• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - NACHDIENDA BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - NACHDIENDA BAB I"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Budaya Jawa yang dimiliki oleh masyarakat Jawa mengandung nilai dan norma yang dimiliki dan dihayati oleh manusia atau masyarakat pendukungnya. Selain itu, budaya Jawa juga mengandung tatanan-tatanan di dalam masyarakat yang dapat berwujud dalam adat istiadat, di antaranya upacara adat. Cerita rakyat yang berkembang dalam kalangan masyarakat diucapkan secara turun-temurun. Cerita rakyat merupakan salah satu adat istiadat yang masih berkembang sampai saat ini di kalangan masyarakat pendukungnya yang masih melestarikan tradisi leluhurnya.

Adanya cerita rakyat dalam masyarakat zaman dahulu dapat membentuk suatu mitos yang diyakini oleh masyarakat saat ini berpengaruh dalam kehidupan mereka. Selain itu di tanah Jawa banyak terdapat berbagai macam tempat-tempat yang dianggap keramat dan memiliki nuansa mistis, dari setiap tempat keramat yang terdapat di Jawa memiliki seorang kuncen atau juru kunci yang mengetahui seluk beluk yang terdapat dari tempat yang dijaganya.

(2)

Kabupaten Banyumas di sebelah Selatan, dan Kabupaten Brebes yang terdapat di sebelah Barat. Posisi Geografis Gunung Slamet, menurut Wikimapia terletak pada 7°14,30' LS dan 109°12,30' BT, dengan ketinggian mencapai 3432 meter. Gunung Slamet dapat dicapai melalui 4 jalur pendakian, yaitu Bambangan, Baturaden, Kaliwadas, dan Randudongkal.

Di Gunung Slamet terdapat mitos yang beredar dari masyarakat yang tinggal di lereng gunung yaitu sebuah pedukuhan yang dinamakan Dusun Kantong Desa Siremeng Kecamatan Pulosari. Mitos yang berkembang hubungannya dengan Sang Pencipta dan alam semesta. Ilmu pengetahuan mitos atau mitologi adalah suatu cara untuk mengungkapkan, menghadirkan Yang Kuasa, melalui konsep serta bahasa simbolis. Hal itu diwujudkan oleh masyarakat di Dusun Kantong Desa Siremeng Kecamatan Pulosari dengan persembahan

Ritual Ruwat Bumi atau Selametan yang dilakukan di bulan Sura, tepatnya pada tanggal 10 Muharom. Gunung Slamet biasa digunakan oleh para pecinta alam untuk melakukan pendakian, pendakian biasanya melewati jalur Bambangan, jalur Jurang Mangu, jalur Gunung Sari, dan jalur desa Siremeng. Bila menggunakan jalur Jurang Mangu akan melewati pos pendakian sebanyak 4 Pos, jalur Bambangan akan melewati pos pendakian sebanyak 9 pos dan jalur Desa Siremeng melewati 6 pos.

(3)

keselarasan. Masyarakat sekitar percaya bahwa siapa yang melanggar interaksi tersebut akan terkena hukuman dari kekuasaan supranatural yang diyakini sebagai penguasa gunung. Oleh sebab itu, setiap pendakian hendaknya berpamitan terlebih dahulu dengan juru kunci, supaya dilindungi dan diantarkan pada saat melakukan pendakian karena mitosnya terdapat dua jalur yang ada di area Gunung Slamet, dimana salah satunya jalan sebelah kanan, merupakan jalan yang aman menuju puncak, sedangkan arah yang sebaliknya, jalur kiri merupakan jalur menuju alam gaib.

