• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kultur antera padi pada beberapa formulasi media yang mengandung poliamin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kultur antera padi pada beberapa formulasi media yang mengandung poliamin"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

The low number of green plantlets among the regenerated plants derived from anther culture may affect the use of anther-derived haploids in breeding program of cereals. Polyamines are plant-growth substances consisting of putres-cine, spermidine, and spermine. They act mainly in processes of cell division, with a broad spectrum of effects on various plant tissues. The objective of this research was to obtain kind and concentration of polyamines most efficient in green plant regeneration in rice anther culture. Taipei 309 was used as anther source. The treatments were consisted of control (N6 medium without polyamines), N6 medium + 10-4 M or

10-3 M putrescine, N6 medium + 10-4 or 10-3 M spermidine, and

N6 medium + 10-4 or 10-3 M spermine. The results showed that

all three polyamines (putrescine, spermidine, or spermine) were capable in increasing number of calli, number of responding calli, number of green and total plants, ratio of green plants to number of responding calli, and percentage of green plants to number of anther inoculated. However, putrescine was more efficient than spermidine and spermine in increasing callus induction and green plant regeneration in rice anther culture of Taipei 309. The best concentration to increase green plant regeneration was 10-3 M.

[Keywords: Oryza sativa, anther culture, polyamines, in vitro regeneration]

ABSTRAK

Rendahnya tanaman hijau yang dihasilkan dari kultur antera membatasi penggunaan teknik ini terutama dalam program pemuliaan serealia. Poliamin yang terdiri atas putresin, spermidin, dan spermin merupakan zat pengatur tumbuh yang bekerja terutama pada proses pembelahan sel. Tujuan pe-nelitian adalah untuk mendapatkan jenis dan konsentrasi poliamin yang paling efisien dalam meningkatkan regenerasi tanaman hijau melalui kalus pada kultur antera padi. Pada penelitian ini digunakan Taipei 309 sebagai sumber antera. Perlakuan terdiri atas kontrol (media N6 tanpa poliamin), N6 + 10-4 M atau 10-3 M putresin, N6 + 10-4 atau 10-3 M spermidin,

dan N6 + 10-4 atau 10-3 M spermin. Hasil penelitian

me-nunjukkan bahwa ketiga jenis poliamin (putresin, spermidin, dan spermin) dapat meningkatkan jumlah kalus, jumlah kalus menghasilkan tanaman, jumlah tanaman hijau dan tanaman

total, rasio tanaman hijau terhadap jumlah kalus menghasil-kan tanaman, dan persentase tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasi. Namun, putresin lebih efisien di-bandingkan spermidin dan spermin dalam meningkatkan induksi kalus dan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi Taipei 309. Konsentrasi terbaik untuk meningkatkan regenerasi tanaman hijau ialah 10-3 M.

[Kata kunci: Padi, kultur antera, poliamin, regenerasi in vitro]

PENDAHULUAN

Kultur antera merupakan salah satu teknik kultur in vitro yang dapat mempercepat perolehan galur murni melalui tanaman haploid ganda langsung pada gene-rasi pertama, sehingga biaya untuk tenaga kerja, sewa lahan, dan waktu pemuliaan lebih hemat dibandingkan pemuliaan konvensional (Dewi et al. 1996; Sanint et al. 1996). Proses kultur antera melibatkan induksi kalus dan regenerasi tanaman (androgenesis).

Masalah utama dalam kultur antera serealia ialah sedikitnya tanaman hijau dan banyaknya tanaman albino yang diregenerasikan. Peningkatan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera serealia merupakan target utama karena jumlah tanaman hijau yang banyak akan mempercepat atau memperbesar peluang untuk memperoleh galur murni yang diinginkan (Dewi et al. 1996).

Poliamin merupakan zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Galston dan Kaur-Sawhney 1995). Poliamin yang umum ditemukan pada tanaman adalah putresin (butan-1, 4-diamin), spermidin [N-(3-aminopropil) butan-1, 4-diamin], dan spermin [NN’-bis-(3-amino-propil) butan-1, 4-diamin]. Poliamin telah diketahui berperan dalam induksi embrio somatik pada kultur jaringan wortel (Feinberg et al. 1984, Feirer et al. 1984) dan kultur antera jagung (Santos et al. 1995). Metabo-lisme poliamin melalui lintasan arginin dekarboksilase (ADC) diketahui mempengaruhi pertumbuhan dan

Kultur antera padi pada beberapa formulasi media

yang mengandung poliamin

Rice anther culture in media containing polyamines

Iswari S. Dewi1, Bambang S. Purwoko2, Hajrial Aswidinnoor2, dan Ida H. Somantri1

1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian,

Jalan Tentara Pelajar No. 3A Bogor 16111, Indonesia

2Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor,

(2)

potensi embriogenik kalus asal embrio pada kultur jaringan padi (Koetje et al. 1993).

Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan jenis dan konsentrasi poliamin yang paling efisien dalam meningkatkan regenerasi tanaman hijau melalui kalus pada kultur antera padi. Sebagai sistem model padi untuk kultur in vitro digunakan Taipei 309, yaitu padi subspesies japonica yang diketahui memiliki respons yang baik (high culturability) terhadap kultur in vitro (Zapata et al. 1983).

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan ialah antera tanaman padi Taipei 309. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 20 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas satu cawan petri berisi + 150 antera yang berasal dari 25 buah spikelet. Perlakuan poliamin diberikan pada media induksi kalus, yaitu kontrol (medium N6 tanpa poliamin), N6 + 10-4 M atau 10-3 M

putresin, N6 + 10-4 atau 10-3 M spermidin, dan N6 +

10-4 atau 10-3 M spermin. Media yang digunakan untuk

induksi kalus ialah N6 yang diberi 2 mg/l NAA dan 0,5 mg/l kinetin, sedangkan media regenerasi ialah MS yang ditambahkan 0,5 mg/l NAA dan 2 mg/l kinetin.

Pelaksanaan kultur antera mengikuti metode Dewi et al. (1994). Malai dikoleksi pada saat fase bunting, kemudian disimpan selama 8 hari dalam ruang bersuhu 5oC. Sebelum dilakukan inokulasi/penanaman antera,

malai diseleksi untuk mendapatkan antera yang berisi butir sari/mikrospora uninukleat. Malai terpilih kemu-dian disterilkan dengan 20% Bayclin. Spikelet yang sudah steril dipotong sepertiga bagian dari pangkal-nya dan dikumpulkan pada cawan petri steril. Masing-masing spikelet kemudian dijepit dengan pinset dan diketukkan pada tepi cawan petri yang berisi 25 ml media induksi kalus, sampai antera keluar dan jatuh ke atas media. Selanjutnya kultur diinkubasi dalam ruang gelap (25 + 2oC) untuk menginduksi kalus dari butir

sari di dalam antera. Kalus yang bertekstur kompak ukuran 1-2 mm (Sasmita et al. 2001) dipindahkan ke dalam botol kultur yang berisi 25 ml media regenerasi. Tanaman hijau yang telah mencapai tinggi 3-5 cm dipindahkan ke dalam tabung kultur yang berisi 15 ml media perakaran, yaitu MS + 0,5 mg/l IBA. Setelah akar tumbuh sempurna, tanaman siap diaklimatisasi. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah antera yang diinokulasi, jumlah antera yang membentuk kalus, jumlah kalus yang terbentuk, jumlah kalus yang menghasilkan tanaman, jumlah tanaman, jumlah tanam-an hijau, dtanam-an jumlah ttanam-anamtanam-an albino.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan kalus

Kalus mulai terbentuk setelah kultur diinkubasi 3 minggu. Proses inisiasi dediferensiasi butir sari atau mikrospora terjadi di dalam antera yang dikulturkan in vitro. Metabolit yang dihasilkan dari tapetum akan memasuki ruang antera dan memberikan nutrisi untuk perkembangan mikrospora serta melingkupi embrio atau kalus muda yang terbentuk (Hird et al. 1994). Melalui pengamatan dengan mikroskop, tidak terdapat proliferasi pada bagian somatik, seperti dinding sel antera atau bagian lain dari antera seperti filamen.

Perlakuan poliamin berpengaruh terhadap induksi kalus (Tabel 1). Di antara enam perlakuan poliamin, 10-3 M spermidin memberikan jumlah kalus tertinggi,

diikuti 10-3 M putresin, 10-4 M spermin, 10-4 M putresin,

dan 10-4 M spermidin. Jumlah kalus terendah terdapat

pada perlakuan kontrol dan 10-3 M spermin (Tabel 1).

Rendahnya jumlah kalus pada setiap cawan petri pada perlakuan 10-3 M spermin kemungkinan disebabkan

oleh sulitnya senyawa tersebut larut dalam media. Hal ini terlihat dari gumpalan-gumpalan yang jelas terlihat dalam media setelah diotoklaf.

Regenerasi tanaman

Kalus yang diperoleh ada yang menghasilkan atau tidak menghasilkan tanaman. Pada kultur antera padi, umumnya kalus yang berpotensi embriogenik ter-bentuk pada 3-8 minggu setelah inokulasi antera (Chung 1992; Sasmita et al. 2001). Respons kalus dalam meregenerasikan tanaman dinyatakan dalam jumlah kalus menghasilkan tanaman. Perlakuan poli-amin berpengaruh terhadap jumlah kalus menghasil-kan tanaman (Tabel 1). Jumlah kalus menghasilmenghasil-kan tanaman tertinggi dicapai oleh perlakuan 10-3 M

putresin (10,7 kalus/petri), sedangkan terendah pada 10-3 M spermin (1,1 kalus/petri) dan kontrol (0,6 kalus/

petri).

Dari kalus yang menghasilkan tanaman diperoleh tanaman hijau dan tanaman albino (Gambar 1). Pada umumnya kalus yang berwarna kekuningan akan menghasilkan tanaman hijau, sedangkan kalus yang berwarna putih menghasilkan tanaman albino. Kalus yang pertama kali muncul umumnya sangat mudah meregenerasikan tanaman hijau. Pemindahan kalus ke media regenerasi dilakukan sampai 60 hari setelah inokulasi antera.

Perlakuan poliamin berpengaruh terhadap jumlah tanaman hijau (Tabel 1). Tanaman hijau terbanyak (33,4 tanaman) diperoleh dari perlakuan 10-3 M putresin.

(3)

Perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan 10-3 M spermidin (28,7 tanaman). Namun, kedua

perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan 10-4 M putresin, 10-4 M spermin, dan 10-4 M spermidin.

Jumlah tanaman hijau paling sedikit terdapat pada perlakuan 10-3 M spermin dan kontrol. Sementara itu,

untuk persentase tanaman hijau, nilai tertinggi dicapai oleh perlakuan 10-3 M putresin (82,1%) dan terendah

oleh kontrol (21,1%).

Jumlah tanaman albino juga dipengaruhi oleh per-lakuan poliamin (Tabel 1). Jumlah tanaman albino tertinggi terdapat pada perlakuan 10-4 M spermidin

dan 10-4 M spermin, sedangkan terendah pada

per-lakuan 10-3 M spermin dan kontrol. Jika dilihat dari

persentase tanaman albino, maka perlakuan kontrol (tanpa poliamin) menghasilkan tanaman albino ter-tinggi (78,9%), sedangkan terendah pada perlakuan 10-3 M putresin (17,9%).

Dari penelitian ini tampak bahwa tanaman albino selalu dihasilkan bersamaan dengan peningkatan tanaman hijau. Namun, Masyhudi dan Rianawati (1995) menyatakan bahwa pembentukan tanaman albino hendaknya tidak dipandang sebagai suatu masalah besar yang menghambat tujuan dari kultur antera padi. Hal yang lebih penting dalam kultur antera adalah peningkatan regenerasi tanaman hijau karena akan memperbesar peluang untuk memperoleh galur yang diinginkan. Hal ini karena setiap individu tanaman hijau yang berasal dari butir sari yang berbeda me-rupakan suatu genotipe yang unik (Oono 1981; Zhou 1996).

Perlakuan poliamin berpengaruh terhadap jumlah tanaman total (Tabel 1). Tanaman total merupakan jumlah tanaman hijau dan albino yang dihasilkan dari kultur antera. Perlakuan poliamin meningkatkan jumlah tanaman total, kecuali perlakuan 10-3 M spermin.

Jum-lah tanaman total tertinggi dicapai pada perlakuan 10-3 M putresin (40,7 tanaman), walaupun tidak

ber-beda nyata dengan perlakuan 10-3 M spermidin serta

10-4 M spermin, putresin, dan spermidin. Kelima

perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan 10-4 M spermin dan kontrol dalam menghasilkan

ta-naman total.

Efisiensi perlakuan poliamin pada kultur antera padi

Efisiensi perlakuan poliamin dalam pembentukan kalus dinyatakan dengan persentase kalus terhadap jumlah antera yang diinokulasi (Tabel 2). Perlakuan

Tabel 1. Pengaruh poliamin dalam media induksi kalus terhadap androgenesis pada padi Taipei 309. Table 1. Effect of polyamines in callus induction media on androgenesis of Taipei 309.

Perlakuan Jumlah kalus Jumlah KMT Jumlah TH T H Jumlah TA TA Jumlah TT

Treatment Callus number KMT number TH number (%)1 TA number (%)1 Total TT

Kontrol/Control 9,3c 0 , 6 c 0 , 8 c 21,1 3 , 0 b 78,9 3,8b

Putresin 10-3 M 32,0b 10,7 a 33,4 a 82,1 7 , 3 ab 17,9 40,7a

Spermidin 10-3 M 60,8a 9 , 8 ab 28,7 ab 79,9 7 , 2 ab 20,1 35,9a

Spermin 10-3 M 8,2c 1 , 1 c 3 , 1 c 35,4 3 , 9 b 64,6 7,0b

Putresin 10-4 M 29,7b 7 , 6 ab 21,4 b 80,8 5 , 1 ab 19,2 26,5a

Spermidin 10-4 M 24,4b 5 , 3 b 13,2 b 50,8 12,8 a 49,2 26,0a

Spermin 10-4 M 30,5b 6 , 1 b 19,3 b 67,7 9 , 2 a 32,3 28,5a

Keterangan: KMT = kalus menghasilkan tanaman; TH = tanaman hijau; TA = tanaman albino; TT = tanaman total; 1Tidak

dilakukan uji statistik. Angka pada kolom dan peubah yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf 5%.

Notes: KMT= callus produced plantlet; TH = green plantlet; TA= albino plantlet; TT = total plantlet; 1Not statistically tested.

Numbers in the same column and same variable followed by the same letter are not significantly different according to DMRT at P< 5%.

Gambar 1. Tanaman hijau (kiri) dan tanaman albino (kanan) hasil kultur antera padi Taipei 309.

Fig. 1. Green (left) and albino (right) plantlets regenerated from rice anther culture of Taipei 309.

(4)

10-3 M spermidin mencapai nilai tertinggi (45,9%) dan

berbeda nyata dengan perlakuan 10-4 M spermin, 10-4

M putresin, 10-3 M putresin, dan 10-4 M spermidin.

Nilai terendah persentase kalus terhadap jumlah antera dihasilkan oleh kontrol (7,2%) dan perlakuan 10-3 M spermin (5,8%).

Dari kalus yang dihasilkan, hanya sebagian saja yang dapat meregenerasikan tanaman (Tabel 2). Per-sentase kalus menghasilkan tanaman tertinggi dicapai oleh perlakuan 10-3 M putresin (45,7%), tetapi tidak

berbeda nyata dengan perlakuan 10-4 M spermin, 10-4

M spermidin, dan 10-4 M putresin. Meskipun

perlaku-an 10-3 M spermidin memberikan nilai tertinggi untuk

jumlah kalus (Tabel 1) dan persentase kalus terhadap jumlah antera yang diinokulasi (Tabel 2), perlakuan ini mempunyai persentase jumlah kalus menghasilkan tanaman yang relatif rendah dibandingkan perlakuan-perlakuan tersebut di atas. Persentase jumlah kalus menghasilkan tanaman terendah diperoleh pada kontrol (8,8%) dan perlakuan 10-3 M spermin (8,6%).

