• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dokumentasi tentang Masalah Diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS di Indonesia: Tahap Kedua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dokumentasi tentang Masalah Diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS di Indonesia: Tahap Kedua"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

tentang

Masalah Diskriminasi

terhadap

Orang dengan HIV/AIDS

di

Indonesia:

Tahap Kedua

Proyek Pendokumentasian yang Dilakukan oleh

Kelompok Sebaya

Yayasan Spiritia

Jl. Johar Baru Utara V No. 17, Johar Baru, Jakarta 10560

Telp. (021) 422-5163 Fax. (021) 4287 1866 Email: yayasan_spiritia@yahoo.com www.spiritia.or.id

(2)

Daftar Isi

Daftar Isi... 2

Akronim dan Singkatan ... 3

Ringkasan Eksekutif... 4 Latar Belakang ... 6 Lokasi Penelitian... 6 Waktu Penelitian ... 6 Subjek Penelitian ... 6 Instrumen Penelitian... 6

Protokol Etika Penelitian ... 6

Badan Penasihat Nasional... 7

Tim Pelaksana... 7

Analisis Data... 7

Hasil Penelitian dan Pembahasan... 8

Data Demografik/Kependudukan... 8

Masalah Kesehatan dan Hak untuk Sehat... 10

Perlakuan yang Dialami Terkait dengan Tes HIV ... 11

Diskriminasi di Bidang Kesehatan ... 13

Keamanan dan Kebebasan Pribadi... 14

Hak untuk Menikah, Mempunyai Keluarga dan Menjalin Hubungan ... 15

Hak untuk Memilih dan Berkumpul... 16

Hak atas Pendidikan ... 16

Pembahasan ... 17

Kesimpulan ... 19

Saran untuk Pelaksana Penelitian ... 21

Saran untuk Pihak Terkait ... 21

Ucapan Terima Kasih ... 22

Lampiran 1: Kerangka Acuan... 23

Lampiran 2: Ethical Clearance ... 28

Lampiran 3: Panduan untuk Menjalankan Penelitian... 29

Lampiran 4: Lembar Informasi ... 30

Lampiran 5: Lembar Persetujuan ... 32

Lampiran 6: Instrumen... 34

Lampiran 7: Panduan Studi Kasus... 43

Lampiran 8: Terms of Reference Seminar Diseminasi Hasil... 44

Lampiran 9: Siaran Pers Seminar Diseminasi... 46

Tabel 1. Data demografik... 9

Tabel 2. Masalah yang terkait dengan kesehatan responden... 10

Tabel 3. Keadaan yang dialami Odha yang berkaitan dengan tes HIV... 11

Tabel 4. Diskriminasi di masyarakat... 15

Tabel 5. Diskriminasi dan hak berkeluarga... 16

Tabel 6. Perbandingan proyek pertama dengan proyek tahap kedua... 20

Kasus: Tes dengan paksaan... 13

Kasus: Layanan kesehatan ... 14

(3)

Akronim dan Singkatan

APN+ Asia Pacific Network of People with HIV/AIDS ARV Antiretroviral (obat)

AusAID Australian Agency for International Development Depkes Departemen Kesehatan Republik Indonesia HAM Hak asasi manusia

IHPCP Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project (didanai AusAID) IO Infeksi oportunistik

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat NAB National Advisory Board

Odha Orang yang hidup dengan HIV/AIDS UNAIDS United NationsJoint Programme on AIDS

(4)

Ringkasan Eksekutif

Untuk kedua kali Yayasan Spiritia melakukan pendokumentasian tentang diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Indonesia. Yang pertama dilakukan antara Juli sampai Oktober 2001, dengan lima pewawancara berhasil mendapatkan 42 responden dari sepuluh provinsi. Penelitian kedua yang memakai angket yang sama dilakukan oleh sembilan

pewawancara antara Desember 2003 sampai akhir Oktober 2004, dan berhasil mewawancarai 203 Odha dari 20 provinsi di Indonesia menggunakan angket yang serupa dengan angket yang digunakan pada proyek tahap pertama.

Tujuan dari pendokumentasian kedua ini adalah untuk mengetahui keadaan diskriminasi terhadap Odha setelah dua tahun dari penelitian pertama, terutama dengan semakin

meningkatnya jumlah Odha yang dilaporkan secara nasional dan semakin meluasnya jumlah provinsi di Indonesia yang sudah melaporkan adanya orang yang terinfeksi HIV. Seperti hal dengan pendokumentasian pertama, maka pendokumentasian kedua juga bertujuan untuk melatih dan memberdayakan Odha sebagai pewawancara atau peneliti tentang adanya diskriminasi dialami Odha berkaitan dengan infeksinya.

Sebuah Badan Penasihat Nasional (National Advisory Board/NAB) terdiri dari aktivis AIDS terkemuka, pejabat pemerintah, akademisi, perwakilan dari lembaga donor, serta organisasi internasional membantu koordinator proyek dan tim pewawancara.

Odha menjadi subyek utama dari proyek ini, baik sebagai tim pewawancara dan juga sebagai responden aktif. Unsur kesebayaan dalam proyek ini mendorong pertukaran informasi yang lebih baik antara pewawancara dan responden. Selain melakukan pengumpulan data,

pewawancara juga berfungsi sebagai pemberi informasi mengenai Hak Asasi Manusia, informasi HIV/AIDS, dan rujukan-rujukan.

Bila dilihat dari demikian banyak Odha yang ingin terlibat dalam penelitian ini sebagai

responden (203 Odha) dibandingkan pendokumentasian pertama (42 Odha), hal ini mempunyai arti tersendiri. Setidaknya ini menunjukkan lebih banyak Odha yang sudah terbuka sesama sebayanya, dan kenyataan memang jumlah yang dapat ditemui oleh pewawancara bertambah demikian banyak. Di samping itu jumlah pewawancara lebih banyak (hampir dua kali lipat dari pendokumentasian pertama) dan waktu penelitian yang cukup panjang sehingga memberi peluang lebih besar bagi mereka mencari responden. Lagi pula sebagian pewawancara juga adalah pewawancara dari penelitian pertama sehingga mereka telah terlatih dan mempunyai

pengalaman dari penelitian pertama; pengalaman ini memberikan manfaat, karena keterampilan mewawancarai responden berpengaruh pada keterbukaan Odha terhadap ’sebaya’-nya semakin meningkat, dengan hasil jumlah responden penelitian ini menjadi bertambah. Selain itu adanya jejaring sesama Odha yang semakin luas di berbagai provinsi di Indonesia, dan penelitian kedua ini memanfaatkan keberadaan jejaring tersebut. Adanya pertemuan sesama Odha dan pertemuan antar jejaring Odha di Indonesia yang cukup meningkat belakangan ini juga mempengaruhi di-”temukan”-nya Odha semakin meningkat, dan dengan demikian kemungkinan mendapatkan Odha yang mau secara sukarela menjadi responden penelitian semakin terbuka.

Di sisi lain, tersedianya fasilitas tes HIV (klinik VCT) tanpa dipungut biaya, yang dibuka oleh Departemen Kesehatan yang meluas di berbagai provinsi di Indonesia dan informasi yang semakin banyak tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS di media massa meningkatkan

(5)

untuk mengadakan pendokumentasian berbagai hal yang dialami Odha dalam berbagai aspek kehidupannya.

Secara singkat, terlepas dari berbagai pengaruh-pengaruh di atas, hasil temuan survei kedua ini menunjukkan bahwa masalah pelanggaran HAM terhadap Odha paling banyak terjadi masih di sektor layanan kesehatan (29%) dan juga di seputar tes HIV (33%). Peranan berbagai pihak terkait masih diperlukan untuk membuat perubahan terhadap permasalahan ini. Stigma dan diskriminasi pada kedua bidang tersebut sangat mempengaruhi terjadinya pelanggaran HAM di bidang-bidang lain (keluarga, teman, masyarakat, dll.).

(6)

Latar Belakang

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di tempat asal pewawancara dan pada tempat kegiatan jaringan Odha yang melibatkan calon responden. Pewawancara berasal dari berbagai provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Papua, dan Kepulauan Riau. Komposisi jenis kelamin dari tim pewawancara adalah empat orang perempuan, satu orang waria, dan empat orang laki-laki.

Penelitian ini merupakan penelitian partisipasi yang dilakukan oleh Yayasan Spiritia dengan sembilan pewawancara yang sudah dilatih, melakukan wawancara terhadap Odha yang secara sukarela bersedia menjadi responden penelitian.

Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2003 sampai dengan akhir Oktober 2004, pengumpulan data secara serentak dilakukan oleh sembilan pewawancara di lokasi penelitian tersebut di atas yang akhirnya mencapai 203 responden.

Subjek Penelitian

Sebagai subjek penelitian atau responden adalah orang dengan HIV/AIDS (Odha) yang bersedia ikut di dalam penelitian yang berupa wawancara. Odha yang diikutsertakan adalah yang

mengetahui dirinya HIV-positif antara Juli 2002 (akhir penelitian yang pertama) sampai dengan Oktober 2004 (batas akhir penelitian kedua kali ini). Responden berasal dari 20 provinsi yaitu: Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.

Instrumen Penelitian

Alat pengumpul data adalah angket (sama dengan penelitian pertama) yang diisi dan dilengkapi oleh pewawancara berdasarkan hasil wawancara. Angket dibuat berdasarkan Deklarasi Hak Kemanusiaan Universal yang menyangkut delapan aspek dalam kehidupan, yaitu: hak untuk sehat, hak privasi; hak kebebasan dan keamanan pribadi; hak terlepas dari perlakuan kejam, penghinaan atau perlakuan kasar; hak atas pekerjaan; hak untuk menikah dan membentuk keluarga; hak atas pendidikan; serta hak untuk memilih dan menjalin hubungan. Di samping pertanyaan dalam bentuk pilihan (ya, tidak, dan tidak sesuai/tidak menjawab), pengumpulan data juga dilakukan dengan pertanyaan yang memakai skala Likert (jarang, agak sering, sangat ering, selalu) untuk memerinci gradasi pilihan responden. Lagi pula dilakukan wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi yang lebih tepat.

Protokol Etika Penelitian

Persetujuan Etika penelitian dikeluarkan oleh Unit Penelitian Dan Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, dengan nomor

(7)

Badan Penasihat Nasional

Untuk menunjang proyek ini, maka dibentuklah sebuah Badan Penasihat Nasional. Badan ini berfungsi sebagai wadah untuk konsultasi dan perlindungan selama proyek ini berjalan. Selain itu badan ini juga berfungsi membantu manakala pelaksana penelitian menghadapi masalah di lapangan. Badan Penasihat Nasional beranggotakan orang yang memiliki tempat penting dalam pengambilan keputusan dari berbagai pihak terkait, sehingga memudahkan fungsinya.

Anggotanya yaitu: Jane Wilson (UNAIDS), Abby Ruddick (IHPCP/AusAID), Chris Green (Yayasan Spiritia), Marcel Latuihamallo (Yayasan Mitra Indonesia), Djoko Suharno (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional), Muhammad Juharto (Perwakilan Odha), dr. Tuti Parwati (Universitas Udayana, Bali).

Tim Pelaksana

Koordinator : Siradj Okta (Yayasan Spiritia)

Peneliti : dr. Tuti Parwati Merati (Universitas Udayana, Bali) Analisis Data

Data didokumentasikan setelah dilakukan data cleaning, diproses dengan program statistik SPSS 11.5 dan analisis data dilakukan secara analitik–deskriptif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap beberapa pernyataan dan penjelasan mengenai jawaban atau klarifikasi dari jawaban responden dalam menjawab pertanyaan pilihan yang dibuat dalam bentuk tujuh buah studi kasus dengan mengangkat penekanan diskriminasi yang beragam.

(8)

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Data Demografik/Kependudukan

Selama periode bulan Desember 2003 sampai Oktober 2004, telah diwawancara sebanyak 203 responden. Data selengkapnya mengenai demografi dapat dilihat dalam Tabel 1.

Lebih dari tiga perempat responden adalah laki-laki, dan jumlah sesuai dengan proporsi jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh Depkes pada September 2004, yang menunjukkan perbandingan antara jumlah Odha laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Penelitian ini dilakukan melalui teknik snowballing dan sukarela. Karena responden terbanyak adalah laki-laki, informasi yang terkumpul dapat saja menunjukkan bias jender, sehingga dalam menganalisis hasil penelitian ini harus kita pertimbangkan faktor bias jender ini.

Pembagian usia responden juga sesuai dengan usia tertinggi dalam laporan HIV September 2004, yaitu usia antara 20-29 tahun. Sebagian besar responden berpendidikan akhir sekolah menengah, sedangkan hanya sedikit yang berpendidikan akhir sekolah dasar dan perguruan tinggi. Proporsi pendidikan Oleh karena itu, responden juga sesuai dengan proporsi pendidikan masyarakat umum, yang akan membantu upaya penanggulangan Odha. Lebih-lebih sangat sesuai bila

pendampingan dan dukungan dilakukan oleh kelompok sebaya (dukungan sebaya). Dengan latar belakang pendidikan yang sama, akan lebih memudahkan komunikasi antara Odha dan

pendampingnya.

Status perkawinan yang sangat beragam di antara responden memberikan sumbangan informasi pengalaman yang berbeda-beda.

Tempat wawancara dipilih oleh pewawancara sebagai tempat yang nyaman bagi responden, untuk memberi suasana yang membantu dalam memberikan jawaban. Di samping itu tempat yang nyaman juga membantu pewawancara untuk dapat menangkap ekspresi responden dan mencatat reaksi psikologisnya. Hampir separoh diwawancarai di kamar hotel saat ada pertemuan jaringan Odha yang merupakan kesempatan baik bagi pewawancara untuk ketemu responden, yang dicantum pada Tabel 1 sebagai ‘tempat lain’.

Dari segi pekerjaan, lebih dari sepertiga responden mengatakan tidak bekerja, sedangkan jumlah yang hampir sama bekerja sebagai petugas LSM.

(9)

Tabel 1. Data demografik

No. Keterangan item Frekuensi (n=203) Persen (%)

1. Jender: Laki-laki 156 76.8 Perempuan 32 15.8 Waria 15 7.4 Tidak dilaporkan - 2. Usia: Termuda 18 tahun Tertua 44 tahun Rata-rata 25 tahun

Kelompok usia terbanyak 21-30 tahun (24) 75.7

3. Status Perkawinan:

Menikah resmi 35 17.2

Janda/duda mati 9 4.4

Pisah/cerai 19 9.4

Belum menikah 128 63.1

Berhubungan serius dengan seseorang 12 5.9

4. Pendidikan Terakhir:

Tidak pernah sekolah -

Sekolah dasar 15 7.4

Sekolah menengah (SMP/SMU) 137 67.5

Akademi 21 10.3 Universitas 29 14.3 S2 ke atas 1 0.5 Tidak dilaporkan - 5. Pekerjaan: Pelajar 5 2.5 Tidak bekerja 76 37.4 Wiraswasta/usaha sendiri 28 13.8 Pegawai kantor 5 2.5 Profesional 4 2.0 Petugas LSM 55 27.1 Lain 30 14.8

6. Wawancara di kota tempat tinggal

Ya 140 69.0 Tidak 62 30.5 Missing 1 0.5 7. Tempat wawancara Rumah sakit 18 8.9 Rumah/tempat tinggal 22 10.8 Tempat umum 2 1.0 Ruang pribadi 75 36.9 Lain 85 41.9

Tidak ada jawaban 1 0.5

8. Jumlah Anak (57 yang menjawab = 100%)

Tidak punya anak 9 15.8

Satu 38 66.7

Dua 5 8.8

Tiga 2 3.5

Empat 2 3.5

(10)

Masalah Kesehatan dan Hak untuk Sehat

Yang dimaksud dengan hak untuk sehat di sini adalah hak untuk mendapat perawatan kesehatan, pengobatan, kesempatan untuk ikut dalam penelitian uji klinis obat antiretroviral dan kesempatan ikut asuransi kesehatan.

Dari 203 responden, hampir separoh mengatakan kondisi kesehatannya saat ini (saat diwawancara) baik, sepertiga menyatakan kesehatannya biasa-biasa saja, sedangkan sisanya mengatakan tidak sehat (lihat Tabel 2). Pernyataan tentang kondisi kesehatan ini bersifat sangat subjektif, karena hanya berdasarkan apa yang dirasakan oleh responden menurut penilaiannya sendiri. Karena itu pernyataan tidak sehat belum jelas apakah karena HIV-nya atau karena hal lain yang mungkin saja dapat terjadi.

Tabel 2. Masalah yang terkait dengan kesehatan responden

No. Keterangan item Frekuensi (n=203) Persen (%)

1. Kondisi Kesehatan saat diwawancarai:

Baik 91 44.8

Biasa saja 68 33.5

Tidak Sehat 43 21.2

Missing 1

2. Minum obat untuk jaga kesehatan:

Ya 68 33.5

Tidak 132 65.0

Missing 3 1.5

3. Obat yang diminum (85 jawaban):

ARV 39 19.2

Pencegah IO 3 1.5

Pengobatan IO 4 2

Obat tradisional 5 2.5

(11)

Perlakuan yang Dialami Terkait dengan Tes HIV

Perlakuan yang dialami Odha dalam tes HIV ada berbagai macam seperti nampak dalam Tabel 3. Lebih dari separoh mengatakan alasan melakukan tes adalah “karena ingin tahu, karena berisiko”.

Tabel 3. Keadaan yang dialami Odha yang berkaitan dengan tes HIV

No. Keterangan item Frekuensi (n=203) Persen (%)

1. Alasan tes HIV:

Karena saya ingin tahu karena berisiko 118 58.1

Lain 42 20.7

Dirujuk karena ada IO 19 9.4

Pasangan seks HIV-positif 13 6.4

Tidak ada jawaban 11 5.4

2. Siap tes?

Tidak siap untuk di tes 51 25.1

Dipaksa untuk tes 24 11.8

Tidak diberi penjelasan sebelumnya mengenai tes

68 33.5

Tidak ada jawaban 60 29.6

3. Informasi yang diberikan sebelum tes HIV:

Konseling 105 51.7

Nasihat umum 5 2.5

Lain 12 5.9

Tidak ada 37 18.2

Tidak ada jawaban 44 21.7

4. Di mana dites?:

Rumah sakit 84 41.4

Klinik spesialis/dokter swasta 15 7.4

Lab swasta 46 22.7

Lain (terbanyak: Panti rehabilitasi) 57 28.0

Tidak ada jawaban 1 0.5

5. Siapa yang memberi tahu hasil tes kepada Anda?:

Dokter 60 29.5

Petugas sosial 21 10.4

Perawat 17 8.4

Lain (kebanyakan: Konselor) 103 50.7

Tidak ada jawaban 2 1.0

6. Ada orang lain diruangan tsb. saat diberi tahu hasil tes 67 33.0 Siapa orang tersebut?

Keluarga 21 31.3

Teman 14 20.9

Istri/suami 4 6.0

Rekan kerja 1 1.5

Lain (sesama klien, orang panti rehab, pendeta, staf dokter, perawat )

27 40.3

Menginginkan orang tersebut ada hadir (n=67) 35 52.2 Tidak menginginkan orang lain hadir (n=67) 29 43.3

Tidak ada jawaban 3 4.5

7. Hasil tes telah diberi tahu pada orang lain tanpa seizin Anda 55 27.1 Kepada siapa hasil tes telah diberi tahu tanpa izin Anda ?

(n=55) Keluarga 19 34.5 Para medis 9 16.3 Istri/suami 2 3.6 Polisi 2 3.6 LSM 1 2.0 Lain 15 27.3

Tidak ada jawaban 7 12.7

Lebih dari seperempat responden mengatakan bahwa mereka tidak siap pada waktu dites, sementara sepertiga tidak mendapat penjelasan sebelumnya mengenai tes. Penjelasan mengenai tes HIV sebelum tes (yang disebut konseling prates) sangat berpengaruh terhadap kesiapan seseorang untuk menjalani tes HIV. Walaupun sudah diberikan konseling prates, masih ada kemungkinan seseorang masih juga belum siap untuk dites. Hal ini terlihat dari penelitian ini,

(12)

dengan 15% responden yang mendapat penjelasan mengenai tes sebelum tes dilakukan ternyata masih ‘tidak siap’ untuk dites. Di samping itu dari 68 responden yang mengatakan ‘tidak

mendapat penjelasan mengenai tes HIV sebelum tes dilakukan’, 45%) tidak siap untuk dites. Bila dibandingkan kedua keadaan tersebut, maka penjelasan sebelum tes sangat besar pengaruhnya terhadap kesiapan seseorang untuk menjalani tes HIV, dan secara statistik perbedaan ini bermakna (15,3% vs 45,6%, p = 0,00).

