• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KEPADATAN AKAR PADA PENYULINGAN DENGAN KENAIKAN TEKANAN UAP BERTAHAP TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU MINYAK AKAR WANGI YANG DIHASILKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KEPADATAN AKAR PADA PENYULINGAN DENGAN KENAIKAN TEKANAN UAP BERTAHAP TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU MINYAK AKAR WANGI YANG DIHASILKAN"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEPADATAN AKAR PADA PENYULINGAN DENGAN KENAIKAN TEKANAN UAP BERTAHAP TERHADAP

RENDEMEN DAN MUTU MINYAK AKAR WANGI YANG DIHASILKAN

Oleh

Mad Adam Budiansah Fajar F34103071

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGARUH KEPADATAN AKAR PADA PENYULINGAN DENGAN KENAIKAN TEKANAN UAP BERTAHAP TERHADAP

RENDEMEN DAN MUTU MINYAK AKAR WANGI YANG DIHASILKAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Mad Adam Budiansah Fajar F34103071

Dilahirkan pada tanggal 29 Juni 1985 di Bogor, Jawa Barat

Tanggal lulus : 17 Maret 2008

Disetujui, Bogor, 14 Maret 2008

Dosen Pembimbing II, Dosen Pembimbing I,

Ir. Edy Mulyono, MS Ir. Semangat Ketaren, MS NIP. 080.069.909 NIP. 130.516.874

(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Skripsi dengan judul: Pengaruh Kepadatan Akar Pada Penyulingan Dengan Kenaikan Tekanan Uap Bertahap Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Akar Wangi yang Dihasilkan

Adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukkannya.

Bogor,14 Maret 2008 Yang Membuat Pernyataan,

Mad Adam B. Fajar Nrp. F34103071

(4)

Mad Adam B. Fajar. F34103071. Pengaruh Kepadatan Akar Pada Penyulingan Dengan Kenaikan Tekanan Uap Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Akar Wangi yang Dihasilkan. Di Bawah Bimbingan: Ir. Semangat Ketaren, MS dan Ir. Edy Mulyono, MS. 2008

RINGKASAN

Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak atsiri terbesar di dunia. Salah satu jenis minyak atsiri yang menjadi andalan dan telah diusahakan secara komersial adalah minyak akar wangi yang terkenal dengan nama Java vetiver oil. Minyak akar wangi diperoleh dari tanaman akar wangi (Vetiveria zizaniodes STAPF) melalui proses penyulingan. Minyak akar wangi digunakan sebagai fixative agent dalam industri kosmetik dan pewangi karena sifatnya larut dalam alkohol dan dapat dicampur dengan minyak atsiri lainnya.

Volume ekspor minyak akar wangi Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Adanya fluktuasi ini bukan hanya disebabkan oleh kondisi permintaan konsumen atau importir, tetapi juga disebabkan oleh kemampuan produksi dan mutu minyak akar wangi. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dan rendemen minyak akar wangi yang dihasilkan adalah melalui penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap dengan kepadatan akar dalam ketel yang sesuai.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap terhadap rendemen dan sifat fisiko kimia minyak yang dihasilkan. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh kondisi penyulingan terbaik, yang menghasilkan rendemen tertinggi yang kaya akan komponen utamanya dan mutu minyak akar wangi yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Penelitian ini menggunakan akar wangi varietas Pulus Wangi dengan umur panen 11 bulan, yang telah dicuci, dipisahkan dari bonggolnya dan dirajang dengan ukuran 15 sampai 20 cm. Penelitian dilakukan dengan dua tahap. Tahap penelitian pendahuluan adalah karakterisasi akar wangi. Akar wangi yang telah dikeringkan selama 12 jam memiliki kadar air 10.98 % dan kadar minyak 5.6%

(5)

(wb). Tahap penelitian utama adalah penyulingan uap langsung dengan peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar berbeda. Kepadatan akar terdiri dari 3 taraf 0.07 kg/l (A1); 0.09 kg/l (A2) dan 0.11 kg/l (A3). Proses penyulingan dilakukan dengan tekanan uap bertahap dimulai pada tekanan uap 1 bar selama 2 jam dinaikkan menjadi 1.5 bar selama 2 jam, 2 bar selama 2 jam, 2.5 bar selama 1 jam dan terakhir pada 3 bar selama 1 jam. Total waktu penyulingan yang digunakan adalah 8 jam dari destilat menetes.

Berdasarkan hasil analisis keragaman, kepadatan akar tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen dan sifat fisiko kimia minyak akar wangi hasil penyulingan dengan tekanan uap bertahap. Rendemen tertinggi diperoleh pada kepadatan akar 0.09 kg/l, 2.58% (v/w). Warna minyak yang dihasilkan untuk setiap kepadatan akar dominan seragam yaitu jernih kuning kecoklatan.

Peningkatan tekanan uap sejalan dengan penurunan rendemen dan peningkatan bobot jenis, indeks bias, bilangan ester dan bilangan asam. Warna minyak yang dihasilkan setiap peningkatan tekanan uap cenderung bertambah gelap dari tekanan uap awal yaitu dari kuning muda ke kecoklatan. Kepadatan akar pada penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap tidak berpengaruh terhadap nilai kelarutan dalam alkohol 95%, seluruh fraksi larut jernih pada perbandingan 1:1 dan seterusnya.

Kondisi penyulingan terbaik dipilih berdasarkan pembobotan terhadap faktor rendemen dan mutu yang meliputi warna minyak, nilai bilangan ester dan bilangan asam sebagai penentu kerusakan minyak. Perlakuan terbaik yaitu peningkatan tekanan uap bertahap pada kepadatan akar 0.09 kg/l (A2) dengan rendemen tertinggi 2.58% (v/w), bobot jenis (20°C) 1.0176, indeks bias (nD20) 1.5214, bilangan asam 18.48 dan bilangan ester tertinggi 39.1990.

Berdasarkan hasil analisis kromatografi gas, pada fraksi campuran minyak akar wangi hasil penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi 51 puncak komponen. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar pada kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi 47 puncak komponen dan pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar pada kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi 35 puncak komponen.

Berdasarkan hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa (KGSM) teridentifikasi komponen mayor penyusun minyak akar wangi pada penyulingan

(6)

dengan kepadatan akar 0.09 kg/l yaitu trisiklo vetiverol (21.66%), asam khusenat (17.00%), vetiver alkohol (6.79%), alpha vetivone (6.58%), 8,9-dehydro-neoisolongifolene (4.27%), beta vetivone (3.61%) dan zizanol (1.95%). Fraksi pada tekanan uap 1.5 bar kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi komponen mayor yaitu trisiklo vetiverol (25.06%), asam khusenat (17.22%), vetiver alkohol (8.34%), alpha vetivone (7.04%), 8,9-dehydro-neoisolongifolene (3.71%), beta vetivone (4.15%) dan zizanol (2.29%). Fraksi pada tekanan uap 2 bar kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi komponen mayor yaitu trisiklo vetiverol (26.20%), asam khusenat (14.44%), vetiver alkohol (9.02%), alpha vetivone (11.36%), beta vetivone (6.24%) dan zizanol (2.04%).

(7)

Mad Adam B. Fajar. F34103071. The Influence of Root Bulkiness on Distillation by Gradual Increase of Steam Pressure to The Yield and Quality of Vetiver Oil Produced. Supervised by Ir. Semangat Ketaren, MS dan Ir. Edy Mulyono, MS. 2008

SUMMARY

Indonesia is one of the biggest essential oil exporting countries in the world. One of kind essential oil that has been produced commercially in Indonesia is vetiver oil. Vetiver oil is obtained from distillation of Vetiveria zizaniodes STAPF. Vetiver oil is used as fixative agent in cosmetic industry and perfumery due to its soluble characteristic in alcohol and can be mixed with other essential oil.

The exporting volume of Indonesia’s vetiver oil is fluctuated every year. The fluctuation is not only caused by consumer or importer demand but also by the producing capablity and the quality of vetiver oil. To increase quality and yield of vetiver oil, one of the technique that could be use is steam distillation using gradual increase of steam pressure and appropriate bulkiness of vetiver oil in the kettle.

The aims of this research were to know the influence of root bulkiness on distillation by gradual increase of steam pressure to the yield and quality of vetiver oil produced to get the best distillation condition. That it is presumed this technique would achieve the highest yield that is rich in main components and quality that fulfill the Standar Nasional Indonesia.

The research is using Pulus Wangi variety of vetiveria with harvest age of 11 months, has been cleaned, separated from its hump and cut into 15 to 20 cm long. The experiments were conducted in two steps. The first step is characteristic analyzation of vetiveria. The characteristic result shows vetiveria that has been dried for 12 hours content 10.98% (wb) of water and 5.6% (wb) of oil. The second step is steam distillation with gradual increase of steam pressure and different bulkiness. Bulkiness is varied from 0.07 kg/l (A1), 0.09 kg/l (A2) and 0.11 kg/l (A3). Steam distillation process start at 1 bar pressure for 2 hours then increase

(8)

into 1.5 bar for 2 hours, 2 bar for 2 hours, 2.5 bar for 1 hours and last at 3 bar for 1 hours . The total time of steam distillation process is 8 hours from the first drop of distillat.

