• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Vertisol adalah tanah-tanah mineral yang mempunyai sifat vertik, warna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Vertisol adalah tanah-tanah mineral yang mempunyai sifat vertik, warna"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanah Vertisol

Vertisol adalah tanah-tanah mineral yang mempunyai sifat vertik, warna abu kehitaman, dan bertekstur liat dengan kadar liat ≥ 30% pada horizon permukaan sampai kedalaman 50 cm. Bahan induk tanah umumnya batu kapur, napal, tuff, endapan aluvial dan abu vulkanik.

Warna gelap pada horizon A tanah vertisol bukan berarti tanah ini mengandung bahan organik yang tinggi. Ini disebabkan adanya humus pada kondisi alkalin sampai netral, dan mungkin juga oleh reduksi senyawa besi. Pada umumnya kadar bahan organik pada tanah vertisol 1-3 % dan terdistribusi secara baik pada horizon tanah. Reaksi tanah pada tanah ini antara asam lemah sampai basa lemah, tipikal pH 6-7,5 pada horizon A. Kapasitas tukar kation pada umumnya tinggi, yaitu 30-60 me/100 g (Young, 1976). pH tinggi pada tanah ini berhubungan dengan persentase kalsium dan magnesium yang tinggi. Nilai pH pada lapisan atas tanah vertisol biasanya berada pada batas 6-7,5, tetapi jika kandungan CaCO3 tinggi pH tanah pada permukaan tanah berada pada rentang pH

7,2–8,5. Pada kondisi pH yang tinggi pada tanah ini, penggunaan pupuk yang bersifat asam dapat disarankan (Dudal, 1965).

Sifat-sifat yang khas dari tanah-tanah bersifat vertik tersebut di atas muncul karena fraksi halus tanah didominasi oleh mineral liat mengembang-mengerut tipe 2 : 1 montmorilonit (Gambar 1). Mineral ini memiliki ruang antar lapisan dengan permukaan bermuatan negatif yang dinetralkan oleh kation-kation dapat dipertukarkan. Proses mengembang-mengerut mineral ini tergantung kepada valensi dan energi hidrasi dari kation yang masuk ke dalam ruang antar lapisan

(2)

tersebut. Semakin besar energi hidrasi kation, maka semakin banyak molekul-molekul air memasuki ruang antar lapisan montmorilonit, yang menyebabkan mineral ini mengembang, dan sebaliknya akan mengerut bila jumlah molekul air dalam ruang antar lapisan berkurang (Anonim, 1991). Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar1.

Gambar 1. Struktur Mineral Liat Mengembang-Mengerut Tipe 2 : 1 Montmorilonit

Kemampuan mengembang dan mengkerut ini yang menyebabkan terbentuknya relief gilgai pada bentang lahan tanah vertisol. Pada saat kering tanah akan retak-retak dan tanah yang ada pada permukaan akan runtuh ke dalam retakan. Pada saat hujan tanah mengembang, dan tanah yang jatuh ke dalam retakan tersebut akan didorong ke atas dan membentuk relief mikro yang disebut gilgai (Mohr et al, 1972).

Muatan negatif montmorilonit umumnya berasal dari subtitusi isomorfik yaitu penggantian kation tingkat tinggi digantikan valensi yang lebih rendah. Jika mengadakan persentuhan (contact) dengan air, maka ruang diantara lapisan mineral akan mengembang, menyebabkan volume liat dapat berlipat dua. Montmorilonit yang diberi etilin glikol atau gliserol mengalami perluasan sebesar

(3)

10 Å, sedangkan pada kondisi kering udara berkisar antara 12-14 Å. Didalam proses penjerapan, molekul organik akan dapat menggantikan air yang terjerap oleh liat (Anonim, 1991).

2.2 Senyawa Humat

Senyawa humat merupakan bahan organik yang dianggap sebagai hasil dekomposisi bahan tanaman dan hewan. Bahan organik ini berfungsi sebagai bahan pembenah tanah yang terlibat dalam reaksi kompleks dan dapat mempengaruhi kesuburan tanah dengan mengubah kondisi fisik, kimia dan biologi tanah (Tan, 1993).

Senyawa humat digolongkan ke dalam tiga fraksi (1) asam humat, yakni fraksi yang larut dalam basa, tidak larut dalam asam dan alkohol, (2) asam krenat dan apokrenat, merupakan fraksi yang larut dalam air dan (3) humin, yakni bagian yang tidak dapat larut. Senyawa humat bersifat amorf, berwarna kuning sampai coklat hitam dan memiliki bobot molekul tinggi (Tan, 1993).

Senyawa humat terdiri atas makromolekul aromatik kompleks asam amino, peptida, termasuk juga ikatan antar kelompok aromatik yang juga terdiri atas fenolik OH bebas, struktur quinon, nitrogen dan oksigen pada cincin aromatik. Kandungan asam humat tanah yaitu : C, H, N, O, S dan P serta unsur lain seperti Na, K, Mg, Mn, Fe dan Al.

Arsiati (2002) dalam Ardianto (2009) menambahkan bahwa kandungan asam humat yaitu 56,2 % C, 35,5 % O, 47 % H, 3,2 % N dan 0,8 % S. Pada abad ke-19 ditetapkan bahwa asam humat tidak hanya mengandung C, H, N, dan O saja tetapi juga S dan P. Menurut Eggertz (1888) dalam Orlov (1974) asam humat

(4)

mengandung 0,6-1,1% S dan 0,2-3,7% P. Eggertz juga mengamati adanya 5,6% Al dan Fe oksida, 0,6% kalium sulfat, magnesium dan mangan yang kecil.

Bersama-sama dengan liat, zat-zat humat diketahui berperan terhadap sejumlah reaksi-reaksi kimia dalam tanah. Zat-zat ini terlibat dalam reaksi-reaksi kompleks secara langsung maupun tak langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Tan, 1992).

2.3 Polimer Hidroksi Alumunium

Djusar (1995) memanfaatkan polimer hidroksi alumunium (PHA) untuk membatasi sifat mengembang–mengerut mineral liat montmorilonit. PHA adalah molekul–molekul alumunium berukuran besar dengan muatan yang besar pula. Bila diberikan ke tanah, ion alumunium ini akan diikat lebih kuat daripada ion lainnya oleh liat yang dapat mengembang. PHA mempunyai struktur berupa lempengan yang dapat menjadi agen penyemen yang sangat baik. Djusar (1995) dalam penelitian awal di rumah kaca menemukan bahwa PHA yang diberikan pada tanah vertisol dengan dosis maksimal 4 mmol Al/kg liat secara nyata menurunkan bobot isi tanah, cenderung menurunkan nilai COLE dan kadar air tersedia, cenderung meningkatkan stabilitas agregat dan meningkatkan permeabilitas tanah dengan sangat nyata. Penelitian ini belum menghasilkan dosis optimum dan belum diintegrasikan dengan kemampuannya menurunkan fiksasi kalium. Selain itu masih perlu penelitian lanjutan terkait dengan bagaimana cara aplikasi PHA di lapang.

Didalam larutan tanah, alumunium bukan merupakan ion bebas sebagai Al3+, melainkan ikatan dengan enam molekul H2O membentuk Al(H2O)63+

(5)

Al(OH)3 yang sukar larut. Ion Al(OH)2+ berada pada selang pH 4,7, Al(OH)3

berada pada selang pH 6,5 dan 8 sedangkan Al(OH) 4- diatas pH 8 (Wright, 1989).

Reaksi antara ion alumunium dengan lapisan silikat terdapat dalam tiga bentuk yaitu :

1. Alumunium yang dijerap sebagai Al3+ sebagian terhidrolisis menjadi Al(OH)2+ dan Al(OH)3 terpresipitasi (Kaddah dan Coleman, 1967 dalam

Rich, 1968).

2. Alumunium yang dijerap oleh liat dalam bentuk Al3+ dan Al(OH)3

terpresipitasi kemungkinan pada permukaan liat (Roagland dan Coleman, 1980 dalam Rich, 1968).

3. Alumunium yang dijerap sebagai polimer hidroksi bermuatan positif atau sebagai Al3+ dan terhidrolisis pada liat menjadi polimer hidroksi dengan tipe [Al(OH)m (3-m)+] p, dimana m mendekati 2 dan p = 6, 10 atau lebih

(Shen dan Rich, 1962).

Alumunium memiliki muatan ion yang besar, jari-jari yang kecil, dan sangat reaktif dalam larutan tanah. Al bisa diikat pada muatan negatif permukaan liat oleh gaya elektrostatik dan bisa dipertukarkan dengan kation-kation lain seperti Ca2+, Mg2+, atau K+. Aluminium bisa juga berada dalam bentuk kompleks organik dan sebagai polimer hidroksi aluminium yang menduduki ruang antar lapisan mineral liat 2:1. Dalam bentuk PHA, kation ini sulit untuk dipertukarkan (Hsu dan Bates, 1964).