Melihat juru kunci yang ada di daerah Gunung Slamet terdapat 4 Juru Kunci resmi yang bertugaskan untuk memberikan arahan kepada orang-orang yang hendak mendaki ke Gunung Slamet. Namun, pada kenyataannya yang mengaku sebagai juru kunci Gunung Slamet kurang lebih ada 40 orang. Namun, dari semua juru kunci tersebut hanya sebagai orang yang diperintahkan oleh 4 juru kunci resmi tersebut sebagai pengarah para pendaki, yang hendak mendaki ke puncak Gunung Slamet. Biasanya para pendaki memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam mendakinya, baik tujuan yang positif maupun negatif. Juru kunci yang terdapat di Gunung Slamet antara lain, juru kunci Dukuh Liwung, Guci yaitu Karsad, juru kunci Bambangan yaitu Mbah Daryono, juru kunci Jurang Mangu

yaitu Warjono dan juru kunci Siremeng yaitu Warsito.

(4)

adalah seorang juru kunci Gunung Slamet perempuan pertama. Dibandingkan juru kunci yang lain, Warsito memiliki wawasan yang luas, dan penjabaran kalimatnya pun mudah untuk dipahami. Oleh sebab itu, masyarakat di sekitar Desa Siremeng menuakan Warsito atau dianggap sebagai sesepuh desa, dan memiliki peranan yang sangat penting di Dusun Kantong Desa Siremeng. Selain itu, tempat tinggal dari Warsito lebih strategis dibandingkan juru kunci yang lain.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini sebagai berikut:

1. Latar belakang sosial budaya Dusun Kantong Desa Siremeng;

2. Biografi Warsito Juru Kunci Gunung Slamet Dusun Kantong Desa Siremeng;

3. Peran Warsito sebagai juru kunci dalam masyarakat setempat.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas maka tujuan dalam penelitian skripsi ini untuk mengungkap antara lain:

1. Latar belakang sosial budaya Dusun Kantong Desa Siremeng Kecamatan Pulosari;

2. Biografi Warsito Juru Kunci Gunung Slamet di Dusun Kantong Desa Siremeng Kecamatan Pulosari;

(5)

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dapat diperoleh beberapa manfaat sebagai berikut.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kesejahteraan lokal sebagai bagian dari penulisan sejarah nasional.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada masyarakat di Dusun Kantong mengenai mitos-mitos yang ada di Gunung Slamet dalam kaitannya dengan hal-hal yang dilarang dan hal yang harus dilakukan, sekaligus dapat memberikan informasi berbagai macam mitos yang beredar di Gunung Slamet. Selain itu dari penelitian ini diharapkan berguna sebagai salah satu referensi dalam menganalisis tentang seorang tokoh dan perannya dalam masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka

Untuk memberikan keobjektivitasan dalam penelitian ini, perlu diketahui bahwa penelitian mengenai Biografi Warsito Juru Kunci Gunung Slamet, Dusun Kantong Desa Siremeng Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang belum pernah ada sebelumnya. Namun, ada beberapa penelitian yang relevan yang berhubungan dengan biografi seorang tokoh dan layak dijadikan sebagai tinjuan pustaka dalam penelitian ini.

(6)

yang lain dilakukan oleh Sutrismi (2014) dengan skripsinya berjudul Biografi Kusno: Mantan Kepala Desa di Desa Bengbulang, Kecamatan Karangpucung,

Kabupaten Cilacap, menyimpulkan bahwa Kusno merupakan kepala desa yang pantas menjadi panutan. Beliau merupakan orang yang taat beribadah, pekerja keras, penuh semangat, suka membantu orang lain, memiliki jiwa seorang pemimpin dan pandangan jauh ke depan. Sifat pekerja keras dan penuh semangatnya menjadi bukti perjuangan beliau dari seorang yang biasa menjadi seorang yang dihormati di desa.

Menurut Endah Puji Lestari (2005) dalam skripsinya berjudul Biografi Karsinah (Mantan Lengger) di Desa Kalisabuk, Kecamatan Kesugihan,

Kabupaten Cilacap, menyimpulkan bahwa alasan Karsinah menjadi seorang lengger karena perekonomian yang pas-pasan. Perjuangannya menjadi seorang lengger bukanlah tanpa usaha karena pada awalnya ia sempat ditentang oleh orang tua dan keluarganya, namun karena niat untuk membantu keluarganya semakin besar Ia memutuskan untuk tetap menjadi lengger. Ia mampu menjadi lengger yang profesional. Saat sudah menikah ia mulai mengurangi kegiatannya menjadi lengger demi mengurus suami dan anak-anaknya.