Hampir sepertiga responden tidak dites di tempat layanan kesehatan (rumah sakit, klinik, atau laboratorium). Tampaknya kebanyakan dari orang ini dites di panti rehabilitasi narkoba.

Sebagian besar dari mereka yang mengatakan ‘tidak siap untuk dites’ adalah mereka yang dites di rumah sakit. Bila dibandingkan dengan yang dites di tempat lain, perbedaannya secara statistik bermakna ( 50% vs 6%, 30% dan 14%, berturut-turut untuk klinik spesialis/dokter swasta, laboratorium swasta dan panti rehabilitasi, p = 0,03).

Ada 24 orang yang menyatakan dirinya dipaksa untuk tes. Sebagian besar (15) tes HIV tersebut terjadi di rumah sakit, dengan enam orang di laboratorium swasta dan tiga di panti rehabilitasi. Tidak ada responden yang mengatakan ‘dipaksa’ melalukan tes HIV di klinik spesialis atau dokter swasta.

Dari 68 responden yang mengatakan ‘tidak mendapat penjelasan mengenai tes HIV sebelum tes dilakukan’, lebih dari 60% menjalani tes HIV di rumah sakit. Demikian juga, lebih dari separoh yang dites HIV di rumah sakit ‘tidak mendapat penjelasan mengenai tes HIV sebelum tes dilakukan’. Bila dibandingkan mutu layanan tempat tes HIV di rumah sakit dengan klinik spesialis dan dokter swasta, laboratorium swasta dan panti rehabilitasi dalam kaitannya dengan pertanyaan dalam angket apakah responden ‘tidak mendapat penjelasan mengenai tes HIV sebelum tes dilakukan’ terdapat perbedaan yang secara statistik perbedaan ini bermakna (63,2% vs berturut-turut 2,9%, 22,1 % dan 11,8% dengan p = 0,00).

Lebih dari sepertiga diberitahukan hasil tes oleh dokter atau perawat, dengan 10% diberitahukan oleh petugas sosial. Lebih dari separoh melaporkan diberi tahu oleh “orang lain” – yang

dimaksud dalam hal ini adalah konselor.

Pelanggaran terhadap hak pribadi sering terjadi dalam proses ketika memberitahukan hasil tes. Sepertiga responden di berbagai tempat tes HIV diberitahukan hasil tes di dalam ruangan yang juga ‘ada orang lain’. Sering kali responden mengatakan pada saat diberitahukan hasil tesnya hadir keluarga, istri/suami, teman, rekan kerja, staf dokter atau klien lain dan orang dari panti rehabilitasi, padahal hampir setengahnya tidak menginginkan kehadiran orang lain saat mereka pertama kali diberi tahu hasil tesnya.

Terlebih lagi, lebih dari sepertiga responden menyatakan hasil tes sudah diberitahukan pada orang lain sebelum dia sendiri tahu, padahal dia juga tidak ingin orang lain mengetahui hasil tesnya. Yang dimaksudkan ‘orang lain’ dalam konteks tersebut adalah keluarga, termasuk istri/suami, teman, rekan sekerja dan lain (sesama klien, pasien lain atau orang lain di panti rehabilitasi misalnya staf dokter atau pendeta).

(13)

Kasus: Tes dengan paksaan

Perempuan berumur 27 tahun ini mengetahui status HIV-nya sekitar April 2003 pada saat dirinya bermasalah dengan pihak kepolisian di kota Bandung. Saat itu salah satu teman yang bersama dirinya ternyata membawa hasil tes HIV di kantongnya dan hal itu yang membuat polisi membawanya, bersama satu orang temannya, untuk melakukan tes HIV. Tidak ada konseling atau pemberian informasi terkait HIV pada saat tes tersebut di lakukan.

“Polisi tanya, apa saya pernah berbagi jarum suntik dengan teman-teman saya…saya jawab iya, dan saat itu juga saya, bersama teman saya langsung di bawa ke laboratoriun untuk tes darah”.

Pun, setelah hasil tes tersebut keluar, hasilnya diberikan langsung kepada orang tuanya dan saat itu status HIV dia dan kedua temannya yang lain langsung tersebar. “Saya merasa hak atas kerahasiaan saya dilanggar!

Diskriminasi di Bidang Kesehatan

Diskriminasi berkaitan dengan status HIV yang banyak dialami Odha adalah ketika dia berada dalam pelayanan kesehatan. Untuk menjawab pertanyaan “pernahkah Anda mengalami diskriminasi oleh rumah sakit atau petugas kesehatan karena status HIV Anda”, 12% menyatakan pertanyaan tersebut “tidak sesuai” yang mungkin berarti mereka belum pernah pergi ke rumah sakit, sehingga belum mempunyai kesempatan untuk mengalaminya. Tetapi hampir 30% menjawab pernah mengalami diskriminasi oleh rumah sakit atau petugas kesehatan. Dari jumlah tersebut lebih dari 80% mengalami kejadian itu sekali-sekali/jarang, namun ada enam Odha yang mengalaminya cukup sering, dua yang mengalami sangat sering dan satu menjawab selalu mengalami diskriminasi.

Bentuk diskriminasi yang dialami antara lain, petugas kesehatan menolak menanganinya karena status HIV-nya positif (15%), diperlambat dalam pengobatan atau layanan kesehatan (18%), dan dipaksa membayar biaya tambahan untuk perawatan medis (9%).

Diskriminasi oleh rumah sakit atau petugas layanan kesehatan berhubungan dengan status HIV atau tes HIV antara lain penjelasan mengenai tes HIV yang diberikan sebelumnya, kesiapan untuk dites HIV, dan responden yang dipaksa untuk tes.

Diskriminasi lebih banyak dialami oleh responden yang tidak mendapat penjelasan mengenai tes sebelum mereka dites dibandingkan dengan responden yang mendapat penjelasan mengenai tes sebelum tes dilakukan, dan ini secara statistik bermakna (53,4 % vs 23,4 % dengan p = 0,00). Lagi pula diskriminasi lebih banyak terjadi pada responden yang tidak siap dites dibandingkan dengan responden yang siap untuk dites, dengan perbandingan yang secara statistik bermakna (51,2 % vs 29,1 %, dengan p = 0,01). Demikian juga dengan responden yang dipaksa untuk tes HIV mengalami diskriminasi lebih banyak bila dibandingkan dengan responden yang tidak dipaksa tes dan secara statistik perbedaannya bermakna (60% vs 30,1 %, p = 0,008).

Apabila diteliti mengenai diskriminasi yang terjadi dalam setahun terakhir, tetap terjadi hubungan yang bermakna dengan diberikan atau tidak diberikannya penjelasan mengenai tes HIV sebelum dilakukan tes dan dipaksa atau tidaknya responden untuk tes (masing-masing 19,7% vs 9,1% dengan p = 0,04 dan 31,8% vs 9,4 % dengan p = 0,002). Akan tetapi

hubungannya dengan kesiapan untuk tes, walaupun terdapat perbedaan namun secara statistik tidak bermakna (14,9 % vs 10,8 % dengan p = 0,4).

(14)

Kasus: Layanan kesehatan

Ibu rumah tangga asal Subang, Jawa Barat, memiliki seorang anak berusia 2,5 tahun hasil perkawinannya dengan almarhum suaminya mengetahui status HIV-nya pada bulan Februari 2001, pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri. Perusahaan jasa tenaga kerja mengharuskan setiap calon tenaga kerja yang akan dikirim ke luar negeri untuk melakukan pemerikasaan medis menyeluruh, termasuk tes HIV. Dengan alasan hasil tes itulah maka dia tidak jadi di berangkatkan ke luar negeri.

“Hasil tes saya diberitahukan di depan perawat-perawat dan di depan para rekan sesama calon tenaga kerja lainnya. Saya tidak tahu bahwa saya akan diberitahukan hasil tes HIV tersebut”.

Pengalaman lain yang dialami perempuan berusia 23 tahun ini adalah penolakan mendapatkan perawatan pada saat berobat ke sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di Jakarta, dengan alasan kamar sedang penuh dan pihak rumah sakit belum siap menerima pasien HIV.

“Padahal saat itu saya sakitnya sangat parah dan saya tidak tahu harus ke mana lagi. Saya bingung”.

Yang lebih menyedihkan adalah pengalaman perempuan ini saat mendatangi sebuah rumah sakit di Cikampek untuk mencari perawatan diare yang dialami, meskipun diterima, akan tetapi tetap mendapatkan perlakuan yang kurang lebih sama. Penundaan perawatan dan harga obat yang tinggi harus ditebus oleh perempuan yang tidak mempunyai penghasilan tetap ini selama delapan hari menjalani perawatan di Rumah Sakit tersebut.

“Setiap kali nebus resep, harganya obatnya Rp. 600.000,- mbak”. Keamanan dan Kebebasan Pribadi

Pada bagian ini, termasuk juga masalah mengenai penghinaan dan perlakuan kasar yang dialami oleh responden sehubungan dengan staus HIV-nya.

Kasus: Perlakuan kasar

Seorang perempuan 28 tahun, tamatan SMA asal Surabaya yang telah sepuluh tahun menetap di Merauke, Papua, sering diperlakukan secara kasar oleh suami keduanya sejak dirinya diketahui terinfeksi HIV.

“Suami saya suka memukul dan menyundut saya dengan rokok jika dia sedang marah”.

Tidak tahan akan perlakuan suaminya, perempuan ini memutuskan untuk tinggal di sebuah sanggar kerja sebuah LSM setempat, meski tetap mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya jika petugas sanggar kerja tersebut sedang tidak berada di tempat.

Pengalaman lain yang dialami oleh ibu satu anak ini adalah mendapatkan pemotongan gaji sampai dengan 50% sebelum diberhentikan sama sekali dari perusahaan tempat dia bekerja.

(15)

Tabel 4. Diskriminasi di masyarakat

Keterangan item Ya Tidak

n % n %

Pernah ditolak masuk, dipindahkan atau diminta meninggalkan tempat umum? Missing 1

8 4.0 194 96.0

Pernahkah dipaksa/diminta pindah rumah/tempat tinggal?

Missing 16

12 6.0 175 87.1

Pernah diejek/dihina/dilecehkan/diganggu karena status HIV Anda? Missing 2

33 16.3 168 82.8

Pernahkah Anda diancam akan disakiti karena status HIV Anda? Missing 2

1 0.5 200 98.5

Penahkah Anda dianiaya fisik, karena status HIV Anda?