Johanson (1960) dalam Hsu (1989), membuat polimer Al13 dengan cara

menambahkan Na2SO4 atau Na2SeO4 pada suatu bagian larutan Al dengan rasio

(6)

berkoordinasi secara tetrahedral pada 4O2-. Ion pusat ini dikelilingi oleh 12 atom Al, yang berkoordinasi dengan 6 OH-, H2O atau O2-, yang dipakai bersama dengan

Al pada bagian pusat (Gambar 2).

Gambar 2. Struktur Kerucut Tetrahedra Terpotong Dari Polimer [Al13(OH)24(H2O)12]7+ (Johanson dalam Hsu, 1989).

Rich (1968) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan PHA pada ruang antar lapisan liat silikat yang dapat mengembang adalah rasio OH/Al dan pH, jumlah hidroksi Al/liat, anion-anion, dan waktu. 2.4 Kemantapan Agregat

Menurut Hillel (1980), kemantapan agregat menggambarkan ketahanan agregat terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh proses-proses penghancuran. Hal ini tidak saja tergantung pada keadaan tanah itu sendiri tetapi juga pada besarnya kekuatan alam yang dapat menghancurkan. Indeks stabilitas agregat menunjukkan ketahanan agregat tanah terhadap gaya perusak. Hal tersebut tergantung pada adanya bahan pengikat partikel–partikel di dalam tanah, seperti bahan organik, Al2O3, Fe2O3, CaCO3.

Adsorpsi ion–ion seperti Ca2+, Mg2+, atau Al3+ dapat mendorong pembentukan agregat, yang dimulai dengan proses flokulasi. Pembentukan

(7)

agregat dipengaruhi oleh adsorpsi kation oleh koloid tanah. Ion–ion tersebut mendorong tiap–tiap partikel koloid berkumpul untuk membentuk agregat kecil yang disebut flokul. Flokul–flokul ini akan stabil selama agen penyemen masih ada (Brady, 1990). Sinukaban dan Rahman (1982) menggambarkan rangkaian pembentukan agregat seperti pada Gambar 3.

Flokulasi Kekuatan pemadatan Sementasi

Partikel liat Menggumpal Agregat tidak stabil Agregat stabil

Gambar 3. Rangkaian Pembentukan Agregat Stabil (Sinukaban dan Rachman, 1982).

PHA yang biasa dianggap sebagai komponen dari Al(OH)3, diikat lebih

kuat daripada kation–kation yang dapat dipertukarkan lainnya didalam ruang antar lapisan mineral liat yang dapat mengembang (Barnhisel dan Bertsch, 1989). Keberadaan polimer ini dapat menurunkan pengembangan tanah dengan cara menyatukan helai–helai silikat dan juga dengan memindahkan kation–kation berenergi hidrasi tinggi dalam ruang antar lapisan, seperti Na+. PHA kemungkinan juga bereaksi dengan partikel–partikel liat pada permukaan luarnya dan menyemen keduanya, sehingga merangsang terbentuknya agregat yang stabil. 2.5 Permeabilitas

Permeabilitas tanah secara kuantitatif diartikan sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan pada suatu media berpori dalam keadaan jenuh dan dinyatakan dalam cm/jam (Foth dan Turk, 1972). Penetapan permeabilitas sangat penting dalam masalah pengelolaan tanah dan air. Sebagai contoh, tanah–tanah

(8)

yang mempunyai permeabilitas lambat diinginkan untuk persawahan yang membutuhkan air tergenang.

El–Rayah dan Rowell (1973) menemukan bahwa PHA efektif menurunkan pengembangan montmorilonit dan mempertahankan permeabilitas tanah yang tinggi dengan cara menyelimuti agregat tanah. Selimut tersebut mencegah penurunan permeabilitas dengan cara membatasi pengembangan agregat tanah. 2.6 Bobot Isi

Bobot isi atau Bulk density menunjukkan perbandingan antara bobot tanah kering dengan volume tanah termasuk pori–pori tanah, dituliskan dengan persamaan sebagai berikut :

Bulk density = berat tanah kering (gr)/volume tanah (cm³)

Bulk density merupakan suatu petunjuk kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah, makin tinggi bulk density, yang berarti makin sulit meneruskan air. Pada umumnya bulk density pada tanah mineral berkisar dari 1,1-1,6 gr/cm³ (Hardjowigeno 2003). Granulasi juga mempengaruhi bobot isi karena mendukung keadaan lepas dan sarang. Menurut Brady (1990), ada beberapa faktor yang mempengaruhi bobot isi, antara lain: jumlah ruang pori dan padatan tanah, tekstur tanah, kandungan liat, serta kandungan bahan organik. Pada umumnya bobot isi mencerminkan beberapa sifat tanah lainnya, seperti permeabilitas, porositas dan tingkat erosi. Bobot isi berubah karena perubahan ruang pori atau struktur tanah (Foth dan Turk, 1972).

2.7 Nilai COLE

Nilai Coefficient of Linear Extensibility (COLE) sebagai parameter pengembangan dan pengerutan tanah biasanya ditetapkan dengan menggunakan

(9)

bongkah tanah alami berukuran 50-200 cm³ (Grossman, 1968). Nilai Cole ini disebut nilai COLEclod, yang merupakan rasio volume bongkah setelah dibasahi dengan volume pada saat kering dikurangi satu. Disamping COLEclod, nilai COLE dapat ditetapkan dengan menggunakan pasta dari tanah yang lolos saringan < 2 mm. Nilai COLE dengan metode ini disebut nilai COLErod (Schrafer dan Singer, 1976).

Pengukuran pengembangan dan pengerutan tanah aktual dan potensial berguna untuk menentukan karakteristik dan klasifikasi tanah serta memperkirakan perilaku tanah pada berbagai penggunaan pertanian dan bangunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan tanah yaitu kandungan liat, dan adsorpsi kation (Franzmeier dan Ross, 1968).

Menurut Bohn, McNeal dan O’Connor (1979), PHA dapat dipegang antara lapisan–lapisan silikat mineral tanah yang dapat mengembang dan dapat mencegah runtuhnya lapisan silikat tersebut sewaktu air dipindahkan selama proses pengeringan. Dengan demikian pengembangan tanah juga dapat dibatasi, karena air akan sulit memasuki ruang antar lapisan mineral.

2.8 Kadar Air

Menurut Baver et al. (1972), air tersedia merupakan air yang terdapat antara kapasitas lapang (pF 2,54) dan koefisien layu permanen (pF 4,20). Penurunan kadar air pada pF 2,54 yang relatif lebih besar diikuti oleh penurunan kadar air pF 4,20 yang relatif lebih kecil menyebabkan semakin menurunnya kadar air tersedia. Adsorpsi molekul air merupakan akibat dari ikatan hidrogen antara molekul air dan atom oksigen pada permukaan kristal serta hidrasi kation– kation yang teradsorpsi.

(10)

Kandungan liat yang tinggi pada vertisol menyebabkan tanah tersebut mampu menahan air dalam jumlah yang cukup besar dan dalam waktu yang cukup lama (Soedarmo dan Djojoprawiro, 1986). Menurut Foth dan Turk (1972), tanah yang mengandung liat yang mengembang seperti montmorilonit, dapat mengikat air beberapa kali dari volume liat itu sendiri.

Gambar

Gambar  1.  Struktur  Mineral  Liat  Mengembang-Mengerut  Tipe  2  :  1  Montmorilonit

Referensi

Dokumen terkait

Seperti halnya dengan kation organik pada permukaan mineral tanahliat, ikatan yang sangat kuat akan terjadi jika lebih dari satu gugus pada molekul humus berpartisipasi.. 2.3

Proses pemisahan dapat terjadi karena adanya perbedaan berat molekul, bentuk atau kepolaran yang menyebabkan molekul-molekul tertentu melekat pada permukaan yang lebih

Pengaruh pengaktifan zeolit, yaitu dapat memurnikan zeolit dari komponen pengotor, menghilangkan jenis kation logam tertentu dan molekul air yang terdapat dalam rongga,

Kehilangan N dapat terjadi dalam lapisan tanah yang teroksidasi dan tereduksi, dari air genangan, terbawa oleh aliran permukaan, pencucian, serapan N oleh tanaman dan karena

makanan yang dikonsumsi seharusnya mengandung sumber tenaga (energi), sumber pembangun (protein), sumber pengatur dan pelindung (mineral, vitamin, dan air). kebutuhan gizi

Pertukaran kation terjadi pada koloid liat dan koloid humus yang memiliki muatan negatif tersebut, sehingga tekstur tanah (jumlah liat), jenis mineral liat, dan kandungan

Hal selanjutnya yang terjadi selama proses tersebut yaitu rantai molekul dalam jaringan hidrogel mulai mengembang disertai dengan gugus-gugus fungsi hidrofobik

Suatu resin penukar kation adalah sebagai suatu polimer berbobot molekul tinggi, yang terangkai-silang yang mengandung gugus- gugus sulfonat, karboksilat, fenolat, dan