Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Diusun Oleh:
Wiraningtyas Ari Pangestuti 024114039
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
SERTA ORANG – ORANG YANG SAYA CINTAI DALAM
HIDUPKU
berontaknya agar dapat berdialog dengan Allah. Sebaliknya, tepat di saat seseorang mengungkapkan perasaannya, dimulailah dialog kebenaran.
(Paul Tournier)
Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.
(Filipi 4:8)
Makna kehidupan adalah menemukan bakatmu: Tujuan kehidupan adalah memberikan bakatmu.
(Joy J. Golliver)
Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sastra Indonesia.
Penelitian ini mengkaji tentang kehidupan lesbian “butchie” dalan novel Lesbian Laki – laki. Penelitian ini memiliki dua tujuan. Pertama, memaparkan latar belakang hubungan antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja yang meliputi kajian ekspresivisme antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja yang tentang perbandingan latar belakang kehidupan keluarga dan masa kecil, serta perbandingan kehidupan pada masa dewasa sebagai mahasiswa. Kedua, menganalisis kajian psikologis gambaran dunia lesbian, jenis lesbian dan faktor penyebab lesbianisme terhadap pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja dalam novel Lesbian Laki – laki.
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekspresivisme dan psikologi sastra. Pendekatan ekspresivisme digunakan untuk menganalisis huungan antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja, sedangkan pendekatan psikologi sastra digunakan untuk menganalisis gambaran dunia lesbian, jenis serta faktor penyebab lesbianisme dalam novel yang secara psikologis dialami oleh pengarang dan tokoh utama. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan metode komparatif. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan hubungan latar belakang pengarang dan tokoh utama. Metode komparatif digunakan untuk menganalisa gambaran kehidupan yang saling berkaitan antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja.
Hasil kajian novel ini berupa deskripsi ekspresivisme (real autor) dari kehidupan pengarang yng digambarkan tokoh fiksi dengan jati diri sebagai lesbian dalm novel Lesbian Laki – laki. Tokoh fiksi yang merupakan tokoh utama penggambaran diri pengarang adalah Sangkhala Senja. Pengungkapan latar belakang kehidupan antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja melalui kehidupan masa kecil dan dewasa. Sebagai fase perbandingan ykni (1) kehidupan keluarga dan masa kecil, (2) fase keshidupan dewasa sebagai mahasiswa.
Hasil kajian psikologi mengungkapkan dunia lesbian yakni 1) perasaan – perasaan yang dirasakan oleh pengarang dan tokoh seperti cinta, cemburu, marah, takut, sedih, dan bahagia, 2) hubungan seksual, 3) media komunitas dan kode komunitas lesbian, serta 4) jenis lesbian dan faktor penyebab lesbian.
Yogyakarta: Indonesian Literature Study Programs. Faculty Of Letters. Sanata Dharma University.
This research is attempted to study about the of lesbian ‘butchie’ in Deojha’s Lesbian Laki-laki. This study is led to accomplish two main objectives. The first objective is to observe the relation between Deojha as the author and Sangkhala Senja as the main actor, concluding the study of expresivism between their family background, childhood and adult life as the students. The second objective is to analyze the psylogical research about lesbian’s world depiction, the type of lesbian and the main factor of lesbianism on Deojha and Sangkhala Senja in Lesbian Laki-laki.
In accomplishing the analysis the writer uses expresivism approach and literature psychology. Expresivism approach is applied to analyze the relation between Deojha and Sangkhala Senja, while literature psychology is applied to analyze the lesbian’s world, the type and also the main factor which causing lesbianism in Deojha and Sangkhala Senja psychogically. This research uses descriptive and comparative method. The descriptive method is applied to describe the relationship background between the author and the main actor. The comparative method is used to analyze the life depiction of Deojha and Sangkhala Senja which are connected each other.
The result of this novel’s study is description of expresivism from the real author’s life which is shown in the fictional actor as the lesbian personality in LesbianLaki-laki. Sangkhala Senja is the depiction of the author as the fictional character. The writer reveals the life background between the author Deojha and the actor Sangkhala Senja by examining their childhood and adulthood. As the compavison (1)family life and childhood (2)adulthood as the students.The result of the psychology study reveals the lesbian’s word, that are (1) ) the author and the actors feeling such as love and jealousy, anger, sadness, scared, and happiness. (2) sexual intercourse, (3) media community and lesbian community code, (4) the type and the main cause of lesbianism.
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Lesbian
“Butchie”dalam Novel Lesbian Laki-laki karya Deojha sebuah kajian
Ekspresivisme dan Psikologi Sastra. Skripsi tidak akan pernah terwujud tanpa
bimbingan dan semangat dari semua pihak. Saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, atas Karunia dan Kehendak-Nya.
2. Bapak Drs. Yoseph. Yapi.Taum,M. Hum.,selaku Dosen pembimbing I
skripsi yang telah membagikan ilmunya kepada saya.
3. Ibu Susilowati Endah Peni Adji,S.S,M.Hum., selaku Dosen pembimbing II
skripsi yang memberikan banyak masukan kepada saya.
4. Seluruh Dosen Prodi Sastra Indonesia, Bapak Drs. B. Rahmato,M. Hum.,
Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., Bapak Drs. Hery Antono, M.
Hum., Bapak Drs. Ari Subagyo, M. Hum., Bapak FX Santoso, M.S., Ibu
Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum.
5. Bapak Parwoto dan Ibu Endang Indrayati, terima kasih atas segala
pengorbanan, doa, nasehat, kebaikan, kesabaran, dan kasih sayang
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
7. Teman-teman seperjuanganku Genk Baskom, Fany, Eli, Luki, Erda, dan
Rosa, untuk waktu dan indahya persahabatan kita semoga abadi
selamanya.
8. Keluarga besarku tercinta, Tante Nana, Kak Nupy, Kak Frans, Kak Deby,
Adikku gendut Andreas, keponakanku Stefany dan Amelia, untuk doa,
semangat dan dukunganya pada penulis.
9. Kokoku Christoporus Rinno Granada Adiyanto, untuk dukungan, kasih
sayang, serta ketulusan hati yang tiada batasnya.
10.Seluruh teman-teman Prodi Sastra Indonesia Angkatan 2002, Yogi, Bonet,
Bangun, Plentong, Sapi, Sumantri, Marta, Lusi, Iren, domex dan teman –
teman yang lain, kalian sangat spesial.
11.Teman- teman KKN, Tanti, Vera, Archi, Mbak Adis, Ciput, Dwi, Rangga,
terima kasih atas persahabatan kalian.
12.Seluruh pihak administrasi Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.
13.Seluruh Staff dan karyawan UPT Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma.
14.Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terima kasih
atas dukungannya.
saya sangat berterima kasih.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan ilmu kepada
pengetahuan khususnya di bidang sastra Indonesia di masa yang akan datang.
Terima kasih.
Penulis
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……….iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.………...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……….………v
HALAMAN MOTTO……….……….…………..vi
ABSTRAK………..………...vii
ABSTRACT………..………...viii
KATA PENGANTAR………..………...ix
DAFTAR ISI……….………...xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah……….……….1
1.2 Rumusan Masalah………….………...5
1.3 Tujuan Penelitian……….………...6
1.4 Manfaat Penelitian……….………6
1.5 Tinjauan Pustaka………...7
1.6 Landasan Teori………...…....7
1.6.1 Ekspresivisme………..…….7
1.6.2Teori Psikologi Sastra………...11
1.6.2.1 Pengertian Lesbian………...……....13
1.6.2.2 Faktor Penyebab Lesbian..………...16
1.6.2.3 Jenis – jenis Lesbian…………..…………...……..18
1.6.2.4 Dunia Lesbian………..21
1.6.2.4.1 Perasaan – perasaan………..…….22
1.6.2.4.2 Hubungan Seksual………...…..23
1.6.2.4.3 Media Komunitas dan Kode Komunitas Lesbian………..24
BAB II EKPRESIVISME HUBUNGAN ANTARA PENGARANG DEOJHA DENGAN TOKOH SANGKHALA SENJA
2.1 Pengantar………29
2.2 Perbandingan Latar Belakang Kehidupan Keluarga dan Masa Kecil………..29
2.3 Perbandingan Kehidupan pada Masa Dewasa sebagai Mahasiswa……….39
2.4 Rangkuman……….57
BAB III JENIS LESBIAN SERTA FAKTOR PENYEBAB LESBIAN DAN GAMBARAN PSIKOLOGI DUNIA LESBIAN 3.1 Pengantar………61
3.2 Jenis Lesbian dan Faktor Penyebabnya………...………...61
3.2.1 Jenis Lesbian…………..………...61
3.2.2 Faktor Penyebab Lesbian………..64
3.3 Gambaran Dunia Lesbian……….……….66
3.3.1 Perasaan - perasaan…..……….66
3.3.2 Hubungan Seksual……..………..78
3.3.3 Media Komunitas dan Kode Komunitas Lesbian………80
3.4 Rangkuman………84
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan………86
4.2 Saran………..91
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Menurut Horatius, karya sastra memang bersifat dulce et utile;
menyenangkan dan bermanfaat. Demikian pula cerita rekaan sebagai karya sastra
seharusnya menarik dan merangsang rasa ingin tahu karena berguna bagi
pembacanya. Semua cerita rekaan ada kemiripan dengan sesuatu dalam hidup ini
karena bahannya diambilkan dari pengalaman hidup. Pengalaman ini dapat berupa
pengalaman langsung, yaitu yang dialami secara langsung oleh pengarang, dapat
juga berupa pengalaman tak langsung, yaitu pengalaman orang lain yang secara
tak langsung sampai kepada pengarang (Panuti Sudjiman, 1988:12).
Dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif dibedakan tiga macam
pengarang yaitu pengarang yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung,
pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali
unsur – unsur penceritaan, dan pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan
imajinasi (Ratna.2004:56).
Hal ini yang disuguhkan oleh seorang pengarang bernama Deojha. Ia ingin
memperlihatkan suatu realita yang dialami oleh si pengarang dalam sosok seorang
tokoh fiksi. Ia ingin memberikan arti dan pemaknaan bahwa dialah tokoh dalam
karyanya itu. Novel yang berupa cerita panjang berbentuk semi-biografi yang
ditulis Deojha ini, berjudul Lesbian Laki-Laki; sebuah pengakuan getir Kehidupan
seorang butchie (yang dimaksud lesbian butchie adalah lesbian yang bertindak
menekuni dunia tulis – menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar. Deojha baru
berani untuk mengirim tulisannya dan dimuat di beberapa media ketika duduk di
bangku Sekolah Menengah Pertama ( SMP ). Tidak hanya itu, ia juga sudah
menyalurkan bakat dan hobinya dalam menulis cerpen dan puisi sejak di bangku
Sekolah Menengah Umum ( SMU ) dan sering dimuat di mading sekolah serta
majalah IDOLA BODA (majalah yang diterbitkan di suatu sekolah swasta di
Yogyakarta). Ia menyukai dunia sastra sehingga ia memilih kelas jurusan bahasa.
Deojha pernah mengenyam bangku kuliah di Jurusan Sastra Inggris di salah satu
perguruan tinggi swasta di Surabaya. Namun lantaran faktor ekonomi ia pun tidak
menyelesaikannya. Deojha pernah pula bekerja di redaksi LSM Gaya Nusantara
Surabaya. Saat ini ia lebih menyibukkan diri di Lembaga Swadaya Masyarakat
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (LSM
PKBI DIY) sambil tetap menyalurkan hobinya dalam tulis-menulis. Ini adalah
novel pertamanya.
Novel Lesbian Laki-laki ini sempat menimbulkan protes dari beberapa
pihak yakni pembaca dan kritikus karena karyanya dianggap meniru atau
menjiplak karya novel lesbian yang lain. Seperti kita ketahui banyak buku dan
novel yang membahas dan mengangkat serta mengupas tentang kehidupan para
lesbian. Dalam hal ini karya Deojha dianggap sama dengan karya Herlinatiens
dalam novelnya yang berjudul Garis Tepi Seorang Lesbian (2002) yang beberapa
waktu lalu sempat menjadi best seller (Deojha.2006).
Akan tetapi, dalam acara bedah bukunya yang diadakan pada tanggal 24
tapi tak sama. Setiap karya sastra mempunyai ciri khas tersendiri dalam
penyampaiannya. Ketidaksamaan itu adalah bagaimana ia dapat mengemukakan
dan menceritakan kisah seorang lesbian “butchie” serta berbagai pengalaman
hidup dan kisah cintanya lewat seorang tokoh bernama Sangkhala Senja. Ini
merupakan pengakuan yang luar biasa bagi pengarang. Ini merupakan hal yang
sangat berani, sehingga Pinus mau membantu menerbitkan novel semi biografi
ini. Hal ini dapat membuktikan bahwa karyanya bukan jiplakan semata. Ia ingin
mengemukakan perasaan, gagasan, apa yang ia alami, pengalaman serta
imajinasinya dalam sebuah karya tulisan. Deojha juga mendapat banyak ancaman
setelah novelnya terbit, karena kaum lesbian lain tidak setuju akan pengakuannya
yang terang-terangan yang seakan-akan memojokkan kaum lesbian lain, bahwa
lesbian hanya berkemelut dalam nuansa roman kisah cintanya tanpa memikirkan
dunia luar dan tanpa ada kepentingan serta pemikiran yang lain. Dalam novel
tersebut Deojha ingin menggambarkan bagaimana pahitnya kehidupan sebenarnya
dari para kaum lesbian karena ia termasuk salah satu dari komunitas mereka
(Deojha.2006).
Dalam Novel Lesbian Laki-laki; Deojha mencoba menceritakan
pengalaman hidup dan kisah cinta seorang lesbian melalui tokoh Sangkhala Senja.
Ia seorang lesbian. Benih-benih cintanya terhadap perempuan muncul sejak
melihat guru TK-nya yang manis, berkulit bersih dan berambut panjang.
Pesonanya telah membuat ia ingin selalu berada di dekatnya. Ketika guru itu pun
Pilihan hidupnya sebagai seorang lesbian lebih banyak ia rasakan pahit
dan getir. Ia pernah dipecat dari tempat kerjanya ketika identitasnya sebagai
seorang lesbian diketahui oleh atasannya. Begitu pula teman-teman kuliahnya
yang lebih suka menghidar dan bersikap dingin terhadapnya.
Perjalanan cintanya sebagai butchie, (lesbian yang berposisi sebagai
laki-laki) tidaklah berarti menempatkannya sebagai seorang yang kuat dan selalu
menang. Sebaliknya, ia banyak dikhianati oleh para kekasihnya. Tak sekali
cintanya diputus begitu saja oleh para kekasihnya. Lantas para kekasihnya tidak
sedikit yang pada akhirnya memilih menikah dengan laki-laki yang
sesungguhnya. Laki-laki yang tidak seperti dirinya.
Berdasarkan ringkasan singkat di atas, tentang kehidupan tokoh Senja,
tampak jelas bahwa novel Lesbian Laki-laki ini sangat menarik untuk diteliti lebih
lanjut. Berbagai bentuk tragedi kehidupan yang dialami tokoh Senja sebagai
lesbian butchie, akanbanyak memberi gambaran tentang kehidupan kaum lesbian
yang kurang kita ketahui keberadaan lesbian butchie ini. Kebanyakan yang kita
ketahui hanyalah kaum lesbian dari keseluruhannya bukan bagian-bagian dari
mereka. Dalam hal ini kita juga mengetahui bagaimana mereka dalam berteman,
bersosialisasi dan kehidupan kisah cintanya. Kita tidak dapat mengingkari bahwa
mereka juga berhak mempunyai rasa cinta bukan hanya dalam bidang seks secara
lahiriah saja, akan tetapi juga dalam bersosialisasi dengan sesama. Hal ini menarik
perhatian peneliti dan mendorongnya melakukan sebuah kajian dari segi karya
Adapun ketertarikan peneliti menganalisis novel karya Deojha tersebut
didasarkan atas dua alasan. Pertama, Novel Lesbian Laki-laki ini menuliskan
kehidupan seorang lesbian butchie lewat tokoh Sangkhala Senja yang diduga
bersumber pada kehidupan pengarangnya. Kedua, Novel ini menggambarkan
sosok seorang butchie yang menderita karena cintanya yang kandas serta getirnya
kehidupan untuk dapat diterima di tengah-tengah keluarga, masyarakat agar dapat
diakui keberadaanya sebagai seorang lesbian, serta mengkaji kecamuk jiwa yang
dialami tokoh Senja. Hal ini menarik untuk dikaji dengan pendekatan psikologis
untuk mengungkap faktor-faktor penyebab lesbian.
Adapun dorongan lain untuk mengkaji novel ini adalah faktor kekaguman
dan keingintahuan dalam melakukan kajian terhadap karya sastra berlatar
belakang kehidupan nyata pengarang sebagai seorang lesbian.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah hubungan antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala
Senja?
1.2.2 Bagaimanakah gambaran dunia lesbian dalam novel Lesbian Laki-laki
1.3Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang ingin
dicapai peneliti.
1.3.1 Mengkaji dan mendeskripsikan hubungan antara pengarang Deojha dan
tokoh Sangkhala Senja.
1.3.2 Mengkaji dan mendeskripsikan gambaran lesbian dalam novel secara
psikologis yang dialami pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja
yang meliputi : dunia lesbian, jenis lesbian, serta faktor penyebabnya.
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini tidak hanya untuk kepentingan peneliti semata. Oleh karena
itu, penelitian ini dilakukan agar bermanfaat sebagai berikut:
1.4.1 Menambah bahan kajian karya sastra Indonesia khususnya karya sastra
novel berlatar belakang kehidupan kaum lesbian dengan tinjauan teori
ekspresivisme sastra dan psikologi sastra.
1.4.2 Untuk menambah wawasan pembaca dan pengamat tentang kehidupan
yang dialami tokoh Shangkala Senja sebagai seorang lesbian dalam
1.5Tinjauan Pustaka
Selama peneliti melakukan pengamatan terhadap kepustakaan belum ditemukan
penelitian tentang novel Lesbian Laki-laki karya Deojha tersebut. Oleh karena
itu, peneliti berusaha untuk mencoba menganalisis novel Lesbian Laki-laki
karya Deojha dengan mendeskripsikan aspek teori ekspresivisme antara karya
sastra tersebut dengan cara menganalisa kehidupan tokoh Sangkhala Senja dan
kaitannya dengan kehidupan nyata si pengarang (penelitian semi-biografi).
