• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN DAN HAK ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG STATUS ANAK LUAR NIKAH (Studi Persepsi Hakim Pengadilan Agama Se-Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu) - Raden Intan Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KEDUDUKAN DAN HAK ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG STATUS ANAK LUAR NIKAH (Studi Persepsi Hakim Pengadilan Agama Se-Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu) - Raden Intan Repository"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

PERTIMBANGAN HUKUM

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 DALAM MENETAPKAN

KEDUDUKAN DAN HAK ANAK LUAR NIKAH

A.Pertimbangan Hukum

1. Pengertian Pertimbangan Hukum

Pertimbangan hakum atau yang dikenal dengan istilah ratio decidendi, adalah alasan-alasan hukum atau dasar pemikiran yang digunakan oleh seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara.

Pertimbangan hukum atau ratio decidendi tersebut terdapat dalam konsideran menimbang pada pokok perkara, yang bertitik tolak kepada

pendapat para ahli (doktrina), alat bukti, dan yurisprudensi yang harus disusun secara sistimatis, logis, dan saling berhubungan (samenhang) serta saling mengisi. Pertimbangan hukum secara konkrit harus dituangkan

sebagai analisis, argumentasi, pendapat, dan kesimpulan hakim.1

Pertimbangan hukum merupakan salah satu aspek terpenting dalam

menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung

keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga

pertimbangan hukum ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.2 Apabila pertimbangan hukum tidak teliti, baik, dan cermat, maka

putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hukum tersebut akan

dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.3

1

Lilik Mulyadi, Pergeseran Perspektif dan Praktek Dari Mahkamah Agung mengenai Putusan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2009), h. 164

2

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), h.140

3

(2)

Pertimbangan hukum yang baik harus memenuhi unsur

pertimbangan (ratio decidendi), yang merupakan dasar atau cara berpikir seorang hakim di dalam memutuskan suatu perkara yang dihadapkan

kepadanya, selain itu memuat obiter dikta, yaitu dasar yang digunakan hakim dalam pertimbangan (ratio decidendi). Putusan hakim konstitusi yang berpendapat, bahwa status anak luar nikah memiliki hubungan perdata

dengan bapak biologisnya sepanjang dapat dibuktikan secara ilmu

pengetahuan memiliki hubungan darah, itulah yang disebut dengan obiter dikta.

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya

pembuktian. Hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam memutus suatu perkara. Pembuktian merupakan tahap

yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian

bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang

diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang

benar, dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan

sebelum nyata baginya bahwa peristiwan/fakta tersebut benar-benar terjadi,

yakni dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum

antara para pihak.4

Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hukum hendaknya juga

memuat tentang hal-hal sebagai berikut :

a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak

disangkal.

b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek

menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus

dipertimbangkan/diadili satu demi satu sehingga hakim dapat menarik

kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya

tuntutan tersebut dalam amar putusan.5

4Ibid

. h. 141

(3)

2. Dasar Pertimbangan Hukum

Dasar pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan

pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan pendalaman dalam

persidangan yang saling berkaitan, sehingga didapatkan putusan yang

maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha

untuk mencapai kepastian hukum, hakim merupakan aparat penegak hukum

melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian

hukum.

Tugas pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang

Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-Undang

Nomor 48 tahun 2009. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya

sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan

dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu, kekuasaan

kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia

tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.6 Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam

ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas

dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali

hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan

dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena

tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat

Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa, kekuasan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan

yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

(4)

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.7

Pertimbangan hukum merupakan intisari dari putusan hakim, yang

berisikan analisis, argumentasi, dan pendapat serta kesimpulan hukum

dari hakim yang memeriksa perkara.8 Setiap hakim diberikan kewenangan

(Judge made law) melalui penafsiran undang-undang (interpretation of the law) berdasarkan keadilan (for the interet of justice) bukan berdasarkan kepentingan hakim sendiri (not for interet sens of the judge) Penafsiran merupakan suatu metode untuk memahami makna asas atau kaidah hukum,

menghubungkan suatu fakta hukum dengan kaidah hukum, dan menjamin

penerapan atau menegakan hukum dapat dilakukan secara tepat, benar dan

adil, serta mempertemukan antara kaidah hukum dengan

perubahan-perubahan sosial agar kaidah hukum tetap aktual dan mampu memenuhi

kebutuhan sesuai dengan perubahan masyarakat.9

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan, posisi hakim yang tidak

memihak (impartial judge) Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena

dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam

hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan

penilaiannya. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1)

menyebutkan, Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak

membeda-bedakan orang. 10

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang

oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP).

Sedangkan istilah hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam

pengadilan atau mahkamah; hakim juga berarti pengadilan, jika orang berkata “perkaranya telah diserahkan kepada hakim”. Menurut

7

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), h.94

8

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), h. 811

9

Bagir Manan, Putusan Yang Berkualitas, Jurnal Mimbar Hukum Mahkamah Agung RI, Nomor 2 Edisi, 23, 2012, h. 16.

10

(5)

Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan

peradilan tersebut.

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan

keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan

harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang

diajukan kepadanya, kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa

tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu

hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.

Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga tidak

boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan

kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor

35 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan

tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan

wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan

untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum

(doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada yurisprudensi saja akan tetapi juga berdasarkan pada nilai-nilai hukum

yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 yaitu: Hakim wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat, artinya bahwa hakim dalam pertimbangan hukumnya harus

menggali sumber hukum lain, berijtihad, serta mengikuti dan memahami

nilai nilai yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian akan lahir

(6)

3. Aspek-Aspek Penting Dalam Pertimbangan Hukum

Hakim merupakan pelaksana atas kekuasaan kehakiman dalam

memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya harus

mempertimbangkan dari berbagai aspek seperti, aspek yuridis normatif,

aspek filosofis dan aspek sosiologis serta fakta yang terungkap selama

masa persidangan berlangsung, sehingga keadilan yang ingin dicapai

terwujud dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam putusannya, hakim

harus berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan masyarakat (sosial justice).11 Dengan demikian, putusan yang diambil berdasarkan pertimbangan hukumnya,

mencerminkan rasa keadilan, kepastian hukum dan mengandung

kemanfaatan. Ketiga unsur tersebut sangat penting dalam pertimbangan

hukum dalam mengambil keputusan, meskipun unsur keadilan lebih

penting di atas ketiga unsur tersebut. a. Aspek Yuridis Normatif

Aspek yuridis normatif, yaitu merupakan salah satu aspek

pertama dan yang utama bagi seorang hakim dalam memutuskan suatu

perkara yang dihadapkan kepadanya. Aspek yuridis berkaitan dengan

kepastian hukum. Dalam memutuskan suatu putusan seorang hakim

harus memahami dan mengerti akan perundang-undangan yang berkaitan

dengan perkara yang dihadapkan kepadanya. Kepastian hukum

menentukan berlakunya hukum didalam setiap tindakan penegak

hukum (law in action) sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau kaidah hukum yang pernah dibuat di dalam yurisprudensi. Hal ini berkaitan dengan pendapat yang mengatakan

bahwa apa yang telah diatur di dalam hukum harus ditaati dan menjadi

putusan Pengadilan.12 Mempertimbangkan dan menerapkan asas kepastian hukum cenderung lebih mudah karena tinggal hanya

11

Hasanudin, Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Perkara Perdata Dengan Menggunakan Terjemahan BW, Jurnal Pengadilan Agama Mahkamah agung RI edisi 2, 2016.

12

(7)

memasukan isi dari ketentuan peraturan perundang-undangan ke dalam

putusan hakim, sedangkan keadilan hukum dan kemanfaan tidak cukup

hanya melihat dari aspek yuridis normatifnya saja, melainkan harus

terpenuhi yang lainya, yaitu filosofis dan sosiologisnya.

Mahfud MD, mengatakan bahwa dalam penegakkan hukum, asas

kepastian hukum tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar putusan hakim.

Akan tetapi juga ada agar putusan hakim didasarkan juga pada asas

keadilan dan kemanfaatan.13 Hakim harus mampu menilai bahwa undang-undang tersebut sudah adil, bermanfaat atau memberikan

kepastian hukum jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu

memuat unsur terciptanya rasa keadilan.

b. Aspek Filosofis

Aspek Filosofis, merupakan aspek yang berintikan kepada

kebenaran dan keadilan yang merupakan salah satu tujuan dari hukum,

selain kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Seorang hakim yang

merupakan salah satu unsur di dalam pelaksanaan kekuasaan

kehakiman dituntut agar mempunyai integritas dan kepribadian yang

tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang

hukum, agar dapat memberikan atau memenuhi asas kepastian hukum

dari setiap produk putusan yang dikeluarkan oleh hakim. Asas kepastian

hukum semata lebih membuka peluang untuk tidak membuat putusan

semau-maunya hakim dengan alasan yuridis formal semata.14 Artinya keadilan hukum tidak hanya bertumpu pada apa yang telah dirumuskan

dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat heteronom saja, akan tetapi keadilan yang ada dalam masyarakat adalah keadilan yang

berbasis pada kehidupan nyata dan bersifat otonom.

Secara formal hakim juga tidak disalahkan apabila memutus suatu

perkara yang dihadapkan kepadanya hanya berdasarkan hukum tertulis

(keadilan hukum), akan tetapi hakim akan dinilai sebagai seorang

13

Mafud MD, Asas Keadilan Dan Kemanfaatan, (Suara Karya Online, 12 Desember 2016, http/suarakarya, diunduh tanggal 12 Januari 2017.

14

(8)

hakim yang buta mata hatinya dari sisi integritas dan kapabilitasnya

dipertanyakan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang

yang mengatakan bahwa hakim sebagaimana dalam pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan

yang hidup dalam masyarakat”15 artinya hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya berdasarkan aspek yuridis normatifnya saja

akan tetapi aspek filosofis dan sosiologis juga perlu dipertimbangkan,

yakni hakim harus memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan

yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

c. Aspek Sosiologis

Aspek Sosiologis, memuat pertimbangan berdasarkan tata nilai

budaya yang hidup dimasyarakat. Dalam penerapannya aspek filosofis

dan sosiologis hakim harus mampu mengikuti perkembangan nilai-nilai

yang hidup di dalam masyarakat. Aspek sosiologis sangat penting

diperhatikan agar dalam putusannya benar-benar sesuai dengan prinsip-

prinsip hukum dalam mewujudkan rasa keadilan masyarakat.

Aspek sosiologis dalam pertimbangan putusan hakim sangat

penting, agar putusan yang dihasilkan adalah putusan memenuhi rasa

keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan, bagi para pihak

yang berperkara. Manakala salah satu dari ketiga unsur tersebut

terabaikan, bukan berarti putusan itu salah, tetapi dirasakan kurang

sempurna, karena tidak memenuhi unsur unsur yang lengkap dalam

putusanya.

Terpenuhinya ketiga aspek tersebut di atas, yakni aspek yuridis

normatif, filosofis dan sosiologis, merupakan upaya penegakan hukum

yang bernilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sehingga dapat

15

(9)

diterima oleh semua pihak yang berperkara serta masyarakat secara

umum.

4. Fakta yang Terungkap Selama Persidangan

Hakim dalam memutuskan perkara yang terpenting adalah

kesimpulan hukum atas fakta yang terungkap selama masa

persidangan berlangsung. Fakta adalah kenyataan yang terungkap

tentang duduknya perkara yang sebenarnya di dalam persidangan.

Fakta dari segi bentuknya ada dua, yaitu :

1) Fakta Biasa, yaitu fakta yang belum diuji dengan alat bukti.

2) Fakta Hukum, yaitu fakta yang telah diuji dengan alat bukti

Dalam persidangan, setelah menemukan fakta fakta yang ada,

maka akan diuji dengan alat bukti (melalui pembuktian), sehingga

menghasilkan fakta hukum, dan berdasarkan hal tersebut hakim

mempertimbangkan hukumnya berdasarkan doktrin, yurisprudensi,

setelah itu menentukan peraturan mana yang akan ditetapkan. Dalam

penerapan hukum, hakim harus berhati-hati dalam menentukan pasal

peraturan perundang-undangan, termasuk cara penulisannya.

Seorang hakim dalam memberikan pertimbanganya harus

benar-benar mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap selama

persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban (konvensi), adanya rekonvensi, duplik, replik, rereplik dan reduplik, kesimpulan yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan

materil yang mencapai batas minimal pembuktian yang nantinya akan

dituangkan dalam amar putusan.

5. Putusan Hakim

Putusan Hakim adalah pernyataan hakim di depan sidang

pengadilan, oleh karena itu ucapan hakim diluar sidang pengadilan tidak

termasuk putusan, meskipun dianggap sebagai pendapat ahli.

Putusan disebut dalam bahasa Belanda disebut vonis atau dalam

(10)

penggugat dan tergugat. Produk peradilan semacam ini biasa

diistilahkan dengan produk peradilan yang sesungguhnya atau

jurisdiction cententiosa.16

Mardani, dalam bukunya hukum acara perdata peradilan agama

dan mahkamah syari’ah menjelaskan, putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam

sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara

gugatan (kontentius). Karena adanya 2 (dua) pihak yang berlawanan dalam perkara (penggugat dan Tergugat).17

Dalam penjelasan pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 tahun

1989 memberi definisi tentang pengertian putusan sebagai berikut, bahwa

Putusan adalah“ keputusan Pengadilan atas perkara gugatan

berdasarkan adanya suatu sengketa.

Lilik Mulyadi, dalam bukunya Pergeseran Perspektif dan Praktek Dari Mahkamah Agung mengenai Putusan. Putusan hakim ialah penetapan suatu perkara oleh hakim di muka sidang pengadilan

yang terbuka dan bersifat tertulis. Dalam putusannya, hakim harus

mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, sosiologis dan

filosofis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan

dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim, adalah keadilan yang

berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (sosial justice) dan keadilan moral (moral justice).18

Beberapa pengertian putusan menurut beberapa ahli hukum

antara lain menurut Soeparmono, putusan adalah pernyataan hakim

sebagai pejabat negara yang melaksanakan tugas kekuasaan

kehakiman yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan di

16

Roihan A Rasyid , Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2006), h. 203

17

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syari’ah

(Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h. 2.

