• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KEBIJAKAN TEKNOLOGI PASCA PANEN : ANALISIS KEBUTUHAN, EVALUASI PROGRAM, DAN DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI PASCA PANEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN KEBIJAKAN TEKNOLOGI PASCA PANEN : ANALISIS KEBUTUHAN, EVALUASI PROGRAM, DAN DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI PASCA PANEN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012

KAJIAN KEBIJAKAN TEKNOLOGI PASCA PANEN :

ANALISIS KEBUTUHAN, EVALUASI PROGRAM, DAN

DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI PASCA PANEN

Oleh :

Henny Mayrowani Dewa K.S. Swastika

Supadi Rita N. Suhaeti

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN 2012

(2)

RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN

Latar belakang penelitian

1. Pengembangan pananganan pascapanen hasil pertanian saat ini tidak akan

lepas dari upaya meningkatkan daya saing produk unggulan pertanian yang potensinya cukup besar untuk menjadikan kekuatan ekonomi rakyat di perdesaan. Penerapan teknologi pascapanen mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan efisiensi produksi, mengurangi kehilangan hasil, meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil pertanian.

2. Penerapan teknologi pascapanen hasil pertanian saat ini masih belum

merata, hal ini disebabkan antara lain karena penyebaran informasi tentang teknologi pascapanen tersebut masih belum dilakukan secara intensif. Perhatian pemerintah terhadap peningkatan nilai tambah produk pertanian di perdesaan selama ini masih relatif kecil dibandingkan dengan upaya peningkatan hasil pertanian melalui budidaya tanaman. Oleh karena itu, perkembangan penanganan pascapanen hingga dewasa ini masih berjalan lambat dan masih belum sesuai harapan.

3. Kajian pascapanen dalam tulisan ini difokuskan pada tiga komoditas yaitu

jagung, kakao dan kopi. Masalah mendasar yang dihadapi dalam pengembangan teknologi pascapanen adalah rendahnya penguasaan sarana dan teknologi pascapanen. Permasalahan lain adalah masalah manajemen dan kelembagaan petani.

Tujuan Penelitian

4. Tujuan dari kajian pascapanen secara umum adalah merumuskan

kebijakan pengembangan teknologi pascapanen dan upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing produk. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengevaluasi kebijakan dan program pengembangan teknologi pascapanen; (2) Mengevaluasi penyediaan teknologi pascapanen; (3) Menganalisis implementasi teknologi pascapanen dilihat dari peningkatan mutu dan nilai tambah produk pertanian; dan (4) Menganalisis dampak kebijakan pengembangan teknologi pascapanen terhadap pendapatan petani.

Metodologi

5. Penelitian ini mencakup tiga hal pokok, yaitu evaluasi program dan sistem

penyediaan teknologi pascapanen, keefektifan implementasi program dan dampak penerapan teknologi pascapanen terhadap pendapatan petani.

6. Penelitian dilakukan pada tahun 2012. Lokasi penelitian yang dipilih adalah

provinsi yang menjadi sentra produksi dan juga provinsi-provinsi lain yang terkait dengan kajian kebijakan-kebijakan dan program pascapanen di

(3)

tingkat pusat yaitu Lampung (jagung dan kopi), Sulawesi Selatan (jagung dan kakao), Bali (kakao dan kopi), Jakarta, Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.

7. Mengevaluasi program dan implementasi teknologi pascapanen dilakukan

melalui review dan analisis SWOT. Mengevaluasi sistem penyediaan teknologi pascapanen dilakukan dengan review. Menganalisis dampak implementasi teknologi pascapanen dengan analisis with and without. Menganalisis dampak implementasi teknologi pascapanen terhadap pendapatan digunakan analisis MBCR.