Based on Analysis of Variance, it is showed that bulkiness does not give significant influence to the yield and the chemical physical characteristics of the vetiver oil produced by gradual steam pressure. The highest yield 2.58% was obtained when bulkiness was 0.09 kg/l, (v/w). The colour vetiver oil of produced each bulkiness are almost the same which is clear and brownish yellow.

The increase of steam pressure is followed with decrease in yield and an increase in specific grafity, refraction index, acid value and ester value. The colour of vetiver oil tend to grow darker ( from light yellow to brownish yellow) as the steam pressure was increased. Bulkiness and increase steam pressure does not give any influence to the solubility value in 95% alcohol.

The best distillation condition is chosen based on the importance of yield and oil quality, which includes oil’s colour, odor, ester value, and acid value. It is concluded that the best treatment is obtained when bulkiness is 0.09 kg/l (A2) with highest yield of 2.58% (v/w), specific grafity (20°) of 1.0176, refraction index (nD20) of 1.5214, acid value of 18.48 and highest ester value of 39.1990.

Based on the analysis with Gas Chromathografy on of vetiver oil by distillation using gradual increase of steam pressure at 0.09 kg/l of bulkiness identified 51 peaks area. At steam pressure 1.5 bar on 0.09 kg/l of bulkiness identified 47 peaks area and at steam pressure 1.5 bar on 0.09 kg/l of bulkiness identified 35 peaks area.

Based on the analysis with Gas Chromathografy Mass Spectro identified the major components of vetiver oil by distillation using gradual increase of steam pressure at 0.09 kg/l of bulkiness, the components are tricsyclo vetiverol (21.66%), vetiver alcohol (6.79%), alpha vetivone (6.58%), beta vetivone (3.61%) and khusenic acid (17.00%). Fraction at steam pressure 1.5 bar on 0.09 kg/l of bulkiness identified the major components are tricsyclo vetiverol (25.06%), khusenic acid (17.22%), vetiver alcohol (8.34%), alpha vetivone (7.04%), 8,9-dehydro-neoisolongifolene (3.71%), beta vetivone (4.15%) and zizanol (2.29%). Fraction at steam pressure 2 bar on 0.09 kg/l of bulkiness identified the major

(9)

components are tricsyclo vetiverol (26.20%), khusenic acid (14.44%), vetiver alcohol (9.02%), alpha vetivone (11.36%), beta vetivone (6.24%) and zizanol (2.04%).

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Mad Adam Budiansah Fajar, dilahirkan di Bogor pada tanggal 29 Juni 1985, sebagai putra pertama dari pasangan Ayah Mad Yusuf Kosim dan Ibu Soekini Yusuf. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Al Abror Bogor (1990-1991), SD Al Ghazaly Bogor (1991-1997), SLTPN 7 Bogor (1997-2000), dan SMUN 5 Bogor (2000-2003). Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama studi di IPB penulis aktif dalam keorganisasian dan pernah menjadi pengurus HIMALOGIN sebagai anggota pada Departemen Enterpreneurship (2004-2005) , pengurus Paduan Suara Fateta (2005-2007), anggota Agriaswara IPB (2006) dan menjadi Asisten Teknologi Minyak Atsiri dan Kosmetika (2007). Penulis telah melaksanakan Praktek Lapang (2006) pada industri penyulingan minyak nilam rakyat di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang berjudul Studi Regional Aspek Pasca Panen dan Penyulingan Minyak Nilam di Kabupaten Dati II Banyumas, Jawa Tengah. Penulis menyelesaikan sripsi yang berjudul Pengaruh Kepadatan Akar Pada Penyulingan Dengan Kenaikan Tekanan Uap Bertahap Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Akar Wangi yang Dihasilkan.

(11)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya kepada:

1. Ayah dan Ibu serta adik-adikku tercinta Azi dan Almi yang selalu berdoa serta memberikan dukungan baik materi maupun spiritual dan kasih sayangnya.

2. Ir. Semangat Ketaren, MS. sebagai dosen pembimbing pertama atas bimbingan dan arahannya.

3. Ir. Edy Mulyono, MS. staf peneliti pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor sebagai dosen pembimbing kedua atas kesempatan yang telah diberikan.

4. Prayoga Suryadarma, STP, MT. sebagai dosen penguji atas kritik dan sarannya.

5. Para laboran dan teknisi pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian; Bapak Adom, Bapak Bambang dan Dani.

6. Para laboran Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB. 7. Irawan, Mona, Yuyu, Acie, Ika teman satu bimbingan.

8. Ides, Fardian, Detri, Luci, Sylvi, Devi, Widia, Yuvi, Adit, Mayang, Imam, Umi, Endah, Amet, Ratih, Derry, Mas Hari, Umam, Badai, Farah, Endang, Agung, Dita, Rae, Rian, Mamin, Helmi, Hendrik untuk segala bantuannya. 9. Keluarga besar TIN 40 untuk doa dan dukungannya.

Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, 14 Maret 2008

(12)

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... B. TUJUAN PENELITIAN ... II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN AKAR WANGI ... B. MINYAK AKAR WANGI

1. Komposisi dan Sifat Fisiko Kimia Minyak Akar Wangi ... 2. Kegunaan Minyak Akar Wangi ... 3. Mutu Minyak Akar Wangi ... C. PENYULINGAN

1. Teori Dasar Distilasi ... 2. Perlakuan Pendahuluan Terhadap Akar Wangi ... 3. Penyulingan Minyak Akar Wangi ... 3. Kondisi Penyulingan

a. Peralatan Penyulingan ... b. Kondisi Bahan dalam Ketel (Kepadatan Akar) ... c. Pengaruh Tekanan Uap ... 4. Perlakuan Minyak Setelah Penyulingan ... III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan ... 2. Alat ... B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan xi xii xv xvi xviii 1 3 4 5 10 10 13 14 15 16 17 17 18 19 19

(13)

a. Karakterisasi Akar Wangi ... b. Kondisi Penyulingan b.1. Kepadatan Akar ... b.2. Tekanan Uap ... b.3. Suhu ... b.4. Laju Destilat ... 2. Penelitian Utama ... C. ANALISIS MUTU MINYAK AKAR WANGI ... D. ANALISIS DATA ... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

1. Karakterisasi Akar Wangi ... B. PENELITIAN UTAMA

1. Fraksi Minyak Campuran

a. Rendemen ... b. Mutu b.1. Warna ... b.2. Bau ... b.3. Bobot Jenis ... b.4. Indeks Bias ... b.5. Bilangan Asam ... b.6. Bilangan Ester ... b.7. Kelarutan Dalam Etanol 95% ... b.8. Kromatografi Gas (KG) ... b.9. Kromatografi Gas Spektrometsi Massa (KGSM) ... 2. Fraksi Tiap Tekanan Uap

a. Rendemen ... b. Mutu b.1. Warna ... b.2. Bau ... b.3. Bobot Jenis ... b.4. Indeks Bias ... 22 22 23 24 24 24 27 27 28 29 31 32 33 34 35 37 38 39 41 44 46 48 48 49

(14)

b.5. Bilangan Asam ...

b.6. Bilangan Ester ... b.7. Kelarutan Dalam Etanol 95% ... b.8. Kromatografi Gas (KG) ... b.9. Kromatografi Gas Spektrometsi Massa (KGSM) ... V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ... B. SARAN ... DAFTAR PUSTAKA ... 50 52 53 53 57 71 72 73

(15)

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10.

Perkembangan ekspor impor minyak akar wangi 2001-2005 ….. Sifat fisik vetivon ... Standar mutu minyak akar wangi ... Hasil analisis kromatografi gas minyak akar wangi pada penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l ... Hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa minyak akar wangi pada penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l ... Perbandingan hasil kromatografi gas minyak akar wangi fraksi campuran, fraksi pada tekanan uap 1.5 bar dan fraksi pada tekanan uap 2 bar ... Hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar ... Hasil analisis kromatografi gas spektrometri fraksi massa dengan tekanan uap 2 bar ... Perbandingan hasil kromatografi gas spektrometri massa fraksi campuran, fraksi pada tekanan uap 1.5 bar dan fraksi pada tekanan uap 2 bar ... Distribusi luas area KGSM komponen mayor minyak akar wangi pada fraksi campuran, fraksi tekanan uap 1.5 bar dan fraksi tekanan uap 2 bar ...

1 7 13 40 41 54 57 60 63 69

(16)

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18.

Tanaman akar wangi ... Struktur molekul vetivon ... Struktur molekul khusimol ... Struktur molekul khusol ... Struktur molekul vetikadinol ... Struktur molekul vetiverol ... Boiler ... Ketel suling uap langsung ... Separator oil ... Sketsa peralatan penyulingan uap ... Diagram alir penyulingan akar wangi ... Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap rendemen minyak Akar wangi yang dihasilkan ... Penampilan warna minyak akar wangi setiap kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap ... Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap bobot jenis 20°C minyak akar wangi yang dihasilkan ... Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap indeks bias nD20 minyak akar wangi yang dihasilkan ... Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap bilangan asam minyak akar wangi yang dihasilkan ... Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan uap dengan tekanan uap bertahap terhadap bilangan ester minyak akar wangi yang dihasilkan ... Grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap

4 7 8 8 8 9 20 20 21 22 26 29 32 33 35 36 37

(17)

Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23. Gambar 24.

bertahap dan kepadatan akar terhadap rendemen minyak akar wangi yang dihasilkan ... Grafik hubungan antara waktu penyulingan dan rendemen yang dihasilkan pada setiap peningkatan tekanan uap pada kepadatan akar berbeda ... Penampilan warna minyak akar wangi setiap peningkatan tekanan uap dari kepadatan akar 0.07 kg/l (A), 0.09 kg/l (B) dan 0.11 kg/l (C) ... Grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap bobot jenis 20°C minyak akar wangi yang dihasilkan ... Grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap indeks bias nD2 0 minyak akar wangi yang dihasilkan ... Grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap bilangan asam minyak akar wangi yang dihasilkan ... Histogram hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap bilangan ester minyak akar wangi yang dihasilkan ...

45 46 47 48 50 51 52

(18)

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10.

Prosedur pengujian minyak akar wangi …... Rekapitulasi hasil analisa sifat fisiko kimia minyak akar wangi hasil penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar berbeda (2 kali ulangan) …… Rekapitulasi hasil analisa sifat fisko kimia fraksi minyak campuran (tekanan uap 0 sampai 3 bar) ... Data perhitungan kadar air dan kadar minyak akar wangi ... Data penyulingan dan pengamatan selama penyulingan yang meliputi laju destilat, suhu destilat dan suhu dalam ketel .... Hasil uji analisis keragaman pengaruh kepadatan akar hasil penyulingan uap langsung dengan tekanan uap bertahap (fraksi minyak campuran) ... Pola kromatogram gas minyak akar wangi penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l (fraksi minyak campuran) ... Pola kromatogram gas minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 1.5 bar dengan kepadatan akar 0.09 kg/l ...… Pola kromatogram gas minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 2 bar dengan kepadatan akar 0.09 kg/l ... Identifikasi pola fragmentasi spektrum massa minyak akar wangi fraksi campuran, fraksi 1.5 bar dan fraksi 2 bar hasil penelitian dengan literatur abraham (2002) …...

78 86 88 89 90 93 94 95 96 97

(19)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sebagai salah satu pusat penghasil minyak atsiri terbesar di dunia, Indonesia menghasilkan 40 jenis dari 70 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar dunia. Dari jumlah tersebut, 11 jenis telah memasuki pasar atsiri dunia, yaitu nilam, serai wangi, cengkeh, jahe, pala, lada, cendana, melati, akar wangi, kenanga, dan kayu putih (Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2006).

Salah satu jenis minyak atsiri yang telah diusahakan secara komersial adalah minyak akar wangi yang terkenal dengan nama Java vetiver oil. Minyak akar wangi diperoleh dari tanaman akar wangi (Vetiveria zizaniodes STAPF) melalui proses penyulingan. Minyak akar wangi digunakan sebagai fixative agent dalam industri kosmetik dan pewangi karena sifatnya larut dalam alkohol dan dapat dicampur dengan minyak atsiri lainnya.

Di Indonesia, daerah penghasil minyak akar wangi terbesar adalah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Menurut catatan yang ada pada Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat tahun 2007, produksi minyak akar wangi dari Kabupaten Garut, memasok 90 % lebih dari total produksi akar wangi nasional atau sekitar 60-70 ton per tahun (www.jabarprov.go.id). Pada Tabel 1 dapat dilihat perkembangan ekspor impor minyak akar wangi tahun 2001 sampai 2005.

Tabel 1. Perkembangan ekspor impor minyak akar wangi 2001-2005

Ekspor Impor

Tahun

Vol (kg) Nilai (US$) Vol (kg) Nilai (US$)

2001 1.583.798 1.759.241 2.312 43.728 2002 79.714 1.973.451 2.572 46.312 2003 45.821 1.428.682 2.465 18.680 2004 58.444 2.445.744 2.231 51.308 2005 74.210 1.544.618 532 22.890 Sumber: www.deptan.go.id

Dari tabel perkembangan ekspor impor minyak akar wangi Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Adanya fluktuasi ini bukan hanya

(20)

disebabkan oleh kondisi permintaan konsumen atau importir, tetapi juga disebabkan oleh kemampuan produksi dan mutu minyak akar wangi.

Rendahnya mutu minyak akar wangi Indonesia merupakan akumulasi dari mutu bahan baku tanaman atsiri yang rendah dan tidak seragam, penggunaan alat penyuling dan teknologi proses yang belum terstandar, kurangnya insentif harga bagi minyak akar wangi yang bermutu baik serta harga akar wangi yang ditentukan oleh pergerakan harga bahan bakar untuk penyulingan (Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2006).

Usaha peningkatan mutu minyak perlu dilakukan karena ekspor minyak akar wangi selain ditentukan oleh volume permintaan juga ditentukan oleh mutunya. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dan rendemen minyak akar wangi yang dihasilkan melalui penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap dengan kepadatan akar dalam ketel yang sesuai.

Berdasarkan penelitian Harjono dan Rusli (1973) pada penyulingan minyak akar wangi dengan kepadatan akar 0.07 kg/l dengan waktu penyulingan 20 jam menghasilkan rendemen tertinggi sebesar 2.02%. Sukirman dan Aiman (1979) menyatakan kepadatan bahan dalam ketel suling berhubungan dengan penetrasi uap, kapasitas ketel dan efisiensi uap.

Guenther (1952) menyatakan, minyak akar wangi terdiri atas komponen bertitik didih rendah dan tinggi. Penyulingan pada tekanan rendah (<1 bar) mengakibatkan uap terkondensasi menjadi air kembali pada tumpukan bahan. Penyulingan pada tekanan tinggi (≥1 bar) akan meningkatkan suhu, uap akan berpenetrasi terhadap bahan lebih efektif dan akan mempercepat proses difusi. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan proses hidrolisis dan dekomposisi minyak. Agar diperoleh minyak bermutu tinggi, maka perlu dilakukan penyulingan dengan kenaikan tekanan uap bertahap.

Dengan demikian diharapkan pada kepadatan akar ideal dan penyulingan dengan kenaikan tekanan uap bertahap akan menghasilkan minyak akar wangi bermutu baik dengan rendemen tertinggi dan waktu penyulingan lebih singkat.

(21)

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi yang dihasilkan. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh kondisi penyulingan terbaik, yang menghasilkan rendemen tertinggi yang kaya akan komponen utamanya dan mutu minyak akar wangi yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN AKAR WANGI

Tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides STAPF) termasuk famili Gramineae atau Poaceae, kelas Monocotyledonae, phylum Angiospermae dan divisio Anthophyta. Akar tanaman ini tumbuh merumpun, lebat, akar tinggalnya bercabang banyak dengan warna kuning pucat atau abu-abu sampai merah tua. Dari akar tinggal tersembul tangkai yang tingginya dapat mencapai 200 cm. Daunnya tampak kaku, berwarna hijau sampai kelabu, panjangnya 75-100 cm dan tidak mengandung minyak (Lutony dan Rahmayanti, 1994). Menurut Guenther (1972), tanaman akar wangi di Pulau Jawa tidak berbunga sehingga termasuk Andropogon muricatus RENZ. Umumnya jenis yang tidak berbunga menghasilkan rendemen minyak yang relatif lebih tinggi. Pada Gambar 1 dapat dilihat tanaman akar wangi.

Gambar 1. Tanaman akar wangi

Tanaman akar wangi cocok tumbuh di tanah yang berpasir (antosol) atau tanah abu vulkanik dilereng-lereng bukit. Pada tanah tersebut akar tanaman panjang dan lebat serta akar akan mudah dicabut tanpa ada yang tertinggal atau hilang (Santoso, 1997). Menurut Heyne (1987), tanaman ini tumbuh baik dengan curah hujan 2000-3000 mm tiap tahun dan masih tetap tumbuh jika selama dua bulan tidak turun hujan. Suhu udara yang dikehendaki 17-27°C.

Rumpun tanaman akar wangi terdiri dari sejumlah akar-akar halus, berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai kemerahan, yang mengandung

(23)

minyak atsiri berwujud kental dengan bau halus dan tahan lama (Ketaren, 1985). Menurut Heyne (1987), pada akar wangi hanya bagian akar yang mengandung minyak, sedangkan daun dan bagian lain tidak mengandung minyak.

Umur panen sangat menentukan rendemen dan mutu minyak yang dihasilkan. Sistem perakaran tanaman akar wangi telah mengalami perkembangan yang penuh setelah berumur 24 bulan. Akar yang telah mencapai umur tersebut mempunyai mutu minyak yang tinggi, akan tetapi kadar minyak atsiri dalam akar akan menurun (Guenther, 1952).

Akar yang muda berpenampilan kurus, hampir seperti rambut, jika dicabut mudah putus dan tinggal di dalam tanah. Penyulingan akar tersebut akan menghasilkan minyak dengan bobot jenis dan putaran optik yang rendah. Akar yang lebih tua, lebih tebal dan bercabang-cabang menghasilkan bobot jenis dan putaran optik lebih tinggi dan aroma yang dihasilkan lebih lengkap dan tahan lama. Ciri-ciri akar pada berbagai tingkat umur panen adalah (a) panen pada umur kurang dari 10 bulan ciri akarnya lunak, coklat, keputih-putihan dan rapuh; (b) panen umur 10-12 bulan akarnya besar-besar warna coklat tetapi rapuh; (c) umur 14-18 bulan akarnya keras, besar kenyal dan berwarna coklat (Anonimous, 1987). Minyak yang diperoleh dari akar tua warnanya lebih gelap daripada yang berasal dari akar muda (Tasma et al., 1990). Ketaren (1985) menyebutkan bahwa penyulingan akar wangi yang kering menghasilkan rendemen minyak sekitar 1.5-2.0 persen, sedangkan akar segar menghasilkan rendemen yang lebih rendah.

B. MINYAK AKAR WANGI

1. Komposisi dan Sifat Fisiko Kimia Minyak Akar Wangi

Komposisi kimia yang terdapat dalam minyak akar wangi berdasarkan hasil penelitian Adhika (2004), melaporkan bahwa hasil pengujian KGSM (Kromatografi Gas Spektrometri Massa) pada minyak akar wangi penyulingan tradisional di Desa Bayongbong, Garut diperoleh senyawa trisiklo vetiverol sebagai komponen terbesar minyak akar wangi yaitu dengan konsentrasi sebesar 9.72%, disusul β-vetivon, cycloisolongifolene

(24)

dan α-vetivon dengan konsentrasi masing-masing sebesar 6.29%, 5.77% dan 5.75%. Terdapat 29 komponen yang teridentifikasi dalam minyak akar wangi melalui KGSM. Hasil analisa KGSM menunjukkan bahwa kadar vetiverol (vetiverol total) sebesar 30.74%, seskuiterpen keton (vetivon total) sebesar 12.04%. Jika dijumlahkan antara seskuiterpen alkohol (vetiverol total) dan seskuiterpen keton (vetivon total) yang kedua golongan merupakan seskuiterpen-O (hidrokarbon-O), maka pada minyak akar wangi penyulingan tradisional di Desa Bayongbong, Garut diperoleh jumlah seskuiterpen-O sebesar 42.78%.

Abraham (2002), menyebutkan bahwa berdasarkan pola fragmentasi spektrum massa pada minyak akar wangi asal Bone dapat diidentifikasi puncak-puncak yang diduga sebagai komponen bisiklo vetiverol, khusimol, trisiklo vetiverol, vetiver alkohol, beta vetivon dan alpha vetivon.

Berdasarkan Champagnat et al. (2006) dari hasil penelitiannya melaporkan komposisi kimia dari minyak akar wangi (Vetiveria zizanioides (L.) Nash ) dari sembilan negara: Brazil, China, Haiti, India, Jawa (Indonesia), Madagaskar, Meksiko, Reunion dan Salvador. Dari hasil analisis KGSM, telah teridentifikasi sekitar 110 komponen pada minyak akar wangi dan komponen utamanya merupakan seskuiterpen. Karakteristik komponennya yaitu β-vetispirene (1.6-4.5%), khusimol (3.4-13.7%), vetiselinenol (1.3- 7.8%) dan α-vetivone (2.5- 6.3%).

Komponen utama minyak akar wangi adalah vetivon yang terdiri dari alpha dan beta vetivon, dan bau minyak akar wangi terutama disebabkan persenyawaan keton. Rumus molekul dari vetiveron adalah C15H22O, berat molekul 218.33 (Guenther, 1972). Komposisi kimia minyak akar wangi terdiri dari terpen, seskuiterpen (vetiven) dan senyawa hidrokarbon beroksigen (Ketaren, 1985).

Senyawa-senyawa utama yang terdapat pada minyak akar wangi adalah sebagai berikut:

1. Vetiven

Komponen terbanyak alam minyak akar wangi adalah vetiven (C15H24), dengan berat molekul 204.34. Senyawa ini terdiri dari

(25)

seskuiterpen bisiklik dan trisiklik. Senyawa bisiklik mempunyai titik didih antara 132 sampai 133°C, indeks bias pada n15

D sebesar 1.5179 dan bobot jenis 0.9339. Sedangkan senyawa bisiklik bertitik didih antara 126 sampai 127°C, indeks bias n15

D 1.5143 dan bobot jenis 0.9372. Senyawa ini jarang digunakan dalam industri (Guenther, 1972).

2. Vetivon

Senyawa yang paling utama dalam minyak akar wangi adalah vetivon. Stereoisomer senyawa ini terdiri dari α dan β- vetivon. Senyawa

α-vetivon mempunyai bau yang sangat wangi, yang merupakan penentu utama bau khas dari minyak akar wangi (Buchi, 1978). Pada Gambar 2 dapat dilihat struktur molekul vetivon dan pada Tabel 2 sifat fisik vetivon.

α-vetivon β-vetivon

Gambar 2. Struktur molekul vetivon (Akhila dan Rani, 2002). Tabel 2. Sifat fisik vetivon

Parameter α-vetivon β-vetivon

Putaran optik Indeks bias (20°C) Bobot jenis (20°C) Titik didih Titik leleh +23.8°15΄ 1.5370 1.0030 144.0-144.5°C 51.0-51.5 -38°55΄ 1.5309 1.0001 141.0-142.0°C 44.0-44.5 Sumber: Guenther (1972) 3. Khusimol

Senyawa khusimol termasuk terpen-O dalam minyak akar wangi, berat molekul 220.35 dan rumus bangun C15H24O. Khusimol merupakan seskuiterpen trisiklik yang mempunyai indeks bias pada suhu 24°C sebesar

(26)

1.5183 (Champagnat et al., 2006). Pada Gambar 3 dapat dilihat struktur molekul khusimol.

Gambar 3. Struktur molekul khusimol (Akhila dan Rani, 2002). 4. Khusol

Khusol mempunyai berat molekul 220, rumus molekul C15H24O termasuk terpen-O bisiklik. Titik lelehnya 101-2°C, putaran optik pada suhu 27°C sebesar -137°, titik didih 155°C dan indeks bias pada suhu 27°C sebesar 1.5060 (Siregar, 1993). Pada Gambar 4 dapat dilihat struktur molekul khusol.

Gambar 4. Struktur molekul khusol (Akhila dan Rani, 2002). 5. Vetikadinol

Senyawa ini merupakan terpen-O di dalam minyak akar wangi, dengan berat molekul 222.37, isomer bisiklik vetiverol, titik leleh 111.5-116.1°C dan titik didih 110+12°C pada tekanan 0.8 atmosfer. Pada Gambar 5 dapat dilihat struktur molekul vetikadinol.

(27)

6. Eudesmol (Selineol, Atraktilol)

Senyawa ini terdiri dari tiga stereoisomer yaitu α, β, τ- eudesmol. Rumus molekulnya C15H26O dan berat molekul 222.37 (Siregar, 1993).

7. Vetivazualen

Senyawa ini termasuk senyawa terpen, dengan rumus molekul C15H18, berat molekul 198, titik leleh 31.5°C pada suhu 32°C dan titik didih 140°C (Guenther, 1972).

8. Vetiverol (Vetivenol)

60% minyak terdiri atas seskuitrpen alkohol yang terdiri dari campuran alkohol primer yang sebagian besar mencakup alkohol trisiklis (C15H24O)) dan hanya sebagian kecil alkohol bisiklis (C15H26O) (Yoshiro, 1976). Menurut Moestafa dan Moermanto (1988), peningkatan kadar vetiverol di dalam minyak akar wangi sekaligus meningkatkan mutu minyak akar wangi. Pada Gambar 6 dapat dilihat struktur molekul vetiverol.

Gambar 6. Struktur molekul vetiverol 9. Asam palmitat

Minyak akar wangi mengandung komponen asam palmitat, merupakan isomer cis, titik leleh 15-18°C, indeks bias pada suhu 20°C adalah 1.4593 dan rumus molekul CH3(CH2)14COOH(Guenther, 1972).

10. Asam vetivenat

Asam vetivenat merupakan senyawa yang memiliki rumus molekul C15H22O2 dan berat molekul 234. Reaksi esterifikasi antara asam vetivenat dengan vetiverol menghasilkan suatu senyawa ester pada minyak akar wangi yang disebut sebagai vetivenil vetivenat.

(28)

2. Kegunaan Minyak Akar Wangi

Minyak akar wangi merupakan minyak atsiri yang dapat dihasilkan dari tanaman akar wangi. Minyak akar wangi Indonesia dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama Java vetiver oil. Minyak ini mempunyai aroma yang lembut dan halus disebabkan oleh ester, asam vetivenat, vetiverone serta vetiverol yang saat ini belum dapat dibuat secara sintesis (Tasma et al., 1990).

Minyak akar wangi secara luas digunakan sebagai bahan kosmetika, pewangi sabun, pembuatan parfum dan obat-obatan serta pencegah serangga. Disamping memberikan aroma yang menyegarkan, sekaligus sebagai bahan pengikat zat pewangi (fixative agent) karena mempunyai daya fiksasi yang kuat (Akhila dan Rani, 2002). Menurut Ketaren (1985), fixative agent dalam minyak akar wangi disebabkan karena minyak akar wangi terdiri dari komponen fraksi berat yang titik didihnya tinggi sehingga baik digunakan sebagai fiksatif dalam pembuatan parfum dan membentuk wangi yang serasi dengan bahan pewangi dalam ramuan.

