• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISU DAN PERMASALAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISU DAN PERMASALAHAN"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Isu dan Permasalahan

Berdasarkan isu dan permasalahan lingkungan yang telah muncul di

kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir Citarum Jawa Barat saat ini

dapat dikelompokkan atas kelompok besar yaitu: (1) pencemaran air, erosi dan

degradasi lahan maupun tanah yang penyebarannya sudah cukup meluas dan

terkait dengan industri, rumah tangga dan pertanian dengan segala jenis

limbahnya, terutama sampah; (2) degradasi sumberdaya alam khususnya air dan

lahan, yang ditandai dengan deplesi sumber air (permukaan dan air bawah

tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya), semakin meluasnya tanah kritis dan

Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis, penurunan produktifitas lahan, semakin

meluasnya kerusakan hutan pantai (mangrove); (3) kerusakan hutan mangrove,

abrasi dan akresi pantai (4) perubahan tata guna lahan di wilayah pesisir, (5)

inkonsistensi institusi dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan belum

adanya kelembagaan yang ideal dan koordinatif dalam rangka pengelolaan DAS,

Pesisir dan Laut Citarum Jawa Barat.

Status Mutu Perairan

Berdasarkan deskripsi pada kualitas air diperoleh hasil sangat bervariasi

terhadap parameter yang terukur. Sebagian telah melebihi baku mutu,

sedangkan terdapat pula parameter yang belum melebihi baku mutu.

Data hasil survey yang dilakukan untuk kualitas air parameter fisika dan

kimia perairan DAS hulu, hilir dan muara Citarum Jawa Barat dapat dilihat pada

Lampiran 1. Nilai data tersebut memperlihatkan bahwa keadaan perairan daerah

aliran sungai bagian hulu, hilir dan muara Citarum Jawa Barat sudah tercemar.

Nilai parameter yang diamati hanya dibatasi parameter kunci cemar yang diukur

berada dalam kisaran yang diperbolehkan menurut baku mutu golongan I, II, III

dan IV meskipun ada beberapa parameter yang melampaui baku mutu yang

ditentukan dalam Peraturan Pemerintah nomor 82 Tahun 2001 tentang

pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Hasil pengukuran TSS di beberapa stasiun menunjukkan bahwa nilai

parameter TSS tertinggi berturut-turut terdapat pada stasiun 11 (Muara

Gembong), 12 (Tanjung Pakisjaya), 7 (Nanjung), 5 (Dayeuh Kolot), 6

(2)

(Rancamanyar), 8 (Waduk Saguling, Waduk Cirata) dan 3 (Majalaya), cenderung

sudah tidak memenuhi baku mutu TSS golongan I dan II yaitu 50 mg/l. Diduga

bahwa stasiun 11 masih aktif digunakan untuk membuang hasil pengerukkan

sedimen pada kolam pelabuhan Tanjung Priok bila dibandingkan dengan stasiun

12, 7, 5, 6, 8 dan 3 disebabkan karena masuknya bahan tersuspensi yang berasal

dari limbah domestik dan industri. Tingginya nilai TSS akan mengurangi penetrasi

cahaya matahari kedalam air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara

fotosintesis (BPLHD, 2002). TSS terendah terdapat di stasiun 1 (Wangisagara)

bagian hulu DAS Citarum, seperti terlihat pada Gambar 16.

Stasiun Pengamatan 0.00 25.00 50.00 75.00 100.00 125.00 150.00 175.00 200.00 225.00 250.00 275.00 300.00 325.00 350.00 375.00 400.00 425.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 T SS ( m g /l )

DAS Hilir Muara DAS Hulu

Keterangan: Baku mutu golongan I, II, III dan IV menurut PP 82/2001

Gambar 16 Profil sebaran TSS setiap stasiun di DAS hulu, hilir dan muara

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 110.00 120.00 130.00 140.00 150.00 160.00 170.00 180.00 190.00 200.00 210.00 220.00 230.00 240.00 250.00 260.00 270.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Stasiun Pengamatan CO D ( m g/ l)

DAS Hulu DAS Hilir Muara

Keterangan: Baku mutu golongan I, II, III dan IV menurut PP 82/2001

(3)

Pada Gambar 17 terlihat bahwa hasil pengukuran sebaran COD tertinggi

atau telah melebihi baku mutu golongan I, II, II dan IV menurut PP No. 82/2001

terdapat pada stasiun 1, 2, 8, 9 dan 11 Muara Gembong yaitu sebesar 254.07

mg/l. Kondisi tingginya kandungan COD pada stasiun 11 Muara Gembong

diduga karena tingginya bahan organik yang biodegradable dan unbiogradable

yang masuk ke perairan yang berasal dari limbah kegiatan industri dan domestik

yang berada di sekitar sungai Sunter dan Ancol yang bermuara ke Muara

Gembong.

Sedangkan untuk sebaran kandungan BOD5 (Gambar 18) pada 12

stasiun nilainya relatif telah melebihi baku mutu golongan I, II, II dan IV menurut

PP No. 82/2001. Nilai kandungan BOD

5

tertinggi sebesar 103.00 mg/l pada

stasiun 8 Waduk Saguling di jala terapung dan intake PLTA diduga masuknya

limbah bahan organik yang berasal dari industri, domestik yang dibawa oleh DAS

Citarum dan anak-anak sungainya yang mempunyai potensi untuk meningkatkan

tingkat pencemaran Waduk Saguling dan meningkatkan nilai BOD waduk

tersebut.

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 50.00 55.00 60.00 65.00 70.00 75.00 80.00 85.00 90.00 95.00 100.00 105.00 110.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Stasiun Pengamatan

BO

D

5

(

m

g

/l)

DAS Hulu DAS Hilir Muara

Keterangan: Baku mutu golongan I, II, III dan IV menurut PP 82/2001

(4)

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Stasiun Pengamatan N itr a t (N O3 -N )

DAS Hilir Muara

DAS Hulu

Keterangan: Baku mutu golongan I, II, III dan IV menurut PP 82/2001

Gambar 19 Profil sebaran NO3-N setiap stasiun di DAS hulu, hilir dan muara

Kadar sebaran kandungan Nitrat (NO3-N) pada 12 stasiun nilainya relatif

sebagian telah melebihi baku mutu golongan I dan II. Kandungan nilai Nitrat

(NO3-N) tertinggi terdapat pada stasiun 12 (Tanjung Pakisjaya) sebesar 14.10

mg/l (Gambar 19). Nilai NO

3

-N yang tertinggi ditemukan di stasiun 12 (Tanjung

Pakisjaya) sebesar 12.54. Nitrat merupakan salah satu faktor pembatas bagi

pertumbuhan fitoplankton, disebut faktor pembatas karena keberadaannya

dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah besar namun kadangkala

ketersediaan sangat terbatas sehingga mengganggu pertumbuhan dan

perkembangan fitoplankton.

Konsentrasi nitrat (NO

3

-N) yang relatif tinggi diduga karena posisinya

yang terletak dekat dengan daratan. Adanya akumulasi limbah yang berasal dari

domestik dan aktivitas keluar masuknya kapal motor penangkap ikan nelayan di

Tanjung Pakisjaya memungkinkan konsentrasi NO

3

-N yang relatif tinggi

dibandingkan dengan stasiun lainnya.

Indeks Pencemaran

Berdasarkan deskripsi pada kualitas air diperoleh hasil sangat bervariasi

terhadap parameter yang terukur, sebahagian telah melebihi baku mutu dan

terdapat pula parameter yang tidak melebihi baku mutu. Adapun kondisi kualitas

air masing-masing stasiun dari beberapa parameter di DAS hulu, hilir dan muara

Citarum Jawa Barat pengamatan yang dianalisis dengan menggunakan indeks

pencemaran (Nemerow, 1974 dalam KepMen LH No. 115 tahun 2003 tentang

penentuan status mutu air dengan metoda indeks pencemaran dan berdasarkan

(5)

PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air), seperti pada Tabel 24.

Tabel 24 Indeks Pencemaran (IP) menurut golongan pada masing-masing

stasiun

Indeks Pencemaran (IP)

Golongan

Stasiun

I II III IV

ST1

5.80

5.10

4.00

3.00

ST2 6.10 5.50 4.40 3.40

ST3 5.20 4.60 3.50 2.40

ST4 5.20 4.50 3.40 2.40

ST5 5.60 5.00 3.70 2.70

ST6 4.30 3.70 2.40 1.30

ST7 6.00 5.50 3.70 2.70

ST8 6.90 6.30 5.10 4.00

ST9 6.70 6.10 4.90 3.90

ST10 4.60 4.00 2.90 1.80

ST11 6.80 6.10 5.10 4.00

ST12 4.40 3.80 2.60 1.60

Sumber: Hasil analisis, 2007

Nilai parameter yang ada dalam Tabel 24, merupakan nilai konversi dari

data konsentrasi hasil pengamatan setiap stasiun telah dihitung berdasarkan

formulasi yang ada dalam perhitungan. Nilai konversi merupakan nilai relatif

terhadap baku mutu. Berdasarkan nilai data survey pada 12 stasiun diperoleh

hasil bahwa indeks pencemaran (IP) yang melebihi ambang mutu yang

dianjurkan untuk kriteria kualitas air. Evaluasi kualitas air masing-masing stasiun

ditunjukkan pada Gambar 20.

(6)

Hulu Hilir Muara 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00 10.50 11.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Stasiun Pengamatan Inde ks Pe nc em a ran (B ak u M u tu G ol . I ) Kondisi Baik Cemar Ringan Cemar Sedang Cemar Berat

Gambar 20 Grafik tingkat status kualitas air menurut baku mutu golongan I di

DAS Citarum Jawa Barat dengan Indeks Pencemaran

Indeks pencemaran (IP) baku mutu golongan I pada Gambar 21

inyatakan bahwa kualitas air di perairan DAS hulu, hilir dan muara Citarum

bervariasi dengan status cemar sedang, nilai tertinggi berada pada stasiun 8

(Waduk Saguling) DAS hulu Citarum sebesar 6.90 dan cemar ringan berada

pada stasiun 6 (Rancamanyar) DAS hulu Citarum dengan nilai sebesar 4.30. Hal

ini bermakna bahwa nilai data pada 12 stasiun diperoleh hasil indeks

pencemaran (IP) untuk baku mutu golongan I telah melebihi ambang mutu yang

dianjurkan sebagai peruntukan air minum secara langsung tanpa pengolahan

terlebih dahulu.

Hulu Hilir Muara

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00 10.50 11.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Stasiun Pengamatan In d eks P en ce m ar an ( B aku M u tu G o l. I I) Kondisi Baik Cemar Ringan Cemar Sedang Cemar Berat

Gambar 21 Grafik tingkat status kualitas air menurut baku mutu golongan II di

DAS Citarum Jawa Barat dengan Indeks Pencemaran

(7)

Berdasarkan Gambar 21 bahwa status kualitas air untuk baku mutu

golongan II di perairan DAS hulu, hilir hingga muara Citarum juga bervariasi

dengan status cemar sedang dengan nilai tertinggi berada pada stasiun 8

(Waduk Saguling) DAS hulu Citarum sebesar 6.30 dan cemar ringan berada

pada stasiun 6 (Rancamanyar) DAS hulu Citarum dengan nilai sebesar 3.70. Ini

bermakna bahwa nilai pada 12 stasiun diperoleh hasil indeks pencemaran (IP)

untuk baku mutu golongan II telah melebihi ambang baku mutu yang dianjurkan

sebagai air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum.

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00 10.50 11.00 11.50 12.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Stasiun Pengamatan In d eks P e n cem ar an ( B a k u M u tu G o l. I II)

Hulu Hilir Muara

Cemar Berat

Cemara Sedang

Cemar Ringan

Kondisi Baik

Gambar 22 Grafik tingkat status kualitas air menurut baku mutu golongan III di

DAS Citarum Jawa Barat dengan Indeks Pencemaran

Pada Gambar 22 status kualitas air di perairan DAS hulu, hilir dan muara

Citarum pada 12 stasiun pengamatan bervariasi dengan kriteria cemar sedang

sampai cemar ringan. Kondisi status cemar sedang tertinggi terdapat pada dua

stasiun yaitu stasiun 8 (Waduk Saguling) DAS hulu (5.10) dan stasiun 11 (Muara

Gembong) di Muara Citarum (5.10). Status cemar ringan terdapat pada stasiun

ST6 Rancamanyar DAS hulu Citarum dengan nilai sebesar 2.40. Ini artinya hasil

indeks pencemaran (IP) untuk baku mutu golongan III telah melebihi ambang

baku mutu yang dianjurkan sebagai air yang dapat digunakan untuk keperluan

perikanan dan peternakan.

(8)

Hulu Hilir Muara 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5 11.0 11.5 12.0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Stasiun Pengamatan Indeks P e ncem ar a n ( B aku M u tu G o l. IV ) Kondisi Baik Cemar Ringan Cemar Sedang Cemar Berat

Gambar 23 Grafik tingkat status kualitas air menurut baku mutu golongan IV di

DAS Citarum Jawa Barat dengan Indeks Pencemaran

Berdasarkan Gambar 23 bahwa status indeks pencemaran (IP) kualitas

air untuk baku mutu golongan IV (di perairan DAS hulu, hilir hingga muara

Citarum juga bervariasi dengan status cemar sedang dengan nilai tertinggi

berada pada stasiun 8 (Waduk Saguling) DAS hulu Citarum sebesar 6.30 dan

cemar ringan berada pada stasiun 6 (Rancamanyar) DAS hulu Citarum dengan

nilai sebesar 3.70. Ini bermakna bahwa nilai pada 12 stasiun diperoleh hasil

indeks pencemaran (IP) untuk baku mutu golongan IV telah melebihi ambang

baku mutu yang di anjurkan sebagai air yang dapat digunakan sebagai

peternakan dan perikanan.

Sehubungan dengan hasil indeks pencemaran dan baku mutu yang telah

terlampaui pada DAS dan Pesisir bagian hulu, hilir dan muara Citarum Jawa

Barat sebagaimana yang telah direkomendir dengan payung hukum PPRI No.

81/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

dimana diperuntukkan pada kelas dan golongan II yang dianjurkan sebagai air

yang dapat digunakan sebagai air baku air minum. Kondisi status kualitas air

dan pengendalian pencemaran air pada DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat

saat ini berada pada kelas dan golongan III dan IV. Agar status kualitas air

tersebut dapat ditingkatkan dari kriteria baku mutu kelas dan golongan III dan IV

diperketat menjadi kelas dan golongan II maka diperlukan Peraturan Daerah

(Perda) yang lebih ketat dan tegas terhadap pengguna di sepanjang DAS dan

Pesisir Citarum Jawa Barat.

(9)

Tingkat erosi lembar yang terjadi, maka terlebih dahulu harus menduga

masing-masing faktor penentunya, seperti: faktor erosivitas hujan (R), faktor

erodibilitas tanah (K), faktor lereng (LS), faktor tanaman/vegetasi, (C) dan faktor

tindakan konservasi tanah (P).

Berdasarkan kondisi saat ini erosi yang terjadi pada DAS Citarum

berkisar dari 38.50 ton ha

-1

tahun

-1

(sub DAS Cisokan DAS Citarum hulu) sampai

306.13 ton ha

-1

tahun

-1

(sub DAS Cikaso DAS Citarum tengah), dengan rata-rata

164.15 ton ha

-1

tahun

-1

. Erosi tertinggi terjadi pada bagian tengah, hulu hilir DAS

Citarum. Berdasarkan erosi yang terjadi pada berbagai sub DAS dan bagian DAS

Citarum hulu maka laju penipisan dan penambahan tanah yang terjadi selama 10

tahun.

Aspek Sosial Ekonomi

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir diperoleh informasi bahwa

penurunan kualitas air dan ekosistem telah terjadi besarnya pencemaran,

menurunnya populasi habitat ekosistem perairan seperti ikan, maupun dampak

langsung yang berupa kasus penyakit yang terkait dengan pemanfaatan

sumberdaya DAS. Kaadaan tersebut berdampak pada masalah sosial dan

ekonomi masyarakat, khususnya penduduk sekitar DAS yang memanfaatkan

sebagai sumber ekonomi dan sosial.

Estimasi Kekeruhan dengan Citra Satelit Landsat ETM +7

Berdasarkan citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit

Landsat ETM +7 (Enhanced Thematic Mapper) path/row 122/64 akuisisi 29 April

2002 dan citra satelit Landsat ETM +7 (Enhanced Thematic Mapper) path/row

122/65 akuisisi 26 Juli 2004 Citra satelit Landsat ETM +7 dipilih penulis dalam

penentuan model tutupan lahan perairan waduk dan perairan laut, karena

memiliki resolusi spasial cukup tinggi yaitu sebesar 30 x 30 m. Satuan piksel

tersebut cukup merepresentasikan spot - spot zona potensial tutupan lahan

perairan untuk estimasi parameter kekeruhan tingkat pencemaran dan kualitas

air sebagai dasar dari Cell Based Modeling.

Citra

Landsat ETM +7 yang yang diperoleh dari BPPT dan Biotrop

(USGS) memiliki level L1G (telah terkoreksi secara radiometrik dan geometrik

secara sistematik) artinya sistem pada satelit telah diatur untuk mengkoreksi

(10)

faktor - faktor hamburan (debu dan aerosol) melalui perangkat lunak pada

receiver. Faktor - faktor ini merupakan input dalam pengkoreksian radiometrik

standar dari sistem Landsat ETM +7. Untuk mempertajam analisis dilakukan

kembali koreksi radiometrik.

Waduk Saguling

Kekeruhan

Peta tingkat kekeruhan perairan Waduk Saguling pada Gambar 24 disusun

berdasarkan transformasi algoritma kekeruhan perairan dengan menggunakan

citra Landsat ETM +7 dengan algoritma sebagai berikut: Keruh

(NTU)=-1.37+0.190*band 3 – 0.0223*band4

3

– 0.336*band5.

Hasil transformasi algoritma kekeruhan menunjukkan pada Waduk

Saguling terdapat 4 tingkat kekeruhan yaitu 0-1.5 NTU, >1.5-3.0 NTU, >3.0-4.5

NTU dan >4.5 NTU.

Tingkat kekeruhan 0 - 1.5 NTU terdapat mendominasi waduk tepatnya

bagian timur hingga selatan waduk, tingkat kekeruhan ini direpresentasikan

dengan warna biru. Perairan dengan tingkat kekeruhan 0-1.5 NTU merupakan

perairan dengan tingkat kekeruhan yang rendah. Perairan dengan tingkat

kekeruhan 1.5-3.0 NTU direpresentasikan dengan warna kuning terdapat

menyebar pada bagian tengah Waduk Saguling. Perairan dengan tingkat

kekeruhan ini tidak mendominasi. Perairan dengan tingkat kekeruhan 3.0-4.5

NTU direpresentasikan dengan warna hijau terdapat menyebar pada bagian

barat dan tengah Waduk Saguling.

(11)

Gambar 24 Peta kekeruhan Waduk Saguling DAS Citarum Jawa Barat.

Gambar 25 Kedalaman perairan Waduk Saguling DAS Citarum Jawa Barat

dalam model 3 dimensi.

Berdasarkan Gambar 25 dengan menggunakan pemodelan 3 Dimensi

(Digital Elevation Model) kedalaman Waduk Saguling DAS Citarum dibentuk

berdasarkan interpolasi titik-titik kedalaman sepanjang sungai dan muara

menggunakan perangkat lunak Surfer versi 8.0.

(12)

Waduk Cirata

Peta tingkat kekeruhan perairan Waduk Cirata pada Gambar 26 disusun

berdasarkan transformasi algoritma kekeruhan perairan dengan menggunakan

citra Landsat ETM +7 dengan algoritma sebagai berikut: Keruh (NTU) =

-1.37+0.190*band 3– 0.0223*band4

3

–0.336*band5. Hasil transformasi algoritma

kekeruhan menunjukkan pada Waduk Cirata terdapat 4 tingkat kekeruhan yaitu

0-1.5 NTU, >1.5-3.0 NTU, >3.0-4.5 NTU dan >4.5 NTU. Tingkat kekeruhan 0-1.5

NTU terdapat pada bagian barat hingga timur waduk, tingkat kekeruhan ini

direpresentasikan dengan warna biru (Gambar 28).

Gambar 26 Peta kekeruhan Waduk Cirata DAS Citarum Jawa Barat.

Berdasarkan Gambar 26 perairan dengan tingkat kekeruhan 0-1.5 NTU

merupakan perairan dengan tingkat kekeruhan yang rendah, hal ini diakibatkan

oleh rendahnya tingkat aktivitas manusia pada bagian barat hingga timur waduk.

Perairan dengan tingkat kekeruhan 1.5-3.0 NTU direpresentasikan dengan warna

kuning yang terdapat menyebar pada bagian tengah Waduk Cirata. Perairan

dengan tingkat kekeruhan 3.0-4.5 NTU direpresentasikan dengan warna hijau

terdapat menyebar pada bagian tengah Waduk Cirata. Sedangkan perairan

dengan tingkat kekeruhan tertinggi dikelaskan pada >4.5 NTU. Daerah ini

(13)

direpresentasikan dengan warna merah yang terdapat di bagian utara Waduk

Cirata. Daerah dengan tingkat kekeruhan sangat tinggi, ini diakibatkan oleh

aktivitas KJA (Keramba Jaring Apung) yang menyebar pada bagian Utara waduk

ini. Di samping itu aktivitas PLTA turut menyumbang tingginya tingkat kekeruhan

badan air.

Gambar 27 Kedalaman perairan Waduk Cirata DAS Citarum Jawa Barat dalam

model 3 dimensi.

Pada Gambar 27 pemodelan 3 dimensi (Digital Elevation Model)

kedalaman Waduk Cirata DAS Citarum dibentuk berdasarkan interpolasi titik-titik

kedalaman sepanjang sungai dan muara menggunakan perangkat lunak Surfer

versi 8.0. Kedalaman contoh kualitas air untuk kedalaman waduk adalah 0-55

meter.

Waduk Jatiluhur

Pada Gambar 28 peta tingkat kekeruhan perairan Waduk Jatiluhur

disusun berdasarkan transformasi algoritma kekeruhan perairan dengan

menggunakan citra Landsat 7/ETM dengan algoritma sebagai berikut: Keruh

(14)

algoritma kekeruhan menunjukkan pada Waduk Jatiluhur terdapat 4 tingkat

kekeruhan yaitu 0-1.5 NTU, >1.5-3.0 NTU, >3.0-4.5 NTU dan >4.5 NTU.

Gambar 28 Peta kekeruhan Waduk Jatiluhur DAS Citarum Jawa Barat.

Berdasarkan Gambar 28 tingkat kekeruhan 0-1.5 NTU terdapat pada

bagian barat hingga selatan waduk, tingkat kekeruhan ini direpresentasikan

dengan warna biru. Perairan dengan tingkat kekeruhan 0-1.5 NTU merupakan

perairan dengan tingkat kekeruhan yang rendah, hal ini diakibatkan oleh

rendahnya tingkat aktivitas manusia pada bagian barat hingga selatan waduk.

Perairan dengan tingkat kekeruhan 1.5-3.0 NTU direpresentasikan dengan warna

kuning yang terdapat menyebar pada bagian tengah Waduk Jatiluhur. Perairan

dengan tingkat kekeruhan 3.0-4.5 NTU direpresentasikan dengan warna hijau

terdapat menyebar pada bagian tengah Waduk Jatiluhur. Sedangkan perairan

dengan tingkat kekeruhan tertinggi dikelaskan pada >4.5 NTU. Daerah ini

direpresentasikan dengan warna merah yang terdapat menyebar di bagian timur

Waduk Jatiluhur. Daerah dengan tingkat kekeruhan sangat tinggi ini diakibatkan

oleh aktivitas KJA (Keramba Jaring Apung) yang menyebar pada bagian timur

waduk ini. Di samping itu aktivitas PLTA turut menyumbang tingginya tingkat

kekeruhan. Keramba Jaring Apung merupakan penyumbang terbesar tingkat

kekeruhan di waduk ini, dikarenakan pada aktivitas KJA ini pakan yang diberikan

petambak yang tidak habis dimakan ikan akan terakumulasi di bagian badan air.

(15)

Pada Gambar 29 pemodelan 3 dimensi (Digital Elevation Model)

kedalaman Waduk Cirata DAS Citarum dibentuk berdasarkan interpolasi titik-titik

kedalaman sepanjang sungai dan muara menggunakan perangkat lunak Surfer

versi 8.0. Kedalaman contoh kualitas air untuk kedalaman waduk adalah 0-65

meter.

