghambat aktivitas penyakit namun tidak efektif dalam repigmentasi vitiligo yang telah stabil. Adanya efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan steroid jangka panjang membatasi penggunaan agen ini. Studi mengenai efektivitas kortikosteroid sistemik masih terbatas. Penggunaan oral pulse therapy dikatakan dapat meningkatkan efektivitas terapeutik steroid dan mengurangi efek sampingnya. Studi oleh Radakovic-Fijan mendapatkan adanya hambatan terhadap aktivitas penyakit pada 88% penderita

(15)

vitiligo aktif dengan menggunakan dexametason minipulse oral (Radakovic-Fijan dkk, 2001). Imunosupresan dan agen biologis lain yang dapat digunakan adalah siklofosfamid, siklosporin, dan anti-TNFα (Majid, 2010; Taieb dkk., 2013).

Adanya stres oksidatif di tingkat seluler selama progresivitas vitiligo menjadi dasar rasionalitas penggunaan antioksidan baik topikal maupun sistemik. Beberapa jenis antioksidan yang banyak digunakan pada vitiligo antara lain pseudokatalase, vitamin E, vitamin C, ubikuinon, asam lipoat, kombinasi katalase/superoxide dismutase dan ginkgo biloba. Terapi ini digunakan secara tunggal namun lebih banyak digunakan dengan kombinasi bersama fototerapi dengan tujuan untuk menghambat stres oksidatif yang dapat diinduksi oleh fototerapi itu sendiri sehingga dapat meningkatkan efektivitasnya. Uji terbuka menunjukkan antioksidan dapat menghambat progresi penyakit dan memicu repigmentasi. Namun dari beberapa studi yang dilakukan jumlah subjek terbatas dan parameter hasil yang diukur belum konsisten sehingga belum dapat dilakukan perbandingan. Konfirmasi dengan penelitian lebih lanjut masih diperlukan sebelum merekomendasikan terapi antioksidan pada vitiligo (Taieb dkk., 2013). Lebih spesifik mengenai pengobatan dengan menggunakan preparat SOD, terdapat beberapa studi yang menilai efektivitasnya sebagai terapi vitiligo. Kastovic dkk melakukan uji klinis dengan preparat SOD topikal yang dikombinasikan dengan pesudocatalase dan terapi UVB dan mendapatkan bahwa kombinasi ini dapat menjadi pilihan karena menyebabkan repigmentasi pada lebih dari 75% subjek penelitiannya (Kastovic dkk., 2007). Doghim dkk membandingkan terapi topikal kombinasi SOD, katalase, dan UVB dengan

(16)

kombinasi kalsipotriol, betametason, dan UVB mendapatkan bahwa terapi menggunakan kombinasi SOD dan katalase tampaknya tidak memberi efek tambahan yang signifikan (Doghim dkk., 2011). Sedangkan Naini dkk melakukan studi pilot randomized, double-blind, placebo-controlled dengan preparat SOD topikal dan mendapatkan belum ada perubahan yang signifikan pada area lesi dan repigmentasi perifolikular setelah diamati selama 6 bulan (Naini dkk., 2012).

Pembedahan dapat menjadi pilihan terutama pada kondisi vitiligo yang stabil dan terlokalisir. Pembedahan dilakukan dengan transplantasi melanosit pada lesi vitiligo dengan kulit normal yang berasal dari donor autolog. Beberapa metode pembedahan dapat dilakukan secara lokal dengan perawatan rawat jalan, namun transplantasi pada area yang luas memerlukan anestesia general. Resiko adanya kekambuhan setelah pembedahan juga harus menjadi pertimbangan dan dijelaskan kepada pasien sebelum dilakukan tindakan (Majid, 2010; Taieb dkk., 2013).

2.1.8 Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Perjalanan penyakit dari vitiligo seringkali tidak dapat diprediksi, tetapi sebagian besar kondisi bersifat progresif lambat dan sulit untuk dikontrol dengan terapi. Beberapa lesi berkembang seiring waktu, tetapi lesi lainnya dapat menetap dalam kondisi stabil dalam jangka waktu yang lama. Beberapa parameter seperti durasi penyakit yang lama, adanya fenomena koebner, adanya leukotrikia, dan keterlibatan mukosa dikatakan dapat menjadi faktor prognostik buruk pada penderita (Birlea dkk., 2012).

(17)

2.2 Stres Oksidatif

Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan akibat pembentukan radikal bebas yang berlebihan atau akibat berkurangnya sistem pertahanan antioksidan. Radikal bebas sendiri adalah atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya. Keadaan ini menyebabkan atom atau molekul tersebut sangat reaktif mencari pasangan dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya (Morris dan Trenam, 1995; Winarsi, 2007). Oksidan sendiri didefinisikan sebagai reaktan yang menghilangkan elektron dalam suatu reaksi oksidasi, sedangkan reactive oxygen species (ROS) mencakup semua molekul yang mengandung oksigen yang bersifat reaktif dan merupakan produksi normal dari proses metabolisme pada semua organisme aerob yang bersifat sebagai oksidan (Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012).

Pada kondisi badan yang sehat, oksidan yang terbentuk dengan sistem pertahanan antioksidan berada dalam titik keseimbangan. Dalam kondisi fisiologis ini, sistem pertahanan antioksidan melindungi sel dan jaringan melawan ROS. Adanya ketidakseimbangan antara sistem pertahanan antioksidan dengan ROS yang terbentuk akan dapat menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap organel penyusun sel seperti lipid, protein, dan DNA (Allesio, 2006; Atukeren, 2013). Mekanisme terjadinya stres oksidatif untuk dapat menyebabkan kondisi patologis dapat dilihat pada gambar di bawah (Krishnamurty dan Wadhani, 2012).

(18)

Gambar 2.2 Mekanisme Stres Oksidatif dapat menyebabkan Kerusakan Patologi (Dikutip dari Krishnamurty dan Wadhani, 2012)

Kerusakan pada molekul biologi seperti lipid, protein, dan DNA akibat radikal bebas akan menghasilkan produk oksidan yang oleh klinisi dapat digunakan sebagai penanda terjadinya stres oksidatif. Membran sel merupakan salah satu lokasi yang paling rentan terhadap kerusakan akibat ROS. Radikal bebas dapat bereaksi dengan asam lemak membran sel dan membentuk peroksida lipid. Akumulasi peroksida lipid ini dapat menghasilkan agen karsinogenesis seperti malondialdehid. Kerusakan membran melalui peroksidasi lipid dapat mengganggu fluiditas dan elastisitas membran secara permanen dan dapat menyebabkan lisisnya sel (Briganti dan Picardo, 2002; Khansari, 2009).

Selain membran sel, protein merupakan target utama lainnya dari radikal bebas. Produksi radikal bebas yang berlebihan dapat menimbulkan reaksi oksidasi

(19)

dengan protein asam amino dan terjadinya cross-linking. Reaksi radikal bebas dengan protein dapat mengganggu fungsi protein seluler dan ekstraseluler seperti enzim dan protein jaringan ikat secara permanen (Atukeren, 2013). Komponen DNA dari sel juga sangat rentan terhadap serangan radikal bebas. Kerusakan DNA ini dapat berefek letal pada organisme (Fang, 2002; Khansari 2009).

2.2.1 Reactive Oxygen Species (ROS)

Pada kondisi fisiologis yang normal, hampir 2 persen oksigen yang dikonsumsi oleh tubuh diubah menjadi oksigen melalui respirasi mitokondria, fagositosis dan lain-lain. Persentase ROS meningkat selama infeksi, latihan, paparan polutan, sinar ultraviolet, dan radiasi terionisasi (Fuchs, 2001; Fang, 2002).

Secara umum dikenal tiga tipe ROS yaitu superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), dan hidroksil (OH•). Radikal superoksida terbentuk bila terjadi kehilangan elektron saat proses rantai transpor elektron. Ion hidroksil bersifat sangat reaktif yang bereaksi dengan purin dan pirimidin sehingga menyebabkan lepasnya rantai DNA dan berakhir dengan kerusakan DNA (Yoshikawa dan Naito, 2002; Atukeren, 2013).

Reactive oxygen species bersifat tidak stabil dan sulit diukur secara langsung, namun ROS cenderung membentuk peroksidasi lipid yang dapat digunakan secara tidak langsung untuk mendeteksi keberadaannya dan dikenal sebagai biomarker. Kedua oksidan ini dapat menyebabkan kerusakan pada membran sel, protein, dan DNA. Biomarker kerusakan pada membran sel dapat

(20)

diketahui melalui pengukuran malondialdehid (MDA) dan F2-isofrostan. Biomarker kerusakan inti sel dapat diketahui melalui pengukuran protein karbonil, sedangkan biomarker kerusakan pada tingkat DNA dapat diketahui melalui pengukuran kadar 8-hydroxy-deoxyguanosine (OHdG) (Alessio, 2006; Valko dkk., 2007).

Reactive oxygen species juga dapat terbentuk saat aktivitas fisik yang berat, kondisi yang meningkatkan metabolisme seluler misalnya inflamasi kronis, adanya paparan bahan alergen, serta penggunaan obat-obatan dan bahan toksik seperti asap rokok, polutan, dan pestisida (Devasagayam, 2004; Winarsi, 2007).

2.3 Antioksidan

Antioksidan adalah suatu substan dengan konsentrasi yang rendah yang dapat berfungsi sebagai senyawa pemberi elektron sehingga efektif melindungi sel tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh oksidan. Adanya paparan radikal bebas dari berbagai sumber menyebabkan terjadinya serangkaian mekanisme pertahanan antara lain mekanisme pencegahan, mekanisme perbaikan, pertahan fisik dan pertahanan antioksidan. Pada kondisi normal, antioksidan berperan dalam mengubah ROS menjadi H2O untuk menghindari penumpukan ROS yang berlebihan. Di dalam tubuh manusia terdapat dua jenis antioksidan yaitu antioksidan enzimatik dan antioksidan non-enzimatik (Winarsi, 2007; Amit dan Priyadarsini, 2011).

(21)

Tabel 2.5 Antioksidan Enzimatis dan Non-enzimatis (Atukeren dan Yigitoglu, 2013).

Antioksidan Enzimatik Antioksidan Non Enzimatik

Superoxide dismutase (SOD)

Katalase Glutathione peroxidase (GPx) Glutathione reductase (GR) Glutathione-s-transferase (GST) Vitamin E Vitamin C Vitamin A Alpha-Lipoic Acid Flavonoid Uric acid Bilirubin Albumin Glutathione Ubiquinone Selenium Haptoglobin Seruloplasmin Transferin Laktoferin

Antioksidan enzimatik merupakan antioksidan yang dapat menetralkan kelebihan ROS dan mencegah kerusakan struktur sel dengan mereduksi hidrogen peroksida menjadi air dan alkohol. Anion superoksida dihasilkan melalui reduksi senyawa-senyawa yang memiliki elektron tunggal terutama dari molekul oksigen dan selanjutnya akan menginisiasi pembentukan reaksi rantai radikal bebas. Superoxide dismutase berperan dalam sistem antioksidan enzimatik dengan cara mengubah anion superoksida menjadi hidrogen peroksida yang merupakan reaksi awal sistem pertahan antioksidan (Briganti dan Picardo, 2002).

Antioksidan non enzimatik merupakan suatu molekul dengan berat jenis yang rendah dan bertindak sebagai pertahanan lini kedua dalam melawan radikal bebas. Antioksidan non enzimatik meliputi vitamin C, vitamin E, selenium, seng, taurin, hipotaurin, glutation, beta karoten, dan karoten. Antioksidan non enzimatik ini berperan dalam melawan efek toksik radikal bebas (Fang, 2001; Briganti dan Picardo, 2002).