1.6Landasan Teori
Pada analisis ini, penulis akan menggunakan dua landasan teori yakni
ekspresivisme dan psikologi sastra. Pendekatan ekspresivisme digunakan untuk
menganalisis latar belakang hubungan pengarang Deojha dengan tokoh Sangkhala
Senja. Psikologi sastra digunakan untuk menganalisis perasaan-perasaan serta
faktor penyebab lesbianisme.
1.6.1 Teori Ekspresivisme
Teori ekspresivisme muncul bersamaan dengan perubahan-perubahan
sistem sosial dan filsafat yang menempatkan manusia sebagai makhluk otonom
yang memiliki kebebasan dan keutuhan sebagai individu. Karya-karya manusia
sepenuhnya dipandang sebagai pengucapan kreatif pribadi individu tersebut.
Dalam bidang karya sastra: pecurahan perasaan dan pikiran, bahkan kejiwaan
Teori ekspresi sastra (The expressive theory of literature) adalah sebuah
teori yang memandang karya sastra terutama sebagai pernyataan atau ekspresi
dunia batin pengarangnya. Karya sastra dipandang sebagai sarana pengungkap
ide, angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran dan pengalaman pengarang. Dalam
ungkapan yang lain, sastra adalah proses imajinatif yang mengatur dan
menyintesiskan imajinasi-imajinasi, pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan
pengarang (Abrams, 1987:20 via Taum.1997:20).
Studi sastra dalam model ini berupaya mengungkapkan latar belakang
kepribadian dan kehidupan (biografi) pengarang yang dipandang dapat membantu
memberikan tentang penjelasan tentang penciptaan karya sastra. Oleh karena itu,
teori ini seringkali disebut pendekatan biografis.
Teori ini merupakan studi yang paling mapan dan tertua dalam sejarah
studi sastra (Wellek dan Warren, 1993:82). Teori ini dapat dianggap sebagai studi
yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya. Dalam teori ini
unsur ‘manusia’ sebagai pencipta mendapat perhatian serius. Ditinjau dari segi
perkembangan pemikiran manusia, teori ini dapat dianggap tonggak sejarah baru
yang membebaskan manusia dari gagasan lama yang mengungkung, bahwa hanya
Tuhanlah Sang Pencipta dan manusia hanyalah peniru-peniru belaka.
Teori ekspresivisme sering disebut pula sebagai teori pendekatan biografis
karena tugas utama penelaah sastra adalah menginterprestasikan dokumen, surat,
laporan saksi mata, ingatan, maupun pernyataan-pernyataan otobiografis
pengarang. Teori ini banyak mendapat kritikan karena mengalihkan pusat
Praktik-praktik kritik ekspresif sastra terpusat pada upaya menyelami jiwa
pengarang karya sastra pengarang tersebut. Pengarang dianggap seorang pencipta
yang membayangkan imajinasi kehidupan yang terpilih dan teratur. Kedudukan
pengarang dan karyanya begitu erat, seperti seorang ibu yang melahirkan
anaknya. Tolok ukur sastra yang baik dalam pendekatan ini: orisinalitas,
kreativitas, jenialitas, dan individualitas. Benar tidaknya, objektif tidaknya, suatu
penilaian sastra sangat tergantung pada intensi pengarang dalam mewujudkan
keorisinalan dan kebaruan penciptaan seninya. Data-data biografis dan historis
menjadi bahan yang penting dalam studi sastra (Mangunwijaya,1988:25-23 via
Taum.1997:20).
Dalam bahasa (sastra) tulis, pengarang tidak dapat berkomunikasi secara
langsung dengan pembacanya. Dengan demikian, jika dalam tulisannya pengarang
mempergunakan sudut pandang aku, orang tidak bisa secara langsung mengatakan
bahwa yang dimaksudkan adalah diri pengarang. Di sini tampak ambiguitas
kedudukan pengarang dengan narator (aku lirik) dalam teks. Dalam bidang
naratorologi (teori tentang cerita), Wayne Booth memperkenalkan istilah implied
author (penulis yang tersirat atau tersembunyi) dalam bukunya The Rethory of
Fiction (1963). Istilah implied author atau sering disebut sebagai persona poetica
dengan instansi (atau fokalisator) yang berperan menyampaikan cerita kepada
pembaca. Implied author berdiri di tengah-tengah antara pengarang nyata dengan
narator (juru cerita dalam teks) (Booth.1963:137 via Taum,1997:28).
Konsep implied author mengacu pada peranan yang diberikan teks kepada
tersembunyi itu lebih merupakan tegangan tertentu yang diciptakan oleh
pengarang pada saat menuliskan karyanya. Pengarang menciptakan suatu
imajinasi dalam dirinya sendiri (semacam dirinya yang kedua, the second self)
sebagai juru pisah misalnya yang sedang memperbaikki atap yang bocor,
membayar pajak, yang gagal mencari jati dirinya (Booth, 1963:137). Dengan
demikian, struktur teks itu sendiri telah menempatkan aktivitas ideasional dan
interaksional antara pengarang nyata dengan pengarang tersembunyi
(Booth,1963:137 via Taum,1997:28).
Menurut Juhl, penulis nyata (real author) terlibat dan bertanggung jawab
terhadap kalimat-kalimat yang diajukan dalam karyanya. Arti kalimat-kalimatnya
sesuai dengan intensi pengarang itu sendiri. Intensi bukanlah rencana yang
dipikirkan sebelum penciptaan atau motif yang mendorong penulisan, melainkan
apa yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan dalam karya-karyanya
(Teuw,1988:177-180 via Taum,1997:29).
Teori mengenai pengarang yang paling mutakhir dikemukakan oleh
Umberto Eco (1992), dengan memperkenalkan istilah liminal author atau Author
on the Thresold (pengarang ambang). Pengarang ambang tidak dapat disamakan
dengan pengarang implisit, karena situasi pengarang ambang tidak dapat
dijelaskan, sedangkan pengarang implisit merupakan strategi eksplikasi tekstual
yang dapat dikenal melalui permainan bahasa teks (Taum, 1993a:59-66).
Pengarang ambang adalah situasi penciptaan teks sastra, dimana pengarang secara
misterius ini tidak bisa dijelaskan secara tepat dengan perhitungan apapun, baik
oleh pengarangnya sendiri maupun oleh pembaca (Taum.1997: 28-29).
1.6. 2 Teori Psikologi Sastra
Psikologi merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari
tentang tingkah laku serta aktivitas-aktivitas manusia, di mana tingkah laku dan
aktivitas tersebut merupakan manifestasi dari kehidupan jiwanya. Pengertian ini
didasarkan pada terjemahan dalam bahasa Yunani: Psiche dan logos. Psiche
berarti “jiwa” dan logos berarti “ilmu”. Dengan demikian psikologi berarti ilmu
yang mempelajari tentang jiwa.
Semua ilmu pengetahuan tidak dapat secara mutlak berdiri sendiri, satu
sama lain pasti saling memberi dan menerima. Ilmu yang satu dapat memberi
penjelasan yang lebih terhadap ilmu yang lain. Sukada (1987:102) mengatakan
bahwa sastra dan psikologi merupakan dua wajah satu hati dan sama-sama
menyentuh manusia dalam persoalan yang diungkapkannya. Secara tidak
langsung sastra dan psikologi sama-sama mempelajari tentang jiwa. Karya sastra
lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah lama ada dalam jiwanya
dan telah melalui proses pengolahan jiwa secara mendalam dalam proses
berimajinasi.
Dalam hal ini psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan psike,
dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra
memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui
perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam
masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike. Ada tiga cara yang dapat
dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: a)
memahami unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami
unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c) memahami
unsur-unsur kejiwaan pembaca (Ratna, 2004:342).
Dengan demikian, maka psikologi memasuki bidang kritik sastra lewat
beberapa jalan: 1) pembahasan tentang proses penciptaan sastra, 2) pembahasan
psikologi terhadap pengarangnya (baik sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang
pribadi), 3) pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat ditimba
dari karya sastra, dan 4) pengaruh karya sastra terhadap pembacanya. Maka
dengan membahas karya tertentu, seorang kritikus dapat menarik suatu
kesimpulan tentang psikologi pribadi pengarangnya. Ia dapat juga mempelajari
seluruh tulisan seorang pengarang, lalu mencoba menarik beberapa kesimpulan
tentang keadaan jiwa pengarangnya (Hardjana,1981:63).
Dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra tentang studi mengenai
aspek psikologi tokoh Sangkhala Senja dalam karya sastra serta aspek psikologi
pengarang terhadap karyanya, penulis hendak menganalisis kehidupan tokoh dan
kehidupan nyata pengarang dalam novel Lesbian Laki-laki. Penulis
mengkhususkan penelitian ini pada aspek kejiwaan, latar belakang, serta
1.6.2.1 Pengertian Lesbian
Jika ada isu yang mampu menyaingi aborsi dalam term intensitas konflik
yang terbuka, maka isu tersebut adalah homoseksualitas. Pada saat gerakan
hak-hak lesbian dan gay berusaha untuk “menormalisasi” hubungan seks sesama jenis
dan mendapatkan hak-hak sipil bagi kepentingan pokok mereka, maka para
penentang mereka berjuang untuk mempertahankan gagasan bahwa
homo-seksualitas dan bihomo-seksualitas merupakan penyimpangan sosial. Identitas gay dan
lesbian muncul seiring dengan perkembangan kapitalisme dan peralihan dari
masyarakat desa ke masyarakat kota (Adam 1995; D’Emilio 1993; Katz 1995).