Gambar 29 Kedalaman perairan Waduk Jatiluhur DAS Citarum Jawa Barat

dalam model 3 dimensi.

Muara dan Pesisir Citarum

Berdasarkan Gambar 30 dengan menggunakan pemodelan 3 Dimensi

(Digital Elevation Model) yaitu pada stasiun Muara Gembong pesisir Citarum

dibentuk berdasarkan interpolasi titik-titik kedalaman sepanjang sungai dan

muara menggunakan perangkat lunak Surfer versi 8.0, menunjukkan bahwa

daerah muara ini memiliki kedalaman dengan kisaran 0-6 m. Perairan ini

merupakan perairan landai, dimana slope yang terbentuk cukup kecil.

Kedalaman perairan meningkat seiring dengan bertambahnya jarak dari

muara sungai. Berdasarkan gambar yang telah terbentuk, terlihat bahwa daerah

muara merupakan daerah yang dangkal dengan kedalaman 2.5 hingga 6 m.

Daerah di depan muara sungai memiliki kedalaman sekitar 2.5 – 3.5 m.

Dangkalnya daerah ini diakibatkan oleh adanya deposit material dari sungai

(16)

sepanjang tahun sehingga partikel-partikel yang berukuran lebih besar tidak

mampu mempertahankan posisinya di badan air, kemudian akan turun ke dasar

perairan.

Semakin banyak jumlah partikel yang turun ke dasar maka akan

menyebabkan terjadinya pendangkalan perairan. Dasar perairan muara sungai

ini merupakan pasir berlumpur. Proses sedimentasi memegang peranan penting

dalam pembentukan tipe perairan di daerah ini. Oleh karena itu, pada umumnya

pantai-pantai di pesisir sebelah Utara Citarum Jawa Barat memiliki kedalaman

yang relatif dangkal dengan slope yang rendah, karena banyaknya sungai yang

bermuara di Utara Jawa.

Gambar 30 Kedalaman perairan Pesisir Muara Gembong DAS Citarum Jawa

Barat dalam model 3 dimensi.

(17)

Gambar 31 Kedalaman perairan Pesisir Muara Tanjung Pakisjaya DAS Citarum

Jawa Barat dalam model 3 dimensi.

Kualitas Perairan Pesisir dan Laut

Pada Gambar 32 terlihat bahwa nilai kekeruhan di muara sungai yaitu > 5

NTU, semakin menjauhi muara maka tingkat kekeruhan akan menurun pula.

Kekeruhan merupakan parameter perairan yang menggambarkan sifat optik air

dan ditentukan berdasarkan kuantitas cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh

bahan-bahan yang terdapat dalam air. Bahan organik dan bahan anorganik baik

(18)

tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, plankton dan

mikroorganisme lainnya merupakan penyebab kekeruhan di perairan (APHA,

1976; Davis dan Cornwell, 1991). Satuan kekeruhan adalah unit turbiditas setara

dengan 1 mg/l SiO

2

. Satuan kekeruhan dengan metode Nephelometric adalah

NTU (Nephelometric Turbidity Unit).

Gambar 32 Peta tingkat kekeruhan pada Sub DAS Citarum hilir DAS Citarum

Jawa Barat

Kekeruhan yang tinggi akibat tingginya padatan tersuspensi dan padatan

terlarut di perairan dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi

seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat

penetrasi cahaya ke dalam air sehingga mengganggu proses fotosintesis yang

terjadi di perairan (Effendi, 2000).

(19)

Berdasarkan Gambar 32 peta tingkat kekeruhan di muara Citarum

terlihat tingkat kekeruhan perairan berfluktuatif seiring dengan bertambahnya

jarak dari daratan. Kelas kekeruhan dibagi menjadi 6 yaitu, kekeruhan sangat

tinggi, kekeruhan tinggi, cukup keruh, kekeruhan rendah, kekeruhan sangat

rendah dan tidak keruh. Kekeruhan di muara dan sub DAS Citarum hilir DAS

Citarum Jawa Barat disebabkan oleh adanya meterial yang dibawa air secara

kumulatif dari DAS Citarum bagian hulu, tengah, pesisir hingga muara sehingga

pada wilayah estuari ini akan terdeposit sedimen yang akan menyebabkan

perairan menjadi dangkal. Sepanjang pesisir DAS Citarum memiliki tingkat

kekeruhan yang sangat tinggi, hal ini mengakibatkan terumbu karang sebagai

ekosistem wilayah pesisir dan laut tropis tidak dapat hidup di wilayah ini, karena

faktor kekeruhan perairan merupakan faktor daya dukung yang paling penting

bagi kehidupan terumbu karang.

Kondisi Ekosistem Pesisir

Ekosistem Mangrove

Hasil analisis penggabungan citra landsat ETM +7 pat/row 122/64 Tahun

2002 dan citra landsat landsat ETM +7 pat/row 122/64 Tahun 2004 (Gambar 33

dan 34), memperlihatkan dimana kondisi lahan ekosistem mangrave semakin

berkurang dari luasan 321,437 ha menjadi 179,686 ha (di lokasi Penelitian)

Pemanfaatan ekosistem mangrove yang telah dilakukan di masa lalu, tanpa

mengindahkan unsur-unsur kelestarian dan rehabilitasi telah menyebabkan

kondisi ekosistem mangrove mengalami kerusakan/degradasi baik secara

kualitas maupun kuantitas, yang pada saat ini diperkirakan keadaan ekosistem

mangrove di pantura Jawa Barat cenderung mengalami kerusakan 71,1%

cenderung mengalami kerusakan yang perlu segera ditangani.

Penurunan atau berkurangnya luasan ekosistem mangrove tersebut

disebabkan oleh manusia dalam mendayagunakan wilayah pantai dengan

mengkonversikan ekosistem mangrove menjadi lahan pertambakan yang

berlebihan, pemukiman baru, sebagai kawasan industri dan sebagian tergerus

oleh arus gelombang atau erosi pantai (abrasi).

Wilayah pesisir Citarum Jawa Barat sebagian besar merupakan daerah

akresi, yaitu daerah yang terus menerus bertambah luas karena proses

pengendapan lumpur yang berasal dari sungai-sungai yang bermuara di laut

Jawa. Kondisi ekosistem mangrove, akresi membuka kesempatan

(20)

berkembangnya ekosistem mangrove muda ke arah laut dengan menempati

tanah timbul, akan tetapi bersamaan dengan terjadinya tanah timbul, langsung

dikuasai oleh masyarakat untuk dijadikan pertambakan baru.

Berdasarkan data yang tersedia di Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Provinsi Jawa Barat, luas tanah timbul yang terjadi saat ini adalah seluas

13.542.63 ha, sedangkan luas tanah yang hilang akibat abrasi adalah seluas

4.480.08 ha. Dengan desa yang sama ekosistem mangrove pada tahun 2004

memiliki luas sebesar 179.686 hektar. Terjadi penurunan luasan ekosistem

mangrove dalam dua tahun tersebut sebesar 141.751 ha.

Penurunan luasan

tersebut diakibatkan adanya konversi lahan tambak dan kawasan terbangun.

Gambar 33 Peta perubahan luasan mangrove pada Sub DAS Citarum hilir DAS

Citarum Jawa Barat.

(21)

Gambar 34 Peta ekosistem luasan mangrove tidak berubah pada sub DAS

Citarum hilir DAS Citarum Jawa Barat

(22)

Gambar 35 Kondisi kerapatan mangrove di Pesisir DAS Citarum

Aspek Sosial

Kebijakan Saat Ini

Kebijakan yang berjalan saat ini sangat menentukan bagi

keberlangsungan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan DAS, yaitu

keberlanjutan fungsi waduk, kelestarian ekosistem wilayah pesisir dan lautan.