HASIL PENELITIAN

Evaluasi kebijakan dan program pengembangan teknologi pascapanen

8. Tingkat pendidikan petani rata-rata putus di kelas tiga Sekolah Dasar (SD). hanya sebagian kecil petani yang tingkat pendidikannya setara dengan sekolah menengah atas. Pengalaman bertani cukup lama, yaitu antara 10 - 20 tahun. Sebagian dari petani pernah mendapat pelatihan usahatani antara 3 sampai 5 kali selama lima tahun terakhir, dan pelatihan teknologi pascapanen jumlah orang dan frekuensi yang lebih sedikit. Rata-rata pemilikan lahan petani peserta lebih luas daripada petani non peserta program. Rata-rata ketersediaan tenaga kerja keluarga yang langsung terlibat dalam kegiatan usahatani relatif sedikit 2-3 orang, mencerminkan terbatasnya tenaga kerja keluarga yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan usahatani. Dari sisi usahatani, ternyata petani peserta program, mengusahakan tanaman dengan skala usaha yang lebih luas daripada petani non peserta.

Karakteristik Petani

9. Pelaksanaan program penanganan pascapanen jagung (tanaman pangan)

dibagi ke dalam 3 jenis kegiatan, yaitu (a) bimbingan teknis, (b) apresiasi penanganan pascapanen, dan (c) bantuan alat pascapanen. Untuk komoditas jagung, hampir tidak ada program pascapanen yang signifikan dicanangkan oleh pemerintah. Dari 16 jenis bantuan alat pascapanen di 33 provinsi, hanya 2 jenis yaitu alat pemipil jagung (corn sheller) dan pengering dan penyimpan (silo). Program pascapanen tanaman pangan sampai saat ini masih terkonsentrasi pada komoditas padi. Provinsi Lampung dan Sulawesi Selatan merupakan daerah penghasil jagung masing-masing nomor 3 dan nomor 6 di Indonesia.

Kebijakan dan Program Pengembangan Teknologi Pascapanen

10. Tantangan berat yang dihadapi tiap-tiap tahun adalah kompleksnya

permasalahan kebutuhan anggaran. Tiap kegiatan yang diusulkan sebagian besar termasuk kegiatan prioritas namun pemerintah belum mampu memfasilitasinya. Kegiatan pembangunan pertanian tanaman pangan (termasuk jagung) hanya berupa pertemuan-pertemuan dan

(4)

pelatihan untuk penyuluh pertanian. Teknologi pascapanen jagung di tingkat petani masih sangat sederhana, bahkan petani menjual jagung pipilan basah. Pelatihan teknologi budidaya jagung lebih menonjol dibandingkan pelatihan teknologi pascapanen jagung.

11. Pemerintah pusat melalui Direktorat P2HP, Kementerian Pertanian selama

periode 2006-2010 lebih cenderung melakukan pengadaan mesin-mesin besar berteknologi tinggi bernilai milyaran rupiah, seperti silo (51 unit silo) yang sebenarnya belum merupakan kebutuhan dasar petani. Sebagian besar kelompok tani belum mempunyai keterampilan dalam mengoperasikan dan merawat silo. Sebagai contoh, Kabupaten Jeneponto pada tahun 2006 mendapat bantuan silo. Sejak dipasang pada tahun 2006 sampai saat survai, silo tersebut belum pernah digunakan, sehingga terkesan menjadi besi tua. Diduga keputusan pemerintah memberi

bantuan silo tersebut kepada gapoktan jagung tidak didasari studi

kebutuhan di lapangan.

12. Kementerian Pertanian c.q. Direktorat Jenderal Perkebunan sejak tahun

2009 telah meluncurkan Program Gerakan Nasional (Gernas) Peningkatan Produksi Kakao dan Mutu Kakao. Salah satu dari lima kegiatan utamanya adalah penerapan standar mutu dengan kegiatan meliputi penyediaan sarana, sosialisasi standar mutu dan penyediaan sarana pascapanen. Setelah tiga tahun berlalu, Gernas belum menghasilkan peningkatan produksi sesuai dengan harapan, tetapi dengan program ini lahir momentum pascapanen di tingkat hilir yaitu pengolahan sekunder bangkit, bahkan terjadi di tingkat petani. Dalam program Gernas kakao Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha memberikan bantuan unit pengolah hasil (UPH) berikut peralatan pascapanen lainnya. Khusus untuk gerakan fermentasi (54 kabupaten). Namun pengembangan terkendala dengan tipisnya atau tidak adanya insentif harga untuk biji kakao fermentasi.

13. Kebijakan pascapanen kopi antara penerapan standar mutu biji kopi,

penyebaran bantuan unit pengolahan hasil (UPH) pada sentra produksi kopi dan pengembangan diversifikasi produk. Khusus untuk kopi Arabika telah mengarah ke kopi spesial dengan rasa khas. Dalam rangka mengawal dan mengembangkan kopi Arabika yang mempunyai kekhasan tersebut di Bali dan Jawa Barat pihak-pihak terkait seperti kelompok tani. Pengolah hasil dan pihak terkait lainnya telah membentuk ormas Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG).

14. Kebijakan pengembangan teknologi pascapanen jagung masih sangat

berat, karena masih menghadapi berbagai hambatan, baik faktor internal, maupun faktor eksternal petani. Hal ini diduga karena sudah sejak lama program pembangunan pertanian untuk komoditas jagung masih terfokus pada upaya peningkatan produktivitas dalam usahatani, sehingga program peningkatan penanganan pascapanen masih jauh dan prioritas. Peta Faktor Internal dan Eksternal yang mempengaruhi Kebijakan Teknologi

(5)

kinerja kebijakan pengembangan teknologi pascapanen berada pada kuadran IV yaitu antara faktor kelemahan dan ancaman.

15. Strategi pengambilan kebijakan pascapanen jagung dengan SWOT adalah

(a) bantuan alat pemipil jagung untuk kelompok tani, (b) penyediaan skim kredit lunak untuk pengusaha jasa penyewaan alat pemipil dan pengering mekanis, (3) introduksi dan promosi alat pengering mekanis untuk kelompok tani.

16. Dari berbagai strategi kebijakan pengembangan teknologi pascapanen

jagung dihasilkan rumusan alternatif kebijakan. Hasil akhir dari penafsiran alternatif kebijakan pascapanen jagung adalah (1) pelatihan disertai demonstrasi penggunaan dan reparasi alat pemipil jagung bagi anggota kelompok tani, (2) peningkatan bantuan alat pemipil jagung, terutama bagi petani bermodal buruh, minimal satu unit mesin untuk 10 orang petani, disertai pendampingan pemakaian, (3) pilot project pengadaan dan pelatihan alat pengering mekanis berbahanbaku sekam/tongkol jagung, (4) pembuatan kontrak (MOU) pemanfaatan alat pengering mekanis sesuai tujuan bantuan, disertai sanksi yang jelas bagi yang tidak memanfaatkan alat sesuai tujuan bantuan.

17. Peta kinerja kebijakan pengembangan teknologi pascapanen jagung

berada pada kuadran IV, yaitu di antara faktor kelemahan dan ancaman. Ini berarti bahwa kebijakan pengembangan teknologi pascapanen jagung masih sangat berat, karena masih menghadapi berbagai hambatan, baik dari faktor internal, maupun dari faktor eksternal petani.

Peta Kinerja Kebijakan dan Alternatif Kebijakan Pengembangan Teknologi Pascapanen

18. Alternatif kebijakan untuk pengembangan teknologi pascapanen jagung

adalah: Pelatihan disertai demonstrasi penggunaan dan reparasi alat pemipil jagung bagi anggota kelompok tani; Peningkatan bantuan alat pemipil jagung, terutama bagi petani bermodal lemah, minimal satu unit

mesin untuk 10 orang petani, disertai pendampingan pemakaian; Pilot

project pengadaan dan pelatihan alat pengering mekanis berbahan baku sekam atau tongkol jagung; dan Pembuatan kontrak (MOU) pemanfaatan alat pengering mekanis sesuai tujuan bantuan, disertai sanksi yang jelas bagi yang tidak memanfaatkan alat, sesuai tujuan bantuan

19. Peta kinerja kebijakan pascapanen kakao cenderung mengatasi ancaman

dengan menggunakan kekuatan berada pada kuadran I, antara kekuatan dan peluang. Jika pemanfaatan kekuatan tidak optimal maka kinerja pengembangan teknologi pascapanen kakao dapat menurun ke kuadran IV, berada antara kelemahan dan ancaman.