3. Mutu Minyak Akar Wangi

Mutu minyak akar wangi dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu jenis atau varietas tanaman, umur panen, perlakuan akar setelah panen, cara penyulingan, kontruksi peralatan penyulingan serta pemisahan, pengemasan dan penyimpanan.

Umur panen akar wangi berpengaruh terhadap rendemen minyak yang dihasilkan. Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis dari penyuling minyak akar wangi di Kabupaten Garut, minyak akar wangi yang bermutu baik dipanen dari akar berumur 12 bulan. Jenis varietas terbaik adalah Pulus Wangi yang ditanam pada tanah vulkanik pada ketinggian 1500 meter dari atas permukaan laut. Varietas ini menghasilkan rendemen minyak sebesar 0.8% sampai 1.0% (v/w) dari akar basah

Perlakuan akar wangi setelah panen harus diperhatikan. Akar wangi yang baru dipanen sebaiknya langsung dibersihkan dan dicuci. Pencucian akar wangi setelah panen bertujuan untuk menghilangkan sebagian tanah

(29)

yang menempel pada akar. Penyulingan akar wangi tanpa pencucian terlebih dahulu akan menurunkan rendemen dan mutu akar wangi yang dihasilkan karena sebagian tanah ikut dalam proses penyulingan.

Setelah akar wangi dibersihkan dan dicuci kemudian dilakukan pengeringan. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan sebagian air dalam bahan, sehingga proses penyulingan lebih mudah dan singkat. Pengeringan sebaiknya dilakukan selama 12 jam dibawah sinar matahari langsung atau pada kadar air 15% sampai 25%. Pengeringan yang terlalu cepat dapat menyebabkan penguapan minyak, dan pengeringan yang terlambat akan mengundang timbulnya cendawan sehingga kualitas minyak akar wangi menjadi rendah.

Sebelum dilakukan proses penyulingan sebaiknya akar wangi dirajang terlebih dahulu. Perajangan bertujuan memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan, memperluas permukaan suling dari bahan dan mengurangi sifat kamba. Apabila bahan dibiarkan utuh, kecepatan proses penyulingan minyak hanya bergantung pada proses difusi yang relatif berlangsung sangat lambat (Guenther, 1972). Tetapi proses perajangan ini juga memiliki beberapa kelemahan salah satu diantaranya adalah komposisi minyak akan berubah. Hal ini dapat terjadi karena minyak akar wangi terdiri dari campuran yang mengandung komponen yang mudah menguap (Gusmalini, 1987). Perajangan akar wangi dilakukan pada ukuran 15-20 cm.

Waktu penyulingan yang cukup lama akan menghasilkan komponen minyak dengan titik didih tinggi, yang menjadi penentu nilai dan bau minyak. Berdasarkan hasil penelitian Hardjono dan Rusli (1973) diketahui bahwa perpanjangan waktu penyulingan akan menaikkan bilangan asam, bilangan ester dan kandungan vetiverol dalam minyak akar wangi. Sedangkan pemadatan bahan dalam ketel akan mengakibatkan penurunan ketiga parameter tersebut.

Kerusakan yang sering terjadi pada minyak akar wangi adalah kerusakan komponen kimia, yang disebabkan proses hidrolisa, oksidasi, resinifikasi, pencampuran dengan bahan lain dan pencemaran oleh wadah kemasan (Ketaren, 1985). Kerusakan karena proses hidrolisa terjadi karena

(30)

penggunaan tekanan yang tinggi (5 sampai 6 bar). Tekanan yang tinggi akan menaikkan suhu dalam ketel sehingga proses hidrolisis sering terjadi. Hidrolisis terjadi dalam minyak atsiri yang mengandung ester, dimana ester akan terhidrolisa secara sempurna dengan adanya air sebagai katalisator. Asam organik hasil hidrolisa ester yang terdapat secara alamiah, dapat bereaksi dengan ion logam dan membentuk garam, yang mengakibatkan minyak berubah menjadi gelap.

Menurut Ketaren (1985), reaksi oksidasi pada minyak atsiri terutama terjadi pada ikatan rangkap dalam terpen. Peroksida sebagai hasil reaksi oksidasi, bersifat labil dan mudah terurai membentuk senyawa aldehida, dan asam organik yang menyebabkan perubahan bau ke arah yang tidak dikehendaki.

Beberapa fraksi dalam minyak atsiri dapat membentuk resin. Resin ini dapat terbentuk selama proses penyulingan yang menggunakan tekanan dan suhu tinggi, serta selama penyimpanan. Resin yang terbentuk sukar larut dalam alkohol, sehingga membentuk dispersi dan menyebabkan minyak menjadi keruh atau berupa endapan dalam minyak atsiri (Ketaren, 1985).

Suhu dan tekanan yang terlalu tinggi, dapat menyebabkan minyak yang dihasilkan berwarna gelap, memberi kesan gosong (burnt note) dan bermutu rendah, akibat degradasi senyawa kimia dalam minyak.

Wadah kemasan dapat menurunkan mutu minyak yang dikemas. Hal ini disebabkan karena jenis bahan kemasan tertentu dapat bereaksi dengan minyak akar wangi, sehingga menghasilkan warna tertentu, atau bahan kemasan itu sendiri mengandung kotoran (Rohayati, 1997).

Penilaian mutu minyak akar wangi dilakukan dengan menganalisa sifat fisiko kimia. Tujuan menganalisa sifat fisiko kimia adalah untuk mendeteksi adanya pemalsuan, mengevaluasi kemurnian minyak dan mengidentifikasi jenis dan kegunaan minyak. Standar mutu minyak akar wangi dapat dilihat pada Tabel 3.

(31)

Tabel 3. Standar mutu minyak akar wangi

Karakteristik Satuan Syarat

Warna Kuning muda sampai coklat kemerahan

Bobot jenis 20/20°C derajat 0.978-1.038

Indeks bias (nD25) - 1.513-1.528

Kelarutan dalam etanol 95% % 1:1 jernih dan seterusnya jernih

Bilangan asam*) - 8-35

Bilangan ester - 5-25

Bilangan ester setelah asetilasi - 100-150

Zat asing: Lemak Minyak pelikan Alkohol tambahan Negatif Negatif Negatif Sumber: SNI 06-2386-1991 *) Guenther (1972)

C. PENYULINGAN AKAR WANGI 1. Teori Dasar Distilasi

Unit operasi distilasi merupakan metode yang digunakan untuk memisahkan komponen-komponen yang terdapat dalam suatu larutan atau campuran dan tergantung pada distribusi komponen-komponen tersebut antara fasa uap dan fasa cair. Semua komponen tersebut terdapat dalam fasa cairan dan uap. Fasa uap terbentuk dari fasa cair melalui penguapan (evaporasi) pada titik didihnya (Geankopolis, 1983).

Syarat utama dalam operasi pemisahan komponen-komponen dengan cara distilasi adalah komposisi uap harus berbeda dari komposisi cairan dengan terjadi keseimbangan larutan-larutan, dengan komponen-komponenya cukup dapat menguap. Suhu cairan yang mendidih merupakan titik didih cairan tersebut pada tekanan atmosfer yang digunakan (Geankopolis, 1983)

Titik didih dapat didefinisikan sebagai nilai suhu pada tekanan atmosfir atau pada tekanan tertentu lainnya, dimana cairan akan berubah

(32)

menjadi uap atau suhu pada tekanan uap dari cairan tersebut sama dengan tekanan gas atau uap yang berada disekitarnya. Jika dilakukan proses penyulingan pada tekanan atmosfir maka tekanan uap tersebut akan sama dengan tekanan air raksa dalam kolom setinggi 760 cmHg. Berkurangnya tekanan pada ruangan di atas cairan akan menurunkan titik didih, sebaliknya peningkatan tekanan diatas permukaan cairan akan menaikkan titik didih cairan tersebut (Guenther, 1947).

2. Perlakuan Pendahuluan Terhadap Akar Wangi

Perlakuan pendahuluan harus dilakukan sebelum proses penyulingan. Perlakuan terhadap akar wangi meliputi pembersihan, pencucian, pengeringan dan perajangan.

Akar wangi yang baru dipanen dipotong daunnya, dibersihkan, dicuci dan kemudian dikeringkan dengan menjemur langsung dibawah sinar matahari atau diangin-aginkan pada tempat yang agak teduh. Pengeringan akar wangi dilakukan sampai kadar air 15-25%. Kerusakan dinding sel selama pengeringan memudahkan pengeluaran minyak, sehingga waktu penyulingan lebih singkat. Guenther (1972), menyatakan bahwa selama pengeringan terjadi pergerakan air yang menyebabkan kehilangan minyak. Sedangkan Thorpe (1947) mengemukakan bahwa pengeringan dapat menaikkan rendemen meskipun sebagian minyak menguap selama pengeringan.

Sebelum disuling akar harus dilepaskan dari bonggolnya lalu dirajang sehingga berbentuk potongan akar yang pendek (Rusli et al., 1990). Proses perajangan bertujuan untuk memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan, memperluas permukaan suling untuk mengurangi sifat kamba. Perajangan dilakukan dengan ukuran 15-20 cm.

Akar wangi dapat disuling dalam keadaan segar maupun kering. Minyak yang dihasilkan dari akar segar, mutu dan rendemennya lebih rendah dari akar pada kering (Rusli et al., 1990). Menurut Rusli et al. (1985), rendemen minyak akar wangi segar dan kering yang disuling

(33)

melalui sistem kukus dengan lama penyulingan sekitar 18 jam, masing-masing adalah 0.4-0.5% dan 1.6-2.1%.

3. Penyulingan Minyak Akar Wangi

Akar wangi diekstrak dengan cara penyulingan uap langsung. Penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari dua macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan titik uapnya. Proses ini dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut dalam air (Ketaren, 1985).

Penyulingan uap langsung hampir sama dengan penyulingan uap dan air, namun antara ketel uap dan ketel penyulingan terpisah. Ketel uap yang berisi air dipanaskan kemudian uapnya akan mengalir ke dalam ketel yang berisi bahan baku. Partikel-partikel minyak pada bahan baku terbawa bersama uap dan dialirkan ke alat pendingin. Di dalam alat pendingin terjadi pengembunan sehingga uap air yang bercampur dengan minyak akan mengembun dan mencair kembali. Selanjutnya, dialirkan ke alat pemisah yang akan memisahkan minyak atsiri dari air.

Menurut Ketaren (1985), penyulingan dengan uap langsung sebaiknya dimulai dengan tekanan uap yang rendah (kurang lebih 1 atmosfir), kemudian secara berangsur-angsur tekanan uap dinaikkan menjadi kurang lebih 3 atmosfir. Jika permulaan penyulingan dilakukan pada tekanan tinggi, maka komponen kimia terutama golongan terpen dalam minyak akan mengalami dekomposisi. Jika minyak dalam bahan dianggap sudah habis tersuling, maka tekanan uap perlu diperbesar lagi dengan waktu yang lebih singkat dengan tujuan untuk menyuling komponen minyak yang bertitik didih tinggi. Lama penyulingan akar wangi dengan metode kukus dan uap langsung dengan penggunaan tekanan berkisar antara 10 sampai 12 jam.

(34)

4. Kondisi Penyulingan a. Peralatan Penyulingan

Peralatan dasar yang digunakan untuk penyulingan minyak akar wangi yaitu ketel suling (retort), pendingin (kondensor), dan penampung hasil minyak (separator). Disamping itu peralatan juga dilengkapi dengan ketel uap (boiler) sebagai sumber panas. Ketel suling adalah tempat bahan yang akan disuling dan bahan dapat berhubungan langsung dengan air atau dengan uap. Ketel suling yang paling sederhana berbentuk silinder (tangki), yang mempunyai diameter kurang lebih sama dengan ukuran tingginya (Ketaren, 1985).

Pada penyulingan uap langsung ukuran tinggi ketel harus lebih besar dari ukuran diameternya, dengan harapan bahan yang disuling akan lebih lama kontak dengan uap sehingga meningkatkan rendemen minyak yang dihasilkan (Guenther, 1947).

Pendingin yang digunakan adalah alat yang berupa pipa lurus atau berbentuk spiral yang berfungsi untuk mengubah seluruh uap air dan uap minyak menjadi fase cair, melalui penurunan suhu sampai dibawah titik embunnya. Perubahan fase ini disebut kondensasi. Uap air dan uap minyak dikondensasikan dalam kondensor (pendingin). Kondensor ada dua macam yaitu coil condensor dan tubular condensor. Menurut Ketaren (1985), pengeluaran panas dari uap lebih efektif dengan menggunakan tubular condensor, karena memiliki permukaan yang lebih luas.

Penampung hasil minyak (separator) berfungsi untuk memisahkan minyak dari air suling. Alat ini biasanya terbuat dari gelas sedangkan yang berukuran lebih besar terbuat dari stainless steel (Ketaren, 1985).

Menurut Guenther (1972), jenis logam yang baik digunakan untuk kontruksi alat penyulingan minyak atsiri adalah logam tahan karat (stainless steel) karena bahan yang bersifat asam dapat disuling dalam ketel tanpa terjadi korosi.

(35)

b. Kondisi Bahan Dalam Ketel (Kepadatan Akar)

Pengisian akar wangi dalam ketel suling harus diatur sehingga merata. Menurut Sukirman dan Aiman (1979), kepadatan bahan dalam ketel suling berhubungan dengan penetrasi uap, kapasitas ketel dan efisiansi uap. Guenther (1972) menyebutkan bahwa tingkat kepadatan bahan berhubungan erat dengan besar ruangan antar bahan. Kepadatan bahan yang terlalu tinggi dan tidak merata menyebabkan terjadinya jalur uap yang dapat menurunkan rendemen dan mutu minyak.

Semakin tinggi bahan dalam ketel, akan makin rendah rendemen, karena makin tinggi bahan dalam ketel, akan semakin besar jarak yang ditempuh dan halangan yang dialami uap air. Pertambahan jarak dan gesekan yang dialami uap air akan mengakibatkan semakin rendahnya kecepatan penyulingan dan dengan sendirinya makin kecil rendemen yang diperoleh (Rusli dan Hasanah, 1977).

Dari hasil penelitian Harjono dan Rusli (1973), pemadatan akar wangi dalam ketel berpengaruh terhadap rendemen minyak. Akar yang dipadatkan (0.10 kg/l) lebih kecil rendemennya dibandingkan dengan akar tanpa pemadatan (0.07 kg/l). Rendemen minyak tertinggi adalah 2.02 % dengan kepadatan 0.07 kg/l dan 1.43 % dengan kepadatan 0.10 kg/l.

c. Pengaruh Tekanan Uap

Tekanan uap selama penyulingan perlu mendapat pengawasan yang teliti agar didapatkan minyak akar wangi dengan mutu yang lebih baik. Penyulingan memakai tekanan uap rendah menghasilkan minyak dalam waktu cukup lama, sehingga perpanjangan waktu penyulingan penting artinya baik ditinjau dari segi rendemen maupun mutunya. Penyulingan dengan tanpa tekanan dalam waktu singkat menyebabkan bobot minyak menjadi rendah. Penyulingan dengan tekanan uap tinggi dan waktu yang lama menghasilkan minyak yang mengandung resin dan mempunyai bau yang kurang enak (Rusli dan Hasanah, 1977).

Menurut Lesmayanti (2004), perlakuan peningkatan tekanan secara bertahap selama proses penyulingan dapat meningkatkan rendemen

(36)

minyak yang dihasilkan juga dapat mengefisiensikan energi yang dipakai jika dibandingkan dengan tekanan konstan.

Tekanan yang digunakan sebaiknya berkisar antara 1 sampai 3 bar. Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada penyulingan minyak akar wangi di Kabupaten Garut digunakan tekanan uap konstan 4 sampai 5 bar. Hal ini dapat menurunkan mutu minyak dan menghasilkan minyak dengan warna coklat kehitaman, kesan gosong dan bilangan asam yang tinggi.

4. Perlakuan Minyak Setelah Penyulingan

Setelah penyulingan, minyak akar wangi harus segera dipisahkan dari air untuk mengurangi proses hidrolisis. Air yang masih tersisa dalam minyak dapat diserap dengan Na2SO4 anhidrida atau menggunakan kain teflon. Kain teflon akan menyaring minyak akar wangi dan menahan air karena sifat kain teflon yang polar.

Kerusakan minyak atsiri disebabkan oleh panas, oksigen bebas, air, cahaya dan katalisator. Untuk mencegah kerusakan tersebut, maka minyak atsiri harus disimpan dengan baik. Tempat penyimpanan minyak atsiri dalam jumlah kecil lebih baik menggunakan botol-botol berwarna gelap, sedangkan dalam jumlah besar disimpan dalam drum yang dilapisi bahan anti karat.

Minyak akar wangi akan lebih tinggi mutunya setelah disimpan lama. Untuk minyak yang baru disuling biasanya berbau rumput (Somaatmadja, 1978). Menurut Ketaren (1985), proses penuaan (aging) minyak akar wangi bertujuan untuk memperbaiki mutu minyak, terutama untuk menghilangkan kesan green odor.

(37)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan baku utama dan bahan pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah akar wangi varietas Pulus Wangi asal Garut, Jawa Barat dengan umur panen 11 bulan. Pada penelitian ini akar wangi yang sudah dibersihkan, dicuci dan dipisahkan dari bonggolnya di keringkan dibawah sinar matahari langsung selama 12 jam.

Bahan pembantu adalah bahan kimia yang digunakan untuk analisis sifat fisiko kimia minyak akar wangi adalah NaOH 0.1N dan NaOH 0.5N, KOH 0.1N, alkohol, etanol 95%, Na2SO4 anhidrid, indikator PP dan aquadest.

2. Alat

Percobaan ini menggunakan sistem penyulingan uap langsung (steam distillation) dimana uap dialirkan pada ketel yang terpisah (boiler). Alat penyulingan terdiri dari boiler, ketel suling, kondensor, dan separator.

