• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADAPTASI SISTEM INTEGRASI TERNAK SAPI DAN KELAPA SAWIT RAMAH LINGKUNGANDI PROVINSI KEPULAUAN RIAU. Yayu Zurriyati dan Dahono

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADAPTASI SISTEM INTEGRASI TERNAK SAPI DAN KELAPA SAWIT RAMAH LINGKUNGANDI PROVINSI KEPULAUAN RIAU. Yayu Zurriyati dan Dahono"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ADAPTASI SISTEM INTEGRASI TERNAK SAPI DAN KELAPA SAWIT RAMAH

LINGKUNGANDI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Yayu Zurriyati dan Dahono

Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) Kepulauan Riau Jl. Pelabuhan Sungai jang no.38 Tanjung pinang

ABSTRAK

Sistem integrasi ternak dan tanaman (SITT) merupakan suatu kegiatan usahatani yang menerapkan prinsip ramah lingkungan, karena limbah yang dihasilkan dari kedua komoditi tersebut tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya. Keberadaan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kepulauan Riau memungkinkan untuk mengintegrasikan antara ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit. Untuk mendapatkan data dan informasi tentang SITT sapi-kelapa saawit di Provinsi Kepulauan Riau, pada tahun 2012 LPTP Kepri melakukan suatu kegiatan pengkajian guna mendapatkan formulasi pakan sapi yang optimal dari limbah tanaman kelapa sawit dan pembuatan pupuk organik berbasis limbah sawit. Pengkajian dilaksanakan di Desa Malang Rapat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Ternak yang digunakan berjumlah 12 ekor ternak sapi Bali jantan berumur sekitar 1,5-2 tahun dengan berat badan awal  150 kg. Pakan yang diuji terdiri dari 4 perlakuan, yaitu: Introduksi 1 (P1)= rumput 30%, daun+pelepah kelapa sawit 30%, dedak padi 35% dan kepala teri 5%; introduksi 2 (P2)= rumput 30%, daun+pelepah kelapa sawit 30%, dedak padi 25%, kepala teri 5% dan ampas tahu 10%, introduksi 3 (P3)= daun+pelepah kelapa sawit fermentasi 60%, dedak padi 25%, kepala teri 5%, ampas tahu 5% dan lumpur sawit 5%; perlakuan kontrol (K)=sesuai kebiasaan petani. Tiap perlakuan diujikan pada 3 ekor ternak sapi sebagai ulangan. Pembuatan kompos dari tandan kosong kelapa sawit dibedakan dari 3 jenis aktivator yang digunakan yaitu Orgadec, Stardec dan Probion. Hasil pengomposan dari ketiga aktivator tersebut dianalisis dan dibandingkan dengan SNI 19-7030-2004. Pengaruh antar perlakuan pakan dan kompos dianalisis menggunakan t test.. Hasil pengkajian mendapatkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) dari perlakuan pakan terhadap pertambahan bobot badan ternak sapi maupun perlakuan aktivator terhadap mutu kompos tandan kosong yang dihasilkan. Pemanfaatan daun dan pelepah kelapa sawit baik dalam bentuk segar maupun fermentasi sebesar 30-60% didalam ransum ternak sapi Bali menghasilkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) antara 0.5-0.6 kg/ekor/hari. Pembuatan kompos dari tandan kosong kelapa sawit menggunakan aktivator Orgadec, Stardec dan Probion, menghasilkan kompos yang memenuhi kriteria standar SNI kompos 19-7030-2004.

