• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga, 2. semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga, 2. semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan atau perkawinan merupakan perilaku sakral yang termaktub dalam seluruh ajaran agama. Dengan pernikahan diharapkan akan menciptakan pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat,1 interaksi hidup berumah tangga dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga,2 yang semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga.

Al-Qur’an menyebut perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh, mitsaqan ghaliza, seperti yang termaktub dalam Surat An-Nisaa ayat 21 yang artinya :3

Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan kepada isterimu, padahal sebagian kamu telah bergaul dengan sebagian yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Sebagai suatu perjanjian, perkawinan mengandung tiga unsur utama, yaitu :4 1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa ada unsur suka rela dari kedua belah

pihak5

1Abd Nashr Taufik Al-Athar,Saat Anda Meminang,(Jakarta : Terj. Abu Syarifah dan Afifah Pustaka Azam), 2000, hlm. 5.

2Ahmad Azar Basyir,Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1995), hlm. 1.

3Al-Qur’an dan Terjemahnya (Madinah : Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, 2003). 4

Soemiyarti, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty, 1982), hlm. 10.

5 Jawad Muhammad Muqniyah, Pernikahan Menurut Hukum Perdata dari Lima Mahzab, (Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1978), hlm. 9.

(2)

2. Perkawinan itu memiliki dan mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan sebaik mungkin oleh suami dan isteri tersebut.6

3. Kedua belah pihak (suami dan isteri) yang mengikatkan diri dalam perkawinan masing-masing mempunyai hak untuk memutuskan perkawinan itu berdasarkan prosedur tertentu menurut ketentuan hukum yang ada.

Meski perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perjanjian karena adanya unsur persetujuan untuk saling mengikatkan diri, persetujuan dalam perkawinan tidak sama dengan persetujuan lain yang dikenal dalam hukum perdata. Alasannya, pada persetujuan biasa para pihak bebas menentukan isi perjanjiannya asal tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam perkawinan, isi perjanjian (ikatan) sudah ditentukan oleh hukum.7

Para ulama sepakat bahwa terjadinya perkawinan secara sah menurut hukum Islam adalah melalui akad nikah yang memuat dua unsur, yaitu ijab dan qabul. Ijab adalah lafaz penawaran yang sah dari pihak perempuan melalui walinya dan qabul adalah penerimaan yang sah dari pihak calon pengantin laki-laki atau wakilnya. Lafaz ijab dan qabul dimulai dengan kata zawajtu (aku jodohkan) atau ankahtu (aku nikahkan) dari wali calon pengantin perempuan dan dijawab dengan kata khabilatu

(saya terima) atau radhitu (saya rela) oleh calon pengantin laki-laki.8 Ketentuan ini

6

Soemiyarti,Op.cit,hlm. 10 7

Muhammad Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam,(Jakarta : IND HILL. Co, 1990), hlm. 17.

(3)

menjadi kesepakatan menurut Imam Malik bin Annas, Imam Muhammad Hambal (Hambali) maupun Imam Syafi’i.9

Perkawinan pada prinsipnya menganut asas monogami. Prinsip ini tampak pada Pasal 3 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Dengan kata lain, perkawinan poligami dipandang sebagai suatu bentuk pengecualian yang hanya dapat dilaksanakan jika terpenuhi syarat dan prosedur tertentu. Ketentuan mengenai poligami yang secara legalistik formal diatur oleh hukum positif di Indonesia, berdasarkan bunyi Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 hanya berlaku bagi orang-orang yang agamanya tidak melarang poligami bagi pelakunya.

Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.10

Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut

9

Ibid,hlm. 8

10 Amiur Nurudin dan Ahmad Azhari Tarigan, Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta : Pernada Media, 2004), hlm. 156.

(4)

poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Istri-istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha memperoleh keadilan.11

Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya (Q.S. an-Nisa’; 3 dan 129), kendatipun tidak menghapus praktek poligami, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan adil di antara istri. Menurut Asghar, sebenarnya dua ayat diatas menjelaskan betapa Al-Qur’an begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada, oleh karena Al-Qur’an membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus adil. Asghar mengutip al-Tabari, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.12

Menurut hukum Islam (fiqh), kebolehan hukum poligami telah menjadi kesepakatan ulama walaupun dengan persyaratan yang ketat, yaitu harus berlaku adil terhadap istri-istrinya. Pengertian poligami adalah seorang suami yang beristeri lebih dari satu orang13yang dalam ajaran Islam hal tersebut diperbolehkan, dengan perintah Allah untuk berlaku adil sebagaimana firman Allah sebagai berikut :

11

Asghar Ali Engineer,Pembebasan Perempuan,(Yogyakarta : LKIS, 2003), hlm. 111. 12Ibid,hlm. 112-113.

(5)

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, yaitu budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Namun fakta yang berkembang, harmonisasi keluarga terganggu oleh fenomena poligami. Walaupun secara normatif poligami diakui oleh hukum Islam, tetapi karena suatu hal, maka poligami ditentang banyak intelektual, lebih-lebih para penggerak wanita. Apalagi terdapat sinyalemen bahwa poligami yang dipraktikkan oleh banyak muslim telah mereduksi rasa penghargaan kepada wanita dan nilai-nilai keadilan.

Pasal-pasal dalam perundang-undangan Indonesia tentang poligami sebenarnya sudah cukup berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar mampu berbuat adil dan mampu menafkahi isteri-isteri dan anak-anaknya. Selain itu, perundang-undangan Indonesia berupaya menghargai isteri sebagai pasangan hidup. Terbukti bahwa untuk berpoligami suami harus mendapat persetujuan isteri. Untuk mencapai tujuan ini, perundang-undangan Indonesia memberikan kepercayaan yang besar kepada hakim pengadilan agama.14

Hal lain yang sangat perlu diperhatikan menyangkut ketentuan mengenai kewajiban suami untuk berlaku adil dan jaminan suami bahwa ia memiliki kemampuan untuk menafkahi isteri-isteri dan anak-anaknya. Dua kewajiban penting

14

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : INIS Leiden, 2002), hlm. 58.

(6)

yang harus dipenuhi suami sebelum mengajukan permohonan menikah lagi ke pengadilan agama ini ternyata tidak membawa konsekuensi hukum jika ternyata dilanggar oleh suami. Sebab-sebab yang mendasari ketiadaan pengaturan tentang sanksi terhadap pelanggaran prinsip kemampuan ekonomi dan berlaku adil menurut kajian lebih dalam, sebab adanya sanksi sesungguhnya merupakan konsekuensi dari adanya suatu kaidah hukum. Tentang ini Malinowski mengemukakan :15

“The rules of law stands out from the rest in that they are felt and regarded as the obligations of one person and the rightful claims of another. They are sanctioned not by a mere psychological motive, but by a definitive social machinery of binding force…”

Franz Magnis Suseno dalam kalimat yang kurang lebih mengandung kesamaan makna menyatakan bahwa norma hukum dikatakan berlaku hanya apabila norma tersebut diterima dan diakui masyarakat. Ciri khas suatu norma hukum adalah bahwa suatu pelanggaran tidak akan dibiarkan begitu saja. Artinya, norma hukum itu bukan norma yang hanya diharapkan berlaku oleh penegak hukum dan pembuat Undang-Undang, tetapi benar-benar berlaku dan secara nyata menentukan tingkah laku masyarakat. Dengan demikian, maka bagi norma hukum, faktisitasnya merupakan unsur yang menentukan.16

Penelitian dan jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk penelitian oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, ternyata menunjukkan bahwa pelanggaran terbanyak atas ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

15

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 61.

16Franz Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta : Gramedia, 1987), hlm. 74-75.

(7)

1974 berkaitan dengan poligami.17 Penyebab banyaknya pelanggaran itu setidaknya dapat dilihat dari sudut sosiologi hukum, yang salah satu tujuannya adalah meneliti efektivitas ketentuan hukum dalam masyarakat.18 Salah satu tokohnya, Eugen Ehrilch, pelopor sociological jurisprudence, mengemukakan bahwa hukum positif hanya akan efektif dan ditaati apabila selaras dengan social patterns yang berlaku di masyarakat.19 Oleh karena itu, perlu dikaji mengapa pasal-pasal hukum tentang poligami sangat banyak dilanggar, sebab menurut Soerjono Soekanto dan S. Hutagalung kesadaran hukum masyarakat untuk mentaati hukum adalah satu-satunya sumber bagi daya mengikat hukum tersebut.20

Belakangan muncul wacana tentang perjanjian pranikah, yaitu suatu perjanjian yang diproyeksikan sebagai “senjata” bagi wanita untuk melindungi hak-haknya dalam apabila suaminya berpoligami. Perjanjian pranikah tersebut diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut :

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

17 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang 20 Tahun

Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,(Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), hlm. 21.