Boiler yang digunakan adalah boiler dengan pemanas listrik. Tekanan uap yang dihasilkan boiler maksimal 15 bar, dan tekanan yang disalurkan kedalam ketel suling selama proses berlangsung sekitar 3-4 bar. Besarnya tekanan uap dapat dilihat pada sensor tekanan. Pengumpan air menggunakan pompa yang bekerja otomatis atas dasar ketinggian air di dalam ketel. Uap dari boiler dialirkan kedalam ketel penyuling dengan pipa melalui katup. Jumlah aliran uap dapat diatur dengan besar kecilnya pembukaan katup. Gambar boiler yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

(38)

Gambar 7. Boiler

Ketel penyulingan yang digunakan terbuat dari stainless steel, pada bagian badan dan tutup ketel suling serta leher angsa telah diisolasi menggunakan kain asbes, pada bagian badan ketel dilapisi lagi dengan lempengan seng. Ketel suling yang digunakan memiliki diameter 42.5 cm dan tinggi 88 cm (tinggi efektif 63 cm dan tinggi dari dasar ketel sampai sarangan 25 cm). Kapasitas ketel suling sebesar 100 liter. Gambar ketel suling yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

(39)

Tekanan dan jumlah uap yang masuk dapat diatur dengan mengatur besar kecilnya pembukaan katup masuk uap dari ketel dan katup keluar uap ke kondensor. Besarnya tekanan dapat dilihat pada sensor tekanan yang terdapat pada tutup ketel. Selain itu terdapat sensor untuk mengetahui suhu dalam ketel yang disambungkan pada monitor suhu.

Separator yang digunakan terbuat dari bahan gelas terdiri dari dua lapis bejana, satu bejana terletak di dalam yang lain. Bejana dalam memiliki lubang pada bagian bawah dan bejana luar memiliki lubang pada bagian atas untuk pengeluaran air. Minyak yang tersuling akan terperangkap dalam bejana dalam.

Gambar 9. Separator Oil

Kondensor yang digunakan adalah jenis penukar panas tubular condensor tipe badan satu lintasan dengan air sebagai media pendingin. Bahan kondensor bagian luar terbuat dari besi dan bagian dalam yang bersentuhan dengan destilat terbuat dari stainless steel dengan diameter 10 cm dan panjang 96 cm. Jumlah pipa kondensor di bagian dalam sebanyak 17 buah. Sketsa peralatan penyulingan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 10.

(40)

Gambar 10. Sketsa Peralatan Penyulingan Uap

Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini yaitu gelas ukur dan timbangan. Alat-alat yang digunakan untuk analisa sifat fisiko kimia minyak akar wangi yang dihasilkan adalah piknometer, tabung reaksi, erlenmeyer, labu ukur, neraca analitik, refraktrometer, pH meter, buret, pendingin balik dan penangas air.

B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan

a. Karakterisasi akar wangi

Pada tahap ini akan dilakukan karakterisasi akar wangi yang digunakan. Karakterisasi bahan baku meliputi analisis kadar air dan kadar minyak. Perhitungan kadar air dan kadar minyak pada Lampiran 3.

b. Kondisi Penyulingan

Tahap berikutnya penetapan kondisi penyulingan yang meliputi: b.1. Kepadatan akar

Kepadatan akar adalah kepadatan bahan dalam ketel. Pada penelitian ini kepadatan akar berhubungan dengan ketinggian pengisian bahan di dalam ketel. Kepadatan akar yang digunakan pada penelitian ini adalah 0.07, 0.09 dan 0.11 kg/l.

(41)

Ketinggian pengisian bahan di dalam ketel dengan kepadatan akar 0.07 adalah sebesar 35.26 cm, dengan perhitungan sebagai berikut: V ketel efektif = 100 L r ketel = 21.25 cm t ketel suling = 63 cm Bahan masuk = 3.5 Kg Kepadatan 0.07 kg/l Jawab: 70 g = 3500 g 1 L a L a = 50 dm3 V = Лr2 t 50.000 cm = 3.14 x (21.25)2x t t = 35.26 cm

Jadi, tinggi pengisian bahan dalam ketel untuk: a. Kepadatan akar 0.07 kg/l = 35.26 cm

b. Kepadatan akar 0.09 kg/l = 27.43 cm c. Kepadatan akar 0.11 kg/l = 22.44 cm

b.2. Tekanan uap

Tekanan uap di dalam ketel penyuling diukur dengan manometer yang terdapat pada tutup ketel suling. Kapasitas tekanan pada ketel adalah 0 sampai 10 bar. Untuk menjaga kerusakan minyak karena pengaruh tekanan, pada penyulingan ini ditetapkan penggunaan tekanan uap bertahap pada kisaran 0 sampai 3 bar. Pada permulaan penyulingan dilakukan pada tekanan 1 bar selama 2 jam, kemudian 1.5 bar selama 2 jam dilanjutkan

(42)

pada tekanan 2 bar selama 2 jam, 2.5 bar selama 1 jam dan 3 bar selama 1 jam.

b.3. Suhu

Kenaikan suhu sejalan dengan kenaikan tekanan. Suhu yang diamati adalah suhu dalam ketel yang diukur oleh sensor otomatis oleh sensor suhu yang terdapat pada ketel. Suhu keluaran air kondensor dan destilat diukur menggunakan termometer. Untuk menghindari kerusakan minyak karena pengaruh suhu, suhu dalam ketel dipertahankan pada 100 sampai 150°C. Agar minyak dapat terkondensasi sempurna suhu destilat dipertahankan pada 40° sampai 50°C dan suhu air kondensor pada 50° sampai 60°C.

b.4. Laju destilat

Laju destilasi diukur berdasarkan jumlah destilat yang keluar dari kondensor menggunakan gelas piala 1 liter selama 1 menit. Laju destilat pada proses penyulingan minyak akar wangi ditetapkan pada kisaran 110 sampai 145 ml/menit dengan diameter ketel suling 42.5 cm dan tinggi efektif 63 cm (v = 89.328 liter).

2. Penelitian utama

Penelitian utama adalah tahap penyulingan akar wangi melalui peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar berbeda. Penyulingan dilakukan dengan sistem uap langsung. Untuk satu kali penyulingan digunakan akar wangi sebesar 3.5 kg, kemudian akar wangi dirajang dengan ukuran 15 sampai 20 cm. Akar wangi kemudian dimasukkan kedalam ketel dengan kepadatan akar yang sudah ditetapkan yaitu 0.07, 0.09 dan 0.11 kg/l. Lama penyulingan 8 jam dari destilat menetes. Selama penyulingan dilakukan pengamatan terhadap laju destilat, suhu destilat dan suhu ketel setiap 30 menit.

Guenther (1952) menyatakan, minyak akar wangi terdiri atas komponen bertitik didih rendah dan tinggi. Penyulingan pada tekanan

(43)

rendah (<1 bar) mengakibatkan uap terkondensasi menjadi air kembali pada tumpukan bahan. Penyulingan pada tekanan tinggi (≥1 bar) akan meningkatkan suhu, uap akan berpenetrasi terhadap bahan lebih efektif dan akan mempercepat proses difusi. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan proses hidrolisis dan dekomposisi minyak. Agar diperoleh minyak bermutu tinggi, maka perlu diusahakan supaya penyulingan minyak atsiri berlangsung pada suhu rendah, atau dapat pada suhu tinggi tetapi dalam waktu sesingkat mungkin.

Pada penelitian ini bahan disuling dengan peningkatan tekanan uap bertahap dengan waktu yang telah ditetapkan untuk setiap tekanan. Penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap bertujuan untuk memperoleh minyak bermutu tinggi dan mencegah minyak dari kerusakan akibat tekanan uap yang tinggi. Penyulingan dimulai pada tekanan uap 1 bar dengan lama penyulingan selama 2 jam, kemudian dilanjutkan pada tekanan uap 1,5 bar selama 2 jam, tekanan uap kembali dinaikkan menjadi 2 bar selama 2 jam, kemudian dinaikkan menjadi 2,5 bar selama 1 jam, dan terakhir dinaikkan menjadi 3 bar selama 1 jam. Destilat pada setiap tekanan kemudian ditampung untuk diukur volume dan dianalisis sifat fisiko kimianya. Cara ini dilakukan untuk setiap kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l.

Setelah diperoleh karakteristik minyak untuk setiap peningkatan tekanan uap, seluruh fraksi pada setiap tekanan kemudian dicampur. Pada tahap ini akan diperoleh fraksi minyak campuran hasil penyulingan tekanan uap bertahap 0 sampai 3 bar untuk setiap kepadatan akar. Fraksi tersebut kemudian dianalisis sifat fisiko kimianya. Diagram alir penyulingan akar wangi dapat dilihat pada Gambar 11.

(44)

Seluruh fraksi pada tiap tekanan dengan kepadatan akar yang sama dicampur , kemudian dianalisis sifat fisiko kimianya Masing-masing destilat pada tiap tekanan

ditampung, diukur volume dan dianalisis sifat fisiko kimianya

Data 1 bar t=2jam 1.5 bar t=2jam 2 bar t=2 jam 2.5 bar t=1 jam 3 bar t=1 jam Akar wangi dibersihkan dan dicuci

Pengeringan 12 jam Pengukuran kadar air dan kadar minyak

Penimbangan bahan 3.5 kg

Peningkatan tekanan uap secara bertahap Perajangan 15-20 cm

Penyulingan dengan kepadatan akar: 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l Gambar 11. Diagram alir penyulingan akar wangi

(45)

C. ANALISIS MUTU MINYAK AKAR WANGI

Mutu minyak akar wangi dibandingkan dan dilakukan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) minyak akar wangi 1991. Analisis ini meliputi bobot jenis, indeks bias, kelarutan dalam etanol 95%, bilangan asam, bilangan ester, kromatografi gas (KG) dan kromatografi gas spektrometri massa (KGSM). Prosedur pengujian dapat dilihat pada Lampiran 1.