DAS yang diindikasikan berkualitas baik ditandai oleh kondisi tutupan vegetasi

lahan, kualitas air, kemampuan menyimpan air, dan curah hujan. Kebijakan yang

digunakan untuk waduk yang berfungsi sebagai pasokan air bagi pembangkit

listrik tenaga air (PLTA) dan air yang dapat dimanfaatkan sebagai barang publik

adalah kebijakan dengan pendekatan pasar dan bukan pasar. Kebijakan

menggunakan pendekatan pasar adalah izin melepaskan pencemar yang dapat

ditransfer (transferable discharge permit-TDP) dan economis instrument (EI)

seperti kompensasi, internalisasi ke dalam biaya perusahaan serta pajak dan

subsidi. Sedangkan kebijakan menggunakan pendekatan bukan pasar dilakukan

dengan menggunakan kebijakan command and control (CAC) atau perintah dan

pengawasan, seperti administrasi dan perundang-undangan (Turner et al. 1994;

Fauzi 2004).

Ada tiga aspek yang dijadikan sebagai parameter untuk mengkaji

kebijakan saat ini, yaitu aspek kebijakan, aspek kelembagaan, dan aspek

peraturan.

(23)

Aspek Kebijakan

Kebijakan pengelolaan sumberdaya air mengacu pada Undang-Undang

No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang digantikan posisinya dengan

Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Hasil kajian

menunjukkan bahwa kewenangan dan tanggung jawab untuk pengelolaan

wilayah DAS ditangani oleh berbagai lembaga. Wilayah sungai menjadi

kewenangan dan tanggung jawab Departemen Pekerjaan Umum yang diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai. Untuk

pengelolaan pesisir terpadu menjadi kewenangan dan tanggung Jawab

Departemen Kelautan dan Perikanan yang diatur dalam Nomor Kep.

10/Men/2002, sebagaimana dimaksud diktum PERTAMA digunakan sebagai

acuan bagi pejabat, aparat, dan/atau masayarakat dalam melaksanakan

pengelolaan pesisir yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Berkaitan

dengan hutan, menjadi kewenangan dan tanggung jawab Departemen

Kehutanan, sesuai dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan. Berkaitan dengan DAS seperti yang disebutkan pada pasal 4 dalam

Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan menjadi

kewenangan dan tanggung jawab Departemen Kehutanan. Urusan lingkungan

hidup menjadi kewenangan dan tanggung jawab Kementrian Lingkungan Hidup

sesuai aturan yang berlaku pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kewenangan dan tanggung jawab pemerintahan

daerah melalui pemberian desentralisasi dan otonomi oleh daerah, dituangkan

dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menjadi

urusan bagi pemerintah provinsi dan kabupaten serta kota.

Penanganan pengelolaan pesisir dan DAS oleh berbagai sektor dapat

memberikan implikasi adanya ketidak-terpaduan penerapan dalam perencanaan,

pelaksaaan dan pengawasan, sehingga dapat menimbulkan pertentangan antara

satu lembaga dengan lembaga lain. Berbagai persoalan yang ada dalam kaitan

dengan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari kewenangan dan tanggung jawab

yang dimiliki masing-masing instansi atau lembaga baik pemerintah pusat

maupun pemerintah provinsi, perintah kabupaten/kota.

(24)

Gambar 36 Kewenangan dan tanggung jawab pemerintah dikoordinasikan oleh

Departemen Pekerjaan Umum dan hubungannya dengan Pemda

dalam pengelolaan Pesisir dan DAS Citarum.

Gambar 36 menunjukkan bahwa fungsi perencanaan berada pada

Pemerintah Pusat, yaitu di bawah koordinasi Departemen Pekerjaan Umum,

mulai dari perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan dengan anggota

semua instansi terkait ditingkat Pemerintah Pusat. Sementara itu, pelaksanaan

dari hasil rencana yang telah disepakati menjadi kewenangan dan tanggung

jawab masing-masing instansi terkait di tingkat pemerintah pusat. Di lain pihak,

semua instansi terkait menjadi penanggung jawab pengendalian kegiatan di

lapangan dengan Pemerintah Daerah. Hal ini sesuai dengan UU No. 11 Tahun

1974 yang telah diubah dengan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.

Pada UU tersebut pasal 86 ayat 1,2, dan 3 dinyatakan bahwa koordinasi berada

ditangan dewan sumberdaya air atau nama lain yang bertugas menyusun serta

merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumberdaya air dengan

keputusan presiden.

Kewenangan dan tanggung jawab dari masing-masing instansi atau

lembaga yang menangani di tingkat pusat dapat menimbulkan keragaman dalam

(25)

solusi karena bersifat elitism (Bate,1994), yaitu mekanisme pengelolaan dari atas

ke bawah. Mekanisme yang dipakai ini seperti yang dikemukaan oleh Healey

(1990), bahwa proses kebijakan dimulai dari formulasi kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah pusat sebagai program nasioanl sampai implementasi spesifik yang

dijabarkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat.

Pemerintah daerah, dalam hal ini Gubernur menerima pendelegasian

tanggung jawab pengawasan dan dampak yang terjadi melalui koordinasi

dengan Pemerintah Pusat di dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup

di daerah. Didasari atas kewenangan dan tanggung jawab berada pada

Pemerintah Pusat, seperti disebutkan dalam peraturan bahwa perencanaan

dapat terkoordinasi oleh instansi yang berwenang sesuai dengan bidang

tugasnya (UU No.7 tahun 2004 pasal 26 Ayat 1, Pasal 34 Ayat 1 dan Pasal 42

Ayat 1 tentang Sumberdaya Air), tidak secara tegas menyebutkan lembaga yang

melakukan perencanaan dan pengelolaan air. Hal ini dapat memperlemah peran

dan partisipasi Pemerintah Daerah dalam perencanaan untuk mengelola potensi

yang ada di daerahnya agar dapat memanfaatkan potensi sumberdaya tersebut

secara optimal.

Selain itu, lemahnya peran daerah dalam keterlibatan pada proses

perumusan kebijakan untuk mengelola sumberdaya daerahnya, mengakibatkan

adanya kelemahan keterpaduan di dalam penerapan, misalnya tindakan dan

tujuan yang tidak sejalan, disebabkan kekosongan wadah untuk pelaksanaan

kebijakan dalam tingkat koordinasi dan belum adanya peraturan pelaksanaannya

dalam penjabaran kebijakan ke tingkat yang paling bawah. Kebijakan yang

dikemukakan lebih banyak bersifat top down atau elitism (Bate 1994), sehingga

dalam pelaksanaannya di lapangan mengalami kelemahan seperti ego sektoral,

yang berakibat negatif terhadap ekosistem DAS dan Pesisir. Sebagai contoh,

Keputusan Presiden No. 9 Tahun 1999 tentang Tim Koordinasi Kebijakan

Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai

dipimpin oleh Departemen Pekerjaan Umum dengan anggota berbagai instansi

pemerintah (Gambar 36). Selain itu, Peraturan pemerintah No. 94 Tahun 1999

tentang Perusahaan Umum Jasa Tirta II, yaitu kegiatan pengelolaan atas air dan

sumber-sumber air di wilayah Sungai Citarum berada pada Perum Jasa Tirta II.

Peraturan pemerintah tersebut memberikan tugas dan kegiatan kepada usaha

negara dalam rangka pengelolaan sumber-sumber air di Sungai Citarum.

Walaupun usaha air diberikan kepada swasta, tetapi pengelolaan mulai dari

(26)

perencanaan sampai pada pengendalian tetap menjadi bagian dari pada

Pemerintah Daerah.

Gambar 36 tersebut menunjukkan bahwa adanya kelemahan kegiatan

koordinasi dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah

Daerah. Hal ini dapat terlihat adanya kewenangan dan tanggung jawab yang

tersekat-sekat berdasarkan kewilayahan dan bukan berdasarkan pada ekologi

air. Selain itu, pada Pasal 13 Ayat 3 dan Pasal 14 (h) UU No. 7 Tahun 2004

tentang Sumberdaya Air, wilayah sungai stategis nasional menjadi kewenangan

dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan bukan menjadi kewenangan dan

tanggung jawab Pemerintah Daerah. Kondisi ini menyebabkan lembaga-lembaga

terkait yang menangani wilayah DAS Citarum hulu ditingkat pemerintah daerah

kurang dapat berfungsi dan berperan untuk mengkoordinasikan berbagai

kegiatan bagi efektivitas DAS, waduk dan pesisir, dengan konsekuensi

masing-masing sektor dan daerah berjalan sendiri-sendiri, sehingga keterpaduan belum

dapat terealisir dengan baik.