(7)

pondok pesantren yang didirikan Iskandar menghasilkan tokoh-tokoh agama khususnya di desa Makam.

Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan biografi tokoh adalah dalam buku, Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustafa, dijelaskan mengenai riwayat hidup Haji Hasan Mustafa, di mana Haji hasan Mustafa menjalani hidup selama 78 tahun, yaitu dari tahun 1852 sampai tahun 1930 atau selama 80 tahun. Beliau berhasil dari keluarga yang taat beragama, sabar, dan ahli budaya. Tidak sedikit dari keluarganya, terutama dari pihak ibu yang menjadi ulama, bahkan di antaranya pernah menjadi tempat beliau berguru semasa kecil, yaitu Kiai Hasan Basari dari Kiarakoneng dan Kiai Cibunut. Pengetahuan agama yang luas dan mendalam yang dimiliki Haji Hasan Mustofa karena sejak kecil ia dididik di lingkungan pesantren dan berguru kepada ulama-ulama termasyhur, baik yang ada di tanah Periangan maupun di Jawa dan Madura (Kartini, dkk., 1985: 8-9).

Baharuddin (2013) dalam artikelnya yang berjudul Manusia Sejati Dalam Filsafah Mbah Maridjan dan Abdul Karmil Al-Jilli (Studi Konsepsi

Manunggaling Kawula Gusti dan Insan Kamil) menjelaskan mengenai Mbah Maridjan maupun al-Jilli yang sama-sama menyebut bahwa konsep menjadi manusia sejati atau al-Insan al-Kamil bisa didapatkan oleh manusia dengan cara terus-menerus mensucikan jiwanya, sehingga seseorang menemukan nur Muhammad, sosok ideal insan al-Kamil, sebagai cermin Tuhan (kesempurnaan). Pandangan ini juga didukung oleh Ibnu Arabi, sebab konsepsi insan kamil

(8)

Tuhan secara hakiki. Mbah Maridjan merupakan manusia yang syarat simbol walaupun beliau

mengaku bukanlah siapa-siapa, namun beliau adalah orang yang memiliki linuwih (punya kelebihan) yang mampu membaca kenyataan hidup manusia tanpa terkecoh dengan segala yang bersifat semu atau nyemoni. Mbah Maridjan adalah seorang muslim yang Jawa, dan Jawa yang muslim. Ia menyandang gelar ki sekaligus kiai. Menyandang gelar

ki disebabkan ia lekat dengan lelaku kejawen. Ritual-ritual keagamaan yang dilakukannya dekat dengan tradisi kapitayan atau Hindu-Jawa. Ia menekuni berbagai kehidupan spiritual dengan cara lelakon dan tirakat.

Dari kelima penelitian yang relevan di atas terdapat kesamaan, yaitu sama-sama meneliti peran seorang tokoh yang dianggap penting dan memiliki banyak pengaruhnya terhadap kehidupan bermasyarakat. Namun, terdapat perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu tokoh yang dijadikan bahan penelitian, dan pembahasan yang lebih menekankan kepada kehidupan Warsito sebagai juru kunci Gunung Slamet dan peranannya dalam masyarakat sekitar, sehingga sudah barang tentu penelitian yang peneliti lakukan ini bukan merupakan tiruan atau plagiat.

F. Landasan Teori dan Pendekatan 1. Biografi

(9)

bahan-bahan untuk penelaahan sistematik tentang kejiwaan penyair dan proses penciptaan puisinya (Kartini, dkk., 1985: 5).

Biografi atau catatan tentang hidup seseorang itu meskipun sangat mikro, menjadi bagian dalam mosaik sejarah yang besar. Ada pendapat bahwa sejarah adalah penjumlah dari biografi, dengan biografi dapat dipahami para pelaku sejarah, zaman yang menjadi latar belakang biografi, lingkungan sosial-politiknya (Kuntowijoyo.2003: 203-204).