Kata kunci:ramah lingkungan, limbah kelapa sawit, pakan, kompo

PENDAHULUAN

Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Riau. Secara geografis Provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Luas wilayahnya sekitar 95% merupakan lautan dan hanya 5% merupakan wilayah daratan dari total luas wilayah 252.601 Km2. Walaupun demikian terdapat potensi untuk

pengembangan pertanian khususnya peternakan di provinsi ini Hasil kajian analisa kebutuhan dan ketersediaan pakan yang dilaporkan oleh Dinas Pertanian, Kehutanan & Peternakan Provinsi Kepri 2007, ketersediaan pakan ruminansia dari padang rumput saja di provinsi ini dapat menampung 25 kali lipat dari populasi ternak ruminansia.yang ada. Belum lagi dari ketersediaan sumber pakan asal limbah pertanian dan agroindustri lainnya. Saat ini jumlah populasi sapi potong di Provinsi Kepri adalah 17.378 ekor (BPS Kepri 2011). Masih terdapat kesenjangan antara jumlah permintaan daging sapi yang jauh diatas penawaran. Rata-rata permintaan dan konsumsi daging sapi di provinsi ini meningkat sekitar 9,31%/tahun yang sebagian besar disuplai dari impor karena daerah tidak dapat memenuhi permintaan tersebut. Rendahnya produktivitas ternak sapi ditingkat petani merupakan salah satu faktor penyebab ketidak mampuan daerah untuk memenuhi permintaan dagingsapi. Produktivitas ternak sapi yang tinggi berhubungan dengan ketersediaan pakan yang mencukupi secara kualitas dan kuantitas, disamping faktor manajemen pemeliharaan ternak sapi dan genetik ternak sapi.

Peningkatan produktivitas ternak sapi dituntut guna mendukung program swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK) pada tahun 2014. Pertanian terpadu antara ternak dan tanaman dengan penerapan konsep “ramah lingkungan” yang berarti tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya dalam berusahatani merupakan upaya yang dapat dilakukan guna mewujudkan program tersebut. Limbah tanaman dapat digunakan sebagai pakan ternak dan limbah ternak dapat digunakan sebagai pupuk tanaman.

(2)

Kelapa sawit merupakan komoditi perkebunan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Tanaman ini menyumbang 27% dari kebutuhan minyak nabati dunia yang berasal dari buah. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kepulauan Riau tercatat sebesar 2.679 ha (BPS Kepri 2011). Dalam pengolahan kelapa sawit hingga menjadi minyak dihasilkan limbah sebagai produk sampingnya. Perluasan kebun kelapa sawit akan menyebabkan peningkatan produk samping dan berpotensi mengganggu lingkungan (Diwyanto et al, 2003). Limbah perkebunan dan pabrik kelapa sawit antara lain pelepah serta tandan kosong (tankos) kelapa sawit. Dari setiap tandan buah segar (TBS) yang dipanen diperoleh sejumlah 1-2 pelepah. Setiap hektar kebun kelapa sawit secara teoritis dapat menampung 143 pokok tanaman, sehingga setiap tanaman akan menghasilkan 22 pelepah/tahun Sementara dalam 1 ha kebun kelapa sawit menghasilkan tankos sebanyak 50.000 kg. Untuk mengatasi penumpukan limbah tankos yang terus bertambah di perusahaan biasanya dilakukan pembakaran dan abunya dimanfaatkan sebagai pupuk (LRPI, 2003). Akan tetapi dengan terbitnya SK Mentan No. KB 550/268/ Mentan/VII/1997, tentang pelestarian lingkungan, upaya pembakaran limbah tankos mulai ditiadakan dan dimanfaatkan sebagai mulsa pada tanaman kelapa sawit dewasa yang sekaligus sebagai pupuk organik. Akan tetapi cara ini memerlukan biaya transportasi, tenaga dan biaya penebaran tankos yang tinggi, serta munculnya serangan hama kumbang yang merusak tanaman kelapa sawit. Pengolahan tankos menjadi kompos merupakan salah satu alternatif untuk peningkatan nilai tambahnya.

Integrasi ternak sapi dengan tanaman kelapa sawit sangat sesuai diterapkan untuk wilayah-wilayah yang mempunyai potensi kedua komoditi tersebut. Pelepah dan daun sawit dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi. Wan Zahari et al (2003), dalam laporannya menyebutkan bahwa pemberian pelepah sebagai bahan baku ransum dalam jangka waktu yang panjang pada ternak sapi akan menghasilkan kualitas karkas yang baik.

Untuk mendapatkan data dan informasi sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman kelapa sawit di Provinsi Kepulauan Riau, maka Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) Kepri melakukan suatu kegiatan pengkajian. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan formulasi pakan sapi yang optimal dari pemanfaatan limbah tanaman kelapa sawit dan pembuatan pupuk organik berbasis limbah sawit di Provinsi Kepulauan Riau.

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Pengkajian

Pengkajian dilaksanakan di Desa Malang Rapat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, yang merupakan salah satu daerah pengembangan ternak sapi dengan sistem integrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Kegiatan dilaksanakan mulai dari bulan April sampai dengan Agustus 2011.

Metode

Dalam kegiatan ini ternak yang digunakan berjumlah 12 ekor sapi Bali jantan yang berumur sekitar 1,5-2 tahun dengan berat badan awal  150 kg. Pemeliharaan ternak dilakukan dengan cara kereman, dalam kandang kelompok. Kandang kelompok dilengkapi dengan sekat pemisah antar ternak, dinding terbuka dan dilengkapi dengan bak pakan dan tempat air minum. Pakan perlakuan yang diuji pada kegiatan ini ditampilkan pada Tabel 1. Tiap pakan perlakuan diujikan pada 3 ekor ternak sapi sebagai ulangan.

Tabel 1. Komposisi Pakan Perlakuan pada Kegiatan Pengkajian. Perlakuan Pakan

Kontrol Introduksi 1 Introduksi 2 Introduksi 3

Rumput 100% - Rumput 30% - Daun+PelepahKelapa sawit 30% - Dedak padi 35% - Kepala teri 5% - Rumput 30% - Daun+Pelepah Kelapa sawit 30% - Dedak padi 25% - Kepala teri 5% - Ampas tahu 10 - Daun+Pelepah Kelapa sawit fermentasi 60% - Dedak padi 25% - Kepala teri 5% - Ampas tahu 5% - Lumpur sawit 5 %

Teknis pembuatan pakan ternak dari limbah sawit dilakukan dengan cara mencampur semua bahan pakan berupa pelepah dan daun kelapa sawit yang telah dicacah dengan menggunakan mesin

(3)

copper, lumpur sawit, dedak, ampas tahu, dan kepala teri sesuai komposisi dari beberapa perlakuan yang diuji. Daun dan pelepah kelapa sawit fermentasi dibuat dengan cara menambahkan probion sebanya 0,25% dari jumlah daun dan pelepah kelapa sawit dan difermentasi selama 4 hari.

Pembuatan pupuk organik padat menggunakan bahan baku limbah tandan kosong kelapa sawit. Bahan lain yang ditambahkan adalahaktivator, urea dan SP36. Metode pembuatan pupuk organik padat dilakukan dengan cara fermentasi. Tahapan kegiatan fermentasi adalah: tandan kosong sawit dikumpulkan dan dicacah dengan ukuran kurang lebih 3-5 cm, kemudian dicampurkan dengan aktivator, urea dan SP36 masing-masing tergantung pada takaran yang telah ditentukan oleh produsen. Bahan-bahan tersebut selanjutnya ditumpuk ditempat yang telah disediakan (terlindung dari hujan dan panas matahari langsung). Waktu pengomposan berlangsung selama 3 minggu. Aktivator yang digunakan dalam pembuatan pupuk organik padat dibedakan atas 3 jenis yaituOrgadec, Stardec dan Probion. Hasil kompos dari ketiga aktivator dibandingkan dengan standar kualitas kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004. Data yang didapatkan dari masing-masing perlakuan pakan untuk ternak sapi dan pengaruh aktivator terhadap kompos yang dihasilkan ditabulasikan dan dianalisis menggunakan t test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aplikasi pemberian pakan berbahan pelepah dan daun kelapa sawit secara kontinyu dan pengumpulan data pada ternak sapi dilaksanakan selama selama 8 minggu. Pemberian pakan berbasis limbah kelapa sawit tersebut membutuhkan masa adaptasi yang relatif lama yaitu sekitar 2 minggu. Hal ini disebabkan karena petani tidak pernah mencobakan memberikan pelepah dan daun kelapa sawit. Sehingga pada awal kegiatan ternak sapi banyak yang “mogok makan”. Kondisi ini menyebabkan terjadi penurunan kondisi tubuh berupa pengurangan bobot badan harian. Strategi yang dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan “mempuasakan” ternak sapi, setelah kondisi ternak lapar, selanjutnya disuguhkan pelepah dan daun sawit.

Pelepah kelapa sawit termasuk kedalam kelompok tanaman yang memiliki serat yang tinggi, kandunganprotein dan tingkat kecernaan yang rendah. Bahan pakan dengan kandungan protein kurang dari 7% dilaporkan memiliki palatabilitas yang rendah pada ternak ruminansia, sehingga pemberiannya sebagai pakan harus dikombinasikan dengan pakan sumber protein. Pada Tabel 2 disajikan analisis nutrisi pelepah dan daun kelapa sawit.

Tabel 2. Komposisi Kimiawi Daun dan Pelepah Kelapa Sawit.

Bahan PK LK Selulosa Hemiselulosa Lignin Silika

Daun Kelapa Sawit (%) 14.8 3.2 16.6 27.6 27.6 3.8

Pelepah Kelapa Sawit (%) 4.7 0.5 31.7 33.9 17.4 0.6

Sumber: Oshio et al (1990), Aliman dan Bejo (1995), Abu Hasan (1995) dalam Ginting (2011). PK= protein kasar, LK= lemak kasar

Hasil pengukuran menunjukkan hasil rata-rata pertambahan bobot badan harian(PBBH) ternak sapi bervariasi antar perlakuan. Perlakuan introduksi 2 menghasilkan PBBH tertinggi, yaitu 0,56 kg/ekor/hari sementara introduksi 1 menghasilkan PBBH terendahyaitu 0,26 kg/ekor/hari (Tabel 3). Walaupun secara statistik antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05). Pada perlakuan introduksi 3, yang menggunakan pelepah dan daun sawit fermentasi sebanyak 60% dari total ransum, memberikan tampilan PBBH yang hampir sama dengan introduksi 2. Hal ini menunjukkan bahwa pelepah dan daun sawit yang difermentasi dapat menggantikan penggunaan rumput lapangan sebagai hijauan pakan ternak sapi. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang didapatkan pada pengkajian ini sedikit lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Elizabeth dan Ginting (2003), yaitu dengan pemberian ransum 60% pelepah kelapa sawit, 18 % lumpur sawit, 18% bungkil inti sawit dan 4 % dedak padi menghasilkan PBBH sapi Bali sebesar 0.58 kg/ekor/hari. Pada introduksi 1, PBBH yang diperoleh lebih rendah dari perlakuan kontrol, diduga karena ternak yang dipelihara belum begitu beradaptasi dengan pakan perlakuan berupa pelepah dan daun sawit. Hal lain yang menyebabkan rendahnya PBB ternak sapi diduga karena kurang tepatnya rasio antara konsentrat dengan pakan hijauan pada periode penggemukan yang singkat. Menurut Snapp & Neuman dalam Parakkasi (1999), bahwa untuk penggemukan dalam jangka pendek rasio pemberian konsentrat harus lebih banyak dibanding hijauan.

(4)

Tabel 3. Hasil Penimbangan Bobot Badan Sapi Jantan Selama 120 hari Kegiatan Pengkajian.