Dengan perkembangan masyarakat modern, makna utama dari seksualitas juga
berubah; dari reproduksi dalam keluarga menuju pada keintiman emosional dan
kesenangan fisik bagi individu (D’Emilio dan Freedman 1988)
(Stagenborg.2003: 92)
Pada awal abad kedua puluh, benih-benih subbudaya homosekualitas telah
tumbuh di kota-kota besar di dunia Barat, termasuk Paris, Berlin, dan New York.
Walaupun lesbianisme merupakan gaya hidup modis di antara orang-orang New
York modern, banyak juga yang tidak menganggapnya serius(Faderman 1991:75).
Hubungan-hubungan lesbian yang sejati, secara tipikal dipandang sebagai
ancaman terhadap perkawinan ideal antara laki-laki dan perempuan
(Staggenborg.2003: 94-95).
Dengan banyaknya laki-laki pergi berperang sementara perempuan
bekerja, perempuan merasa lebih beba bersosialisasi bersama. Perang membuat
lesbian menjadi “lebih serupa dengan perempuan lain dan lebih mudah
diidentifikasi” (Kennedy dan Davis 1993:38). Selama masa perang, perempuan
sering terlihat bersama-sama di jalan-jalan dan banyak yang menjadi penjaga
bar-bar. Tambahan lagi, banyak perempuan untuk pertama kalinya memakai celana
panjang ke tempat kerja dan sering menggunakan seragam kerjanya di depan
publik. Lesbian yang memilih menggunakan celana panjang dapat membeli dan
memakai secara bebas untuk yang pertama kalinya (Staggenborg. 2003: 97).
Walaupun perempuan mulai berpartisipasi dalam kegiatan – kegiatan hiburan di
kota-kota di awal abad kedua puluh, namun budaya yang lahir dari
aktivitas-aktivitas ini bercorak “heteroseksual”, yang melibatkan laki-laki dan perempuan
(Peiss 1986).
Lesbianisme berasal dari kata Lesbos. Lesbos adalah nama sebuah pulau di
luar Aegea, yang merupakan tempat lahir Sappho. Sappho adalah seorang
perempuan yang dikenal sebagai pecinta perempuan, ia hidup pada zaman Yunani
Kuno (550 SM). Sejak saat itu ia disebut sebagai Sapphosm (Cunnilingus), nama
tersebut dikaitkan dengan perilaku hidup dalam kegiatan seksualnya
(Kristantini,1991:28).
Lesbian adalah homoseksual perempuan yang merupakan suatu hubungan
sosial maupun seksual di antara sesama perempuan sebagai pasangan hidupnya,
dan memiliki keterikatan erat secara emosional kepada sesama perempuan
(Dewi,2003:27).
Sidney Abbot dan Barbara Love (dalam Kristantini, 191:28)
a. Perempuan yang mempertahankan hidup tanpa laki-laki, baik dalam
hal emosional maupun finansial.
b. Perempuan yang setiap saat selalu berjuang untuk menunjukkan,
bahwa mereka sungguh-sungguh manusia seutuhnya dan tidak sekedar
anggota badan lelaki.
c. Perempuan yang dihukum oleh lingkungan karena perilaku seksual
mereka, lebih dari perempuan lain di dunia ini.
d. Perempuan yang memilih mencintai jenis kelamin sama yaitu
perempuan lain.
Namun tidak berarti bahwa kaum lesbian termasuk kelompok
pembenci laki-laki, walaupun banyak di antara kaum lesbian yang
membenci laki-laki karena berbagai macam alasan. Secara umum, kaum
lesbian tidak melihat laki-laki sebagai pihak yang mengancam atau
menekan mereka secara personal. Kaum lesbian memiliki sikap positif
terhadap perempuan lain dan tidak berpikir bahwa kehidupannya sebagai
penolakan yang agresif terhadap jenis kelamin lain atau lawan jenis. Kaum
lesbian secara aktif mencari jalan untuk melepaskan diri dari dominasi
laki-laki. Bila dibanding dengan perempuan lain pada umumnya, lesbian
hanya berbeda dalam hal perilaku seksual mereka. Selebihnya mereka
sama dengan perempuan lain, ada yang menikah dan mempunyai anak,
ada yang berhasil dalam hal ekonomi, memiliki karier yang bagus, ada
1.6.2.2Faktor-faktor Penyebab Lesbian
Dari beberapa artikel, referensi, dan juga laporan-laporan
penelitian, diperoleh beberapa keterangan yang diperkirakan menjadi
penyebab lesbianisme. Kisker (dalam Kristantini, 1991; 30)
menerangkan melalui 3 teori yaitu:
a. Teori biologis menerangkan bahwa penyebab lesbianisme ini
dibawa sejak lahir dan berkaitan erat dengan mekanisme genetik
yang melibatkan derajat kelaki-lakian (maleness) dan perempuan
(femaleness).
b. Teori psikologis memberi gambaran, bahwa perilaku seksual
diperoleh melalui pengkondisian pada awal kehidupan. Pada
lingkungan awal kehidupan ini, memberi pengaruh yang sangat
besar terhadap pilihan peran seksual dalam kehidupan selanjutnya.
c. Teori sosiologis menerangkan bahwa penekanan pada adanya
kesalahan pada hubungan keluarga dengan bapak dan ibu yang
patogenik.
Kenyon (dalam Widiastuti, 1998: 18) mengemukakan 6 faktor yang
dapat menyebabkan seseorang menjadi lesbian, yaitu:
a. Faktor Biologis
Pangkahila (2000) mengemukakan bahwa faktor biologis, yaitu
adanya kelainan di otak atau genetik.
b. Gaya Hidup
Zaman sekarang banyak perempuan menjadi perempuan karir yang
mempunyai kebutuhan keintiman dengan orang lain, meskipun
mereka menganggap bahwa pernikahan akan membuat karirnya
terhambat. Antar mereka akan saling mengisi kekosongan sampai
akhirnya melakukan hubungan seks, yang jelas mereka tidak
menanggung resiko hamil sehingga tetap menjadi perempuan karir.
Bila kebiasaan ini dilanjutkan, lama-kelamaan hal ini menjadi gaya
hidup, karena secara psikologis orang ingin mengidentifikasikan
diri dengan kelompok yang dianggap eksklusif tersebut.
c. Perilaku-perilaku Seksual
Banyaknya variasi perilaku seksual yang pada awalnya dilakukan
oleh beberapa orang, namun akhirnya menyebar karena adanya
informasi dari masyarakat maupun mass media lainnya, sehingga
orang ingin mencoba hal yang berbeda dan baru.
d. Latar Belakang Keluarga
Ayah yang dominan dan ibu yang pasif, dengan demikian anak
perempuan tidak merasakan kehadiran ibu, yang akhirnya ibu gagal
menjadi model pribadi perempuan bagi anak perempuan dan
akibatnya anak perempuan mengambil sifat-sifat ayahnya termasuk
mencintai perempuan. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab
lesbian. Juga karena orang tua menginginkan anak laki-laki, tetapi
yang lahir adalah perempuan dan orang tua memperlakukan anak
juga disebabkan, anak perempuan sejak kecil ingin menjadi
laki-laki.
e. Kekecewaan pada Laki-laki
Seseorang perempuan mendapat perlakuan tidak baik dari laki-laki,
misalnya dikhianati, tidak dihargai, dan tidak diperlakukan sebagai
pendamping, tetapi lebih sebagai perempuan yang harus selalu siap
melayani. Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi suatu pengalaman
yang menyakitkan bagi perempuan.
f. Lingkungan
Lingkungan setempat yang didominasi oleh kaum perempuan yang
sejenis dapat membuat perempuan terdorong menjadi lesbian,
misalnya dipenjara.
1.6.2.3Macam-macam Lesbian
Bar merupakan tempat yang penting bagi perkembangan
komunitas lesbian kelas pekerja. Di dalam budaya bar, para lesbian
kelas pekerja secara tipikal dapat mengambil peran sebagai “butch”,
yang penampilannya maskulin, atau “fem”, yang secara tradisional
feminis. Walau “kode tingkah laku personal untuk berdandan dan
berperilaku mengambil model dari masyarakat heteroseksual, tetapi ini
tidak hanya sekedar meniru” (Kennedy dan Davis 1993:163). Para
“Butch” tidak melampaui diri menjadi seperti laki-laki, mereka hanya
mengembangkan cara baru menjadi perempuan. Mereka
mengembangkan cara unik berpakaian, sebagai contoh, termasuk
yang biasa terdapat pada celana panjang laki-laki (hal.155). dengan
gaya seperti itu di depan publik,”butches” mengambil resiko berani
menentang norma-norma gender. Sementara itu “fems” menggunakan
gaya perempuan heteroeksual, seperti sepatu tumit tinggi, namun
bagaimanapun, mereka juga menantang norma-norma yang ada karena
berpasangan dengan “butches”. Dari sebuah prespektif kontemporer,
model ”butch-fem” tampaknya bersifat terbatas, dan telah dikritik oleh
para feminis karena hanya merupakan imitasi peran gender patriarkal
(Staggenborg. 2003: 98).
. Secara garis besar, terdapat tiga macam lesbian pertama, butch
(Butchie;lesbian yang berposisi sebagai laki-laki), lesbian yang
berpenampilan tomboy, kelaki-lakian, lebih suka berpakaian yang
umumnya dikenakan laki-laki. Kedua, femme (lesbian yang berposisi
sebagai perempuan), lesbian yang berpenampilan feminim, lembut,
layaknya perempuan heteroseks biasanya, berpakaian gaun perempuan.
Ketiga, andro( androgyny;lesbian yang bisa berposisi sebagai laki-laki
dan perempuan), perpaduan antara femme dan butch. Walau mungkin
dalam penampilan luarnya seorang lesbian bisa saja berpenampilan
maskulin atau feminim, dalam relasi seksual, keterbukaan dan
kesadaran perempuan akan seksualitas tubuhnya membuat relasi
Kitzinger (dalam Dewi, 2003: 31) mengelompokkan menjadi 2
macam lesbian, yaitu:
a. Act lesbian, yaitu apabila seseorang menjadi lesbian hanya pada situasi
tertentu. Kemungkinan besar penyebabnya adalah frustasi terhadap
sesuatu pengalaman yang menyakitkan, misalnya kekecewaan yang
mendalam pada laki-laki, keluarga yang tidak memperhatikannya,
sehingga mencari ketenangan di luar keluarga dan tidak sengaja
bertemu dengan seorang lesbian yang sangat memberi perhatian
padanya. Lesbian seperti ini dapat dengan mudah mengubah orientasi
seksualnya sewaktu-waktu.
b. True lesbian, yaitu tidak tertarik secara seksual pada laki-laki bahkan
sama sekali tidak tertarik pada laki-laki, dan mempunyai pengulangan
atau ketetapan aktivitas seksual dengan perempuan dan sulit mengubah
orientasi seksualnya.
Menurut PPDGJ-II (1983) lesbian dikelompokkan menjadi 2 jenis,
yaitu:
a. Lesbian Ego Distonik, yaitu apabila seseorang yang memiliki
kecenderungan lesbian tidak menerima keberadaan orientasi seksualnya.
Lesbian semacam ini termasuk dalam kategori “terganggu” dengan
keberadaan lesbiannya.
b. Lesbian Ego Sintonik, yaitu apabila seseorang yang memiliki
Terdapat dua peran yang dimainkan lesbian dalam menjalani hidup yaitu
dibedakan dengan istilah “sentul” dan “kantil”. “Sentul” adalah lesbian yang
berperan sebagai laki-laki. “Sentul” pada umumnya berpenampilan seperti
seorang laki-laki, berpakaian laki-laki, berambut pendek, tetapi tetap
menyadari kodratnya adalah perempuan. “Kantil” berperilaku seperti
perempuan pada umumnya, dari caranya berperilaku maupun cara berpakaian
tidak menunjukkan perbedaan sedikit pun dengan perempuan heteroseks
(Dewi, 2003:30).
1.6.2.4Dunia Lesbian
Dari sejak awal sejarah manusia telah ada yang melakukan penyebrangan
gender maupun menjalin hubungan erotik romantik atau ritual dengan sesama
atau antara penyeberangan gender dan gender yang ada dalam masyarakat.
Dalam kebanyakan hal, hubungan itu berlangsung bersamaan dengan
hubungan perkawinan atau sebelumnya. Homoseks eksklusif (gay/lesbian)
baru meluas dalam zaman modern, terutama pada abad ke-20
(angindua.2006). Homoseksual bukanlah penyakit, atau ada yang mungkin
menyebutnya sebagai “produk salah dan gagal”. Homoseksual hanyalah salah
satu bentuk orientasi seksual seseorang. Dalam rubrik online Gaya Nusantara
dikatakan bahwa menjadi gay-lesbian bukan suatu ‘mimpi buruk’ dan menjadi
gay-lesbian bukan kesalahan siapa-siapa. Gay-lesbian hanyalah masalah
orientasi seksual, sedangkan dalam kehidupan mereka tetap manusia yang bisa
berpikir, berkarya, berperasaan, dan berprestasi seperti manusia heteroseksual
Komunitas lesbian di Indonesia sendiri sampai sekarang masih berupa
komunitas bawah tanah. Komunitas lesbian tidak menginginkan mereka
diakui secara hukum melainkan dianggap setara dengan kaum heteroseksual.
Sampai saat ini di Indonesia belum anyak muncul literatur – literatur kajian
studi tentang gay dan lesbian. Wacana tentang gay dan lesbian di negara ini
hanya muncul secara rutin misalnya lewat majalah atau media – media intern
perkumpulan – perkumpulan gay dan lesbian semacam Gaya Nusantara
(Juliastuti.2006).
1.6.2.4.1 Perasaan – perasaan
Lesbian adalah wanita atau cewek yang secara seksual lebih tertarik
kepada sejenisnya daripada laki-laki. Tapi ada perbedaan antara memiliki
ketertarikan pada wanita dan minat seksual yang asli kepada wanita. Ini
bukan perbedaan yang bisa dengan mudah dijelaskan dengan kata-kata
karena ini berkaitan dengan perasaan-perasaan. Beberapa wanita memiliki
ketertarikan secara fisik dan seksual yang konstan kepada wanita, bukannya
kepada laki-laki. Inilah yang dinamakan lesbian (definisi lesbian.2007).
Ada dua definisi perasaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu
hasil atau perbuatan merasa dengan panca indera serta rasa atau keadaan
batin sewaktu menghadapi atau merasai sesuatu. Dalam penelitian tentang
emosi di Indonesia Heider (1991) menggunakan istilah perasaan hati untuk
mewakili istilah emosi. Ia menyatakan bahwa kata “perasaan hati” berakar
dari bahasa Sansekerta “rasa” yang artinya emosi. Istilah perasaan hati yang
dalam bahasa Inggris. Hal perasaan hati menurut Heider (1991) adalah
kategori-kategori yang overt, familiar dan mudah dikenali.
Istilah perasaan sering dipertukarkan dengan istilah emosi. Meskipun
banyak ahli membedakan kedua istilah itu namun belum ada kesepakatan
untuk memisahkan apa saja yang termasuk emosi dengan apa saja dapat
dikategorikan perasaan. Contoh: suatu laporan penelitian tentang aspek
akustis dimensi emosi, mengkategorikan hal-hal berikut sebagai emosi:
kesenangan, aktivitas, potensi, ketertarikan, kesedihan, takut, kegembiraan,
jijik, marah, terkejut, kegirangan, kejemuan. Penelitian lain komunikasi
perasaan-perasaan memasukan marah, takut, kegembiraan, kecemburuan,
cinta, kegugupan, bangga, kesedihan, kepuasan, simpati.
1.6.2.4.2 Hubungan Seksual
Dalam masyarakat, seks ternyata dikonotasikan negatif, yaitu seks
seringkali dipersepsikan hanya sebuah hubungan jasmani, antara pria dan
wanita. Pengertian megenai seks ini tentu saja merupakan pandangan yang
sempit, sebab masalah seksualitas tidak hanya menyangkut hal itu saja
melainkan hal yang cukup luas. Seks dalam bahasa latin artinya adalah
sexus, yaitu merajuk kepada alat kelamin. Menurut Harris (1994),
seksualitas yang asal katanya dari sex merujuk kepada alat kelamin atau
kriteria jenis kelamin secara biologi, aktivitas yang berkaitan langsung
dengannya. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia (Echols dan
Shadily,1990), kata seks diartikan sebagai jenis kelamin dan segala sesuatu
Intensi seksual adalah hasrat seksual untuk berperilaku seksual, baik
dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Hasrat seksual yang ditampilkan
bisa bermacam-macam mulai dari pasangan tertarik sampai tingkah laku
berkencan, bercumbu, dan bersenggama (Sarwono, 1994).
Wanita homoseks (lesbian) dapat lebih mandiri, fleksibel,
dominan, dapat mencukupi kebutuhan sendiri, dan tenang. Kelompok
homoseks ini, juga tidak mengalami kecemasan dan kesulitan psikologis
lebih banyak daripada para heteroseks. Pasalnya mereka menerima dan tidak
terganggu secara psikis dengan orientasi sesual mereka, sehingga mampu
menjalankan fungsi sosial dan seksualnya secara efektif (Gaya
Nusantara.2007).
1.6.2.4.3 Media Komunitas dan Kode Komunitas Lesbian
Kaum homoseksual (lesbian) seringkali menjadi kumpulan
masyarakat minoritas. Tapi walaupun demikian, harus ada ruang bagi
opini-opini, suara minoritas di mana orang-orang yang berada di kalangan ini
dapat saling bergabung dan tampil.
Munculnya media komunitas kaum homoseksual (lesbian) dapat
menjadi media alternatif yang merupakan bentuk-bentuk komunikasi massa
yang menolak atau menantang kemapanan dalam masyarakat, atau paling
tidak mengkritisi nilai-nilai tradisional yang telah menghujam kuat
sebelumnya. Di mana kaum homoseksual (lesbian atau gay) ditentang dan
tidak diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat pada umumnya.
kesadaran anggota-anggota komunitasnya untuk lebih mengenali diri sendiri
dan lebih jauh lagi memberdayakan diri mereka untuk tampil dengan
identitas mereka sebagai lesbian dan gay serta melepaskan diri dari arus
hegemoni ideology seksualitas yang selama ini tanpa mereka sadari telah
mendistorsi cara pandang mereka terhadap realitas. Melalui media
komunitas inilah mereka mempresentasikan homosekual dari sudut pandang
mereka sendiri (Hall, 1979.hlm.340).
Keberadaan media komunitas dalam komunitas lesbian dan gay
yang dapat kita sebut sebagai sebuah subkultur merupakan suatu proses
komunikasi di mana melalui terciptanya budaya bersama dan kemudian
dimodifikasi dan ditransformasikan. Proses komunikasi yang terjadi disini
lebih bersifat sebagai sebuah ritual dan dipusatkan bukan pada tindakan
penyebaran informasi atau pengaruh tapi lebih pada penciptaan dan
representasi kepercayaan bersama (Carey, hlm.18).
Di sini komunikasi dikaitkan dengan berbagai istilah, misalnya
‘kebersamaan’ (sharing), partisipasi, asosiasi, persahabatan, dan titik
pandang yang sama. Pandangan ritual tidak menekankan pada penyebaran
informasi dari sudut ruang, melainkan pada masalah pembinaan masyarakat
dalam kurun waktu tertentu, tidak menekankan pada upaya penyampaian
informasi, tapi pada pencerminan kesamaan pandangan (Mc Quail hlm.45).
Begitu pula dalam kode komunitas lesbian, lebih detail lagi butch pun
dipersyaratkan harus lebih macho, lebih tabah, tidak boleh cengeng, dan
diperlakukan harus lebih lembut, pandai urusan rumah tangga, dan atribut
feminim lainnya (Ratri,M.2007). Menurut Sherrie A. Innes dalam tulisannya
yang berjudul Butch – Femme Relation, mendefinisikan secara sederhana
bahwa butch dan femme merupakan adopsi peran tradisional yang
diasosiakan layaknya hubungan laki – laki dan perempuan. Diidentikan
bahwa butch itu kelaki – lakian dan femme menyandang “keperempuanan”
lebih lanjut bahwa butch mengenakan pakaian laki – laki serta agresif secara
seksual. Sementara femme mengenakan baju ‘sangat perempuan’ dan pasif
secara seksual. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat dipastikan secara benar
karena cara pandang tersebut sungguh bias (Ratri.M.2007).
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Pendekatan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan ekspresivisme dan
pendekatan psikologi sastra. Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986:126)
psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati karya sastra dengan
sudut pandang psikis. Namun demikian, penulis akan memulai dengan
menganalisis dari segi ekspresivisme pengarang dalam kaitannya dengan
psikologi tokoh novel tersebut.
Dengan menggunakan pendekatan ini, penulis akan mencari hubungan
keduanya yakni kehidupan nyata si pengarang dan tragedi kehidupan Sangkhala
1.7.2 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif komparatif.
Metode deskriptif yaitu dilakukan dengan cara mendiskripsikan fakta-fakta yang
kemudian disusul dengan analisis (Ratna.2004:53). Metode deskriptif komparatif
merupakan metode dengan cara menguraikan dan membandingkan
(Ratna.2004:53). Metode komparatif digunakan untuk memberikan gambaran
perbandingan latar belakang kehidupan yang berkaitan antara pengarang Deojha
dan tokoh Sangkhala Senja. Penulis menganalisis yang terjadi antara tokoh dalam
novel Lesbian Laki-laki dan kehidupan nyata si pengarang. Selain itu, penulis
mendiskripsikan hasil analisis yang berupa perasaan secara psikis tokoh utama
dalam novel Lesbian Laki-laki.
1.7.3 Teknik Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik catat dan teknik simak
serta wawancara. Teknik catat terlebih dahulu membaca secara berulang-ulang
kemudian menyimak bahan-bahan yang akan diteliti, setelah itu mencatat segala
hal yang berkaitan dengan rumusan masalah (Ratna.2004:37). Dalam mencatat,
penulis memerlukan alat-alat yang dapat digunakan untuk membantu
mengumpulkan data. Melalui alat bantu ini, penulis menyimpulkan,
menginventariskan dan mengklasifikasikan data terutama yang berhubungan
dengan nilai-nilai psikologis yang dikomparasikan antara tokoh utama dan si
1.8 Sumber Data
Judul Buku : Lesbian Laki-laki
Pengarang : Deojha
Penerbit : Pinus
Tahun Terbit : 2006
Tebal Buku : 209 halaman
1.9 Sistematika Penyajian
Penelitian ini disajikan dalam 4 Bab. Keempat bab tersebut antara satu
dengan yang lainnya saling berkaitan. Bab I merupakan bab yang berisi
pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, sumber data, sistematika
penyajian, dan daftar pustaka. Bab II merupakan bab yang menyajikan kehidupan
tokoh utama dalam novel Lesbian Laki-laki secara psikologis sebagai seorang
lesbian serta menganalisis hasil kajian ekspresivisme yang mengungkap hubungan
antara pengarang dengan hasil karyanya. Bab III mengungkapkan seluk-beluk
kehidupn lesbian “butchie” dalam novel Lesbian Laki-laki beserta jenis-jenis dan
faktor-faktor penyebab lesbianisme yang dialami pengarang Deojha maupun
BAB II
KAJIAN EKSPRESIVISME HUBUNGAN ANTARA PENGARANG
DEOJHA DENGAN TOKOH SANGKHALA SENJA
2.1 Pengantar
Pada bab II ini penulis menganalisis hubungan antara kehidupan
pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja dalam novel Lesbian Laki-laki.
Analisis tentang hubungan pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja
dalam novel Lesbian Laki-laki karyanya, akan difokuskan pada perbandingan latar
belakang masa kecil hingga dewasa antara keduanya.
Dari analisis unsur pengarang dan tokoh ini, akan ditemukan beberapa
kesamaan dan perbedaan dalam proses ekspresivisme atau pengungkapan hasil
karya pengarang sesuai dengan kehidupan secara nyata.
2.2Perbandingan Latar Belakang Kehidupan Keluarga dan Masa Kecil
Dalam bab ini akan dikemukakan hubungan antara pengarang dan tokoh
dalam novel Lesbian Laki-laki. Hubungan tersebut dijelaskan dalam latar
belakang kehidupan keluarga antara pengarang dan tokoh sebagai berikut.
2.2.1 Pengarang Deojha
Dalam wawancara beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 24 November
2006, lewat beberapa pertanyaan dan informasi yang peneliti
dapatkan, tentang latar belakang kehidupan keluarga dan masa
Deojha lahir di Yogyakarta tepatnya tanggal 23 Juni 1984, memeluk
agama Katholik, belum menikah, adalah anak kedua dari dua
bersaudara dan juga mempunyai orang tua angkat dan tiga kakak
angkat laki-laki. Ia merupakan individu yang mempunyai postur tubuh
yang tidak terlalu tinggi, kecil, berambut pendek serta tomboy dan
juga senang merokok. Saat ini Deojha bekerja di sebuah LSM di
daerah Tamansiswa. Ia terlahir dari keluarga ningrat oleh sebab itu ia
dibesarkan dalam aturan tata krama dan disiplin yang tinggi. Ia
mempunyai kakak perempuan bernama Meylvinas Emelia Pramudita.
Deojha ditinggal oleh ayahnya sejak kecil, karena orang tuanya
bercerai lalu ayahnya pergi merantau keluar Jawa. Karena alasan
ekonomi dan ketidakcocokan itulah yang menyebabkan mereka
bercerai. Sejak itu, Deojha dan kakaknya tidak pernah bertemu dengan
ayahnya. Namun saat ini ayahnya sudah mempunyai keluarga baru.
Dan Deojha pun mengaku sampai sekarang ia tetap berkomunikasi
dengan ayahnya meskipun hanya untuk satu keperluan yaitu meminta
uang.
(1) “Aku kecewa dengan keadaan keluargaku yang seperti itu, tapi mau bagaimana lagi itu sudah kenyataan yang harus kutrima bahwa aku tidak bisa menikmati masa kecil yang bahagia seperti teman – temanku yang lain, tapi tidak apa-apa”.
2.2.1.1 Perceraian Orang Tua.
Setelah perceraian orang tuanya dan akhirnya di tinggal pergi oleh
ayahnya, keadaan ekonomi mulai kacau. Karena ibu Deojha tinggal
bersama dengan orang tua dan keluarga besarnya yang berekonomi
lemah maka ibunya harus bekerja keras agar bisa menyekolahkan
kedua anaknya. Ibu Deojha yang depresi menghadapi perceraian dan
kehidupan yang harus ia jalani sebagai orang tua tunggal,
membuatnya sering emosi dan memukul Deojha apabila sedang
marah. Ibunya sering melampiaskan kekesalan pada anak-anaknya
terlebih pada kakaknya. Pada akhirnya, ibunya terpaksa
menyerahkan Deojha menjadi anak angkat salah satu kerabatnya
yang tinggal di Jakarta yakni kakak dari ibunya, karena faktor
ekonomi yang tidak memungkinkan. Di sana Deojha mempunyai 3
kakak angkat laki-laki yakni anak dari orang tua angkatnya.
(2) “Ibuku sering marah-marah kalau kakakku melakukan sedikit kesalahan.
Apakah itu wajar jika ibuku melampiaskan kemarahannya pada Meylvi? Dan aku tidak tau apa-apa walaupun aku tau ibuku sedang menjerit karena tak sanggup menjalani semuanya itu sendirian. Tapi apa boleh buat. Aku hanya bisa diam dan menangis jika melihat kakak perempuanku dipukul oleh ibuku”.
(3) “Aku hanya bisa pasrah ketika aku diangkat anak oleh salah seorang saudara ibuku yang tinggal di Jakarta. Aku sedih karena harus berpisah dengan orang yang kusayangi yakni ibuku dan kakakku. Lagipula dulu aku masih kecil, jadi aku belum begitu mengerti. Aku tinggal dengan orang tua angkatku dan berkenalan dengan ketiga anak laki-lakinya. Karena semua saudara angkatku laki-laki, aku menjadi gadis tomboy, asik lho main mobil-mobilan dan main bola”.
2.2.1.2 Kehidupan Setelah Menjadi Anak Angkat
Deojha mengaku, ia mengalami banyak perubahan. Disamping ia
tumbuh menjadi gadis tomboy, karena ketiga kakaknya laki-laki
semua. Ia merasa senang, karena merasa ada yang melindunginya
dan menjaganya. Dalam keluarga angkatnya, Deojha menjadi anak
bungsu karena hanya dialah satu-satunya anak perempuan dan
menjadi anak yang paling muda. Namun, Deojha merasa sedih ketika
ia sering diolok-olok oleh teman-temannya di sekolah. Ia sering
dijuluki anak pungut, entah dari mana mereka mengetahui bahwa
Deojha adalah anak angkat. Deojha hanya bisa menangis karena pada
waktu itu ia masih kecil dan tidak tahu harus membela dirinya
sendiri dengan cara seperti apa.
(4) “Aku senang tinggal bersama orang tua angkat dan ketiga kakak
angkatku. Mereka semua baik terhadapku. Aku jadi bisa merasa sedikit macho. Aku bisa menjadi anak yang tidak mudah menangis karena mereka mengajariku cara bermain ala anak laki-laki juga belajar beladiri.Asik pokoknya….!
Tapi aku juga seringkali sedih ketika di sekolah sering diejek teman-temanku hey…anak pungut…anak pungut….ngapai kamu sekolah disini!!begitu kata mereka.Apa salahku?Dan siapa yang mengajarkan mereka berbicara seperti itu. Tapi aku tidak mempedulikannya. Begitulah bagian hidup masa kecilku dirumah dan disekolah”.
2.2.1.3 Bertemu Kembali dengan Keluarga di Jogja
Deojha kembali ke Jogja ketika ayah angkatnya dipindahtugaskan
di kota itu, sehingga Deojha bisa bertemu dengan ibu dan kakak
perempuannya serta sekaligus hidup dengan dua keluarga. Saat di
Yogyakarta, Deojha melanjutkan masa pendidikan SMP dan SMA.
Keadaan tidak banyak berubah setelah ia berpisah lama dengan ibunya,
hanya saja ibunya menjadi orang yang tidak mudah pemarah dan
sedikit tenang. Seiring berjalannya waktu, Deojha harus banyak belajar
menyesuaikan diri kembali untuk hidup dalam tata karma dan aturan
keluarga eyangnya yang ningrat, karena Deojha tinggal lama di Jakarta
yang berbeda sekali kehidupan dan pergaulan sosialnya.
(5) “Lulus SD, aku langsung boyongan (pindahan) ke Jogja lagi karena ayah angkatku berpindah tugas di sana. Di samping merasa senang karena dapat bertemu kembali dengan ibu kandungku dan Meylvi kakakku, aku juga sedih bertemu kembali dengan aturan-aturan dan disiplin tata karma atau apalah semacam itu”.
Begitulah kehidupan Deojha semasa ia kecil, harus terpisah oleh
keluarga kandungnya. Namun di samping itu, ia juga menemukan
kebahagiaan dengan keluarga barunya yakni keluarga angkatnya.
2.2.2 Tokoh Shangkala Senja
Dalam novel ini Senja merupakan tokoh yang melambangkan diri
pengarangnya dalam kehidupan yang sebenarnya. Tentang kehidupan
seorang tokoh Shangkala Senja yang merupakan cerita dan karya
nyata dari kehidupan yang dialami pengarang. Dalam cerita ini,
Sangkhala Senja merupakan tokoh yang menjadi lesbian “butchie”.
Akan tetapi masa kecilnya tidak seindah anak-anak lainnya. Di
samping orang tuanya yang bercerai, ia mengalami tekanan dalam
hidupnya serta dalam keluarga besarnya. Hal itu terdapat dalam
kutipan berikut.
(1) “Aku hanya ingat masa-masa sakit, sedih dan tertekan. Bagiku tidak
heran karena masa kecilku tidak semanis nona-nona kecil yang selalu dimanja orang tua mereka. Bagaimana ya memulai untuk menceritakannya. Mungkin dari sebuah silsilah hidupku terlebih dahulu. Shangkala Senja namaku. Panggil saja Senja. Seperti masa laluku yang meredup, nama Senja disematkan padaku. Tanggal duapuluh tiga di bulan Juni aku lahir. Sebenarnya aku lahir di tengah-tengah keluarga berdarah biru. Ningrat, priyayi atau apalah sebutannya. Mungkin mempengaruhi sifat keluargaku yang sangat feodal itu. Bisa dibayangkan bagaimana keluarga Jawa bersikap, apalagi sebuah keluarga ningrat. Entah bagaimana silsilah darah biru itu mengalir. Ruwet dan aku tidak pernah tertarik untuk mencari tahu (hlm. 16)”.
2.2.2.1 Perceraian Orang Tua
Shangkala Senja mempunyai latar belakang orang tua yang sangat
berbeda tradisi dan adat istiadatnya. Seperti yang dijelaskan dalam
kutipan berikut ini:
(2) “Ibu kandungku yang berasa dari keluarga ningrat dan ayahku asli dari
Senja menghadapi perceraian kedua orang tuanya saat ia masih
kecil dan karena itulah ibunya tidak memberitahukan alasan mereka
bercerai. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut.
(3) “Aku dan Jingga masih sangat kecil ketika ibu dan ayah memutuskan
untuk bercerai. Berpisah jiwa dan raga. Alasan-alasan klise yang selalu diberikan ketika kami bertanya di mana ayah, mengapa ayah tidak pernah lagi membuat obor saat malam takbiran dan lain-lain. Intinya ayah tidak lagi ada di tengah-tengah kami (hlm.20)”.
Sampai pada akhirnya Senja mengetahui yang sebenarnya alasan
mengapa orang tuanya bercerai. Ternyata ada beberapa faktor yang
membuat mereka berpisah yang tidak lain adalah adanya campur
tangan dari pihak keluarga besar dari ibunya. Hal itu dijelaskan dalam
kutipan berikut.
(4) “Sampai kami semakin besar dan tahu alasan sebenarnya kenapa mereka
bercerai. Masalah ekonomi yang mengguncang rumah tangga mereka. Ibu frustasi karena sebenarnya belum siap dengan pernikahan di usia muda. Memiliki dua orang anak yang masih membutuhkan susu dan semacamnya tapi suaminya pengangguran. Aku tidak menyalahkan ibu, tapi aku juga tidak bisa menyalahkan ayah yang tidak kalah tertekannya oleh sikap ibu yang selalu marah-marah dan tidak mau bersabar apalagi mengerti. Ayah sudah berusaha untuk mencari pekerjaan, hanya saja belum beruntung. Lalu harga dirinya mulai tergoresi ketika keluarga besar ini ikut campur. Kakek menyuruh ayah untuk ikut bekerja di kraton. Sebagai apa aku tidak paham, yang jelas ayah menolak. Selama
itu ayah sudah cukup toleran untuk mengikuti adat manut yang jauh dari
adatnya sendiri. Lagipula percuma, bekerja di kraton itu adalah sebuah pengabdian bukan tempat untuk dapat uang banyak. Kasian ayah (hlm.20)”.
Persoalan itu semakin jelas ketika ayahnya memustukan untuk
bekerja di luar pulau Jawa. Orang tua Senja pun benar – benar
berpisah. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut.
(5) “Dan saat keberuntungan itu menyapa ayah dengan akhirnya mendapat
masing-masing dari mereka menikah lagi. Terus terang aku tidak terlalu ingat wajah ayah (hlm. 21)”.
Sangkhala Senja mulai merasakan kesedihan pada masa kecilnya
ketika mengalami dampak perceraian orang tuanya. Ia akhirnya diasuh
oleh salah satu saudara dari ibunya dan dijadikan anak angkat, hal itu
terjadi lantaran himpitan ekonomi yang menimpa keluarganya karena
harus menghidupi kedua anak yang masih balita tanpa penghasilan
tetap. Kondisi itu dijelaskan dalam kutipan berikut ini.
(6) “Bagaimana mungkin dengan sikap ibu yang kaku dan ditambah lagi
gelar janda bisa membuat ibu kuat untuk membesarkan dua orang anak yang masih balita? Apalagi kondisi ekonomi tidak semakin membaik. Itulah yang membuat ibu memutuskan untuk memberikan aku pada kakak perempuannya untuk diangkat anak. Aku sudah penyakitan dari kecil. Paru-paru yang berlubang membuatku bertubuh sangat kurus. Gigi-gigi susuku yang selalu sudah rusak ketika tumbuh dan membuatku selalu sakit gigi. Ketika penyakit-penyakit itu kambuh dan aku merintih kesakitan, ibu malah geram dan memukul atau mencubitiku. Semakin keras aku menangis, semakin ibu memukul dan mencubit (hlm. 21)”.
Senja merasa pasrah ketika ia harus diangkat anak oleh saudaranya
dan hidup terpisah dengan ibu dan kakak perempuannya. Ia sedih dan
tidak ingin membebani ibunya. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut.
(7) “Aku mensyukuri banyak hal karena menjadi bagian dalam keluarga ini.
2.2.2.2 Kehidupan Sangkhala Senja setelah Menjadi Anak Angkat
Sangkhala Senja akhirnya dibawa ke Jakarta di rumah orang tua
angkatnya. Ibu angkatnya mempunyai tiga anak laki-laki, karenanya
Senja tumbuh menjadi gadis yang mempunyai sifat maskulin. Hal itu
terdapat dalam kutipan berikut.
(8) “Keluarga angkatku membawaku pindah ke Jakarta. Mereka
memperlakukan aku dengan sangat baik. Kebetulan mereka tidak memiliki anak perempuan. Ketiga anak mereka laki-laki, jadi aku bagaikan seorang putri di antara mereka. Dari situ aku terbentuk menjadi seorang Sangkhala Senja yang baru. Yang mulai merasa aneh jika memakai rok atau baju-baju perempuan. Mulai menyenangi robot-robotan dan mobil-mobilan daripada boneka. Yang lebih memilih ekstrakulikuner basket daripada menjahit. Aku lebih suka membantu membetulkan genteng daripada memasak bersama mama. Juga lebih tertarik melihat dada perempuan ketimbang tubuh laki-laki yang kekar. Semakin hari semakin berjiwa maskulin di sebuah keluarga yang lebih demokratis, bersama ketiga kakak laki-lakiku dan pasangan suami-istri yang sudah terbiasa kupanggil mama dan papa itu (hlm. 22)”.
Pemasalahan Senja tidak hanya usai semenjak ia tidak tinggal
bersama ibu kandungnya dalam menghadapi kemarahan dan kesedihan
ibunya. Akan tetapi di lingkungan sekolah Senja juga mengalami
kesedihan karena sering diejek oleh teman-temannya. Hal itu terdapat
dalam kutipan berikut.
(9) “Masalah memang tidak akan pernah lepas dari kehidupan seseorang.
Kisah Sangkhala Senja merupakan ekspresi dari kehidupan yang
dialami pengarang Deojha. Dalam hal ini Sangkhala Senja merupakan
rekaan fiksi yang disajikan oleh pengarang Deojha untuk
menyampaikan pengalaman hidup yang sebenarnya.
2.2.2.3 Sangkhala Senja Pulang ke Yogyakarta
Pada akhirnya Sangkhala Senja sudah tidak dapat bertahan lagi
hidup di Surabaya. Dia tidak merasa nyaman akan kehidupan di sana.
Maka Ia memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta ke kota
kelahirannya. Akan tetapi, ternyata tidak semudah yang Ia harapkan.
Ternyata mencari pekerjaan itu sulit.
Pada cerita fiksi karangan Deojha, tentang Sangkhala Senja tidak
disebutkan secara rinci bagaimana Ia kembali ke tanah kelahirannya di
Yogyakarta untuk bertemu keluarganya. Hal itu tidak dapat dipastikan
jelas, namun hanya terdapat dalam kutipan berikut.
(10) “Sudah lama aku menjadi pengangguran di kota kelahiranku sendiri. Kamu sedang bersamanya saat aku berjuang dalam beku. Berjuang untuk mendapatkan apa yang menurutmu baik dan benar (hlm.118)”.
(11) “Aku masih terus menulis dan lamaran kerjaku juga masih ditolak lagi. Entah apa yang salah pada diriku ehingga banyak orang yang menolakku. Jangan-jangan didahiku ada tulisan yang besar dan sangat jelas; LESBIAN (hlm.126) ”.
Dalam kutipan no.(10) dan (11) dijelaskan bahwa senja mengalami
kesulitan untuk mencari pekerjaan di kota kelahirannya, yakni Jogja.
Dia berpikir bahwa karena jati dirinya sebagai lesbian yang mungkin
2.3 Perbandingan Kehidupan pada Masa Dewasa sebagai Mahasiswa
Pada sub bab kali ini peneliti akan menjelaskan tentang kehidupan
setelah beranjak dewasa antara pengarang Deojha dan tokoh Sangkhala Senja
dalam novel Lesbian Laki-laki.
2.3.1 Pengarang Deojha
Dalam kehidupannya Deojha mengalami banyak hal dan pengalaman
yang tidak terduga. Hal itu akan dikemukakan dalam analisis berikut.
2.3.1.1 Fase sebagai Mahasiswa
Setelah Deojha beranjak dewasa tepatnya semenjak lulus dari SMA,
ia berkeinginan melanjutkan kuliah di kota Surabaya. Di sana salah
satu kakak angkat laki-lakinya tinggal bersama istri dan anaknya. Hal
itu diungkapkan dan diceritakan pada wawancara tepatnya di sebuah
café pada tanggal 20 November 2006 sebagai berikut.
(6) “Setelah lulus dari SMA aku berpikiran untuk melanjutkan kuliah di Surabaya, tepatnya di LIA. Aku berpikiran untuk mengambil Jurusan Sastra Inggris pada waktu itu. Di sana aku hidup dengan mas Pandhu. Salah satu kakak angkatku yang tinggal dan bekerja disana dengan istri dan anaknya. Pada waktu itu aku hanya merasa senang, karena bisa memperbanyak pengalamanku untuk hidup di kota lain. Sampai saatnya semua itu akan mengubah jalan hidupku selamanya”.
Ketika Deojha menjalani kuliah di sana, ia mempunyai banyak
pengalaman tentang hidup. Ia menemukan suatu kebebasan tersendiri
yakni tentang bagaimana jati dirinya yang sesungguhnya dan
perasaannya yang sudah mulai timbul sebagai seorang lesbian. Bukan
karena terpanggil oleh lingkungan dan semacamnya, akan tetapi apa
(7) “Di Surabaya aku merasa bebas, dalam arti aku bisa berpacaran dengan perempuan, aku bisa benar-benar mengekspresikan perasaanku secara terbuka apalagi dengan hadirnya seorang kekasih(lesbian) yang mampu mengubah hidupku”.
2.3.1.2 Fase Pacaran
Ketika Deojha beranjak dewasa, ia mulai merasa bebas untuk
menentukan pilihannya termasuk dalam hal menjalin hubungan dengan
orang lain. Apa yang dirasakannya sebagai seorang lesbian butchie
Deojha pun pernah berpacaran dengan sesama lesbian yang bertindak
sebagai lesbian femme (lesbian yang berposisi sebagai perempuan).
Seperti yang telah diakuinya sebagai lesbian ia pun menceritakan
beberapa pengalamannya sebagai berikut.
(8) “Di Surabaya aku pernah beberapa kali berpacaran. Itu terjadi saat aku
mulai berani mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Terus terang aku pernah pacaran sebanyak sepuluh kali. Fantastik bukan! Dari semuanya hanya beberapa saja yang benar-benar berarti selebihnya hanya perempuan yang mengisi kekosongan dengan mencoba hal yang baru yakni trend menjadi lesbian alias biseksual”.
(9) “Lesbian tidak ada bedanya dengan kaum heteroseksual dalam berpacaran. Aku menjalin hubungan seperti pasangan lainnya, berbincang-bincang, bermesraan, menoton film di bioskop, makan bersama, dan banyak lagi hal yang bisa dilakukan. Kesepuluh pacarku itu kuperlakukan sama,karena pada hakekatnya itulah perasaan cinta dan kasih sayang serta perhatian yang aku berikan”.
(10) “Aku pernah pacaran dengan yang namanya Fitri di buku sepertinya
sudah aku ceritakan beberapa dari mereka. Ada pula yang bernama Windy, Asia, Astrid, Feby, Anggie, Wida, Lina, Wini, dan tentunya Ayu pacarku saat ini”.
2.3.1.3 Putus Cinta
Dalam menjalin hubungan asmara pun Deojha juga mengalami
patah hati, tidak semuanya berjalan sesuai dengan yang dikehendaki.
Hal ini disebabkan karena beberapa alasan seperti dalam kutipan
wawancara berikut.
(11) “Setiap kali berpacaran aku tidak lepas dari konflik putus cinta. Kerap kali aku harus merasakan kekecewaan. Rata – rata karena tidak adanya kecocokan itulah maka aku putus dengan pasanganku. Tapi ada juga hal yang membuatku kecewa lantaran ternyata ia pergi meninggalkan aku untuk memilih bersama orang lain. Hal yang pahit yang pernah