18

(11)

persidangan dan bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara.19 Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah peryataan yang

disampaikan oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk

itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.20

Sudikno Mertokusumo, mengatakan bahwa putusan itu

mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan, yaitu kekuatan mengikat,

kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk

dilaksanakan.21

Rubini dan Chaidir Ali merumuskan bahwa, putusan hakim itu

merupakan suatu akta penutup dari suatu proses perkara dan putusan

hakim itu disebut vonis yang menurut kesimpulan terahir mengenai

hukum dari hakim serta memuat pula akibat akibatnya.22

Ridwan Syahrani memberikan batasan putusan pengadilan adalah,

Pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka

untuk umum untuk menyelesaikan atau mengahiri perkara perdata.23 Lilik Mulyadi melalui visi praktek dan teoritis, menyebutkan

bahwa putusan hakim itu adalah putusan yang diucapkan oleh hakim

karena jabatannya dalam persidangan perkara perdata yang terbuka untuk

umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara perdata pada

umumnya dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan

atau mengkhiri suatu perkara.24 Setelah dibahas mengenai pengertian dari putusan, dan macam macam kekuatan dari putusan tersebut, maka

selanjutnya perlu diuraikan menganai eksistensi putusan lembaga

Mahkamah Konstitusi.

19

Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, (Bandung: Mandar Maju, 2005), h. 146

20

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1993), h. 174.

21Ibid,

h. 220.

22

I. Rubi dan Chaidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1974), h. 105.

23

Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1988), h. 83.

24

(12)

Mengacu pada beberapa istilah putusan hakim di atas, pendapat

Mahfud MD, meskipun sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, karena

pernyataan tersebut di luar persidangan, maka pendapat Mahfud MD

tersebut tidaklah mengikat, bahwa yang dimaksud frase anak luar

perkawinan adalah bukan anak zina, melainkan anak hasil nikah siri,

sehingga hubungan perdata yang diberikan kepada anak luar

perkawinan tidak bertentangan dengan nasab, waris dan wali nikah.

B. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan MK Nomor

46/PUU-VIII/2010 Dalam Menetapkan Kedudukan Anak Luar Nikah

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya sudah pasti

mempertimbangkan berbagai aspek dengan penuh kehati hatian. Namun

demikian, sebagai sebuah putusan tetap saja mengandung pertimbangan

yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda, dan bahkan dinilai

krusial, sehingga dalam penerapannya muncul pendapat yang pro dan

kontra.

Ada beberapa pertimbangan hukum yang terungkap dalam

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang

status anak luar nikah, yang dinilai krusial dan menjadi persoalan

dalam menafsirkannya. Beberapa pertimbangan hukum tersebut antara

lain :

1. Akibat Hukum Dari Peristiwa Hukum Kelahiran Anak.

Salah satu pertimbangan hukum putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak luar nikah,

disebutkan bahwa, akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran

karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual

antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah

hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban

secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu,

dan bapak.25

25

(13)

Pertimbangan hukum tersebut dinilai tidak tuntas, sebab

akan berpotensi menimbulkan interprestasi yang berdisparitas atau

berbeda. Oleh karena perbuatan hukum berupa pernikahan sah saja

yang apabila berakibat kepada kehamilan akan menimbulkan akibat

hukum berupa timbulnya hak dan kewajiban secara bertimbal balik

antara anak dan orang tua (bapak biologis)nya. Dalam pertimbangan

hukum tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang sekaligus

mengaburkan peran dan sakralitas suatu pernikahan resmi. Selain

itu, pertimbangan hukum tersebut boleh jadi, akan mendorong

kaum perempuan yang melakukan prostitusi/perzinaan, menjadi

tidak terbebani, karena bagi mereka beban hidup anak tidak hanya

ditanggung oleh ibu tetapi juga oleh laki-laki yang menghamilinya,

meskipun mereka tidak menikah.

Pertimbangan hukum tersebut juga dapat menimbulkan

pemahaman keliru, karena bisa mengakibatkan pemahaman

dibolehkannya hubungan diluar pernikahan, dimana akibat

hukumnya beban tanggung jawab menjadi tanggung jawab bersama

antara perempuan sebagai ibunya dengan laki-laki yang

menghamilinya sebagai bapak biologisnya. Pertimbangan hukum

tersebut juga dapat dipahami secara keliru, bagaimana mungkin

tanggungjawab harus dipikul bersama padahal kedua orang tuanya

tidak bersatu dalam ikatan pernikahan, sesuatu yang sulit untuk

dilaksanakan.

Secara hukum memang dapat saja laki-laki yang menghamili

dibebani tanggungjawab keperdataan terhadap anak yang

dibenihkannya, namun secara moril tangggung jawab tersebut sulit

untuk dilaksanakan. Hal semacam inilah yang dalam sudut

pandang hakim di lingkungan Pengadilan Agama se wilayah

Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu, sebagai keputusan yang sulit

dipahami Oleh karena itulah dalam prakteknya untuk memperoleh

(14)

persidangan. Proses persidangan dilakukan untuk memperoleh

kejelasan status pernikahan kedua orang tuanya terlebih dahulu,

sehingga diketahui bagaimana kedudukan dan status anak luar nikah

tersebut, baru dapat ditentukan hak dan kedudukan anak luar nikah

tersebut, sehingga putusan yang diambil benar-benar memenuhi rasa

keadilan.

2. Pernikahan Yang Dipersengketakan

Pertimbangan hukum selanjutnya, sebagaimana disebutkan

dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

tentang status anak luar nikah adalah frase keabsahan pernikahan

yang dipersengketakan.26 Pertimbangan hukum sebagaimana frase keabsahan pernikahanya disengketakan di atas, mengandung arti,

bahwa keabsahan pernikahan yang dipersengketakan, bukan saja

keabsahan pernikahannya, tetapi termasuk juga di dalamnya jika

perempuan dan laki-laki yang menghamilinya tidak melakukan

pernikahan, atau hubungan zina, sehingga anak yang dilahirkanya

adalah anak zina.

Pertimbangan hukum tersebut memberikan pengakuan

terhadap anak tanpa mempersoalkan pernikahan kedua orang

tuanya, dapat menimbulkan pemahaman bukan saja terhadap anak

yang lahir dari pernikahan yang tidak sah (pernikahan tidak

tercatat), melainkan juga terhadap anak yang dilahirkan dari

perempuan yang tidak pernah melakukan pernikahan dengan laki-laki

yang menghamilinya.

Fakta tersebut di atas dapat dilihat dari berbagai pernyataan

hakim, yang menyangkal putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,

dengan menyatakan putusan tersebut terlalu general, terlalu umum,

sehingga dianggap melanggar norma-norma agama.

26

(15)

Dalam persepsi hakim frase pernikahan yang

dipersengketakan, mengandung arti boleh jadi terhadap status

pernikahannya sah atau tidak, tetapi boleh jadi juga yang

dimaksudkan adalah bahwa pernikahan yang dipersengketan bukan

saja keabsahan pernikahannya dari sisi hukum, melainkan

didalamnya termasuk pasangan yang tidak menikah, artinya yang

dipersengketakan menyangkat apakah kedua orang tuanya terikat

dengan pernikahan atau tidak.

Pertimbangan pertimbangan hukum inilah yang kemudian

dianggap menodai nilai-nilai sakralitas agama dimata para hakim.

Oleh karena itu, dalam kasus anak luar nikah, hakim Pengadilan

Agama mengambil jalan yang paling baik dalam pandangan hakim,

yakni harus melakukan proses persidangan untuk menentukan asal

usul dan kedudukan anak terlebih dahulu. Status dan kedudukan anak

baru dapat diketahui dari status pernikahan kedua orang tuanya,

setelah itu, dalam proses persidangan, baru ditentukan hubungan

keperdataan yang bagaimana yang tepat dalam memberikan

perlindungan nasab anak agar tidak menyimpang dari nilai-nilai

hukum Islam.

3. Hubungan Keperdataan Tidak Semata Karena Pernikahan

Pertimbangan hukum selanjutnya yang dinilai krusial dan

rancu adalah, frase hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai

bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan pernikahan, akan

tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adaya hubungan

darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.27 Frase pertimbangan hukum tersebut menjadi persoalan yang sangat

mendasar, karena bisa menimbulkan penafsiran bahwa hubungan

27

(16)

antara anak dan orang tua tidak hanya karena hubungan

pernikahan, melainkan adanya hubungan darah. Hubungan darah

bisa saja terjadi karena adanya pernikahan dan bisa tanpa adanya

pernikahan, ini berarti anak yang lahir akibat hubungan zina.

Hubungan keperdataan bisa saja terbentuk bukan karena hubungan

pernikahan, oleh karena itu, bisa saja anak zina memiliki hubungan

perdata dengan bapak biologisnya, tanpa mempersoalkan kedua

orang tuanya menikah atau tidak. Sebaliknya hubungan nasab, tidak

akan terbentuk tanpa adanya pernikahan yang sah.

Pertimbangan hukum di atas berpotensi melegalkan status

anak zina, sehingga dimaksudkan kedudukan anak luar nikah

disejajarkan dengan anak tidak sah atau anak hasil zina. Hal ini tentu

saja bisa memotivasi tumbuh kembangnya praktik prostitusi,

samenleven/kumpul kebo, sebab berdasarkan teknologi yang

berkembang, hubungan seorang anak dengan seorang laki-laki

dapat dilihat dari tes DNA-nya, meskipun ibu yang melahirkannya

tidak pernah melakukan pernikahan dengan laki-laki tersebut,

mereka dikatakan mempunyai hubungan hukum yang berakibat pada

timbulnya hak dan kewajiban diantara mereka.

Padahal idealnya tes DNA hanya dibenarkan terhadap hal

hal yang sifatnya untuk membuktikan kebenaran hubungan darah

antara seseorang dengan orang lain karena adanya kepentingan

tertentu, misalnya kepentingan forensik, pembagian waris, wali

dan lain lain.

Dalam perspektif hubungan keperdataan, dengan

mempertimbangkan maqȏṣid syarȋ’ah putusan Mahkamah

Konstitusi patut didukung, dimana dalam putusannya menyatakan

bahwa anak luar nikah memiliki hubungan perdata dengan bapak

biologisnya sepanjang dapat dibuktikan memiliki hubungan darah.

Secara teoritik, hubungan perdata dapat dimaknai dari sisi

(17)

harus ditindak lanjuti dengan rekonstruksi hukum yang mampu

mengakomodir kepentingan anak-anak korban dari prilaku melanggar

hukum kedua orang tuanya.

Jika mengacu pada teori perlindungan anak sebagaimana

dikemukakan Mukti Arto, bahwa hubungan keperdataan dapat

diberikan kepada anak luar nikah, karena ini untuk kepentingan anak

semata, jadi tidak harus mempersoalkan status pernikahan kedua

orang tuanya, terutama dalam kaitannya menyangkut nasib, maka

hubungan keperdataan menjadi kewajiban bapak biologisnya, tanpa

mempersoalkan hubungan pernikahannya.

Hubungan keperdataan juga sebenarnya dapat juga diberikan

atau ditanggung oleh orang lain, tanpa adanya ikatan perkawinan

maupun hubungan darah, hal ini terjadi misalnya dalam kasus anak

angkat, yang sudah disahkan oleh pengadilan. Anak angkat

memiliki hubungan perdata dengan ibu dan bapak angkatnya,

meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah. Konsep hubungan

perdata di sini jelas berbeda dengan konsep hubungan nasab,

sebagaimana dijelaskan dalam hukum Islam.

4. Kepastian Hukum dan Perlindungan Anak

Pertimbangan hukum selanjutnya sebagaimana tercatum

dalam putusan Mahkamah Konstitusi adalah pertimbangan hukum

frase selanjutnya hukum harus memberi perlindungan dan kepastian

hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan dan hak-hak

yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun

keabsahan perkawinanya masih dipersengketakan.28

Dari pernyataan mantan ketua Mahkamah Konstitusi pada

pembahasan sebelumnya, perubahan status anak luar nikah, hak

keperdataan anak luar nikah menimbulkan akibat hukum, yaitu

kewajiban alimentasi bagi laki-laki yang dapat dibuktikan memiliki

28

(18)

hubungan darah sebagai bapak biologis dari anak luar nikah.29 Seorang bapak biologis sudah tidak bisa mengelak lagi atas

kewajiban hukum untuk memelihara dan mendidik anak dengan

alasan tidak ada pernikahan yang sah dengan ibunya. Bapak biologis

harus memenuhi kubutuhan hidup dan pendidikan anak meskipun

ia tidak terikat pernikahan dengan ibunya, atau bahkan sang bapak

terikat pernikahan dengan orang lain. Hal demikian dimungkinkan

dalam hubungan keperdataan, sepanjang dimaknai berbeda dengan

hubungan nasab, sebagaimana dipahami dalam Islam selama ini.

Memang dalam pernyataanya Mahfud MD, mengatakan

bahwa yang dimaksud dalam frase pertimbangan hukumnya

bukanlah anak zina, namun pernyataan Mahfud MD di atas,

meskipun kapasitasnya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi saat

itu, namun pernyataanya hanya sebatas sebuah pernyataan saja, yang

tidak mengandung nilai yuridis yang bersifat mengikat dan

memaksa,30 karena diungkapkan di luar sidang, sehingga tidak termasuk dalam amar putusan maupun pertimbangan hukum putusan

Mahkamah Konstritusi tersebut, pendapat hakim diluar persidangan

tidak mengikat. Dengan demikian, pendapat Mahfud. MD bersifat

tidak mengikat, karena bukan merupakan bagian dari putusan

pengadilan.

Seandainya isi pernyataan Mahfud MD itu dituangkan ke

dalam pertimbangan keputusan Mahkamah Konstitusi dimaksud,

maka putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak akan mengundang pro

dan kontra serta penafsiran yang berdisparitas. Di sisi lain, mungkin

akan di terima dengan mulus oleh kalangan umat Islam, karena anak

luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan bapak

biologisnya yakni sebatas perlindungan, nafkah si anak, biaya

pendidikan dan sebagainya. Adapun masalah hubungan nasab yang

29

Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2012), h. 35

(19)

berakibat pada timbulnya hubungan saling mewaris dan hak menjadi

wali, tidak terjadi antara anak dengan bapak biologisnya.

Penghapusan perlakuan diskriminatif terhadap anak luar

nikah tentu akan memberikan nilai kebaikan bagi masa depan

anak. Kewajiban alimentasi yang selama ini hanya dipikul sendirian oleh seorang ibu, maka pasca putusan Mahkamah Konstitusi,

berganti dipikul bersama seorang laki-laki sebagai bapak yang dapat

dibuktikan memiliki hubungan darah dengan sang anak. Jika

seorang bapak melalaikan kewajiban terhadap anaknya maka

konsekuensi hukumnya ia dapat digugat ke pengadilan. Dengan kata

lain, kebaikan masa depan anak luar nikah menjadi lebih terjamin

dan dilindungi oleh hukum.

Sebagaimana dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah

Konstitusi menyebutkan bahwa, hukum harus memberi perlindungan

dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang

dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak

yang dilahirkan meskipun keabsahan pernikahannya masih

dipersengketakan. Selanjutnya disebutkan dalam amar putusan, yang

intinya bahwa hubungan perdata anak luar nikah dengan bapak

biologisnya dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai

hubungan darah.

Maksud dari amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

bahwa untuk mengetahui hubungan keperdataan antara anak luar

nikah dengan bapak biologisnya dapat pula dilakukan dengan cara tes

DNA (Deoxyribose Nucleic Acid).31

31

(20)

Tes DNA (Deoxyribose Nucleic Acid)32 bisa dijadikan sebagai penguat akurasi keterkaitan hubungan nasab, ia pun dijadikan alat

bukti kuat bagi beberapa kasus seperti kriminalitas dan bantahan

atau pegakuan atas klaim nasab seseorang.33

Dalam Islam, hubungan nasab pada dasarnya diketahui antara

lain dengan adanya hubungan pernikahan yang sah. Hal ini sesuai

dengan hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa anak adalah hasil

hubungan suami istri yang sah (al-waladu lil firẵsy). Pengakuan nasab bisa juga ditempuh melalui persaksian (bayyinah) oleh dua orang laki-laki yang memenuhi syarat. Cara selanjutnya berupa

pengakuan bapak biologisnya di hadapan pengadilan (iqrẵr).

Dalam kajian fikih klasik, masalah menentukan hubungan

nasab melalui tes DNA belum ditemukan, karena tes DNA merupakan

ilmu baru, karena itu untuk menentukan hubungan nasab seseorang,

para ulama berpegang pada cara-cara di atas.

Penggunaan tes DNA sangat dimungkinkan dalam

kondisi-kondisi tertentu, misalnya tidak teridentifikasinya nasab karena

beberapa faktor, seperti ketiadaan bukti fisik maupun bukti tertulis. Tes

DNA dapat dipakai untuk mengidentifikasi bayi-bayi yang tertukar

ketika berada di rumah sakit misalnya, tetapi bayi itu lahir jelas-jelas

dari akibat pernikahan sah pasangan suami istri. Meskipun syari’at

32

DNA atau Deoxyribose Nucleic Acid merupakan asam nukleat yang menyimpan semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifat-sifat khusus dari manusia. Setiap orang mempunyai DNA yang berbentuk double helix atau ganda, satu rantai diturunkan dari ibu dan satu rantai lagi diturunkan dari ayah. Jadi kalo mau cek, misalnya anak kandung atau bukan, bisa dilihat dari susunan DNA anak, lalu dibandingkan dengan kedua orangnya. Kalau susunan DNA ibu dan ayah itu ada pada anak,berarti ia anak kandung mereka. Hampir semua bagian tubuh dapat di gunakan untuk sampel tes DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam dan kuku. Sampel DNA yang digunakan bisa dari inti sel maupun mitikondriannya. Namun yang paling akurat adalah inti sel karena inti sel tidak bisa berubah. Biasanya yang kita gunakan adalah sampel darah karena lebih gampang. Tapi sel darah yang diambil adalah sel darah putih, bukan sel darah merah, karena sel darah merah tidak mempunyai inti sel.http://health.detik.com/read/apa-itu-tes-dna, diunduh 20 Desember 2016..

33

(21)

menentukan pentingnya pengakuan nasab, terhadap pengukuhan nasab

dari hasil perbuatan zina tidak boleh dilakukan tes DNA, karena telah melanggar prinsip syari’at itu sendiri.

Dalam Islam, nasab seorang anak, bagaimanapun kondisinya,

akan tetap kembali kepada ibu. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah

swt,











...



“Sesungguhnya Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 2).

Oleh sebab itu, pengakuan nasab anak kepada bapaknya hanya

melalui pernikahan yang sah an sich. Penggunaan tes DNA hanya dipandang boleh pada kondisi tertentu seperti disebutkan di atas.

Misalnya, ketika seorang suami mengingkari anaknya sebagai hasil

dan akibat dari pernikahan sah. Sementara di saat bersamaan, tidak

ditemukan bukti atau dokumen pernikahan, tes DNA dapat digunakan

dalam kasus seperti ini, misalnya tidak ada foto atau dokumen

pernikahan lainya, yang dapat dijadikan dasar pengakuan hubungan

nasab antara seorang anak dengan kedua orang tuanya, padahal

keduanya telah melakukan pernikahan secara siri, sehingga tidak

memiliki dokumen apapun, atas dasar seperti itulah tes DNA dapat

dilakukan.

C. Kedudukan dan Hak Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

1. Makna Hubungan Perdata Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Berkaitan dengan makna hubungan perdata putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak luar nikah,

(22)

Tahun 74 harus dibaca, anak yang dilahirkan di luar pernikahan

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk memiliki

hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Dalam pandangan hakim memahami kalimat harus dibaca bahwa

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara konstitusional memiliki

kekuatan hukum yang mengikat bagi semua perkara yang sama, akan

tetapi dalam prakteknya tidak serta merta semua anak luar nikah

memiliki hubungan perdata dengan bapak biologisnya, meskipun

memiliki hubungan darah, artinya dalam implementasinya harus melalui

proses persidangan untuk pembuktian, apakah pernikahan kedua

orang tuanya memenuhi persyaratan dan rukun agama Islam atau tidak,

apabila pernikahan kedua orang tuanya memenuhi persyaratan agama,

seperti nikah siri, maka hal ini dapat ditolerir memiliki hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta keluarga bapak

biologisnya.

Hubungan perdata sebagaimana disebutkan dalam putusan

Mahkamah Kosntitusi tentang status anak luar nikah, sebagian hakim

memaknai, bahwa hubungan perdata memiliki makna hubungan

perdata berarti ada hubungan timbal balik berupa hak dan kewajiban

antara ibunya dengan anaknya, antara bapak dengan anaknya dan

antara anak dengan kedua orang tuanya. Hak dan kewajiban itu misalnya

hak memperoleh pendidikan, perlindungan. keamanan dan lain lain,

sedang kewajiban menyangkut kewajiban bapak biologisnya terhadap

anaknya.34 Makna hubungan perdata sebagaimana dipahami hakim tersebut tidak berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tentang

status anak luar nikah memiliki implikasi terhadap sistem kewarisan dan

34

(23)

perwalian. Artinya anak luar nikah berhak mendapatkan warisan dan

bapak biologisnya dapat menjadi wali apabila anak luar nikah tersebut

perempuan, apabila mau menikah. Akan tetapi sebagian yang lain

memahami hubungan perdata hanya sebatas hak dan kewajiban

pemeliharaan, memberi nafkah, pendidikan dan keamanan, adapun

menyangkut waris, meskipun dapat harus melalui wasiat wajibah,35 adapun menyangkut wali, bapak biologis tidak dapat menjadi wali

nikah, karena masalah nikah sudah diatur tersendiri, yaitu Peraturan

Menteri Agama RI Nomor 30 Tahun 2005.36

Dalam perspektif Islam, istilah hubungan perdata harus

diterjemahkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan jiwa ajaran

Islam itu sendiri. Dengan demikian, istilah anak luar nikah juga

mempunyai hubungan perdata dengan bapak biologisnya, harus di

terjemahkan hanya terbatas pada tugas-tugas di bidang memberi nafkah

dan biaya hidup anak luar nikah, menjamin kesehatannya, biaya

pendidikan, tugas mengayomi, sehingga anak tersebut dapat tumbuh

kembang secara layak, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Dalam

konteks hubungan keperdataan tugas-tugas tersebut dapat dipikulkan

kepada bapak biologis si anak. Atau sebaliknya, tugas-tugas tersebut

dapat dibebankan anak luar nikah tersebut kepada bapak biologisnya

sebagaimana maksud Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang perkawinan,

yang menyatakan bahwa anak yang telah dewasa, wajib memelihara

orang tuanya menurut kemampuannya, bila mereka itu memerlukan

bantuannya.

Adapun yang menyangkut dengan hubungan nasab, tidak dapat

dikaitkan dengan bapak biologisnya. Oleh karena itu, dari penjelasan

di atas harus dipahami bahwa anak luar nikah tidak mempunyai

hubungan nasab dengan bapak biologisnya.

35

Ahmad Nasohah Hakim dan Wakil Ketua Pengadilan Agama Arga Makmur kelas IB, wawancara tanggal 27 Desember 2016 di Pengadilan Agama Arga Makmur , Bengkulu Utara.

36

(24)

Mahkamah Konstitusi menilai terobosan yang dilakukannya

sudah sangat tepat dan akan memberikan keadilan kepada anak dan

akan membuat efek jera terhadap laki-laki yang akan melakukan

perzinaan.

Meskipun demikian, makna putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010, dalam pandangan Hakim Tinggi Pengadilan

Tinggi Agama Bengkulu, Mansur, ialah bahwa putusan Mahkamah

Konstitusi merupakan terobosan hukum (rech spending) dalam bidang hukum keluarga, dimana anak luar nikah yang selama ini hanya memiliki

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya semata, maka

setelah putusan Mahkamah Konstitusi memiliki hubungan perdata

dengan bapak biologis sepanjang dapat dibuktikan memiliki hubungan

darah dengan bapak biologisnya.37

Sementara itu, mengenai makna hubungan perdata dalam

pandangan hakim di lingkungan pengadilan Agama Bengkulu, ada dua

pendapat mengenai hubungan perdata sebagaimana dimaksud dalam

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yang pertama hubungan

perdata dimaknai hubungan timbal balik antara orang tua dan anak,

dan antara anak dan orang tua, menganai hak dan kewajiban kedua belah

pihak yang berimplikasi pada hak kewarisan dan perwalian.38 Dan yang kedua, hubungan perdata dalam putusan Mahkamah Konstitusi

dimaknai sebagai hubungan sebatas memberikan perlindungan terhadap

anak, tidak dimaknai sebagai hubungan nasab.

Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat

mengikat, mayoritas hakim sepakat bahwa putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut bersifat mengikat, dan berlaku bagi kasus yang

sama, akan tetapi apabila kasus anak luar nikah dari status orang

tuanya yang tidak pernah menikah atau pernikahanya tidak memenuhi

persyaratan dan rukun dalam Islam, keputusanya bisa berbeda, oleh

37

Mansur, Hakim Tinggi pada pengadilan Tinggi Agama Bengkulu, wawancara tanggal 12 Desember 2016 di Bengkulu.

(25)

karena itulah perlu pembuktian terlebih dahulu melalui proses

persidangan di Pengadilan Agama.

Menurut Mukti Arto, Hakim Agung pada Mahkamah Agung

Republik Indonesia, Makna putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010, tahun 2012 ialah bahwa putusan Mahkamah

Konstitusi merupakan terobosan hukum (rech spending) dalam bidang hukum keluarga, dimana anak luar nikah yang selama ini hanya

memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

semata, maka setalah putusan Mahkamah Konstitusi memiliki

hubungan perdata dengan bapak biologis sepanjang dapat dibuktikan

memiliki hubungan darah dengan bapak biologisnya. Ini sesuai dengan

maqȏṣid syarȋ’ah.”39 Yakni bahwa tujuan hukum dalam Islam dalam kaitannya mewujudkan kemaslahatan anak, maka putusan Mahkamah

Konstitusi telah berusaha dalam kerangka mewujudkan kemaslahatan

anak luar nikah, dalam konsteks perlindungan terhadap anak.

Oleh karena itu Arto sependapat dengan putusan Mahkamah

Konstitusi. karena prinsip perlindungan anak tidak harus hanya

dengan ikatan perkawinan, jadi tanpa memperhatikan sah dan tidaknya

pernikahan dari kedua orang tuanya, anak berhak memperoleh

perlindungan hukum. Jadi tujuan esensi dari putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut adalah perlindungan hukum terhadap anak luar nikah”40

Arto juga sependapat dengan bunyi putusan Mahkamah

Konstitusi, Menurut pendapat Mukti Arto Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak luar nikah

sesuai dengan jiwa pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan harus

dibaca anak yang dilahirkan di luar pernikahan mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki

sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

39

Mukti Arto, Hakim Agung Mahkamah Agung RI, Wawancara, tanggal 20 Januari 2017 di Bengkulu.

40Ibid

(26)

pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum

mempunyai hubungan darah, termasuk memiliki hubungan perdata

dengan keluarga ayahnya. Ini artinya secara keperdataan anak luar

nikah statusnya menjadi jelas, siapa ibunya dan siapa bapaknya, anak

menjadi jelas statusnya, kedudukanya dimata hukum sama dengan anak

sah.41

Pendapat Mukti Arto, yang secara tegas menyatakan

kesetujuanya dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 tentang status anak luar nikah, agaknya dilatar belakangi

pemahamanya terhadap yang dipahaminya.

Implikasinya makna hubungan perdata berarti ada hubungan

timbal balik berupa hak dan kewajiban antara ibunya dengan anaknya,

antara bapak dengan anaknya dan antara anak dengan kedua orang

tuanya, hak dan kewajiban itu misalnnya hak memperoleh pendidikan,

hak memperoleh perlindungan dan memperoleh keamanan dan lain

lain, sedang kewajiban menyangkut kewajiban bapak biologisnya

terhadap anaknya. Makna hubungan perdata disini termasuk juga

dalam masalah waris dan wali nikah.42

Terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat

mengikat dan berlaku bagi kasus yang sama. Sesuai dengan azas Erge Omnes, artinya putusan pengadilan bersifat mengikat dan berlaku pada perkara berikutnya yang memiliki kesamaan. Dengan demikian putusan

Mahkamah Konstitusi itu mengikat dan menjadi jurisprudensi bagi

perkara perkara berikutnya yang sama, tanpa mempersoakan status

pernikahan kedua orang tuanya.43

Sependapat dengan hal di atas, juga diungkapkan oleh Mansur,

hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu, Sesuai dengan azas

Erge Omnes, artinya putusan pengadilan bersifat mengikat dan berlaku pada perkara berikutnya yang memiliki kesamaan. Dengan

41Ibid

.

42 Ibid

.

43

(27)

demikian putusan Mahkamah Konstitusi itu mengikat dan menjadi

jurisprudensi bagi perkara perkara berikutnya yang sama, tanpa

mempersoalkan status pernikahan kedua orang tuanya.44

Demikian halnya pendapat Mansur sebagai hakim Tinggi,

karena keluwasan memahami maqȏṣid , sehingga baginya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap sebagai terobosan baru dalam

membuka kejenuhan hukum perdata Islam di Indonesia yang sudah

sekian lama tidak diutak atik.

Sependapat dengan pandangan di atas, Zuhri Imansyah, hakim

Pengadilan Agama Lebong, menyatakan bahwa putusan Mahkamah

Konstitusi merupakan upaya pembaharuan hukum. Maknanya bahwa

ada pembaharuan hukum keluarga dan ditambah dengan sumber hukum

dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang status anak luar nikah.

Sebagai langkah awal Zuhri setuju dengan pertimbangan

implementasinya harus melalui persidangan, tidak serta merta

menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai rujukan, melainkan

harus ada sumber lain. 45 Sehingga melahirkan putusan yang adil bagi para pihak.

Agaknya Zuhri Imansyah sependapat terhadap putusan

Mahkamah Konstitusi di atas, yakni sebuah terobosan hukum dalam

mengikis kejenuhan hukum perdata Islam di Indonesia, yang sudah

setengah abad tidak pernah mengalami perubahan.

Uraian di atas menunjukkan betapa sebagian hakim menganggap

pentingnya dinamika hukum, khususnya dalam bidang hukum

keluarga, yang sudah dapat dipastikan selalu mengalami perubahan,

seirama dengan perubahan masyarakat yang selalu terjadi secara dinamis.

Meskipun demikian terjadi perbedaan pandangan di kalangan

hakim, hal tersebut terlihat dari jawaban berbeda yang diberikan oleh

hakim di lingkungan Pengadilan Agama Arga Makmur , menurut

44Ibid. 45

(28)

Ahmad Nasohah, Ketua Pengadilan Agama Arga Makmur Bengkulu

Utara, secara normatif putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

memiliki kekuatan hukum tetap, namun secara agama putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut masih harus dipertimbangkan, karena

dalam putusan itu jelas mengandung kerancuan, dimana putusan itu

menggenalisir semua anak luar nikah, padahal anak luar nikah itu bisa

berbeda-beda, ada anak luar nikah yang orang tuanya tidak pernah

menikah, ada anak luar nikah yang pernikahanya orang tuanya tidak

memenuhi syarat dan rukun menurut agama dan ada anak luar nikah hasil

nikah siri yang memenuhi persyaratan dan rukun agama, ini yang kita

tolerir.46

Oleh karena itu, Ahmad Nasohah secara pribadi tidak

sependapat dengan putusan Mahmakah Konstitusi tersebut. Secara

normatif ini sudah menjadi putusan Mahkamah Konstitusi, namun

sebagai negara hukum harus menghormati putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut dan harus dijalankan.47

Pendapat tersebut ternyata juga disetujui oleh hakim yang lain,

misalnya Rusdi, hakim pada Pengadilan Agama Arga Makmur,

menurutnya secara pribadi tidak sependapat dengan putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut, namun dapat dijadikan sebagai

jurisprudesi.48 Adapun dalam persidangan hakim harus menggali sumber hukum lain agar diperoleh putusan yang adil bagi anak luar nikah.

Demikian juga diungkap oleh Ramdan, hakim Pengadilan Agama

Arga Makmur, Putusan Mahkamah Konstitusi itu menggeneralisir

semua anak luar nikah, padahal anak luar nikah dalam pandangamya

berbeda-beda, Oleh karena itu, Ramdan kurang sependapat dengan

putusan Mahkamah Konstitusi tentang anak luar nikah tersebut,

46

Ahmad Nasohah, Op. Cit.

47

Ibid..

48

(29)

karena menurutnya tidak sesuai dengan norma agama Islam, yang dinilai

sudah mapan.49

Pendapat yang lebih ekstrim diungkapkan oleh Ahmad Ridho

Ibrahim, hakim Pengadilan Agama Manna, Bengkulu Selatan, dalam

pendapatnya makna putusan Mahkamah Konstitusi, secara normatif

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki kekuatan hukum

tetap, sebuah putusan yang progresif, namun karena dalam pertimbangan

hukumnya terlalu umum, sehingga dari kacamata agama putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut melabrak norma norma agama.50 Oleh karena itu, ia menyatakan setuju dengan catatan, yaitu anak luar nikah

dari pernikahan yang tidak tercatat.

Sependapat dengan pandangan di atas diungkapkan oleh Ahmad

Bisri, hakim yang juga wakil Ketua Pengadilan Agama Manna

Bengkulu Selatan, bahwa makna putusan Mahkamah Konstitusi,

secara normatif putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki

kekuatan hukum tetap, sebuah putusan yang progresif, namun secara

agama putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyalahi norma norma

agama. Namun bagaimanapun putusan Mahkamah Konstitusi

mempunyai kekuatan hukum mengikat,51

Oleh karena itu, menurut Fahmi Hamzah, Hakim Pengadilan

Agama Manna, Putusan Mahkamah Konstitusi itu menggeneralisir

semua anak luar nikah, padahal anak luar nikah dalam pndangan hakim

berbeda beda, oleh karena itu Fahmi setuju dengan catatan, karena

putusan Mahkamah Konstitusi dipandang tidak sesuai dengan norma

agama Islam. Di sini Mahkamah Konstitusi hanya melihat dari sisi

49

Ramdan, Hakim Pengadilan Agama Arga Makmur Kelas I B, Bengkulu Utara, wawancara tanggal 27 Desember 2016, di Bengkulu Utara

50

Ahmad Ridho Ibrahim, Hakim Pengadilan Agama Kelas II Manna, Kelas II Bengkulu Selatan, wawancara tanggal 4 Januari 2017, di Manna Bengkulu Selatan

51

(30)

akibat adanya hubungan darah kemudian memiliki hubungan biologis,

maka memiliki hubungan perdata.52

Menurut Johan Arifin, Ketua Pengadilan Agama Bengkulu,

dengan menggunakan bahasa yang agak fulgar menyatakan bahwa

putusan tersebut mengangkangi hukum Islam, Putusan tersebut terlalu

general, sehingga dalam implementasi harus melalui persidangan

untuk membuktikan hubungan anak serta status pernikahan kedua orang

tuanya, kalau anak luar nikah siri boleh.53 Tetapi kalau ternyata anak luar nikah tersebut lahir dari pernikahan yang tidak sah, atau bahkan

kedua orang tuanya tidak pernah menikah, dinilai bertentangan dengan

norma agama.

Oleh karena itu ia tidak sependapat dengan putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut. Itulah sebabnya dalam implementasinya harus

melalui persidangan, untuk menelusuri asal usul anak tersebut, tidak

serta merta menerima putusan Mahkamah Konstitusi54.

Penolakan juga disampaikan Syaiful Bahri, Hakim Pengadilan

Agama Arga Makmur Bengkulu Utara, bagi Syaiful Bahri putusan

Mahkamah Konstitusi dianggap tidak ada (Wujuduhu ka adamihi) namun secara konstitusi putusan Mahkamah Konstitusi dapat

dijadikan sebagai jurisprudensi.55

Menurut Asmawi, Hakim Pengadilan Agama Bengkulu, makna

putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010, ialah bahwa

putusan Mahkamah Konstitusi merupakan terobosan hukum (rech spending) dalam bidang hukum keluarga, di mana anak luar nikah yang selama ini hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya semata, maka setalah putusan Mahkamah Konstitusi

52

Fahmi Hamzah, Hakim Pengadilan Agama Kelas II Manna, Kelas II Bengkulu Selatan, wawancara tanggal 4 Januari 2017.

53

Johan Arifin, Hakim, Ketua Pengadilan Agama Kelas IA Bengkulu, wawancara tanggal 19 Januari 2017.

54

Johan Arifin, Hakim, Ketua Pengadilan Agama Kelas IA Bengkulu, wawancara tanggal 19 Januari 2017.

55

(31)

memiliki hubungan perdata dengan bapak biologis sepanjang dapat

dibuktikan memiliki hubungan darah dengan bapak biologisnya. Namun

sangat disayangkan, putusan tersebut terlalu general, ini dapat dilihat dari

pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 tersebut, sehingga dalam implementasi harus melalui

persidangan untuk membuktikan hubungan anak serta status pernikahan kedua orang tuanya”.56

Hubungan perdata dalam putusan Mahkamah Konstutusi

nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak luar nikah, sebagaimana

klarifikasi Ketua MK Mahfud MD, dengan mengatakan bahwa yang

dimaksud majelis dengan frase anak luar perkawinan, bukan anak hasil

zina melainkan anak hasil nikah siri, hubungan keperdataan yang

diberikan kepada anak luar perkawinan tidak berbentuk nasab, waris

dan wali nikah.57 Tetapi jika melihat dalam pertimbangan hukumnya, beberapa frase menunjukan sifat keumuman dari putusan tersebut, dalam

pertimbanganya tidak menyebutkan anak luar nikah adalah anak dari

nikah siri, melainkan disebutkan secara umum, meskipun yang

dimaksudkan adalah anak luar nikah, yakni nikah yang tidak tercatat atau

nikah siri.

Menurut penulis, pemahaman hakim Pengadilan Agama,

sebagaimana disebutkan di atas, boleh jadi karena pemahaman terhadap

pernyataan Mahfud MD, yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan

dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

tentang status anak luar nikah adalah anak dari hasil nikah siri.

Berdasarkan pendapat Mahfud MD, bahwa yang dimaksud frase

anak luar perkawinan adalah bukan anak zina, melainkan anak hasil

nikah siri, sehingga hubungan perdata yang diberikan kepada anak luar

perkawinan tidak bertentangan dengan nasab, waris, dan wali nikah.

56

Asmawi, Hakim Pengadilan Agama Kelas IA Bengkulu, wawancara tanggal 27 Januari 2017.

57

(32)

Meskipun penulis tidak mendengar dari pernyataan hakim bahwa dalam

persidangan untuk menentukan status pernikahan kedua orang tuanya,

dipahami dari pernyataan Mahfud MD tersebut.

Apabila dianalisis dengan teori pelindungan anak sebagaimana

dijelaskan Mukti Arto tentang perlindungan anak, dalam bukunya,

Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan, menyebutkan bahwa perlindungan terhadap anak, agar melahirkan anak yang

berkualitas, maka ada 3 dimensi hak yang harus dilindungi, yaitu

nasabnya, nasibnya dan nasalnya.58

Bentuk perlindungan anak dalam syari’ah adalah bibitnya,

kesejahteraannya, masa depannya, dan legalitas (status) hukumnya.59 Untuk melindungi nasal (bibit) anak, yang berupa kualitas

jasmani dan rohani anak, maka syari’ah Islam mengharamkan

perkawinan dua orang yang memiliki hubungan darah yang masih

dekat, baik melalui aliran darah maupun penyusuan serta

menganjurkan memilih pasangan yang berkulitas.60

Untuk melindungi nasib anak yang berupa kelangsungan hidup, kesejahteraan dan masa depan anak, maka syari’ah Islam mewajibkan orang tua untuk melindungi kesejahteraan anaknya baik yang

berkaitan dengan akidahnya, ibadahnya, kesehatanya, pendidikannya,

kesejahteraannya, dan masa depannya. Anak adalah tanggungjawab

orang tuanya yakni ayah dan ibunya tanpa mempersoalkan sah dan

tidaknya anak.61

Untuk melindungi nasab yang berupa legalitas (status) hukum sebagai anak yang sah, maka syari’ah Islam mensyari’atkan perkawinan yang sah melalui akad nikah dan memiliki akta nikah. Syari’ah menetapkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam

58

Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mwujudkan Keadilan , Membangun Sistem Peradilan Berbasisi Perlindungan Hukum dan Keadilan, (Jogyakarta : Pustaka Pelajar, 2017, . h. 169.

59

Ibid,. 170

60

Ibid,

61

(33)

perkawinan yang sah atau akibat perkawinan yang sah. Syari’ah Islam

mengharaman zina, untuk memelihara agama pihak yang bersangkutan,

menghindari kemungkaran dan melindungi nasab anak.62

Jika mengacu pada teori Mukti Arto di atas, bahwa bentuk

perlindungan hukum terhadap anak luar nikah yang berhubungan dengan

nasal maupun nasib, tidak harus memperhatikan sah dan tidaknya

pernikahan kedua orang tuanya, maupun sah dan tidaknya status anak.

Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini

mungkin, yakni sejak calon mempelai akan melangsungkan perkawinan,

sehingga anak yang akan dikandung sampai lahir, tumbuh dan

berkembang sampai dewasa adalah anak-anak yang berkulitas baik

secara mental maupun secara spiritual. Idealnya perlindungan terhadap

anak memang demikian. Bertitik tolak dari konsep perlindungan

terhadap anak yang utuh, menyeluruh, dan komperenshif,

pembangunan sumber daya manusia ini meletakkan kewajiban

memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas non

diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak hidup,

kelangsungan hidup, perkembangan, dan penghargaan terhadap anak.63 Meskipun demikian, diantara hakim Pengadilan Agama,

sebagaimana disampaikan di atas, terdapat pula beberapa hakim yang

tidak menyampaikan pendapatnya, artinya tidak menyatakan setuju

maupun tidak menyatakan menolak terhadap putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Status anak luar nikah.

Terhadap hakim yang tidak menerima maupun menolak tersebut,

diduga karena faktor pemahaman yang inklusif, sementara itu tidak berani menerima pendapat lain yang dianggapnya bertentangan dengan

hukum Islam, sehingga dalam implementasinya, mengabaikan putusan

Mahkamah Konstitusi dan tetap menggunakan sumber-sumber hukum

materil yang sudah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

62

Ibid,. 171

63

Referensi

Dokumen terkait

KEDELAPAN : Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah (SKPD/UKPD) yang belum menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada diktum diktum KESATU, diktum KEDUA

Gambar 2.2 Pembidaian pada fraktur tulang paha bagian bawah.. (3) Fraktur pada sendi lutut/

koloni yang tumbuh dan merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah. mikroba dalam suspensi tertentu

Langkah-langkah ini di tentukan oleh langkah-langkah sebelumnya merupakan lanjutan dari masalah atau diagnosa yang telah diidentifikasi atau di antisipasi. Rencana asuhan yang

Adapun tujuan member check dalam uji kredibilitas adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan. apa yang diberikan oleh

Implementasi peraturan pemerintah tentang Sistem pendidikan Nasional yang sudah dibahas di pendahuluan, adalah seluruh sekolah mempunyai kewajiban untuk memberikan kesempatan

Dalam islamisasi Kerajaan Bone tercatat sebagai kerajaan terakhir yang menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan (1611 M) di Sulawesi Selatan, pada masa Raja XII La Tenri

restorative justice menurut Undang-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak beserta aturan pelaksanaannya telah mengatur mengenai