Perlakuan BB awal (Kg) BB 8 minggu (Kg) PBB PBBH

- Kontrol - Introduksi 1 - Introduksi 2 - Introduksi 3 250,7 187,3 228,3 203,7 260,7 204,7 262,0 236,7 28,33 15,33 33,67 33,00 0,47 0,26 0,56 0,55

Tandan kosong kelapa sawit adalah limbah pabrik yang jumlahnya sekitar 20-23% dari tandan buah segar yang diolah. Saat ini pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit sebagian besar adalah sebagai mulsa. Penggunaan tandan kosong kelapa sawit sebagai pakan ternak mempunyai faktor pembatas, karena teksturnya yang keras seperti kayu dan mengandung serat kasar yang cukup tinggi sehingga tankos lebih berpotensi untuk dimanfaakan sebagai bahan baku pembuatan kompos.Kompos merupakan hasil dekomposisi bahan organik dari produksi fermentasi padat (Khusmiati, 2001) yang mengandung unsur makro dan mikro yang digunakan untuk tanaman serta dapat memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Proses pengomposan tankos secara alami membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu sekitar 12-18 bulan (Indriani 2003). Namun demikian dengan bantuan mikroorganismemelalui fermentasi pengomposan dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat.

Keberhasilan dalam pembuatan kompos sangat dipengaruhi oleh proses yang terjadi selama pengomposan. Proses pengomposan akan segera berlansung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50- 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO

2, uap air dan panas.

Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan.

Hasil pengamatan suhu awal pengomposan tankos kelapa sawit pada pengkajian ini disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengamatan Suhu Awal Pada Pembuatan Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit. No. Jenis Aktivator Suhu Awal Rata-rata Suhu Awal Pengomposan (0C)

1. Orgadec 1 Orgadec 2 Orgadec 3 30 31 29 30.0 2. Stardec 1 Stardec 2 Stardec 3 31 31 31 31.0 3. Probion 1 Probion 2 Probion 3 32 28 34 31.3

Pada Tabel 4, terlihat bahwa rataan suhu awal pengomposan dari 3 perlakuan menunjukkan hasil yang hampir seragam yaitu 30-31,30C. Selanjutnya selama proses pengomposan terjadi

peningkatan suhu. Pada hari ketujuh proses pengomposan terjadi peningkatan suhu kompos, kisaran kenaikan suhu adalah 50-580C. Untuk semua perlakuan dilakukan pembalikan bahan kompos. Tujuan

dari pembalikan bahan kompos ini adalah untuk menetralkan suhu sehingga tidak melebihi suhu maksimum pertumbuhan mikroba perombak dan untuk menjaga kelembaban agar tetap optimal. Mikroorganisme pendegradasi bahan organik akan mati bila suhu melebihi 80oC. Pada minggu kedua

(5)

(14 hari setelah aplikasi) dan ketiga pengomposan (21 hari aplikasi), kembali dilakukan pembalikan tumpukaan kompos.

Proses pengomposan menyebabkan juga terjadinya perubahan warna pada bahan baku kompos. Pada awal sebelum aplikasi warna kompos tidak begitu berbeda antar perlakuan yaitu antara coklat muda sampai menuju ke coklat. Namun demikian setelah berumur 10 hari setelah aplikasi terjadi perubahan warna yang mengarah ke coklat tua sampai ke coklat kehitam-hitaman.

Pengamatan tekstur atau keliatan dilakukan dengan cara menarik atau memutus serat tankos kelapa sawit secara manual dengan tangan. Pada awal aplikasi terlihat bahwa semua perlakuan mempunyai keliatan yang sangat tinggi, namun demikian pada umur 21 hari setelah aplikasi semua perlakuan kompos dengan aktivator berbeda menunjukkan perubahan tekstur menjadi agak rapuh. Hal ini menandakan bahwa mikroorganisme sudah mulai mengubah bahan kompos dari molekul besar yang stabil menjadi humus.

Pengamatan aroma kompos dilakukan dengan cara mencium kompos melalui indra penciuman pada awal aplikasi, semua perlakuan mempunyai aroma khas tankos. Akan tetapi setelah umur kompos mencapai 10 hari setelah aplikasi, mulai beraroma asam, pada saat ini diduga terjadi perubahan bahan organik menjadi asam organik. Pada umur 21 hari setelah aplikasi, semua perlakuan menjadi tidak berbau menyengat/berbau tanah.

Proses pengomposan akanmerubah kandungan bahan baku yang digunakan karena adanya aktivitas mikroorganisme. Hasil analisis cacahan tankos sebelum dilakukan fermentasi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Unsur Hara Cacahan Tankos Sebelum Dilakukan Fermentasi.

Uraian Kandungan cacahan tankos

PH * C-Orgamik (%) * N (%) * Nisbah C/N * P (%) ** K (%)** Kadar Air (%) ** 6.70 41.21 0.71 58.04 0.39 9.65 73.60 * Laboratorium BPTP Riau ** Laboratorium BPTP Sumut

Hasil analisis kandungan hara cacahan tankos pada Tabel 5, terlihat bahwa nisbah C/N bahan sangat tinggi yaitu 58,04. Jika nisbah C/N terlalu tinggi menyebabkan unsur tersebut tidak dapat diserap tanaman. Menurut Indriani (2003) bahwa prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N ratio bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (< 20). Untuk itu pemanfaatan tankos sebagai pupuk bagi tanaman harus melalui proses pengomposan.

Proses pengomposan telah selesai, ditandai dengan bau seperti tanah, temperatur bahan kompos stabil pada kisaran suhu seperti awal pengomposan dan terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman serta tekstur bahan yang rapuh.

Tabel 6. Kandungan Unsur Hara Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Beberapa Aktivator.

Parameter Jenis Aktivator SNI Kompos 19-7030-2004

Orgadec Stardec Probion

pH * N-Total (%) * C-Organik (%) * Nisbah C/N * K (%) ** P (%) ** Kadar Air (%) * 9.94 2.24 26.82 11.08 5.70 0.43 51.5 10.43 1.69 28.42 16.82 5.11 0.40 51.8 9.63 2.03 13.99 6.89 6.27 1.45 39.9 6.8-7.49 >0.4 9.8-32 10-20 >0.2 >0.1 <50 * Laboratorium BPTP Riau ** Laboratorium BPTP Sumut

Pada Tabel 6, disajikan hasil analisis unsur hara kompos tankos dengan menggunakan beberapa aktivator. Dari ketiga jenis aktivator yang digunakan dalam pengomposan tankos, terlihat beberapa parameter pengamatan yang nilainya tidak sesuai dengan kriteria SNI kompos 19-7030-2004. Nilai pH yang distandarkan untuk kompos kisarannya 6.8-7.49, tetapi hasil pengomposan

(6)

tankos dengan tiga aktivator yang diuji menunjukkan nilai pH diatas nilai yang disarankan. Hal ini diduga selama pengomposan tankos menyebabkan diproduksinya amonia yang mengandung nitrogen yang meningkatkan pH bahan. Kadar air yang distandarkan SNI untuk kompos adalah dibawah 50%. Dari ketiga aktivator yang diujikan ternyata aktivator probion memenuhi kriteria yang disarankan, walaupun nilai kadar air kompos menggunakan aktivator Orgadec dan Stardec tidak menyimpang terlalu jauh dari nilai yang distandarkan SNI kompos. Sementara untuk parameter N total, C organik, nisbah C/N, K dan P dari ketiga perlakuan aktivator menunjukkan nilai yang sesuai dengan standar SNI kompos 19-7030-2004.