Aspek Kelembagaan

Pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum selama ini melibatkan beberapa

lembaga pengelola dengan peran dan fungsinya masing-masing.

Lembaga-lembaga tersebut terdiri dari unsur pemerintah, Lembaga-lembaga swadaya masyarakat,

perguruan tinggi dan swasta. Selama ini lembaga-lembaga tersebut menjalankan

aktivitasnya sesuai dengan arah dan kebijakan masing-masing lembaga. Artinya

selama ini belum ada suatu lembaga khusus yang dapat menjadi sebuah wadah

koordinasi antar lembaga yang berperan aktif dalam pengelolaan DAS Citarum

dari hulu sampai hilir.

Unsur Pemerintah

Lembaga pemerintah yang terkait dalam pengelolaan DAS Citarum

tersebut, yaitu Dinas

1

tata Ruang dan Pemukiman, Dinas Pengelolaan

Sumberdaya Air, Dinas Kehutanan, dan Dinas Perindustrian sebagai unsur

pelaksana yang bersifat teknis operasional. Selain unsur dinas, terdapat

beberapa badan terkait dengan penanganan di wilayah DAS yaitu badan

1

Menurut Peraturan Daerah (PERDA) No. 15 Tahun 2000 tentang Dinas Daerah Propinsi Jawa Barat, Dinas adalah unsur pelaksana yang mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan operasional dan melaksanakan sebagian kewenangan desentralisasi proponsi dan kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubernur. Sedangkan fungsi dinas adalah melakukan perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum, serta pemberian pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya.

(27)

perencanaan daerah (Bappeda) dan badan pengendalian lingkungan hidup

daerah (BPLHD) sebagai unsur penunjang yang bersifat koordinatif.

PERDA No. 16 Tahun 2000 tentang Lembaga Teknis Daerah Provinsi

Jawa Barat, tugas dari lembaga teknis adalah merumuskan kebijakan teknis dan

melaksanakan kewenangan tertentu pemerintah propinsi sesuai dengan

kebutuhan daerah dan kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubernur. Fungsi

dari lembaga teknis adalah melakukan perumusan kebijakan teknis sesuai

dengan lingkup tugasnya dan pelayanan penunjang penyelenggaraan

pemerintah provinsi. Gambar 37 menunjukkan struktur organisasi di tingkat

pemerintah daerah tentang adanya kelemahan dalam mekanisme manajemen

dalam arti perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam pengelolaan DAS

Citarum untuk efektivitas pengelolaan potensi ekonomi sumberdaya daratan

(land base resources).

Gambar 37 Struktur kelembagaan Pemda Provinsi Jawa Barat.

Penjelasan tentang dinas daerah sebagai unsur pelaksana yang besifat

teknis operasional dan badan daerah sebagai unsur penunjang yang bersifat

koordinatif yang terkait dengan wilayah DAS adalah sebagai berikut :

Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (TRP)

Dinas TRP berfungsi merumuskan kebijakan operasional dan

melaksanakan sebagian kewenangan desentralisasi provinsi serta yang

dilimpahkan kepada Gubernur. Dinas TRP melaksanakan rencana tata ruang

(28)

wilayah Provinsi Jawa Barat. Lembaga tersebut melaksanakan tugas dan fungsi

yang sangat strategis dalam menunjang kehidupan dan peningkatan tata

kehidupan masyarakat di wilayah DAS, karena DAS merupakan kebutuhan vital

untuk kepentingan irigasi, pertanian, industri, air bersih dan PLTA. Fungsi

rencana tata ruang wilayah Provinsi Jawa Barat adalah untuk memberikan

arahan kebijakan pokok tentang pemanfaatan ruang dan struktur tata ruang di

Propinsi Jawa Barat sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah yang dimiliki.

Arah kebijakan yang ditempuh dalam tata ruang wilayah (TRW) Provinsi

Jawa Barat adalah meliputi arahan pada pengelolaan kawasan lindungan

budaya, kawasan perkotaan dan pedesaan, kawasan pemukiman, hutan,

pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, pengembangan sistem

prasarana wilayah, dan arahan kebijakan dalam penggunaan sumberdaya alam

yang terpadu dengan sumberdaya manusia dan buatan. Evaluasi teknis

pelaksanan Dinas yang bersangkutan belum koordinatif dengan dinas terkait

dalam pengelolaan DAS dan pesisir Citarum Jawa Barat. Hal ini disebabkan

karena masing-masing dinas punya program sektoral.

Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air (PSDA)

Dinas PSDA berfungsi merumuskan kebijakan operasional dan kebijakan

sebagian kewenangan desentralisasi provinsi dan yang dilimpahkan kepada

gubernur. Dinas PSDA bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan

sumberdaya air, agar pemanfaatannya dapat berdaya guna dan berhasil guna,

serta tidak merusak tata lingkungan untuk ketersediaan sumberdaya air.

Lembaga ini dalam melaksanakan fungsinya melakukan perencanaan dan

pengembangan sumberdaya air, melakukan database sumberdaya air dan

hidrologi, mengendalikan kuantitas sumberdaya air, pemantauan kualitas air,

alokasi air yang difokuskan pada sungai, pemeliharaan prasarana sungai,

penanganan irigasi lintas kabupaten/kota, pelestarian dan konservasi situ, proses

perizinan air permukaan, dan pemakaian tanah negara serta evaluasi

sumberdaya air.

Tugas dinas PSDA saat ini dihadapkan dengan meningkatnya kegiatan

industri dan tingginya pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun yang menuntut

pemenuhan kebutuhan sumberdaya air yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.

Tantangan ini menuntut agar sumberdaya air dioptimalkan dengan

memanfaatkan mata air, air tanah dan air permukaan. Evaluasi teknis

(29)

pelaksanan Dinas yang bersangkutan belum koordinatif dengan dinas terkait

dalam pengelolaan DAS dan pesisir Citarum Jawa Barat. Hal ini disebabkan

karena masing-masing dinas punya program sektoral.

Dinas Kehutanan

Dinas kehutanan berfungsi merumuskan kebijakan operasional dan

melaksanakan sebagian kewenangan desentralisasi provinsi yang dilimpahkan

kepada gubernur. Dinas Kehutanan bertanggung jawab terhadap pengelolaan

penggunaan lahan hutan dan arahan rehabilitasi lahan hutan dan konservasi

tanah agar tercapai kondisi hutan, tanah, dan air, serta lingkungan yang optimal

dalam membantu mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan

(sustainable development). Dinas Kehutanan melakukan penyusunan pola

rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT), dengan harapan terjalin

koordinasi dalam perencanaan dan pengelolaan DAS yang menjadi pegangan

dan arahan dalam rehabilitasi tanah dan konservasi lahan untuk tujuan

peningkatan kemampuan sumberdaya alam, hutan, tanah dan air.

Berdasarkan hasil data peta penelitian pemeliharaan desa pantai utara

Jawa Barat wilayah BRLKT Citarum-Ciliwung seluas 106.533 ha, maka

pemanfaatan/penggunaan lahan pada saat ini meliputi tanamanan mangrove

1.457 ha, tambak mangrove 8.877 ha, tambak 33.156 ha, petarnian 56.638 ha,

rawa 149 ha dan lain-lain 6.256 ha.

Dari luas desa-desa pantai wilayah BRLKT Citarum-Ciliwung 106.533 ha,

luas yang ditumbuhi tanaman mangrove adalah 10.334 ha (9%). Menurut data

yang ada maka pekerjaan tata batas/penetapan yang telah dilakukan adalah

berdasarkan data yang diperoleh dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dari

luas ekosistem Mangrove 25.226,10 ha telah dikukuhkan dan ditata batas seluas

21.408.44 ha. Kepemilikan lahan yang dikuasai masyarakat, bukti kepemilikan

masih berupa girik, apalagi terhadap tanah timbul masih berupa surat izin dari

desa, sedangkan untuk lahan yang dikuasai oleh para pengusaha pada

umumnya sudah bersertifikat. Dalam pelaksanaan dan wewenang Dinas

Kehutanan masih tumpang tindih. Program pengelolaan hutan magrove masih

sektoral yang seharusnya ada kolaborasi dengan instansi terkait dalam

pengelolaan pesisir yaitu dengan Dinas Perikanan dan Kelautan pada

masing-masing Kabupaten yang memiliki daerah pesisir pada DAS dan pesisir Citarum

Jawa Barat.

