Teknologi Pemetaan dan GIS H-45
STUDI AWAL PEMANFAATAN METODE GPS GEODETIK
UNTUK MEMANTAU GROUND DEFORMATION SEBAGAI
DAMPAK PENGEMBANGAN LAPANGAN PANAS BUMI
Septa Erik Prabawa1), Muhammad Taufik2), Khomsin
Laboratorium Geodinamik dan Lingkungan, Teknik Geomatika, FTSP ITS
3)
Email: 1)2)3)
ABSTRAK
Jawa Timur memiliki banyak potensi panas bumi, salah satunya adalah di daerah Blawan Ijen kabupaten Bondowoso. Sehingga area tersebut telah ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas bumi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber energi baru terbarukan.
Salah satu efek yang muncul dari pengembangan potensi panas bumi yang harus diperhatikan adalah adanya ground deformation. Ground deformation adalah perubahan permukaan tanah baik secara vertikal maupun horisontal karena adanya pergerakan di bawah permukaan bumi dalam hal ini diakibatkan oleh mekanisme drilling dan reinjection. Sehingga hal ini perlu dipantau secara periodik agar diketahui vektor pergeseran baik vertikal maupun horisontal. Pemantauan dilakukan dengan pengukuran GPS geodetik secara periodik. Dengan demikian perubahan posisi titik pantau dapat diketahui dengan demikian besar ground deformation dapat diketahui dan dipantau perkembangannya.
Makalah ini merupakan studi awal pengamatan ground deformation sebagai dampak pengembangan lapangan panas bumi yang akan dilakukan oleh pemilik WKP panas bumi Blawan Ijen. Sehingga dapat menjadi kerangka referensi dalam pemantauan ground deformation selanjutnya yang akan dilakukan.
Kata kunci: GPS, Ground deformation, Panas bumi, Blawan Ijen, Bondowoso 1. Pendahuluan
Gunung api Ijen merupakan
barmrisan gunung api aktif yang ada di komplek Blawan Ijen Bondowoso. Komplek gunung api tersebut berbentuk struktur melingkar yang merupakan parasit dari gunung api Ijen purba. Diantara gunung api yang ada di kawasan Blawan Ijen yang dikenal paling aktif adalah gunungapi Ijen dan gunung api Raung. Secara geologi kawasan komplek Blawan Ijen tersusun
atas batuan vulkanik muda yang terbentuk pada kala Pleistosen atas. Pasqua (2012) menunjukkan adanya patahan mayor berarah Timur-Barat sepanjang 2 Km. terdapat banyak patahan berarah Utara-Selatan dan 2 (dua) diantaranya membentuk sistem graben (Gambar 1.1). Struktur-struktur tersebut konsisten dengan arah tumbukan lempeng Australia terhadap lempeng Asia yang berarah Utara-Selatan. Dalam sistem panas bumi,
Teknologi Pemetaan dan GIS H-46 adanya struktur sesar tersebut
merupakan zona permeabel sebagai
jalan keluarnya fluida panas menuju permukaan tanah sebagai manifestasi panas bumi.
Gambar 1. Peta struktur kawasan studi (Sumber: Pasqua, 2012)
Dengan ditetapkannya Kawah gunungapi Ijen sebagai Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas bumi oleh pemerintah, maka prosedur operasional pengembangan lapangan akan segera dilakukan. Diantara prosedur tersebut adalah adanya mekanisme drilling dan reinjection. Adanya mekanisme drilling dan reinjection tersebut akan terdapat pengaruh signifikan terhadap sistem sesar yang ada di kawasan tersebut. Pengaruh tersebut dapat dideteksi dengan adanya gerakan tanah permukaan baik secara vertikal maupun horisontal. Pergerakan ini seringkali dikenal sebagai ground deformation.
Ground deformation dapat dipantau menggunakan teknologi GPS geodetik, dimana GPS geodetik dapat mengukur posisi suatu titik objek dengan teliti hingga fraksi millimeter. dengan pengukuran secara periodik di titik yang sama maka pergerakan tanah sebagai akibat dari ground deformation
dapat diketahui baik besar, arah, kecepatan maupun percepatannya.
Makalah ini merupakan studi awal
pengamatan ground deformation
sebagai dampak pengembangan lapangan panas bumi yang akan dilakukan oleh pemilik WKP panas bumi Blawan Ijen. Sehingga dapat menjadi kerangka referensi dalam
pemantauan ground deformation
selanjutnya yang akan dilakukan secara periodik.
2. Tinjauan Pustaka 2.1. Sistem Panas bumi
Sistem panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistem hidrothermal yang mempunyai
temperatur tinggi (>225oC), hanya
beberapa diantaranya yang mempunyai temperatur sedang (150‐225o
C). Pada dasarnya sistem panas bumi jenis hidrothermal terbentuk sebagai hasil perpindahan panas dari suatu sumber panas ke sekelilingnya yang terjadi secara konduksi dan secara konveksi. Perpindahan panas secara konduksi terjadi melalui batuan, sedangkan perpindahan panas secara konveksi terjadi karena adanya kontak antara air
dengan suatu sumber panas.
Perpindahan panas secara konveksi pada dasarnya terjadi karena gaya
apung (bouyancy). Air karena gaya
gravitasi selalu mempunyai kecenderungan untuk bergerak kebawah, akan tetapi apabila air tersebut kontak dengan suatu sumber panas maka akan terjadi perpindahan panas sehingga temperatur air menjadi lebih tinggi dan air menjadi lebih ringan. Keadaan ini menyebabkan air
Teknologi Pemetaan dan GIS H-47 yang lebih panas bergerak ke atas dan
air yang lebih dingin bergerak turun ke bawah, sehingga terjadi sirkulasi air atau arus konveksi. (Saptadji, 2010).
Gambar 2.Sistem hidrotermal pada panas bumi. (Sumber: Sudarman, 2010).
Adanya suatu sistem hidrothermal di bawah permukaan sering kali ditunjukkan oleh adanya manifestasi
panasbumi di permukaan (geothermal
surface manifestation), seperti mata air
panas, kubangan lumpur panas (mud
pools), geyser dan manifestasi panas bumi lainnya, dimana beberapa diantaranya, yaitu mata air panas. Manifestasi panas bumi di permukaan diperkirakan terjadi karena adanya perambatan panas dari bawah permukaan atau karena adanya rekahan-rekahan yang memungkinkan fluida panas bumi (uap dan air panas) mengalir ke permukaan.
2.2. Metode GPS
Global Positioning Sistem (GPS) adalah sistem navigasi berbasis satelit, yang diciptakan untuk memberikan informasi mengenai posisi, jarak dan waktu secara akurat diseluruh dunia.
Tujuan utama dari GPS adalah
memenuhi kebutuhan Departemen
Pertahanan Amerika Serikat, dalam rangka penentuan posisi, waktu dan kecepatan. GPS terdiri dari 3 segmen, yaitu konstelasi satelit, master kontrol, dan segmen pengguna. Sistem konstelasi satelit GPS terdiri dari 24 satelit yang terletak pada 6 bidang orbit yang berpusat ke bumi, dengan Jumlah satelit 4 buah pada setiap bidang orbitnya (Gambar 3). Satelit GPS Memiliki periode orbit 11 jam 58 menit, dengan inklinasi 55 derajat terhadap bidang ekuator.(Kurniawan, 2011).
Satelit GPS mentransmisikan gelombang L1 pada 1575.42 Mhz dan L2 Pada 1227.60 Mhz yang dimodulasikan dalam 2 buah kode dan
Navigational Message. Kode yang
dimodulasikan adalah P-Code dan C/A Code. P-Code Terdapat pada kedua buah frekuensi baik L1 maupun L2. C/A Code dimodulasikan hanya pada
L1 pada 10.23 Mhz. Navigational
Message dimodulasikan pada L1 dan
L2 pada 50 Hz. (Abidin, 2000).
Gambar 3. Konstelasi satelit-satelit GPS dan sistem segmennya
2.3. Pemantauan Gerakan Tanah dengan GPS
Pemanfaatan metode GPS untuk memantau pergerakan tanah baik untuk
Teknologi Pemetaan dan GIS H-48
subsidence), pemantauan zona rawan
longsor, pemantauan deformasi gunung api ataupun studi geodinamika telah banyak dilakukan. Prinsip pemantauan fenomena pergerakan tanah tersebut adalah perbedaan posisi suatu titik pada saat diukur dalam waktu yang berbeda.
Kurniawan et al (2011)
menggunakan metode GPS untuk menentukan besar penurunan tanah Kota Surabaya, sehingga diketahui penurunan tanah Kota Surabaya sebesar 1.21 cm/tahun. Abidin et al (2007) melakukan pengamatan deformasi gunung api Ijen sehingga diketahui pergeseran tanah di daerah gunung api Ijen sebesar 1-2 dm baik arah vertikal maupun horisontal. Sadarviana (2006) menggunakan metode GPS untuk memantau zona rawan longsor di daerah Ciloto Jawa Barat sehingga diketahui kecepatan perpindahan material tanah sebesar 5.10-6-0.5.10-6 mm/detik.
3. Metodologi
Prinsip dari pemantauan ground
deformation dengan metode GPS
adalah pemantauan terhadap perubahan koordinat dari beberapa titik yang mewakili permukaan tanah tersebut secara periodik. Metode ini menggunakan beberapa penerima sinyal (reciever) GPS yang ditempatkan di titik pantau dan di titik stasiun referensi yang dianggap stabil. Selanjutnya data hasil pengukuran di lapangan diolah dengan perangkat lunak Topcon Tools v.8.2.3 untuk mendapatkan koordinat posisi dan besar simpangannya. Pengolahan data fase menggunakan metode diferensial, yakni penentuan
posisi titik pantau relatif terhadap titik
referensi. Selanjutnya dengan
mempelajari perubahan koordinat titik-titik pantau tersebut, baik terhadap stasiun referensi maupun di antara sesama titik pantau secara periodik, maka karakteristik ground deformation dapat diketahui. Diagram alir penelitian ini sebagaimana tampak pada Gambar 4 dan ilustrasi pengambilan data GPS tampak pada Gambar 5 strategi pengamatan di lapangan sebagaimana tampak pada Tabel 1.
Koordinat Survey GPS kala 1 Koordinat Survey GPS kala n Perbedaan Koordinat Paramater Deformasi Karakteristik Deformasi
Gambar 4. Diagram alir pengamatan GPS
Gambar 5. Pemantauan ground deformation dengan GPS
4. Hasil dan Pembahasan
Pengukuran GPS dilakukan untuk
memantau adanya fenomena ground
deformation pada wilayah
pengembangan lapangan panas bumi di kawasan Blawan Ijen, Kabupaten
: Koordinat survey GPS kala 1 : Koordinat survey GPS kala Perbedaan koordinat
Teknologi Pemetaan dan GIS H-49 Bondowoso. Pemantauan difokuskan
pada area struktur graben sebagaimana ditunjukkan oleh Pasqua (2011). Area pada struktur berbentuk grabben merupakan zona dengan permeabilitas tinggi dan sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai PLTP. Area tersebut ditunjukkan oleh Gambar 1. Dimana pada struktur tersebut merupakan area potensial untuk dikembangkan. Dalam operasional pengembangan lapangan panas bumi mekanisme yang dilakukan antara lain adalah drilling dan reinjection. Drilling dilakukan untuk mengalirkan fluida panas ke permukaan tanah untuk memutar turbin. Sedangkan reinjection berfungsi untuk mengembalikan sisa fluida yang telah digunakan untuk memutar turbin, fluida untuk reinjection dapat berupa fluida yang telah dingin maupun yang masih panas.
Reinjection juga berfungsi untuk
menjaga reservoir agar tetap kontinyu sebagai sumber panas. Dengan demikian keseimbangan pengaliran fluida panas ke permukaan dan
reinjection sangat penting agar
reservoir tidak overheated ataupun
underheated. Mekanisme ini dapat
menyebabkan adanya pengosongan ataupun penambahan volume fluida dibawah permukaan tanah (reservoir). Perubahan volume fluida ini dapat berpengaruh pada kestabilan tanah dipermukaan yang dapat berupa penurunan ataupun kenaikan permukaan tanah.
Untuk itu fenomena terjadinya
ground deformation sebaiknya
dilakukan sedini mungkin sebelum aktifitas pengembangan PLTP
dilakukan, hal ini perlu agar keadaan sebelum dan sesudah operasional pengembangan PLTP dapat diketahui. Tabel 1. Strategi pengamatan GPS di lapangan
Metode Pengamatan Statik Differensial
Jenis alat Receiver tipe
Geodetik dua frekuensi Data yang digunakan P-Code dan C/A
Code
Carrier wave L1 and L2
Lama pengamatan 6 jam
Interval epoh 15 detik
Sudut elevasi (mask angle) 15 0
Moda jaring Radial
Makalah ini menyajikan hasil survey awal pengamatan GPS geodetik di daerah grabben dikawasan Blawan Ijen. sebaran titik pengamatan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Posisi pengamatan GPS Pengamatan dilakukan di 3 (tiga) di lokasi penelitian di kawasan Blawan Ijen. Pertimbangan penempatan ketiga titik tersebut adalah karena posisinya berada pada zona grabben, dimana zona grabben merupakan zona yang paling potensial untuk dikembangkan. Sehingga pada zona tersebut akan
GPS 1 GPS 2
Teknologi Pemetaan dan GIS H-50 mengalami dinamika yang signifikan
ketika dikembangkan. Pengamatan GPS mengacu pada 1 titik referensi yang telah diketahui koordinatnya secara tepat. Titik referensi tersebut mengacu
pada titik BM (Benchmark) orde 3
milik BPN di Desa Lojajar Kecamatan
Tenggarang.
Koordinat geodetik (L, B, h elipsoid)
titik pengamatan dilapangan dan
deviasi standard titik koordinat yang diperoleh dari perhitungan data ditampilkan pada Tabel 2. Koordinat ditampilkan dengan datum WGS84. Baseline terpanjang adalah 38 km yakni pada titik gps 3 yang berada di kaki
Gunung Blau. Dengan baseline yang
panjang daan nilai deviasi standard setiap komponen berada pada level beberapa millimeter seperti ditunjukkan oleh Tabel 2 dan Gambar 7 maka dapat disimpulkan bahwa pengolahan data GPS telah dilakukan dengan baik.
Tabel 2. Koordinat titik pengamatan GPS
Gambar 7. Deviasi standard pengamatan GPS
Berdasarkan Tabel 2, tampak bahwa nilai standard deviasi masing-masing sumbu berada pada fraksi millimeter dengan nilai standard deviasi terbesar pada sumbu vertikal yakni 0.014 untuk titik pengamatan GPS 2 dan GPS 3, sedangkan titik amat GPS 1 standard deviasi sumbu vertikal 0.013 m.
Untuk sumbu horisontal, nilai standard deviasi lebih kecil yakni 0.007-0.012 m. Standard deviasi terbesar ada di titik pengamatan GPS 2 dan GPS 3. Hal ini dipengaruhi oleh medan pengamatan yang berupa perkebunan kopi dan hutan sehingga
efek multipath dan obstruksi
berpengaruh terhadap sinyal GPS yang
direkam oleh reciever. Untuk titik
GPS1, standard deviasi lebih kecil, hal ini dipengaruhi oleh medan pengamatan yang berupa padang rumput sehingga efek multipath dan obstruksi tidak berpengaruh terhadap kualitas sinyal GPS yang direkam oleh reciever.