KESIMPULAN DAN SARAN

- Sistem integrasi ternak dan tanaman (SITT) dapat diaplikasikan sesuai dengan potensi wilayah. Keberadaan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kepulauan Riau memungkinkan untuk mengintegrasikan antara ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit. Pemanfaatan daun dan pelepah kelapa sawit baik dalam bentuk segar maupun fermentasi sebesar 30-60% didalam ransum ternak sapi Bali menghasilkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) antara 0.5-0.6 kg/ekor/hari. - Pembuatan kompos dari tandan kosong kelapa sawit menggunakan aktivator Orgadec, Stardec dan

Probion, menghasilkan kompos yang memenuhi kriteria standar SNI kompos 19-7030-2004.

- Perlu dilakukan sosialisasi secara berkesinambungan oleh berbagai pihak yang berkompeten tentang teknologi SITT pada petani maupun stakeholder lainnya sehingga akan tercipta suatu kawasan pertanian “ramah lingkungan”.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau. 2011. Kepri Dalam Angka. BPS Provinsi Kepulauan Riau.

Dwyanto. K., D. Sitompul, I. Manti, I.W. Mathius, Soentoro, 2003. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi.: p. 11-22. Bengkulu 9-10 September 2003.

Elizabeth, J dan S.P. Ginting. 2003. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bengkulu, 9-10 September 2003. pp: 110 –118.

Ginting, S.P. 2011. Optimalisasi Pemanfataan Hasil Samping Kelapa Sawit Sebagai Pakan Ruminansia. Bunga Rampai Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Indriani. Y.H. 2003. Membuat Kompos Secara Kilat. PT Penebar Swadaya, anggota IKAPI. Jakarta 62 halaman. Khusmiati, T. 2001. Pemanfaatan Gulma Sebagai Bahan Dalam Pembuatan Kompos Dengan Menggunakan

Berbagai Aktivator dan Inokulum Mikroorganisme. Konferensi Nasional HIGI XV :p.32-41. Surakarta 17-19 Juli 2001.

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2003. Inovasi Teknologi Kompos Produk Samping Kelapa Sawit. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi.: p. 67-74. Benkulu 9-10 September 2003.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Zahari, M.W., O.A. Hassan, H.K. Wong and J.B. Liang. 2003. Utilization of oil palm frond-based diets for beef and dairy production in Malaysia. Asian-Aust.J. Anim. Sci. 16: 625 – 634.

Gambar

Tabel 1. Komposisi Pakan Perlakuan pada Kegiatan Pengkajian.  Perlakuan Pakan
Tabel 2. Komposisi Kimiawi Daun dan Pelepah  Kelapa Sawit.
Tabel 3. Hasil Penimbangan Bobot Badan Sapi Jantan Selama 120 hari Kegiatan Pengkajian
Tabel 5.  Kandungan Unsur Hara Cacahan Tankos Sebelum Dilakukan Fermentasi.

Referensi

Dokumen terkait

PIDATO GURU BESAR PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN YURIDIS DALAM PELAYANAN PUBLIK TATIEK SRI DJATMIATI.. 37/1999 tentang kewajiban adanya Persetujuan Prinsip yang berlaku sebagai

model pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) dapat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa kelas VII pada mata pelajaran IPA di MTs Negeri. Model Purwokerto tahun

Dalam bukunya Introduction to Management Accounting (1996) memberikan defenisi mengenai Activity-Based Costing (ABC), sebagai suatu sistem yang merupakan pendekatan kalkulasi

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W2, 2013 XXIV International CIPA Symposium, 2 – 6 September 2013,

Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang-penambang Kobalt di Schneeberg ( lebih dari 50% meninggal akibat kanker paru ) berkaitan dengan adanya bahan

Hal ini membuktikan bahwa PGV- 0 memiliki kemampuan lebih baik dibanding kurkumin pada penghambatan daur sel untuk memasuki fase sintesis, atau PGV-0 mampu menghambat

amplikon fragmen DNA genom EBV dengan teknik PCR konvensional adalah konsentrasi DNA virus yang rendah pada sampel penelitian yang digunakan, karena konsentrasi

Berdasarkan hasil uji mann whitney terhadap efek akut dan kronis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara jalan kaki dan senam