20. Strategi pengambilan kebijakan kakao dengan SWOT adalah (1) bantuan

alat pengering, (2) program pelatihan dan pendampingan penggunaan alat pengering dan purna jual, (3) internalisasi kegiatan fermentasi.

(6)

21. Alternatif kebijakan pengembangan pascapanen kakao adalah (1) perlindungan dan stabilisasi harga kakao fermentasi, (2) melakukan kemitraan dengan eksportir kakao, (3) program bantuan alat pengering mekanis, (4) program pelatihan, demonstrasi, pendampingan dan layanan purna jual untuk alat pengering mekanis kakao.

22. Peta kinerja kebijakan pengembangan teknologi pascapanen kopi Robusta

berada di kuadran I yaitu antara faktor kekuatan dan peluang. Kinerja kebijakan pengembangan teknologi pascapanen kopi Robusta cukup baik, karena didukung oleh berbagai faktor pendorong (internal dan eksternal). Namun jika kekuatan yang ada tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, maka peta kinerja bisa menurun menjadi berada diantara kelemahan dan ancaman.

23. Strategi pengambilan kebijakan adalah (1) peningkatan bimbingan teknis

dalam pengupasan kopi, (2) introduksi teknologi fermentasi, dan (3) introduksi dan promosi teknologi pengeringan kopi.

24. Alternatif kebijakan pengembangan pascapanen kopi Robusta adalah (1)

pelatihan disertai demonstrasi pemakaian alat pengupas kopi (pulper dan huller), (2) pelatihan dan demonstrasi fermentasi kopi, (3) bantuan jasa-jasa untuk pengeringan kopi, dan (4) pemberian insentif harga disertai pengawasan harga bagi kopi fermentasi.

25. Seperti halnya kopi Robusta petani kinerja kebijakan pengembangan

teknologi pascapanen kopi Arabika berada dalam antara kekuatan petani dan peluang yang tersedia. Ini berarti pengaruh faktor pendorong (kekuatan dan peluang) lebih kuat dari faktor penghambat (kelemahan dan ancaman). Hal ini dimungkinkan dengan adanya bantuan Unit Pengolah Hasil (UPH) kopi baik di Jawa Barat maupun Bali. Jika kekuatan yang ada tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, maka kinerja pengembangan teknologi pascapanen kopi Arabika bisa menurun dan berada diantara faktor kelemahan dan faktor peluang.

26. Strategi kebijakan adalah (1) perluasan bantuan dan demonstrasi alat

kupas (pulper dan huller), (2) introduksi dan promosi teknologi fermentasi kopi, (3) perlindungan dan stabilisasi harga kopi fermentasi.

27. Alternatif kebijakan pengembangan pascapanen kopi Arabika adalah (1)

perluasan bantuan alat bagi kelompok tani yang sudah mendapat pelatihan dan demonstrasi alat kupas (pulper dan huller), (2) pelatihan dan demonstrasi teknologi fermentasi kopi untuk tiap anggota kelompok tani, (3) pengaturan dan pengawasan stabilisasi harga kopi fermentasi oleh pemerintah (pusat dan daerah), (4) pelatihan dan demonstrasi alat pengupas kopi bantuan pemerintah.

Sistem Penyediaan Teknologi Pascapanen

28. Berbagai teknologi alsintan untuk pascapanen jagung telah direkayasa

(7)

melakukan diseminasi langsung ke petani. Diseminasi hanya dilakukan melalui beberapa media seperti seminar, pameran, pelatihan bengkel alsintan dan kunjungan ke laboratorium mekanisasi. Diseminasi teknologi alsintan secara langsung ke petani menjadi mandat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang ada di tiap provinsi.