Efisiensi penggunaan putresin pada regenerasi tanaman hijau ditunjukkan oleh rasio tanaman hijau terhadap kalus menghasilkan tanaman (TH/KMT) dan persentase tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasi (TH/A). Pada Tabel 2 tampak bahwa rasio TH/KMT tertinggi dicapai oleh perlakuan 10-3 M

putresin (3,5 tanaman/KMT) dan terendah oleh kontrol (0,6 tanaman/KMT). Tanaman hijau yang dihasilkan dari kalus yang sama akan mempunyai konstitusi genetik yang sama (Suhartini dan Somantri 2000; Dewi 2002). Rasio TH/KMT yang tinggi akan menguntung-kan dalam memperoleh duplikat tanaman, terutama bila proses aklimatisasi tanaman asal kultur in vitro masih merupakan masalah. Pemberian poliamin

mem-pengaruhi persentase TH/A (Tabel 2). Tampak bahwa pemberian poliamin menghasilkan laju regenerasi tanaman hijau yang lebih tinggi (2,4-24,6%) diban-dingkan kontrol (0,7%). Persentase TH/A tertinggi dicapai oleh perlakuan 10-3 M putresin (24,6%).

Per-lakuan putresin pada konsentrasi 10-3 dan 10-4 M tidak

berbeda nyata dengan perlakuan 10-3 M spermidin dan

10-4 M spermin, tetapi berbeda nyata dengan

per-lakuan 10-4 M spermidin, 10-3 M spermin, dan kontrol.

Secara umum, dibandingkan tanpa poliamin, pem-berian poliamin dapat meningkatkan induksi kalus dan regenerasi tanaman. Hal ini memperkuat bukti bahwa poliamin memang terlibat dalam embriogenesis seperti dilaporkan oleh Evans dan Malmberg (1989) serta Galston dan Kaur-Sawhney (1990) pada kultur sel wortel dan Santos et al. (1995) pada kultur antera jagung.

Pada penelitian ini, putresin dengan konsentrasi 10-3 M terpilih sebagai poliamin terbaik, karena

di-bandingkan dengan spermidin dan spermin mem-berikan nilai yang lebih tinggi dalam jumlah kalus menghasilkan tanaman, jumlah tanaman hijau, jumlah tanaman total, rasio tanaman hijau terhadap kalus menghasilkan tanaman, dan persen tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasi (Gambar 2). Tanaman hijau yang dihasilkan juga tampak vigor (Gambar 1) dan harganya lebih murah (lihat Katalog Bahan Kimia dari Sigma-Aldrich).

KESIMPULAN

Poliamin dapat meningkatkan induksi kalus dan regenerasi tanaman pada kultur antera padi. Di antara

Tabel 2. Pengaruh poliamin dalam media induksi kalus terhadap efisiensi pembentukan kalus dan tanaman hijau pada padi Taipei 309.

Table 2. Effect of polyamines in callus induction media on callus and green plantlet formation of Taipei 309.

Perlakuan Persen kalus terhadap antera Persen KMT Rasio TH/KMT Persen TH terhadap antera Treatment Percent callus to anther Percent KMT TH/KMT ratio Percent TH to anther

Kontrol/Control 7,2c 8 , 8 c 0,6d 0 , 7 c Putresin 10-3 M 22,5b 45,7 a 3,5a 24,6 a Spermidin 10-3 M 45,9a 19,4 b 2,3bc 21,0 ab Spermin 10-3 M 5,8c 8 , 6 c 1,0d 2 , 4 c Putresin 10-4 M 23,1b 32,6 a 2,7abc 16,2 ab Spermidin 10-4 M 18,8b 33,0 ab 1,9c 9 , 9 b Spermin 10-4 M 23,7b 34,7 a 3,2ab 16,2 ab

Keterangan: TH = tanaman hijau; KMT = kalus menghasilkan tanaman. Angka pada kolom dan peubah yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf 5%.

Notes: TH = green plantlet; KMT = callus produced plantlet. Numbers in the same column and same variable followed by the same letter are not significantly different according to DMRT at P < 5%.

(5)

berbagai jenis poliamin yang digunakan, putresin dengan konsentrasi 10-3 M merupakan poliamin

ter-baik untuk meningkatkan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi Taipei 309.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Depar-temen Pendidikan Nasional atas sebagian biaya penelitian melalui Hibah Bersaing VIII atas nama Bambang S. Purwoko, Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR PUSTAKA

Chung, G.S. 1992. Anther culture for rice improvement in Korea. p. 8-37. In K. Zheng and T. Murashige (Eds.). Anther Culture for Rice Breeders. Seminar and Training for Rice Anther Culture at Hangzhou, China.

Dewi, I.S. 2002. Karakterisasi Morfologi dan Agronomi Galur Haploid Ganda Hasil Kultur Antera Padi Hasil Silangan Resiprok Subspesies Indica x Javanica. Laporan Topik Khusus, Program Pascasarjana-IPB, Bogor. 43 hlm. Dewi, I.S., A.D. Ambarwati, M.F. Masyhudi, T. Soewito, dan

Suwarno. 1994. Induksi kalus dan regenerasi kultur antera padi (Oryza sativa L.). Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan 2: 136-143.

Dewi, I.S., I. Hanarida, and S. Rianawati. 1996. Anther culture and its application for rice improvement program in Indonesia. Indon. Agric. Res. Dev. J. 18: 51-56.

Evans, P.T. and R.L. Malmberg. 1989. Do polyamines have roles in plant growth and development? Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 40: 235-269.

Feinberg, A.A., J.H. Choi, W.P. Lubich, and Z.R. Sung. 1984. Developmental regulation of polyamine metabolism in growth and differentiation of carrot culture. Planta 162: 532-539.

Feirer, R.P., G. Mignon, and J.D. Litvay. 1984. Arginine decarboxylase and polyamines required for embryogenesis in the wild carrot. Science 223: 1433-1455.

Galston, A.W. and R. Kaur-Sawhney. 1990. Polyamines in Plant Physiology. Plant Physiol. 94: 406-410.

Galston, A.W. and R. Kaur-Sawhney. 1995. Polyamines as endogenous growth regulators. p. 158-178. In P.J. Davies (Ed.). Plant Hormones: Physiology, biochemistry, and molecular biology. Kluwer, Dordrecht.

Hird, D.L., D. Worral, R. Hodge, S. Smartt, W. Paul, and R. Scott. 1994. Characterisation of Arabidopsis thaliana anther-specific gene which shares sequence similarity with β-1,3-glucanases. p. 137-158. In R.J. Scott and A.D. Stead (Eds.). Molecular and Cellular Aspects of Plant Reproduction. Soc. Exp. Biol. Seminar Series 55. Cambridge Univ. Press, UK. Koetje, D.S., H. Kononowizc, and T.K. Hodges. 1993. Poly-amine metabolism associated with growth and embryogenic potential of rice. J. Plant Physiol. 141: 215-221. Masyhudi, M.F. dan S. Rianawati. 1995. Pengaruh genotipe

hibrida dan media terhadap induksi kalus dan generasi tanaman pada kultur antera padi. J. Biol. Indon. 1: 58-64. Oono, K. 1981. In vitro methods applied to rice. p. 273-298. In T.A. Thorpe (Ed.). Plant Tissue Culture: Methods and applications in agriculture. Acad. Press, Inc., New York. Sanint, L.R., C.P. Martinez, and Z. Lentini. 1996. Anther

culture as rice breeding tool: a profitable investment. p. Gambar 2. Pengaruh poliamin terhadap efisiensi pembentukan tanaman hijau pada kultur antera padi Taipei 309; KMT = kalus menghasilkan tanaman; TH = tanaman hijau, TT = tanaman total, A = antera yang diinokulasi; Ktrl = kontrol, Put = putresin; Spd = spermidin; Spm = spermin.

Fig. 2. Effect of polyamines on green plantlet formation efficiency in rice anther culture of Taipei 309; KMT = callus produced plantlet; TH = green plantlet; TT = total plantlet; A = number of anther inoculated; Ktrl = control, Put = putrescine; Spd = spermidine; Spm= spermine. 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 3 5 4 0 4 5 0 Ktrl P u t Spd Spm P u t Spd Spm 10-3 M 10-4 M K M T T H T T 10-3 M 10-4 M 5 0 Ktrl P u t Spd Spm P u t Spd Spm T H / K M T %TH/A 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 Jumlah/Total Jumlah/Total

(6)

511-531. In G.H. Khush (Ed.). Rice Genetics III. Proceed-ings of the 3rd International Rice Genetics Symposium.

IRRI, Los Banos, Philippines.

Santos, M., N. Boget, and J.M. Torne. 1995. Endogenous polyamine content during in vivo maturation and in vitro culture of maize pollen. Plant Growth Regul. 16: 19-26. Sasmita, P., I.S. Dewi, dan B.S. Purwoko. 2001. Pengaruh

generasi kalus terhadap regenerasi tanaman pada kultur antera padi (Oryza sativa L.) kultivar Gajah Mungkur. Sain Teks (Edisi Khusus): 179-188.

Suhartini, T. dan I.H. Somantri. 2000. Kesamaan genetik galur-galur padi hasil kultur anter F1 pada generasi H1. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 19: 13-20.

Zapata, F.J., G.S. Khush, J.P. Crill, M.H. Neu, R.O. Romero, L.B. Torrizo, and M. Alejar. 1983. Rice anther culture at IRRI. p. 27-46. In Cell and Tissue Culture Techniques for Cereal Crop Improvement. Proceedings of a workshop co-sponsored by the Institute of Genetics, Academia Sinica and the International Rice Research Institute. Science Press, Beijing, China.

Zhou, H. 1996. Genetics of green plantlet regeneration from anther culture of cereals. p. 169-187. In S.M. Jain, S.K. Sopory, and R.E. Veilleux (Eds.). In Vitro Haploid Produc-tion in Higher Plants. Vol. 2. ApplicaProduc-tions. Kluwer Acad. Publ., Netherlands.

Gambar

Tabel 1.  Pengaruh poliamin dalam media induksi kalus terhadap androgenesis pada padi Taipei 309.
Tabel 2.  Pengaruh poliamin dalam media induksi kalus terhadap efisiensi pembentukan kalus dan tanaman hijau pada padi Taipei 309.
Gambar 2. Pengaruh poliamin terhadap efisiensi pembentukan tanaman hijau pada kultur antera padi Taipei 309; KMT = kalus

Referensi

Dokumen terkait

Kontaminasi bakteri Coliform pada air minum dapat berasal dari berbagai sumber yaitu bahan baku yang digunakan dari air yang sudah tercemar, pendistribusian yang kurang baik

Hasil dari penelitian ini adalah: 1) Langkah-langkah Guru BK/BP dalam pembinaan akhlak siswa di MAN Bulukumba yaitu dengan melakukan bimbingan di dalam maupun di luar

Berdasarkan pengujian kadar air dan GFN pasir Tanjung Bintang memenuhi syarat sebagai pasir cetak namun perlu diteliti ulang untuk penambahan kadar tanah liat diatas 10%

Pernyataan guru tentang tujuan pembelajaran bahasa yang sesuai dengan kebutuhan mereka ialah sebanyak 75 % menyatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di

metode BSLT yang berpotensi sebagai antikanker terdapat pada madu yang berasal dari Bali dengan nilai LC50 1,50 ppm.. Hasil analisis dengan FTIR menunjukkan bahwa

3.2.1 Keterkaitan LSPB 1 : Kita sebagai Manajer Tubuh Kita Sendiri Dalam wacana CL 2 paragraf pertama terdapat kalimat yang berbunyi “Untuk dapat mengelola wilayah NKRI,

Kesimpulan dari penelitian ini, yaitu: 1) Terjadi interaksi yang nyata pada kombinasi perlakuan pengaruh bahan stek batang dan media tanam pertumbuhan vegetatif

Penurunan tingkat tekanan bunyi (kebisingan) pada knalpot standar menggunakan magnet dengan tidak menggunakan magnet, paling baik. terletak pada posisi a dengan