(22)

Gambar 2.3 Mekanisme pertahanan antioksidan enzimatik dan non enzimatik (dikutip dari Atukeren dan Yigitoglu, 2013)

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat stres oksidatif antara lain umur, merokok, aktivitas olahraga, kehamilan, konsumsi antioksidan atau suplemen, serta menderita penyakit kronis. Peningkatan umur sejalan dengan peningkatan stres oksidatif melalui pembentukan ROS pada mitokondria (Alessio, 2006). Usia juga mempengaruhi aktivitas oksidatif dan stimulasi fagosit, dimana dari penelitian didapatkan bahwa aktivitas oksidatif seluler awalnya akan meningkat seiring usia kemudian akan menurun pada usia di atas 70 tahun. Adanya perubahan dalam eritrosit CuZn-SOD juga mengikuti pola yang sama (Alexandrova dan Bochev, 2010).

Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa obat-obatan yang tergolong dalam anti inflamasi non steroid seperti aspirin, ibuprofen, dan celecoxib memiliki aktivitas sebagai antioksidan ataupun pro-oksidan pada konsentrasi yang berbeda. Seperti misalnya pada aspirin, setelah pemberian secara oral, aspirin akan

(23)

dikonversi menjadi asam salisilat yang dapat menurunkan stres oksidatif dan bersifat pro-inflamasi seiring dengan meningkatnya aktivitas glutation peroksidase (Alessio, 2006).

Merokok dapat mempengaruhi atau meningkatkan stres oksidatif dengan meningkatkan kadar oksidan. Tingkat peroksidasi lipid pada perokok didapatkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan bukan perokok. Perokok mengalami oksidasi dari inhalasi sejumlah besar asap tembakau yang mengandung hidrokarbon polisiklik aromatis dan radikal bebas lainnya yang dapat menyebabkan peningkatan kerusakan oksidatif. Sebuah penelitian di Denmark tahun 2004 menyatakan bahwa kelompok perokok yang mengkonsumsi rokok setidaknya 5 batang/hari memiliki kadar SOD yang lebih rendah daripada bukan perokok (Lykksfeldt dkk., 2004).

Pada kondisi kehamilan yang normal ditemukan adanya peningkatan stres oksidatif, peroksidasi lipid pada sirkulasi darah maternal dan jaringan plasenta, serta peningkatan kadar antioksidan (Madazli dkk, 2002). Pada penelitian oleh Adiga tahun 2009 didapatkan adanya penurunan kadar total antioksidan serum pada wanita hamil dibandingkan dengan wanita tidak hamil (Adiga, 2009).

2.3.1 Superoxide Dismutase

Superoxide dismutase adalah enzim antioksidan yang secara alami terdapat pada semua organisme aerob termasuk pada mamalia dan tanaman, serta pada beberapa organisme anaerob. Superoxide dismutase tersedia dalam beberapa isoform yang berbeda tetapi memiliki bentuk yang sama. Perbedaan antar isoform

(24)

ini terdapat pada struktur protein, kofaktor logam yang diperlukan, serta lokasi kompartementalisasi dalam selnya yang berbeda. Terdapat tiga isoform enzim yang diproduksi oleh mamalia, yaitu SOD1 yang dikodekan dengan CuZn-SOD karena mengandung Cu dan Zn sebagai kofaktor logam dan memiliki sifat sitosolik, SOD2 yang dikodekan dengan Mn-SOD karena mengandung logam Mn dan merupakan isoform mitokondria, dan SOD3 yang dikodekan dengan ECSOD, yang memiliki struktur serupa dengan CuZn-SOD dan juga mengandung kofaktor logam Cu dan Zn tetapi merupakan bentuk ekstraseluler (Briganti dan Picardo, 2002).