18

Soerjono Soekanto,Op.cit,hlm. 22. 19Ibid,hlm. 36.

(8)

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Perjanjian pranikah sering juga disebut dengan perjanjian perkawinan. Jika diuraikan secara etimologi, maka dapat merujuk pada dari dua akar kata, perjanjian dan pernikahan. Dalam bahasa Arab, ‘janji’ atau ‘perjanjian’ biasa disebut dengan atau,21 yang dapat diartikan dengan persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.22

Adapun perjanjian pranikah (prenuptial agreement), yaitu suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan. Perjanjian biasanya dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun isteri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada kedua pihak.

Pada perkawinan poligami, perjanjian perkawinan ini merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap isteri dalam menjaga hak-haknya sebagai salah satu pihak dalam perkawinan poligami yang mungkin merasa dirugikan dengan adanya praktek poligami yang dilakukan pihak suami. Misalnya akta perjanjian kawin di luar persekuytuan harta benda dalam perkawinan yang isinya antara lain tidak ada

21M. Abdul Mujieb, dkk.,Kamus Istilah Fiqih,(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 138. 22Sudarsono,Kamus Hukum,(Jakarta : Rineka Cipta, tt), hlm. 355.

(9)

percampuran harta benda sehingga hutang yang dibuat masing-masing pihak menjadi tanggungan masing-masing pihak. Selain itu misalnya semua pengeluaran biaya pendidikan, pemeliharaan anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka seluruhnya menjadi tanggungan pihak suami. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji tentang pemanfaatan perjanjian perkawinan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam upaya melindungi hak-hak isteri pada perkawinan poligami.

B. Permasalahan

1. Bagaimana perlindungan hak-hak isteri dalam perkawinan poligami yang telah dicatatkan ?

2. Hal-hal apa saja yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan bagi isteri yang dipoligami ?

3. Apa akibat hukum jika suami yang berpoligami melanggar perjanjian perkawinan ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perlindungan hak-hak isteri dalam perkawinan poligami yang telah dicatatkan.

2. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan bagi isteri yang dipoligami.

3. Untuk mengetahui akibat hukum jika suami yang berpoligami melanggar perjanjian perkawinan.

(10)

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan ilmu hukum perkawinan dan hukum perdata pada umumnya.

2. Secara Praktis

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga penegak hukum, praktisi hukum dan pemerintah agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang hak-hak perkawinan pada perkawinan poligami melalui perjanjian perkawinan di Indonesia dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan lainnya yang terkait di Indonesia. Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Perlindungan Terhadap Hak-hak Isteri Pada Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan Menurut Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara

(11)

dan tesis ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari tesis orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada tesis yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya. Dari hasil observasi yang telah dilakukan, ada beberapa tesis yang memiliki topik yang sama, namun dalam hal permasalahan dan pembahasannya jelas berbeda dengan isi tesis ini, yakni :

1. Pengaturan Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami (Studi : Di Kecamatan Medan Maimun) oleh Mahasiswa Magister Kenotariatan Fitria Agustina.

2. Perjanjian Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Hukum Islam oleh Mahasiswa Magister Kenotaritan Irma Febriani Nasution. 3. Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian

oleh Mahasiswa Magister Kenotariatan Lusinda Maranatha Siahaan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.23Sedang kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran

23JJ.M. Wuisman,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas,Penyunting M. Hisyam, (Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hlm. 203.

(12)

atau butir-butir pendapat teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.24

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.25 Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan diri kepada unsur hukum.

Dalam ilmu hukum, ada empat unsur yang merupakan fondasi penting, yaitu : moral, hukum, kebenaran, keadilan. Akan tetapi menurut filosof besar bangsa Yunani, yaitu Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato,“Justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues.”26

Dikaitkan dengan fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.27

24M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung : Mandar Madju, 1994), hlm. 80. 25Snelbecker dalam Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 35.

26

Roscoe Pound,Justice According To Law,Yale University Press, New Haven USA, 1952, hlm. 3.

27 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 77.