D. ANALISIS DATA

Untuk mengetahui pengaruh kepadatan akar terhadap rendemen dan mutu minyak hasil penyulingan dengan tekanan uap bertahap dari 0 sampai 3 bar, digunakan Rancangan Faktor Tunggal yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0.07 kg/l (A1) 0.09 kg/l (A2) dan 0.11 kg/l (A3) dengan dua kali ulangan.

Model matematis untuk Rancangan Faktor Tunggal (Sudjana, 1985) adalah sebagai berikut:

Faktor A : Kepadatan akar A1 = 0.07 kg/l A2 = 0.09 kg/l A3 = 0.11 kg/l

Yij = µ + Ai + εij Keterangan :

Yij = Variabel yang akan dianalisis ( diasumsikan berdistribusi normal)

µ = Nilai rata-rata sebenarnya

Aij = Pengaruh kepadatan akar ke-i (i = 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l)

εij = Kekeliruan yang merupakan efek acak unit eksperimen ke-j pada kepadatan akar ke-i

Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan yang dicoba maka dilakukan analisis keragaman. Jika F Hitung > F Tabel pada selang kepercayaan 95% berarti faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap sifat fisiko kimia minyak akar wangi dan analisa data dilanjutkan dengan uji Duncan.

(46)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakterisasi Akar wangi

Akar wangi yang telah dipanen dipotong daunnya, dibersihkan dari tanah kemudian dicuci. Pencucian akar wangi bertujuan untuk menghilangkan sebagian tanah yang menempel pada akar. Penyulingan akar wangi tanpa pencucian terlebih dahulu akan menurunkan rendemen dan mutu akar wangi yang dihasilkan karena sebagian tanah ikut dalam proses penyulingan.

Akar wangi yang telah dicuci bersih kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari selama 12 jam. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan sebagian air dalam bahan, sehingga proses penyulingan lebih mudah dan singkat. Setelah akar wangi dikeringkan, kemudian dilakukan karakterisasi terhadap kadar air dan kadar minyaknya. Dari hasil analisis diperoleh akar wangi dengan kadar air 10.98% (wb) dan kadar minyak 5.6% (wb). Perhitungan kadar air dan kadar minyak akar wangi dapat dilihat pada Lampiran 4.

Setelah dikeringkan akar wangi kemudian dibawa ke lokasi penyulingan dan telah mengalami penyimpanan sekitar 3 minggu sebelum penyulingan. Sebelum dilakukan penyulingan akar wangi kemudian dirajang. Perajangan akar wangi dilakukan dengan ukuran 15 sampai 20 cm. Pada bahan yang dirajang, dinding sel bahan akan rusak sehingga kelenjar minyak akan terbuka dan permukaan bahannya lebih luas sehingga dapat dicapai oleh uap air dan minyak yang dihasilkan lebih banyak. Minyak yang dihasilkan dari bahan utuh lebih sedikit karena ketebalan bahan tersebut menyebabkan makin sedikit air yang dapat keluar dari kantong minyak yang mengakibatkan kurangnya kecepatan minyak. Menurut Ketaren (1985), selama proses perajangan akan terjadi penguapan komponen minyak yang bertitik rendah dan jika dibiarkan beberapa menit, terjadi penguapan bahan sekitar 0.5%.

(47)

B. PENELITIAN UTAMA 1. Fraksi Minyak Campuran

Pada tahap ini akan diperoleh fraksi minyak pada kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l melalui penyulingan dengan tekanan uap bertahap dari 0 bar sampai 3 bar (fraksi minyak campuran). Pada fraksi campuran akan dilihat pengaruh kepadatan akar terhadap rendemen dan sifat fisiko kimia minyak akar wangi yang dihasilkan. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh rendemen tertinggi dan mutu minyak akar wangi yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia.

a. Rendemen

Pengukuran rendemen minyak bertujuan untuk mengetahui rendemen tertinggi dari penyulingan uap langsung dengan peningkatan tekanan uap bertahap pada setiap kepadatan akar.

Rendemen minyak akar wangi dinyatakan dalam perbandingan antara volume minyak akar wangi yang diperoleh dengan berat akar wangi kering yang digunakan. Rendemen yang dihasilkan pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap pada setiap kepadatan akar disajikan pada Gambar 12.

Pada histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap rendemen minyak akar wangi yang

Σ 2.21% Σ 2.58% Σ 2.40%

Gambar 12. Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap rendemen minyak akar wangi yang dihasilkan

(48)

dihasilkan dapat dilihat histogram hubungan pengaruh kepadatan akar terhadap rendemen yang dihasilkan melalui penyulingan dengan tekanan uap bertahap. Rendemen tertinggi dihasilkan pada kepadatan akar 0.09 kg/l sebesar 2.58% diikuti 0.11kg/l sebesar 2.40% dan 0.07 kg/l sebesar 2.21%. Dari hasil analisis keragaman diperoleh bahwa kepadatan akar dalam ketel tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan dari penyulingan dengan tekanan uap bertahap. Perhitungan analisis keragaman dapat dilihat pada Lampiran 6.

Menurut Rusli (1974), berdasarkan hasil penelitian dengan penyulingan dengan uap dan air (kukus), semakin rendah kepadatan bahan dalam tangki penyuling akan menaikkan rendemen yang diperoleh. Berdasarkan penelitian Rusli dan Hasanah (1977), dari penyulingan dengan tinggi bahan yang berbeda didapatkan bahwa semakin padat bahan dalam ketel maka rendemen semakin turun, karena tinggi bahan tersebut berhubungan dengan kepadatan bahan. Menurut Sukirman dan Aiman (1979), kepadatan bahan dalam ketel suling berhubungan dengan penetrasi uap, kapasitas ketel dan efisiensi uap.

Pada penelitian ini, penyulingan pada kepadatan akar 0.07 kg/l menghasilkan rendemen terendah. Berdasarkan penelitian Harjono dan Rusli (1973) pada penyulingan minyak akar wangi dengan kepadatan akar 0.07 kg/l dengan waktu penyulingan 20 jam menghasilkan rendemen tertinggi sebesar 2.02%. Rendahnya rendemen yang dihasilkan kepadatan akar 0,07 kg/l disebabkan karena kepadatan akar di dalam ketel kurang efisien. Kepadatan akar wangi di dalam ketel suling tidak sesuai dengan kapasitas ketel sehingga menyebabkan kamba atau besarnya ruang kosong antar bahan. Sifat kamba ini menyebabkan penyulingan akar wangi tidak efisien yang berdampak pada penurunan rendemen yang dihasilkan.

Sementara pada kepadatan akar 0.11 kg/l diperoleh rendemen minyak yang lebih tinggi dari kepadatan akar 0.07 kg/l tetapi lebih rendah dari 0.09 kg/l. Hal ini disebabkan karena kepadatan akar 0.11 kg/l memiliki kerapatan bahan yang lebih tinggi dibandingkan kepadatan akar 0.07 dan 0.09 kg/l. Kepadatan bahan yang terlalu tinggi mengakibatkan

Gambar

Gambar   19.  Gambar   20.  Gambar   21.  Gambar   22.   Gambar   23.  Gambar   24.
Tabel 1. Perkembangan ekspor impor minyak akar wangi 2001-2005
Gambar 2. Struktur molekul vetivon  (Akhila dan Rani, 2002).                           Tabel 2
Gambar 3. Struktur molekul khusimol (Akhila dan Rani, 2002).          4. Khusol
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan soal literasi sains mengenai konteks capung berjumlah berbentuk soal pilihan ganda berjumlah 15 soal dengan 3 indikator

Hasil identifikasi FMEA diperoleh nilai RPN tertinggi yaitu 245 pada proses Paper Machine, dengan mode kegagalan yaitu dirty, dengan penyebab utama kotoran terlarut dalam

Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan, untuk dapat membangun kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak ilmiah melalui pembelajaran IPA perlu membelajarkan IPA dengan

Setidaknya ada tujuh manfaat bagi seorang manajer untuk fokus pada menjadi seorang pemimpin yang etis termasuk citra publik yang lebih baik dari pemulihan organisasi

a) Kebanyakan para pihak yang datang ke Pengadilan Agama Klas IA Padang dalam perkara No: 0147/Pdt.G/2014/PA.Pdg sangat sulit untuk didamaikan atau menemukan kata

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang mana berkat rahmat, hidayah dan karunianya serta atas segala jalan yang terbaik yang telah diberikannya, sehingga

Berdasarkan pengolahan data kluster responden siswa yang memilih lembaga pendidikan adalah siswa pada kluster 1 memiliki ciri-ciri: siswa tertarik pada program

Banyak pasangan bilangan bulat yang memenuhi sistem persamaan berikut. tak terhingga