Superoxide dismutase merupakan salah satu mekanisme pembelaan antioksidan lini pertama dalam tubuh manusia yang dikenal sebagai antioksidan primer. Sebagai suatu enzim, menunjukkan laju reaksi katalitik yang sangat tinggi dan memperbaharui dirinya sendiri secara konstan. Sifat-sifat antioksidan ini sangat berbeda dengan antioksidan sekunder seperti vitamin C, vitamin E, glutation, karotenoid, polifenol, mineral, dan lain sebagainya yang sangat cepat mengalami kelelahan dan tidak memiliki kemungkinan untuk memperbaharui diri (Le Quere, 2014).

Superoxide dismutase bekerja dengan mengubah anion superoksida O2 •-yang sangat reaktif menjadi hidrogen peroksida (H2O2). Dengan mengubah O2•- , SOD menghambat pelepasan ion besi bebas dan pembentukan ROS yang berbahaya seperti OH•. Pada saat yang bersamaan, SOD juga melindungi signalisasi vaskular dari NO• dengan melakukan hambatan ikatan ion ini dengan O2•- dan menghambat pembentukan peroksinitrat ONOO-, yang merupakan

(25)

reactive nitrogen species yang berbahaya. Hidrogen peroksida sendiri masih merupakan radikal bebas yang bersifat toksik terhadap sel, termasuk melanosit. Hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh aktivitas SOD selanjutnya akan diubah oleh antioksidan enzimatik katalase menjadi metabolit yang tidak berbahaya yaitu air dan oksigen (Le Quere, 2014).

2.4 Peranan Superoxide Dismutase pada Vitiligo

Peranan SOD pada vitiligo tidak lepas dari hipotesis biokimia yang menyebutkan adanya stres oksidatif sebagai salah satu faktor yang berperan dalam kerusakan melanosit. Hal ini didasarkan pada fungsi sintesis melanin dari melanosit yang melibatkan reaksi oksidasi dan pembentukan anion superoxide dan hidrogen peroksida (H2O2) sehingga melanosit terpapar oleh stres oksidatif. Terbatasnya sintesis melanin dalam melanosom melindungi organel sel lainnya dari kerusakan oksidatif. Tirosinase, enzim yang berperan dalam sintesis melanin akan mengoksidasi tirosin menjadi dopa, kemudian menjadi dopaquinon. Reaksi katalitik ini akan menyebabkan pelepasan O2-. Dopaquinon kemudian diubah menjadi dopachrome melalui suatu reaksi pertukaran redoks. Setelah mengalami dekarboksilisasi spontan, dopachrome dapat menghasilkan dihidroxyindole (5,6-DHI) yang kemudian mengalami oksidasi menjadi indolequinone, atau menghasilkan dihydroxyindole carboxylic acid (5,6-DHICA) yang kemudian diubah menjadi quinone setelah mengalami tautomerisasi dengan tyrosine related protein 2 (TRP2). Siklus redoks dari indole menjadi quinone ini menghasilkan ROS. Polimerisasi dari quinone reaktif ini akan membentuk eumelanin berwarna coklat/hitam (Denat, 2014).

(26)

Gambar 2.4 pembentukan ROS dalam berbagai tahapan sintesis melanin (dikutip dari Denat, 2014)

Terdapat bukti adanya stres oksidatif sebagai faktor kunci untuk kejadian dan progresivisitas vitiligo. Kerentanan sel melanosit terhadap kematian sel yang diakibatkan paparan sinar UVB dibandingkan melanosit orang normal menunjukkan adanya ketidakmampuan untuk mempertahankan diri dari stres oksidatif. Bukti selanjutnya menunjukkan bahwa kerentanan melanosit terhadap stres oksidatif fisik dan biokimia pada vitiligo juga terjadi kulit non lesi. Pasien vitiligo diketahui memiliki kadar H2O2 yang tinggi pada epidermisnya dan kadar hidrogen peroksida yang tinggi ini diketahui dapat menurunkan aktivitas katalase sebagai sistem antioksidan sehingga semakin memperberat stres oksidatif yang terjadi (Denat, 2014). Kadar H2O2 yang tinggi dapat menginaktivasi dan mengurangi kadar methionine sulfoxide reductase A dan B serta thioredoxin/thioredoxin reductase sehingga semakin memperberat stres oksidatif yang terjadi dan menyebabkan kematian melanosit pada vitiligo (Schallreuter