Menurut Sartono (2014: 87), rekonstruksi biografis amat memerlukan imajinasi yang besar agar dapat dibuat sulaman yang indah dari biodata yang tersedia, tentu saja tanpa menyimpang dari factor historisitas. Lebih dari cerita sejarah lainnya biografi memerlukan emphaty atau einfuhlung seperti yang digariskan oleh Dilthey sebagai metodologi interpretatif. Dengan empati dapat menempatkan diri seolah-olah ada di dalam situasi tokoh itu, bagaimana emosinya, motivasi, dan sikapnya, persepsi, dan konsepsinya, yang kesemuannya dapat direproduksi dalam diri sejarawan.

Menurut Sartono (1992: 102) menyebutkan bahwa biografi dibedakan dalam tiga macam, yaitu (1) yang komprehensif; (2) yang topikal; (3) yang diedisikan. Biografi yang komprehensif adalah biografi yang panjang dan bersegi banyak, apabila isinya pendek dan sangat khusus sifatnya, biografi itu disebut topikal, sedang yang dinamakan biografi yang diedisikan ialah yang disusun oleh pihak lain.

(10)

keindahan dalam penuturan cerita hidup. Dalam hal ini sejarah lisan menemukan lingkungan kerja dalam penulisan biografi. Informasi lisan langsung dari tokoh dan orang-orang terkait merupakan perbendaharaan bahan yang bisa dimaksimalkan melalui penggalian yang terpola dan berkesinambungan (Dien Majid dan Johan W, 2014: 135).

Sejarah lisan selain sebagai metode dan sebagai penyediaan sumber, sejarah lisan mempunyai sumbangan yang sangat besar dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah, (1) dengan sifat yang kontemporer sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir-hampir tidak terbatas untuk menggali sejarah dari perilakunya, (2) sejarah lisan dapat mencapai pelaku yang tidak disebutkan dalam dokumen. Dengan kata lain, dapat mengubah citra sejarah yang etis kepada citra sejarah yang egalitarian, (3) sejarah lisan memungkinkan perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah tidak lagi dibatasi kepada adanya dokumen tertulis (Kuntowijoyo, 2003: 29-30)

Sejarah lisan mempunyai arti penting manakala dokumen kurang atau tidak ditemukan. Selama ini sejarah lisan tidak mendapat perhatian dari para sejarawan karena informasi dari mulut sering kurang dipercaya. Pandangan yang sebelah mata terhadap sumber sejarah lisan harus dihapus dari pikiran sejarawan. Berdasarkan pengalaman, wawancara yang intensif dengan tingkat perulangan yang tinggi akan menghasilkan keakuratan data yang lebih baik daripada dokumen (Priyadi, 2014:15).

(11)

sumber sejarah lisan akan semakin banyak dituntut untuk penulisan sejarah atau historiografi sejarah modern yang bertalian dengan banyak aspek yang dikuasai oleh para informan. Informan tidak lagi sekedar sebagai orang yang menyimpan memori masa lampau, tetapi juga sebagai orang dapat menafsirkan memorinya tersebut berkat kemajuan pendidikan yang dioeroleh dan kemampuan dalam teknologi informatika (Priyadi, 2014: 16)

Penggalian sumber sejarah lisan dilakukan dengan cara melakukan wawancara intensif. Hubungan sejarawan dengan informan akan lebih intensif daripada sejarawan dengan dokumen (Priyadi, 2014: 17) informan dapat diwawancarai secara intensif untuk mengingat kembali memori yang terlupakan. Dalam hal ini, sejarawan harus lebih bersabar dalam menghadapi informan yang berusia di atas 50 tahun dan mulai berangsur-angsur mengarah ke kepikunan. Namun, banyak pula informan yang telah berusia antara 50-80 tahun masih baik ingatannya. Informan dalam kategori ini bisa membantu untuk meningkatkan kembali memori para informan yang sudah pikun. Keunggulan sejarah lisan adalah ia berkedudukan sebagai makhluk bernyawa, yang memiliki kesadaran dan pemikiran, yang masing-masing memiliki karakter (Priyadi, 2014: 17).

2. Juru Kunci

Juru kunci memiliki makna, jalmo sulaksono insan kamil. Atau biasa diartikan, orang yang mendapat kekuatan untuk memahami asal mula kehidupan dan makna simbolik spiritual. Sebenarnya, kesan yang muncul dari mitos ini adalah penyatuan dua keraton; keraton manusia dan keraton gaib. Kuncen

(12)

Poerwadarminta, djoeroe koentji wong sing pinantah ngrekso pakoeboeran oetawa papan sing kramat. Istilah kuncen umum digunakan dalam bahasa lisan, sedangkan juru kunci digunakan dalam bahasa tulis

(Http://www.kompas,com/kompas-htm)

Profesi juru kunci bersifat turun temurun dan harus orang yang memiliki

linuwih atau kelebihan dalam hal kebatinan, serta mengerti mengenai sejarah dari tempat tersebut. Jabatan sebagai juru kunci juga tidak memiliki gaji atau pembayaran dalam bentuk apapun.

Pengaruh juru kunci sangat besar terhadap masyarakat di sekitar lereng Gunung Slamet, karena keselamatan dan kesejahteraan mereka tergantung pada alam sekitar. Jadi, sosok seorang juru kunci yang disegani dan dihormati sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial keagamaan mereka sehari-hari di masyarakat lereng Gunung Slamet.

3. Gunung Slamet

(13)

Noorduyn menyatakan Gunung Slamet disebut Gunung Agung dalam kisah perjalanan Bujangga Manik (Priyadi, 2015: 247) dan menurut Veth juga disebut sebagai Gunung Lanang seperti yang tercantum dalam Babad Pasir

(Priyadi, 2015: 247). Jika Gunung Slamet adalah gunung jantan, maka perlu dicari pasangannya, seperti Sindoro-Sumbing dan Merapi-Merbabu. Dataran Tinggi Dieng mungkin pasangan Gunung Slamet. Resi Markandya yang mendirikan Pura Besakih di Bali, diceritakan pernah bertapa di Gunung Hyang (Dieng) (Priyadi, 2015:247).

Menurut Subandi menyatakan kiranya pasangan Slamet (Agung) dan Dataran Tinggi Dieng (Batur) juga ditemukan di Bali, bahkan nama Besakih yang berasal dari kata Basuki sama dengan nama Slamet (Priyadi, 2015: 247). Gunung Agung-Slamet sama dengan nama Slamet. Gunung Agung Slamet sama dengan Gunung Agung-Pura Besakih. Gunung Slamet, Sungai Serayu, dan Gada Rujakpolo (Gada Werkudara) menjadi lambang daerah Kabupaten Dati II Banyumas. Ketiganya melambangkan kejantanan atau lingga bagi daerah Banyumas yang mengaku satria (Priyadi, 2015: 247).

Menurut cerita orang tua, Gunung Slamet memang sedikit berbeda dengan gunung lain di tanah Jawa. Gunung Slamet memang bukan gunung yang biasa didaki untuk tujuan wisata, hobi, atau sekedar ingin melainkan pendakian ke puncaknya untuk tujuan semisal supranatural.

(14)

meletus. Keberadaan gunung yang memberikan rasa aman dan tenang itu seakan memberikan keselamatan bagi masyarakat sekitarnya (Pandanaran, 2012: 34 ).

Gunung Slamet yang menjulang tinggi merupakan simbol kehidupan alam di sekitarnya. Banyak yang ingin melakukan pendakian di Gunung Slamet karena rasa ingin tahu mereka dengan keindahan alam yang bisa dilihat dari puncak Gunung Slamet. Namun, apabila akan memasuki kawasan Gunung Slamet harus berhati-hati, karena ketidakhati-hatian itu akan membawa bahaya bagi yang melakukan pendakian. Masyarakat dusun Kantong desa Siremeng meyakini Gunung Slamet adalah gunung yang keramat. Namun, Gunung Slamet sampai sekarang masih digunakan oleh para pecinta alam untuk melakukan pendakian, baik oleh masyarakat setempat lereng Gunung Slamet maupun dari luar Jawa Tengah. Selain itu, untuk pendakian di Gunung Slamet biasanya untuk tujuan-tujuan khusus karena ada alasan spiritual yang mengaitkan adanya mitos, sehingga orang yang akan melakukan pendakian sebaiknya melengkapi beberapa syarat-syarat yang perlu dibawa, yaitu membawa bunga, kemenyan, dan didampingi oleh juru kunci, tetapi untuk sekarang ini tidak dilakukan lagi bagi yang akan melakukan pendakian karena mereka biasanya sudah tahu sebelumnya tentang kejadian-kejadian aneh, namun tidak membahayakan jiwa mereka. Hal tersebut, ada pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh para pendaki. Pantangan adalah larangan-larangan atau sesuatu yang tidak boleh dilakukan.

(15)

pendakian terdapat salah satu pantangan yang memang unik dan harus ditaati oleh para pendaki, yaitu tidak boleh mengeluh dan memegang lutut karena dalam kepercayaan masyarakat setempat bila seorang pendaki mengeluh sambil memegang lututnya, maka tidak akan pernah sampai ke puncak gunung. Dari beberapa mitos tersebut, masih banyak mitos-mitos yang diceritakan oleh masyarakat di dusun Kantong desa Siremeng yang dianggap mengetahuinya. Salah satu bentuk mitos di Gunung Slamet yang masih tetap dipelihara oleh masyarakat di dusun Kantong desa Siremeng adalah adanya upacara ruwat bumi

yang dilakukan di bulan Sura. Di dalam upacara ini satu desa akan menyiapkan dua ekor kambing untuk di korbankan. Kemudian, kepala dan darahnya akan dikuburkan di sekitar Gunung Slamet. Sistem kepercayaan masyarakat dusun Kantong desa Siremeng menciptakan kearifan lokal untuk menjaga kelestarian alam.

Tujuan diadakannya upacara ruwat bumi di Gunung Slamet adalah ucapan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan Sang Bahureksa atau Mbah Slamet yang mengusai Gunung Slamet.

(16)

G. Metode Penelitian

Metode merupakan suatu cara untuk mencapai ilmu pengetahuan. Jika sebuah ilmu tidak mempunyai metode, maka ia tidak layak dikatakan sebagai ilmu. Metode yang digunakan dalan penelitian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah adalah bagaimana seorang sejarawan mengungkap peristiwa yang serba kompleks dalam hal faktor, tokoh, dan kausal (Priyadi, 2013: 48).

Menurut Sartono, (1992:1-4) menyatakan bahwa metode merupakan sebuah cara prosedural untuk berbuat dan mengerjakan sesuatu dalam sebuah sistem yang teratur dan terencana. Jadi, terdapat persyaratan yang ketat dalam melakukan sebuah penelitian, yaitu prosedur yang sistematis.

Adapun langkah-langkah dalam metode sejarah antara lain. 1. Heuristik

(17)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik yang dipaparkan sebagai berikut.

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data, peneliti mengadakan wawancara langsung atau tanya jawab dengan Warsito selaku juru kunci Gunung Slamet. Selain itu, untuk mengetahui biografi Warsito maka peneliti melakukan wawancara dengan keluarga, tetangga dan teman terdekat dari Warsito. Kemudian, pemerintah desa dan masyarakat setempat untuk memperoleh data mengenai peran Warsito di desa Siremeng.

2. Kritik

Setelah data dokumen, manuskrip, artifact, folklor, dan sejarah lisan diperoleh, sejarawan harus melakukan langkah kritik atau verifikasi. Dengan melalui kritik sumber diunginkan agar setiap data-data sejarah yang diberikan oleh informan hendaknya diuji terlebih dahulu validitas dan relibilitasnya sehingga semua data itu sesuai dengan fakta-fakta yang sesungguhnya (Daliman, 2012: 66).

Verifikasi pada penelitian sejarah identik dengan kritik sumber, yaitu kritik ekstern yang mencari otentisitas atau keotentikan (keaslian) sumber dan kritik intern yang menilai apakah sumber itu memiliki kredibilitas (kebiasaan untuk dipercaya) atau tidak (Priyadi, 2011: 75).

3. Interpretasi

(18)

di mana sejarawan melakukan penafsiran terhadap data yang diperoleh. Dalam penulisan sejarah diperlukan dua komponen, yaitu fakta sejarah dan interpretasi. Fakta sejarah cenderung akan diam dan yang membunyikannya adalah sejarawan melalui interpretasi. Fakta yang tidak diinterpretasikan bukanlah sejarah. Ia baru masuk dalam kategori kronik. Interpretasi yang tidak didasarkan fakta merupakan fenomena spekulatif (Priyadi, 2013: 121).

Interpretasi sifatnya subjektif karena ada pemikiran sejarawan, sedangkan fakta sejarah bersifat objektivitas sehingga karya sejarah beersifat objektivitas yang subjektif. Peran terpenting interpretasi adalah menafsirkan atau memberikan makna dan signifikansi relasi fakta-fakta sejarah (Daliman, 2012: 84).

4. Historiografi

Langkah terakhir dalam metode sejarah yaitu penulisan sejarah atau sering disebut historiografi. Historiografi, yaitu penulisan atau penyusunan cerita sejarah. Ketika sejarawan mengerahkan seluruh daya pikirnya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisanya karena ia pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi.

(19)

Pada tahap penulisan, peneliti menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang meliputi masalah-masalah yang harus dijawab. Tujuan penelitian adalah menjawab masalah-masalah yang telah diajukan. Pada hakikatnya, penyajian hitoriografi meliputi pengantar, hasil penelitian, dan simpulan (Priyadi, 2011: 92).

H. Sistematika Penulisan

Penyusunan yang dilakukan dalam sebuah penelitian secara ilmiah harus sesuai dengan sistematika penulisan yang telah ditentukan. Tujuan dari sistematika penukisan ini adalah agar penelitian yang dilakukan dan hasil yang diperoleh dapat lebih sistematis dan terinci dengan baik. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini peneliti membagi kedalam beberapa bagian.

Bab satu pendahuluan, pada bab ini berisi beberapa bagian mengenai gambaran secara singkat pengapa peneliti mengambil tema penelitiannya. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan pendekatan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab dua menguraikan latar belakang sosial budaya dusun Kantong desa Siremeng. Bab ini menerangkan mengenai kondisi geografis, kondisi sosial, budaya, dan agama desa Siremeng.

(20)

Warsito sebagai juru kunci Gunung Slamet, dan pandangan Warsito mengenai Gunung Slamet.

Bab empat berisi tentang peran Warsito sebagai Juru Kunci Gunung Slamet di Dusun Kantong Desa Siremeng Kecamatan Pulosari. Bab ini menjelaskan mengenai peran informan pendakian, peran dalam uacara adat, dan pemimpin rapat atau penasihat sepiritual

Referensi

Dokumen terkait

informasi tentang jenis dan berbagai motif batik store nusantara, dapat melakukan pemesanan batik secara online dengan mendaftarkan data diri pelanggan dan mengisi form

Tujuan dari isi paper ini adalah untuk menganalisa unjuk kerja sistem kompresi citra grayscale asli, apakah informasi data citra hasil rekonstruksi benar-benar dapat

Karyawan akan melakukan segala cara (dedikasi) agar organisasi mampu mencapai kesuksesan. Dalam diri karyawan yang komitmennya tinggi terjadi proses identifikasi, adanya

“Kecuali mengenai Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya, hukum Syarak dan undang-undang diri dan keluarga bagi orang yang menganut agama Islam,

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

Aksi diselenggarakan kelompok afi nitas akan menjadi tujuan akhirnya, namun tindakan kolektif infoshop hanya salah satu dari berbagai tugas yang dibutuhkan untuk mempertahankan

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI