• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA KEGIATAN AGROINDUSTRI DALAM MENUNJANG BUDIDAYA TERNAK KAMBING DOMBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA KEGIATAN AGROINDUSTRI DALAM MENUNJANG BUDIDAYA TERNAK KAMBING DOMBA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA KEGIATAN AGROINDUSTRI DALAM

MENUNJANG BUDIDAYA TERNAK KAMBING DOMBA

BAMBANG WINARSO

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161

ABSTRAK

Perkembangan kegiatan agro industri ternak kambing/domba (kado) merupakan gambaran ideal yang memperlihatkan bagaimana ternak kado dapat menggerakan berbagai aktivitas perekonomian seperti industri makanan jadi, industri kulit, industri pembuatan tepung tulang, tepung darah bahkan sampai ke industri pariwisata disamping industri ternak hidup. Realita menunjukkan bahwa kasus di Indonesia saat ini kegiatan tersebut masih terbatas pada tiga kegiatan industri yakni industri kulit, industri susu dan pariwisata dan aktivitasnyapun masih banyak mendapat hambatan. Kajian ini mencoba untuk menampilkan potret sampai sejauh mana keragaan pengembangan kegiatan agroindustri hasil ternak kado berdasarkan hasil riview beberapa literatur dan pengamatan langsung dilapangan yang dilakukan pada tahun 2006. Realitas menunjukkan bahwa masih jauh dari harapan untuk menjadikan kegiatan agroindustri ternak ini dapat dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi budidaya ternak kado. Kendala dan hambatan masih mendominasi kegiatan ini, namun demikian bukan berarti tidak ada harapan. Upaya kedepan pemantapan program pengembangan ternak ini perlu dipertajam kalau memang kegiatan agroindustri ternak kado mau berkembang.

Kata kunci: Inseminasi buatan (IB), anak domba, bobot lahir, bobot sapih

PENDAHULUAN

Ternak kado sebenarnya memiliki gambaran yang sangat ideal yang dapat memperlihatkan bagaimana dapat menggerakan berbagai aktivitas perekonomian. Seperti industri yang dapat diciptakan untuk menggerakkan industri makanan jadi, industri kulit, industri pembuatan tepung tulang, industri tepung darah bahkan industri pariwisata dan industri-industri lainnya. Khusus untuk Indonesia saat ini penggunaan bahan baku asal kado baru terbatas pada tiga kegiatan industri yakni industri kulit, industri susu dan pariwisata. Pengembangan industri kulit ini pun banyak mendapat hambatan, antara lain penyediaan bahan baku yang semakin sulit dan semakin mahal. Pada sisi industri pariwisata hanya berkembang di wilayah Priangan Jabar. Sedangkan industri susu kambing perah masih terbatas di wilayah-wilayah tertentu dan cenderung merupakan kiomoditi yang masih langka.

Pemanfaatan bulu domba maupun darah kado masih jauh dari harapan, sementara pada saat ini, bulu wool asal domba sebagian besar masing terbuang percuma. Kalaupun ada masih

terbatas produk kulit dan susu kambing PE yang sudah dapat diproses menjadi produk lanjutan seperti industri penyamakan kulit dan joghurt atau kaviar yang berasal dari susu kambing. Sementara daging ternak kado yang sebenarnya merupakan produk dominan tampaknya masih terbatas untuk memenuhi permintaan konsumsi untuk lauk pauk segar seperti sate, gule maupun tongseng. Belum dikemas dalam bentuk lain secara massal dan dalam industri skala besar seperti diproses kembali menjadi abon, kornet, dendeng, atau nugget atau bentuk lain yang lebih komersial. Kalaupun ada jumlahnya relative kecil dan kontinuitasnya tidak menentu.

Kegiatan agroindustri perlu dikembangkan agar tercipta keterkaitan yang erat antara sub sektor peternakan dan sektor industri. Sasaran pengembangan agroindustri mencakup lima hal pokok yaitu (1) menciptakan nilai tambah, (2) Menciptakan lapangan kerja. (3) Meningkatkan penerimaan devisa. (4) Memperbaiki pembagian pendapatan dan (5) menarik pembangunan sektor pertanian (SIMATUPANG P. dan PURWOTO A, 1990). Produk yang dihasilkan dari ternak kado disamping berupa ternak hidup, maka hasil utama lainnya adalah

(2)

daging, susu, tulang, kulit, darah serta “By

Product” lainnya. Yang mana produk-produk

tersebut bisa merupakan produk akhir yang siap dikonsumsi, tetapi juga dapat berfungsi sebagai produk antara yang merupakan bahan baku untuk produksi turunan selanjutnya.

Pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa belum banyak produk-produk antara tersebut yang dapat termanfaatkan kembali. Kasus seperti pemanfaatan limbah seperti darah, bulu, tulang dan limbah-limbah hasil ternak lainnya sebagian besar merupakan barang yang habis dibuang (“waste”) sama sekali tidak termanfaatkan. Permasalahannya adalah sampai sejauh mana limbah tersebut telah diproses sehingga menjadi produk yantg lebih bermanfaat, dan sampai sejauh mana hasil ternak kado terutama daging, kulit dan susu dapat diproses lebih jauh menjadi komoditas lain yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Tulisan ini mencoba menelaah tentang kinerja kegiatan agroindustri dari ternak maupun hasil ternak kado.

HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas pemotongan ternak kado

Secara nasional perkembangan pemotongan kado selama periode limabelas tahun terkhir (1992 – 2006) menunjukkan trend yang terus meningkat dimana laju pertumbuhannya adalah 5,89 persen rata-rata/ tahun dengan jumlah pemotongan rata-rata 3,64 juta ekor pertahun. Daging yang dihasilkan adalah 102,36 ribu ton rata-rata/thn. Suatu angka yang tidak kecil tentunya. Apabila dikaitkan dengan jumlah populasi ternak kado yang ada maka besarnya pemotongan berkisar antara 10,34% sampai dengan 32,35% terhadap populasi yang ada. Selama periode 1992 – 2006 tersebut besarnya pemotongan ternak kado rata-rata 18,01% terhadap populasi ternak kado yang ada. Keragaan angka pemotongan tersebut disamping memberikan informasi tentang besarnya produksi hasil ternak disalah satu sisi, sementara disisi lain dapat memberikan informasi besarnya peluang untuk mengembangkan kegiatan agro industri dari hasil ternak kado tersebut lebih lanjut. Selama periode tersebut ternak yang dipotong didominasi oleh ternak kambing yaitu rata-rata

2,32 juta ekor kambing dipotong pertahun dengan laju pertumbuhan rata 4,96 % rata-rata pertahun. Sementara ternak domba yang dipotong rata-rata sekitar 1,32 juta ekor/tahun dengan laju pertumbuhan 7,53 % rata-rata/thn (Tabel 1).

Kegiatan pemotongan ternak kado sangat terpencar dan masih dalam skala produksi terbatas antara 5–10 ekor/hari/RPH. Disamping itu banyak pemotongan ternak yang dilakukan secara ”liar” dilakukan diluar RPH. Hasil studi yang dilakukan oleh YUSDJA et al. (2006) menunjukkan bahwa pemotongan kambing/domba di wilayah Jawa Barat lebih dari 90 % dilakukan secara liar (Tabel 2 dan tabel 3). Hal yang demikian tentu menyebabkan potensi produksi sampingan sebagian besar tidak dapat diorganisir dengan baik dan cenderung terbuang. Dari jumlah sebanyak 964 ribu ternak dari berbagai jenis ternak (sapi, kerbau, kuda, kado dan babi) yang dipotong 69.4 persen dipotong secara liar dalam arti tidak tidak terdaftar. Dengan demikian, produksi kulit kado sebanyak hampir 600 ribu lembar per tahun tidak diketahui jelas kemana distribusinya. Kondisi yang demikian menunjukan bahwa RPH tidak mempunyai fungsi dalam distribusi kulit.

Penyebaran pemeliharan ternak kado dengan skala usaha yang relatif kecil dan menyebar terpencar-pencar, juga merupakan salah satu penyebab kegiatan pemotongan terpencar-pencar sehingga operasi pengumpulan kulit kado sulit dilakukan. Kondisi yang demikian menyebabkan industri penyamakan kulit kado hanya berkembang pada sentra produksi bahan baku yang dianggap aman. Disamping itu rendahnya insentif yang diterima peternak untuk meningkatkan kualitas kulit yang dihasilkan tidak jelas aturannya. Karena kulit kado tidak melekat dalam penentuan harga saat terjadi transaksi jual beli. Kasus jual beli ternak kado sama sekali tidak ada penilaian tentang kondisi kulit daripada ternak yang diperjual belikan, yang dinilai hanya penampilan fisik ternak secara keseluruhan. Hal yang demikian menjadikan perdagangan kulit pada kenyataan-nya hakenyataan-nya cenderung menguntungkan para pedagang ternak, khusunya pedagang yang merangkap pejagal.

Bagi pedagang ysng melakukan pemotongan sendiri maka kulit ternak mereka

(3)

jual langsung kepada perusahaan penyamakan kulit yang ada disekitar wilayah sendiri. Jika perusahaan penyamakan berada jauh dari tempat pemotongan maka kulit kado dijual kepada para pedagang yang mempunyai hubungan perusahaan penyamakan. Kasus di wilayah Kabupaten Garut memiliki 5 RPH, dan RPH yang melakukan pemotongan Kado hanya 2 dua buah dengan jumlah pemotongan rata-rata 3 – 7 ekor kado/hari. Sebanyak 80 persen pemotongan dilakukan di luar RPH.

Kasus di RPH Bogor menunjukkan bahwa pemotongan Kambing dan Domba sudah tidak dilakukan di RPH, bahkan hampir diseluruh Indonesia tidak ada lagi pemotongan khusus kambing dan Domba. Pemotongan Kambing dan Domba masih ada tahun 1989–1990 (10-20 ekor per hari). Tetapi karena tempat RPH yang terbatas dan lebih diprioritaskan untuk tempat ternak sapi yang siap untuk dipotong. Pemotongan Kado kebanyakan dilakukan di luar RPH. Dengan kondisi yang demikian maka pengawasan kesehatan secara khusus menjadi kurang terperhatikan. Upaya untuk menghadapi pemotongan diluar RPH tersebut tampaknya perlu adanya Tempat Pemotongan Hewan di wilayah/kecamatan yang sekiranya merupakan sentra pemotongan ternak.

Kegiatan agro industri ternak kado

Kegiatan pasca panen pada ternak kambing/domba (kado) adalah saat ternak siap untuk dipotong karena telah mencapai berat badan yang diinginkan. Peternak kambing/domba tidak umum melaksanakan kegiatan pasca panen. Peternak hanya melakukan pemeliharaan sampai saat ternak dijual kepada pedagang. Kegiatan pasca panen banyak dilakukan oleh para pedagang merangkap pejagal, dan merekalah yang melakukan pemotongan untuk diambil daging dan kulitnya. Sebenarnya sejak dari pola pemeliharaan ternak maka proses agroindustri sudah harus dimulai.