(30)

Dinas Perindustrian

Setiap industri yang ada di sepanjang alur sungai dalam pemanfaatan air

permukaan, baik untuk kegunaan proses produksi maupun untuk keperluan

buangan limbah, merupakan tanggung jawab dinas Perindustrian Provinsi Jawa

Barat. Dinas Perindustrian bekerjasama dengan Dinas PSDA, Badan

Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) dan Pemerintah Kabupaten

Bandung, membuat keputusan diizinkan atau tidaknya industri mengambil air

permukaan dari badan sungai untuk keperluan kegiatannya dan untuk tempat

pembuangan limbah industri.

Kebijakan dalam pemberian izin oleh setiap industri baik untuk kebutuhan

proses produksi maupun untuk keperluan buangan air diatur dalam Peraturan

Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air, yang

menyatakan bahwa penggunaan air atau sumber air untuk kegiatan usaha

industri dan pertambangan, termasuk pertambangan minyak dan gas bumi diatur

oleh menteri bersama yang bersangkutan. Selanjutnya, keperluan buangan

limbah cair dan padat pada Pasal 19 PP tersebut, pemerintah wajib menilai

kegunaan untuk keperluan tersebut serta akibatnya terhadap keseimbangan air

baik kualitas maupun kuantitasnya di dalam wilayah tata pengaturan air yang

bersangkutan. Terpenuhinya persyaratan pembuangan air limbah beserta

bahan-bahan limbah lainnya sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangan

yang berlaku menjadi acuan utama.

Keterlibatan Dinas Perindustrian Jawa Barat dalam pengelolaan

sumberdaya air Sungai Citarum terbatas pada tugas pokok dan fungsinya

sebagai pelaksana dan pembina industri dan penanganan limbah industri serta

optimalisasi pemanfaatan air permukaan untuk proses produksi demi kelestarian

sumberdaya air dan kebutuhan kehidupan yang berkelanjutan. Dinas ini juga

masih sektoral dan belum terpadu didalam pelaksanaan.

Dinas Perikanan

Dinas Perikanan berfungsi merumuskan kebijakan operasional dan

melaksanakan sebahagian kewenangan desentralisasi Provinsi dan yang

dilimpahkan kepada Gubernur. Sedangkan fungsi dinas adalah melakukan

perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, pemberian

perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum, serta pemberian pelaksanaan

tugas sesuai dengan lingkup tugasnya. Dinas perikanan bertanggung jawab

(31)

terhadap pengelolaan penggunaan lahan pertambakan perizinan penangkapan

dan membuka lahan tambak dan membina para petani tambak dan nelayan.

Dinas Perikanan juga belum koordintif dan masih terkesan sektoral dalam

menjalankan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI). Hal ini disebabkan payung

hukum pengelolaan DAS dan pesisir masih tumpang tindih dengan sektor

lainnya.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)

Bapeda Provinsi Jawa Barat berfungsi sebagai koordinator perencanaan

daerah agar pada program pembangunan terdapat keselarasan, keserasian, dan

keterpaduan antar berbagai sektor pengelola di daerah Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 16 Tahun 2000 tentang

Lembaga Teknis Daerah Provinsi Jawa Barat, Bapeda Jawa Barat mempunyai

tugas merumuskan kebijakan teknis di bidang koordinasi perencanaan di antara

satuan organisasi lain dalam lingkungan Pemerintah Daerah yang berada di

wilayah Jawa Barat untuk penataan ruang dan lingkungan hidup, perekonomian

regional, sosial budaya, administrasi publik dan pembiayaan, serta monitoring

dan evaluasi.

Bapeda Provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya

melakukan kerjasama dengan berbagai instansi yang ada di daerah Provinsi

Jawa Barat untuk kelancaran proses perencanaan daerah secara menyeluruh

yang dilakukan secara terkoordinasi dalam satu kesatuan ruang yang dinamis,

selanjutnya dapat memberikan pengesahan anggaran untuk tahun berjalan bagi

masing-masing instansi yang berjalan.

Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD)

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 16 Tahun 2000

tentang Lembaga Teknis Daerah Provinsi Jawa Barat, BPLHD mempunyai tugas

pokok melakukan perumusan kebijakan teknis dalam melaksanakan analisis

mengenai dampak lingkungan, pengendalian pencemaran lingkungan dan

pengendalian kerusakan lingkungan.

BPLHD adalah salah satu badan yang bertugas melakukan pengendalian

lingkungan hidup di Provinsi Jawa Barat, sehingga dalam melaksanakan

fungsinya melakukan koordinasi dalam hal pengendalian dan pengawasan,

(32)

seperti perizinan pemanfaatan, pengendalian pencemaran, dan kerusakan

lingkungan.

Tugas pokok dan fungsi kelembagaan baik dinas maupun badan tersebut

ditinjau dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan ditemukan

adanya kelemahan mekanisme kerjasama antar lembaga. Kelemahan dalam

aspek manajemen tersebut terutama dilihat pada aspek perncanaan dan

pengawasan. Dalam aspek perencanaan, lembaga yang menangani

pelaksanaan koordinasi terkesan dengan mengumpulkan kegiatan semua

komponen uang ada di lingkungan provinsi. Oleh karena itu, perencanaan yang

diusulkan terlihat berdasarkan sektor per sektor, tidak secara kesisteman alam

lingkup provinsi, sehingga wilayah DAS hanya terlihat dari aspek yang lebih kecil

seperti penanganan banjir dan limbah yang diusulkan masing-masing instansi

yang menangani. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 22 (k), Pemda

mempunyai kewajiban untuk melestarikan lingkungan hidup dan pada pasal 17

Ayat 2 (a), Pemda mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pemanfaatan

SDA dan sumberdaya lainnya. Untuk itu, koordinasi perencanaan seyogianya

ditangani menyeluruh dengan pendekatan ekologi. Kegiatan yang tidak dalam

satu perncanaan akan memperlemah pada alokasi anggaran, sehingga aspek

perencanaan tersebut memberikan konsekuensi bersifat jangka pendek dan

sesaat.

Untuk aspek pengawasan, BPLHD berfungsi sebagai koordinator

pengendalian lingkungan hidup, disisi lain bapeda berfungsi sebagai koordinator

perencanaan. Fungsi pengendalian dimulai setelah fungsi pelaksanaan berjalan

dengan baik sesuai dengan rencana kerja yang telah diusulkan dalam satu tahun

anggaran. Sesuai mekanisme manajemen fungsi pengendalian tersebut

berperan dalam pengawasan kegiatan yang dilaksanakan berbagai sektor

pelaksana. Sedangkan, fungsi perencanaan ini dimulai dari musyawarah

perencana pembangunan dari tingkat desa sampai tingkat propinsi dengan

usulan rencana kegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan sektor

pelaksana kegiatan di lapangan. Di dalam musyawarah kegiatan pembangunan

ini, usulan rencana kegiatan disampaikan sesuai dengan tugas dan fungsi sektor

masing-masing. Dari mekanisme ini, kurang memperlihatkan sinkronisasi dan

keberlanjutan lingkungan hidup dalam perencanaan tersebut secara utuh

disebabkan fingsi pelaksanaan berada di sektor lain secara tersebar. Kegiatan

lingkungan hidup bukan hanya dilakukan dalam aspek pengendalian dan

(33)

perencanaan untuk menciptakan keserasian, tetapi juga pelaksanaan yang

merupakan satu kesatuan kegiatan berdasarkan tujuan dengan menggunakan

pendekatan ekologi. Oleh karena itu, penanganan lingkungan hidup lebih

menguntungkan dilakukan dengan gabungan cara yang bersifat operasional

dengan yang bersifat koordinatif. Penanganan lingkungan hidup lebih efektif

bilamana dilakukan oleh satu lembaga dengan sifat operasional dan koordinatif.

Dalam penanganan dalam satu lembaga ini, lembaga tersebut dapat

melaksanakan mekanisme manajerial antar instansi operasional dan instansi

koordinatif dengan hasil adanya suatu kesepakatan yang utuh. Hasil ini

diteruskan ke Bapeda yang bertanggung jawab dalam koordinasi perencanaan

dalam lingkup provinsi untuk mendapatkan pengesahan dan anggaran.

Dalam menangani DAS Citarum hulu, terkesan kurang bersifat

komprehensif dan menyeluruh untuk mencari dan menyelesaikan akar persoalan

agar tercipta nuansa keterpaduan. Konsekuensi tersebut mengakibatkan dinas

sebagai unsur pelaksana melakukan kegiatan yang bersifat mikro, yaitu

melakukan hal yang bersifat sektoral kedinasan dan berjalan sendiri sesuai

dengan rencana dan tugas pokok dan fungsinya. Hal ini terlihat dari pola

pemanfaatan lahan oleh masyarakat yang belum terkendali, semakin

menurunnya debit air rata-rata pada musim kemarau dan terjadi banjir pada

musim penghujan, terjadinya erosi di DAS Citarum hulu, dan masih ditemukan di

lapangan adanya akumulasi bahan-bahan pencemar yang dibuang ke sungai,

sehingga kondisi air sungai tidak dapat digunakan untuk keperluan tertentu. Oleh

karena itu, wilayah DAS sebagai ekosistem sebaiknya dipandang sebagai

wilayah yang bersifat makro dan komprehensif dalam penanganan baik dalam

aspek perencanaan, pengendalian dan pengawasan dengan melibatkan semua

lembaga terkait. Kondisi tersebut memerlukan penguatan kelembagaan yang

lebih koordinatif sesuai dengan proses manajemen dengan memandang wilayah

DAS secara menyeluruh dan terpadu.

Gambar 37 menunjukkan adanya kehilangan link and match dalam

mekanisme manajemen DAS yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan. Kehilangan link and match tersebut disebabkan kehilangan

koordinasi bagi efektivitas Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur sebagai alat

perumusan dan penerapan kebijakan antara pemerintah dengan pemerintah

daerah serta masyarakat. Koordinasi antara pemerintah dengan pemerintah

daerah serta masyarakat tidak mempunyai keterhubungan satu sama lain baik

(34)

ditinjau dari aspek perencanaan dan pelaksanaan yang mengakibatkan

rendahnya koordinasi perencanaan dan pelaksanaan antar sektor serta

masyarakat. Konsekuensi tersebut menyebabkan kehilangan mekanisme

manajemen dan mutu pelayanan. Lemahnya kapasitas lembaga menyebabkan

penerapan kebijakan yang dilaksanakan sulit mencapai tujuan dan sasaran yang

diharapkan. Oleh karena itu, yang ada dalam lembaga perlu diberdayakan

melalui akselerasi pemberdayaan yaitu partisipasi dan konsultasi publik terhadap

pemerintah daerah dan masyarakat.

Keterlibatan berbagai lembaga dalam perumusan kebijakan di tingkat

provinsi seperti Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air, Dinas Tata Ruang dan

Pemukiman, Dinas Kehutanan, Bapeda dan BPLHD, merupakan tugas dan

fungsi regulator yang terkesan masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Gambar

40 juga menunjukkan bahwa adanya kehilangan kelembagaan koordinatif

sebagai akibat kelemahan hubungan kerja atau komunikasi sehingga

pemberdayaan yaitu partisipasi dan sosialisasi dalam arti organisasi tidak akan

berjalan secara efektif dan efisien.

Unsur Lembaga Swadaya Masyarakat

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) selama ini sangat berperan dalam

memberdayakan masyarakat di sekitar DAS Citarum dan memberikan

penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat terkait dengan pengelolaan DAS

Citarum secara berkelanjutan. Selain itu juga LSM tersebut berperan dalam

menyampaikan aspirasi masyarakat sekitar DAS Citarum kepada pihak

pemerintah Jawa Barat. Selama ini keberadaan LSM tersebut hanya berperan

disekitar wilayah hulu dan tengah DAS Citarum. Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) yang selama ini terlibat dalam pengelolaan DAS Citarum terdiri dari 7

organisasi, yaitu Masyarakat Cinta Citarum (MCC): kepeduliannya terutama

terhadap kualitas dan kuantitas DAS Citarum; Citarum Bergetar: kepeduliannya

terhadap pengelolaan DAS Citarum yang difasilitasi oleh Pemda Jawa Barat;

WALHI Jawa Barat; KPSA Jawa Barat; Forum masyarakat Jawa Barat;

Walungan Citarum; Asosiasi Industri Kabupaten Bandung.

Unsur Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi selama ini berperan dalam memberikan berbagai

masukan kepada pemerintah dalam penyusunan berbagai kebijakan yang terkait

(35)

dengan pengelolaan DAS Citarum. Perguruan tinggi yang selama ini berperan

aktif dalam memberikan berbagai masukan kepada pemerintah daerah Provinsi

Jawa Barat adalah Institut Pertanian Bogor dan Universitas Pajajaran (UNPAD)

Bandung, ITB Bandung dan UPI Bandung. Peran perguruan tinggi tersebut

selama ini terlihat belum maksimal , terutama dalam melakukan pendampingan

kepada masyarakat yang terkait langsung pada pengelolaan DAS Citarum. Hal

tersebut masih terbentur pada aturan yang belum sinkron dengan

aturan-aturan yang telah permanen ini disebabkan tidak adanya koordinasi bagi

pengambilan kebijakan terutama pemerintahan provinsi (political commitment)

sebagai aktor utama didalam pengambilan kebijakan.

Unsur Swasta

Pihak swasta yang berperan dalam pengelolaan DAS Citarum selama ini

tergabung dalam sebuah organisasi, yaitu Asosiasi Industri Kabupaten Bandung.

Peran pihak swasta tersebut selama ini adalah memberikan insentif dan

disinsensif kepada masyarakat di sekitar DAS dan Pesisir Citarum yang kena

dampak dari aktivitas industri. Misalnya memberikan bantuan dana permodalan

ekonomi masyarakat, sarana MCK, bibit tanaman, sarana dan prasarana sosial

ekonomi.

Mekanisme pemberian berbagai bantuan tersebut selama ini dilakukan

dengan dua cara, yaitu diberikan secara langsung oleh pihak perusahaan

kepada masyarakat dan melalui kerjasama dengan LSM-LSM yang peduli

kepada DAS dan Pesisir Citarum. Selain itu juga pihak swasta setiap tahunnya

selalu dikenakan pajak lingkungan oleh dinas lingkungan setempat.

Gambar

Gambar 16 Profil sebaran TSS setiap stasiun di DAS hulu, hilir dan muara
Gambar 18 Profil sebaran BOD 5  setiap stasiun di DAS hulu, hilir dan muara
Gambar 19 Profil sebaran NO 3 -N setiap stasiun di DAS hulu, hilir dan muara  Kadar sebaran kandungan Nitrat (NO 3 -N) pada 12 stasiun nilainya relatif  sebagian telah melebihi baku mutu golongan I  dan  II
Tabel 24 Indeks Pencemaran (IP) menurut golongan pada masing-masing  stasiun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perda RPJMD Kab.Takalar 2017-2022 IV-32 menunjukkan bahwa dari Tahun 2013 s/d 2015 sebanyak 16 kali dan Tahun 2016 sebanyak 21 kali sedangkan Tahun 2017 mengalami

Hal ini dapat dilihat pada sasaran pelaksanaan Renstra Disdukcapil Kabupaten Pati Tahun 2017-2022 yaitu meningkatnya pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan

Rencana Strategis Dinas PUPR Tahun 2016 – 2021 43 | P a g e Menyelenggarakan pembangunan bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat untuk mendukung layanan infrastruktur

Permasalahan lainnya yang masih dihadapi Gresik adalah masih adanya masyarakat yang kekurangan gizi (undernutrition) dan kerdil (stunting). Penyelesaian permasalahan ini

Sedangkan faktor penghambat yang menimbulkan permasalahan dalam pencapaian kinerja pelayanan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Pangkalpinang dan faktor–faktor

Permasalahan utama yang dihadapi dalam pembangunan perumahan dan permukiman Kabupaten Kendal adalah masih terdapatnya rumah tangga yang belum memiliki hunian yang layak,

Kegiatan pembangunan yang dilakukan selalu memiliki dampak terhadap lingkungan. Masih terdapatnya aktivitas pembangunan baik oleh Pemerintah maupun Swasta yang belum

Penelahaan terhadap RPJMN dimaksudkan untuk menguraikan kebijakan nasional berupa arah kebijakan pembangunan nasional yang tertuang di dalam RPJMN dimana pemerintah