Missing 8

2 1.0 193 95.1

Pernahkah dipaksa mengikuti prosedur pengobatan/kesehatan? Missing 9

24 11.8 170 83.7

Pernahkah Anda ditahan, dikarantina, diisolasi karena status HIV Anda? Missing 6

11 5.4 186 91.6

Hak untuk Menikah, Mempunyai Keluarga dan Menjalin Hubungan Kasus: Diskriminasi di keluarga

Perlakuan diskriminasi terhadap orang dengan HIV, dapat terjadi di lingkungan yang terdekat seperti keluarga dan teman seperti yang dialami oleh seorang laki-laki 27 tahun yang tinggal di Jakarta.

“Alat makan saya dipisahkan dari anggota keluarga yang lain. Saya juga tidak diizinkan mengikuti acara-acara keluarga, dilarang memasuki kamar anggota keluarga yang lain… bahkan saya tidak diperbolehkan berkunjung ke rumah kerabat, terutama di rumah kerabat tersebut ada anak kecil, atau jika ada kerabat atau keluarga yang berkunjung ke rumah kami dengan membawa anak mereka, saya dilarang menyentuh anak tersebut”.

“Ini membuat saya sedih!”.

Penelitian ini menunjukkan sedikit pelanggaran hak dalam lingkup pernikahan. Namun bukan berarti tidak ada. Jika kita lihat secara angka, 25 menyatakan orang pernah ditinggal oleh

pasangan karena status HIV, hal ini menunjukkan informasi dan penerimaan oleh pasangan juga bermasalah dengan adanya status HIV. Kemudian terlihat juga lima orang menyatakan pernah dipaksa untuk menggugurkan kandungan atau sterilisasi, walaupun secara angka sangat kecil, namun tetap terjadi pelanggaran HAM di sana.

(16)

Tabel 5. Diskriminasi dan hak berkeluarga

Keterangan item Ya Tidak Tak sesuai

n % n % n %

Pernahkah disuruh menjalani tes HIV waktu hamil/karena anak Anda sakit?

2 1.3 82 55.0 65 43.6

Pernahkah ditinggal oleh pasangan karena status HIV? (missing 7)

25 12.8 165 84.2 6 3.1

Pernahkah Anda tidak lagi mendapat bantuan keuangan dari keluarga karena status HIV? (missing 66)

8 5.8 117 85.4 12 8.8

Pernahkah anak Anda dipisahkan dari Anda tanpa seizin Anda? (missing 68)

6 4.4 61 45.2 68 50.4

Sejak didiagnosis HIV-positif, pernahkah dianjurkan untuk tidak mempunyai anak? (missing 4)

41 20.2 137 67.5 21 1.3

Jika ya, pernahkah diberi info yang cukup tentang cara penularan dari ibu ke anak? (missing 140)

44 69.8 19 30.2 0

Pernahkah dipaksa untuk menggugurkan kandungan atau sterilisasi? (missing 27)

5 2.5 97 47.8 74 36.5

Hak untuk Memilih dan Berkumpul

Penelitian ini menunjukkan sedikit sekali terjadi pelanggaran terhadap hak untuk memilih dan berkumpul. Terhadap pertanyaan ‘pernahkah Anda dikeluarkan dari keanggotaan suatu perkumpulan?’, ‘pernahkah dilarang untuk bertemu dengan Odha lain’ atau ‘pernahkah keluarga melarang Anda untuk bergabung dengan perkumpulan Odha?’ ternyata sedikit yang menjawab ‘ya’ (antara 3,0 -5%).

Ketika ditanya ‘pernahkah ambil bagian dalam suatu komite pengambil keputusan yang

berhubungan dengan HIV/AIDS?’, hampir separoh menjawab ‘ya’. Dan ketika ditanya ‘jika ya, adakah keikutsertaan Anda itu ada artinya/bermanfaat?’, ternyata hampir semua responden tersebut menjawab ‘ya’. Hampir semua juga mengetahui keberadaan kelompok dukungan Odha, dan sebagian besar responden berniat untuk ikut bergabung dengan kelompok dukungan.

“Saya bekerja sebagai petugas penjangkau lapangan untuk pengguna jarum suntik di kota Bandung, dan saya sempat dibatasi oleh tempat kerja saya untuk bertemu dengan Odha lain di daerah saya”

Hak atas Pendidikan

Tidak banyak terjadi pelanggaran terhadap hak untuk pendidikan pada Odha, berdasarkan pengalaman responden, baik terhadap dirinya sendiri atau anak mereka. Yang menyatakan pernah mengalami hanya tiga dari 163 responden (terdapat 40 responden menyatakan pertanyaan itu tidak sesuai bagi mereka).

(17)

Kasus: Diskriminasi di bidang pendidikan

“Saya mengalami diskriminasi di berbagai aspek kehidupan saya karena saya HIV-positif”.

Itulah pernyataan yang keluar dari seorang mahasiswi asal Papua. Tes HIV yang dilakukan terhadapnya tidak disertai konseling dan tanpa menjunjung tinggi asas kerahasiaan yang menjadi hak setiap orang yang di VCT.

“Teman-teman sekampus menjauh, karena seorang dosen menyebarkan status HIV saya kepada mahasiswa yang lain”.

Karena status HIV-nya, perempuan berusia 22 tahun juga mengalami berbagai perlakuan tidak adil. Mulai dari penolakan dan penundaan untuk mendapatkan layanan kesehatan sampai pengusiran dari rumahnya sendiri.

“Saya tidak diizinkan untuk tinggal serumah dengan keluarga saya. Makanya saya harus pindah rumah ke keluarga saya yang lain”.

Sangat sedikit yang alami diskriminasi di bidang pendidikan karena sebagian besar sudah tidak berada di jenjang pendidikan sekolah ketika tahu status HIV-nya (apalagi bahwa survei ini bagi responden yang tahu statusnya tahun 2001 yaitu dua tahun sebelum wawancara, dan seperempat responden ber usia 21-30 tahun, yaitu bukan usia sekolah, sementara juga sebagian besar

pendidikan terakhir adalah sekolah, hanya sedikit yang pendidikan universitas. Dengan kata lain, hanya sedikit dari kelompok usia terbanyak yang mengenyam pendidikan dengan mengetahui status HIV-nya.

Pembahasan

Subjek penelitian adalah orang yang mengetahui dirinya HIV-positif dalam periode waktu Juli 2002 dan sesudahnya, hal itu menunjukkan tingkat kesehatan yang baik. Ketika ditanyakan “apakah responden minum obat untuk menjaga kesehatannya” lebih dari separoh responden menyatakan tidak minum obat. Pernyataan tentang kondisi kesehatan ini bersifat sangat subjektif, karena hanya berdasarkan apa yang dirasakan oleh responden menurut penilaiannya sendiri. Karena itu pernyataan tidak sehat belum jelas apakah karena HIV-nya atau karena hal lain yang mungkin saja dapat terjadi. Terdapat hampir 20% dari keseluruhan responden menyatakan minum obat ARV dan dari 85 jawaban mengenai obat apa yang diminum, ARV merupakan obat paling sering yang mereka minum.

Data menunjukkan bahwa hampir 30% responden mengalami diskriminasi di bidang layanan kesehatan karena status HIV-nya. Persentase ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang pertama. Bentuk diskriminasi yang paling sering dialami termasuk petugas kesehatan menolak menangani karena status HIV-nya positif, diperlambat dalam pengobatan atau layanan

kesehatan, dan dipaksa membayar biaya tambahan untuk perawatan medis.

Konsep paling mendasar dari tes HIV yang seharusnya dianut oleh tempat tes HIV baik rumah sakit, klinik dokter swasta atau klinik VCT seperti tersirat dalam nama klinik seperti itu adalah tes HIV yang dilakukan seharusnya secara sukarela, dengan pemberian konseling sebelum dan sesudah tes, dan menjaga kerahasiaan individu.

Diskriminasi di bidang kesehatan berhubungan erat dengan masalah seputar tes HIV, misalnya apakah diberikan penjelasan mengenai tes HIV sebelumnya, kesiapan untuk dites HIV, dan apakah responden dipaksa untuk tes HIV. Penjelasan mengenai tes HIV sebelum tes (yang disebut konseling prates) sangat berpengaruh terhadap kesiapan seseorang untuk menjalani tes HIV. Walaupun sudah diberikan konseling prates, masih ada kemungkinan seseorang masih juga belum siap untuk dites. Ini terbukti dari adanya 15% responden yang mendapat penjelasan mengenai tes sebelum tes dilakukan ternyata masih ‘tidak siap’ untuk di tes.

(18)

Jelas sekali nampak diskriminasi lebih banyak dialami oleh responden yang tidak mendapat penjelasan mengenai tes HIV sebelum mereka dites dibandingkan dengan responden yang mendapat penjelasan sebelum tes dilakukan. Kebanyakan responden yang mengatakan tidak mendapat penjelasan mengenai tes sebelum tes HIV itu dilakukan adalah mereka yang menjalani tes HIV di rumah sakit. Demikian juga, lebih dari separoh yang dites HIV di rumah sakit tidak mendapat penjelasan mengenai tes tersebut sebelumnya. Responden jauh lebih mungkin

mendapatkan penjelasan yang memadai bila dites di klinik spesialis, dokter swasta, laboratorium swasta atau panti rehabilitasi.

Konseling prates sangat penting, karena ini menyangkut hubungannya dengan kesiapan untuk tes. Responden yang mendapat penjelasan mengenai tes sebelum tes dilakukan ternyata jauh lebih siap untuk dites dibandingkan dengan responden yang tidak mendapat penjelasan. Jadi penjelasan sebelum tes sangat berpengaruh terhadap kesiapan seseorang untuk menjalani tes HIV, dan secara statistik perbedaan ini bermakna (15,3% vs 45,6%, p = 0,00).

Diskriminasi di bidang layanan kesehatan kebanyakan dialami oleh responden yang tidak siap dites dibandingkan dengan responden yang siap untuk dites HIV. Dan kesiapan untuk tes juga berpengaruh terhadap diskriminasi yang dialami. Sebagian besar dari mereka yang mengatakan ‘tidak siap’ untuk dites adalah mereka yang dites di rumah sakit. Walaupun sepetiga yang dites di laboratorium swasta merasa belum siap, hampir semua yang dites di klinik spesialis/dokter swasta dan panti rehabilitasi merasa siap.

Demikian juga dengan responden yang dipaksa untuk tes HIV mengalami diskriminasi lebih banyak bila dibandingkan dengan responden yang tidak dipaksa tes. Dari 24 responden yang mengatakan dipaksa untuk tes HIV, 60% adalah mereka yang menjalani tes HIV di rumah sakit, dengan sedikit di laboratorium swasta dan di panti rehabilitasi. Di klinik spesialis dan dokter swasta tidak ada responden yang mengatakan dipaksa untuk tes HIV.

Pelanggaran terhadap hak pribadi sering terjadi dalam proses ketika memberi tahu hasil tes. Hasil tes dari sepertiga responden diberitahukan kepada mereka waktu ada orang lain dalam ruangan. Sering kali responden menyatakan pada saat diberitahukan hasil tesnya hadir keluarga, istri/suami, teman, rekan kerja, staf dokter atau klien lain dan orang lain dari panti rehabilitasi, padahal hampir separoh tidak menginginkan kehadiran orang lain saat itu.

Terlebih lagi, lebih dari seperempat responden menyatakan hasil tes sudah diberitahukan pada orang lain sebelum dia sendiri tahu, padahal dia juga tidak ingin mereka tahu hasil tesnya. Yang dimaksudkan orang lain dalam konteks tersebut adalah keluarga, termasuk istri/suami, teman, rekan sekerja dan lain (sesama klien).

Jika dilihat bahwa responden yang berada dalam program pemulihan narkoba cukup banyak dan mengetahui status HIV-nya di dalam panti rehabilitasi hal ini dapat mempengaruhi pernah atau tidaknya responden ke layanan kesehatan, dengan sebagian tidak akan keluar panti

rehabilitasi untuk mencari layanan kesehatan karena terkait dengan peraturan panti rehabilitasi dan kemungkinan belum banyak yang pernah atau sudah mempunyai keluhan kesehatan.

(19)

Kasus: Kerahasiaan dan pekerjaan

Seorang perempuan lulusan sebuah akademi berusia 27 tahun yang telah sembilan bulan menjalani pemulihan di sebuah panti rehabilitasi di Bogor, mengalami pemutusan hubungan kerja saat bekerja di luar negeri terkait dengan status HIV-nya.

“Saat saya dianjurkan tes darah, saya tidak mendapatkan penjelasan kalau tes itu adalah tes HIV. Saya hanya diberitahukan bahwa saya sakit jantung. Kemudian hasil tes HIV saya, yang ternyata positif, difax ke paman saya dan diteruskan kepada orang tua saya di Jakarta”.

Meskipun tidak merasa dipaksa melakukan tes, perempuan ini merasa mendapatkan perlakuan tidak adil oleh perusahaan pengiriman tenaga kerja yang mensponsori dia. Terlebih lagi, setelah tes tersebut dia dipulangkan ke Jakarta dengan alasan bahwa dia sudah tidak bisa bekerja lagi di luar negeri. Setibanya di Jakarta, melalui saudaranya yang kebetulan seorang dokter, barulah jelas bahwa tes yang dilakukan di luar negeri tersebut adalah tes HIV dengan hasil positif.

Kesimpulan

Dari 203 responden penelitian ini tiga perempatnya adalah laki-laki berusia antara 21-30 tahun, dengan usia termuda 18 tahun, dan tertua 44 tahun, sebagian besar belum menikah, tapi

seperlimanya menikah, dan lain ada yang sudah pisah/cerai, sehingga semuanya ini memberikan sumbangan informasi yang bervariasi. Lebih dari sepertiga responden mengatakan tidak bekerja, seperempatnya sebagai petugas LSM, sedangkan lain ada sebagai wiraswasta, pelajar, pegawai kantor, profesional dan lain.

Pada saat penelitian, hampir setengah responden mengatakan kondisi kesehatannya ‘baik’, sepertiganya menyatakan kesehatannya ‘biasa-biasa’ saja, sedangkan seperlimanya mengatakan ‘tidak sehat’. Lebih dari sepertiga responden meminum obat untuk menjaga kesehatan dan dari mereka ini ada yang minum obat lebih dari satu jenis. Obat tersering yang mereka minum adalah ARV, setelah itu vitamin, obat tradisional dan obat untuk infeksi oportunistik. Pelanggaran terhadap hak pribadi terutama terjadi dalam kaitan dengan tes HIV dan bidang kesehatan. Sedangkan perlakuan diskriminasi sangat jarang ditemuka di bidang lain misalnya di tempat umum, keluarga, tempat kerja, dan konteks lain yang terkait. Dalam penelitian ini lebih 25% mengatakan pada saat tes mereka tidak siap untuk dites dan lebih 30% tidak mendapat penjelasan sebelumnya mengenai tes tersebut.

(20)

Kasus: Diskriminasi kegiatan keagamaan dan masyarakat

Pengalaman laki-laki berumur 37 tahun ini, yang mengetahui dirinya terinfeksi HIV pada bulan September 2002 ini menunjukkan bahwa pelanggaran hak Odha dapat juga terjadi di sekitar tempat tinggal. Hal ini terjadi pada saat dia akan memperpanjang kartu tanda penduduk (KTP) di daerah tempat dia menetap dalam 10 tahun terakhir. Petugas RT setempat mengharuskan dia melampirkan surat keterangan sehat dari rumah sakit.

Masih dari sekitar tempat dia tinggal, karena masyarakat setempat mengetahui status HIV laki-laki yang belum menikah ini, mereka melarang dia untuk melakukan ritual keagamaan di mesjid.

“Saya dilarang mengambil wudlu di mesjid, bahkan saya dilarang keras untuk shalat di mesjid. Sebagai jalan keluarnya, saya diharuskan membayar Rp. 500 setiap akan wudlu dan shalat hanya di pelataran mesjid saja”.

Lelaki ini sekarang mulai merintis usaha sendiri, karena sebelumnya dikeluarkan dari tempat dia bekerja. Pihak perusahaan mendatangi rumahnya dan mengatakan bahwa dia tidak diperkenankan lagi bekerja karena dikhawatirkan akan menularkan kepada karyawan lain.

“Mereka datang ke rumah dan bilang bahwa saya nggak boleh kerja lagi…alasannya rekan kerja yang lain tidak sudi kalau saya masih kerja di situ. Mereka takut tertular penyakit saya”.

Kejadian diskriminasi di bidang kesehatan terjadi hampir 30% oleh rumah sakit atau petugas kesehatan. Sebagian besar mengatakan kejadian itu jarang/hanya terjadi sekali-sekali. Bentuk diskriminasi yang dialami antara lain, petugas kesehatan menolak menangani karena status HIVnya positif (14,6%), diperlambat dalam pengobatan atau layanan kesehatan (18,5%), dan dipaksa membayar biaya tambahan untuk perawatan medis (8,9%). Bila dibandingkan dengan penelitian tahu 2001 dengan jumlah responden 41 Odha, maka kejadian diskriminasi masih konsisten sekitar 30% terjadi dibidang kesehatan. Hal ini merupakan pertanyaan penelitian lebih lanjut, mengapa terjadi demikian.

Dibandingkan proyek dokumentasi yang pertama periode wawancara Juli-Oktober 2001, tidak ada perbedaan yang bermakna pada persentase kasus pelanggaran HAM yang paling sering terjadi kepada Odha. Sebagaimana kita ketahui pada proyek dokumentasi yang kedua ini, pelanggaran HAM paling sering terjadi di bidang layanan kesehatan, demikian juga pada proyek pertama. Di posisi kedua adalah pelanggaran HAM di seputar tes HIV, yang mana pada proyek kedua persentasenya menurun menjadi 33%.

Tabel 6. Perbandingan proyek pertama dengan proyek tahap kedua

Perbedaan Proyek Pertama Proyek Kedua

Jumlah Pewawancara 5 9

Jumlah Provinsi 10 20

Jumlah Responden 42 203

(21)

umum (tanpa survei) penanggulangan HIV/AIDS-nya cukup giat mengalami penurunan diskriminasi pada bidang temuan yang sama, sementara daerah lain yang masih lemah kegiatan penanggulangan AIDS-nya angka diskiriminasi meningkat. Hal ini juga dipengaruhi oleh perbedaan jumlah responden yang meningkat, namun hal tersebut perlu dibuktikan dengan melihat jumlah responden pada wilayah tertentu. Kendalanya adalah bahwa survei kedua ini menggunakan instrumen yang sama dengan instrumen tersebut dirancang untuk melihat kasus secara nasional, sehingga masih diperlukan pertanyaan penyaring wilayah. Pertanyaan penyaring wilayah pun harus jelas bahwa wilayah yang dimaksud adalah wilayah terjadinya pelanggaran HAM terjadi.

Terlepas dari berbagai pengaruh tersebut, tolak ukur yang jelas dari survei kedua ini adalah bahwa responden adalah Odha yang mengetahui statusnya setelah proyek pertama selesai, yaitu setelah Juli 2002. Dengan demikian, respondennya bukanlah responden pada survei pertama, sehingga dapat terdokumentasi jelas (tidak dua kali terdokumentasi) mengenai pelanggaran HAM mulai dari di seputar tes HIV. Sehingga bisa didapat juga gambaran penurunan atau pun peningkatan mutu layanan pada bidang yang sama.

Saran untuk Pelaksana Penelitian Saran untuk pelaksana penelitian

1. Perlunya memperbaiki angket penelitian, dengan memasukkan pertanyaan penyaring untuk beberapa hal penting yang ingin diteliti, sehingga dapat mengetahui dengan pasti kejadian diskriminasi.

2. Perlunya meneliti pengalaman para petugas penyedia layanan kesehatan, untuk melihat apa/siapa/bagaimana Odha dari pandangan mereka dalam melayani Odha ditempat bekerja. 3. Untuk penguatan kegiatan pemantauan pelanggaran HAM terhadap Odha, perlu melibatkan

kelompok dukungan sebaya, manajer kasus, dan pihak lain yang terkait yang sudah ada tersebar di berbagai provinsi, sehingga dari segi mutu dapat lebih kuat dan analisis kasusnya lebih mendalam.

4. Untuk lebih mempertajam hasil survei, perlu dipertimbangkan untuk melakukan survei yang menyasar kepada kelompok responden yang lebih spesifik. Selain itu perlu juga

dipertimbangkan untuk melakukan survei di lingkup wilayah yang lebih kecil sehingga memberikan gambaran lebih jelas mengenai pelanggaran HAM terhadap Odha di suatu daerah.

5. Diperlukan juga survei yang lebih terfokus pada aspek tertentu dari diskriminasi, misalnya survei khusus untuk melihat tingkat pelanggaran kerahasiaan pada pelaksanaan tes HIV. Saran untuk Pihak Terkait

1. Pelanggaran HAM terhadap Odha terjadi karena ketidaktahuan, oleh karena itu,

penyebarluasan informasi masih perlu ditingkatkan dari jangkauan maupun mutu. Sebaiknya penyuluhan dilakukan tidak terbatas hanya kepada kelompok yang dianggap berisiko tinggi saja, karena justru hal tersebut yang menyebabkan stigma. Demikian juga dengan peranan media massa agar lebih memberikan pendidikan kepada masyarakat dengan memberikan pemberitaan yang tidak memarjinalkan Odha.

2. Layanan VCT perlu ditingkatkan jumlah, promosi, dan mutunya, terutama mengenai kerahasiaan yang harus dijunjung tinggi.

3. Layanan lanjutan VCT yang komprehensif harus segera ada di berbagai daerah, sehingga dapat mendorong semua orang untuk melakukan tes HIV secara sukarela, dengan demikian dapat diberikan program pencegahan, pengobatan, pendampingan, perawatan.

4. Perlunya peningkatan mutu layanan kesehatan yang lebih bersahabat dengan program

pelatihan yang lebih tinggi frekuensinya. Pelatihan tersebut juga supaya dilaksanakan di pusat layanan kesehatan masyarakat pada unit terkecil di daerah pelosok.

(22)

Ucapan Terima Kasih

Para penulis laporan mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada para pewawancara atas jerih payah yang telah dilakukan untuk mengumpulkan data selama penelitian berlangsung. Secara khusus juga kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh responden yang terlibat dalam proyek dokumentasi ini. Tentunya juga terima kasih yang sebesar-besarnya kepada UNAIDS, IHPCP, AusAID, dan Ford Foundation atas bantuannya baik berupa dorongan moril maupun dana untuk terlaksananya penelitian ini. Kemudian kepada Chris Green, Ibu Jane, Ibu Abby, Ibu Meiwita atas saran dan dorongannya dalam penelitian, pada waktu sosialisasi hasil penelitian, maupun dalam proses pembuatan laporan.

(23)

Lampiran 1: Kerangka Acuan

Catatan:

Kerangka Acuan ini dibuat sebelum seluruh proses penelitian dimulai, sehingga informasi

dalam kerangka acuan ini ada yang berbeda dengan pelaksanaannya, terutama pada

hal-hal yang bersifat teknis, jumlah pewawancara, jumlah reponden, dan jumlah propinsi.

Kerangka Acuan

Proyek Dokumentasi Pelanggaran HAM

1

Terhadap Odha

2

Penelitian Partisipatif tentang Stigma Sosial, Diskriminasi dan AIDS Yayasan Spiritia dan APN+ (Asia Pacific Network of People with HIV/AIDS) I. Sekretariat Pelaksana

Sekretariat : Yayasan Spiritia

Alamat : Jl. Radio IV No.10, Kebayoran Baru, Jakarta 12130 Telepon/Fax : (021) 727 97007 / Fax (021) 726 9521

E-mail : yayasan_spiritia@yahoo.com Koordinator : Siradj Okta (siradjokta@hotmail.com)

II. Ringkasan

Tidak ada area kehidupan odha yang tak tersentuh stigma dan diskriminasi – dinamika keluarga, hubungan dalam masyarakat, pekerjaan, perumahan, perawatan kesehatan, asuransi, penghidupan, perjalanan, dan imigrasi (Bruyn 1998: 107).

Proyek ini merupakan kelanjutan dari proyek serupa yang pernah dilakukan di

Indonesia oleh Yayasan Spiritia pada tahun 2001 bersama dengan APN+ (Asia Pacific Network of People Living with HIV/AIDS/Jaringan Odha Asia Pasifik). Proyek yang pertama merupakan proyek yang dilakukan di empat negara Asia dimana Indonesia adalah salah satunya, selain India, Thailand, Filipina. Di Indonesia, Tim Pengumpul Data pada waktu itu mewawancara dari 42 odha di 10 propinsi yaitu DKI Jakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Papua, DI Yogyakarta, Nusa

Tenggara Timur, Sumatera Barat.

Proyek ini bermaksud untuk mengumpulkan data dari odha nmengenai diskriminasi yang pernah dialaminya sebagai orang HIV positif untuk melihat pola-pola diskriminasi terhadap odha, mencari sumber permasalahan, juga melihat perubahan terhadap hasil dari proyek pendokumentasian pelanggaran HAM yang pertama di tahun 2001. Proyek yang pertama hasilnya telah didiseminasikan bahwa sebagian besar pelanggaran HAM terhadap odha terjadi di sektor penyediaan pelayanan kesehatan dan di seputar tes HIV. Dengan demikian proyek yang kedua ingin melihat apakah tindak lanjut dan advokasi dari hasil proyek yang pertama telah membuahkan hasil. Proyek yang kedua ini juga sebagai tolak ukur keberhasilan upaya para pihak terkait dalam mengurangi stigma dan dsikriminasi di Indonesia.

Keikutsertaan odha sebagai bagian dari Tim Pengumpul Data adalah sifat utama dari penelitian ini. Odha akan terlibat sebagai salah satu komponen paling aktif.

Pelaksanaan penelitian diharapkan akan memfasilitasi proses pemberdayaan bagi odha yang terlibat, terutama mengenai HAM. Melalui interaksi yang terjadi dalam wawancara-wawancara, kontak dan jaringan dukungan sebaya antar odha diharapkan bisa dimulai atau dikuatkan.

1

HAM: Hak Asasi Manusia.

2

(24)

Pelaksanaan penelitian ini didukung oleh IHPCP (Indonesian HIV Prevention and Care Project). Termasuk di dalamnya sekretariat dan staff, pembentukan dan pelatihan Tim Pengumpul Data, permohonan pengesahan etis dari universitas, kegiatan wawancara, menterjemahkan hasil wawancara, serta penyebarluasan Laporan Akhir dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Sebagai kelanjutan dari proyek yang pertama, maka proyek yang kedua ini

menggunakan instrumen penelitian yang sama yaitu instrumen yang telah dirancang oleh tim dari APN+.

III. Latar Belakang

Odha menghadapi diskriminasi dimana saja di berbagai negara Asia Pasifik, dan hal ini berdampak pada kualitas hidup mereka. Sifat dan besar-tidaknya diskriminasi yang terkait dengan HIV/AIDS bervariasi, tergantung pada konteks sosial, ekonomi, hukum, dan politik di masing-masing negara. Walaupun diskriminasi adalah salah satu bentuk utama perilaku sosial yang terkait dengan HIV/AIDS, kami memiliki pengertian

empiris yang sangat terbatas mengenai hubungan antara kesehatan publik, diskriminasi, dan dampaknya terhadap pencegahan dan perawatan HIV/AIDS di kawasan ini. Studi kasus yang dipresentasikan oleh anggota-anggota APN+ dalam lokakarya regional serta bukti-bukti hidup dari berbagai negara juga mendukung asumsi ini.

Penelitian ini mengacu pada tiga konsep kunci, yaitu:

Diskriminasi : Didefinisikan oleh UNAIDS tahun 1998 sebagai “tindakan yang disebabkan pembedaan yang menghakimi terhadap orang-orang berdasarkan status HIV mereka, baik yang pasti maupun yang diperkirakan, atau keadaan kesehatan mereka.” Definisi operasional yang lebih luas juga diambil dari Anti-Discrimination Board di New South Wales, Australia tahun 1992, “Berkisar dari kekasaran sikap yang

hampir tak terlihat sampai kekerasan fisik. Bisa bermanifestasi dalam bentuk-bentuk yang nampak bisa diterima dan dibenarkan, atau dalam perilaku patologi yang ekstrim. Kadang-kadang bisa sangat eksplisit, tetapi lebih sering halus, canggih, dan sulit untuk didefinisikan.” Stigma : Ekspresi dari norma sosial dan budaya, yang membentuk hubungan

antar manusia menurut norma-norma tersebut. Orang-orang yang distigma biasanya dianggap memalukan untuk alasan-alasan tertentu, dan sebagai akibatnya mereka dipermalukan, dihindari, didiskreditkan, ditolak, ditahan, atau dihukum. (Bruyn 1998).

Kerentanan : Sedikit atau sama sekali tidak mampu mengontrol risiko diri sendiri dari penularan HIV. Atau bagi mereka yang sudah terinfeksi: memiliki sedikit akses atau tidak memiliki akses sama sekali terhadap dukungan dan perawatan yang memadai. Kerentanan adalah akibat dari keterkaitan berbagai faktor, baik personal (individual dan biologis) maupun sosial. Sebenarnya setiap orang rentan dalam cara dan saatnya masing-masing, tetapi bisa diperbesar lagi oleh faktor-faktor sosial seperti marginalisasi dan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, umur, ras, orientasi seksual, agama, keterkaitan politik, kebijakan ekonomi, dan faktor struktural lainnya yang menghambat pembangunan manusia yang berkesinambungan. (Strategic Plan 1996-2000, UNAIDS 1996).

(25)

IV. Tujuan Umum dan Khusus

Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan:

a. Pengertian yang lebih dalam tentang diksriminasi yang obyektif berdasarkan status HIV, baik yang sesungguhnya atau yang diduga.

b. Pengertian tentang bentuk langsung, tak langsung, dan struktural dari diskriminasi, ketidakadilan, dan kerentanan.

c. Pengertian tentang faktor-faktor konseptual dari diskriminasi (konsep domestik, pekerjaan, sosial, dan perawatan kesehatan).

d. Perbandingan terhadap hasil proyek yang pertama sebagai ukuran keberhasilan tindak lanjutnya.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan:

a. Mengerti sifat yang rumit dari diskriminasi yang terkait dengan HIV/AIDS yang dialami odha.

b. Mengerti kisaran sikap dan tindakan diskriminasi.

c. Mengerti jalur dari diskriminasi dan stigma yang terkait dengan HIV/AIDS. d. Mengerti konsteks hukum, sosial, budaya, dan institusional dari diskriminasi

yang dialami odha di negara-negara Asia Pasifik (secara khusus dalam hal ini: Indonesia).

e. Mendapatkan hasil survey sebagai alat advokasi lebih lanjut.

V. Peran Odha dalam Penelitian

Keikutsertaan odha sebagai bagian dari Tim Pengumpul Data adalah sifat utama dari penelitian ini. Odha akan terlibat sebagai salah satu komponen paling aktif.

Pelaksanaan penelitian diharapkan akan memfasilitasi proses pemberdayaan bagi odha yang terlibat, terutama mengenai HAM. Melalui interaksi yang terjadi dalam wawancara-wawancara, kontak dan jaringan dukungan sebaya antar odha diharapkan bisa dimulai atau dikuatkan.

Odha yang masuk dalam Tim Pengumpul Data akan dilatih mengenai cara pengumpulan data termasuk tehnik wawancaran, etika, isu-isu sensitif dalam mewawancara odha, konsekuensi emosional akibat kenangan menyedihkan yang terkuak kembali selama/setelah wawancara dan cara menghadapinya, serta bagaimana berjejaring dan merujuk. Walaupun Tim Pengumpul Data adalah odha juga, isu sensitifitas tetap tidak boleh diremehkan.

VI. Lokasi dan Tim Pengumpul Data

Pengumpulan data akan dilakukan setidak-tidaknya di 7 propinsi di Indonesia sebagai tempat tinggal masing-masing pewawancara, namun keragaman lokasi asal

responden akan berkembang dengan adanya momen-momen dimana banyak odha dari berbagai daerah berkumpul dan ada kesempatan untuk mewawancarai mereka. Tim Pengumpul Data terdiri dari 1 sampai 2 orang dari tiap propinsi. Di propinsi yang tidak memungkinkan ada odha sebagai Pengumpul Data, maka akan dikirimkan dari anggota Tim Pengumpul Data yang ada ke daerah tersebut.

Deskripsi pekerjaan anggota Tim Pengumpul Data adalah menyiapkan data mengenai konteks nasional, mengikuti pelatihan, membuka akses ke odha, mewawancara, berkomunikasi dengan koordinator, dan mengumpulkan hasil wawancara secara tepat waktu.

Tim Pengumpul Data yang ada saat ini berasal dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Riau, Papua.

(26)

VII. Metode Penelitian Jenis data yang dikumpulkan:

Tiga jenis data akan dikumpulkan melalui penelitian ini dengan bantuan tiga

instrumen penelitian yang berbeda. Mereka adalah data mengenai konteks nasional keseluruhan (antara lain kebijakan nasional, kerangka hukum, dan isu lain yang terkait), penelitian ekstensif berdasarkan wawancara dengan odha, dan studi kasus spesifik untuk memperjelas sifat dari diskriminasi yang dialami odha.

Instrumen:

Instrumen penelitian adalah angket yang telah dipersiapkan oleh Tim Peneliti APN+. Pengembangan angket ini dibantu oleh konsultan teknis, konsultasi dengan odha, kritik dari berbagai pihak lain, serta sudah pernah diujicobakan.

Pengesahan Etis:

Pengesahan etis terhadap instrumen penelitian yang akan digunakan telah diberikan oleh Komite Penilaian Etis UNAIDS, Jenewa. Pengesahan etis akan proyek yang kedua ini diproses di Universitas Udayana, Bali.

Penelitian ini bersifat observasi dan tidak meliputi percobaan klinis. Segala langkah dilakukan untuk mengurangi dampak psikologis atau dampak lain yang merugikan bagi responden penelitian. Isu keadilan, manfaat, dan respek terhadap responden akan diperhatikan saat instrumen penelitian dibuat. Segala risiko potensial telah diidentifikasi dan diminimalkan. Persetujuan yang jelas dari para responden adalah penting dalam penelitian ini. Anonimitas responden dijamin.

Kriteria Responden:

Data dikumpulkan dari odha berusia 18 tahun atau lebih. Responden yang mewakili berbagai usia, jenis kelamin, latar belakang sosial, dan jalur infeksi akan diusahakan. Perhatian khusus akan diberikan untuk merekrut responden dari masyarakat spesifik seperti gay, biseksual, transgender, pemakai narkotika suntikan, etnis minoritas, pekerja seks komersial (laki-laki dan perempuan), perempuan, laki-laki heteroseksual, dan remaja. Tingkat infeksi (tingkat infeksi awal vs tingkat infeksi lanjut) juga menjadi pertimbangan.

Diharapkan 4 sampai 10 responden akan diwawancara dari tiap propinsi. Perkiraan jumlah responden serta cara-cara pendekatan yang realistis akan dibahas dalam pelatihan bagi Tim Pengumpul Data. Responden diakses antara lain melalui kelompok dukungan sebaya odha, dokter, rumah sakit, dan lembaga swadaya masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi azas persetujuan dan kerahasiaan.

VIII. Pelatihan dan Pengawasan

Koordinator akan mengadakan pelatihan untuk Tim Pengumpul Data sebelum mereka memulai pekerjaannya. Pelatihan diagendakan pada:

Tanggal : 17, 18 Desember 2003

Tempat : Hotel Cemara, Jl. Cemara No. 1, Jakarta Pusat.

Selain membahas hal-hal teknis dan isu-isu terkait yang telah disinggung di atas, data konteks nasional akan dikumpulkan. Sistem rujukan dukungan bagi responden dan anggota Tim Pengumpul Data sendiri juga akan dikembangkan selama pelatihan ini.

(27)

utama penanggulangan HIV/AIDS. Anggota Dewan Penasehat Nasional terdiri dari x orang: Satu orang dari UNAIDS, satu orang dari badan donor (IHPCP), satu orang dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, satu orang dari Jaringan Odha Nasional, satu orang dari aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat HIV/AIDS, satu orang dari akademik, satu orang dari koordinator pelaksana (Yayasan Spiritia). Semuanya berjumlah 7 orang dan akan berkumpul secara berkala dan juga menerima laporan perkembangan secara berkala dari Koordinaor Proyek.

X. Layanan Pendukung dan Rujukan

Melihat sifat dari penelitian ini, beberapa dari responden kemungkinan menunjukkan kebutuhan untuk dukungan atau layanan pendukung selama atau setelah wawancara. Para anggota Tim Pengumpul Data akan dibekali pengetahuan mengenai layanan-layanan yang ada dan kemampuan merujuk jika dibutuhkan. Fasilitas seperti dukungan hukum, medis, dan sosial harus sudah diidentifikasi oleh Tim Pengumpul Data sebelum penelitian dimulai, yaitu pada saat pelatihan.

XI. Pengaturan Administratif

elaksanaan penelitian di Indonesia akan diatur oleh Koordinator yang berbasis di Jakarta. Segala hal menyangkut administrasi dan keuangan akan dilaksanakan oleh lembaga penanggungjawab, yaitu Yayasan Spiritia, Jakarta.

XII. Luaran dan Tindak Lanjut

Analisa dan rekomendasi penelitian ini secara nasional akan disusun dalam bentuk laporan oleh Yayasan Spiritia. Laporan ini akan dipresentasikan dalam forum-forum nasional, konferensi internasional dan regional seperti International Congress on AIDS in Asia Pacific (ICAAP). Laporan keseluruhan regional akan tersedia untuk berbagai jaringan HIV/AIDS, anggota tim UNAIDS di setiap negara, LSM-LSM internasional, dan APCASO3.

Proyek ini mencakup penyebarluasan laporan kepada berbagai pihak di Indonesia, termasuk para responden, pemerintah, LSM, individu, dan media. Laporan akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Direncanakan hasil ini akan dilokakaryakan untuk menentukan pemanfaatannya lebih lanjut sebagai alat advokasi di Indonesia.

XII. Kerangka Waktu

Penelitian ini akan mulai pada saat pelatihan Tim Pengumpul Data pada 17 Desember 2003, dengan kerangka waktu keseluruhan proyek sampai bulan Juni 2004.

3

(28)
(29)

Lampiran 3: Panduan untuk Menjalankan Penelitian

Catatan singkat ini untuk membantu Anda dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari penelitian ini. Aturan yang lebih terinci dalam melaksanakan wawancara yang lebih mendalam (in-depth interview) dan panduan untuk menyiapkan laporan dalam konteks nasional diberikan secara terpisah.

Pada waktu mewawancara, pastikan privasi responden terjaga. Karena itu kami sarankan agar

wawancara dilakukan di tempat pribadi dan akan lebih baik lagi jika wawancara dilakukan berdua saja dengan responden.

Wawancara ini hanya boleh dilakukan atas sepengetahuan dan seijin responden. Mintalah ijin ini dari responden sebelum wawancara dimulai. Di akhir wawancara, catat semua pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan yang diajukan oleh responden. Hal ini penting untuk perbaikan akhir dari angket ini.

Daftar pertanyaan ini dirancang sebagai alat penelitian, dan wawancara ini adalah penelitian awal untuk menguji coba angket. Karena ini penelitian awal, pertanyaan yang boleh diajukan hanyalah pertanyaan yang ada di daftar pertanyaan saja. Tetapi, jika pada waktu wawancara Anda merasa perlu mengajukan pertanyaan lanjutan, segeralah catat pertanyaan tersebut. Kami akan memasukkan semua saran yang ada kaitannya di angket terakhir. Anda juga bisa menyarankan tambahan bagian khusus untuk dimasukkan di angket versi terakhir. Dalam membuat pertanyaan tambahan, perlu diingat bahwa yang kita

kumpulkan adalah pengalaman langsung dari responden yang bersangkutan.

Anda juga bisa mencatat hasil pengamatan yang Anda anggap penting dan saran untuk memodifikasi pertanyaan, pertanyaan tambahan serta kesulitan-kesulitan dalam mendapatkan jawaban penelitian ini. Data penelitian ini harus diperoleh dari orang yang HIV/AIDS dan berusia 18 tahun atau lebih. Dalam memilih responden, sebaiknya bervariasi baik umur, seks, latar belakang sosial dan jalur penularannya. Untuk itu bisa dilakukan melalui beberapa cara, melalui kelompok orang HIV/AIDS di daerah tersebut, melalui rumah sakit-rumah sakit, dan melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak di bidang HIV/AIDS.

Pertanyaan sebaiknya diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Terjemahan dilakukan dalam 2 tahap. Pertama, Anda (atau penerjemah) mengalihbahasakan pertanyaan-pertanyaan ini ke dalam bahasa setempat dan diterjemahkan lagi oleh penerjemah yang lain ke dalam bahasa Inggris. Setelah itu, Anda dan satu orang lagi memperjelas hal-hal yang tidak sesuai dari terjemahan itu.

Pertanyaan-pertanyaan ini berlaku sejak responden mengetahui status HIVnya. Semua pewawancara dikoordinasi oleh wakil dari negarannya yang mengikuti kursus/program orientasi di Hong Kong. Akan lebih baik lagi jika setiap pewawancara mengisi daftar pertanyaan ini dahulu sebelum penelitian dilanjutkan pada orang lain.

Tandai jawaban di kolom ketiga dari masing-masing pertanyaan. Jika responden tidak menjawab, atau jika pertanyaannya tidak cocok dengan keadaan responden, tandai TIDAK SESUAI/TIDAK

MENJAWAB. Ada juga singkatan lain yang mungkin Anda tidak tahu yaitu IO atau infeksi oportunistik, atau infeksi yang berkaitan dengan AIDS.

Pada saat mewawancarai, mungkin Anda akan menemui bermacam-macam reaksi seperti ledakan emosi, marah atau sikap memusuhi pewawancara. Jika Anda merasa tidak bisa melanjutkan wawancara, dihentikan saja.

Kenali daftar orang-orang dan lembaga-lembaga yang bisa membantu dan bersedia dihubungi di daerah Anda, yang mana sudah Anda persiapkan. Hal ini akan membantu Anda pada saat Anda membutuhkan dukungan tambahan atau pada waktu perlu merujuk ke dukungan kesehatan, emosional atau hukum. Periksalah kelengkapan dan ketepatan setiap pertanyaan dan jawaban.

(30)

Lampiran 4: Lembar Informasi

Survei tentang AIDS dan Hak Asasi Manusia

LEMBAR INFORMASI

(Untuk yang diwawancarai/responden) (Salinan lembar informasi ini akan diberikan pada semua responden. Pewawancara juga diharapkan untuk membacanya di hadapan responden jika perlu).

Pendahuluan

Lembar informasi ini memperkenalkan survei tentang AIDS dan Hak Asasi Manusia. Kegiatan survei ini dilakukan oleh Yayasan Spiritia dengan dukungan keuangan dari IHPCP (Indonesian HIV/AIDS Prevention and Care Project-sebuah badan dana Australia untuk Indonesia) bersama Asia Pacific Network of People Living with HIV/AIDS/Jaringan Orang dengan HIV/AIDS Asia Pasifik (APN+).

Tujuan Kegiatan

Kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang diskriminasi yang berhubungan dengan AIDS yang pernah dialami oleh orang dengan HIV/AIDS di beberapa negara di Asia. Kegiatan ini akan memberi masukan untuk mendapatkan pemahaman lebih jauh tentang diskriminasi AIDS, dan juga agar kita dapat

mengetahui perkembangannya sampai pada jalan keluar apabila kita menghadapi diskriminasi. Ini adalah pertama kalinya informasi semacam itu dikumpulkan di negara kita.

Keuntungan bagi Responden dan yang Lain

Spiritia mengharapkan hasil wawancara yang dikumpulkan dari kegiatan survei ini akan memberikan pemahaman lebih jauh tentang diskriminasi AIDS yang dialami orang dengan HIV; untuk memahami ruang lingkup dari sikap diskriminatif, serta jalur diskriminasi dan pandangan-pandangan yang menyangkut AIDS. Informasi tersebut akan digunakan dalam mengembangkan hukum, sosial, budaya dan menciptakan perubahan sikap yang sesuai sehingga memberi harapan dan kesempatan untuk melawan serta mencegah diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang pernah dialami oleh orang dengan/hidup dengan HIV/AIDS. Selain itu juga

memberikan jalan keluar yang tepat apabila kita menghadapi tindakan diskriminasi. Untuk mewujudkan hal tersebut dan membantu kita secara langsung, akan dikirimkan laporan hasil survei, serta diberikan rujukan/jalur perlindungan hak asasi manusia apabila terjadi diskriminasi pada diri kita.

Prosedur Kegiatan

Wawancara dengan kita merupakan bagian dari kegiatan ini. Wawancara ini bersifat sukarela dan rahasia. Nama dan ciri-ciri khas kita tidak akan dicatat. Jika kita setuju untuk diwawancarai, kita berhak untuk mengundurkan diri kapan saja dan meminta semua hasil wawancara kita untuk dihancurkan.

(31)

Laporan ini akan berguna sebagai alat untuk melakukan perubahan, misalnya untuk menentang kebijakan pada kesehatan atau tempat bekerja, sikap masyarakat,

reformasi hukum, serta mencari jalan keluar yang tepat pada diskriminasi yang terjadi pada diri kita.

Risiko

Walaupun kita melakukan semua langkah penjagaan kerahasiaan yang ketat dan mengurangi risiko buruk pada keterlibatan kita dalam kegiatan ini, tetapi tetap ada resiko kecil pelanggaran terhadap kerahasiaan pribadi kita. Pelanggaran terhadap kerahasiaan pribadi dapat menjurus kepada perubahan yang buruk, misalnya kehilangan status sosial, pelayanan yang tidak menjaga kerahasiaan, kehilangan pekerjaan, pembeberan oleh media massa, kehilangan dukungan keluarga dan masyarakat, atau ditandai dan ditekan oleh yang berwenang untuk membuka status HIV teman responden yang lain.

Semua pewawancara sendiri adalah HIV positif dan telah mendapatkan pelatihan survei hak asasi manusia, dan juga telah menandatangani persetujuan untuk

melindungi kerahasiaan responden. Semua hasil wawancara yang dikumpulkan selama kegiatan survei ini akan dijaga sebagai rahasia dan disimpan di sebuah lemari terkunci di kantor Koordinator Penelitian (Siradj Okta, Yayasan Spiritia, Jl. Radio IV No.10, Jakarta 12130. Tel 021-727 97007.Fax 021-7269521 E-mail:

yayasan_spiritia@yahoo.com) sampai enam bulan setelah selesainya seluruh rangkaian kegiatan survei ini, semua hasil wawancara akan dimusnahkan.

Ketidaknyamanan

Ada kemungkinan kita akan merasa tidak nyaman selama wawancara. Kita boleh memilih untuk menghentikan wawancara sejenak atau selamanya kapan saja, bila perlu.

Setiap orang yang terlibat dengan survei ini bertanggung jawab untuk membuat responden merasa senyaman mungkin. Apabila kita membutuhkan dukungan kejiwaan dan fisik (seperti konseling atau bantuan hukum), atau saran yang menyangkut

pendidikan, kesehatan, atau dukungan masyarakat, maka sebuah daftar layanan dukungan tersedia untuk kita. Sebuah salinan prinsip-prinsip etika yang mengatur survei ini juga tersedia jika ada permintaan.

Waktu

Proses wawancara mengambil waktu sekitar satu jam.

Alternatif/Pilihan Lain untuk Keterlibatan

Jika kita lebih memilih untuk tidak terlibat, dapatkah kita menyarankan dan menghubungkan seseorang lain yang mungkin mau untuk terlibat dalam kegiatan survei ini?

(32)

Lampiran 5: Lembar Persetujuan

Survei tentang AIDS dan Hak Asasi Manusia

LEMBAR PERSETUJUAN

A. Untuk Pewawancara

1. Kita harus memahami Pedoman Pewawancara (terlampir) sebelum melakukan wawancara.

2. Sebelum memulai wawancara, mintalah persetujuan dari teman yang akan diwawancara (responden) dengan membacakan pernyataan dibawah ini. Jika calon responden setuju, kita (bukan responden) menandatangani lembar persetujuan ini.

B. Izin dari Responden

Selamat pagi/siang/sore/malam.

Nama saya adalah__________________________________________. Saya mengumpulkan data untuk Proyek Hak Asasi Manusia Yayasan Spiritia, seperti dijelaskan pada Lembar Informasi.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Yayasan Spiritia bersama APN+ dengan dukungan keuangan dari AusAID. Jika ada yang ingin ditanyakan atau membutuhkan keterangan lebih lanjut mengenai survei ini, silakan menghubungi Koordinator Penelitian, Siradj Oktai di Yayasan Spiritia Jl. Radio IV No. 10 Kebayoran Baru, Jakarta 12130 dengan nomor telepon (021) 72797007 Fax (021) 7269521 atau e-mail

yayasan_spiritia@yahoo.com

Untuk menyelesaikan wawancara, kita membutuhkan waktu sekitar satu jam. Kita dapat melanjutkan atau menghentikan wawancara ini sesuai kehendak anda. Ada beberapa pertanyaan yang seperti diulang-ulang atau mirip dengan pertanyaan sebelumnya. Ini untuk memastikan agar semua tercatat dengan benar. Tolong diingat bahwa wawancara ini berhubungan dengan pengalaman kita dengan status HIV+ kita. Terima kasih anda setuju kita dapat melanjutkan wawancara ini. Sebelum kita

melanjutkan wawancara, saya ingin memberitahukan anda bahwa:

a) Keikutsertaan anda dalam survei ini seluruhnya bersifat sukarela. b) Anda boleh menolak untuk menjawab pertanyaan.

Gambar

Tabel 1. Data demografik
Tabel 2. Masalah yang terkait dengan kesehatan responden
Tabel 3. Keadaan yang dialami Odha yang berkaitan dengan tes HIV
Tabel 4. Diskriminasi di masyarakat
+3

Referensi

Dokumen terkait

Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang

pendidikan, dan lain-lain. Kedua, siswa membaca, mengekspresikan, berdiskusi, mengkaji, dan melaporkan hasil pekerjaannya. Berdasarkan tabel 5.9 hasil wawancara dengan

Berdasarkan pentaksiran anda, rekabentukkan sebuah sayap yang mempunyai alat-alat daya angkat tinggi yang optimum untuk digunakan pada pesawat pengangkut yang sangat besar:

(2) Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak

INDIKATOR SOAL : Disajikan bagan peristiwa spermatogenesis, peserta didik dapat menentukan nama bagian yang ditunjuk LINGKUP MATERI : Biomolekuler dan bioteknologi. MATERI POKOK :

bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman

Mayoritas website pemerintah kabupaten dan kota yang sudah dapat diakses masuk dalam level pertama yakni hanya mempublikasikan informasi seputar profil

Adapun penyebab munculnya perilaku kenakalan remaja yang dikemukakan oleh (Willis, 2008) salah satunya adalah pengetahuan remaja tentang religiusitas yang rendah dapat membuat