Berdasarkan pendekatan komoditas maka banyak produk turunan yang dapat dihasilkan dari hasil ternak kado, seperti daging, tulang, kulit, darah, bulu dan hasil ikutan lainnya yang bisa diproses menjadi barang jadi atau barang setengan jadi yang lebih berdaya guna. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa hasil utama Kado

yang utama adalah masih terbatas pada daging dan kulit semata. Daging secara umum masih dikonsumsi dalam bentuk segar dalam upaya memenuhi kebutuhan lauk-pauk. Sementara proses industri pengolahan lanjutan dari daging Kado hampir tidak/belum ditemui untuk diolah lebih jauh, hasil ikutan lainnya masih terbatas pada industri kulit dan susu.

Kurangnya jaminan kontinuitas pasokan bahan baku merupakan hambatan tersendiri yang belum bisa diatasi saat ini. Berbeda dengan produk daging ayam Broiler, atau daging sapi yang sudah dapat diproduksi secara masaal dalam jumlah skala besar, maka kegiatan agroindustri komoditas tersebut sudah lebih mantab dimana daging segar dari ternak ayam, sapi, kerbau dan babi merupakan bahan baku industri makanan jadi lainnya seperti industri kornet, industri nugget, industri abon, bakso atau industri makanan jadi lainnya. Seperti telah dijelaskan bahwa untuk Indonesia saat ini penggunaan bahan baku asal kado baru terbatas pada tiga kegiatan industri yakni industri kulit, industri susu dan pariwisata. Perkembangan kegiatan industri ketiga komoditi tersebut juga masih tergolong lamban. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa kinerja kegiatan industri ketiga komoditas tersebut adalah sebagai berikut:

Industri ternak hidup

Perkembangan kegiatan industri ternak kado tidak bisa terlepas dari ketersediaan bahan baku utama baik ternak hidup maupun hasil ternak sebagai faktor produksi yang dibutuhkan. Ketersediaan ternak hidup sebagai faktor input industri hulu merupakan hal yang sangat menentukan untuk kegiatan industri selanjutnya. Melihat kenyataan dilapangan maka hal ini tidak bisa dilepaskan dari pola-pola pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak. Data menunjukkan bahwa dominasi peternak skala kecil masih sangat mewarnai usaha budidaya peternakan kado di Indonesia. Ternak kado merupakan ternak yang sangat menarik untuk dikembangkan baik secara teknis maupun ekonomi. Ternak ini berukuran kecil dengan berat badn 30 – 70 kg sekitar sepersepuluh berat badan sapi, pakannya juga tidak banyak berbeda dengan sapi. Ukuran yang lebih kecil ini menjadi daya tarik bagi

(4)

petani di pedesaan untuk memelihara kambing dan domba sebagai usaha samping yang tidak memberi beban berat seperti memelihara sapi.

Penyebaran ternak pada berbagai wilayah ini memberikan alasan yang kuat bahwa ternak kambing dan domba merupakan usaha rakyat yang sangat penting untuk dilestarikan dan dikembangkan. Ternak kambing dan domba tidak saja berguna sebagai penghasil daging tetapi juga sebagai penghasil bulu wool dan kulit ternak. Kedua tujuan produksi ini tidak begitu berkembang di Indonesia. Sebaliknya di India, negeri yang juga berada di Asia, ternyata telah membangun revolusi putih yang sangat mengagumkan. Revolusi putih telah memberi dampak bagi pertumbuhan aktivitas perekonomian di pedesaan antara pengembangan usaha-usaha mesin pemintalan bulu wool yang tinggi (WILIAMSON dan PAYNE, 1993; dalam YUSDJAet at., 2006).

Dilihat dari struktur penguasaan ternak menunjukkan bahwa sebagian besar peternak masih tergolong peternak skala kecil masih dibawah 20 ekor. Komposisi penguasaan ternak 45,0% responden memiliki sendiri dengan skala penguasaan berkisar antara 6 – 15 ekor/KK. Sementara pola campuran (milik sendiri + gaduh) sebesar 22,5% dengan kisaran penguasaan ternak antara 6 – 15 ekor dan sisanya merupakan peternak penggaduh. Masih sangat terbatas sekali peternak yang mampu mengusahakan budidaya kado dalam skala menengah keatas > 200 ekor (YUSDJA et al., 2006). Beberapa kendala yang masih di hadapi oleh para peternak adalah:

Pertama: kendala modal usaha, bahwa dalam penguasaan ternak yang semakin besar maka tidak sedikit modal yang dibutuhkan. Baik modal untuk pengadaan bibit, untuk biaya pemeliharaan ternak dan kandang serta biaya peralatan. Lahan merupakan faktor utama dalam mendukung kelancaran usaha, budidaya ternak kado yang mengarah pada skala menengah dan skala besar tidak lagi mengandalkan pakan dari alam semata, melainkan harus dimiliki lahan rumput/hijauan pakan ternak sendiri agar kontinuitas dan kwalitas pakan bisa tetap terjaga.

Kedua: Kendala ketersediaan tenaga kerja, budidaya ternak kado membutuhkan ketersediaan tenaga kerja yang cukup, mengingat bahwa pengadaan pakan hijauan ternak merupakan kegiatan yang paling banyak

membutuhkan porsi waktu curahan tenaga kerja. Sementara ketersediaan tenaga kerja keluarga disamping masih merupakan andalan umumnya telah dialokasikan pada banyak kegiatan produktif lainnya. Rendahnya penguasaan ternak bagi sebagian responden disebabkan oleh pola pemeliharaan yang masih tradisional yang cenderung mengandalkan ketersediaan tenaga keluarga. Sistem tradisional menjadikan curahan jam kerja tenaga keluarga cukup tinggi. Tingginya curahan kerja keluarga menyebabkan kegiatan beternak kambing cenderung dijadikan kegiatan sambilan, terutama bagi responden yang meiliki aktivitas ekonomi lain diluar usaha peternakan. Mahalnya upah tenaga kerja harian di pedesaan yang menyebabkan peternak tidak mampu menyewa tenaga buruh harian.

Ketiga: Unsur manajemen terutama dalam hal perencanaan dan kontrol dalam segala hal yang berkaitan dengan masalah ternak terutama pengawasan terhadap kesehatan ternak, pemberian pakan yang senantiasa memenuhi dosis, tepat komposisi dan tepat waktu serta usaha yang bersifat profit oriented merupakan hal yang tidak/belum diperhitungkan.

Melihat kondisi yang demikian maka perkembangan budidaya ternak kambing yang mengarah pada skala komersial masih jauh adari jangkauan peternak. Tidak/belum adanya dukungan industri pakan yang dapat diandalkan merupakan kendala utama bagi kegiatan ini. Selama peternak masih mengandalakan ketersediaan pakan pada alam dan budidaya yang lebih mengandalkan curahan tenaga kerja keluarga, serta sulitnya peternak untuk akses ke lembaga permodalan, maka industri pembibitan atau penggemukan ternak kambing hanya sebatas usaha konvensional dalam sakala kecil, dan sulit untuk menghidupkan kegiatan industri kado selanjutnya. Idealnya seorang peternak kado setidaknya mampu memelihara 500 ekor/KK dengan pola intensif. Kasus di Propinsi Lampung menunjukkan bahwa dengan adanya dukungan industri pakan dari GGLC maka seorang peternak mampu memelihara ternak sapi sampai 80 ekor/KK PU. HADI et al., 2002). Adanya dukungan kerjasama dengan fihak ketiga yang memiliki akses ke pasar, akses ke modal serta akses ke faktor produksi

(5)

lainnya, maka tidaklah mustahil apabila seorang peternak kado mampu memelihara 500 – 600 ekor/peternak.

Industri daging ternak

Berdasarkan data tahunan industri hasil ternak untuk kasus Jawa Timur yang merupakan salah satu sentra produksi ternak perkembangan harga daging selama empat tahun terakhir (2001–2004) menunjukkan laju pertumbuhan yang bervariasi. Perkembangan harga daging sapi, daging kambing dan daging ayam buras cukup stabil bahkan cenderung terus meningkat dengan peningkatan harga rata-rata pertahun untuk daging sapi adalah 9,78%, daging kambing sebesar 7,66% rata-rata/tahun, sedangkan daging ayam buras meningkat rata-rata 9,35% rata-rata/tahun (Dinas Peternakan Prop. Jawa Timur, 2005). Kondisi yang demikian mencerminkan bahwa ketiga jenis komoditas daging tersebut memiliki kekuatan pasar yang baik, setidaknya dilihat dari laju pertumbuhan harga daging yang terus meningkat. Sementara laju pertumbuhan harga daging babi dan daging ayam broiler cenderung sebaliknya, yaitu mengalami laju pertumbuhan negatip.

Dilihat dari kebutuhan konsumen daging kado maka tidak semua konsumen daging mau mengkonsumsi daging tersebut. Lain halnya dengan daging sapi atau daging ayam yang hampir semua konsumen daging mau mengkonsumsinya. Kurangnya minat konsumen akan daging kado disebabkan karena daging ini memiliki aroma yang khas yang cukup kuat yang tidak semua konsumen cocok dengan aroma tersebut. Selama periode tujuh tahun terakhir (1997 – 2004) menunjukkan bahwa daging sapi, daging ayam, daging babi dan daging kerbau telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri makanan jadi. Setidaknya selama tahun 2004 produk bakso asal daging sapi tidak kurang dari 1,46 ribu ton, Sosis asal daging sapi 4,05 ribu ton, dendeng sapi 0,38 ribu ton. Sementara produk industri daging ayam pada tahun (2003) berupa sosis tidak kurang dari 5,50 ribu ton, burger sekitar 0,18 ribu ton, sedangkan burger dari daging kerbau pada tahun 2004 sebesar 0,29 ribu ton. Produk makanan jadi asal daging kado baru dimulai pada tahun 2003 dan masih

terbatas pada kornet sebanyak 19 ton pada thn 2003 (Tabel 3).

Kecilnya peran daging kado dalam menyumbang hasil industri daging ternak disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah (1) terbatasnya pasokan volume daging kado, sehingga tidak bisa mencukupi untuk dijadikan bahan baku industri lanjutan. (2) Kontinuitas yang belum bisa diandalkan, mengingat ketersediaan daging kado dari hasil pemotongan yang terpencar-pencar dan sulit dikoordinir, (3) kuatnya pasar konsumen akan permintaan daging kado segar, sehingga ketersediaan pasokan daging segar untuk bahan baku industri lanjutan tidak/belum tersedia pasokannya.

Susu kambing

Kambing jenis PE (Peranakan Etawah) merupakan ternak kambing penghasil susu. Pemeliharaan ternak kambing PE disamping ditujukan untuk menghasilkan ternak hidup atau daging, juga diarahkan untuk menghasilkan susu, baik untuk perbaikan gizi keluarga maupun dalam upaya menambah pendapatan peternak. Selama ini keberadaan susu kambing kurang begitu dikenal oleh masyarakat. Susu kambing sebenarnya merupakan minuman yang baik untuk dikonsumsi sebagai pelengkap gizi maupun kebutuhan lainnya seperti minuman penggati obat. Kambing Etawah memiliki lama laktasi 7 – 10 bulan, dengan kemampuan untuk menghasilkan susu berkisar antara 1 liter – 1,5 liter/hari/ekor. Dengan komposisi (%) terdiri atas air = 83% – 87%, proitein antara 3,3% – 4,9%, mengandung lemak susu berkisar antara 4 – 7 Ca = 0,129% dan P = 0,106% (ANONIM, 2006).

Karena lemak susu kambing bersifat homogin dan memiliki partikel lebih kecil dibandingkan dengan molekul lemak susu sapi, maka lemak susu kambing lebih mudah dicerna dan tidak menyebabkan diare serta tidak menyebabkan “Lactose Intolerane”. Atau kepekaan lambung terhadap laktosa sehingga menyebabkan diare bagi yang tidak biasa mengkonsumsi susu. Dalam 100 gram susu kambing mengandung beberapa jenis nutrisi (SUSANTO et al., 2005, Tabel 3). Sementara SUNARLIM dan SETIANTO (2001) mengemukakan bahwa apabila susu kambing

(6)

diproses lebih lanjut menjadi produk Yoghurt maka mutu Yoghurt asal susu kambing labih baik dibandingkan dengan Yoghurt yang berasal dari susu sapi di tinjau dari keasamannya, kandungan protein dan padatan. Melihat kegunaannya maka komoditas ini seharusnya bisa dikembangkan lebih jauh, namun kenyataan dilapangan masih banyak kendala.

Budidaya kambing dengan tujuan utama untuk menghasilkan susu sebagai produk utama, belum banyak dikembangkan oleh peternak. Hal ini disebabkan bahwa untuk menghasilkan produk susu, kambing yang dipelihara adalah jenis PE (Peranakan Etawa). Disamping harga ternak jenis PE mahal, maka susu merupakan produk yang masih dirasa asing bagi sebagian besar peternak. Keragaan dilapangan menunjukkan bahwa pola ini umumnya baru dilakukan oleh pengusaha ternak skala besar yang memang menspesialisasikan usaha pada produksi susu kambing sebagai produk utamanya.

Ditingkat peternak tradisional, minat untuk menghasilkan susu masih rendah, karena peternak lebih mengutamakan hasil ternak bibit sebagai produk utamanya. Kendala lain adalah kurangnya pemberian pakan yang bermutu kepada ternak sehingga menyebabkan produk susu yang dihasilkan masih rendah, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap hasil yang diterima peternak. Disamping itu peternak belum siap dengan masalah penangan produk susu. Susu merupakan produk yang menuntut penangan secara higienis serta cepat agar susu tidak rusak. Disamping itu penanganan terhadap ternak yang akan diambil susunya dan tempat untuk melakukan pemerasan serta pengadaan sarana prasarana penting lainnya seperti, caning penampung susu, Cold storage dan alat-bantu lainnya yang kesemuanya perlu steril. Pengalaman menunjukkan tidak sedikit produk susu kambing yang ditolak oleh agen pengumpul karena penanganan produk susu yang kurang baik. Permasalahannya bahwa ditingkat peternak informasi tersebut belum sepenuhnya dipahami, dan hal tersebut masih merupakan kendala.

Permasalahan lain bahwa kebiasaan minum susu kambing di tingkat masyarakat belum begitu membudaya, disamping harganya masih mahal, ketersediaan terbatas dan masih sulit ditemukan, disamping itu kontinuitas

pasokannya masih belum bisa diandalkan. Banyak masyarakat yang belum memahami manfaat susu kambing yang sebenarnya sangat baik untuk kesehatan, informasi bagi masyarakat tentang manfaat susu kambing masih perlu lebih banyak diinformasikan dan disosialisasikan.

Industri kulit

Salah satu produk hasil ternak kado yang sudah cukup berkembang adalah industri kulit, baik industri penyamakan kulit maupun industri yang menggunakan bahan baku kulit. Kulit kado yang sudah disamak merupakan bahan baku garmen, antara lain jaket, sarung tangan, celana, rok. Barang-barang ini tidak dapat dihasilkan dari kulit sapi karena kulit sapi memiliki tekstur tebal dan keras dan lebih banyak digunakan untuk membuat sepatu, tas, sabuk (ikat pinggang), dompet. Kalaupun dibuat jaket, sarung tangan umumnya harga lebih murah. Produk lain kulit kado sebenarnya masih bermacam-macam seperti untuk pembuatan bola, jok, karpet dan sebagainya, akan tetapi Indonesia belum memiliki teknologinya. Teknologi penyamakan kulit secara umum sudah baik, kasus di wilayah Garut menunjukkan bahwa di wilayah ini 90 persen perusahaan penyamakan kulit sudah menggunakan alat-alat/mesin.

Hasil industri kulit kado 50 persen untuk memenuhi permintaan pasar lokal sementara 50 persen lainnya untuk ekspor. Tujuan utama pemasaran kulit kado sebagian besar (90 %) untuk memenuhi industri pakaian jadi asal kulit. Permasalahannya adalah kwalitas kulit Kado kebanyakan tergolong kelas 3 dan kelas 4, dengan ukuran luas antara 80 cm x 50 cm dan 70 cm x 45 cm. Hal ini disebabkan karena kado yang dipotong umumnya masih muda sesuai dengan permintaan pasar (RACHMAT dan ZULQOYAH, 2001). Data dari Departemen Perdagangan Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa bahwa sumber bahan baku kulit domba sebagian besar dipasok dari Garut, Majalengka, Tasikmalaya, Bandung, Bogor. Sementara Kulit Kambing dan domba umumnya dipasok dari Jakarta, Bandung, Cirebon, sedangkan kulit sapi kebanyakan dipasok dari Jakarta, Bandung, Bogor, Lampung, Medan, Padang, Surabaya,

(7)

Semarang, Kupang, Bali dan kulit kerbau dari Bandung, Jakarta, Sulawesi.

Namun demikian peran pasokan kulit kado terhadap sumbangan industri berbahan baku kulit ternak masih sangat kecil. Hal ini disamping disebabkan oleh penanganan pemotongan ternak yang belum terkoordinir dengan baik seperti kulit ternak sapi yang terkoordinir lewat peran RPH. Data menunjukkan bahwa selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2001 – 2005) berdasarkan besaran volume pasokannya terhadap industri penggunaan kulit ternak di Indonesia, maka sumbangan kulit kado masih sangat terbatas (Tabel 6). Uji kulit domba dari negara Rusia, Ukraina, Turki, Amerika, Indonesia yang diwakili oleh kulit domba yang berasal dari Garut dan hasilnya menunjukkan bahwa yang terbaik adalah dari Indonesia. Sementara Domba dari Australia dan negara peserta akan menyebabkan kulit menjadi coklat kehitaman lainnya termasuk kulit yang kurang disukai karena banyak mengandung lemak, yang menyebabkan kulit menjadi coklat.

Keadaan yang demikian jelas merupakan peluang besar bagi domba Indonesia sebagai penghasil utama kulit berkwalitas. Kwalitas kulit akan menentukan harga, dimana kwalitas tersebut dipengaruhi oleh kwalitas bahan baku, chemical yang digunakan serta keahlian dalam penanganan. Data tahun 2003 menunjukkan bahwa di wilayah Garut terdapat 330 unit penyamak kulit, dari jumlah tersebut saat ini yang aktif tinggal 30 persen. Penyebab utama adalah karena kesulitan bahan baku kulit disamping juga karena harga kulit tidak sesuai lagi dengan harga produk jadi. Permasalahan lain dari kegiatan industri kulit adalah belum adanya standard mutu kulit yang jelas, kontinuitas pengadaan kulit belum bisa diandalkan, sementara impor kulit cukup menghawatirkan karena dikhawatirkan mengundang penyakit (YUSDJet al., 2006).

Industri pariwisata

Selain untuk menghasilkan daging, maka budidaya ternak domba dipelihara untuk tujuan kesenangan atau hiburan yang dapat dijadikan objek tontonan bagi masyarakat. Di wilayah Propinsi Jawa Barat khususnya daerah Priangan (Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis) terdapat acara adu domba yang

diselenggarakan dengan istilah “seni laga/ ketangkasan”. Terdapat 3 type domba di Garut yakni (1) tipe bibit; (2) tipe daging dan (3) tipe ketangkasan. Tipe-tipe tersebut merupakan hasil seleksi yang dilakukan sejak awal bibit doma masih kecil. Jika anaknya lahir jantan (2 ekor) dalam kondisi “bagus” akan dibesarkan menjadi domba ketangkasan, sementara jika yang kurang bagus dijual untuk dipotong, dan apabila betina akan dibesarkan menjadi bibit induk. Dengan demikian secara tidak langsung peternak telah melakukan peningkatan mutu ternak berdasarkan klasifikasi.

Seni laga bertujuan untuk melestarikan plasma nutfah domba Garut, disamping meningkatkan kualitas juga meningkatkan pendapatan. Permasalahan dalam pengembangan peternakan domba ini adalah ketersediaan pakan hijauan terutama dalam musim kemarau. Pada sisi industri pariwisatra kegiatan ini hanya berkembang di wilayah Propinsi Jawa Barat itupun terbatas di wilayah Priangan seperti Garut, Ciamis, Tasikmalaya dan Garut.

(8)

Gambar 1.Alur sistem produksi komoditas ternak kado sebagai sumberdaya penyedia bahan baku industri PRODUK PANGAN – Daging – Jeroan – Susu PRODUK SEKUNDER: – Bulu – Kulit – Tulang – Darah – Kompos PRODUK KHSUS Sebagai tontonan BAHAN BAKU INDUSTRI: – Makanan – Tepung tulang – Tepung darah – Kerajinan – Kosmetika – Obat-obatan – Pupuk tanaman – Energi Kebutuhan Konsumen: – Domestik – Ekspor PRODUK –Makanan –Jadi –Pkn trnk –kerajinan –kosmetik –obat –Kompos –Listrik –Gas SUMBERDAYA Bahan baku: – Pakan – Bibit Kado – Lahan – Manajemen – SDM – lainnya Proses Produksi Barang jadi Out put row material Input Industri Lingkungan eksternal:

Kebijakan pemerintah – kondisi ekonomi nasional/global – hukum – Keamanan investasi – persaingan – sosial budaya – politik – teknologi

(9)

KESIMPULAN

Industri kado merupakan gambaran ideal yang memperlihatkan bagaimana ternak kado dapat menggerakan berbagai aktivitas perekonomian seperti industri makanan jadi, industri kulit, industri pembuatan tepung tulang, industri pariwisata dan industri lainnya. Penggunaan bahan baku asal kado baru terbatas pada tiga kegiatan industri utama yakni industri kulit, industri susu dan pariwisata. Gambaran ini hanya memperkuat bahwa agroindustri berkembang relatif lambat sebagai akibat lemah dukungan dari sektor produksi. Upaya unntuk menggerakkan kegiatan agroindustri ternak kado yang ideal tampaknya masih jauh dari harapan. Pengembangan usaha diversifikasi vertikal ke arah industri adalah pemanfaatan pemotongan hasil ternak yang tidak dikonsumsi yang digunakan sebagai bahan baku kerajinan rumah tangga yang jika mungkin dikembangkan dalam wilayah itu. Pengembangan agroindustri kado seharusnya dimulai dari awal membangun industri hulu seperti industri pembibitan dan industri pakan, yang dalam kegiatan budidaya ternak kado merupakan kendala utama. Terbangunnya industri pakan dan industri bibit yang mantab akan membawa dampak terhadap aktivitas industri selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS, 2006. Inovasi Teknologi Unggulan Peternakan dan Veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

BADAN PUSAT STATISTIK. 2005. Statistik Industri Besar dan Menengah; 2001 s/d 2005 Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan: 2005. Direktorat Jenderal Peternakan; Statistik Peternakan.

DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA TIMUR. 2005. Laporan Tahunan.

MOORE and HENDRICK. 1977. Production/ Operations management; Seventh Edition. RICHARD D. IRWIN, Inc. Homewood, Illinois. PU.

HADI, ILHAM N., THAHAR A., WINARSO B., VINCENT D. and QuIRke D. 2002. Improving Indonesia’s Beef Industry; ACIAR Monograph No. 95, vi t 128p.

RACMAT M. dan ZULQOYAH. 2005. Pengulitan Kulit Bulu Domba dan Kambing di Pemotongan Ternak Tradisional; Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian; Pusat Penelitan dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

SIMATUPANG P. dan PURWOTO A. 1990. Pengembangan Agro Industri Sebagai Penggerak Pembangunan Desa; Agro Industri Faktor Penunjang Pembangunan Pertanian Di Indonesia; Pusat Penelitian Agro Ekonomi; Badan Litbang Pertanian.

SUNARLIM R dan SETIANTO H. 2001. Penggunaan Berbagai Tingkat kadar Lemak Susu Kambing dan Susu Sapi Terhadap Mutu dan Cita rasa Yoghurt; Prosiding Seminar Nasional teknologi Peternakan dan Veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

YUSDJA Y., R. SAYUTI, B. WINARSO dan I. SODIKIN. 2006. Kebijakan Peningkatan Manfaat dan Nilai Tambah Sumberdaya Ternak; Pusat Analisis Social Ekonomi dan Kebijakan Pertanian; Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

(10)

Tabel 1. Perkembangan pemotongan ternak kado dan produksi daging kado selama tahun 1992 – 2006

Pemotongan Produksi daging

(%) (%) Kado (%) (%) Kado No Tahun

Kambing Domba (ekor) Kambing Domba (000 ton)

1 1992 73.99 26.01 1858613 69.49 30.51 99 2 1993 68.96 31.04 2064516 63.97 36.03 111.3 3 1994 69.30 30.70 2350359 57.27 42.73 99.7 4 1995 70.28 29.72 2544973 59.28 40.72 94.3 5 1996 67.42 32.58 2738119 60.45 39.55 98.6 6 1997 72.52 27.48 2678689 61.10 38.90 107.2 7 1998 68.37 31.63 3728422 57.23 42.77 78.8 8 1999 66.59 33.41 3586769 58.21 41.79 77.3 9 2000 56.01 43.99 4258393 57.34 42.66 78.3 10 2001 51.40 48.60 6425817 52.09 47.91 93.5 11 2002 61.77 38.23 5188087 45.86 54.14 126.9 12 2003 60.97 39.03 5203114 44.18 55.82 144.4 13 2004 62.50 37.50 4615694 46.39 53.61 123.1 14 2005 66.62 33.38 3679861 51.69 48.31 97.9 15 2006 66.08 33.92 3731699 50.62 49.38 105.1

Sumber: DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, Statistik Peternakan Tahun 1992 – 2006

Catatan: Trend pemotongan rata-rata/Tahun Kambing Domba Kado Rata-rata/tahun 1992 – 1996: 8.1 13.39 9.69 2311316 1997 – 2001 : 10.17 33.7 19.4 3643541 2002 – 2006 : –7.75 –13.58 –9.89 4135618 1992 – 2006 : 4.96 7.53 5.89 4483691

Tabel 2. Pemotongan ternak di RPH di Jawa Barat, 2005

Ternak RPH Pemerintah RPH Swasta Potong Liar Total % Pot. Liar % Swasta

Sapi Lokal 91,304 33,508 58,604 183,416 32.0 18.3 Sapi Import 46,587 38,461 14,159 99,207 14.3 38.8 Kerbau 8,377 1,291 2,326 11,994 19.4 10.8 Kuda – – 449 449 100.0 0.0 Kambing 5,130 2,553 93,474 101,157 92.4 2.5 Domba 30,035 12,354 500,304 542,693 92.2 2.3 Babi 24,587 795 199 25,581 0.8 3.1 206,020 88,962 669,515 964,497 69.4 9.2

(11)

Tabel 3. Pemotongan ternak kambing dan domba di Jawa Barat tahun 2005

Keterangan RPH Pemerintah RPH Swasta Potong Liar Total % Potong Liar % Swasta

Domba: Bogor – – 7545 7545 100 0 Bandung – 38461 328101 366562 89.5 10.5 Ciamis – – 10218 10218 100 0 Sukabumi 1000 414 – 1414 0 29.3 Garut 560 – 153 713 21.5 0 Majalengka – – 2015 2015 100 0 Kambing: Bogor – – 19209 19209 100 0 Bandung 3457 999 328101 332557 98.7 0.3 Ciamis – – 21390 10218 209.3 0 Sukabumi 2332 3107 36 5475 0.7 56.7 Garut 3392 –– 4420 7812 56.6 0 Majalengka – – 42045 42045 100 0

Sumber: DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA BARAT (2006)

Tabel 4. Kandungan nutrisi susu kambing per 100 gram dalam berbagai kandungan kimia, lemak, mineral dan vitamin

No Komposisi kimia Kandungan

bahan Komposisi kimia

Kandungan

bahan Komposisi kimia

Kandungan bahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Air Protein Total lemak Kaebohidrat Kalori/energi Serat Ampas Lemak: –Saturated –Mono strted –Polyun strted –Kolesterol 87,5 3,5 4,1 4,4 68 0 0,8 2,667g 1,109g 0,149g 11,4g Mineral: –Kalsium –Besi(Fe) –Mgnsium –Phosphor –Kalium –Natrium –Seng –Tembaga –Mangan –Selenum 133 mg 0,05 mg 13,97 mg 110 mg 204 mg 49 mg 0,3 mg 0,04 mg 0,02 mg 1,4 mg Vitamin: –Vitamin C –Thiamin –Riboflafin –Niacin –Asam Pnttnt –Vitamin B6 –Folate –Vitamin B12 –Vitamin A –Vitamin D –Vitamin E –Vitamin RE 1,29 mg 0,048 mg 0,138 mg 0,277 mg 0,310 mg 0,046 mg 0,600 mg 0,065 mg 185 iu 12 iu 0,09 mg 56 mcgRE Sumber: SUSANTO (2005) dalam WALUYO (2005)

(12)

Tabel 5. Perkembangan kegiatan industri daging ternak di Indonesian selama tahun 1997 – 2004

Sumber: BADAN PUSAT STATISTIK, Statistik Industri Besar dan Sedang (1997 – 2004)

Tabel 6. Perkembangan industri penyemakan kulit di Indonesia tahun 2001 – 2005

(feet) Kulit sapi

No Tahun

(utuh) (jadi) Kulit kerbau (utuh) Kulit kambing Kulit domba 1 2 3 4 5 2001 2002 2003 2004 2005 488312 405070 321829 493755 338357 817986702 1314736513 1127971877 45684296 49596879 170679 243871 4310226 371327 243871 60000 326991 1200000 1191557 1397049 60000 261311 958975 532918 746500 Tahun (ton) No Jenis produk 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1 Daging sapi a. Dendeng 11 39 15 16 28 19 1 Ta b. Kornet 1653 16 70 71 72 1072 355 383 c. Bakso 1910 2224 1384 14131 1235 1602 989 1462 d.Sosis 291 608 1150 1703 2423 4383 4709 4050 e. Abon 307 308 310 143 82 159 115 60 f. Burger ta 56 152 72 95 165 83 ta 2 Daging ayam a. Sosis 90 6 31 27 11 5843 5505 ta b. Bakso 93 10 23 9 0 0 20 11 c. Burger ta 82 30 85 113 196 184 ta 3 Daging babi a. Sosis ta 238 297 290 ta ta ta ta b. Dendeng ta ta ta ta ta 6 3 6 4 Daging kerbau a. Burger ta Ta 50 55 169 292 292 292 5 Daging Kado a. Kornet ta ta ta ta ta ta 19 ta

Gambar

Gambar 1. Alur sistem produksi komoditas ternak kado sebagai sumberdaya penyedia bahan baku industri PRODUK PANGAN – Daging – Jeroan – Susu PRODUK SEKUNDER: – Bulu – Kulit – Tulang – Darah – Kompos PRODUK KHSUS Sebagai tontonan BAHAN BAKU INDUSTRI: – Makanan – Tepung tulang – Tepung darah – Kerajinan – Kosmetika – Obat-obatan – Pupuk tanaman – Energi Kebutuhan Konsumen: – Domestik – Ekspor  PRODUK – Makanan –Jadi –Pkn trnk –kerajinan –kosmetik –obat –Kompos –Listrik –GasSUMBERDAYA Bahan baku: – Pakan – Bibit Kado – Lahan – Manajemen – SDM – lainnya Proses Produksi Barang jadiOut put row material Input Industri Lingkungan eksternal:
Tabel 1. Perkembangan pemotongan ternak kado dan produksi daging kado selama tahun 1992 – 2006
Tabel 3. Pemotongan ternak kambing dan domba di Jawa Barat tahun 2005
Tabel 5. Perkembangan kegiatan industri daging ternak di Indonesian selama tahun 1997 – 2004

Referensi

Dokumen terkait

Dengan teknik tersebut pada saat proses pembelajaran, belum cukup untuk membuat siswa memahami dan membentuk pe- ngertian dengan baik, sehingga hasil belajar yang

Di sisi lain yakni sebagai salah satu faktor penentu baik buruknya mutu dan citra rumah sakit adalah Motivasi kerja perawat merupakan salah satu faktor terpenting yang bisa

analisis tahap akhir diperoleh kesimpulan bahwa hasil belajar matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together lebih baik dari pada

Tujuan SMU yang semula hanya untuk membekali siswa dengan berbagai ilmu dan pengetahuan untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, dikembangkan dengan

Valbury Asia Securities or their respective employees and agents makes any representation or warranty or accepts any responsibility or liability as to, or in relation to, the

Analisa gelombang kejut dilakukan dengan menggunakan hasil kalibrasi yang diperoleh dari model Greenshield karena memiliki nilai r 2 >0,5 yaitu, r 2 = 0,899

a) Pelaksanaan sosialisasi dan penyampaian informasi tentang pembatalan UU No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dalam berbagai kesempatan seperti ketika

penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana