• Tidak ada hasil yang ditemukan

LESBIAN “BUTCHIE” DALAM NOVEL LESBIAN LAKI-LAKI KARYA DEOJHA SEBUAH KAJIAN EKSPRESIVISME DAN PSIKOLOGI SASTRA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "LESBIAN “BUTCHIE” DALAM NOVEL LESBIAN LAKI-LAKI KARYA DEOJHA SEBUAH KAJIAN EKSPRESIVISME DAN PSIKOLOGI SASTRA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Diusun Oleh:

Wiraningtyas Ari Pangestuti 024114039

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

SERTA ORANG – ORANG YANG SAYA CINTAI DALAM

HIDUPKU

(6)

berontaknya agar dapat berdialog dengan Allah. Sebaliknya, tepat di saat seseorang mengungkapkan perasaannya, dimulailah dialog kebenaran.

(Paul Tournier)

Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

(Filipi 4:8)

Makna kehidupan adalah menemukan bakatmu: Tujuan kehidupan adalah memberikan bakatmu.

(Joy J. Golliver)

(7)

Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sastra Indonesia.

Penelitian ini mengkaji tentang kehidupan lesbian “butchie” dalan novel Lesbian Laki – laki. Penelitian ini memiliki dua tujuan. Pertama, memaparkan latar belakang hubungan antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja yang meliputi kajian ekspresivisme antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja yang tentang perbandingan latar belakang kehidupan keluarga dan masa kecil, serta perbandingan kehidupan pada masa dewasa sebagai mahasiswa. Kedua, menganalisis kajian psikologis gambaran dunia lesbian, jenis lesbian dan faktor penyebab lesbianisme terhadap pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja dalam novel Lesbian Laki – laki.

Penelitian ini menggunakan pendekatan ekspresivisme dan psikologi sastra. Pendekatan ekspresivisme digunakan untuk menganalisis huungan antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja, sedangkan pendekatan psikologi sastra digunakan untuk menganalisis gambaran dunia lesbian, jenis serta faktor penyebab lesbianisme dalam novel yang secara psikologis dialami oleh pengarang dan tokoh utama. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan metode komparatif. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan hubungan latar belakang pengarang dan tokoh utama. Metode komparatif digunakan untuk menganalisa gambaran kehidupan yang saling berkaitan antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja.

Hasil kajian novel ini berupa deskripsi ekspresivisme (real autor) dari kehidupan pengarang yng digambarkan tokoh fiksi dengan jati diri sebagai lesbian dalm novel Lesbian Laki – laki. Tokoh fiksi yang merupakan tokoh utama penggambaran diri pengarang adalah Sangkhala Senja. Pengungkapan latar belakang kehidupan antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja melalui kehidupan masa kecil dan dewasa. Sebagai fase perbandingan ykni (1) kehidupan keluarga dan masa kecil, (2) fase keshidupan dewasa sebagai mahasiswa.

Hasil kajian psikologi mengungkapkan dunia lesbian yakni 1) perasaan – perasaan yang dirasakan oleh pengarang dan tokoh seperti cinta, cemburu, marah, takut, sedih, dan bahagia, 2) hubungan seksual, 3) media komunitas dan kode komunitas lesbian, serta 4) jenis lesbian dan faktor penyebab lesbian.

(8)

Yogyakarta: Indonesian Literature Study Programs. Faculty Of Letters. Sanata Dharma University.

This research is attempted to study about the of lesbian ‘butchie’ in Deojha’s Lesbian Laki-laki. This study is led to accomplish two main objectives. The first objective is to observe the relation between Deojha as the author and Sangkhala Senja as the main actor, concluding the study of expresivism between their family background, childhood and adult life as the students. The second objective is to analyze the psylogical research about lesbian’s world depiction, the type of lesbian and the main factor of lesbianism on Deojha and Sangkhala Senja in Lesbian Laki-laki.

In accomplishing the analysis the writer uses expresivism approach and literature psychology. Expresivism approach is applied to analyze the relation between Deojha and Sangkhala Senja, while literature psychology is applied to analyze the lesbian’s world, the type and also the main factor which causing lesbianism in Deojha and Sangkhala Senja psychogically. This research uses descriptive and comparative method. The descriptive method is applied to describe the relationship background between the author and the main actor. The comparative method is used to analyze the life depiction of Deojha and Sangkhala Senja which are connected each other.

The result of this novel’s study is description of expresivism from the real author’s life which is shown in the fictional actor as the lesbian personality in LesbianLaki-laki. Sangkhala Senja is the depiction of the author as the fictional character. The writer reveals the life background between the author Deojha and the actor Sangkhala Senja by examining their childhood and adulthood. As the compavison (1)family life and childhood (2)adulthood as the students.The result of the psychology study reveals the lesbian’s word, that are (1) ) the author and the actors feeling such as love and jealousy, anger, sadness, scared, and happiness. (2) sexual intercourse, (3) media community and lesbian community code, (4) the type and the main cause of lesbianism.

(9)
(10)

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Lesbian

Butchie”dalam Novel Lesbian Laki-laki karya Deojha sebuah kajian

Ekspresivisme dan Psikologi Sastra. Skripsi tidak akan pernah terwujud tanpa

bimbingan dan semangat dari semua pihak. Saya mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa, atas Karunia dan Kehendak-Nya.

2. Bapak Drs. Yoseph. Yapi.Taum,M. Hum.,selaku Dosen pembimbing I

skripsi yang telah membagikan ilmunya kepada saya.

3. Ibu Susilowati Endah Peni Adji,S.S,M.Hum., selaku Dosen pembimbing II

skripsi yang memberikan banyak masukan kepada saya.

4. Seluruh Dosen Prodi Sastra Indonesia, Bapak Drs. B. Rahmato,M. Hum.,

Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., Bapak Drs. Hery Antono, M.

Hum., Bapak Drs. Ari Subagyo, M. Hum., Bapak FX Santoso, M.S., Ibu

Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum.

5. Bapak Parwoto dan Ibu Endang Indrayati, terima kasih atas segala

pengorbanan, doa, nasehat, kebaikan, kesabaran, dan kasih sayang

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

(11)

7. Teman-teman seperjuanganku Genk Baskom, Fany, Eli, Luki, Erda, dan

Rosa, untuk waktu dan indahya persahabatan kita semoga abadi

selamanya.

8. Keluarga besarku tercinta, Tante Nana, Kak Nupy, Kak Frans, Kak Deby,

Adikku gendut Andreas, keponakanku Stefany dan Amelia, untuk doa,

semangat dan dukunganya pada penulis.

9. Kokoku Christoporus Rinno Granada Adiyanto, untuk dukungan, kasih

sayang, serta ketulusan hati yang tiada batasnya.

10.Seluruh teman-teman Prodi Sastra Indonesia Angkatan 2002, Yogi, Bonet,

Bangun, Plentong, Sapi, Sumantri, Marta, Lusi, Iren, domex dan teman –

teman yang lain, kalian sangat spesial.

11.Teman- teman KKN, Tanti, Vera, Archi, Mbak Adis, Ciput, Dwi, Rangga,

terima kasih atas persahabatan kalian.

12.Seluruh pihak administrasi Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.

13.Seluruh Staff dan karyawan UPT Perpustakaan Universitas Sanata

Dharma.

14.Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terima kasih

atas dukungannya.

(12)

saya sangat berterima kasih.

Akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan ilmu kepada

pengetahuan khususnya di bidang sastra Indonesia di masa yang akan datang.

Terima kasih.

Penulis

(13)

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……….iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.………...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……….………v

HALAMAN MOTTO……….……….…………..vi

ABSTRAK………..………...vii

ABSTRACT………..………...viii

KATA PENGANTAR………..………...ix

DAFTAR ISI……….………...xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah……….……….1

1.2 Rumusan Masalah………….………...5

1.3 Tujuan Penelitian……….………...6

1.4 Manfaat Penelitian……….………6

1.5 Tinjauan Pustaka………...7

1.6 Landasan Teori………...…....7

1.6.1 Ekspresivisme………..…….7

1.6.2Teori Psikologi Sastra………...11

1.6.2.1 Pengertian Lesbian………...……....13

1.6.2.2 Faktor Penyebab Lesbian..………...16

1.6.2.3 Jenis – jenis Lesbian…………..…………...……..18

1.6.2.4 Dunia Lesbian………..21

1.6.2.4.1 Perasaan – perasaan………..…….22

1.6.2.4.2 Hubungan Seksual………...…..23

1.6.2.4.3 Media Komunitas dan Kode Komunitas Lesbian………..24

(14)

BAB II EKPRESIVISME HUBUNGAN ANTARA PENGARANG DEOJHA DENGAN TOKOH SANGKHALA SENJA

2.1 Pengantar………29

2.2 Perbandingan Latar Belakang Kehidupan Keluarga dan Masa Kecil………..29

2.3 Perbandingan Kehidupan pada Masa Dewasa sebagai Mahasiswa……….39

2.4 Rangkuman……….57

BAB III JENIS LESBIAN SERTA FAKTOR PENYEBAB LESBIAN DAN GAMBARAN PSIKOLOGI DUNIA LESBIAN 3.1 Pengantar………61

3.2 Jenis Lesbian dan Faktor Penyebabnya………...………...61

3.2.1 Jenis Lesbian…………..………...61

3.2.2 Faktor Penyebab Lesbian………..64

3.3 Gambaran Dunia Lesbian……….……….66

3.3.1 Perasaan - perasaan…..……….66

3.3.2 Hubungan Seksual……..………..78

3.3.3 Media Komunitas dan Kode Komunitas Lesbian………80

3.4 Rangkuman………84

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan………86

4.2 Saran………..91

(15)
(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Menurut Horatius, karya sastra memang bersifat dulce et utile;

menyenangkan dan bermanfaat. Demikian pula cerita rekaan sebagai karya sastra

seharusnya menarik dan merangsang rasa ingin tahu karena berguna bagi

pembacanya. Semua cerita rekaan ada kemiripan dengan sesuatu dalam hidup ini

karena bahannya diambilkan dari pengalaman hidup. Pengalaman ini dapat berupa

pengalaman langsung, yaitu yang dialami secara langsung oleh pengarang, dapat

juga berupa pengalaman tak langsung, yaitu pengalaman orang lain yang secara

tak langsung sampai kepada pengarang (Panuti Sudjiman, 1988:12).

Dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif dibedakan tiga macam

pengarang yaitu pengarang yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung,

pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali

unsur – unsur penceritaan, dan pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan

imajinasi (Ratna.2004:56).

Hal ini yang disuguhkan oleh seorang pengarang bernama Deojha. Ia ingin

memperlihatkan suatu realita yang dialami oleh si pengarang dalam sosok seorang

tokoh fiksi. Ia ingin memberikan arti dan pemaknaan bahwa dialah tokoh dalam

karyanya itu. Novel yang berupa cerita panjang berbentuk semi-biografi yang

ditulis Deojha ini, berjudul Lesbian Laki-Laki; sebuah pengakuan getir Kehidupan

seorang butchie (yang dimaksud lesbian butchie adalah lesbian yang bertindak

(17)

menekuni dunia tulis – menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar. Deojha baru

berani untuk mengirim tulisannya dan dimuat di beberapa media ketika duduk di

bangku Sekolah Menengah Pertama ( SMP ). Tidak hanya itu, ia juga sudah

menyalurkan bakat dan hobinya dalam menulis cerpen dan puisi sejak di bangku

Sekolah Menengah Umum ( SMU ) dan sering dimuat di mading sekolah serta

majalah IDOLA BODA (majalah yang diterbitkan di suatu sekolah swasta di

Yogyakarta). Ia menyukai dunia sastra sehingga ia memilih kelas jurusan bahasa.

Deojha pernah mengenyam bangku kuliah di Jurusan Sastra Inggris di salah satu

perguruan tinggi swasta di Surabaya. Namun lantaran faktor ekonomi ia pun tidak

menyelesaikannya. Deojha pernah pula bekerja di redaksi LSM Gaya Nusantara

Surabaya. Saat ini ia lebih menyibukkan diri di Lembaga Swadaya Masyarakat

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (LSM

PKBI DIY) sambil tetap menyalurkan hobinya dalam tulis-menulis. Ini adalah

novel pertamanya.

Novel Lesbian Laki-laki ini sempat menimbulkan protes dari beberapa

pihak yakni pembaca dan kritikus karena karyanya dianggap meniru atau

menjiplak karya novel lesbian yang lain. Seperti kita ketahui banyak buku dan

novel yang membahas dan mengangkat serta mengupas tentang kehidupan para

lesbian. Dalam hal ini karya Deojha dianggap sama dengan karya Herlinatiens

dalam novelnya yang berjudul Garis Tepi Seorang Lesbian (2002) yang beberapa

waktu lalu sempat menjadi best seller (Deojha.2006).

Akan tetapi, dalam acara bedah bukunya yang diadakan pada tanggal 24

(18)

tapi tak sama. Setiap karya sastra mempunyai ciri khas tersendiri dalam

penyampaiannya. Ketidaksamaan itu adalah bagaimana ia dapat mengemukakan

dan menceritakan kisah seorang lesbian “butchie” serta berbagai pengalaman

hidup dan kisah cintanya lewat seorang tokoh bernama Sangkhala Senja. Ini

merupakan pengakuan yang luar biasa bagi pengarang. Ini merupakan hal yang

sangat berani, sehingga Pinus mau membantu menerbitkan novel semi biografi

ini. Hal ini dapat membuktikan bahwa karyanya bukan jiplakan semata. Ia ingin

mengemukakan perasaan, gagasan, apa yang ia alami, pengalaman serta

imajinasinya dalam sebuah karya tulisan. Deojha juga mendapat banyak ancaman

setelah novelnya terbit, karena kaum lesbian lain tidak setuju akan pengakuannya

yang terang-terangan yang seakan-akan memojokkan kaum lesbian lain, bahwa

lesbian hanya berkemelut dalam nuansa roman kisah cintanya tanpa memikirkan

dunia luar dan tanpa ada kepentingan serta pemikiran yang lain. Dalam novel

tersebut Deojha ingin menggambarkan bagaimana pahitnya kehidupan sebenarnya

dari para kaum lesbian karena ia termasuk salah satu dari komunitas mereka

(Deojha.2006).

Dalam Novel Lesbian Laki-laki; Deojha mencoba menceritakan

pengalaman hidup dan kisah cinta seorang lesbian melalui tokoh Sangkhala Senja.

Ia seorang lesbian. Benih-benih cintanya terhadap perempuan muncul sejak

melihat guru TK-nya yang manis, berkulit bersih dan berambut panjang.

Pesonanya telah membuat ia ingin selalu berada di dekatnya. Ketika guru itu pun

(19)

Pilihan hidupnya sebagai seorang lesbian lebih banyak ia rasakan pahit

dan getir. Ia pernah dipecat dari tempat kerjanya ketika identitasnya sebagai

seorang lesbian diketahui oleh atasannya. Begitu pula teman-teman kuliahnya

yang lebih suka menghidar dan bersikap dingin terhadapnya.

Perjalanan cintanya sebagai butchie, (lesbian yang berposisi sebagai

laki-laki) tidaklah berarti menempatkannya sebagai seorang yang kuat dan selalu

menang. Sebaliknya, ia banyak dikhianati oleh para kekasihnya. Tak sekali

cintanya diputus begitu saja oleh para kekasihnya. Lantas para kekasihnya tidak

sedikit yang pada akhirnya memilih menikah dengan laki-laki yang

sesungguhnya. Laki-laki yang tidak seperti dirinya.

Berdasarkan ringkasan singkat di atas, tentang kehidupan tokoh Senja,

tampak jelas bahwa novel Lesbian Laki-laki ini sangat menarik untuk diteliti lebih

lanjut. Berbagai bentuk tragedi kehidupan yang dialami tokoh Senja sebagai

lesbian butchie, akanbanyak memberi gambaran tentang kehidupan kaum lesbian

yang kurang kita ketahui keberadaan lesbian butchie ini. Kebanyakan yang kita

ketahui hanyalah kaum lesbian dari keseluruhannya bukan bagian-bagian dari

mereka. Dalam hal ini kita juga mengetahui bagaimana mereka dalam berteman,

bersosialisasi dan kehidupan kisah cintanya. Kita tidak dapat mengingkari bahwa

mereka juga berhak mempunyai rasa cinta bukan hanya dalam bidang seks secara

lahiriah saja, akan tetapi juga dalam bersosialisasi dengan sesama. Hal ini menarik

perhatian peneliti dan mendorongnya melakukan sebuah kajian dari segi karya

(20)

Adapun ketertarikan peneliti menganalisis novel karya Deojha tersebut

didasarkan atas dua alasan. Pertama, Novel Lesbian Laki-laki ini menuliskan

kehidupan seorang lesbian butchie lewat tokoh Sangkhala Senja yang diduga

bersumber pada kehidupan pengarangnya. Kedua, Novel ini menggambarkan

sosok seorang butchie yang menderita karena cintanya yang kandas serta getirnya

kehidupan untuk dapat diterima di tengah-tengah keluarga, masyarakat agar dapat

diakui keberadaanya sebagai seorang lesbian, serta mengkaji kecamuk jiwa yang

dialami tokoh Senja. Hal ini menarik untuk dikaji dengan pendekatan psikologis

untuk mengungkap faktor-faktor penyebab lesbian.

Adapun dorongan lain untuk mengkaji novel ini adalah faktor kekaguman

dan keingintahuan dalam melakukan kajian terhadap karya sastra berlatar

belakang kehidupan nyata pengarang sebagai seorang lesbian.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimanakah hubungan antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala

Senja?

1.2.2 Bagaimanakah gambaran dunia lesbian dalam novel Lesbian Laki-laki

(21)

1.3Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang ingin

dicapai peneliti.

1.3.1 Mengkaji dan mendeskripsikan hubungan antara pengarang Deojha dan

tokoh Sangkhala Senja.

1.3.2 Mengkaji dan mendeskripsikan gambaran lesbian dalam novel secara

psikologis yang dialami pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja

yang meliputi : dunia lesbian, jenis lesbian, serta faktor penyebabnya.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini tidak hanya untuk kepentingan peneliti semata. Oleh karena

itu, penelitian ini dilakukan agar bermanfaat sebagai berikut:

1.4.1 Menambah bahan kajian karya sastra Indonesia khususnya karya sastra

novel berlatar belakang kehidupan kaum lesbian dengan tinjauan teori

ekspresivisme sastra dan psikologi sastra.

1.4.2 Untuk menambah wawasan pembaca dan pengamat tentang kehidupan

yang dialami tokoh Shangkala Senja sebagai seorang lesbian dalam

(22)

1.5Tinjauan Pustaka

Selama peneliti melakukan pengamatan terhadap kepustakaan belum ditemukan

penelitian tentang novel Lesbian Laki-laki karya Deojha tersebut. Oleh karena

itu, peneliti berusaha untuk mencoba menganalisis novel Lesbian Laki-laki

karya Deojha dengan mendeskripsikan aspek teori ekspresivisme antara karya

sastra tersebut dengan cara menganalisa kehidupan tokoh Sangkhala Senja dan

kaitannya dengan kehidupan nyata si pengarang (penelitian semi-biografi).

1.6Landasan Teori

Pada analisis ini, penulis akan menggunakan dua landasan teori yakni

ekspresivisme dan psikologi sastra. Pendekatan ekspresivisme digunakan untuk

menganalisis latar belakang hubungan pengarang Deojha dengan tokoh Sangkhala

Senja. Psikologi sastra digunakan untuk menganalisis perasaan-perasaan serta

faktor penyebab lesbianisme.

1.6.1 Teori Ekspresivisme

Teori ekspresivisme muncul bersamaan dengan perubahan-perubahan

sistem sosial dan filsafat yang menempatkan manusia sebagai makhluk otonom

yang memiliki kebebasan dan keutuhan sebagai individu. Karya-karya manusia

sepenuhnya dipandang sebagai pengucapan kreatif pribadi individu tersebut.

Dalam bidang karya sastra: pecurahan perasaan dan pikiran, bahkan kejiwaan

(23)

Teori ekspresi sastra (The expressive theory of literature) adalah sebuah

teori yang memandang karya sastra terutama sebagai pernyataan atau ekspresi

dunia batin pengarangnya. Karya sastra dipandang sebagai sarana pengungkap

ide, angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran dan pengalaman pengarang. Dalam

ungkapan yang lain, sastra adalah proses imajinatif yang mengatur dan

menyintesiskan imajinasi-imajinasi, pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan

pengarang (Abrams, 1987:20 via Taum.1997:20).

Studi sastra dalam model ini berupaya mengungkapkan latar belakang

kepribadian dan kehidupan (biografi) pengarang yang dipandang dapat membantu

memberikan tentang penjelasan tentang penciptaan karya sastra. Oleh karena itu,

teori ini seringkali disebut pendekatan biografis.

Teori ini merupakan studi yang paling mapan dan tertua dalam sejarah

studi sastra (Wellek dan Warren, 1993:82). Teori ini dapat dianggap sebagai studi

yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya. Dalam teori ini

unsur ‘manusia’ sebagai pencipta mendapat perhatian serius. Ditinjau dari segi

perkembangan pemikiran manusia, teori ini dapat dianggap tonggak sejarah baru

yang membebaskan manusia dari gagasan lama yang mengungkung, bahwa hanya

Tuhanlah Sang Pencipta dan manusia hanyalah peniru-peniru belaka.

Teori ekspresivisme sering disebut pula sebagai teori pendekatan biografis

karena tugas utama penelaah sastra adalah menginterprestasikan dokumen, surat,

laporan saksi mata, ingatan, maupun pernyataan-pernyataan otobiografis

pengarang. Teori ini banyak mendapat kritikan karena mengalihkan pusat

(24)

Praktik-praktik kritik ekspresif sastra terpusat pada upaya menyelami jiwa

pengarang karya sastra pengarang tersebut. Pengarang dianggap seorang pencipta

yang membayangkan imajinasi kehidupan yang terpilih dan teratur. Kedudukan

pengarang dan karyanya begitu erat, seperti seorang ibu yang melahirkan

anaknya. Tolok ukur sastra yang baik dalam pendekatan ini: orisinalitas,

kreativitas, jenialitas, dan individualitas. Benar tidaknya, objektif tidaknya, suatu

penilaian sastra sangat tergantung pada intensi pengarang dalam mewujudkan

keorisinalan dan kebaruan penciptaan seninya. Data-data biografis dan historis

menjadi bahan yang penting dalam studi sastra (Mangunwijaya,1988:25-23 via

Taum.1997:20).

Dalam bahasa (sastra) tulis, pengarang tidak dapat berkomunikasi secara

langsung dengan pembacanya. Dengan demikian, jika dalam tulisannya pengarang

mempergunakan sudut pandang aku, orang tidak bisa secara langsung mengatakan

bahwa yang dimaksudkan adalah diri pengarang. Di sini tampak ambiguitas

kedudukan pengarang dengan narator (aku lirik) dalam teks. Dalam bidang

naratorologi (teori tentang cerita), Wayne Booth memperkenalkan istilah implied

author (penulis yang tersirat atau tersembunyi) dalam bukunya The Rethory of

Fiction (1963). Istilah implied author atau sering disebut sebagai persona poetica

dengan instansi (atau fokalisator) yang berperan menyampaikan cerita kepada

pembaca. Implied author berdiri di tengah-tengah antara pengarang nyata dengan

narator (juru cerita dalam teks) (Booth.1963:137 via Taum,1997:28).

Konsep implied author mengacu pada peranan yang diberikan teks kepada

(25)

tersembunyi itu lebih merupakan tegangan tertentu yang diciptakan oleh

pengarang pada saat menuliskan karyanya. Pengarang menciptakan suatu

imajinasi dalam dirinya sendiri (semacam dirinya yang kedua, the second self)

sebagai juru pisah misalnya yang sedang memperbaikki atap yang bocor,

membayar pajak, yang gagal mencari jati dirinya (Booth, 1963:137). Dengan

demikian, struktur teks itu sendiri telah menempatkan aktivitas ideasional dan

interaksional antara pengarang nyata dengan pengarang tersembunyi

(Booth,1963:137 via Taum,1997:28).

Menurut Juhl, penulis nyata (real author) terlibat dan bertanggung jawab

terhadap kalimat-kalimat yang diajukan dalam karyanya. Arti kalimat-kalimatnya

sesuai dengan intensi pengarang itu sendiri. Intensi bukanlah rencana yang

dipikirkan sebelum penciptaan atau motif yang mendorong penulisan, melainkan

apa yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan dalam karya-karyanya

(Teuw,1988:177-180 via Taum,1997:29).

Teori mengenai pengarang yang paling mutakhir dikemukakan oleh

Umberto Eco (1992), dengan memperkenalkan istilah liminal author atau Author

on the Thresold (pengarang ambang). Pengarang ambang tidak dapat disamakan

dengan pengarang implisit, karena situasi pengarang ambang tidak dapat

dijelaskan, sedangkan pengarang implisit merupakan strategi eksplikasi tekstual

yang dapat dikenal melalui permainan bahasa teks (Taum, 1993a:59-66).

Pengarang ambang adalah situasi penciptaan teks sastra, dimana pengarang secara

(26)

misterius ini tidak bisa dijelaskan secara tepat dengan perhitungan apapun, baik

oleh pengarangnya sendiri maupun oleh pembaca (Taum.1997: 28-29).

1.6. 2 Teori Psikologi Sastra

Psikologi merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari

tentang tingkah laku serta aktivitas-aktivitas manusia, di mana tingkah laku dan

aktivitas tersebut merupakan manifestasi dari kehidupan jiwanya. Pengertian ini

didasarkan pada terjemahan dalam bahasa Yunani: Psiche dan logos. Psiche

berarti “jiwa” dan logos berarti “ilmu”. Dengan demikian psikologi berarti ilmu

yang mempelajari tentang jiwa.

Semua ilmu pengetahuan tidak dapat secara mutlak berdiri sendiri, satu

sama lain pasti saling memberi dan menerima. Ilmu yang satu dapat memberi

penjelasan yang lebih terhadap ilmu yang lain. Sukada (1987:102) mengatakan

bahwa sastra dan psikologi merupakan dua wajah satu hati dan sama-sama

menyentuh manusia dalam persoalan yang diungkapkannya. Secara tidak

langsung sastra dan psikologi sama-sama mempelajari tentang jiwa. Karya sastra

lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah lama ada dalam jiwanya

dan telah melalui proses pengolahan jiwa secara mendalam dalam proses

berimajinasi.

Dalam hal ini psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan psike,

dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra

memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui

(27)

perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam

masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike. Ada tiga cara yang dapat

dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: a)

memahami unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami

unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c) memahami

unsur-unsur kejiwaan pembaca (Ratna, 2004:342).

Dengan demikian, maka psikologi memasuki bidang kritik sastra lewat

beberapa jalan: 1) pembahasan tentang proses penciptaan sastra, 2) pembahasan

psikologi terhadap pengarangnya (baik sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang

pribadi), 3) pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat ditimba

dari karya sastra, dan 4) pengaruh karya sastra terhadap pembacanya. Maka

dengan membahas karya tertentu, seorang kritikus dapat menarik suatu

kesimpulan tentang psikologi pribadi pengarangnya. Ia dapat juga mempelajari

seluruh tulisan seorang pengarang, lalu mencoba menarik beberapa kesimpulan

tentang keadaan jiwa pengarangnya (Hardjana,1981:63).

Dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra tentang studi mengenai

aspek psikologi tokoh Sangkhala Senja dalam karya sastra serta aspek psikologi

pengarang terhadap karyanya, penulis hendak menganalisis kehidupan tokoh dan

kehidupan nyata pengarang dalam novel Lesbian Laki-laki. Penulis

mengkhususkan penelitian ini pada aspek kejiwaan, latar belakang, serta

(28)

1.6.2.1 Pengertian Lesbian

Jika ada isu yang mampu menyaingi aborsi dalam term intensitas konflik

yang terbuka, maka isu tersebut adalah homoseksualitas. Pada saat gerakan

hak-hak lesbian dan gay berusaha untuk “menormalisasi” hubungan seks sesama jenis

dan mendapatkan hak-hak sipil bagi kepentingan pokok mereka, maka para

penentang mereka berjuang untuk mempertahankan gagasan bahwa

homo-seksualitas dan bihomo-seksualitas merupakan penyimpangan sosial. Identitas gay dan

lesbian muncul seiring dengan perkembangan kapitalisme dan peralihan dari

masyarakat desa ke masyarakat kota (Adam 1995; D’Emilio 1993; Katz 1995).

Dengan perkembangan masyarakat modern, makna utama dari seksualitas juga

berubah; dari reproduksi dalam keluarga menuju pada keintiman emosional dan

kesenangan fisik bagi individu (D’Emilio dan Freedman 1988)

(Stagenborg.2003: 92)

Pada awal abad kedua puluh, benih-benih subbudaya homosekualitas telah

tumbuh di kota-kota besar di dunia Barat, termasuk Paris, Berlin, dan New York.

Walaupun lesbianisme merupakan gaya hidup modis di antara orang-orang New

York modern, banyak juga yang tidak menganggapnya serius(Faderman 1991:75).

Hubungan-hubungan lesbian yang sejati, secara tipikal dipandang sebagai

ancaman terhadap perkawinan ideal antara laki-laki dan perempuan

(Staggenborg.2003: 94-95).

Dengan banyaknya laki-laki pergi berperang sementara perempuan

bekerja, perempuan merasa lebih beba bersosialisasi bersama. Perang membuat

(29)

lesbian menjadi “lebih serupa dengan perempuan lain dan lebih mudah

diidentifikasi” (Kennedy dan Davis 1993:38). Selama masa perang, perempuan

sering terlihat bersama-sama di jalan-jalan dan banyak yang menjadi penjaga

bar-bar. Tambahan lagi, banyak perempuan untuk pertama kalinya memakai celana

panjang ke tempat kerja dan sering menggunakan seragam kerjanya di depan

publik. Lesbian yang memilih menggunakan celana panjang dapat membeli dan

memakai secara bebas untuk yang pertama kalinya (Staggenborg. 2003: 97).

Walaupun perempuan mulai berpartisipasi dalam kegiatan – kegiatan hiburan di

kota-kota di awal abad kedua puluh, namun budaya yang lahir dari

aktivitas-aktivitas ini bercorak “heteroseksual”, yang melibatkan laki-laki dan perempuan

(Peiss 1986).

Lesbianisme berasal dari kata Lesbos. Lesbos adalah nama sebuah pulau di

luar Aegea, yang merupakan tempat lahir Sappho. Sappho adalah seorang

perempuan yang dikenal sebagai pecinta perempuan, ia hidup pada zaman Yunani

Kuno (550 SM). Sejak saat itu ia disebut sebagai Sapphosm (Cunnilingus), nama

tersebut dikaitkan dengan perilaku hidup dalam kegiatan seksualnya

(Kristantini,1991:28).

Lesbian adalah homoseksual perempuan yang merupakan suatu hubungan

sosial maupun seksual di antara sesama perempuan sebagai pasangan hidupnya,

dan memiliki keterikatan erat secara emosional kepada sesama perempuan

(Dewi,2003:27).

Sidney Abbot dan Barbara Love (dalam Kristantini, 191:28)

(30)

a. Perempuan yang mempertahankan hidup tanpa laki-laki, baik dalam

hal emosional maupun finansial.

b. Perempuan yang setiap saat selalu berjuang untuk menunjukkan,

bahwa mereka sungguh-sungguh manusia seutuhnya dan tidak sekedar

anggota badan lelaki.

c. Perempuan yang dihukum oleh lingkungan karena perilaku seksual

mereka, lebih dari perempuan lain di dunia ini.

d. Perempuan yang memilih mencintai jenis kelamin sama yaitu

perempuan lain.

Namun tidak berarti bahwa kaum lesbian termasuk kelompok

pembenci laki-laki, walaupun banyak di antara kaum lesbian yang

membenci laki-laki karena berbagai macam alasan. Secara umum, kaum

lesbian tidak melihat laki-laki sebagai pihak yang mengancam atau

menekan mereka secara personal. Kaum lesbian memiliki sikap positif

terhadap perempuan lain dan tidak berpikir bahwa kehidupannya sebagai

penolakan yang agresif terhadap jenis kelamin lain atau lawan jenis. Kaum

lesbian secara aktif mencari jalan untuk melepaskan diri dari dominasi

laki-laki. Bila dibanding dengan perempuan lain pada umumnya, lesbian

hanya berbeda dalam hal perilaku seksual mereka. Selebihnya mereka

sama dengan perempuan lain, ada yang menikah dan mempunyai anak,

ada yang berhasil dalam hal ekonomi, memiliki karier yang bagus, ada

(31)

1.6.2.2Faktor-faktor Penyebab Lesbian

Dari beberapa artikel, referensi, dan juga laporan-laporan

penelitian, diperoleh beberapa keterangan yang diperkirakan menjadi

penyebab lesbianisme. Kisker (dalam Kristantini, 1991; 30)

menerangkan melalui 3 teori yaitu:

a. Teori biologis menerangkan bahwa penyebab lesbianisme ini

dibawa sejak lahir dan berkaitan erat dengan mekanisme genetik

yang melibatkan derajat kelaki-lakian (maleness) dan perempuan

(femaleness).

b. Teori psikologis memberi gambaran, bahwa perilaku seksual

diperoleh melalui pengkondisian pada awal kehidupan. Pada

lingkungan awal kehidupan ini, memberi pengaruh yang sangat

besar terhadap pilihan peran seksual dalam kehidupan selanjutnya.

c. Teori sosiologis menerangkan bahwa penekanan pada adanya

kesalahan pada hubungan keluarga dengan bapak dan ibu yang

patogenik.

Kenyon (dalam Widiastuti, 1998: 18) mengemukakan 6 faktor yang

dapat menyebabkan seseorang menjadi lesbian, yaitu:

a. Faktor Biologis

Pangkahila (2000) mengemukakan bahwa faktor biologis, yaitu

adanya kelainan di otak atau genetik.

b. Gaya Hidup

Zaman sekarang banyak perempuan menjadi perempuan karir yang

(32)

mempunyai kebutuhan keintiman dengan orang lain, meskipun

mereka menganggap bahwa pernikahan akan membuat karirnya

terhambat. Antar mereka akan saling mengisi kekosongan sampai

akhirnya melakukan hubungan seks, yang jelas mereka tidak

menanggung resiko hamil sehingga tetap menjadi perempuan karir.

Bila kebiasaan ini dilanjutkan, lama-kelamaan hal ini menjadi gaya

hidup, karena secara psikologis orang ingin mengidentifikasikan

diri dengan kelompok yang dianggap eksklusif tersebut.

c. Perilaku-perilaku Seksual

Banyaknya variasi perilaku seksual yang pada awalnya dilakukan

oleh beberapa orang, namun akhirnya menyebar karena adanya

informasi dari masyarakat maupun mass media lainnya, sehingga

orang ingin mencoba hal yang berbeda dan baru.

d. Latar Belakang Keluarga

Ayah yang dominan dan ibu yang pasif, dengan demikian anak

perempuan tidak merasakan kehadiran ibu, yang akhirnya ibu gagal

menjadi model pribadi perempuan bagi anak perempuan dan

akibatnya anak perempuan mengambil sifat-sifat ayahnya termasuk

mencintai perempuan. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab

lesbian. Juga karena orang tua menginginkan anak laki-laki, tetapi

yang lahir adalah perempuan dan orang tua memperlakukan anak

(33)

juga disebabkan, anak perempuan sejak kecil ingin menjadi

laki-laki.

e. Kekecewaan pada Laki-laki

Seseorang perempuan mendapat perlakuan tidak baik dari laki-laki,

misalnya dikhianati, tidak dihargai, dan tidak diperlakukan sebagai

pendamping, tetapi lebih sebagai perempuan yang harus selalu siap

melayani. Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi suatu pengalaman

yang menyakitkan bagi perempuan.

f. Lingkungan

Lingkungan setempat yang didominasi oleh kaum perempuan yang

sejenis dapat membuat perempuan terdorong menjadi lesbian,

misalnya dipenjara.

1.6.2.3Macam-macam Lesbian

Bar merupakan tempat yang penting bagi perkembangan

komunitas lesbian kelas pekerja. Di dalam budaya bar, para lesbian

kelas pekerja secara tipikal dapat mengambil peran sebagai “butch”,

yang penampilannya maskulin, atau “fem”, yang secara tradisional

feminis. Walau “kode tingkah laku personal untuk berdandan dan

berperilaku mengambil model dari masyarakat heteroseksual, tetapi ini

tidak hanya sekedar meniru” (Kennedy dan Davis 1993:163). Para

“Butch” tidak melampaui diri menjadi seperti laki-laki, mereka hanya

mengembangkan cara baru menjadi perempuan. Mereka

mengembangkan cara unik berpakaian, sebagai contoh, termasuk

(34)

yang biasa terdapat pada celana panjang laki-laki (hal.155). dengan

gaya seperti itu di depan publik,”butches” mengambil resiko berani

menentang norma-norma gender. Sementara itu “fems” menggunakan

gaya perempuan heteroeksual, seperti sepatu tumit tinggi, namun

bagaimanapun, mereka juga menantang norma-norma yang ada karena

berpasangan dengan “butches”. Dari sebuah prespektif kontemporer,

model ”butch-fem” tampaknya bersifat terbatas, dan telah dikritik oleh

para feminis karena hanya merupakan imitasi peran gender patriarkal

(Staggenborg. 2003: 98).

. Secara garis besar, terdapat tiga macam lesbian pertama, butch

(Butchie;lesbian yang berposisi sebagai laki-laki), lesbian yang

berpenampilan tomboy, kelaki-lakian, lebih suka berpakaian yang

umumnya dikenakan laki-laki. Kedua, femme (lesbian yang berposisi

sebagai perempuan), lesbian yang berpenampilan feminim, lembut,

layaknya perempuan heteroseks biasanya, berpakaian gaun perempuan.

Ketiga, andro( androgyny;lesbian yang bisa berposisi sebagai laki-laki

dan perempuan), perpaduan antara femme dan butch. Walau mungkin

dalam penampilan luarnya seorang lesbian bisa saja berpenampilan

maskulin atau feminim, dalam relasi seksual, keterbukaan dan

kesadaran perempuan akan seksualitas tubuhnya membuat relasi

(35)

Kitzinger (dalam Dewi, 2003: 31) mengelompokkan menjadi 2

macam lesbian, yaitu:

a. Act lesbian, yaitu apabila seseorang menjadi lesbian hanya pada situasi

tertentu. Kemungkinan besar penyebabnya adalah frustasi terhadap

sesuatu pengalaman yang menyakitkan, misalnya kekecewaan yang

mendalam pada laki-laki, keluarga yang tidak memperhatikannya,

sehingga mencari ketenangan di luar keluarga dan tidak sengaja

bertemu dengan seorang lesbian yang sangat memberi perhatian

padanya. Lesbian seperti ini dapat dengan mudah mengubah orientasi

seksualnya sewaktu-waktu.

b. True lesbian, yaitu tidak tertarik secara seksual pada laki-laki bahkan

sama sekali tidak tertarik pada laki-laki, dan mempunyai pengulangan

atau ketetapan aktivitas seksual dengan perempuan dan sulit mengubah

orientasi seksualnya.

Menurut PPDGJ-II (1983) lesbian dikelompokkan menjadi 2 jenis,

yaitu:

a. Lesbian Ego Distonik, yaitu apabila seseorang yang memiliki

kecenderungan lesbian tidak menerima keberadaan orientasi seksualnya.

Lesbian semacam ini termasuk dalam kategori “terganggu” dengan

keberadaan lesbiannya.

b. Lesbian Ego Sintonik, yaitu apabila seseorang yang memiliki

(36)

Terdapat dua peran yang dimainkan lesbian dalam menjalani hidup yaitu

dibedakan dengan istilah “sentul” dan “kantil”. “Sentul” adalah lesbian yang

berperan sebagai laki-laki. “Sentul” pada umumnya berpenampilan seperti

seorang laki-laki, berpakaian laki-laki, berambut pendek, tetapi tetap

menyadari kodratnya adalah perempuan. “Kantil” berperilaku seperti

perempuan pada umumnya, dari caranya berperilaku maupun cara berpakaian

tidak menunjukkan perbedaan sedikit pun dengan perempuan heteroseks

(Dewi, 2003:30).

1.6.2.4Dunia Lesbian

Dari sejak awal sejarah manusia telah ada yang melakukan penyebrangan

gender maupun menjalin hubungan erotik romantik atau ritual dengan sesama

atau antara penyeberangan gender dan gender yang ada dalam masyarakat.

Dalam kebanyakan hal, hubungan itu berlangsung bersamaan dengan

hubungan perkawinan atau sebelumnya. Homoseks eksklusif (gay/lesbian)

baru meluas dalam zaman modern, terutama pada abad ke-20

(angindua.2006). Homoseksual bukanlah penyakit, atau ada yang mungkin

menyebutnya sebagai “produk salah dan gagal”. Homoseksual hanyalah salah

satu bentuk orientasi seksual seseorang. Dalam rubrik online Gaya Nusantara

dikatakan bahwa menjadi gay-lesbian bukan suatu ‘mimpi buruk’ dan menjadi

gay-lesbian bukan kesalahan siapa-siapa. Gay-lesbian hanyalah masalah

orientasi seksual, sedangkan dalam kehidupan mereka tetap manusia yang bisa

berpikir, berkarya, berperasaan, dan berprestasi seperti manusia heteroseksual

(37)

Komunitas lesbian di Indonesia sendiri sampai sekarang masih berupa

komunitas bawah tanah. Komunitas lesbian tidak menginginkan mereka

diakui secara hukum melainkan dianggap setara dengan kaum heteroseksual.

Sampai saat ini di Indonesia belum anyak muncul literatur – literatur kajian

studi tentang gay dan lesbian. Wacana tentang gay dan lesbian di negara ini

hanya muncul secara rutin misalnya lewat majalah atau media – media intern

perkumpulan – perkumpulan gay dan lesbian semacam Gaya Nusantara

(Juliastuti.2006).

1.6.2.4.1 Perasaan – perasaan

Lesbian adalah wanita atau cewek yang secara seksual lebih tertarik

kepada sejenisnya daripada laki-laki. Tapi ada perbedaan antara memiliki

ketertarikan pada wanita dan minat seksual yang asli kepada wanita. Ini

bukan perbedaan yang bisa dengan mudah dijelaskan dengan kata-kata

karena ini berkaitan dengan perasaan-perasaan. Beberapa wanita memiliki

ketertarikan secara fisik dan seksual yang konstan kepada wanita, bukannya

kepada laki-laki. Inilah yang dinamakan lesbian (definisi lesbian.2007).

Ada dua definisi perasaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu

hasil atau perbuatan merasa dengan panca indera serta rasa atau keadaan

batin sewaktu menghadapi atau merasai sesuatu. Dalam penelitian tentang

emosi di Indonesia Heider (1991) menggunakan istilah perasaan hati untuk

mewakili istilah emosi. Ia menyatakan bahwa kata “perasaan hati” berakar

dari bahasa Sansekerta “rasa” yang artinya emosi. Istilah perasaan hati yang

(38)

dalam bahasa Inggris. Hal perasaan hati menurut Heider (1991) adalah

kategori-kategori yang overt, familiar dan mudah dikenali.

Istilah perasaan sering dipertukarkan dengan istilah emosi. Meskipun

banyak ahli membedakan kedua istilah itu namun belum ada kesepakatan

untuk memisahkan apa saja yang termasuk emosi dengan apa saja dapat

dikategorikan perasaan. Contoh: suatu laporan penelitian tentang aspek

akustis dimensi emosi, mengkategorikan hal-hal berikut sebagai emosi:

kesenangan, aktivitas, potensi, ketertarikan, kesedihan, takut, kegembiraan,

jijik, marah, terkejut, kegirangan, kejemuan. Penelitian lain komunikasi

perasaan-perasaan memasukan marah, takut, kegembiraan, kecemburuan,

cinta, kegugupan, bangga, kesedihan, kepuasan, simpati.

1.6.2.4.2 Hubungan Seksual

Dalam masyarakat, seks ternyata dikonotasikan negatif, yaitu seks

seringkali dipersepsikan hanya sebuah hubungan jasmani, antara pria dan

wanita. Pengertian megenai seks ini tentu saja merupakan pandangan yang

sempit, sebab masalah seksualitas tidak hanya menyangkut hal itu saja

melainkan hal yang cukup luas. Seks dalam bahasa latin artinya adalah

sexus, yaitu merajuk kepada alat kelamin. Menurut Harris (1994),

seksualitas yang asal katanya dari sex merujuk kepada alat kelamin atau

kriteria jenis kelamin secara biologi, aktivitas yang berkaitan langsung

dengannya. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia (Echols dan

Shadily,1990), kata seks diartikan sebagai jenis kelamin dan segala sesuatu

(39)

Intensi seksual adalah hasrat seksual untuk berperilaku seksual, baik

dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Hasrat seksual yang ditampilkan

bisa bermacam-macam mulai dari pasangan tertarik sampai tingkah laku

berkencan, bercumbu, dan bersenggama (Sarwono, 1994).

Wanita homoseks (lesbian) dapat lebih mandiri, fleksibel,

dominan, dapat mencukupi kebutuhan sendiri, dan tenang. Kelompok

homoseks ini, juga tidak mengalami kecemasan dan kesulitan psikologis

lebih banyak daripada para heteroseks. Pasalnya mereka menerima dan tidak

terganggu secara psikis dengan orientasi sesual mereka, sehingga mampu

menjalankan fungsi sosial dan seksualnya secara efektif (Gaya

Nusantara.2007).

1.6.2.4.3 Media Komunitas dan Kode Komunitas Lesbian

Kaum homoseksual (lesbian) seringkali menjadi kumpulan

masyarakat minoritas. Tapi walaupun demikian, harus ada ruang bagi

opini-opini, suara minoritas di mana orang-orang yang berada di kalangan ini

dapat saling bergabung dan tampil.

Munculnya media komunitas kaum homoseksual (lesbian) dapat

menjadi media alternatif yang merupakan bentuk-bentuk komunikasi massa

yang menolak atau menantang kemapanan dalam masyarakat, atau paling

tidak mengkritisi nilai-nilai tradisional yang telah menghujam kuat

sebelumnya. Di mana kaum homoseksual (lesbian atau gay) ditentang dan

tidak diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat pada umumnya.

(40)

kesadaran anggota-anggota komunitasnya untuk lebih mengenali diri sendiri

dan lebih jauh lagi memberdayakan diri mereka untuk tampil dengan

identitas mereka sebagai lesbian dan gay serta melepaskan diri dari arus

hegemoni ideology seksualitas yang selama ini tanpa mereka sadari telah

mendistorsi cara pandang mereka terhadap realitas. Melalui media

komunitas inilah mereka mempresentasikan homosekual dari sudut pandang

mereka sendiri (Hall, 1979.hlm.340).

Keberadaan media komunitas dalam komunitas lesbian dan gay

yang dapat kita sebut sebagai sebuah subkultur merupakan suatu proses

komunikasi di mana melalui terciptanya budaya bersama dan kemudian

dimodifikasi dan ditransformasikan. Proses komunikasi yang terjadi disini

lebih bersifat sebagai sebuah ritual dan dipusatkan bukan pada tindakan

penyebaran informasi atau pengaruh tapi lebih pada penciptaan dan

representasi kepercayaan bersama (Carey, hlm.18).

Di sini komunikasi dikaitkan dengan berbagai istilah, misalnya

‘kebersamaan’ (sharing), partisipasi, asosiasi, persahabatan, dan titik

pandang yang sama. Pandangan ritual tidak menekankan pada penyebaran

informasi dari sudut ruang, melainkan pada masalah pembinaan masyarakat

dalam kurun waktu tertentu, tidak menekankan pada upaya penyampaian

informasi, tapi pada pencerminan kesamaan pandangan (Mc Quail hlm.45).

Begitu pula dalam kode komunitas lesbian, lebih detail lagi butch pun

dipersyaratkan harus lebih macho, lebih tabah, tidak boleh cengeng, dan

(41)

diperlakukan harus lebih lembut, pandai urusan rumah tangga, dan atribut

feminim lainnya (Ratri,M.2007). Menurut Sherrie A. Innes dalam tulisannya

yang berjudul Butch – Femme Relation, mendefinisikan secara sederhana

bahwa butch dan femme merupakan adopsi peran tradisional yang

diasosiakan layaknya hubungan laki – laki dan perempuan. Diidentikan

bahwa butch itu kelaki – lakian dan femme menyandang “keperempuanan”

lebih lanjut bahwa butch mengenakan pakaian laki – laki serta agresif secara

seksual. Sementara femme mengenakan baju ‘sangat perempuan’ dan pasif

secara seksual. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat dipastikan secara benar

karena cara pandang tersebut sungguh bias (Ratri.M.2007).

1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Pendekatan

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan ekspresivisme dan

pendekatan psikologi sastra. Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986:126)

psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati karya sastra dengan

sudut pandang psikis. Namun demikian, penulis akan memulai dengan

menganalisis dari segi ekspresivisme pengarang dalam kaitannya dengan

psikologi tokoh novel tersebut.

Dengan menggunakan pendekatan ini, penulis akan mencari hubungan

keduanya yakni kehidupan nyata si pengarang dan tragedi kehidupan Sangkhala

(42)

1.7.2 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif komparatif.

Metode deskriptif yaitu dilakukan dengan cara mendiskripsikan fakta-fakta yang

kemudian disusul dengan analisis (Ratna.2004:53). Metode deskriptif komparatif

merupakan metode dengan cara menguraikan dan membandingkan

(Ratna.2004:53). Metode komparatif digunakan untuk memberikan gambaran

perbandingan latar belakang kehidupan yang berkaitan antara pengarang Deojha

dan tokoh Sangkhala Senja. Penulis menganalisis yang terjadi antara tokoh dalam

novel Lesbian Laki-laki dan kehidupan nyata si pengarang. Selain itu, penulis

mendiskripsikan hasil analisis yang berupa perasaan secara psikis tokoh utama

dalam novel Lesbian Laki-laki.

1.7.3 Teknik Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik catat dan teknik simak

serta wawancara. Teknik catat terlebih dahulu membaca secara berulang-ulang

kemudian menyimak bahan-bahan yang akan diteliti, setelah itu mencatat segala

hal yang berkaitan dengan rumusan masalah (Ratna.2004:37). Dalam mencatat,

penulis memerlukan alat-alat yang dapat digunakan untuk membantu

mengumpulkan data. Melalui alat bantu ini, penulis menyimpulkan,

menginventariskan dan mengklasifikasikan data terutama yang berhubungan

dengan nilai-nilai psikologis yang dikomparasikan antara tokoh utama dan si

(43)

1.8 Sumber Data

Judul Buku : Lesbian Laki-laki

Pengarang : Deojha

Penerbit : Pinus

Tahun Terbit : 2006

Tebal Buku : 209 halaman

1.9 Sistematika Penyajian

Penelitian ini disajikan dalam 4 Bab. Keempat bab tersebut antara satu

dengan yang lainnya saling berkaitan. Bab I merupakan bab yang berisi

pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, sumber data, sistematika

penyajian, dan daftar pustaka. Bab II merupakan bab yang menyajikan kehidupan

tokoh utama dalam novel Lesbian Laki-laki secara psikologis sebagai seorang

lesbian serta menganalisis hasil kajian ekspresivisme yang mengungkap hubungan

antara pengarang dengan hasil karyanya. Bab III mengungkapkan seluk-beluk

kehidupn lesbian “butchie” dalam novel Lesbian Laki-laki beserta jenis-jenis dan

faktor-faktor penyebab lesbianisme yang dialami pengarang Deojha maupun

(44)

BAB II

KAJIAN EKSPRESIVISME HUBUNGAN ANTARA PENGARANG

DEOJHA DENGAN TOKOH SANGKHALA SENJA

2.1 Pengantar

Pada bab II ini penulis menganalisis hubungan antara kehidupan

pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja dalam novel Lesbian Laki-laki.

Analisis tentang hubungan pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja

dalam novel Lesbian Laki-laki karyanya, akan difokuskan pada perbandingan latar

belakang masa kecil hingga dewasa antara keduanya.

Dari analisis unsur pengarang dan tokoh ini, akan ditemukan beberapa

kesamaan dan perbedaan dalam proses ekspresivisme atau pengungkapan hasil

karya pengarang sesuai dengan kehidupan secara nyata.

2.2Perbandingan Latar Belakang Kehidupan Keluarga dan Masa Kecil

Dalam bab ini akan dikemukakan hubungan antara pengarang dan tokoh

dalam novel Lesbian Laki-laki. Hubungan tersebut dijelaskan dalam latar

belakang kehidupan keluarga antara pengarang dan tokoh sebagai berikut.

2.2.1 Pengarang Deojha

Dalam wawancara beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 24 November

2006, lewat beberapa pertanyaan dan informasi yang peneliti

dapatkan, tentang latar belakang kehidupan keluarga dan masa

(45)

Deojha lahir di Yogyakarta tepatnya tanggal 23 Juni 1984, memeluk

agama Katholik, belum menikah, adalah anak kedua dari dua

bersaudara dan juga mempunyai orang tua angkat dan tiga kakak

angkat laki-laki. Ia merupakan individu yang mempunyai postur tubuh

yang tidak terlalu tinggi, kecil, berambut pendek serta tomboy dan

juga senang merokok. Saat ini Deojha bekerja di sebuah LSM di

daerah Tamansiswa. Ia terlahir dari keluarga ningrat oleh sebab itu ia

dibesarkan dalam aturan tata krama dan disiplin yang tinggi. Ia

mempunyai kakak perempuan bernama Meylvinas Emelia Pramudita.

Deojha ditinggal oleh ayahnya sejak kecil, karena orang tuanya

bercerai lalu ayahnya pergi merantau keluar Jawa. Karena alasan

ekonomi dan ketidakcocokan itulah yang menyebabkan mereka

bercerai. Sejak itu, Deojha dan kakaknya tidak pernah bertemu dengan

ayahnya. Namun saat ini ayahnya sudah mempunyai keluarga baru.

Dan Deojha pun mengaku sampai sekarang ia tetap berkomunikasi

dengan ayahnya meskipun hanya untuk satu keperluan yaitu meminta

uang.

(1) “Aku kecewa dengan keadaan keluargaku yang seperti itu, tapi mau bagaimana lagi itu sudah kenyataan yang harus kutrima bahwa aku tidak bisa menikmati masa kecil yang bahagia seperti teman – temanku yang lain, tapi tidak apa-apa”.

(46)

2.2.1.1 Perceraian Orang Tua.

Setelah perceraian orang tuanya dan akhirnya di tinggal pergi oleh

ayahnya, keadaan ekonomi mulai kacau. Karena ibu Deojha tinggal

bersama dengan orang tua dan keluarga besarnya yang berekonomi

lemah maka ibunya harus bekerja keras agar bisa menyekolahkan

kedua anaknya. Ibu Deojha yang depresi menghadapi perceraian dan

kehidupan yang harus ia jalani sebagai orang tua tunggal,

membuatnya sering emosi dan memukul Deojha apabila sedang

marah. Ibunya sering melampiaskan kekesalan pada anak-anaknya

terlebih pada kakaknya. Pada akhirnya, ibunya terpaksa

menyerahkan Deojha menjadi anak angkat salah satu kerabatnya

yang tinggal di Jakarta yakni kakak dari ibunya, karena faktor

ekonomi yang tidak memungkinkan. Di sana Deojha mempunyai 3

kakak angkat laki-laki yakni anak dari orang tua angkatnya.

(2) “Ibuku sering marah-marah kalau kakakku melakukan sedikit kesalahan.

Apakah itu wajar jika ibuku melampiaskan kemarahannya pada Meylvi? Dan aku tidak tau apa-apa walaupun aku tau ibuku sedang menjerit karena tak sanggup menjalani semuanya itu sendirian. Tapi apa boleh buat. Aku hanya bisa diam dan menangis jika melihat kakak perempuanku dipukul oleh ibuku”.

(3) “Aku hanya bisa pasrah ketika aku diangkat anak oleh salah seorang saudara ibuku yang tinggal di Jakarta. Aku sedih karena harus berpisah dengan orang yang kusayangi yakni ibuku dan kakakku. Lagipula dulu aku masih kecil, jadi aku belum begitu mengerti. Aku tinggal dengan orang tua angkatku dan berkenalan dengan ketiga anak laki-lakinya. Karena semua saudara angkatku laki-laki, aku menjadi gadis tomboy, asik lho main mobil-mobilan dan main bola”.

(47)

2.2.1.2 Kehidupan Setelah Menjadi Anak Angkat

Deojha mengaku, ia mengalami banyak perubahan. Disamping ia

tumbuh menjadi gadis tomboy, karena ketiga kakaknya laki-laki

semua. Ia merasa senang, karena merasa ada yang melindunginya

dan menjaganya. Dalam keluarga angkatnya, Deojha menjadi anak

bungsu karena hanya dialah satu-satunya anak perempuan dan

menjadi anak yang paling muda. Namun, Deojha merasa sedih ketika

ia sering diolok-olok oleh teman-temannya di sekolah. Ia sering

dijuluki anak pungut, entah dari mana mereka mengetahui bahwa

Deojha adalah anak angkat. Deojha hanya bisa menangis karena pada

waktu itu ia masih kecil dan tidak tahu harus membela dirinya

sendiri dengan cara seperti apa.

(4) “Aku senang tinggal bersama orang tua angkat dan ketiga kakak

angkatku. Mereka semua baik terhadapku. Aku jadi bisa merasa sedikit macho. Aku bisa menjadi anak yang tidak mudah menangis karena mereka mengajariku cara bermain ala anak laki-laki juga belajar beladiri.Asik pokoknya….!

Tapi aku juga seringkali sedih ketika di sekolah sering diejek teman-temanku hey…anak pungut…anak pungut….ngapai kamu sekolah disini!!begitu kata mereka.Apa salahku?Dan siapa yang mengajarkan mereka berbicara seperti itu. Tapi aku tidak mempedulikannya. Begitulah bagian hidup masa kecilku dirumah dan disekolah”.

(48)

2.2.1.3 Bertemu Kembali dengan Keluarga di Jogja

Deojha kembali ke Jogja ketika ayah angkatnya dipindahtugaskan

di kota itu, sehingga Deojha bisa bertemu dengan ibu dan kakak

perempuannya serta sekaligus hidup dengan dua keluarga. Saat di

Yogyakarta, Deojha melanjutkan masa pendidikan SMP dan SMA.

Keadaan tidak banyak berubah setelah ia berpisah lama dengan ibunya,

hanya saja ibunya menjadi orang yang tidak mudah pemarah dan

sedikit tenang. Seiring berjalannya waktu, Deojha harus banyak belajar

menyesuaikan diri kembali untuk hidup dalam tata karma dan aturan

keluarga eyangnya yang ningrat, karena Deojha tinggal lama di Jakarta

yang berbeda sekali kehidupan dan pergaulan sosialnya.

(5) “Lulus SD, aku langsung boyongan (pindahan) ke Jogja lagi karena ayah angkatku berpindah tugas di sana. Di samping merasa senang karena dapat bertemu kembali dengan ibu kandungku dan Meylvi kakakku, aku juga sedih bertemu kembali dengan aturan-aturan dan disiplin tata karma atau apalah semacam itu”.

Begitulah kehidupan Deojha semasa ia kecil, harus terpisah oleh

keluarga kandungnya. Namun di samping itu, ia juga menemukan

kebahagiaan dengan keluarga barunya yakni keluarga angkatnya.

(49)

2.2.2 Tokoh Shangkala Senja

Dalam novel ini Senja merupakan tokoh yang melambangkan diri

pengarangnya dalam kehidupan yang sebenarnya. Tentang kehidupan

seorang tokoh Shangkala Senja yang merupakan cerita dan karya

nyata dari kehidupan yang dialami pengarang. Dalam cerita ini,

Sangkhala Senja merupakan tokoh yang menjadi lesbian “butchie”.

Akan tetapi masa kecilnya tidak seindah anak-anak lainnya. Di

samping orang tuanya yang bercerai, ia mengalami tekanan dalam

hidupnya serta dalam keluarga besarnya. Hal itu terdapat dalam

kutipan berikut.

(1) “Aku hanya ingat masa-masa sakit, sedih dan tertekan. Bagiku tidak

heran karena masa kecilku tidak semanis nona-nona kecil yang selalu dimanja orang tua mereka. Bagaimana ya memulai untuk menceritakannya. Mungkin dari sebuah silsilah hidupku terlebih dahulu. Shangkala Senja namaku. Panggil saja Senja. Seperti masa laluku yang meredup, nama Senja disematkan padaku. Tanggal duapuluh tiga di bulan Juni aku lahir. Sebenarnya aku lahir di tengah-tengah keluarga berdarah biru. Ningrat, priyayi atau apalah sebutannya. Mungkin mempengaruhi sifat keluargaku yang sangat feodal itu. Bisa dibayangkan bagaimana keluarga Jawa bersikap, apalagi sebuah keluarga ningrat. Entah bagaimana silsilah darah biru itu mengalir. Ruwet dan aku tidak pernah tertarik untuk mencari tahu (hlm. 16)”.

2.2.2.1 Perceraian Orang Tua

Shangkala Senja mempunyai latar belakang orang tua yang sangat

berbeda tradisi dan adat istiadatnya. Seperti yang dijelaskan dalam

kutipan berikut ini:

(2) “Ibu kandungku yang berasa dari keluarga ningrat dan ayahku asli dari

(50)

Senja menghadapi perceraian kedua orang tuanya saat ia masih

kecil dan karena itulah ibunya tidak memberitahukan alasan mereka

bercerai. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut.

(3) “Aku dan Jingga masih sangat kecil ketika ibu dan ayah memutuskan

untuk bercerai. Berpisah jiwa dan raga. Alasan-alasan klise yang selalu diberikan ketika kami bertanya di mana ayah, mengapa ayah tidak pernah lagi membuat obor saat malam takbiran dan lain-lain. Intinya ayah tidak lagi ada di tengah-tengah kami (hlm.20)”.

Sampai pada akhirnya Senja mengetahui yang sebenarnya alasan

mengapa orang tuanya bercerai. Ternyata ada beberapa faktor yang

membuat mereka berpisah yang tidak lain adalah adanya campur

tangan dari pihak keluarga besar dari ibunya. Hal itu dijelaskan dalam

kutipan berikut.

(4) “Sampai kami semakin besar dan tahu alasan sebenarnya kenapa mereka

bercerai. Masalah ekonomi yang mengguncang rumah tangga mereka. Ibu frustasi karena sebenarnya belum siap dengan pernikahan di usia muda. Memiliki dua orang anak yang masih membutuhkan susu dan semacamnya tapi suaminya pengangguran. Aku tidak menyalahkan ibu, tapi aku juga tidak bisa menyalahkan ayah yang tidak kalah tertekannya oleh sikap ibu yang selalu marah-marah dan tidak mau bersabar apalagi mengerti. Ayah sudah berusaha untuk mencari pekerjaan, hanya saja belum beruntung. Lalu harga dirinya mulai tergoresi ketika keluarga besar ini ikut campur. Kakek menyuruh ayah untuk ikut bekerja di kraton. Sebagai apa aku tidak paham, yang jelas ayah menolak. Selama

itu ayah sudah cukup toleran untuk mengikuti adat manut yang jauh dari

adatnya sendiri. Lagipula percuma, bekerja di kraton itu adalah sebuah pengabdian bukan tempat untuk dapat uang banyak. Kasian ayah (hlm.20)”.

Persoalan itu semakin jelas ketika ayahnya memustukan untuk

bekerja di luar pulau Jawa. Orang tua Senja pun benar – benar

berpisah. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut.

(5) “Dan saat keberuntungan itu menyapa ayah dengan akhirnya mendapat

(51)

masing-masing dari mereka menikah lagi. Terus terang aku tidak terlalu ingat wajah ayah (hlm. 21)”.

Sangkhala Senja mulai merasakan kesedihan pada masa kecilnya

ketika mengalami dampak perceraian orang tuanya. Ia akhirnya diasuh

oleh salah satu saudara dari ibunya dan dijadikan anak angkat, hal itu

terjadi lantaran himpitan ekonomi yang menimpa keluarganya karena

harus menghidupi kedua anak yang masih balita tanpa penghasilan

tetap. Kondisi itu dijelaskan dalam kutipan berikut ini.

(6) “Bagaimana mungkin dengan sikap ibu yang kaku dan ditambah lagi

gelar janda bisa membuat ibu kuat untuk membesarkan dua orang anak yang masih balita? Apalagi kondisi ekonomi tidak semakin membaik. Itulah yang membuat ibu memutuskan untuk memberikan aku pada kakak perempuannya untuk diangkat anak. Aku sudah penyakitan dari kecil. Paru-paru yang berlubang membuatku bertubuh sangat kurus. Gigi-gigi susuku yang selalu sudah rusak ketika tumbuh dan membuatku selalu sakit gigi. Ketika penyakit-penyakit itu kambuh dan aku merintih kesakitan, ibu malah geram dan memukul atau mencubitiku. Semakin keras aku menangis, semakin ibu memukul dan mencubit (hlm. 21)”.

Senja merasa pasrah ketika ia harus diangkat anak oleh saudaranya

dan hidup terpisah dengan ibu dan kakak perempuannya. Ia sedih dan

tidak ingin membebani ibunya. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut.

(7) “Aku mensyukuri banyak hal karena menjadi bagian dalam keluarga ini.

(52)

2.2.2.2 Kehidupan Sangkhala Senja setelah Menjadi Anak Angkat

Sangkhala Senja akhirnya dibawa ke Jakarta di rumah orang tua

angkatnya. Ibu angkatnya mempunyai tiga anak laki-laki, karenanya

Senja tumbuh menjadi gadis yang mempunyai sifat maskulin. Hal itu

terdapat dalam kutipan berikut.

(8) “Keluarga angkatku membawaku pindah ke Jakarta. Mereka

memperlakukan aku dengan sangat baik. Kebetulan mereka tidak memiliki anak perempuan. Ketiga anak mereka laki-laki, jadi aku bagaikan seorang putri di antara mereka. Dari situ aku terbentuk menjadi seorang Sangkhala Senja yang baru. Yang mulai merasa aneh jika memakai rok atau baju-baju perempuan. Mulai menyenangi robot-robotan dan mobil-mobilan daripada boneka. Yang lebih memilih ekstrakulikuner basket daripada menjahit. Aku lebih suka membantu membetulkan genteng daripada memasak bersama mama. Juga lebih tertarik melihat dada perempuan ketimbang tubuh laki-laki yang kekar. Semakin hari semakin berjiwa maskulin di sebuah keluarga yang lebih demokratis, bersama ketiga kakak laki-lakiku dan pasangan suami-istri yang sudah terbiasa kupanggil mama dan papa itu (hlm. 22)”.

Pemasalahan Senja tidak hanya usai semenjak ia tidak tinggal

bersama ibu kandungnya dalam menghadapi kemarahan dan kesedihan

ibunya. Akan tetapi di lingkungan sekolah Senja juga mengalami

kesedihan karena sering diejek oleh teman-temannya. Hal itu terdapat

dalam kutipan berikut.

(9) “Masalah memang tidak akan pernah lepas dari kehidupan seseorang.

(53)

Kisah Sangkhala Senja merupakan ekspresi dari kehidupan yang

dialami pengarang Deojha. Dalam hal ini Sangkhala Senja merupakan

rekaan fiksi yang disajikan oleh pengarang Deojha untuk

menyampaikan pengalaman hidup yang sebenarnya.

2.2.2.3 Sangkhala Senja Pulang ke Yogyakarta

Pada akhirnya Sangkhala Senja sudah tidak dapat bertahan lagi

hidup di Surabaya. Dia tidak merasa nyaman akan kehidupan di sana.

Maka Ia memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta ke kota

kelahirannya. Akan tetapi, ternyata tidak semudah yang Ia harapkan.

Ternyata mencari pekerjaan itu sulit.

Pada cerita fiksi karangan Deojha, tentang Sangkhala Senja tidak

disebutkan secara rinci bagaimana Ia kembali ke tanah kelahirannya di

Yogyakarta untuk bertemu keluarganya. Hal itu tidak dapat dipastikan

jelas, namun hanya terdapat dalam kutipan berikut.

(10) “Sudah lama aku menjadi pengangguran di kota kelahiranku sendiri. Kamu sedang bersamanya saat aku berjuang dalam beku. Berjuang untuk mendapatkan apa yang menurutmu baik dan benar (hlm.118)”.

(11) “Aku masih terus menulis dan lamaran kerjaku juga masih ditolak lagi. Entah apa yang salah pada diriku ehingga banyak orang yang menolakku. Jangan-jangan didahiku ada tulisan yang besar dan sangat jelas; LESBIAN (hlm.126) ”.

Dalam kutipan no.(10) dan (11) dijelaskan bahwa senja mengalami

kesulitan untuk mencari pekerjaan di kota kelahirannya, yakni Jogja.

Dia berpikir bahwa karena jati dirinya sebagai lesbian yang mungkin

(54)

2.3 Perbandingan Kehidupan pada Masa Dewasa sebagai Mahasiswa

Pada sub bab kali ini peneliti akan menjelaskan tentang kehidupan

setelah beranjak dewasa antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja

dalam novel Lesbian Laki-laki.

2.3.1 Pengarang Deojha

Dalam kehidupannya Deojha mengalami banyak hal dan pengalaman

yang tidak terduga. Hal itu akan dikemukakan dalam analisis berikut.

2.3.1.1 Fase sebagai Mahasiswa

Setelah Deojha beranjak dewasa tepatnya semenjak lulus dari SMA,

ia berkeinginan melanjutkan kuliah di kota Surabaya. Di sana salah

satu kakak angkat laki-lakinya tinggal bersama istri dan anaknya. Hal

itu diungkapkan dan diceritakan pada wawancara tepatnya di sebuah

café pada tanggal 20 November 2006 sebagai berikut.

(6) “Setelah lulus dari SMA aku berpikiran untuk melanjutkan kuliah di Surabaya, tepatnya di LIA. Aku berpikiran untuk mengambil Jurusan Sastra Inggris pada waktu itu. Di sana aku hidup dengan mas Pandhu. Salah satu kakak angkatku yang tinggal dan bekerja disana dengan istri dan anaknya. Pada waktu itu aku hanya merasa senang, karena bisa memperbanyak pengalamanku untuk hidup di kota lain. Sampai saatnya semua itu akan mengubah jalan hidupku selamanya”.

Ketika Deojha menjalani kuliah di sana, ia mempunyai banyak

pengalaman tentang hidup. Ia menemukan suatu kebebasan tersendiri

yakni tentang bagaimana jati dirinya yang sesungguhnya dan

perasaannya yang sudah mulai timbul sebagai seorang lesbian. Bukan

karena terpanggil oleh lingkungan dan semacamnya, akan tetapi apa

(55)

(7) “Di Surabaya aku merasa bebas, dalam arti aku bisa berpacaran dengan perempuan, aku bisa benar-benar mengekspresikan perasaanku secara terbuka apalagi dengan hadirnya seorang kekasih(lesbian) yang mampu mengubah hidupku”.

2.3.1.2 Fase Pacaran

Ketika Deojha beranjak dewasa, ia mulai merasa bebas untuk

menentukan pilihannya termasuk dalam hal menjalin hubungan dengan

orang lain. Apa yang dirasakannya sebagai seorang lesbian butchie

Deojha pun pernah berpacaran dengan sesama lesbian yang bertindak

sebagai lesbian femme (lesbian yang berposisi sebagai perempuan).

Seperti yang telah diakuinya sebagai lesbian ia pun menceritakan

beberapa pengalamannya sebagai berikut.

(8) “Di Surabaya aku pernah beberapa kali berpacaran. Itu terjadi saat aku

mulai berani mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Terus terang aku pernah pacaran sebanyak sepuluh kali. Fantastik bukan! Dari semuanya hanya beberapa saja yang benar-benar berarti selebihnya hanya perempuan yang mengisi kekosongan dengan mencoba hal yang baru yakni trend menjadi lesbian alias biseksual”.

(9) “Lesbian tidak ada bedanya dengan kaum heteroseksual dalam berpacaran. Aku menjalin hubungan seperti pasangan lainnya, berbincang-bincang, bermesraan, menoton film di bioskop, makan bersama, dan banyak lagi hal yang bisa dilakukan. Kesepuluh pacarku itu kuperlakukan sama,karena pada hakekatnya itulah perasaan cinta dan kasih sayang serta perhatian yang aku berikan”.

(10) “Aku pernah pacaran dengan yang namanya Fitri di buku sepertinya

sudah aku ceritakan beberapa dari mereka. Ada pula yang bernama Windy, Asia, Astrid, Feby, Anggie, Wida, Lina, Wini, dan tentunya Ayu pacarku saat ini”.

(56)

2.3.1.3 Putus Cinta

Dalam menjalin hubungan asmara pun Deojha juga mengalami

patah hati, tidak semuanya berjalan sesuai dengan yang dikehendaki.

Hal ini disebabkan karena beberapa alasan seperti dalam kutipan

wawancara berikut.

(11) “Setiap kali berpacaran aku tidak lepas dari konflik putus cinta. Kerap kali aku harus merasakan kekecewaan. Rata – rata karena tidak adanya kecocokan itulah maka aku putus dengan pasanganku. Tapi ada juga hal yang membuatku kecewa lantaran ternyata ia pergi meninggalkan aku untuk memilih bersama orang lain. Hal yang pahit yang pernah

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat hal ini sangat penting dalam kinerja suatu sistem karena terdapat respon antara satu komponen aktivitas dengan komponen aktivitas lainnya yang saling

Hubungan yang baik antara penyanyi dalam sebuah paduan suara akan menciptakan suasana yang menyenangkan ketika menyanyikan sebuah lagu, karena komunikasi

PERAN PEMERINTAH DESA DALAM PENANGANAN KONFLIK KEAGAMAAN (Studi Penelitian Tentang Konflik Keagamaan Antara Nahdhlatul Ulama Dengan Majelis Tafsir Al- qur’an Di Desa

Rumusan permasalahan penelitian ini adalah: Apakah pangsa pasar rumah sederhana Type 36 yang dibangun oleh PT Bugowa Sarana Mandiri di Kabupaten Gowa dalam lima

Fresmon Pacifik Prima periode 31 Desember 2009 sampai dengan 31 Desember 2012 Dengan data perbandingan berdasarkan hasil pengamatan sementara menggunakan konsep

6. Kolom 6 diisi dengan jumlah pendapatan yang disetorkan.. penyetoran dilakukan pada saat bendahara penerimaan pembantu menyetorkan pendapatan yang diterimanya ke rekening

Diagram Hasil Peningkatan Hasil Belajar Siswa dari Data Awal, Siklus I, Siklus II dan Siklus III

14/KEP.BB/102/2013 Tanggal 26 Januari 2013 tentang Penunjukan Pengelola (Procurement Unit) Barang/Jasa Pemerintah Kabupaten Bone Bolango Tahun 2013, denga dihadiri