(13)

Tentang isi keadilan sukar untuk memberi batasnya. Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva dan justitia commutativa. Justitia distributivamenuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya, yang adil di sini ialah apabila setiap orang mendapat hak atau jatahnya secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemampuan dan sebagainya. Sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya, yang adil ilah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.28

Menganalisis perlindungan terhadap hak-hak isteri pada perkawinan poligami melalui perjanjian perkawinan didasarkan pada pengertian tanggung jawab dalam perjanjian yang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksa pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.29

Salah satu teori hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut teori kehendak, suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak diantara para

28

Ibid.,hlm. 78-79.

29Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 59.

(14)

pihak, yang harus dihormati dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak terdapat asumsi bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan terhadap para pihak.30

Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu :31

1. Ajaran kehendak(wilsleer),dimana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin yang ada dalam kehendak subjektif para calon kontraktan.

2. Pandangan normatif Van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikitpun tidak memainkan peranan. Apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada hakikatnya tergantung pada penafsiran normatif para pihak pada persetujuan ini tentang dan peristiwa yang dihadapi bersama.

3. Ajaran kepercayaan (vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi terbentuknya suatu persetujuan.

Perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian sebagai sumber

30

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu,Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,

(Bandung : Refika Aditama, 2004), hlm. 39. 31Ibid,hlm. 40.

(15)

perikatan berbeda dari sumber perikatan lain, berdasarkan pada sifat kesukarelaan dari pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi terhadap lawan pihaknya dalam perikatan tersebut. Dalam perjanjian, pihak yang wajib untuk melakukan suatu prestasi, dalam hal ini debitur, dapat menentukan terlebih dahulu, dengan menyesuaikan pada kemampuannya untuk memenuhi prestasi dan untuk menyelaraskan dengan hak yang ada pada lawan pihaknya, apa, kapan, dimana, dan bagaimana ia akan memenuhi prestasinya.32

Membicarakan perjanjian, tidak dapat dilepaskan dari KUH Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.33

Menurut R. Setiawan, rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dipergunakannya perkataan “perbuatan” yang berarti tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai defenisi tersebut, sehingga perumusannya menjadi : “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.34

Sesuai dengan perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum, melainkan merupakan hubungan hukum. Pandangan ini dikemukakan oleh Van

32

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Op.cit,hlm. 14 33Pasal 1313 KUH Perdata

(16)

Dunne, yang mengartikan tentang perjanjian, yaitu : “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.35

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat, hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya atau pemenuhannya.36

Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas yang menguasai hukum perjanjian yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan yaitu, asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat (pacta sunt servanda), dan asas itikad baik. Asas konsensualisme dilahirkan pada saat momentum awal perjanjian terjadi, yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya (Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata). Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat menentukan bentuk dan isi dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan dan bukanlah sesuatu yang terlarang (Pasal 1320 angka 4 KUH Perdata). Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi perjanjian ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau dapat dipersamakan dengan itu.

35

Lely Niwan, Hukum Perjanjian, (Yogyakarta : Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, 1987), hlm. 26.

(17)

Akibatnya perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sesuai asas pacta sunt servanda yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” dan asas itikad baik yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan : “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.37

Menurut bentuknya, ada perjanjian yang berbentuk baku dan ada yang berbentuk timbal balik. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, sedangkan perjanjian berbentuk timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu dengan lainnya (pihak satu yang mempunyai hak dan pihak lain sebagai pihak yang berkewajiban).38 Perjanjian perkawinan dikategorikan sebagai perjanjian yang timbal balik (tidak baku), untuk melakukan hal-hal tertentu, dimana pihak pertama menghendaki dari pihak kedua agar dilakukannya suatu hal untuk mencapai sesuatu tujuan.

37

Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata (Seri Hukum Bisnis),(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 263-283.

38 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 43.

(18)

2. Kerangka Konsepsi

Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah sebagai berikut :

Perlindungan adalah jaminan perlindungan pemerintah dan/ atau masyarakat dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.39

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.40

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.41

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.42

Dari sudut pandang terminologi, poligami berasal dari bahasa Yunani, dimana katapolyberarti banyak dangamienberarti kawin. Kawin banyak disini berarti seorang pria kawin dengan beberapa wanita atau sebaliknya seorang wanita kawin dengan

39www.hukumoneline.com. Diakses pada tanggal 13 Januari 2010. 40

Subekti,“Hukum Perjanjian”,(Jakarta : Cet. XII, PT. Intermasa, 1990), hlm. 1. 41

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

42Gatot Supramono,Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta : Djambatan, 1998), hlm. 39.

(19)

le4bih dari satu pria atau sama-sama banyak pasangan pria dan wanita yang mengadakan transaksi perkawinan.43

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara yang berfungsi untuk mencapai tujuan. Metode merupakan suatu cara tertentu yang di dalamnya mengandung suatu teknik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu.44 Penelitian adalah penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu; penelitian tidak lain dari suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut.45

Berdasarkan pendapat tersebut di atas mengenai metode dan penelitian, dapat diambil kesimpulannya bahwa metode penelitian adalah suatu cara yang mengandung teknik, yang berfungsi sebagai alat dalam suatu penyelidikan dengan hati-hati untuk mendapatkan fakta sehingga diperoleh pemecahan masalah yang tepat terhadap masalah yang telah ditentukan. Untuk itu dalam suatu penelitian, peneliti harus membuat atau menentukan metode secara tepat untuk mendapatkan hasil yang baik.

Suatu metode penelitian diharapkan mampu untuk menemukan, merumuskan, menganalisis, mampu memecahkan masalah-masalah dalam suatu penelitian dan agar

43

Bibit Suprapto,Liku-liku Poligami,(Yogyakarta : Al Kautsar, 1990), hlm. 11 44

Arief Furchan,Pengantar Metode Penelitian Kualitatif,(Surabaya : Usaha Nasional, 1997), hlm. 11.

(20)

data-data diperoleh lengkap, relevan, akurat, dan reliable, diperlukan metode yang tepat yang dapat diandalkan(dependable).Maka penulis gunakan metode penelitian :

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian menggunakan pendekatan normatif. Pendekatan normatif adalah “Dalam menganalisis data didasarkan pada asas-asas hukum dan perbandingan-perbandingan hukum yang ada dalam masyarakat”.46 Aspek-aspek hukum, baik undang-undang sebagai hukum yang tertulis maupun hukum yang ada dalam masyarakat yaitu nilai-nilai atau norma yang ada dalam masyarakat, dalam kelayakan, kepatutan, itikad yang ada dalam masyarakat sehingga dapat diketahui legalitas atau kedudukan hukum.

2. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book),maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan(law it is decided by the judge through judicial process)47. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.48

46Soerdjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 6.

47

Amiruddin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 118.

48J. Supranto,Metode Penelitian Hukum dan Statistik,(Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 3.

(21)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.49 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku mengenai perlindungan terhadap hak-hak isteri pada perkawinan poligami melalui perjanjian perkawinan.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini diperlukan jenis sumber data yang berasal dari literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian, sebab penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan normatif yang bersumber pada data sekunder.

Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak

49Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,(Malang : UMM Press, 2007), hlm. 57.

(22)

dikodifikasi, yurisprudensi. Data dari pemerintah yang berupa dokumen-dokumen tertulis yang bersumber pada Perundang-undangan, diantaranya :

1) KUH Perdata 2) HIR

3) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 4) Yurisprudensi

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang tidak mempunyai kekuatan dan hanya berfungsi sebagai penjelas dari hukum primer, yaitu hasil karya ilmiah para sarjana.

c. Bahan hukum tersier, bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

(23)

5. Analisa Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik tesis ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian dan perhitungan hasil penelitian yang sudah dilakukan, diperoleh simpulan hasil penelitian terdapat pengaruh yang signifikan sikap siswa pada

Suatu hal yang paling menonjol dari indikator kecanduan game online yang ditunjukkan oleh empat tipologi tersebut adalah bahwa mereka penggunaan waktu untuk bermain

Kalau Anda menggunakan sekitarņkatakanņ60% dari penghasilan bulan Anda hanya untuk membayar cicilan, utang Anda memang akan cepat habis, tapi Anda tidak bisa membayar

Pada pemeriksaan darah yang diperiksa adalah golongan darah ibu, kadar haemoglobin dan HbsAg. Pemeriksaan haemoglobin untuk mendeteksi faktor resiko kehamilan yang

Dari beberapaa hasil analisis data di atas dapat dikatakan bahwa hasil belajar biologi peserta didik pada materi sistem ekskresi setelah diajar dengan menggunakan

Jawab: untuk usaha rumahan lain, mereka kebanyakan menetapkan harga di bawah kami namun dengan kualitas di bawah kami, jika pabrik menetapkan harga di atas kami dan ada batas

1) Pembawaan, adanya pembawaan tertentu yang berhubungan dengan obyek yang direaksi, maka sedikit banyak akan timbul perhatian pada obyek tertentu. 2) Latihan dan