• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar belakang

Perkembangan kasus kekerasan yang dihimpun oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi wanita Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dalam catatan tahunan LBH APIK 2014 selama rentang tahun 2010 hingga 2014, menunjukkan pasang surut pelaporan kasus kekerasan yang terjadi, di antara tahun 2010 (sebanyak 914 kasus), 2011 (turun menjadi 709 kasus), 2012 (turun kembali menjadi 664 kasus), 2013 (mencapai 992 kasus) dan 2014 (turun menjadi 704 kasus), sehingga bila dirata-ratakan maka jumlah kekerasan yang terjadi dalam periode satu tahun dapat mencapai 796 kasus. Dalam Laporan tahunan yang disusun oleh LBH APIK Jakarta (2014) diketahui bahwa jumlah kekerasan dalam pacaran mencapai 23 kasus, yang terdiri dari kekerasan seksual sebanyak 5 kasus, ingkar janji (kehamilan tanpa suami dan pertanggungjawaban pernikahan setelah kehamilan) sebanyak 8 kasus, kekerasan fisik sebanyak 6 kasus dan pemanfaatan ekonomi oleh pasangan sebanyak 4 kasus. Berdasarkan data yang terhimpun dalam catatan tahunan LBH APIK Jakarta, menunjukkan angka kasus kekerasan dalam pacaran di Indonesia sangat fluktuatif terjadi dari tahun ke tahun.

Berkenaan dengan kekerasan umum yang telah dipaparkan diatas, maka LBH APIK Jakarta selama periode 2010-2014 juga memaparkan bahwa terdapat angka jumlah kekerasan secara umum memiliki kondisi yang sama fluktuatifnya dengan kekerasan yang terjadi dalam pacaran, yaitu pada tahun 2010 (68 kasus), 2011 (35 kasus), 2012 (tidak diketahui), 2013 (62 kasus), 2014 (23 kasus). Pihak LBH APIK Jakarta (dalam Catatan Tahunan LBH APIK 2014) berpendapat bahwa jumlah pelaporan kasus kekerasan yang bergerak fluktuatif ini dapat diibaratkan sebagai sebuah fenomena gunung es, yang artinya di luar dari proses penghimpunan data oleh lembaga bantuan hukum, masih terdapat banyak kekerasan yang terjadi di luar pengetahuan lembaga bantuan hukum yang ada, sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah kekerasan yang terjadi sesungguhnya lebih banyak terjadi diluar pelaporan kasus kekerasan dibandingkan hasil pelaporan yang sampai ke lembaga bantuan hukum. Hal ini

(2)

disebabkan adanya faktor-faktor dalam diri individu (korban) yang mengurungkan niat pelaporan kekerasan dalam pacaran pada lembaga bantuan hukum yang ada.

Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan (Info datin Depkes) yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan RI (2015) dalam Infodatin Laporan Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja, menunjukkan bahwa usia remaja yang telah pacaran mencapai sekitar 33.3% remaja wanita dan 33.4% remaja pria yang telah berusia 15-19 tahun dan telah pacaran sebelum beranjak usia 15 tahun. Info Datin Depkes (2015) memaparkan usia remaja sebagai suatu usia yang mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai tantangan serta berani menanggung resiko perbuatan tanpa didahului dengan pertimbangan yang matang, sehingga perilaku beresiko rentan untuk terjadi di dalam pacaran. Bentuk-bentuk resiko yang dihadapi oleh remaja adalah adanya kekerasan dalam pacaran yang dapat terjadi dalam bentuk kekerasan secara fisik yang dilakukan kepada pacar, kekerasan verbal/emosional/ psikologis dalam bentuk intimidasi, pembatasan maupun pemaksaan terhadap pacar, kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan secara seksual, kekerasan dengan pengintaian terhadap pacar dan kekerasan dalam bentuk pemaksaan meminta uang/ekonomi. Data SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) 2012 yang dipaparkan di dalam infodatin 2015 menjelaskan bahwa jumlah kelompok usia remaja Indonesia yang telah berusia 10-19 tahun mencapai 43,5 juta jiwa atau mencapai 18% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia pada data sensus penduduk tahun 2010. Usia rentan pada remaja mengalami kekerasan dalam pacaran dapat menyebabkan hambatan remaja dalam menempuh pendidikan sekolah dan dapat menghambat siswa dalam belajar di jenjang yang lebih tinggi.

Data Komnas wanita Indonesia yang dipaparkan oleh Ibu Mariana Amiruddin (2015) menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran menempati urutan kedua dalam jumlah kasus kekerasan yang terjadi selama tahun 2014. Jumlah seluruh kekerasan yang terjadi selama tahun 2014 mencapai 704 pengaduan. Jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan tersebut, terdiri dari kekerasan terhadap isteri (KTI) (415 kasus), kekerasan dalam pacaran (KDP) (147 kasus), kekerasan terhadap anak wanita (70 kasus), kekerasan mantan pacar (KMP) sebanyak (7 kasus), Kekerasan dari mantan suami (KMS) sebanyak (53 kasus), dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) sebanyak (23 kasus). Berdasarkan catatan tahunan LBH APIK Jakarta tahun 2013

(3)

memaparkan bahwa angka kekerasan dalam pacaran dan kekerasan dalam rumah tangga tidak mengalami sedikitpun penurunan dari tahun ke tahun, kondisi ini diperburuk dengan suatu ironi bahwa kekerasan-kekerasan yang terjadi kerapkali dilakukan oleh orang-orang yang memiliki peran penting bagi perkembangan diri (significant other) seseorang dan merupakan bagian dari support system (lingkungan pendukung belajar) bagi seseorang untuk dapat beradaptasi dengan baik di lingkungannya. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kekerasan dapat terjadi pada siapapun, bahkan dapat terjadi sebelum seseorang menempuh kehidupan berkeluarga yang memerlukan komitmen bersama dalam menjalankannya. Sayangnya, berdasarkan data catatan tahunan LBH APIK tahun 2014, menunjukkan bahwa jumlah angka kekerasan yang terjadi pada wanita di Indonesia cenderung lebih besar dibandingkan pria, dikarenakan adanya suatu konstruksi sosial patriarkal yang memperkuat anggapan bahwa gender pria memiliki pengaruh lebih besar dalam beragam segi kehidupan dibandingkan dengan gender wanita. Hal ini disebabkan adanya suatu pola pikir patriarki yang diusung oleh individu-individu tertentu yang cenderung melihat suatu gender laksana barang/property yang dengan mudahnya dipersepsikan sebagai milik individu dan 'sepatutnya' tunduk pada individu tersebut. Hal ini pun tidak hanya terjadi pada ranah kekerasan dalam rumah tangga, namun juga terjadi di dalam ranah kekerasan dalam pacaran, sehingga, satu bentuk kekerasan fisik dapat terjadi dan berulang kali terjadi kembali dalam bentuk kekerasan lainnya di waktu yang berbeda. Kendati demikian, kekerasan pada kaum pria pun tetap terjadi, namun jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan tidak sebanyak jumlah pelaporan kasus kekerasan yang terjadi pada gender wanita.

Pasangan atau pacar (intimate partner) menurut Breiding, Basile, Smith, Black dan Mahendra (2015) adalah seseorang yang sedang dalam hubungan personal dengan seseorang yang dapat mencakup beberapa hal dalam hubungan tersebut, di antaranya adalah saling terhubung secara emosional, menjalin komunikasi secara berkala, mengalami kontak fisik dan perilaku seksual, dikenal oleh orang dekat mereka sebagai pasangan, serta saling akrab dan mengenal kehidupan masing-masing. Penjelasan dimensi yang dipaparkan di atas, tidak mengharuskan seseorang untuk memiliki seluruh dimensi agar dapat disebut sebagai pasangan atau pacar. pacaran tidak selalu harus dilandasi oleh adanya kontak secara fisik maupun seksual. Selama di dalam hubungan tersebut, kedua individu memiliki suatu kehendak bersama untuk menjalani suatu

(4)

hubungan personal dalam kehidupan remajanya, maka dua individu dapat disebut pacaran atau intimate partner.

Guamarawati (2009) menjelaskan bahwa penyebab munculnya kekerasan dalam pacaran dilihat dari sudut pandang gender dikarenakan adanya suatu ketimpangan gender yang diperkuat dengan tekanan konstruksi sosial Patriakal. Shinta (2009) menjelaskan peran gender pria dan gender wanita yang tidak setara dapat menyebabkan adanya dominansi kekerasan oleh suatu gender terhadap gender lainnya. Menurut Sarwono (2012) menjelaskan peran gender memiliki andil besar dalam menentukan tekanan yang dihadapi oleh suatu gender dalam menghadapi tanggung jawab di dalam kehidupan sosial. Kehidupan sosial memiliki dampak pada kewajiban dan hak masing-masing gender yang berlaku di dalam masyarakat. Sehingga, tekanan pada diri individu semakin besar saat kewajiban/hak suatu gender tidak tercapai.

Black, Basile, Breiding, Smith, Walter, Merrick, Chen dan Stevens (2011) memaparkan hasil survei pada 16.507 orang dewasa (9.086 wanita dan 7.421 pria), didalam data tersebut menjelaskan besarnya paparan kekerasan dalam pacaran. Data tersebut memaparkan bahwa satu dari empat wanita dan lebih dari satu dari sepuluh pria mengalami kontak kekerasan seksual, kekerasan fisik atau pengintaian (stalking) oleh pacarnya. Sedangkan kekerasan seksual, perkosaan telah menimpa satu dari lima wanita (19,3%) dan satu dari lima puluh sembilan pria (1,7%) selama hidupnya. Gambaran kelam kekerasan seksual, perkosaan yang menimpa wanita mencapai setidaknya satu juta sembilan ratus ribu dalam tahun survei ini dilakukan. Situasi kekerasan tidak semakin membaik karena satu dari empat wanita (22,3%) mengalami kekerasan fisik parah oleh pasangan dan pria mengalami kekerasan fisik sebanyak satu dari tujuh orang pria. Tidak hanya secara fisik, pengintaian (stalking) dialami oleh satu dari enam wanita (15,2%) selama hidupnya, dan pria mengalami pengintaian sebanyak satu dari sembilan belas pria (5,7%). Bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran yang dipaparkan diatas mengambil konteks bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di luar negara Indonesia, dan memiliki perbedaan dalam bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di dalam negara Indonesia.

Breiding, Chen dan Black (2014) memaparkan bahwa usia rentan kekerasan dalam pacaran dapat terjadi dalam rentang usia antara 11 sampai 17 tahun, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi diantaranya adalah kekerasan stalking (pengintaian), perkosaaan,

(5)

kekerasan fisik. Eaton, Kann, Kinchen, Shanklin, Flint, Joseph, dkk (2012) memaparkan bahwa kerentanan kekerasan dalam pacaran telah terjadi pada masa usia sekolah menengah atas yang mencapai 9%, dari kasus kekerasan fisik yang dialami oleh remaja, diantaranya adalah kekerasan dengan pukulan, tamparan, atau kekerasan terencana yang mengincar para remaja pria maupun wanita dalam 12 bulan berlangsungnya pacaran.

Penuturan Davis (2008) mengenai dampak kekerasan interpersonal seringkali bermula dari masa awal remaja dan berlanjut ke masa dewasa. Paparan kekerasan yang diperoleh individu dapat menyebabkan munculnya hambatan perkembangan di masa dewasa korban baik secara perkembangan fisik, nalar, mental/psikologis/emosi dan psikososial. Chase, Treboux dan O'Leary (2002) menjelaskan bahwa dampak kekerasan yang dialami dalam pacaran diantaranya adalah munculnya luka fisik, gangguan trauma pasca stres, berkurangnya kepercayaan diri dan penghargaan diri, reaksi psikosomatif, depresi dan terganggunya prestasi belajar di sekolah. Selain itu, Olshen, McVeigh, Wunsch-Hitzig, dan Rickert (2007) menunjukkan bahwa terdapat dampak negatif pasca terjadinya kekerasan dalam pacaran yang dapat menyebabkan munculnya percobaan dan keinginan bunuh diri pada remaja wanita maupun pria.

Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menjelaskan bahwa terdapat dimensi-dimensi yang berperan dalam menentukan kecenderungan seseorang untuk melakukan kekerasan dalam pacaran, dimensi-dimensi yang berperan tersebut dianggap kuat dalam memprediksikan (menjadi prediktor) terhadap kemungkinan seseorang untuk melakukan kekerasan dalam pacaran, dimensi-dimensi tersebut diantaranya adalah dimensi attitudes toward violence (sikap terhadap kekerasan), dimensi sex role attitudes (Sikap Peran Gender), dimensi romantic jealousy (Kecemburuan), dimensi general interpersonal aggression (Tingkat Agresi Interpersonal umum), dimensi verbal aggression (Agresi Verbal), dimensi receipt violence (Penerimaan terhadap Kekerasan). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) terdapat dua kelompok pengukuran dimensi berdasarkan jenis kelamin. Dimensi-dimensi yang berdampak besar pada gender pria diantaranya adalah dimensi sex role attitudes (sikap peran gender), dimensi Verbal aggression (agresi verbal), dimensi attitudes toward violence (sikap terhadap kekerasan), dan dimensi received violence (penerimaan terhadap kekerasan). Pada gender wanita mencakup dimensi general interpersonal aggression (agresi interpersonal umum), dimensi attitudes toward

(6)

violence (sikap terhadap kekerasan), dimensi verbal aggression (agresi verbal), dimensi sex role attitudes (sikap peran gender), dimensi romantic jealousy (kecemburuan) dan dimensi received violence (kekerasan yang diterima oleh seseorang). Penelitian ini menemukan bahwa perilaku kekerasan dapat lebih mungkin untuk terjadi pada seseorang yang memegang pandangan gender tradisional secara erat, sehingga berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka terdapat suatu usulan penelitian selanjutnya agar dapat menyertakan variabel yang berhubungan dengan gender (Peran Gender) sebagai suatu variabel potensial untuk mengukur kecenderungan seseorang dalam melakukan kekerasan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang penulis laksanakan dengan metode wawancara dengan narasumber di salah satu sekolah di kawasan Jakarta Barat, diperoleh fenomena mengenai siswa-siswi remaja di sekolah tersebut yang menunjukkan adanya indikasi kekerasan dalam pacaran yang telah terjadi selama kurun waktu tertentu - saat siswa berada di luar jam belajar sekolah - hal ini diketahui melalui bentuk kekerasan dalam pacaran yang dialami oleh siswa-siswi disekolah tersebut dan diketahui sedang dalam suatu hubungan pacaran. Perilaku kekerasan dalam pacaran yang diketahui melalui wawancara narasumber adalah adanya pemaksaan gaya berpakaian oleh pacar pada pasangannnya. pemaksaan yang dialami oleh siswi yang pacaran terlihat melalui gaya berpakaian yang menunjukkan lengan baju yang sengaja dipendekkan, rok yang dipendekkan, dan riasan wajah yang berlebihan saat berada di sekolah, dan saat diluar jam belajar di sekolah, siswi cenderung menggunakan baju ketat dan celana pendek sebagai pakaian bebas diluar sekolah. Setelah melalui proses wawancara yang dilakukan bersama narasumber, maka diketahui bahwa telah terjadi pemaksaan gaya berpakaian yang dilakukan dalam bentuk kekerasan verbal/emosional/ psikologis, yang di dalamnya, terdapat pembatasan terhadap pasangan, baik itu dalam tindakan (pengaturan cara berpakaian pacar), sikap (nilai-nilai yang dipaksakan untuk dimiliki oleh pasangan yang pacaran) ataupun perilaku (perilaku yang diharapkan muncul di dalam bentuk pembatasan tersebut). Pemaksaan berpakaian yang dilakukan oleh pacar kepada pasangannya, lambat laun dapat menjadi pemicu munculnya bentuk-bentuk kekerasan yang berbeda pada kesempatan lainnya, misalnya kekerasan dalam bentuk seksual, yaitu pelecehan seksual dikarenakan gaya berpakaian yang dikenakan, dan apabila seorang pacar merasa bahwa suatu pembatasan gaya berpakaian yang

(7)

diberikan tidak diindahkan sama sekali, maka bentuk-bentuk kekerasan lainnya dapat terjadi dalam bentuk kekerasan secara fisik. Sedangkan pada kesempatan lainnya, seseorang dapat mengalami bentuk bentuk kekerasan seperti, pengintaian (stalking) dan pemaksaan mengambil uang oleh pacar pada pasangannya. Informasi awal ini diperoleh penulis setelah menjalankan studi pendahuluan dengan menghubungi Ibu Karotina Ginting, S.Sos sebagai Academic manager Rumah Belajar Duri Kepa dan bersama dengan itu memperoleh tambahan informasi dari Ibu Retnosari Hardaningsih., S.Psi sebagai Penanggungjawab siswa-siswi di sekolah Rumah Belajar Duri Kepa, bahwa terdapat adanya dugaan bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran yang dapat terjadi pada usia remaja di sekolah tersebut. Berdasarkan fenomena yang diperoleh oleh peneliti melalui kedua narasumber tersebut, maka penulis menyusun suatu dugaan awal bahwa terdapat bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran yang terjadi pada usia remaja.

Kekerasan dalam pacaran dapat dilakukan oleh siapapun, baik itu dilakukan oleh pasangan, teman, kerabat dekat, saudara, bahkan oleh orang-orang yang dikenal oleh individu. Suatu keniscayaan bahwa pada usia remaja merupakan pintu masuk bagi generasi muda untuk mengawali pergaulan yang memiliki nilai-nilai yang saling menghargai, menghormati dan saling membangun aspek kemanusiaan sejak dini. Nilai-nilai yang baik dan benar yang dibiasakan sejak awal perkembangan remaja akan meningkatkan kesadaran gender bagi individu-individu remaja agar dapat menjadi seseorang yang dapat memberikan sumbangsih antar manusia, sehingga dapat berlanjut ke jenjang pendewasaan diri (pernikahan) yang lebih membutuhkan komitmen bersama, yaitu berkeluarga. Oleh karena itu, pacaran merupakan salah satu hubungan atau jalan yang digunakan remaja untuk mengenal orang lain dengan lebih baik sebelum menentukan langkah lebih lanjut dalam membangun tanggungjawab bersama di dalam ikatan keluarga di masa mendatang. Tentunya dengan bingkai keagamaan dan nilai-nilai budaya yang saling mengayomi dan mengasihi. Saat ini, kekerasan dalam pacaran jarang terdengar karena adanya suatu anggapan tersendiri bahwa pacaran adalah hal yang bersifat non formal dikategorikan sebagai hubungan resmi, namun melihat pada jumlah kekerasan yang telah terjadi dalam pacaran dan jumlah kekerasan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, maka pengetahuan mengenai tingkat kecenderungan kekerasan dalam pacaran pada usia remaja merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan sebagai suatu masalah penelitian yang penting untuk dikaji lebih lanjut. Hal ini dengan

(8)

mempertimbangkan bahwa seseorang yang dalam prosesnya akan menjadi seorang calon istri/suami agar dapat mengembangkan suatu kepatutan dalam menyandang status sebagai seorang kepala keluarga/kepala rumah tangga yang baik. Sehingga jumlah kekerasan dalam pacaran dapat berkurang dan berdampak pada pengurangan jumlah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga yang terjadi dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, diperlukan suatu gambaran pengetahuan yang pasti mengenai tingkat kecenderungan seseorang untuk melakukan kekerasan dalam pacaran di usia remaja, sebagai sebuah penelitian yang digagas oleh penulis untuk memahami masalah itu dengan lebih baik.

1.2 Perumusan Masalah

Pertanyaan penelitian yang hendak dijawab oleh penulis melalui penelitian ini adalah Seperti apa gambaran tingkat kecenderungan siswa-siswi SMA di Jakarta Barat untuk melakukan kekerasan dalam pacaran?

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah melihat gambaran tingkat kecenderungan siswa-siswi SMA di Jakarta Barat untuk melakukan kekerasan dalam pacaran.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada sampel daun sirsak (Annona muricata L.) yang berasal dari daerah Makassar

Bentuk kekerasan seksual yang paling banyak dialami oleh responden SMA adalah pelecehan seksual berupa kata-kata tidak senonoh, sedangkan bentuk kekerasan seksual pada

Sesuai dengan data hasil belajar serta keaktifan siswa yang meningkat dari kondisi awal ke siklus I kemudian ke siklus II maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran materi

The first questionnaire contained some topics based on topic books and some techniques used by the teachers to teach those topics to the young learners.. The

4 diri dan tunduk kepada adat-istiadat Minangkabau dengan cara malakok yaitu masuk kedalam salah satu suku agar bisa dianggap sebagai kemenakan dalam adat Minangkabau

Danau Tamblingan No. Danau Tamblingan No. Hang Tuah No. Danau Buyan No. Pondok Bali) Jl.. Danau

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Kinerja Pegawai terhadap Kualitas Pelayanan Pada Kantor Camat Tapa Kabupaten Bone Bolango, dari Rumusan masalah

Berdasarkan hasil penelitian pada produk snack labu kuning dengan perbandingan bahan pengisi dengan labu kuning yang terpilih adalah perbandingan 57:23 yang berpengaruh terhadap