Dengan standard deviasi yang relatif kecil, ketelitian data pengamatan relatif tinggi, dengan demikian jika pengamatan GPS dilakukan untuk kala kedua dan seterusnya, maka perubahan posisi suatu titik dapat diamati dengan baik.
Kualitas data pengamatan mempengaruhi akurasi dan presisi koordinat yang diperoleh, hal ini antara lain dipengaruhi oleh orde titik referensi, panjang baseline, besarnya obstruksi dan multipath yang ada di sekitar lokasi pengamatan. Jarak titik pantau dengan titik referensi mencapai 38 km, hal ini merupakan baseline yang panjang dan berpengaruh pada ketelitian pengukuran. Disisi lain
Teknologi Pemetaan dan GIS H-51 medan pengamatan yang merupakan
hutan dan perkebunan mengakibatkan efek obstruksi dan multipath yang cukup besar sehingga berperan juga dalam penurunan ketelitian koordinat yang diperoleh.
Namun demikian pengamatan ini dapat mencapai deviasi standard hingga fraksi millimeter. Ini merupakan ketelitian yang cukup baik untuk memantau pergerakan tanah.
Dengan memperpendek panjang
baseline maka ketelitian dapat
ditingkatkan dan dengan pengamatan secara periodik di kawasan Blawan Ijen
yang merupakan kawasan pengembangan lapangan panas bumi
maka fenomena ground deformation
akibat pengembangan lapangan panas bumi dapat dipantau secara teliti dan diketahui karakteristiknya.
5. Kesimpulan
Dari hasil pengolahan data GPS geodetik di kawasan Blawan Ijen yang merupakan kawasan pengembangan PLTP dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Ketelitian koordinat pengukuran
yang diperoleh 0.007 m hingga 0.014 m.
b. Metode GPS dapat digunakan
untuk memantau fenomena
ground deformation akibat
pengembangan PLTP dengan cara melakukan pengamatan secara periodik.
Daftar Pustaka
Abidin, H, Z. (2000). Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya. Jakarta: Pradnya Paramita.
Abidin, Hasanudin, Z et al. (2007). Karakteristik Deformasi Gunungapi Ijen dalam Periode 2002-2005 Hasil
Estimasi Metode Survei GPS.
Bandung: Proceeding ITB Sains & Teknik, Vol. 39 A, No. 1&2, Hal. 1-22.
Bemmelen, R. W. Van. (1949). The
Geology of Indonesia, Vol IA general Geology of Indonesia and Adjacent Aschipelagoes. The Hague: Government Printing Office.
Blewitt, Geoffrey. (1998). GPS Data
Processing Methodology: From Theory To Application, GPS or
Geodey, Hal. 231-270. Berlin:
Springer-Verlag.
Kurniawan, Akbar., Taufik, M.,
Handoko, E. Y. (2011). Studi
Penurunan Tanah Kota Surabaya Menggunakan Global Positioning System. Surabaya: Seminar nasional Pascasarjana XI-ITS.
Pasqua, Claudio. (2011). Application of Remote Sensing Techniques for Geothermal Exploration in The Blawan Ijen Prospect (East Java).
Bandung: Proceedings The 12th
Sadarviana, Vera., Abidin, Hasanudin, Z. Kahar, Joenil., Santoso, Djoko.
(2006). Pemanfaatan Metode
Geodtik Untuk Identifikasi Karakteristik dan Tipe Longsor (Studi Kasus: Zona Longsor di
Ciloto-Puncak, Jawa Barat).
Surabaya: Pertemuan Ilmiah III Teknik Geomatika.
Annual Indonesian Geothermal Association Meeting & Conference.
Sudarman, Sayogi. (2010). Introduksi
Teknologi Eksplorasi Panas Bumi. Jakarta: Pre-Congress Short Course
Teknologi Pemetaan dan GIS H-52 World Geothermal Congress
Indonesia.
Saptadji, Nenny. (2010). Introduction
To Geothermal Energy. Jakarta :
Pre-Congress Short Course World Geothermal Congress Indonesia.