(27)

dkk., 2008; Zhou dkk., 2009). Lebih jauh lagi kadar H2O2 yang tinggi pada epidermis diketahui dapat menyebabkan reaksi oksidasi dari peptida bioaktif ACTH dan α-MSH yang berasal dari propiomelanokortin, dimana kedua peptida ini memiliki peranan sebagai antioksidan dan dapat mempengaruhi survival melanosit (Kadekaro dkk., 2005; Spencer dkk., 2007). Walaupun merupakan antioksidan enzimatik, peningkatan aktivitas SOD juga dianggap salah satu sumber akumulasi hidrogen peroksida dalam sel karena SOD sendiri bekerja dengan mengubah radikal superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen

(Laddha dkk., 2014)

Gambar 2.5 Induksi pembentukan ROS oleh sumber eksogen dan endogen serta mekanisme pembelaan antioksidan untuk mengembalikan keadaan redoks yang seimbang dalam melanosit (dikutip dari Denat, 2014)

Pengukuran kadar SOD pada vitiligo telah banyak dilakukan dalam penelitian sebelumnya. Chakraborty dkk melakukan investigasi awal aktivitas SOD pada model depigmentasi hewan percobaan dan mendapatkan aktivitas SOD yang tinggi dan mendapatkan hasil yang sama dimana didapatkan aktivitas SOD yang lebih tinggi pada pasien vitiligo dibandingkan pasien kontrol (Chakroborty,

(28)

1996). Yildirim dkk membandingkan peranan oksidan dan antioksidan pada pasien dengan vitiligo vulgaris dan mendapatkan peningkatan kadar SOD eritrosit yang signifikan antara kelompok pasien dengan kontrol sehat (Yildirim dkk., 2003). Agrawal dkk juga menemukan hal yang serupa dimana didapatkan kadar SOD dalam darah yang lebih tinggi pada kelompok dengan vitiligo dibandingkan dengan kelompok normal pada semua umur (Agrawal dkk., 2004). Studi oleh Hazneci juga mendapatkan hasil serupa dimana didapatkan adanya peningkatan aktivitas SOD eritrosit pada pasien vitiligo (Hazneci, 2004). Ines dkk mencoba membandingkan aktivitas SOD pada kelompok vitiligo yang stabil dengan yang aktif dan mendapatkan adanya peningkatan aktivitas SOD eritrosit pada kelompok dengan vitiligo aktif dibandingkan dengan yang stabil (Dammak dkk., 2006). Dammak dkk juga melakukan penelitian terhadap enzim antioksidan dan peroksidasi lipid pada level jaringan pasien dengan vitiligo aktif dan stabil dan mendapatkan bahwa aktivitas SOD meningkat pada pasien dengan vitiligo dibandingan kontrol normal, dan lebih tinggi secara signifikan pada vitiligo yang aktif dibandingkan dengan vitiligo stabil (Dammak dkk., 2009). Lebih lanjut Sravani dkk meneliti stres oksidatif pada kulit lesi dan non lesi pasien vitiligo dengan mengukur SOD dan katalase dan mendapatkan bahwa kadar SOD pada kulit pasien vitiligo baik yang diambil pada lesi maupun non lesi secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan kadar SOD pada lesi dan non lesi pasien vitiligo tidak berbeda secara bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa stres oksidatif yang terjadi tidak hanya pada lesi tetapi terjadi pada seluruh epidermis (Sravani dkk., 2009). Adanya peningkatan kadar SOD pada pasien

(29)

vitiligo ini mencerminkan aktivitas enzim SOD yang meningkat yang kemungkinan disebabkan oleh mekanisme adaptasi atau sebagai respon dari stres oksidatif yang terjadi. Kadar SOD yang tinggi yang disertai dengan penurunan kadar katalase dapat menyebabkan terjadinya akumulasi H2O2 yang bersifat toksik terhadap melanosit (Hazneci, 2004; Dammak dkk., 2009; Sravani dkk., 2009).

Gambar 2.6 Peranan SOD dalam Kerusakan Melanosit pada Patogenesis Vitiligo Untuk mengetahui penyebab peningkatan aktivitas SOD pada vitiligo ini, Laddha dkk mencoba menganalisis gen dari ketiga isoform SOD untuk melihat adanya variasi genetik dan level transkripsinya. Penelitian ini mendapatkan adanya polimorfisme pada gen yang mengatur SOD2 dan SOD3 yang secara signifikan berhubungan dengan vitiligo. Polimorfisme pada gen SOD2 Thr581le (rs35289490) dan Leu84Phe (rs11575993) memiliki hubungan yang signifikan

(30)

dengan pasien vitiligo, sedangkan polimorfisme Val16Ala dihubungkan dengan pasien vitiligo dengan lesi yang aktif. Aktivitas SOD2 yang tinggi yang dihubungkan dengan polimorfisme genetiknya ini disertai dengan peningkatan dalam level transkripsinya pada pasien vitiligo. Sedangkan untuk SOD3 didapatkan adanya polimorfisme pada Arg213Gly (rs8192291) yang juga dihubungkan dengan peningkatan level transkripsinya pada pasien vitiligo. Aktivitas dari isoform SOD yang meningkat ini dihubungkan dengan progresi dan aktivitas penyakit. Dari studi ini disimpulkan bahwa polimorfisme pada gen yang mengatur SOD2 dan SOD3 dapat sebagai faktor risiko genetik untuk kerentanan dan progresivitas vitiligo karena aktivitas SOD yang meningkat yang tidak disertai dengan aktivitas enzim katalase akan menyebabkan akumulasi hidrogen peroksida dalam sitoplasma, mitokondria, dan kompartemen ekstraseluler yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif yang lebih tinggi pada melanosit (Laddha dkk., 2013).

Gambar

Gambar  2.1  Gambar  panduan  yang  telah  distandarisasi  untuk  memperkirakan  derajat pigmentasi pada vitiligo (dikutip dari Hamzavi dkk., 2004)
Tabel 2.3. Tabel Sistem Skor Vitiligo Disease Activity (VIDA) dalam skala 6 poin  (Dikutip dari Njoo, 1999)
Tabel  2.4  Rangkuman  Pedoman  Pengobatan  pada  Vitiligo  (dikutip  dari  Taieb  dkk., 2013)
Gambar  2.2  Mekanisme  Stres  Oksidatif  dapat  menyebabkan  Kerusakan  Patologi  (Dikutip dari Krishnamurty dan Wadhani, 2012)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengolahan data melalui PLS, ditemukan bahwa Leadership style memberikan pengaruh positif terhadap information system pada industri perhotelan bintang 3,

Hasil data ujicoba pengguna guru pada tabel 5 diperoleh niali tertinggi adalah aspek lain-lain sebesar 93,33%, nilai terendah pada aspek keinteraktifan dan balikan diperoleh

Menjadi sarana usaha yang mampu berperan dalam kancah industri secara signifikan dan mampu melahirkan serta mendukung wirausaha untuk memajukan perekonomian nasional khususnya di

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa reksadana merupakan suatu wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya

Terkait penelitian ini diharapkan dapat menemukan konsep dan model koordinasi yang dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah Kecamatan Kiaracondong kota Bandung

Tingkat pemahaman siswa kelas XII IPA pada seluruh pokok bahasan mata pelajaran kimia di SMA negeri kota Bengkulu tidak merata untuk setiap pokok bahasan, hal

Selain itu, dalam penelitian ini dilengkapi dengan analisis menggunakan metode FMEA untuk mengetahui pada proses manakah yang memiliki risiko kegagalan paling tinggi.

Dari Tabel 3 dapat diprediksi bahwa saat terjadi load shedding 1 akan dimatikan beban dengan prioritas 7 (beban no 2) karena beban tersebut adalah beban yang memiliki daya