29. Dalam bidang pascapanen kakao, Puslit Kakao Indonesia telah

menghasilkan berbagai prototype dan produksi alsintan pascapanen baik untuk pascapanen primer maupun pascapanen sekunder. Namun semua peralatan tersebut tampaknya belum dekat dengan petani, sehingga memerlukan usaha yang lebih intensif melalui usaha dan pendampingan terus menerus agar alsintan pascapanen kakao dapat dimanfaatkan oleh petani sehingga dapat meningkatkan mutu dan nilai tambah.

30. Teknologi pascapanen untuk meningkatkan mutu dan nilai tambah kopi

telah tersedia. Namun dari kegiatan hulu sampai hilir pencapaiannya di tingkat petani masih belum memadai karena berbagai kendala. Untuk menerapkan teknologi pascapanen yang sudah relatif tersedia tersebut diperlukan berbagai kebijakan pendukung agar teknologi pascapanen kopi tersebut dapat diadopsi secara baik dan menguntungkan. Salah satu alasan mengapa pemanfaatan alsintan untuk keperluan pascapanen kopi belum terdiseminasi dengan baik karena harga alsintan masih dirasakan relatif mahal, sehingga umumnya hanya dimiliki oleh kelompok tani atau pengusaha jasa alsintan.

Implementasi Kebijakan Teknologi Pascapanen

31. Alat pengering dan penyimpan (silo dryer) bantuan dari Kementerian

Pertanian untuk Jeneponto, sejak dipasang tahun 2006 sampai saat survei belum dimanfaatkan karena banyak komponen mesin yang harus dibeli kelompok belum terpasang. Bantuan alsintan pascapanen yang diberikan kepada gapoktan adalah alat pemipil jagung (corn sheller) yang sangat bermanfaat bagi kelompok tani. Teknologi pemipilan menggunakan mesin pemipil yang cukup intensif dintroduksikan. Pada umumnya sudah diadopsi petani di lokasi penelitian baik dengan menggunakan alat pemipil bantuan pemerintah maupun jasa penyewaan mesin pemipil dari pedagang pengumpul. Saat ini bantuan mesin pemipil jagung masih terbatas. Teknologi alat pengering mekanis belum diminati petani karena pada umumnya menjual jagung pipilan basah.

32. Penerapan teknologi pascapanen yaitu gerakan kakao fermentasi dan juga

teknologi pengolahan sekunder telah berkembang di Sulawesi Selatan. Kebijakan gerakan fermentasi kakao telah dituangkan dalam Instruksi Gubernur. Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang memproduksi kakao lestari yaitu produk kakao yang mendapat sertifikat karena produknya berwawasan lngkungan. Bentuk bantuan alsintan pascapanen kakao adalah alsintan pascapanen untuk pengolahan primer kakao dan pengolah limbah kakao untuk pembuatan kompos. Tapi pada saat ini jumlahnya terbatas dan disalurkan ke sentra produksi yang sangat potensial.

(8)

33. Kopi terdiri dari dua jenis yaitu Robusta dan Arabika. Teknologi pascapanen yang berkembang di tingkat petani adalah pengolahan primer. Kopi Robusta banyak ditanam petani di Lampung, pada umumnya diolah secara kering (tanpa melalui fermentasi), sedangkan kopi Arabika ditanam di Bali dan pada umumnya diolah secara basah/semi basah (melalui fermentasi). Secara umum petani kopi Arabika telah mengarah ke kopi spesial dengan mengutamakan kekhasan daerah, sedangkan kopi Robusta masih sedang kepada kualitas kopi asalan. Teknologi pascapanen yang digunakan masih tradisional, meskipun pada saat pengupasan kopi (huller) dengan menggunakan mesin mekanis.

34. Dalam pascapanen peserta program lebih diuntungkan dengan

menggunakan alat pemipil jagung bantuan, karena biaya lebih kecil dibandingkan dengan peserta non-program. Hambatan implementasi teknologi pemipil jagung adalah keterbatasan modal petani sehingga tidak dapat membeli secara perseorangan. Untuk membantu petani/kelompok tani, pemerintah melaksanakan program bantuan alat mesin pemipil. Namun karena kemampuan anggaran terbatas, maka belum semua kelompok tani mendapat bantuan. Namun meskipun demikian jasa penyewaan alat pemipil di desa telah cukup tersedia meskipun dengan sewa yang relatif lebih tinggi. Namun perlu dicermati para ahli pascapanen khususnya pemipil jagung, biji jagung yang dipipil dengan pemipil jagung (corn sheller) hasilnya kurang baik, banyak biji jagung yang terluka sehingga mengakibatkan masuknya jamur (Aspergillus flavus) penghasil aflatoxin.

Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Teknologi Pascapanen

35. Secara teknis, tidak ada permasalahan yang mendasar dalam

pengembangan kakao dan kopi. Puslit Kakao Indonesia telah berhasil mengembangkan alat dan teknologi pascapanen kakao dan kopi. Faktor penghambat secara teknis dalam implementasi teknologi pascapanen kakao dan kopi adalah kurangnya pendampingan terutama dalam berbagai program bantuan alsintan pascapanen, PPL masih kurang, baik kuantitas maupun kualitasnya terutama yang terkait dengan teknologi pascapanen dan juga masih terbatasnya layanan purna jual atau service alsintan. Secara ekonomi dan sosial, penanganan pascapanen yang baik akan memberikan tambahan pendapatan yang cukup memadai. Faktor penghambat secara ekonomi adalah rendahnya insentif harga terhadap produk yang telah difermentasi. Faktor sosial dalam pengembangan teknologi pascapanen adalah dukungan dari pemerintah dan masyarakat. Sebagai contoh fermentasi kakao didukung oleh Instruksi Gubernur (Sulawesi Selatan), pengembangan kopi Arabika di Bali dan Jawa Barat melalui ormas MPIG.

Dampak Implementasi Teknologi Pascapanen terhadap Peningkatan Mutu Produk

(9)

36. Perlakuan pascapanen yang tepat akan meningkatkan efisiensi dan mutu jagung, antara dengan pengeringan yang baik akan menghindarkan kerusakan produk akibat hama penyakit seperti serangga, jamur.

37. Kegiatan fermentasi biji kakao adalah untuk menimbulkan aroma khas.

Waktu fermentasi yang ideal 4-5 hari, jika terlalu lama (melebihi lima hari akan terjadi kontaminasi). Kegiatan fermentasi kakao sangat bermanfaat untuk produk yang memerlukan aroma khas, sedangkan untuk biji kakao yang akan diambil benihnya dan tidak memerlukan aroma, tidak diperlukan kegiatan fermentasi. Demikian juga halnya dengan kopi fermentasi dengan cara pengolahan basah/semi basah akan memberikan cita kopi yang khas, kuat dan utuh sehingga bernilai tinggi. Pengolahan basah/semi basah kopi Arabika melalui fermentasi di Bali mampu meningkatkan kualitas produk, sehingga harga relatif lebih mahal. Di Lampung yang merupakan sentra kopi Robusta di Indonesia, program pengolahan semi basah (fermentasi) di tingkat petani tidak berjalan karena peningkatan mutu akibat penggunaan teknologi pascapanen tersebut tidak memberikan insentif harga. Sampai saat ini kopi Robusta adalah secara kering. Kopi Robusta yang diolah secara basah oleh PTPN dalam jumlah kecil.

Dampak Teknologi Pascapanen terhadap Pendapatan Petani

38. Analisis dampak perubahan teknologi dengan parameter MBCR tidak dapat

dilakukan, karena semua petani telah menggunakan teknologi anjuran yang sama untuk kegiatan pemipilan jagung. Komparasi yang bisa dilakukan adalah analisis perbedaan keuntungan antara petani yang menggunakan mesin bantuan pemerintah (petani peserta) dengan petani yang masih menyewa mesin pemipil dari pedagang pengumpul. Baik peserta di Jeneponto maupun di Lampung Timur mempunyai tingkat produktivitas yang lebih tinggi, sedangkan tingkat harga jagung relatif tidak berbeda, sehingga memberi keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani non-peserta.

39. Sistem usahatani kakao di Bali polikultur, sedangkan di Sulawesi Selatan

monokultur. Perbedaan teknologi pascapanen yang paling dominan pada kakao adalah kegiatan fermentasi. Kegiatan pascapanen kakao fermentasi dominan dilakukan petani peserta, sedangkan petani non-peserta cenderung tidak melakukan fermentasi. Di Bali petani non-peserta menjual biji segar, sedangkan di Sulawesi Selatan olah kering non fermentasi. Faktor pendukung yang memberikan keuntungan pascapanen fermentasi disamping faktor harga yang lebih baik, juga didukung oleh tingginya produktivitas, sebab dengan sendirinya tingkat produktivitas sama kemungkinan keuntungan tidak signifikan. Tapi dalam hal ini diduga memang petani peserta lebih intensif dalam pengelolaan usahataninya. Nilai MBCR petani peserta di Bali mencapai 3,7 dan di Sulawesi Selatan 4,2, artinya bahwa setiap penambahan biaya Rp 1.000 akibat penerapan teknologi baru akan menghasilkan tambahan penerimaan Rp 3.700 untuk Bali dan Rp 4.200 di Sulawesi Selatan.

(10)

40. Proses pascapanen kopi Arabika di Bali melalui fermentasi karena dilakukan secara olah basah/semi basah. Proses ini menghasilkan kopi spesial dan berjual nilai tinggi, sehingga petani bisa memperoleh keuntungan (MBCR 2,49). Kondisi ini selain karena produk kopi yang dihasilkan melalui fermentasi (olah basah/semi basah) yang harganya sangat baik juga karena tingkat produktivitas petani peserta lebih tinggi dibandingkan petani non-peserta. Di Lampung penanganan pascapanen kopi Robusta masih dilakukan melalui olah kering. Dalam hal ini petani peserta program lebih efisien dibandingkan petani non-peserta terutama dilihat dari biaya pengolahan per hektar. Selain itu yang memberikan keuntungan lebih baik dibandingkan dengan petani non-peserta (nilai MBCR 1,99) karena baik tingkat produktivitas maupun harga produk yang diterima petani peserta relatif lebih tinggi.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Tujuan kebijakan

41. Perhatian pemerintah terhadap peningkatan nilai tambah produk pertanian

di perdesaan selama ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan upaya peningkatan produksi hasil pertanian melalui budidaya tanaman, sehingga perkembangan penanganan pascapanen masih berjalan lambat dan masih belum sesuai dengan harapan.

Dasar pertimbangan

42. Hampir tidak ada program pascapanen jagung yang signifikan dicanangkan oleh pemerintah, teknologi penanganan pascapanen jagung di tingkat petani masih sangat sederhana, bahkan petani menjual jagung pipilan basah. Bantuan yang diberikan Pemerintah seperti Silo Dryer belum berfungsi karena teknologi terlalu tinggi dan petani belum mampu mengoperasikannya. Bantuan alat sederhana seperti pemipil jagung sangat dibutuhkan, namun penyebarannya belum meluas.

43. Teknologi pascapanen kakao dan kopi yang telah dikembangkan penerapannya di tingkat petani masih belum memadai karena pemanfaatan alsintan untuk keperluan pascapanen kopi belum terdiseminasi dengan baik dan masalah harga alsintan yang masih dirasakan relatif mahal, sehingga pada umumnya hanya dimiliki oleh kelompok tani atau pengusaha jasa alsintan.

44. Keterbatasan sarana pengolahan dan pengetahuan petani kakao, dan terutama adalah tidak tertariknya petani untuk melakukan penanganan pascapanen yang baik sesuai standard teknis dan kurangnya dipicu oleh insentif harga biji kakao fermentasi. Selain itu penerapan teknologi pascapanen kakao, khususnya fermentasi juga terhambat oleh keterbukaan pasar kakao asalan (kotor dan terkontaminasi hama penyakit. 45. Pengarahan pemerintah dalam penerapan GAP dan GHP menjadi jaminan

(11)

peningkatan harga dan jaminan pasar yang memadai, karena konsumen mendapat jaminan bahwa produk yang dipasarkan diperoleh dari hasil serangkaian proses yang efisien, produktif dan ramah lingkungan. Proses ini juga dilakukan dalam pengembangan kopi di daerah yang diarahkan pada pengembangan kopi yang mempunyai kekhasan secara geografis, sedangkan untuk kopi Robusta penangannya belum memenuhi teknologi anjuran pascapanen. Hal ini disebabkan oleh kondisi pasar yang kurang mendukung karena tidak ada insentif harga terhadap kopi Robusta fermentasi.

46. Teknologi pascapanen kakao dan kopi yang telah dikembangkan penerapannya di tingkat petani masih belum memadai karena pemanfaatan alsintan untuk keperluan pascapanen kopi belum terdiseminasi dengan baik dan masalah harga alsintan yang masih dirasakan relatif mahal, sehingga pada umumnya hanya dimiliki oleh kelompok tani atau pengusaha jasa alsintan.

47. Kinerja penanganan pascapanen jagung, kopi dan kakao saat ini masih belum memadai untuk menghasilkan produk berkualitas baik. Kondisi ini merupakan konsekuensi dari kebijakan yang selama ini terfokus pada upaya peningkatan produksi pada tingkat usahatani (on-farm). Oleh karena itu, masih diperlukan reorientasi kebijakan yang memberi lebih banyak prioritas pada penanganan pascapanen yang selama ini masih tertinggal.

48. Dari analisa biaya dan pendapatan, petani mendapatkan tambahan keuntungan dari penanganan produknya, karena kualitas produk meningkat dan harga jualnya tinggi. Untuk itu pengembangan teknologi pascapanen sangat dibutuhkan petani.

Implikasi Kebijakan

49. Distribusi bantuan alat dan mesin pascapanen sebaiknya dilakukan dengan didasari pada kebutuhan petani dan kemampuan/keterampilan dan pengetahuan petani dalam mengoperasikan alat tersebut melalui pelatihan dan pendampingan. Skim kredit pengadaan alat dan mesin pascapanen sangat diperlukan dalam pengembangan penerapan teknologi pascapanen di tingkat petani.

50. Pelatihan disertai demonstrasi penggunaan dan reparasi alat pascapanen bagi kelompok tani sangat diperlukan untuk pengembangan teknologi pascapanen di tingkat petani disertai dengan pelayanan purna jual. Disamping program tersebut perlu peningkatan bantuan alat, terutama bagi petani bermodal lemah disertai dengan pendampingan.

51. Dalam mengatasi kendala yang terkait kondisi sosial ekonomi petani, upaya pengembangan kemitraan antara petani sebagai produsen, pengolah (prosesor) dan pedagang (eksportir) perlu dikembangkan. Disamping perlindungan dan stabilisasi harga produk yang hasil penanganan pascapanen.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

6 Rasio Lancar perusahaan akan di nilai dari nilai rasio lancar yang paling baik atau yang bernilai paling tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata

Melakukan pergerakan solat dengan betul mengikut tertib dengan bimbingan.. -

TUJUAN 2 : Meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian yang bermanfaat bagi pengembangan IPTEK dan kesehatan

[r]

Setelah bobot dari setiap kriteria telah ditentukan, maka selanjutnya akan dilakukan perhitungan terhadap nilai total dari masing-masing aspek, dimana pada sistem

 Adalah elemen – elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat didalam proses manajemen, yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan..

[r]

P us at mendis tribus ikan has il pengolaha n data P D Dikti kepada s eluruh Unit Utama lembaga akreditas i, dan s umber eks ternal lain.. P